Oleh:
NAMA : TANIA LIESTARY
NPM : 00000022356
Dengan ini menyatakan bahwa karya tugas akhir yang saya buat dengan judul
“PERBEDAAN KADAR GULA DARAH DAN LEUKOSIT PRE DAN
PASCA DEBRIDEMENT SURGICAL PADA ULKUS DIABETIKUM
DERAJAT III DAN IV DI RSUS”
adalah:
1) Dibuat dan diselesaikan sendiri, dengan mengunakan hasil kuliah, tinjauan
lapangan dan buku-buku serta jurnal acuan yang tertera di dalam referensi
pada karya tugas akhir saya.
2) Bukan merupakan duplikasi karya tulis yang sudah dipublikasikan atau
yang pernah dipakai untuk mendapatkan gelar sarjana di universitas lain,
kecuali pada bagian-bagian sumber informasi dicantumkan dengan cara
referensi yang semestinya.
3) Bukan merupakan karya terjemahan dari kumpulan buku atau jurnal acuan
yang tertera di dalam referensi pada karya tugas akhir saya.
Kalau terbukti saya tidak memenuhi apa yang telah dinyatakan di atas, maka
karya tugas akhir ini batal.
Tangerang, 27 Mei 2019
Yang membuat pernyataan
Tania Liestary
ii
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
Oleh:
Nama : Tania Liestary
NPM : 00000022356
Program Studi : Kedokteran
Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dan dipertahankan dalam Sidang
Tugas Akhir guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Strata Satu pada
Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan,
Tangerang, Banten.
(Dr. dr. Allen Widysanto, SpP, CTTS, FAPSR) (Prof. Dr. Dr. dr. Eka J. Wahjoepramono, SpBS,
Ph.D)
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
Pada Kamis, 20 Juni 2019 telah diselenggarakan Sidang Tugas Akhir untuk
memenuhi sebagian persyaratan akademik guna memeperoleh gelar Sarjana
Kedokteran Strata Satu pada Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran
Universitas Pelita Harapan, atas nama:
Latar Belakang: Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang tidak dapat
disembuhkan, sehingga angka morbiditas dan mortalitasnya semakin meningkat
setiap tahunnya. Diabetes dengan komplikasi merupakan salah satu penyebab
kematian yang tertinggi di Indonesia. Salah satu komplikasi diabetes adalah ulkus
diabetikum yang terinfeksi, yang meningkatkan kadar gula darah dan leukosit.
Menurut sistem klasifikasi dan tatalaksana Wagner, tindakan debridement
surgical harus dilakukan pada ulkus derajat III dan IV, yang juga dapat
mempengaruhi kadar gula darah dan leukosit. Saat ini, belum ada penelitian yang
membahas secara langsung mengenai perbedaan kadar gula darah dan leukosit pre
dan paska debridement surgical ulkus diabetikum derajat III dan IV.
Tujuan Penelitian: Mengetahui perbedaan kadar gula darah dan leukosit sebelum
dan sesudah tindakan debridement surgical pada ulkus diabetikum derajat III dan
IV
Metode: Penelitian ini menggunakan metode kohort dengan pengambilan data
sekunder dari rekam medis pasien ulkus diabetikum derajat III dan IV di Rumah
Sakit Umum Siloam. Peneliti mengumpulkan data sesuai dengan kriteria inklusi
dan eksklusi. Hasil perbedaan kadar gula darah dan leukosit sebelum dan sesudah
tindakan debridement surgical diolah menggunakan SPSS Data Analysis
Software 25 dan diuji secara statistik.
Hasil: Rerata kadar gula darah pre-debridement adalah 188,0 mg/dL, dengan
kadar gula darah post-debridement 137,9 mg/dL, dan terjadi penurunan kadar gula
darah yang bermakna setelah debridement (p<0,05). Rerata kadar leukosit pre-
debridement adalah 18,95 x 103/uL, post-debridement 10,87 x 103/uL, dengan
penurunan kadar leukosit yang juga bermakna setelah debridement (p<0,05).
Kesimpulan: Debridement surgical menurunkan kadar gula darah dan leukosit
pada penderita ulkus diabetikum derajat III dan IV.
Referensi: 75 (1981-2018).
vi
ABSTRACT
Tania Liestary (00000022356)
Reference: 75 (1981-2018).
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat yang telah
diberikan-Nya, sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan.
Tugas Akhir dengan judul “PERBEDAAN KADAR GULA DARAH
DAN LEUKOSIT PRE DAN PASCA DEBRIDEMENT SURGICAL PADA
ULKUS DIABETIKUM DERAJAT III DAN IV DI RSUS” ini ditujukan untuk
memenuhi sebagian persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarjana
Kedokteran Strata Satu Universitas Pelita Harapan, Tangerang.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan, dan doa dari berbagai
pihak, Tugas Akhir ini tidak akan dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam proses pengerjaan Tugas Akhir ini,
yaitu kepada:
1) dr. Andry Irawan, M.Si. Med, Sp.B, FInaCS, FICS, selaku Dosen
Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan banyak memberikan
masukan kepada penulis.
2) dr. Nata Pratama Hardjo Lugito, Sp.PD, selaku Dosen Pembimbing
Statistik yang telah memberikan bimbingan dan banyak memberikan
masukan kepada penulis.
3) Dosen penguji yang telah memberi banyak masukan selama pelaksanaan
sidang skripsi.
4) Orang tua yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis
secara moral maupun material sehingga skripsi ini dapat selesai.
5) Sahabat dan rekan seperjuangan yang memberi dukungan dan motivasi
kepada penulis.
6) Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang
tidak bisa penulis sebutkan namanya.
viii
bermanfaat bagi penulis. Semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membacanya.
Tania Liestary
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
ABSTRAK v
ABSTRACT vi
DAFTAR ISI ix
DAFTAR GAMBARxii
DAFTAR SINGKATAN xv
BAB I: PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Pertanyaan Penelitian 3
1.4. Tujuan Penelitian 3
1.4.1. Tujuan Umum 3
1.4.2. Tujuan Khusus 3
1.5. Manfaat Penelitian 3
1.5.1. Manfaat Akademik 3
1.5.2. Manfaat Praktis 3
x
2.4. Etiologi 5
2.5. Klasifikasi 5
2.6. Patofisiologi 6
2.6.1. Neuropati, Vaskulopati, Imunopati 6
2.6.2. Perubahan Hormonal dan Profil Darah10
2.7. Diagnosis 11
2.7.1. Pemeriksaan Fisik 11
2.7.2. Manifestasi Klinis 11
2.7.3. Pemeriksaan Penunjang 11
2.8. Penatalaksanaan 13
2.8.1. Debridement 13
2.8.2. Wound Dressing 18
2.8.3. Offloading 19
2.9. Komplikasi 20
2.10. Prognosis 20
2.11. Kuesioner Kepatuhan Diet DM 20
xi
4.4. Populasi dan Sampel Penelitian 28
4.5. Teknik Pengambilan Sampel 28
4.6. Cara Menghitung Jumlah Sampel 28
4.7. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 29
4.7.1. Kriteria Inklusi 29
4.7.2. Kriteria Eksklusi 29
4.8. Alur Penelitian 30
4.9. Pengolahan Data 31
4.10. Uji Statistik 31
4.11. Dana Penelitian 32
4.12. Jadwal Penelitian 33
DAFTAR PUSTAKA 42
LAMPIRAN A-1
Lampiran A: Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Responden A-1
Lampiran B: Informed Consent B-1
Lampiran C: Dummy Table C-1
Lampiran D: Kuesioner Kepatuhan Diet DM D-1
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan
prediabetes 12
Tabel 2.2 Rekomendasi Pemberian Antibiotik berdasarkan Keparahan
Infeksi Ulkus DM 17
Tabel 3.1 Definisi Operasional 24
Tabel 4.1 Dana Penelitian 32
Tabel 4.2 Jadwal Penelitian 33
Tabel 5.1 Karakteristik Dasar Pasien 34
Tabel 5.2 Karakteristik Luka dan Hasil Laboratorium Pasien 35
Tabel 5.3 Uji Normalitas Shapiro-Wilk 36
Tabel 5.4 Uji Beda Gula Darah Wilcoxon 36
Tabel 5.5 Uji Beda Leukosit Wilcoxon 37
xiv
DAFTAR BAGAN
BAGAN 3.1 Kerangka Teori 22
BAGAN 3.2 Kerangka Konsep 23
BAGAN 4.1 Alur Penelitian 30
xv
DAFTAR SINGKATAN
ABI : Ankle-Brachial Index
ACTH : Adrenocorticotropin
CRP : C-Reactive Protein
DM : Diabetes Melitus
DSMQ : Diabetes Self-Management Questionnare
G6PD : Glukosa-6-Fosfat-Dehidrogenase
HPA : Hypothalamus-Pituitary-Adrenal
iTCC : Instant Total Contact Cast
MN : Mononuklear
OHO : Obat Hipoglikemik Oral
PAD : Peripheral Arterial Disease
PMN : Polimorfonuklear
RCW : Removable Cast Walker
RSUS : Rumah Sakit Umum Siloam
SPSS : Statistical Package for the Social Science
TCC : Total Contact Casts
WHO: World Health Organization
xvi
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai
dengan peningkatan kadar gula darah akibat pankreas tidak dapat
memproduksi insulin yang cukup atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin
tersebut secara efektif. Terdapat 2 tipe diabetes, yaitu diabetes tipe 1 dan tipe
2. Diabetes tipe 1 disebabkan oleh kerusakan pankreas sehingga produksi
insulin berkurang namun diabetes tipe 2 disebabkan oleh penggunaan insulin
yang kurang efektif oleh tubuh. 1
Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang tidak dapat
disembuhkan sehingga angka morbiditas dan mortalitasnya semakin
meningkat setiap tahunnya.2 Menurut data World Health Organization (WHO)
tahun 2015, Indonesia menempati urutan ke-7 di dunia untuk prevalensi
diabetes tertinggi di dunia bersama China, India, Amerika Serikat, Brazil,
Rusia dan Meksiko dengan jumlah estimasi orang dengan diabetes sebesar 10
juta. Diabetes dengan komplikasi merupakan penyebab kematian tertinggi di
Indonesia, dan persentase kematian akibat diabetes di Indonesia merupakan
kedua tertinggi di Asia Tenggara, setelah Srilanka.3
Diabetes yang tidak terkontrol dapat meningkatkan resiko komplikasi.
Salah satu komplikasi yang sering terjadi adalah kaki diabetikum. Kaki
diabetikum merupakan perubahan patologis pada bagian tubuh penderita
diabetes melitus yang disebabkan oleh infeksi dan gangguan metabolisme,
yang didasari proses neuropati, vaskulopati, dan imunopati. 4
Menurut sistem klasifikasi Wagner, ulkus diabetikum dibagi menjadi
enam derajat, dimana pada derajat III dan derajat IV ditandai dengan abses
dan adanya gangren.5 Pada kondisi stres seperti adanya ulkus DM, terjadi
proses inflamasi kronik dan infeksi yang ditandai oleh peningkatan kadar
leukosit dalam tubuh dan sebagai respons dari stres tersebut, kortisol dan
katekolamin akan meningkat.6 Hal ini dapat mengurangi sensitivitas insulin
1
dan meningkatkan sekresi glukagon sehingga kadar gula dalam darah juga
akan meningkat. 7
Oleh sebab itu, tindakan debridement surgical yang merupakan standar
baku emas dalam penatalaksanaan ulkus diabetikum derajat III dan IV harus
segera dilakukan, untuk membuang jaringan yang mati serta membantu
mempercepat penyembuhan luka. Contoh tindakan debridement dapat
meliputi tindakan nekrotomi hingga amputasi, tergantung dari luas dan
kedalaman luka. Ulkus diabetikum yang tidak dilakukan tatalaksana yang
segera dan tepat dapat mengakibatkan komplikasi yang serius yang
memerlukan tindakan amputasi. 8
Di Indonesia sendiri belum ada penelitian yang membahas secara langsung
mengenai perbedaan kadar gula darah dan leukosit pre dan pasca debridement
surgical ulkus diabetikum derajat III dan IV. Oleh karena itu, peneliti ingin
meneliti perbedaan kadar gula darah dan leukosit pre dan pasca debridement
surgical ulkus diabetikum derajat III dan IV untuk mengetahui lebih lanjut
pengaruh debridement surgical ulkus diabetikum pada penurunan kadar gula
darah dan leukosit.
2
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian pendahulu yang hanya membahas
mengenai efek debridement surgical dalam proses penyembuhan ulkus
diabetikum dan faktor resiko terjadinya ulkus diabetikum, belum ada hasil
penelitian yang secara langsung membandingkan kadar gula darah dan leukosit
pre dan pasca debridement surgical ulkus diabetikum derajat III dan IV.
3
Mengetahui debridement surgical merupakan standar baku emas
dalam penatalaksanaan ulkus DM derajat III & IV
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu panduan bagi
para praktisi dalam hal pemberian antibiotik
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Prevalensi penderita kaki diabetes berkisar 4-10% dari seluruh penderita
diabetes, dan terutama semakin sering pada orang tua.11 Menurut prognosisnya,
sebagian besar (60-80%) ulkus diabetikum dapat sembuh, 10-15% akan tetap
aktif, dan 5-24% akan berlanjut ke amputasi dalam kurun waktu 6-18 bulan
setelah evaluasi pertama.12 Di dunia, prevalensi ulkus diabetikum pada kaki adalah
6,3% dari seluruh penderita DM, yang lebih tinggi pada laki-laki (4,5%)
dibandingkan perempuan (3,5%), dan terutama lebih tinggi pada pasien-pasien
DM tipe 2 (6,4%) dibandingkan tipe 1 (5,5%). 13 Di Indonesia, prevalensi DM di
Indonesia berdasarkan pengukuran tahun 2013 adalah 2,1%, yang lebih tinggi
dibandingkan tahun 2007 (1,1%), yang meningkat hampir dua kali lipat.14
2.2 Definisi
Kaki diabetes adalah salah satu komplikasi kronik penyakit diabetes melitus
yang paling ditakuti, dengan ciri kaki berulkus yang diakibatkan proses neuropati
maupun kelainan arteri perifer pada tungkai pasien dengan diabetes.15
4
HbA1c yang tidak terkontrol
Neuropati perifer
Penyakit vaskular perifer
Tekanan plantar yang tinggi
Lalai dalam perawatan kaki (tidak memakai pelembab kaki,
potong kuku yang terlalu dalam, memakai alas kaki yang
sempit, dll)
2.4 Etiologi
Proses kaki diabetik awalnya terjadi akibat angiopati, neuropati dan infeksi.
Angiopati perifer merupakan gangguan aliran darah ke kaki yang menyebabkan
penderita kaki diabetik merasa nyeri pada tungkai bawah sesudah berjalan
menempuh jarak tertentu. Neuropati adalah gangguan sensorik yang menyebabkan
penurunan sensasi nyeri pada tungkai bawah, sehingga ulkus dapat terjadi tanpa
terasa oleh penderita. Berkurangnya aliran darah dan neuropati dapat
mengakibatkan mudahnya terjadinya infeksi. 18
2.5 Klasifikasi
Ulkus DM memiliki beberapa sistem klasifikasi untuk membantu
mengembangkan metode deskripsi yang terstandar. Sistem klasifikasi ini didasari
berbagai gambaran klinis ulkus tersebut. Klasifikasi yang paling sering digunakan
adalah klasifikasi Wagner yang didasarkan pada kedalaman luka dan luasnya
jaringan nekrotik.15,19
5
Gambar 2.1 Klasifikasi Ulkus DM Menurut Kriteria Wagner 20
2.6 Patofisiologi
2.6.1 Neuropati, Vaskulopati, Imunopati
Terjadinya kaki diabetes merupakan proses multifaktorial dan meliputi
berbagai komplikasi DM maupun trauma, yang secara langsung menyebabkan
luka pada kaki yang berisiko. Komplikasi vaskular dibagi menjadi makrovaskular
dan mikrovaskular, sebagai berikut: 21
6
1. Komplikasi makrovaskular = Penyakit jantung koroner, penyakit
pembuluh darah otak dan penyakit arteri perifer
2. Komplikasi mikrovaskular = Retinopati, neuropati dan nefropati.
Neuropati, vaskulopati (angiopati) dan imunopati (kerentanan terhadap
infeksi) adalah trias yang mendasari terjadinya infeksi dan kaki diabetes.
Progresivitas dari lesi ini bergantung pada status metabolik pasien, sirkulasi yang
adekuat dan perawatan luka yang tepat. 22
Neuropati adalah salah satu komplikasi tersering pada penderita diabetes
mellitus. Neuropati memiliki beberapa tipe tertentu. Secara morfologi, kelainan
sel saraf pada neuropati terletak pada sel Schwann, selaput mielin dan akson.
Polineuropati simetris pada distal merupakan jenis tersering dengan gejala seperti
baal, kesemutan atau bahkan terasa nyeri seperti tertusuk-tusuk jarum, namun
setelah berjalan lama tanpa tatalaksana adekuat maka akan terjadi penurunan
kemampuan sensoris.21 Dengan adanya penurunan sensoris, penderita DM
kurang/tidak merasakan berbagai trauma, yang mempermudah terjadinya lesi pada
kaki. Kelainan saraf motorik paling sering menyebabkan atrofi perifer terutama
pada otot-otot telapak kaki sehingga dapat menyebabkan deformitas yang khas
yaitu Charcot joint. Deformitas ini dapat meningkatkan risiko terjadinya luka
pada kaki karena terbentuknya callus dan peningkatan tekanan pada daerah yang
mengalami deformitas. Selain kelainan saraf sensorik dan motorik, kelainan
otonom juga sering terjadi sehingga sering kali menyebabkan hiperhidrosis pada
ekstremitas atas dan anhidrosis pada ekstremitas bawah akibat kelainan saraf
simpatik. Anhidrosis dapat menimbulkan kekeringan pada kulit sehingga rentan
menjadi luka hingga ulkus pada kaki.23,24
Vaskulopati adalah faktor kedua terjadinya kaki diabetes. Pada hiperglikemia
yang telah berlangsung lama, terjadi peningkatan radikal bebas dan kerusakan
intraseluler terutama pada endotel pada pembuluh darah. Akibat adanya kerusakan
endotel, maka dapat terjadi penumpukan trombus sehingga menjadi gangguan
sirkulasi yang sering disebut Peripheral Arterial Disease (PAD).21 Gangguan
sirkulasi inilah yang berkontribusi terhadap respons imun yang inadekuat,
sehingga mudah terjadi infeksi bakteri. Kondisi iskemi-reperfusi ini meningkatkan
7
jumlah leukosit yang direkrut ke lokasi inflamasi, namun akibat kerusakan pada
fagositosis dan respons leukosit terhadap infeksi tersebut, infeksi bakteri dapat
bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama, yang menyebabkan terjadinya
ulkus DM. 25
Faktor ketiga yang mendasari terjadinya ulkus DM adalah imunopati. Pada
pasien diabetes, beberapa hal yang terjadi menjadi patofisiologi mudahnya
terjadinya infeksi pada populasi pasien ini. 26 Beberapa hal tersebut adalah: 27
Menurunnya respons limfosit T
Menurunnya fungsi neutrofil
Angiopati (vaskulopati)
Kondisi inflamasi kronik pada DM menyebabkan jejas endotel yang masif
dan peningkatan berbagai mediator dan stres oksidatif, sehingga
menyebabkan kerusakan fungsi pembuluh darah.
Neuropati
Kondisi hiperglikemia yang menyebabkan meningkatnya virulensi
mikroorganisme berjangkit dan apoptosis PMN.
8
Gambar 2.2 menggambarkan jalur umum terjadinya ulkus kaki DM, serta
kekambuhannya. Diabetes melitus menyebabkan neuropati motorik, sensorik, dan
otonom. Neuropati motorik mengakibatkan deformitas kaki, yang berujung pada
abnormalitas biokimia. Neuropati sensorik menyebabkan hilangnya sensasi
protektif, dan neuropati otonom berujung pada penurunan produksi keringat yang
membuat kaki menjadi kering. Ketiga neuropati tersebut menyebabkan
terbentuknya kalus, yang jika disertai trauma ekternal repetitif atau trauma minor,
akan menjadi perdarahan subkutan. Jika pasien mengalami penyakit arteri perifer,
akan mempermudah seseorang mengalami ulkus kaki.
Imunopati akibat DM diakibatkan oleh kondisi hiperglikemia. Terkait sel-
sel polimorfonuklear (PMN) dan mononuklear (MN), kondisi hiperglikemia
menurunkan mobilisasi kedua sel ini, dan menghambat fungsi antimikroba dengan
menginhibisi glukosa-6-fosfat-dehidrogenase (G6PD), meningkatkan apoptosis
PMN, dan menurunkan transmigrasi PMN menuju endotel. Pada jaringan tubuh
yang tidak memerlukan insulin untuk transpor glukosa, kondisi hiperglikemia
meningkatkan kadar glukosa intraselular, yang kemudian dimetabolisme,
menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Penurunan kadar NADPH mencegah
regenerasi molekul-molekul mekanisme antioksidan dalam sel, sehingga
meningkatkan kerentanan terhadap stres oksidatif dan menurunkan respons imun,
sehingga pasien dengan DM mudah terkena infeksi.27 Tanda-tanda infeksi umum
yang sering terjadi pada tahap kaki diabetes meliputi edema, eritema, munculnya
nanah, berbau dan leukositosis. Ketika luka terjadi dalam proses lama,
mikroorganisme yang terlibat semakin kompleks, yang meliputi bakteri aerob
Gram-negatif dan bakteri anaerob. 28
Mekanisme infeksiGambar
akibat2.3DM dijelaskan
Mekanisme dalam
Infeksi DM23
AkibatGambar 2.3. Diabetes
melitus menyebabkan berbagai gangguan pada sistemik, seperti defek imunitas,
9
angiopati, neuropati, hiperglikemia dan dismotilitas saluran cerna. Semua hal ini
menyebabkan mudahnya terjadi infeksi pada penderita DM.
10
sehingga terjadi peningkatan produksi glukosa hepar. Selain itu, jejas pada
jaringan dan peningkatan kortisol juga akan menyebabkan resistensi insulin dan
penurunan klirens glukosa. Ketiga hal tersebut menyebabkan hiperglikemia imbas
stres, yang akan memperpanjang masa rawat di Rumah Sakit, menyebabkan
kecacatan, dan berujung pada mortalitas.
2.7 Diagnosis
2.7.1 Pemeriksaan Fisik
Pada kaki diabetes, wajib dilakukan pemeriksaan berkala agar keadaan
tidak semakin memburuk. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain apakah
terdapat kulit yang kering, retakan pada kaki, deformitas, pembentukan callus,
bentuk abnormal dari kaki, luka pada kaki dan kuku yang rapuh/pecah.
Pemeriksaan selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan pulsasi perifer seperti
pada dorsalis pedis, pemeriksaan bruit pada arteri femoralis, lalu cari apakah ada
penonjolan/callus pada telapak kaki. Pemeriksaan sensorik juga penting dilakukan
dengan menggunakan kapas serta tusuk gigi untuk melihat apakah sudah terdapat
kehilangan rasa pada kaki. 22 Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan Ankle-Brachial
Index (ABI). Normalnya, angka sistolik pada pergelangan kaki lebih tinggi
dibandingkan angka sistolik pada brakial. Hasil normal ABI adalah >1, dan jika
didapatkan <0,9, maka dapat disimpulkan terdapat iskemia. Pemeriksaan ABI
penting berhubungan dengan pengukuran fungsi ekstremitas bawah seperti jarak
berjalan, kecepatan, keseimbangan dan aktivitas fisik secara keseluruhan.22,31
11
Pada pasien dengan kaki diabetes, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
laboratorium yang penting dalam skrining maupun evaluasi perawatan, dan juga
untuk memperkirakan prognosis tatalaksana.33 Kontrol kadar gula darah sangat
penting dilakukan berkala, karena kadar gula yang tak terkontrol adalah penyebab
utama terjadinya kaki diabetes. Peningkatan kadar gula darah yang tidak
terkontrol menyebabkan supresi sistem imun dan menurunkan respons bakteri
terhadap infeksi.34 Indikator terbaik kontrol kadar gula darah adalah kadar HbA1c,
karena tes ini menunjukkan kadar gula darah dalam rentang waktu tiga bulan
terakhir. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yazdanpanah dan Nasiri
pada tahun 2015, kadar glukosa darah yang melebihi 220 mg/dL meningkatkan
resiko infeksi sebesar 2,7% dibandingkan dengan penderita dengan kadar gula
darah lebih rendah. Studi yang sama menyatakan bahwa peningkatan HbA1c
sebesar 1% dapat meningkatkan resiko terjadinya peripheral arterial disease
(PAD) sebanyak 25-28%.35
Tabel 2.1 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes36
12
leukosit 11,9 ± 5,4x103 sel/mm. Lebih jauh dari itu, para penulis menyatakan
bahwa jumlah leukosit para pasien tersebut meningkat secara signifikan dari
kondisi baseline ke pasca operatif, pada pasien-pasien yang secara absolut
memerlukan amputasi.37 Hal ini menandakan adanya respons fase akut yang
signifikan setelah inisiasi tatalaksana, yang juga ditandai dengan penanda-penanda
laboratorium lain seperti kadar C-Reactive Protein (CRP) yang juga meningkat
pasca operatif.
Penelitian oleh Wukich, Armstrong, Attinger, Boulton, Burns dan Frykberg
menyatakan bahwa target glikemik pre- dan pasca- debridement disarankan ≤140
mg/dL, pada sebagian besar pasien. Panduan American College of Physician juga
menyatakan bahwa pasien-pasien dengan sakit kritis dapat diberikan target
glikemik yang lebih tinggi, yaitu 140-200 mg/dL. Di sisi lain, terdapat hubungan
antara terapi insulin dengan peningkatan risiko hipoglikemia, sehingga kadar gula
darah disarankan tidak di bawah 100-110 mg/dL.38
Studi oleh Fleischer, Leonards, Berg, Evans dan Baron, menyatakan bahwa
penurunan kadar leukosit dapat dilihat dalam 3 ± 1,4 hari (berkisar 2-6 hari) pasca
operasi debridement.39 Studi oleh Sudhakaran dan Surani menyatakan bahwa
pemeriksaan kadar glukosa darah sebelum operasi harus dilakukan selambatnya
satu hari sebelum operasi, sambil dilakukan penyesuaian dosis obat-obatan
hipoglikemik oral (OHO) dan insulin, yang dilakukan maksimal hingga satu hari
menjelang operasi.40 Pada pemeriksaan laboratorium pasca operatif, Pomposelli,
Baxter, Babineau, Pomfret, Driscoll, Forse dan Bistrian menyatakan bahwa
pemeriksaan kadar glukosa darah pertama kali dengan hasil >220 mg/dL pada hari
pertama pasca operatif adalah prediktor yang sensitif (87,5%) akan terjadinya
infeksi pasca operatif.41
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar,
yaitu pencegahan kaki diabetes, pencegahan agar tidak terjadi ulkus, dan
pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah. Kontrol kadar gula
darah wajib dilakukan untuk mencegah kecacatan yang lebih lanjut. Untuk terapi
secara definitif dan lebih signifikan, harus dilakukan debridement. 42
13
2.8.1 Debridement
Debridement adalah tindakan menghilangkan jaringan nekrotik dan
jaringan yang mati bersama dengan benda asing serta bagian yang terinfeksi.
Debridement dianggap sebagai standar tatalaksana ulkus diabetikum, dan
dianggap mempercepat penyembuhan luka dengan mengkonversikan lingkungan
luka kronik menjadi lingkungan yang akut, melalui pengangkatan sel-sel yang
senesen atau non-responsif. Tindakan ini juga menyebabkan luka menjadi lebih
responsif terhadap pengobatan topikal, sehingga lebih mudah menyembuh. 43
Tindakan debridement mengangkat pinggiran luka dan isi jaringan luka, yang
berisi epidermis yang hiperkeratotik (kalus) dan jaringan dermal nekrotik, debris
asing, dan elemen bakteri yang diketahui memiliki efek inhibitori terhadap
penyembuhan luka. Kalus terbentuk akibat respon terhadap tekanan atau gesekan
yang berulang pada ulkus diabetikum neuropatik yang tidak memiliki sensasi
protektif lagi.44
Selain berfungsi mempercepat penutupan luka, debridement juga berfungsi
menurunkan resiko dilakukan amputasi, menurunkan kolonisasi bakteri lokal dan
meningkatkan terjadinya regenerasi pada bagian yang mati.45 Beberapa jenis
debridement yang ada antara lain:
1. Debridement Enzimatik
Debridement enzimatik menggunakan formula yang mengandung
steptokinase dan streptodornase namun tidak tersedia di semua negara,
dan biasanya cukup mahal. Enzim-enzim ini mencerna fibrin, kolagen,
dan elastin pada eksudat nekrotik pada ulkus diabetikum, dan
mempercepat penyembuhan. Aplikasinya mudah dan langsung
dioleskan pada area nekrotik. 46
2. Debridement Autolitik
Debridement autolitik adalah metode paling umum dan dapat
dilakukan oleh semua pelayan kesehatan, bahkan para perawat.
Dressing yang menciptakan lingkungan luka yang lembab ditempatkan
pada luka dan membantu proses autolisis. Pada proses ini, enzim tubuh
14
manusia sendirilah yang menghancurkan jaringan yang non-viabel.
Metode ini selektif, tidak nyeri, non-invasif, dan mudah dilakukan,
namun dapat memakan waktu yang akan lama. 47
3. Debridement Mekanik
Debridement mekanik dilakukan untuk membersihkan luka sebelum
surgical/sharp debridement dengan menggunkan dressings basah
sampai kering, irigasi tekanan tinggi dan hidroterapi. 47
4. Debridement Biologik
Debridement biologik dilakukan menggunakan agen makhluk hidup,
yang biasanya dengan larva atau belatung. Larva atau belatung
ditempatkan pada daerah nekrotik secara langsung atau dalam kantong,
dan mereka akan melikuefaksi dan mencerna jaringan nekrotik,
membunuh dan mengonsumsi bakteri, dan menstimulasi penyembuhan
luka melalui promosi pertumbuhan fibroblas. 48
5. Debridement Surgical/Sharp
Debridement surgical/sharp adalah pengangkatan hiperkeratosis dan
jaringan mati dengan gunting, skalpel dan/atau forseps. Eksisi jaringan
nekrotik harus meluas sedalam dan seproksimal sampai ditemukan
tulang dan jaringan lunak yang sehat dan berdarah.8
Persyaratan dilakukannya debridement surgical adalah: 49
Kadar glukosa darah, HbA1C, kreatinin, CRP, dan albumin
harus mendekati normal
Vaskularisasi pada ekstremitas tersebut harus baik (ABI,
oksimetri)
Pasien tidak menggunakan obat-obatan pengencer darah
(warfarin) atau steroid, dan antibiotik telah diberikan sesuai
indikasi.
Tujuan debridement adalah drainase abses dan membuang semua jaringan
terinfeksi dan nonviabel, hingga yang tersisa hanya jaringan berwarna normal,
yaitu merah (otot), putih (tulang, tendo, ligamen), dan kuning (lemak). 50 Sebelum
tindakan operatif, dokter bedah menilai undermining luka, menggunakan swab
15
atau jari yang berlapis sarung tangan. Undermining adalah destruksi jaringan atau
ulserasi yang menyebar di bawah pinggiran kulit yang tampak, dan ukuran ulkus
sesungguhnya lebih besar pada basis dibandingkan pada permukaan kulit. Area
yang meluas tersebut ditandai dengan penanda surgikal, atau dengan tinta biasa.51
16
Tabel 2.2 Rekomendasi Pemberian Antibiotik berdasarkan Keparahan Infeksi Ulkus DM 53
17
Selain tindakan bedah, untuk maintenance tatalaksana, perlu diberikan
wound dressing/balutan luka. Pembalut yang ideal dapat mempertahankan
kelembaban, menstimulasi faktor pertumbuhan, bersifat antimikrobial, permeabel
terhadap oksigen dan memiliki kemampuan untuk membuat debridement autolitik
(debridement yang terjadi dalam lingkungan yang lembab dengan sirkulasi
terjaga) sehingga dapat merangsang pertumbuhan jaringan granulasi dan re-
epitelisasi. Gambar 2.6 menunjukan pemilihan balut yang digunakan berdasarkan
penyebab ulkus, lokasi luka, kedalaman, jumlah jaringan parut, eksudasi, kondisi
batas luka, adanya infeksi maupun nyeri dan kenyamanan dari balutan itu sendiri.
Kategori balutan antara lain: 54
1. Pasif: Digunakan untuk melindungi luka akut karena dapat menyerap
eksudat dengan baik dan memberi perlindungan yang baik.
2. Aktif: Balutan jenis ini dapat memodifikasi fisiologi luka dengan
meningkatkan faktor pertumbuhan dan aktivitas seluler, biasanya
digunakan untuk luka kronik.
Beberapa jenis dressing yang sering digunakan adalah film, hidrokoloid,
hidrogel, alginat, foams dan impregnasi perak.
2.8.3 Offloading
18
Offloading pada daerah yang mengalami ulkus sangat baik dalam
penyembuhan baik sebelum maupun sesudah dilakukan tindakan debridement.
Pemilihan offloading disesuaikan dengan karakteristik fisik pasien, kepatuhan,
lokasi luka dan keparahannya.55 Jenis yang paling sering digunakan dan dianggap
sebagai standar baku emas adalah Total Contact Casts (TCC). Teknik ini berguna
untuk mengurangi tekanan pada daerah luka dan mendistribusikan tekanan secara
merata pada daerah kaki serta melindungi daerah luka.54 Kekurangan utama dari
TCC ini adalah diperlukannya ahli pada pemasangannya sebab pada pemasangan
yang tidak tepat dapat menyebabkan iritasi kulit dan ulserasi yang lebih parah.
Selain itu, TCC juga menyebabkan keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari seperti
mandi sebab sulit dilepaskan secara sering. 55
Gambar 2.7 menunjukkan total contact cast yang sering digunakan untuk
ulkus kaki, namun tidak dapat sering dilepas. Selain TCC, terdapat Removable
Cast Walker (RCW) (Gambar 2.8) yang dapat digunakan pada pasien dengan
observasi dan infeksi aktif sebab mudah dilepas dan dipasang kembali. Lalu ada
Instant Total Contact Cast (iTCC) (Gambar 2.9)dengan prinsip membungkus
RCW dengan selapis perban elastis. Teknik ini efektif sebab membuat pasien
dalam keadaan lebih imobilisasi seperti TCC namun juga lebih mudah dilepas
seperti RCW sehingga membuat iTCC menjadi pilihan utama offloading pada
pasien dengan kaki diabetes.55
19
Gambar 2.8 Removable Cast Walker55 Gambar 2.9 Instant Total Contact Cast55
2.9 Komplikasi
Pada pasien dengan kaki diabetes yang tidak dirawat dengan baik, angka
morbiditas dan mortalitas akan meningkat. Berdasarkan penelitian dari Al-
rubeaan, Derwish dan Alamri pada tahun 2015, resiko amputasi pada penderita
kaki diabetes meningkat 2-4x lipat mengikuti usia dan lama menderita diabetes.
Sekitar 2,5% dari penderita kaki diabetes meninggal karena sepsis dan 7%
mengalami kematian karena imobilitas.56
2.10 Prognosis
Mortalitas pada penderita diabetes dan ulkus diabetikum sering merupakan
akibat dari penyakit arterosklerosis arteri besar yang melibatkan arteri koroner
atau renalis.57 Prognosis pada penderita kaki diabetes ditentukan berdasarkan lama
terjadinya ulkus, berapa jumlah ulkus dan terapi. Pada pasien dengan ulkus dalam
waktu lama memiliki angka kesembuhan lebih kecil dan tingkat komplikasi lebih
tinggi, demikian juga dengan penderita dengan ulkus multipel. 58 Tingkat
kekambuhan terjadinya infeksi berulang setelah dilakukan tatalaksana yang
berhasil adalah sebesar 66% dan tingkat amputasi meningkat menjadi 12%.57
Proses penanganan yang tidak adekuat dan rendahnya tingkat kepatuhan pasien
untuk melakukan tindakan ganti balut memperburuk prognosis.5
20
dengan pengendalian glukosa darah pada pasien rawat jalan di rumah sakit
Bina Husada Cibinong. Kuesioner DSMQ telah dilakukan validasi terkait
bahasa dan isi dan diuji reliabilitasnya (Cronbach alfa 0,889).59 Kuesioner
DSMQ terdiri dari 16 pertanyaan dengan beberapa subdomain yaitu: glucose
management, dietary control, physical activity, health-care use dan self-care.
Tingkat kepatuhan pasien dari setiap subdomain dikategorikan menjadi 3
kategori yaitu “tinggi” dengan total skor 8, “sedang” dengan total skor 6-7,
dan “rendah” dengan total skor <6. Skor dihitung dengan rumus:
21
BAB III
KERANGKA TEORI, KONSEP, DAN HIPOTESA
3.1. Kerangka Teori
DM
↓ respon T limfosit
motorik dan fungsi neutrofil
otonom
sensorik
deformitas ↑ kerentanan
Anhidrosis
pada terhadap infeksi
↑ tekanan ↓ sensasi ekstremitas
darah pada pada bawah
infeksi iskemia
daerah ekstremitas
deformitas bawah
Callus
Trauma/Jejas
22
3.2. Kerangka Konsep
Kepatuhan diet DM
Luas ulkus
Pemakaian insulin
Pemakaian obat anti-diabetes oral
23
Pemakaian obat anti-diabetes oral
3.5. Definisi Operasional
24
tendon, atau
tulang tanpa
osteomielitis atau
abses
4. Derajat 3: Ulkus
yang dalam
dengan
osteomielitis atau
abses
5. Derajat 4:
Gangren
terlokalisasi pada
jari-jari kaki atau
kaki depan
6. Derajat 5:
Gangren yang
meluas pada
kaki.
Debridemen Tindakan Debridement Yazdanpanah L,
t menghilangkan Surgical/Sharp Nasiri M,
jaringan Adarvishi S.
nekrotik dan Literature
jaringan yang Review on the
mati bersama Management of
dengan benda Diabetic Foot
asing serta Ulcer. World J
bagian yang Diabetes. 2015;
terinfeksi 6(1): 37.35
Kadar gula Kadar glukosa Tes gula darah - Pengambilan dari Chopra P,
darah yang (Gula Darah darah vena dari Kumar TSS.
terkandung Sewaktu fossa cubiti pasien Correlation of
25
dalam darah Normal:<200mg/dL) lalu Glucose Level
- Analisis Among Venous,
menggunakan Gingival, and
metode glukosa Finger-prick
oksidase Blood Samples
in Diabetic
Patients. J Indian
Soc Periodontol.
2011 Jul-Sep;
15(3): 288-91.61
Kadar Kadar leukosit - Pengambilan dari Chabot-Richards
leukosit total yang darah vena dari DS, George TI.
terkandung fossa cubiti pasien White Blood
dalam setiap lalu Cell Counts:
milimeter kubik - Analisis Reference
darah vena menggunakan Methodology.
metode glukosa Clin Lab Med.
oksidase 2015 Mar; 35(1):
11-24.62
26
BAB IV
METODE PENELITIAN
27
gula darah dan leukosit pre dan pasca debridement surgical dibandingkan dan
dianalisa.
28
4.7. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.7.1. Kriteria Inklusi
Pasien yang menjalani debridement surgical ulkus diabetikum grade III
atau IV
Pasien dengan ulkus diabetikum derajat III atau IV yang menjalani
debridement dan diperiksa gula darah dan darah lengkap 1x24 jam
sebelum tindakan dan setelah tindakan debridement dan darah lengkap
dalam 3x24 jam
Pasien yang patuh pada diet DM sebelum tindakan debridement dengan
skor DSMQ >6
Pasien dengan luas luka ulkus ≤ 40 cm2
4.7.2. Kriteria Eksklusi
Pasien dengan rekam medis hasil pemeriksaan laboratorium kadar gula
darah atau leukosit yang tidak lengkap
Pasien yang sedang mengalami kondisi medis khusus lainnya, contohnya:
sepsis, stroke, hipoglikemia
Pasien pengguna steroid
29
4.8. Alur Penelitian
Data diambil dari Rumah
Sakit Umum Lippo Village
Informed consent
Pengambilan data
kadar gula darah dan Tidak diambil sebagai
leukosit sebelum sampel penelitian
debridement
Analisa data
Penyusunan laporan
penelitian dan
interpretasi hasil
30
4.9. Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari hasil
laboratorium kadar gula darah dan leukosit pada rekam medis pasien RSUS yang
menjalani debridement surgical ulkus diabetikum grade III atau IV. Data
dianalisis secara statitik untuk mengetahui perbedaan kadar gula darah dan
leukosit pre dan pasca debridement surgical ulkus diabetikum grade III dan IV.
Data penelitian dianalisis secara deskriptif dan analitik menggunakan SPSS versi
25.
31
4.11. Dana Penelitian
32
4.12. Jadwal Penelitian
Presentasi
proposal
Uji etik
Pengumpulan
data
Pengolahan
data dan
analisis
Presentasi
penelitian
Publikasi
33
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik n %
Jenis Kelamin
Laki – laki 27 60,0
Perempuan 18 40,0
Usia
<55 tahun 23 51,1
≥55 tahun 22 48,9
Derajat ulkus
III 22 48,9
IV 23 51,1
Jenis insulin yang digunakan
Tidak menggunakan 19 42,2
Short-acting insulin 20 44,4
Long-acting insulin 5 11,1
Short dan long-acting insulin 1 2,2
Luas luka
≤10 cm2 18 40,0
10-40 cm2 27 60,0
34
derajat III berjumlah 48,9%, dan derajat IV sebanyak 51,1%. Kebanyakan jenis
insulin yang digunakan adalah tipe short-acting insulin (44,4%), diikuti para
subjek yang tidak menggunakan insulin (42,2%), long-acting insulin (11,1%), dan
short- dan long-acting insulin (2,2%). Mayoritas subjek memiliki luas luka 10-40
cm2 (60,0%).
Variabel n = 45
Skor kepatuhan diet (DSMQ) 8,3 ± 1,05
Min 6,7 ; Max 10,0
Gula darah pre debridement (mg/dL) 188,0 (489 – 108)
Gula darah post debridement (mg/dL) 137,0 (295 – 90)
Leukosit pre debridement (x103/uL) 18,95 ± 8,28
Min 6,9 ; Max 42,9
Leukosit post debridement (x103/uL) 10,87 (22,8 – 6,4)
Tabel 5.2 menyatakan bahwa rerata skor kepatuhan diet pasien adalah 8,3,
dengan nilai terkecil 6,7 dan terbesar 10. Hanya subjek dengan skor DSMQ di
atas 6 yang diinklusikan dalam studi ini. Rerata kadar gula darah pre debridement
para subjek adalah 188,0, dengan angka minimal 108 dan maksimal 489. Rerata
kadar gula darah post debridement para subjek menurun, yaitu sebesar 137,0,
dengan angka minimal 90 dan maksimal 295. Kadar leukosit pre debridement
para subjek adalah 18,95 x 103/uL, dengan angka terkecil 6,9 x 103/uL dan
tertinggi 42,9 x 103/uL. Setelah dilakukan debridement, terjadi penurunan kadar
leukosit rerata, yaitu 10,87 x 103/uL, dengan angka terkecil 6,4 x 103/uL dan
terbesar 22,8 x 103/uL.
35
Tabel 5.3 Uji Normalitas Shapiro-Wilk
Tabel 5.3 menunjukan hasil pengukuran normalitas kadar gula darah pre
dan post debridement pada ulkus derajat III dan IV memperoleh nilai p yang lebih
rendah dari 0,05, sehingga dinyatakan bahwa data memiliki distribusi yang tidak
normal. Data leukosit pre-debridement pada derajat III dan IV memiliki nilai p =
0,071 yang lebih besar dari 0,05, sehingga dinyatakan bahwa data memiliki
distribusi yang normal. Sebaliknya, data leukosit post-debridement pada ulkus
derajat III dan IV memiliki nilai p = 0,002 yang lebih rendah dari 0,05, sehingga
dinyatakan bahwa data berdistribusi tidak normal. Berhubung terdapat kelompok
data dengan distribusi tidak normal, metode uji beda yang digunakan adalah uji
beda non-parametrik yaitu Wilcoxon.
36
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,000
Tabel 5.4 menunjukan hasil uji beda Wilcoxon pada kadar gula darah pre
dan post-debridement. Nilai p yang diperoleh adalah <0,05 (0,000), sehingga
dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar gula
darah pre-debridement dengan post- debridement pada penderita ulkus diabetikum
derajat III dan IV. Hasil analisis uji kemaknaan klinis dengan Wilcoxon
mendapatkan nilai Z yang lebih kecil dari absolut 10 (-5,057), sehingga dapat
dinyatakan bahwa perbedaan kadar gula darah pre dan post debridement pada
penelitian ini tidak memiliki kemaknaan klinis.
Leukosit Post-Debridement -
Leukosit Pre-Debridement
Z - 5,841
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,000
Tabel 5.5 menunjukan hasil uji beda Wilcoxon pada kadar leukosit pre
dan post-debridement. Nilai p yang diperoleh adalah <0,05 (0,000) maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nilai leukosit pre-debridement dengan
post-debridement pada penderita ulkus diabetikum derajat III dan IV. Hasil
analisis uji kemaknaan klinis dengan Wilcoxon juga mendapatkan nilai Z yang
lebih kecil dari absolut 10 (-5,841), sehingga dapat dinyatakan bahwa perbedaan
kadar leukosit pre dan post debridement pada penelitian ini tidak memiliki
kemaknaan klinis.
5.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil karakteristik responden penelitian ini, pasien yang
mengalami ulkus lebih banyak diderita oleh laki-laki dengan presentase sebanyak
37
60%. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Decroli et al, yang
menunjukan bahwa laki-laki (71%) lebih banyak terkena ulkus dibanding
perempuan (29%).63 Berdasarkan kepustakaan penelitian yang dilakukan oleh
Gallagher et al, hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya
adalah karena laki-laki mengalami stres oksidatif yang lebih parah pada sel-sel
beta pankreas. Hal inilah yang menyebabkan laki-laki lebih besar kemungkinan
mengalami DM.64 Kedua, perempuan pada umumnya lebih inaktif dibandingkan
laki-laki, sehingga luka pada kaki perempuan cenderung tidak separah kondisi
luka pada laki-laki, dan kadar gula darah lebih mudah dipulihkan. Perlu diingat
bahwa peningkatan kadar gula darah akan menurunkan kemungkinan
penyembuhan luka, sehingga penting untuk menjaga kadar gula darah seideal
mungkin pada para subjek, baik sebelum atau sesudah debridement ulkus DM.65
Hasil data karakteristik usia responden menemukan bahwa sebanyak
51,1% pasien berusia <55 tahun dan sebanyak 48,9% berusia ≥55 tahun. Hasil ini
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhanifah yang menunjukan
bahwa pasien yang memiliki usia rata-rata diatas 55 tahun lebih rentan terkena
ulkus kaki diabetikum.66 Perbedaan hasil ini kemungkinan dapat dikaitkan dengan
jumlah subjek yang relatif terbatas dalam penelitian ini, yaitu hanya 45 dari 62
subjek. Penelitian oleh Mauvais-Jarvis menyatakan bahwa pada usia tua, terjadi
gangguan hormonal pada laki-laki dan perempuan yang menyebabkan
peningkatan kadar gula darah. Pada perempuan, turunnya kadar estrogen dan
meningkatnya kadar testosteron meningkatkan kadar gula darah melalui
mekanisme resistensi insulin dan hiperglikemia. Pada laki-laki, menurunnya kadar
testosteron menyebabkan disfungsi metabolik dan menjadi predisposisi akan
terjadinya diabetes.67
Dari pola distribusi derajat keparahan ulkus diabetikum dalam penelitian
ini, ditemukan bahwa penderita ulkus diabetikum derajat III berjumlah 48,9%,
dan derajat IV sebanyak 51,1%. Hasil ini berbeda dengan penelitian oleh Decroli
et al yang menyatakan bahwa sebagian besar penderita ulkus diabetikum datang
63
dengan kategori ulkus derajat III. Amogne et al menyampaikan dalam
penelitiannya bahwa kebanyakan orang dengan ulkus diabetikum mengalami
38
ulkus dengan klasifikasi Wagner derajat III atau IV.68 Pada penelitian ini,
ditemukan penderita ulkus derajat IV yang lebih banyak. Hal ini dapat disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu, kurangnya pengetahuan para pasien mengenai
perawatan kaki diabetik, kadar gula yang tidak terkontrol sehingga luka sulit
untuk sembuh dan kurangnya kesadaran untuk berobat.69
Demikian juga pada penelitian ini ditemukan bahwa luas luka mayoritas
pada penelitian ini berkisar 10-40 cm2. Secara teori, luas luka memiliki korelasi
dengan tingkat neuropati dan vaskulopati pada penderita DM dengan
komplikasi.70
Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa kebanyakan jenis insulin yang
digunakan adalah tipe short-acting insulin (44,4%), diikuti para subjek yang tidak
menggunakan insulin (42,2%), long-acting insulin (11,1%), dan short- dan long-
acting insulin (2,2%). Berdasarkan rekomendasi oleh Joint British Diabetes
Societies, dinyatakan bahwa secara perioperatif, terapi insulin dapat diberikan jika
kadar gula darah >180 mg/dL, dan targetnya adalah 108-180 mg/dL.
Rekomendasi tersebut menyarankan pemberian insulin untuk mengendalikan
kadar gula darah perioperatif, sehingga akan menghasilkan penurunan yang
bermakna.71 Studi oleh Hoogwerf et al menekankan bahwa pada pasien-pasien
pasca operatif, dapat diberikan insulin intravena fixed-dose, atau dengan
kombinasi insulin short-acting maupun intermediate-acting untuk menghasilkan
konsentrasi insulin yang stabil dalam darah.72
Hasil penelitian ini memperoleh penurunan kadar gula darah secara
bermakna pasca operasi debridement surgical, dengan nilai p<0,05. Hasil ini
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Jeon et al, yang mempelajari
kadar glukosa pre- dan pasca-operasi pada pasien-pasien diabetik yang menjalani
operasi non-infeksius. Penelitian tersebut menemukan bahwa kadar gula darah
pasca-operatif lebih tinggi dibandingkan pre-operatif. 73 Hal tersebut terjadi karena
kondisi stres akut seperti operasi menyebabkan peningkatan kadar hormon seperti
glukokortikoid dan katekolamin, yang meningkatkan kadar gula darah. Di sisi
lain, penelitian oleh Sumpio et al menyatakan bahwa sekitar 40-80% ulkus
diabetikum di kaki menunjukkan tanda infeksi, yang memiliki proses inflamasi
39
kronik yang mendasari.74 Respons stres akibat tindakan operatif seperti
debridement merubah proses inflamasi kronik menjadi akut.8 Hal inilah yang
dapat menyebabkan terjadinya penurunan kadar gula darah post debridement
secara keseluruhan pada para subjek dalam penelitian ini.
Pada penelitian ini juga ditemukan perbedaan yang bermakna secara
statistik antara kadar leukosit pre dan post debridement dengan nilai p<0,05, yang
menyatakan terdapat penurunan kadar leukosit setelah debridement. Hasil
penelitian ini didukung oleh sebuah penelitian yang menyatakan bahwa kadar
leukosit post debridement menurun pada para pasien ulkus diabetikum yang
berhasil dilakukan tindakan debridement surgical.9 Bagaimanapun, hasil
penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Takahashi et al bahwa
setelah operasi, jumlah limfosit berkurang akibat apoptosis, namun di saat yang
sama, jumlah netrofil meningkat yang mengakibatkan peningkatan kadar leukosit
secara keseluruhan.75 Penelitian tersebut menyatakan bahwa setelah operasi,
leukositosis cenderung terjadi akibat reaksi radang. Pada penelitian ini, terjadi
penurunan kadar leukosit pasca debridement, dikarenakan debridement dapat
mengurangi proses inflamasi dengan mengubah infeksi kronik ke akut.
40
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Terdapat perbedaan yang bermakna pada kadar gula darah dan leukosit
pre-debridement dan post- debridement surgical penderita ulkus diabetikum
derajat III dan IV pada para pasien di Rumah Sakit Umum Siloam Lippo Village
pada periode Januari 2019 – April 2019. Selain itu, juga perlu dilakukan
penelitian-penelitian lanjutan di Indonesia untuk mempelajari kadar gula darah
dan leukosit pre-debridement dan post-debridement surgical pada penderita ulkus
diabetikum derajat III dan IV dengan jumlah subjek yang lebih banyak.
6.3 Saran
1. Disarankan agar penelitian selanjutnya dapat melaksanakan penelitian
dengan durasi penelitian yang lebih lama dan dengan jumlah subjek yang
lebih banyak agar meningkatkan validitas penelitian.
41
2. Disarankan agar penelitian selanjutnya melakukan koordinasi yang lebih
baik dengan bidang interdisiplin lain dan dapat menerapkan kerja sama
yang baik antara pasien dan keluarga pasien untuk mengontrol asupan
makanan pasien secara penuh.
DAFTAR PUSTAKA
42
11. Lauterbach S, Kostev K, Kohlmann T. Prevalence of diabetic foot
syndrome and its risk factors in the UK. J Wound Care. 2010; 19: 333–7.
12. Katsilambros N, Dounis E, Makrilakis K, Tentolouris N, Tsapogas P.
Atlas of the diabetic foot. 2nd ed. Oxford: Wiley-Blackwell; 2010.
13. Zhang P, Lu J, Jing Y, Tang S, Zhu D, Bi Y. Global Epidemiology of
Diabetic Foot Ulceration: A Systematic Review and Meta-analysis. Ann
Med. 2017 Mar; 49(2): 106-16.
14. Mustafa IAH, Purnomo W, Umbul C. Determinan Epidemiologis Kejadian
Ulkus Kaki Diabetik pada Penderita Diabetes Mellitus di RSUD Dr.
Chasan Boesoirie dan Diabetes Center Ternate. Jurnal Wiyata. 2016; 3(1):
54-60.
15. Alexiadou K, Doupis J. Management of Diabetic Foot Ulcers. Diabetes
Therapy. 2012; 3(1).
16. Bortoletto MS, de Andrade SM, Matsuo T, Haddad MD, González AD,
Silva AM. Risk factors for foot ulcers—a cross sectional survey from a
primary care setting in Brazil. Primary Care Diabetes. 2014; 8(1): 71-6.
17. Waaijman R, de Haart M, Arts ML, Wever D, Verlouw AJ, Nollet F, Bus
SA. Risk factors for plantar foot ulcer recurrence in neuropathic diabetic
patients. Diabetes Care. 2014; 37(6): 1697-705.
18. Desalu OO, Salawu FK, Jimoh AK, Adekoya AO, Busari OA, Olokoba
AB, et al. Diabetic foot care: Self reported knowledge and practice among
patients attending three tertiarty hospital in Nigeria. Ghana Med J. 2011;
45(2): 60-5.
19. Khan Y, Khan MM, Farooqui MR. Diabetic foot ulcers : a review of
current management. Int J Res Med Sci. 2017; 5(11): 4683–9.
20. Dietz D. Introduction to Wound Care. 2018
21. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 3. Ed 4. Jakarta: Interna Publishings. 1874-89, 1906-
36.
22. Pendsey S. Understanding Diabetic Foot. Int J Diabetes Dev Ctries. 2010;
30(2): 75.
43
23. Armstrong DG, Boulton AJM, Bus SA. Diabetic Foot Ulcers and Their
Recurrence. N Engl J Med. 2017 Jun 15; 376(24): 2367-75.
24. Singh S, Pai R P and Yuhhui C. Diabetic foot ulcer-diagnosis and
management. Clin Res Foot Ankle. 2013; 1(3): 1-9
25. Pettersson US, Christoffersson G, Massena S, Ahl D, Jansson L,
Henriksnas J, et al. Increased Recruitment but Impaired Function of
Leukocytes during Inflammation in Mouse Models of Type 1 and Type 2
Diabetes. PLoS One. 2011; 6(7): E22480.
26. Moradi S, Kerman SR, Rohani F, Salari F. Associations Between Diabetes
Complications and Leukocyte Counts in Iranian Patients. J Inflamm Res.
2012; 5: 7-11.
27. Casqueiro J, Alves C. Infections in Patients With Diabetes Mellitus: A
Review of Pathogenesis. Indian J Endocrinol Metabl. 2012 Mar; 16 Suppl
1: S27-36.
28. Syafril S. Pathophysiology Diabetic Foot Ulcer. IOP Conference Series:
Earth and Environmental Science. 2018; 125: 012161.
29. Downs C, Faulkner M. Toxic stress, inflammation and symptomatology of
chronic complications in diabetes. World J Diabetes. 2015; 6(4): 554.
30. Endara M, Masden D, Goldstein J, Gondek S, Steinberg J, Attinger C. The
Role of Chronic and Perioperative Glucose Management in High-Risk
Surgical Closures. Plast and Reconstr Surg. 2013; 132(4): 996-1004.
31. American Diabetes Association. Peripheral arterial disease in people with
diabetes. Diabetes Care. 2003 Des; 26(12): 3333-41.
32. Rowe VL. Diabetic Ulcers Clinical Presentation: History, Physical
Examination. Medscape. 2018.
33. American Diabetes Association. STANDARDS OF MEDICAL CARE IN
DIABETES—2018. Diabetes Care. 2018;
34. Alavi A, Sibbald RG, Mayer D, Goodman L, Botros M, Armstrong DG, et
al. Diabetic foot ulcers: Part II. Management. J Am Acad Dermatol 2014;
70: 21.
44
35. Yazdanpanah L, Nasiri M, Adarvishi S. Literature Review on the
Management of Diabetic Foot Ulcer. World J Diabetes. 2015; 6(1): 37.
36. PERKENI. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. 2015.
37. Hobizal KB, Wukich DK. Diabetic Foot Infections: Current Concept
Review. Diabet Foot Ankle. 2012; 3:10.3402/dfa.v3i0.18409.
38. Wukich DK, Armstrong DG, Attinger CE, Boulton AJ, Burns PR,
Frykberg RG, et al. Inpatient Management of Diabetic Food Disorders: A
Clinical Guide. Diabetes Care. 2013 Sep; 36(9): 2862-71.
39. Fleischer AE, Wrobel JS, Leonards A, Berg S, Evans DP, Baron RL, et al.
Post-treatment leukocytosis predicts an unfavorable clinical response in
patients with moderate to severe diabetic foot infections. J Foot Ankle
Surg. 2011 Sep-Oct; 50(5): 541-6
40. Sudhakaran S, Surani SR. Guidelines for Perioperative Management of
The Diabetic Patient. Surg Res Pract. 2015; 2015; 284063.
41. Pomposelli JJ, Baxter JK, Babineau TJ, Pomfret EA, Driscoll DF, Forse
RA, et al. Early postoperative glucose control predicts nosocomial
infection rate in diabetic patients. JPEN J Parenter Enteral Nutr 1998; 22:
77-81
42. Tallis A, Motley TA, Wunderlich RP, Dickerson JE, Waycaster C, Slade
HB. Clinical and economic assessment of diabetic foot ulcer debridement
with collagenase: results of a randomized controlled study. Clin Ther
2013; 35: 1805-1820
43. Golinko MS, Joffe R, Maggi J, Cox D, Chandrasekaran EB, Tomic-Canic
RM, et al. Operative debridement of diabetic foot ulcers. J Am Coll Surg
2008; 207: e1–6.
44. Cardinal M, Eisenbud DE, Armstrong DG, Zelen C, Driver V, Attinger C,
et al. Serial surgical debridement: a retrospective study on clinical
outcomes in chronic lower extremity wounds. Wound Repair Regen 2009;
17: 306–11.
45
45. Edwards J, Stapley S. Debridement of diabetic foot ulcers. Cochrane
Database Syst Rev. 2010 Jan 20; (1): CD003556.
46. Langer V, Bhandari PS, Rajagopalan S, Mukherjee MK. Enzymatic
debridement of large burn wounds with papainurea: Is it safe? Med J
Armed Forces India 2013; 69: 144-150
47. Schultz GS, Sibbald RG, Falanga V, Ayello EA, Dowsett C, Harding K, et
al. Wound bed preparation: a systematic approach to wound management.
Wound Repair Regen. 2013; 11 Suppl 1: S1-28.
48. Jarczyk G, Jackowski M, Szpila K, Boszek G, Kapelaty S. Use of Lucilia
sericata blowfly maggots in the treatment of diabetic feet threatened with
amputation. Acta Angiologica. 2008; 14: 42-55
49. Frykberg RG, Banks J. Challenges in The Treatment of Chronic Wounds.
Adv Wound Care (New Rochelle). 2015 Sep 1; 4(9): 560-82.
50. Wukich DK, Armstrong DG, Attinger CE, Boulton AJ, Burns PR,
Frykberg RG, et al. Inpatient Management of Diabetic Food Disorders: A
Clinical Guide. Diabetes Care. 2013 Sep; 36(9): 2862-71.
51. Schiffman J, Golinko MS, Yan A, Flattau A, Tomic-Canic M, Brem H.
Operative Debridement of Pressure Ulcers. World J Surg. 2009 Jul; 33(7):
1396-402.
52. Game FL, Hinchliffe RJ, Apelqvist J. A systematic review of interventions
to enhance the healing of chronic ulcers of the foot in diabetes. Diabetes
Metab Res Rev. 2012; 28 Suppl 1: 119–41.
53. Kavitha KV, Tiwari S, Purandare VB, Khedkar S, Bhosale SS,
Unnikrishnan AG. Choice of Wound Care in Diabetic Foot Ulcer: A
Practical Approach. World J Diabetes. 2014 Aug 15; 5(4): 546-56.
54. Moura LI, Dias AM, Carvalho E, de Sousa HC. Recent advances on the
development of wound dressings for diabetic foot ulcer treatment--a
review. Acta Biomater. 2013; 9:7093-114.
55. Armstrong DG, Lavery LA, Nixon BP, Boulton AJ. It’s not what you put
on, but what you take off: techniques for debriding and off-loading the
diabetic foot wound. Clin Infect Dis. 2004; 39 Suppl 2: S92-9.
46
56. Rubeaan K, Derwish M, Alamri B. Diabetic Foot Complications and Their
Risk Factors from a Large Retrospective Cohort Study. PLOS One. 2015;
10(5): e0124446.
57. Rowe VL. Diabetic Ulcers: Background, Pathophysiology, Etiology.
Medscape. 2016.
58. Ndosi M, Wright-Hughes A, Brown S, Backhouse M, Lipsky B, Bhogal
M, et al. Prognosis of the Infected Diabetic Foot Ulcer: A 12-month
Prospective Observational Study. Diabetic Medicine. 2017; 35(1): 78-88.
59. Keban SA, Ramdhani UA. Hubungan Rasionalitas Pengobatan dan Self-
care dengan Pengendalian Glukosa Darah pada Pasien Rawat Jalan di
Rumah Sakit Bina Husada Cibinong. J Ilmu Kefarmasian Indonesia. 2016;
14(1): 66–72.
60. Puspitasari A W. Analisis Efektivitas Pemberian Booklet Obat Terhadap
Tingkat Kepatuhan Ditinjau dari Kadar Hemoglobin Terglikasi (HbA1c)
dan Morisky Medication Adherence Scale (MMAS)-8 pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Bakti Jaya Kota Depok, Thesis,
Universitas Indonesia Jakarta. 2012; 30-61.
61. Chopra P, Kumar TSS. Correlation of Glucose Level Among Venous,
Gingival, and Finger-prick Blood Samples in Diabetic Patients. J Indian
Soc Periodontol. 2011 Jul-Sep; 15(3): 288-91.
62. Chabot-Richards DS, George TI. White Blood Cell Counts: Reference
Methodology. Clin Lab Med. 2015 Mar; 35(1): 11-24.
63. Decroli E, Karimi J, Manaf A, Syahbuddin S. Profil ulkus diabetik pada
penderita rawat inap di bagian penyakit dalam RSUP Dr M Djamil
Padang. Maj Kedokt Indon. 2008 Jan; 58(1): 3-7.
64. Gallagher JM, Erich RA, Gattermeyer R, Beam KK. Postoperative
hyperglycemia can be safely and effectively controlled in both diabetic and
nondiabetic patients with use of a subcutaneous insulin protocol. JB JS
Open Access. 2017 Feb 14; 2(1): e0008.
47
65. Kautzky-Willer A, Harreiter J, Pacini G. Sex and gender differences in
risk, pathophysiology and complications of type 2 diabetes mellitus.
Endocr Rev. 2016 Jun; 37(3): 278-316.
66. Nurhanifah D. Faktor-faktor yang berhubungan dengan ulkus kaki diabetik
di poliklinik kaki diabetik. Healthy-Mu Journal. 2017 Aug; 1(1): 32-41.
67. Mauvais-Jarvis F. Gender differences in glucose homeostasis and diabetes.
Physiol Behav. 2018 Apr 1; 187: 20-3.
68. Amogne W, Reja A, Amare A. Diabetic foot disease in Ethiopian patients:
A hospital based study. 2011; 25.
69. Sundari A, Aulawi K, Harjanto D. Gambaran tingkat pengetahuan tentang
ulkus diabetik dan perawatan kaki pada pasien diabetes mellitus tipe 2.
JIK. 2009 Sep; 4(3): 181-90.
70. Stratton IM, Adler AI, Neil HA, Matthews DR, Manley SE, Cull CA, et al.
Association of glycaemia with macrovascular and microvascular
complications of type 2 diabetes (UKPDS 35): prospective observational
study. BMJ. 2000 Aug 12; 321(7258): 405-12.
71. Dhatariya K, Levy N, Kilvert A, Watson B, Cousins D, Flanagan D, et al.
NHS Diabetes guideline for the perioperative management of the adult
patient with diabetes. Diabet Med. 2012 Apr; 29(4): 420-33.
72. Hoogwerf BJ. Postoperative management of the diabetic patient. Med Clin
North Am. 2001 Sep; 85(5): 1213-28.
73. Jeon CY, Furuya EY, Berman MF, Larson EL. The role of pre-operative
and post-operative glucose control in surgical-site infections and mortality.
PLoS One. 2012; 7(9): e45616.
74. Sumpio BE. Contemporary evaluation and management of the diabetic
foot. Scientifica (Cairo). 2012; 2012: 435487.
75. Takahashi J, Shono Y, Hirabayashi H, Kamimura M, Nakagawa H, Ebara
S, et al. Usefulness of white blood cell differential for early diagnosis of
surgical wound infection following spinal instrumentation surgery. Spine
(Phila Pa 1976). 2006 Apr 20; 31(9): 1020-5.
48
49
LAMPIRAN
Lampiran A: Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Responden
Tujuan Penelitian:
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan kadar gula
darah dan leukosit sebelum dan sesudah tindakan debridement surgical pada ulkus
diabetikum derajat III dan IV
A-1
Tata Cara/Prosedur:
Tidak ada
Manfaat umum adalah sebagai pembaruan ilmu mengenai alasan tambahan akan
pentingnya debridement surgikal sebagai standar baku emas dalan
penatalaksanaan ukus DM derajat III dam IV untuk mencegah komplikasi yang
lebih parah.
Prosedur alternatif:
Tidak ada
Kerahasiaan data:
Keseluruhan dari hasil data yang diperoleh hanya dapat dilihat oleh peneliti dan
akan disimpan di lokasi yang aman dimana dibutuhkan password dan akses
pribadi untuk melihat data dikomputer.
Kesukarelaan:
A-2
Keputusan untuk menjadi subjek dari penelitian ini bersifat sukarela. Anda berhak
mengikut serta menjadi subjek penelitian dan sebaliknya.
Wawancara dan pengisian kuesioner akan memakan waktu kurang lebih 5 menit.
Pengukuran luas luka akan memakan waktu kurang lebih 5 menit.
Pertanyaan:
Bila sewaktu-waktu Anda membutuhkan keterangan lebih lanjut, Anda dapat
mengubungi saya, Tania di 08192190363 atau menemui saya di Fakultas
Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang.
A-3
Lampiran B: Surat Pernyataan Persetujuan Keikutsertaan (Informed
Consent) Pasien
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN (PSP)
UNTUK IKUT SERTA DALAM PENELITIAN
(INFORMED CONSENT)
Saya dengan sukarela untuk ikut serta dalam penelitian ini tanpa tekanan/paksaan
siapapun. Saya akan diberikan salinan lembar penjelasan dan formulir persetujuan
yang telah saya tandatangani untuk arsip saya.
Saya setuju:
Ya/Tidak*)
B-1
Lampiran C: Dummy Table
Nama, Rekam Medis Nama, Rekam Medis
Usia
Jenis Kelamin
Sepsis ✓/× ✓/×
Stroke ✓/× ✓/×
Hipoglikemia ✓/× ✓/×
Penggunaan steroid ✓/× ✓/×
Derajat 3
Derajat 4
Luas luka (cm2)
Jenis antibiotik
Skor kepatuhan diet DM
Kadar gula darah pre
debridement
Kadar gula darah pasca
debridement
Kadar leukosit pre
debridement
Kadar leukosit pasca
debridement
C-1
Lampiran D: Kuesioner Kepatuhan Diet DM
D-1