Anda di halaman 1dari 57

PREVALENSI KEJADIAN TUBERKULOSIS

PARU YANG TERBUKTI SECARA


BAKTERIOLOGIS DAN KLINIS PADA
PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II DI
RUMAH SAKIT ROYAL TARUMA TAHUN
2017-2018
SKRIPSI

disusun oleh:

DAVID YOHAN

405160093

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERISTAS TARUMANAGARA

JAKARTA

2019
PREVALENSI KEJADIAN TUBERKULOSIS
PARU YANG TERBUKTI SECARA
BAKTERIOLOGIS DAN KLINIS PADA
PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II DI
RUMAH SAKIT ROYAL TARUMA TAHUN
2017-2018
SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar


Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara Jakarta

DAVID YOHAN

405160093

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERISTAS TARUMANAGARA

JAKARTA

2019
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya,yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama: David Yohan

NIM: 405160093

Dengan ini menyatakan, menjamin bahwa skripsi yang diserahkan kepada


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara berjudul:

Prevalensi kejadian Tuberkulosis paru yang terbukti secara bakteriologis dan


klinis pada penderita Diabetes melitus tipe II di Rumah Sakit Royal Taruma pada
tahun 2017-2018

merupakan hasil karya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar dan tidak melanggar ketentuan plagiarisme dan
otoplagiarisme.

Saya memahami akan menerima segala konsekuensi lain yang berlaku di


lingkungan Universitas Tarumanagara apabila terbukti melakukan pelanggaran
ketentuan plagiarisme dan otoplagiarisme.

Pernyataan ini dibuat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan dari pihak
manapun.

Jakarta, 2019

Penulis,

David Yohan

405160093

Universitas Tarumanagara ii
PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi yang diajukan oleh:

Nama : David Yohan

NIM : 405160093

Program Studi : Pendidikan Kedokteran

Judul Skripsi :Prevalensi Kejadian Tuberkulosis Paru yang Terbukti Secara


Bakteriologis dan Klinis Pada Penderita DM tipe II di Rumah
Sakit Royal Taruma paa tahun 2017-2018

Dinyataka telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran

Pembimbing : dr. Frans J.V Pangalila, Sp.PD (..............................)

DEWAN PENGUJI

KetuaSidang : (..............................)

Penguji 1 : (..............................)

Penguji 2 : (..............................)

Mengetahui,

Dekan : Dr. dr. Meilani Kumala, MS, Sp.GK(K) (..............................)

Ditetapkan di

Jakarta, 2019

Universitas Tarumanagara iii


HALAMAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : David Yohan

NIM : 405160093

Program Studi : Ilmu Kedokteran

Fakultas : Kedokteran

Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memublikasikan karya


ilmiah saya yang berjudul:

Prevalensi Kejadian Tuberkulosis Paru yang Terbukti Secara Bakteriologis dan

Klinis Pada Penderita DM tipe II di Rumah Sakit Royal Taruma pada tahun 2017-
2018

dengan menyantumkan Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara.

Jakarta, 2019

Yang menyatakan,

David Yohan

405160093

Universitas Tarumanagara iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis akhirnya dapat
menyelesaikan skripsi dengan baik. Skripsi ini merupakan prasyarat agar dapat
dinyatakan lulus sebagai Sarjana Kedokteran. Selama proses pendidikan mulai
dari awal hingga akhir, banyak sekali pengalaman yang didapatkan oleh penulis
untuk berkarir sebagai dokter di kemudian hari.
Selama proses penyusunan skripsi ini penulis mengalami keterbatasan
dalam mengerjakan penelitian. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih
kepada beberapa pihak yang telah mendukung keberhasilan penyusunan skripsi
ini.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada :
1. Dr.dr .Meilani Kumala,MS,Sp.GK(K) selaku dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara dan selaku Ketua Unit Penelitian dan Publikasi
Ilmiah FK UNTAR;
2. dr. Frans J.V Pangalila Sp.PD selaku pembimbing skripsi, yang telah
menyediakan waktu untuk membimbing, membantu, dan mendukung
pembuatan skripsi ini;
3. kedua orang tua dan keluarga saya yang selalu memberikan dukungan
berupa materil dan doa agar skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
4. para sahabat yang banyak membantu dalam proses penyusuna skipsi
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.
Jakarta, ……………2019

Penulis,

David Yohan

405160093

Universitas Tarumanagara v
ABSTRAK

Latar belakang. Prevalensi penderita Diabetes Melitus tipe II dan Tuberkulosis


paru terus meningkat di seluruh dunia. Pasien DM tipe II akan mengalami
penurunan imunitas sehingga mudah terkena infeksi seperti TB paru, yang akan
memengaruhi manifestasi klinis dan hasil tatalaksana penderitanya. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi kejadian Tuberkulosis paru
pada penderita Diabetes Melitus tipe II. Metode. Penelitian ini adalah studi
deskriptif menggunakan metode cross sectional dengan sampel berupa data rekam
medis dari 107 pasien DM tipe II dengan TB paru di Rumah Sakit Royal Taruma
tahun 2017-2018. Hasil. Didapatkan prevalensi TB paru pada penderita DM tipe
II sebesar 9,4%. Berdasarkan pemeriksaan sputum BTA, didapatkan 8 responden
positif TB. Berdasarkan pemeriksaan radiologis, didapatkan 9 responden dengan
kesan TB paru, dan berdasarkan riwayat pengobatan OAT, didapatkan juga 10
responden menderita TB. Kesimpulan. TB paru merupakan salah satu komplikasi
DM.

Kata kunci: Diabetes Melitus tipe II, Tuberkulosis paru

Universitas Tarumanagara vi
ABSTRACT

Background. The prevalence of type II diabetes mellitus patients and pulmonary


tuberculosis continues to increase throughout the world. Type II DM patients will
experience a decrease in immunity so that they are susceptible to infections such
as pulmonary TB, which will affect the clinical manifestations and treatment
outcomes of the sufferer. The purpose of this study was to determine the
prevalence of pulmonary tuberculosis in patients with type II diabetes mellitus.
Method. This study was a descriptive study using a cross sectional method with a
sample in the form of medical record data from 107 type II DM patients with
pulmonary TB at the Royal Taruma Hospital in 2017-2018. Results. It was found
that the prevalence of pulmonary TB in patients with type II DM was 9.4%. Based
on BTA sputum examination, 8 respondents were positive for TB. Based on
radiological examination, 9 respondents were obtained with the impression of
pulmonary TB, and based on a history of OAT treatment, 10 respondents also had
TB. Conclusion. Pulmonary TB is one of the complications of DM.
Keywords: Type II diabetes mellitus, pulmonary tuberculosis

Universitas Tarumanagara vii


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS………………………….. ii
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………... iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………... iv
DAFTAR TABEL………………………………………………………….. vii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………. vii
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………… ix
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….. xi
1. PENDAHULUAN………………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………….. 2
1.2.1 Pernyataan Masalah…………………………………………….. 2
1.2.2 Pertanyaan Masalah…………………………………………….. 2
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………… 2
1.3.1 Tujuan Umum…………………………………………………... 2
1.3.2 Tujuan Khusus………………………………………………….. 2
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………. 2
1.5.1 Manfaat Penelitian Bagi Peneliti………………………………... 2
1.5.2 Manfaat Penelitian Bagi Instansi Kesehatan ………………….. 2
1.5.3 Manfaat Penelitian Bagi Masyarakat Umum…………………… 3
2. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….. 4
2.1 Diabetes Melitus………………………………………………………. 4
2.1.1 Definisi Diabetes Melitus……………………………………….. 4
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus……………………………………. 4
2.1.3 Patogenesis Diabetes Melitus tipe II…………………………… 5
2.1.4 Gejala Klinis Diabetes Melitus tipe II………………………......8
2.1.5 Diagnosis Diabetes Melitus tipe II……………………………… 9
2.1.6 PenatalaksanaanDiagnosis Diabetes Melitus tipe II…………..... 10
2.1.7 Komplikasi Diabetes Melitus tipe II……………….…………… 14
2.2 Tuberkulosis Paru…………………………………………………….. 16
2.2.1 Definisi Tuberkulosis…………………………………………… 16
2.2.2 Epidemiologi Tuberkulosis………….………………………… 16
2.2.3 Klasifikasi PasienTuberkulosis……………………………...…..17
2.2.4 Patogenesis Tuberkulosis ……..………………………………... 19
2.2.5 Gejala Klinik Tuberkulosis Paru………………...……………… 20
2.2.6 DiagnosisTuberkulosis Paru…………………………………….21
2.2.7 Tatalaksana Tuberkulosis Paru…………………………………..23
2.3 Hubungan Diabetes Melitus dan Tuberkulosis Paru………………….. 26
2.4 Kerangka Teori……………………………………………………….. 27
2.5 Kerangka Konsep……………………………………………………... 28
3. METODE PENELITIAN………………………………………………… 29
3.1 Desain Penelitian……………………………………………………… 29
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian………………………………………… 29
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian………………………………………. 29

Universitas Tarumanagara viii


3.3.1 Populasi Target………………………………………………….. 29
3.3.2 Populasi Terjangkau…………………………………………….. 29
3.3.3 Sampel Penelitian……………………………………………….. 29
3.4 Perkiraan Besar Sampe……………………………………………….. 30
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi………………………………………….. 30
3.5.1 Kriteria Inklusi………………………………………………….. 30
3.5.2 Kriteria Eksklusi………………………………………………… 30
3.6 Cara Kerja Penelitian………………………………………………….. 30
3.7 Definisi Operasional…………………………………………………... 30
3.8 Instrumen Penelitian………………………………………………….. 32
3.9 Pengumpulan Data……………………………………………………. 33
3.10 Analisis Data………………………………………………………….. 33
3.11 Alur Penelitian……………………………………….……………… 33
3.12 Jadwal Pelaksanaan……………………………………………………33
3.13Anggaran Dana…………………………………………………………34

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 35
LAMPIRAN…………………………….…………………………………….37

Universitas Tarumanagara ix
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM………………………………………… 9


Tabel 2.2 Cara Pelaksanaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)………. 10
Tabel 2.3 Pengkategorian Kadar Gula Darah…………………………….. 10
Tabel 2.4 Profil Obat Antihiperglikemia Oral yang Tersedia di Indonesia12
Tabel 2.5 Golongan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)………..……………. 25
Tabel 2.6 Dosis OAT Lini Pertama Untuk Pasien Dewasa……………… 25
Tabel 2.7 Efek Samping OAT Lini Pertama…………………………...…25

Universitas Tarumanagara x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 The Ominous Octet ………………………………………….7


Gambar 2.2 Algoritma pengelolaan DM tipe2 di Indonesia …………….14
Gambar 2.3 Perjalanan alamiah dan outcome setelah paparan droplet sputum
yang mengandung M.tuberculosis dari penderita TB paru aktif
pada individu imunokompeten………………………………20
Gambar 2.4 Foto polos dada pada TB paru. Gambar A, infiltrat pada paru kiri.
B, TB paru bilateral dengan kavitas pada apikal paru
kana…...……………………………………………………..23
Gambar 2.5 Alur Diagnosis TB Paru pada Orang Dewasa ………………24

Universitas Tarumanagara xi
DAFTAR SINGKATAN

ADA American Diabetes Association

BTA Bakteri Tahan Asam

DM Diabetes Melitus

DMG Diabetes Melitus Gestasional

DPP-IV Dipeptidyl Peptidase IV

GDP Glukosa Darah Puasa

GDPT Glukosa Darah Puasa Terganggu

GDS Glukosa Darah Sewaktu

GIP Glucose dependent insulinotrophic polypeptide

GLP-1 Glucagon like peptida -1

HIV Human Immunodeficiency Virus

IDDM Insulin Dependent Diabetes Mellitus

IDF International Diabetes Federation

NIDDM Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus

OAD Oral Antidiabetic Oral

OAT Obat Anti Tuberkulosis

PERKENI Perkumpulan Endokrin Indonesia

PPAR- Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma

SGLT-2 Sodium Glucose Co-Transporter 2

SPS Sewaktu-Pagi-Sewaktu

TB Tuberkulosis

TB-MR Tuberkulosis-Mono Resistant

Universitas Tarumanagara xii


TB-MDR Tuberkulosis-Multidrug Resistant

TB-PR Tuberkulosis-PoliResistant

TB-RR Tuberkulosis-Rifampisin Resistant

TB-XDR Tuberkulosis-Extensive Drug Resistant

TGT Toleransi Glukosa Terganggu

TTGO Tes Toleransi Glukosa Oral

VEGF Vascular Endothelial Growth Factor

WHO World Health Organization

Universitas Tarumanagara xiii


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Borang Data Rekam Medis ........................................................ 38

Universitas Tarumanagara xiv


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Diabetes Melitus(DM) merupakan suatu penyakit metabolik dimana terjadi
penigkatan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia, yang disebabkan
karena kelainan sekresi atau kerja dari insulin.1Saat ini prevalensi penderita
Diabetes melitus terus meningkat pesat, terutama di negara-negara berpendapatan
rendah, termasuk Indonesia. Peningkatan prevalensi ini juga berkaitan dengan
meningkatnya faktor resiko terjadinya DM.Menurut World Health
Organization(WHO) prevalensi orang yang terkena DM secara global telah
meningkat dari 108 juta orang pada tahun 1980 ke 422 juta orang pada tahun
2014.Sedangkan prevalensi DM pada orang berusia 18 tahun keatas terjadi
peningkatan dari 4,7% pada tahun 1980 menjadi 8.5% pada tahun 2014.WHO
juga memperkirakan bahwa pada tahun 2030 DM akan menduduki peringkat
ketujuh penyebab kematian utama di dunia2.Di Indonesia sendiri, menurut
Riskesdas 2013, 6,9% dari penduduk Indonesia yang berumur lebih dari 15 tahun
memiliki DM dan tidak pernah terdiagnosis sebelumnya.Angka kejadian DM ini,
akan terus meningkat dan diperkirakan pada tahun 2030 dapat mencapai 21,3 juta
orang.3
Diabetes Melitus yang tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan
berbagai komplikasi kronik hingga kematian.Salah satu komplikasi yang sering
terjadi adalah rentannya tubuh terserang infeksi. Tuberkulosis paru(TB)
merupakan infeksi yang sering terjadi jika DM tidak ditangani dengan baik.TB
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis,
yang biasanya mengenai paru-paru sehingga disebut TB paru, namun TB juga
dapat mengenai bagian tubuh lain di luar paru sehingga disebut sebagai TB
ekstrapulmonal.4Berdasarkan International Diabetes Federation pada tahun 2012,
penderita DM berisiko 2,5 kali lebih besar untuk terkena TB dibanding yang tidak
menderita DM. 5
Peningkatan kejadian TB paru pada pasien DM, disebabkan karena respon
imunologik yang menurun sehingga memudahkan berkembangnya infeksi
termasuk Mycobacterium tuberkulosis.Kondisi hiperglikemia juga berhubungan
langsung dengan terganggunya fungsi netrofil dan monosit sebagai pertahanan
tubuh, sehingga proses kemotaktik, fagositosis dan daya bakterisid menjadi
menurun yang mengakibatkan kerentanan penderita DM disertai komplikasi
tuberkulosis paru meningkat.6
Tingginya angka resiko terjadinya Tuberkulosis paru pada penderita Diabetes
melitus,membuat penulis tertarik untuk melakukan penilitian tentang prevalensi
kejadian tuberkulosis paru terhadap penderita diabetes mellitus.

Universitas Tarumanagara 1
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Pernyataan Masalah


Belum diketahuinya prevalensi pasien DM tipe II dengan TB paru di
Rumah Sakit Royal Taruma tahun 2017-2018.

1.2.2 Pertanyaan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas,dapat dirumuskan


pertanyaan penelitian yaitu”Bagaimana prevalensi kejadian tuberkulosis
paru yang terbukti secara bakteriologis dan klinis pada penderita diabetes
melitus tipe II di RS.Royal Taruma?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Menurunkan angka kejadian tuberkulosis paru pada penderita diabetes


melitus tipe II

1.3.2 Tujuan Khusus

 Diketahuinya karakteristik klinis penderita DM tipe II


 Diketahuinya persentase kejadian DM tipe II di Rumah Sakit Royal
Taruma pada tahun 2017-2018
 Diketahuinya prevalensi kejadian TB paru yang terbukti secara
baktriologis dan klinis pada penderita DM tipe II di Rumah Sakit Royal
Taruma pada tahun 2017-2018

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi peneliti

 Peneliti dapat mengetahui persentase kejadian TB paru yang terbukti


secara bakteriologis dan klinis pada penderita DM tipe II
 Peniliti dapat membuka wawasan dan memperoleh pengetahuan
mengenai kejadian TB paru pada pasien DM tipe II.

1.4.2 Bagi Instansi kesehatan

Universitas Tarumanagara 2
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru tentang
kejadian TB Paru yang terbukti secara bakteriologis dan klinis pada
penderita DM untuk pihak instansi kesehatan sehingga dapat
meningkatkan kesehatan masyarakat.

1.4.3 Bagi Masyarakat Umum

Memberi pengetahuan dan informasi baru tentang terjadinyaTB paru pada


penderita DM tipe II, yang diharapkan masyarakat dapat mengetahui dan
meningkatkan perilaku kesehatan yang dapat mencegah resiko terjadinya
kejadian tersebut.

Universitas Tarumanagara 3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes adalah sekelompok penyakit metabolik ditandai dengan kondisi


hiperglikemia, dimana terjadi gangguan dalam sekresi insulin, kerja insulin
ataupun keduanya.1

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Association(ADA),Diabetes melitus


diklasifikasikan menjadi 4 macam yaitu:7

 Diabetes melitus tipe I


DM tipe I hanya terjadi 5-10% pada pasien diabetes.Diabetes tipe
ini ditandai dengan adanya kerusakan sel beta pankreas yang
bersifat autoimun dan kebanyakan mengarah ke defisiensi insulin
absolut.Kerusakan sel beta ini ditandai dengan ditemukannya
autoantibodi sel islet, insulinGAD65, tirosin fosfatase IA-2 dan IA-
2β.DM tipe I dapat menyerang semua golongan umur, tetapi lebih
sering terjadi pada anak daripada orang dewasa, ini semua juga
tergantung dari kecepatan kerusakan sel beta pankreas.Pasien DM
tipe 1 membutuhkan suntikan insulin tiap hari untuk mengontrol
glukosa darahnya sehingga dapat mencegah terjadinya
ketoasidosis, koma, dan kematian .Maka itu DM tipe I disebut juga
Insulin Dependent Diabetes Melitus(IDDM).7
 Diabetes melitus tipe II
DM tipe II merupakan tipe diabetes melitus yang sering terjadi
sekitar 90-95% pada pasien diabetes.Diabetes ini ditandai dengan
adanya gangguan kerja insulin dan sekresi insulin yang tidak
adekuat.Pasien DM tipe II jarang menggunakan insulin untuk
mengontrol gula darahnya sehingga disebut juga Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).Hampir kebanyakan pasien

Universitas Tarumanagara 4
DM tipe II mengalami obesitas, dimana obesitas ini berkaitan erat
dengan terjadinya resistensi insulin.Selain itu hipertensi dan
dislipidemia juga sering ditemukan pada pasien DM tipe ini.Resiko
berkembangnya DM tipe II meningkat seiring bertambahnya usia,
kegemukan,dislipidemia, hipertensi, riwayat DM di keluarga dan
kurangnya aktivitas fisik.7
 Diabetes Melitus tipe spesifik lain
DM tipe ini jarang terjadi, dimana meliputi sekitar 10% pada
pasien diabetes.DM ini dapat disebabkan oleh etiologi yang
bervariasi seperti, defek genetik fungsi sel beta pankreas, defek
genetik kerja insulin, penyakit eksokrin panoreas seperti
pankreatitis, kistik fibrosis, dan karsinoma pankreas, endokrinopati,
serta disfungsi pankreas yang disebabkan oleh obat-obatan, zat
kimia, atau infeksi.7
 Diabetes Melitus Gestasional(DMG)
DMG didefinisikan sebagai intoleransi glukosa dengan onset atau
pertama kali diketahui selama masa kehamilan. Sebagian besar
DMG terjadi pada trimester ketiga kehamilan..DMG ini juga
merupakan kondisi yang dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan pada ibu serta janin.Kadar glukosa darah
yang meningkat selama kehamilan ini dapat menetap atau turun
pasca melahirkan.7

2.1.3 Patogenesis Diabetes Melitus tipe II

DM tipe II ditandai dengan gangguan kerja insulin dan sekresi insulin


yang tidak adekuat terhadap organ target seperti hati dan otot.Gangguan
ini menyebabkan terjadinya resistensi insulin relatif yang dapat
menyebabkan kondisi hiperglikemia.Pada awal terjadinya resistensi
insulin, gejala klinis yang dialami masih asimtomatik, dikarenakan tubuh
masih memberi kompensasi dengan cara meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas.Seiring berjalannya hiperinsulinemia akibat
kompensasi ini , menimbulkan gangguan toleransi glukosa yang ditandai

Universitas Tarumanagara 5
dengan peningkatan glukosa sesudah makan.Pada tahap lanjut, sel beta
pankreas sudah tidak dapat mengkompensasi,sehingga menyebabkan
penurunan sekresi insulin serta peningkatan produksi glukosa hepatik.
Akibat konsisi tersebut maka terjadi peningkatan glukosa saat puasa atau
tidak makan atau lebih dikenal dengan kondisi DM.Akhirnya apabila tidak
terkontrol dengan baik maka akan terjadi kegagalan sel beta pankreas.8

Penyebab terjadinya resistensi insulin pada DM tipe II masih


belum jelas. Diperkirakan defek genetik resistensi terhadap insulin akan
menyebabkan kegagalan sel beta.Selain itu beberapa faktor lain seperti
obesitas, stres, pola makan yang tidak seimbang, dan aktivitas fisik yang
kurang, juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada reseptor
insulin di sel beta sehingga terjadi resistensi insulin serta gangguan dalam
sekresi insulin.8

Seorang peneliti bernama De Fronzo, menyatakan bahwa


intoleransi glukosa pada DM tipe II tidak hanya melibatkan organ seperti
otot, hepar, dan sel beta pankreas, tetapi juga terdapat organ lain seperti sel
lemak, saluran pencernaan, sel alfa pankreas, ginjal, dan otak, yang semua
kedelapan organ tersebut disebut sebagai Ominous Octet .1

Gambar 2.1 The Ominous Octet1

Universitas Tarumanagara 6
1. Gagalnya sel β pankreas : pada saat diagnosis ditegakkan , sel beta
pada pasien DM tipe II sudah tidak dapat berfungsi dengan
sempurna.Sehingga terjadi penurunan sekresi dari insulin.
2. Hati: terjadinya resistensi insulin yang berat pada pasien DM tipe II
yang menyebabkan terjadinya glukoneogenesis sehingga glukosa
dalam keadaan basal oleh hati meningkat.
3. Otot : terjadi gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan
sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa pada pasien DM
tipe II.Gangguan ini disebabkan oleh gangguan kinerja insulin di
intramioselular yang merupakan akibat dari gangguan fosforilasi
tirosin.
4. Sel lemak : terjadi resiten efek antilipolisis oleh insulin pada sel
lemak pasien DM tipe II.Gangguan ini menyebabkan peningkatan
asam lemak bebas yang akan memicu proses glukoneogenesis dan
menyetuskan resistensi insulin di hati dan otot.Peningkatan asam
lemak bebas ini juga akan mengganggu sekresi insulin.Gangguan
ini semua disebut lipotoksisitas.
5. Usus : Pada pasien DM tipe II terjadi penurunan edek incretin.Efek
tersebut berkaitan dengan respon insulin yang meningkat saat
diberikan glukosa secara oral. Efek incretin diperankan oleh
hormon GLP-1(Glucagon like peptida) dan GIP(Glucose
dependent insulinotrophic polypeptide) dan pada pasien dengan
DM tipe II, didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP.
6. Sel Alpa pankreas : merupakan organ yang berperan dalam
hiperglikemia, Pada pasien DM tipe II terjadi peningkatan sel alpa
pankreas, dimana terjadi peningkatan sintesis glukagon dalam
keadaan puasa, sehingga kadar glukosa basal hati meningkat.
7. Ginjal : Pada pasien DM tipe II terjadi peningatan reabsorpsi
glukosa oleh ginjal.Proses ini diperantarai oleh meningkatnya
ekspresi gen SGLT-2(Sodium Glucose co-Transporter), dimana
fungsinya menyerap kembali glukosa yang terfiltrasi pada bagian
convulated tubulus proksimal.

Universitas Tarumanagara 7
8. Otak :Pasien DM tipe II mengalami keadaan resistensi insulin yang
terjadi di otak. Insulin merupakan penekan nafsu makan yang
kuat.Karena terjadi resistensi tersebut maka menyebabkan nafsu
makan pasien justru menjadi meningkat

2.1.4 Gejala Klinis Diabetes Melitus tipe II

DM tipe II pada awalnya jarang sekali menunjukan gejala


klinis,kebanyakan penderita tidak menyadarinya.Penderita DM tipe II baru
menyadari saat timbulnya komplikasi.Gejala klasik yang paling sering
terjadi pada penderita diabetes melitus tipe II yaitu poliuria atau
peningkatan ekresi urin, polifagia atau sering merasa lapar, poldipsia atau
sering merasa haus.Gejala ini berhubungan dengan kondisi hiperglikemia,
dimana kadar glukosa didalam darah tinggi menyebabkan viksositas darah
meningkat menjadi lebih kental sehingga salah satu kompensasi tubuh
adalah dengan kerja ginjal akan membuang air tambahan untuk
mengencerkan darah,sehingga terjadi poliuria.Karena banyak urin yang
dikeluarkan,pasien DM akan merasa haus sehingga ingin minum terus atau
polidipsi.Sedangkan keadaan polifagia pada pasien DM disebabkan oleh
kondisi glukosa darah yang tinggi,resistensi insulin dan penurunan sekresi
insulin.Keaadaan tersebur membuat tubuh menjadi kekurangan energi
karena gagalnya tubuh untuk mengubah glukosa menjadi energi,sehingga
pasien ingin makan terus.8

2.1.5 Diagnosis Diabetes Melitus Tipe II


Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa
darah dengan memerhatikan asal bahan yang dipakai dan cara
pemeriksaannya. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena.
Diagnosis diabetes melitus ditegakkan berdasarkan kriteria kadar glukosa
plasma, baik kriteria kadar glukosa plasma puasa (GDP), tes toleransi
glukosa oral (TTGO) dengan mengecek kadar glukosa plasma 2 jam
postprandial (GD2PP), maupun kadar HbA1c.Pemeriksaan ini dilakukan

Universitas Tarumanagara 8
untuk keperluan screening individu dengan diabetes dan deteksi individu
dengan prediabetes ataupun risiko diabetes.1

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM1


 Glukosa plasma puasa 126 mg/dl (puasa artinya tidak mendapat
asupan kalori tambahan minimal 8 jam terakhir)
 Glukosa plasma 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 g 200 mg/dl
 Glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan gejala klasik DM
 HbA1c 6,5% dengan metode yang memenuhi standar National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)

Tabel 2.2 Cara Pelaksanaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)1


1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, tetap makan dan melakukan
kegiatan jasmani sehari-hari seperti biasa.
2. Berpuasa minimal 8 jam sebelum pemeriksaan, dimulai dari
malam hari. Diperbolehkan minum air putih tanpa glukosa.
3. Melakukan pemeriksaan kadar Glukosa Darah Puasa (GDP).
4. Memberikan beban glukosa sebanyak 75 g untuk orang dewasa,
atau 1.75 g/kgBB untuk anak-anak yang dilarutkan ke dalam 250
ml air dan diminum dalam 5 menit.
5. Berpuasa kembali sebelum pengambilan sampel darah 2 jam
setelah selesai meminum larutan glukosa.
6. Melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam setelah
diberikan beban glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan berlangsung, pasien tetap istirahat dan
tidak merokok.

Hasil pemeriksaan kadar gula darah tersebut dapat dikelompokan menjadi 3


golongan yaitu nomal,prediabetes,dan diabetes(TGO dan GDP terganggu)

Universitas Tarumanagara 9
Tabel 2.3Pengkategorian kadar gula darah1

HbA1c(%) Glukosa darah Glukosa plasma 2 jam


puasa(mg/dl) setelah TTGO(mg/dl)
Diabetes ≥6,5 ≥126 ≥200
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal <5,7 <100 <140

2.1.6 Penatalaksanaan Diabetes melitus

Pengendalian diabetes melitus dapat dimulai dengan pendekatan non


farmakologi,yaitu berupa pemberian edukasi,perencanaan makan,terapi
nutrisi medic,kegiatan jasmani,dan penurunan berat badan bila didapat
berat badan lebih atau obesitas.Apabila dengan langkah-langkah
pendekatan non farmakologi tersebut belum mampu mencapai sasaran
untuk mengendalikan kondisi hiperglikemia,maka diperlukan intervensi
farmakologi dismping tetap melakuakan pengaturan makan dan aktivitas
fisik yang sesuai,agar dapat mencegah terjadinya komplikasi diabetes atau
paling sedikit dapat menghambatnya.Terapi farmakologis dapat diberikan
obat antihiperglikemia yang terdiri dari sediaan oral dan juga suntik.Obat
hiperglikemia oral dapat dibagi menjadi 5 kelompok berdasarkan cara
kerjanya, yaitu:1,9

 Obat yang memacu sekresi insulin


-Sulfonilurea
Bekerja pada sel beta pankreas untuk meningkatkan sekresi insulin.
Efek samping yang dapat timbul adalah berat badan meningkat dan
hipoglikemia. Oleh karena itu, hati-hati penggunaan sulfonilurea pada
pasien resiko tinggi hipoglikemia, seperti lansia, individu dengan
gangguan fungsi hepar dan ginjal.
-Glinid
Bekerja dengan cara yang sama seperti sulfonilurea, terdiri dari
Repaglinid dan Nateglinid. Golongan glinid meningkatkan sekresi
insulin dan menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Efek
samping yang dapat timbul adalah hipoglikemia.
 Obat yang meningkatkan sensitivitas terhadap insulin

Universitas Tarumanagara 10
-Metformin
Kerja utama metformin adalah mengurangi produksi glukosa hepatik
melalui glukoneogenesis dan memperbaiki penggunaan glukosa di
perifer. Merupakan obat pilihan utama untuk DM tipe II.. Efek
samping yang dapat timbul adalah gangguan gastrointestinal seperti
mual, diare, atau keram perut.
-Tiazolidindion (TZD)
Bekerja dengan mengaktivasi Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor yang terdapat pada otot,
jaringan lemak, dan hepar, sehingga meningkatkan sensitivitas
terhadap insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa. Contoh obat golongan TZD adalah Pioglitazone.
Kontraindikasi pada pasien gagal jantung, karena TZD meningkatkan
retensi cairan sehingga mempercepat edema pada pasien tersebut.
Perlu diperhatikan juga penggunaan pada individu dengan gangguan
fungsi hati.
 Obat yang menghambat penyerapan glukosa di saluran cerna(Inhibitor
-Glukosidase)
Bekerja dengan menghambat -Glukosidase intestinal untuk
memperlambat penyerapan glukosa di usus halus, sehingga kadar
glukosa darah sesudah makan menurun. Contoh obat golongan
inhibitor -Glukosidase adalah Acarbose. Efek samping yang dapat
timbul adalah kembung dan flatus.
 Obat yang menghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Bekerja dengan menghambat aktivitas enzim DPP-IV, sehingga
konsentrasi Glucose-like Peptide-1 (GLP-1) tinggi dan dapat
meningkatkan sekresi insulin serta menurunkan sekresi glukagon.
Contoh obat golongan inhibitor DPP-IV adalah Sitagliptin dan
Linagliptin.
 Obat yang menghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-Transporter 2)
Bekerja dengan menghambat transporter glukosa SGLT-2 pada ginjal,
sehingga penyerapan kembali glukosa dapat dihambat dan glukosa

Universitas Tarumanagara 11
lebih banyak diekskresikan lewat urin. Contoh obat golongan inhibitor
SGLT-2 adalah Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, dan
Ipragliflozin.

Tabel 2.4 Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di


Indonesia1

Golongan Cara Kerja Utama Efek Samping Utama Penurunan


Obat HbA1c
Sulfonilurea Meningkatkan BB naik,hipoglikemia 1-2 %
sekresi insulin
Glinid Meningkatkan BB naik,hipoglikemia 0,5 -1,5%
sekresi insulin
Metformin Menekan produksi Dispepsoa,Diare,Asidosis 1-2%
glukosa hati dan lakta
menambah
sensitifitas terhadap
insulin
Alfa Menghambat Flatulen,tinja lembek 0,5 -0,8%
Glukokinase absorpsi glukosa
Inhibitor
Tiazolidindion Menambah Edema 0,5-1,4%
sensitifitas terhadap
insulin
DPP-IV Meningkatkan Sebah,Muntah 0,5-0,8%
Inhibitor sekresi
insulin,menghambat
sekresi glukoagon
SGLT-2 Menghambat Dehidrasi,Infeksi Saluran 0,8-1%
Inhibitor penyerapan kembali Kemih
glukosa di tubuli
distal ginjal

Terapi antihiperglikemia suntik terdiri dari insulin dan agonis GLP-1.1,9

 Insulin
Bekerja dengan mengaktifkan reseptor insulin, meningkatkan ekskresi
glukosa dan menurunkan produksi glukosa hepatik. Berdasarkan lama
kerjanya terdapat 5 jenis insulin, yaitu insulin kerja cepat (Rapid-
acting insulin), kerja pendek (Short-acting insulin), kerja menengah
(Intermediate-acting insulin), kerja ultra panjang (Ultra long-acting
insulin), dan insulin campuran yang terdiri dari insulin kerja pendek

Universitas Tarumanagara 12
dan menengah atau insulin kerja cepat dan menengah (Premixed
insulin). Efek samping yang dapat timbul adalah hipoglikemia, dan
alergi terhadap insulin.
 Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Bekerja dengan mengaktifkan reseptor GLP-1, sehingga sekresi
insulin meningkat, sekresi glukagon menurun. Agonis GLP-1 juga
mempunyai efek menurunkan berat badan dan menghambat nafsu
makan, sehingga dapat digunakan untuk penderita DM tipe II yang
obesitas. Contoh obat golongan agonis GLP-1 adalah Liraglutide,
Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide. Efek samping yang dapat
timbul berupa mual dan muntah.

Di Indonesia sendiri,PERKENI(Perkumpulan Endokrin Indonesia)


telah mengeluarkan algoritma dalam pengendalian DM tipe 2.1

Gambar 2.2 Algoritma pengelolaan DM tipe2 di Indonesia1

2.1.7 Komplikasi Diabtes Melitus

Pada penderita DM yang tidak ditangani dengan baik,maka kondisi


hiperglikemia yang berkelanjutan akan menyebabkan berbagai macam

Universitas Tarumanagara 13
komplikasi.Komplikasi yang terjadi dapat dibagi menjadi komplikasi
vascular dan non vascular.Komplikasi vascular dapat diabagi menjadi
mikrovaskular dan makrovaskular.Komplikasi mikrovasklar bersifat
spesifik bagi penderita diabetes ,yaitu seperti
retinopati,neuropati,nefropati.Sedangkan Komplikasi makrovaskular yang
dapat juga terjadi pada penderita non diabetes tetapi terjadi lebih sering
pada penderita diabetes,yaitu seperti penyakit jantung koroner,penyakit
cerberovaskular.10

 Retinopati diabetik
Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina,mulai dari
retinopati diabetik non proliferatif sampai pendarahan retina yang dapat
menyebabkan kebutaan.Pada retinopati diabetik proliferatif, ditandai
dengan hilangnya sel perisit dan mikroaneurisma.Disamping itu juga
terjadi hambatan pada aliran pembuluh darah yang dapat menyebabkan
terjadinya penyumbatan kapiler.Gangguan tersebut berefek terjadinya
hipoksia lokal.Kondisi ini membuat sel retina merespon dengan
meningkatkan VEGF(Vascular Endothelial Growth Factor) dan terjadinya
neovaskularisasi pembuluh darah.
 Nefropati diabetik
Terjadi peningkatan tekanan glomerular dan disertai meningkatkanya
matriks ekstraselular yang akan menyebabkan terjadinya penebalan
membran basal,ekspansi mesangial,dan hipertrofi glomerular.Gangguan
ini akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi yang akan menyebabkan
perubahan yang mengarah terjadinya glumerulosklerosis
 Neuropati diabetik
Diabetes melitus dapat menyebabkan kerusakan pada saraf di seluruh
tubuh ketika glukosa darah meningkat dan tekanan darah terlalu tinggi.Hal
ini dapat menyebabkan gangguan terhadap sistem pencernaan, disfungsi
ereksi, dan gangguan fungsi lainnya. Organ tubuh yang paling sering
tekena gangguan neuropati adalah bagian ekstremitas bawah, dimana
kerusakannya disebut neuropati perifer.Gejala awal yang dirasakan adalah
rasa sakit, kesemutan, hilangnya rasa sentuh.Gejala tersebut akan membuat

Universitas Tarumanagara 14
pasien DM menjadi mati rasa apabila terjadi luka, sehingga sering tidak
menyadarinya dan berakibat lanjut menjadi ulkus kronik.
 Penyakit Jantung Koroner
Diabetes melitus dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah
koroner.Kerusakan ini disebabkan oleh kadar kolestrol yang tinggi, gula
darah yang tinggi, hingga hipertensi.Faktor penyebab ini dapat memicu
terjadinya aterosklerosis dan akan menyebabkan terjadinya penyakit
jantung koroner.
 Penyakit infeksi kronik
Penderita diabetes melitus mudah terserang penyakit infeksi.Hal ini
dikarenakan kondisi hiperglikemia,yang akan menyebabkan gangguan
imunitas tubuh dimana terjadi gangguan fungsi netrofil dan monosit
sebagai pertahanan tubuh.Gangguan tersebut menyebabkan penurunan
proses kemotaktik, fagositosis dan daya bakterisid.Selain itu juga terdapat
penurunan respon dari T-helper 1 (Th1) ,TNF alpha ,IL-1 dan IL-6,yang
mengakibatkan kerentanan penderita diabetes mellitus terserang infeksi.[8,9]

2.2 Tuberkulosis Paru

2.2.1 Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri


Mycobacterium tuberculosis. Sebagian bakteri ini menyerang paru, tetapi
dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Mycobacterium tuberculosis
terutama mudah menyerang saat imunitas tubuh seseorang rendah.
Apabila penyakit ini tidak diobati maka akan menyebabkan komplikasi
yang serius hingga kematian.11

2.2.2 Epidemiologi Tuberkulosis di dunia

Dalam laporan WHO tahun 2013,diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB


pada tahun 2012. Dimana 1,1 juta orang atau 13% diantaranya adalah
pasien dengan HIV(Human immunodeficiency virus) positif. Sekitar 75%
dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika.Pada tahun 2012

Universitas Tarumanagara 15
,diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TB-MDR(Multi
Drug Resistant) dan 170.000 orang diantaranya meninggal
dunia.Meskipun angka kematian TB cukup tinggi, sebenarnya bisa dicegah
dan disembuhkan.Per kembangan ilmu pengetahuan menyebabkan terjadi
penurunan angka insidensi TB secara global sebesar 2% pada tahun 2012,
juga angka kematian sebesar 45% bila dibandingkan tahun 1990. 11

2.2.3 Kalsifikasi Pasien Tuberkulosis

Menurut Depkes RI tahun 2014,pasien TB diklasifikasikan berdasarkan:12

1.Lokasi anatomi dari penyakit


o Tuberkulosis Paru adalah TB yang terjadi pada jaringan parenkim
paru.
o Tuberkulosis Ekstra Paru adalah TB yang terjadi pada organ selain
paru,misalnya pleura,kelenjar limfe,abdomen,saluran
kencing,kulit,sendi,selaput otak dan tulang.

2.Riwayat Pengobatan sebelumnya


o Pasien baru TB adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah mengonsumsi Obat
Antituberkulosis (OAT) namun kurang dari 1 bulan atau kurang
dari 28 dosis.
o Pasien yang pernah diobatin TB adalah pasien yang sebelumnya
sudah pernah mengonsumsi OAT selama 1 bulan atau lebih (≥28
dosis). Kemudian pasien diklasifikasikan berdasarkan hasil
pengobatan TB terakhir, yaitu:
a) Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap kemudian didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis.
b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal adalah pasien TB yang
pernah diobati kemudian dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up) adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow
(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah
putus berobat)

Universitas Tarumanagara 16
d) Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil
pengobatan akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
o Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
3.Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pada klasifikasi ini pasien dikelompokkan berdasarkan hasil uji kepekaan
contoh uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat
berupa:
o Mono resistance (TB MR) adalah resistan terhadap salah satu jenis
OAT lini pertama.
o Poli resistance (TB PR) adalah resistan terhadap lebih dari satu
jenis OAT lini pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R)
secara bersamaan.
o Multi drug resistance (TB MDR) adalah resisten terhadap isoniazid
(H) dan rifampisisn (R) secara bersamaan.
o Extensive drug resistance (TB XDR) adalah TB MDR yang juga
resisten terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
resistan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan
seperti kanamisin, kapreomisin, dan amikasin.
o Resistance Rifampisin (TB RR) adalah resistan terhadap
rifampisisn dengan atau tanpa resisten terhadap OAT jenis lain
yang terdeteksi menggunakan uji genotip (tes cepat) atau metode
fenotip (konvensional).
4.Klasifikasi pasien TB berdasarkan status Human Immunodeficiency
Virus (HIV)
o Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) adalah
pasien TB dengan hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang
mengonsumsi Obat Antiretroviral (ART) atau hasil tes hiv positif
pada saat pasien tersebut didiagnosis TB.
o Pasien TB dengan HIV negatif sebelumnya atau hasil tes HIV
negatif pada saat pasien tersebut didiagnosois TB dengan catatan:
Apabila pada pemeriksaan yang dilakukan selanjutnya ternyata

Universitas Tarumanagara 17
hasil tes HIV menjadi positif, pasien tersebut harus disesuaikan
kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV positif
o Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB
tanpa ada bukti pendukung dari hasil tes HIV yang telah dilakukan
saat diagnosis TB ditetapkan dengan catatan: Apabila pada saat
pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV, pasien
harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV
terakhir yang dilakukan

2.2.4 Patogenesis Tuberkulosis Paru

Transmisi Mycobacterium tuberculosis disebarkan melalui droplet oleh


orang yang positif tuberkulosis paru.Jika terhirup droplet yang
disebarkan,maka bakteri akan menempel di seluruh saluran
pernafasan.Tubuh akan melakukan pertahanan dengan menghasilkan
mukus lebih banyak untuk menangkap bakteri yang masuk,selain itu
makrofag dan netrofil juga akan teraktivasi.Apabila pertahan tubuh dapat
melawan dari serangan bakteri,maka bakteri akan mati,tetapi apabila
bakterinya menetap ,maka selanjutnya akan bersarang di jaringan paru
membentuk fokus ghon.Mycobacterium tuberculosis juga menyebar
lewat saluran limfe dan kelenjar limfe sehingga terbentuknya kompleks
primer.Waktu antara masuknya bakteri tuberculosis sampai terbentuknya
kompleks primer sekitar 2-12 minggu.Setelah Kompleks primer
terbentuk,maka muncul imunitas seluler yang ditandai dengan uji
tuberkulin postif.13

Mycobacterium tuberculosis dapat menetap secara dormant.Hal ini


disebabkan karena bakteri dapat tersebar secara occult hematogenic spread
,yaitu secara perlahan sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Selain itu
bakteri TB juga dapat menyebar secara acute generalisata hematogenic
spread.Bakteri tuberkulosis dapat menyebar ke seluruh tubuh ,seperti
apeks paru membentuk fokus simon,limfa,kelenjar limfe,otak,tulang ,dan
lain-lain.

Universitas Tarumanagara 18
Apabila imunitas tubuh turun,bakteri TB yang menetap ,dapat
menimbulkan infeksi sekunder dimana dapat terbentuk nekrosis perkejuan.
Kondisi ini merupakan hasil dekstruktif dari jaringan ikat sekitar infeksi
serta hasil dari makrofag,sitokin proinflamasi,TNF alfa,dan interferon
gamma.Kerusakan itu semuanya menyebabkan terjadinya hidrolisis
protein lipid dan asam nukleat.Dan apabila dilakukan proses pengeluaran
dari paru ,maka akan terbentuk kavitas diparu.13

Gambar 2.3 Perjalanan alamiah dan outcome setelah paparan droplet


sputum yang mengandung M.tuberculosis dari penderita TB paru aktif pada
individu imunokompeten.14

Universitas Tarumanagara 19
2.2.5 Gejala Klinik Tuberkulosis Paru

Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau


kebanyakan pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan.Keluhan yang paling sering terlihat adalah15

 Demam
Demam yang dialami pasien TB Paru biasanya subfebril menyerupai
demam influenza.Tetapi kadang ,suhu tubuh dapat mencapai 41˚C.Demam
biasanya bersifat hilang timbul,sehingga pasien merasa tidak pernah
terbebas dari serangan demam.Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya
tahan tubuh pasien dan berat ringannya bakteri yang masuk.
 Batuk
Gejala ini sering ditemukan pada pasien TB paru.Batuk terjadi karena
adanya iritasi pada bronkus.Batuk ini diperlukan untuk membuang
produk-produk radang yang terjadi.Sifat batuk dapat berupa batuk kering
yang non produktif.Kemudian setelah timbul peradangan,batu dapat
menjadi produktif yang menghasilkan sputum.Keadaan ini dapat berlanjut
menjadi batuk darah,dikarenakan pembuluh darah yang pecah.Kebanyakan
batuk darah pada TB terjadi pada kavitas ,tetapi dapat juga terjadi pada
ulkus dinding bronkus.
 Sesak nafas
Pada TB paru yang ringan,sesak nafas jarang dirasakan.Sesak nafas baru
dirasakan apabila pada TB yang udah berlanjut,yang infiltrasinya sudah
meliputi setengah bagian paru-paru.
 Nyeri dada
Gejala ini jarang ditemukan.Nyeri dada baru dirasakan apabila infiltrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.Nyeri
terjadi akibat adanya gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau
membuang nafas.
 Malaise
Penyakit TB Paru bersifat radang menahun.Gejala malaise yang sering
ditemukan seperti anoreksia,tidak nafsu makan,penurunan berat

Universitas Tarumanagara 20
badan,sakit kepala,meriang,nyeri otot,keringat malam,dan lain-lain.Gejala
malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul tidak teratur.

2.2.6 Diagnosis Tuberkulosis Paru

Dalam menegakan suatu diagnosis TB paru pada orang dewasa,maka harus


dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan bakteriologis,seperti pemeriksaan
mikroskopis langsung,biakan dan tes cepat.Apabila pemeriksaan secara
bakteriologis hasilnya negatif,maka dilakukan pemeriksaan klinis dan
penunjang,seperti foto polos toraks12

 Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung


Pemeriksaan ini berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
pengobatan yang telah dilakukan, dan menentukan potensi penularan TB.
Dilakukan dengan mengumpulkan tiga spesimen dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari berupa Sewaktu-PagiSewaktu (SPS)12
a) S (Sewaktu): Dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali dan pada saat pulang diberi sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pagi di hari kedua.
b) P (Pagi): Dikumpulkan di rumah pada hari kedua di pagi hari.
Pada saat bangun tidur segera dikumpulkan dan diserahkan
sendiri ke petugas di fasilitas pelayanan kesehatan.
c) S (Sewaktu): Dikumpulkan di hari kedua pada saat
mengumpulkan dahak pagi.
 Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk identifikasi Mycobacterium tuberculosis
dengan tujuan untuk menegakan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu .
Pembiakan ini biasa dilakukan di media khusus yaitu Lowenstein
Jensen.Pemeriksaan dilakukan seperti pada pasien TB ekstra paru,pasien
TB anak,Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis
langsung BTA negatif.
 Pemeriksaan foto polos toraks
Pemeriksaan foto polos toraks pada penderita TB paru aktif menunjukkan
karakteristik berupa infiltrat dengan kavitas pada paru-paru lobus atas dan

Universitas Tarumanagara 21
tengah. Namun, pada penderita TB yang berusia lebih lanjut atau penderita
TB dengan infeksi HIV mungkin tidak menunjukkan karakteristik
tersebut. Meskipun foto polos dada dapat menunjukkan adanya TB, foto
polos bukan merupakan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB.

Gambar 2.4 Foto polos dada pada TB paru. Gambar A, infiltrat pada
paru kiri. B, TB paru bilateral dengan kavitas pada apikal paru
kanan13

Universitas Tarumanagara 22
Gambar 2.5 Alur Diagnosis TB Paru pada Orang Dewasa.12

2.2.7 Tatalaksana Tuberkulosis Paru

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, memperbaiki


kualitas hidup, meningkatkan produktivitas pasien, mencegah kematian,
kekambuhan dan memutuskan rantai penularan serta mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap obat antiberkulosis (OAT) .
Pengobatan TB dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Pada pengobatan tahap awal, obat diberikan setiap
hari.Pengobatan ini dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan jumlah
bakteri TB dalam tubuh pasien secara efektif dan meminimalisir efek dari
bakteri yang mungkin sudah resisten sebelum diberikan pengobatan.
Pengobatan tahap awal ini diberikan selama 2 bulan. Dengan pengobatan
yang teratur dan tanpa penyulit, umumnya daya penularan penderita TB
sudah menurun pada minggu ke 2 pengobatan. Sedangkan, pengobatan

Universitas Tarumanagara 23
tahap lanjutan adalah tahap yang palin penting untuk membunuh sisa
bakteri yang masih ada di dalam tubuh dan mencegah terjadinya relaps.
Pengobatan TB dilakukan dengan memberikan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) yang terbagi menjadi lini pertama dan kedua. Panduan OAT
menurut Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia dibagi
menjadi12
 Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3
 Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
 Kategori anak: 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR
 Obat untuk penderita TB resisten obat yaitu dengan OAT lini ke-2,
yang terdiri dari Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin,
Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin, dan PAS, serta OAT lini
ke-1, Pirazinamid dan Etambutol.

Tabel2.5 Golongan obat antituberkulisis(OAT)12
Golangan obat Obat
Golongan 1/ Obat lini Isoniazid(H),Etambutol(E),Pirazinamide(Z),Rifa
pertama mpisin(R),Streptomycin(S)
Golongan 2 /Obat lini Kanamycin(Km),Amikacin(Am),Capreomycin(C
kedua/injeksi m)
Golongan 3/Gololongan Ofloxacin(Ofx),Levofloxacin(Lfx),Moxifloxacin(
Floroquinolone Mfx)
Golongan 4/Obat Ethionamide(Eto),Prothionamide(Pto),Cycloserin
bakteriostatik lini kedua e(Cs),Para amino salisilat(PAS),Terizidone(Trd)
Golongan 5/Obat yang Clofazimine(Cfz),Linezolid(Lzd),Amoxilin
belum terbukti efikasinya Clavulanate(Amx-
dan tidak direkomendasikan Clv),Thioacetazone(Thz),Claritromycin(Clr),Imip
WHO enem(Ipm)

Tabel 2.6 Dosis OAT lini pertama orang dewasa12

OAT Dosis
Harian 3x/ minggu
Dosis Dosis Maks Dosis Dosis
(mg/kgBB) (mg) (mg/kgBB) Maks/hari
(mg)

Universitas Tarumanagara 24
Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Streptomisin 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000

Catatan: Streptomisin untuk pasien usia >60 tahun atau dengan BB <50kg tidak
dapat mentoleransi dosis >500 mg/hari, sehingga dosis yang diberikan 10

Jenis Sifat Efek samping


Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis
toksik, gangguan fungsi
hati, kejang
Rifampisin (R) Bakterisidal Sindrom flu, gangguan
gastrointestinal, urin
berwarna merah, gangguan
fungsi hati,
trombositopenia, demam,
skin rash, sesak nafas,
anemia hemolitik

Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal,


gangguan fungsi hati,
artritis gout
Streptomisin (S) Bakterisidal Nyeri di tempat suntikan,
gangguan keseimbangan
dan pendengaran, syok
anafilaktik, anemia,
agranulositosis,
trombositopenia
Etambutol (E) Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta
warna, neuritis perifer
Tabel 2.7 Efek samping OAT lini pertama12

Universitas Tarumanagara 25
2.3 Hubungan Diabetes Melitus dengam Tuberkulosis Paru

Peningkatan kejadian Diabetes Melitus yang tidak terkontrol dengan


baik,akan menyebabkan komplikasi, salah satunya seperti infeksi
Tuberkulosis Paru. Hubungan antara DM dan TB paru sudah dilaporkan
sejak tahun 1000 M. Pada tahun 1883, seorang dokter berkebangsaan
Amerika, melakukan autopsi terhadap 333 jenazah penderita DM, dan
ditemukan lebih dari 50% menderita TB paru. Penelitian yang dilakukan
Dobler, dkk menunjukan penderita DM dengan kadar HbA1c >7% lebih
banyak menderita TB paru.Kondisi ini disebabkan oleh keadaan
hiperglikemia, serta insulin jangka panjang yang berisiko tinggi
terkenanya TB paru.Penderita DM memiliki risiko 2 hingga 3 kali lebih
tinggi untuk mengidap penyakit TB paru dibandingkan penderita tanpa
DM.Tetapi dengan meningkatkanya ilmu dan teknologi di bidang
kesehatan,terjadi penurunan angka kejadian pada kedua penyakit
tersebut.16,17
Pada penderita DM terjadi perubahan sistem perthanan paru seperti
terjadi penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang
merupakan akibat dari komplikasi mikroangiopati. Perubahan lain yang
juga terjadi yaitu penurunan elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas
difusi CO, peningkatan endogen produksi CO2, Reaktivitas bronkial
berkurang,dan Penyumbatan saluran napas oleh mukus. Infeksi yang
terjadi ini disebabkan karena terjadi defek sel-sel imun dan mekanisme
pertahanan tubuh pada penderia DM, sehingga memudahkan terserangnya
infeksi M. tuberculosis. 18
Pada penderita DM yan tidak terkomtrol dengan baik dapat terjadi
gangguan kemotaksis, fagositosis, dan antigen presenting terhadap bakteri
M. tuberculosis.Serta menunjukkan penurunan aktivasi makrofag alveolar,
respons Th-1, produksi TNF-α, IFN-γ, dan terjadi peningkatan produksi
IL-1 β dan IL-6 yang merupakan sitokin pro infalamsi.19
Hingga saat ini, belum ada rekomendasi mengenai tatalaksana
pengobatan TB paru pada penderita DM maupun sebaliknya. International
Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) dan WHO

Universitas Tarumanagara 26
memberikan rekomendasi terapi TB paru pada penderita DM dengan
pemberian OAT dan lama pengobatan pada prinsipnya sama dengan TB
paru tanpa DM, dengan syarat gula darah harus terkontrol.Dan apabila
gula darah tidak terkontrol ,maka terapi diperpanjang hingga 9 bulan.12,19,20

2.4 Kerangka Teori

Faktor resiko Diabetes Melitus tipe II


Diabetes
Melitus tipe II
Gula darah tidak
terkontrol

Penurunan imunitas

Defek fungsi Defek fungsi


sel imun fisiologis paru

Paparan terhadap
Mycobacterium
tuberculosis

Tuberkulosis Paru pada


pasien Diabetes Melitus
tipe II

Universitas Tarumanagara 27
2.5 Kerangkah Konsep

Diabetes Melitus Tuberkulosis


tipe II Paru

Universitas Tarumanagara 28
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode cross sectional,
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Pengumpulan data serta penelitian akan dilakukan di di Rumah Sakit
Royal Taruma pada bulan desember 2018 sampai januari 2019.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Target
Populasi target pada penelitian ini adalah penderita DM tipe II.
3.3.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien DM tipe II di Rumah
Sakit Royal Taruma tahun 2016-2018
3.3.3 Sampel Penelitian
Sampel penelitian dalam penelitian ini adalah pasien DM tipe II di Rumah
Sakit Royal Taruma tahun 2016-2018 dengan tuberkulosis paru yang
terbukti secara baktriologis dan klinis
3.4 Perkiraan Besar Sampel

Rumus perkiraan besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini


adalah:
Dengan:

𝑍𝛼 2 𝑃𝑄
n=
𝑑2

n : besar sampel minimal


𝑍𝛼 : kesalahan tipe I (1,96)
P : proposisi penderita DM tipe II di Indonesia (6,9%=0,069)
Q : 1-P (1-0,069 = 0,931)
d : tingkat ketepatan absolut yang diinginkan (5%= 0,05)

Universitas Tarumanagara 29
Maka perhitungan besar sampel adalah sebagai berikut:
𝑍𝛼 2 𝑃𝑄
n=
𝑑2
1,962 x0,069 x 0,931
n=
0,052
0,24678
n=
0,0025
n = 99
Besar sampel minimal penelitian ini adalah 99 sampel.

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.5.1 Kriteria Inklusi

Pasien DM tipe II di rumah sakit Royal Taruma tahun 2017-2018 disertai


tuberkulosis paru dengan BTA positif atau foto toraks postif TB paru atau
pernah atau sedang mengounsumsi OAT minimal 2 bulan.

3.5.2 Kriteria Eksklusi


Mengonumsi OAT kurang dari 2 bulan.
3.6 Cara Kerja Penelitian

Cara pengambilan sampel penelitian ini adalah dengan cara consecutive


non-random sampling dengan data berupa rekam medis pasien DM tipe II
di Rumah Sakit Royal Taruma tahun 2016-2019 dengan Tuberkulosis Paru
yang terbukti secara BTA positif atau foto toraks postif TB paru atau
pernah atau sedang mengounsumsi OAT minimal 2 bulan

3.7 Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Alat Hasil ukur Skala


Ukur Ukur
1 Usia angka yang Rekam Rekam Tahun Numerik
menunjukan Medis Medis
lama seseorang
hidup sejak
lahir sampai
sekarang

Universitas Tarumanagara 30
2. HbA1c Pengukuran Rekam Rekam HbA1c Numerik
kadar Medis Medis terkontrol:
hemoglobin <7%, HbA1c
yang tidak
terglikolisasi terkontrol:
dalam darah, 7%
diambil pada
saat pasien
pertama kali
kontrol
3 Glukosa Angka yang Rekam Rekam GDS Numerik
Darah menunjukan Medis Medis terkontrol:
Sewaktu kadar glukosa <200 mg/dl,
(GDS) dalam darah GDS tidak
yang dapat terkontrol:
diukur kapan 200 mg/dl
saja, diambil
saat pasien
pertama kali
kontrol
4. Gula Angka yang Rekam Rekam GDP Numerik
Darah menunjukan Medis Medis terkontrol :
Puasa kadar glukosa <126 mg/dl
(GDP) darah yang GDP tidak
diukur dengan terkontrol:
melakukan 200 mg/dl
puasa minimal
8 jam
sebelumnya
5 Sputum Pemeriksaan Rekam Rekam Positif atau Nominal
BTA sputum pasien Medis Medis negatif
untuk mencari

Universitas Tarumanagara 31
kuman basil
tahan asam
secara
mikroskopik
dengan
pewarnaan
Ziehl-Neelsen,
diambil saat
penegakkan
diagnosis
pasien
6 Foto Pemeriksaan Rekam Rekam Kesan sesuai Nominal
Toraks radiologik Medis Medis dengan TB
untuk melihat atau tidak
keadaan sesuai dengan
sekitar toraks, TB
meliputi organ
di dalamnya,
diambil saat
penegakkan
diagnosis
pasien
7 Tatalaks Pemberian Rekam Rekam Ya / Tidak Nominal
ana pengobatan Medis Medis
OAT minimal
selama 2 bulan
dan OAD serta
insulin

3.8 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam medis.

Universitas Tarumanagara 32
3.9 Pengumpulan Data

Data yang diambil adalah data sekunder berupa rekam medis pasien DM
tipe II di Rumah Sakit Royal Taruma tahun 2017-2018 yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.

3.10 Analisis Data

Data yang diambil untuk penelitian ini akan dianalisis dengan program
statistik SPSS.Data univariat(Usia,HbA1c,GDS,GDP,Sputum BTA,Foto
Toraks,Tatalaksana disajikan dalam bentuk tabel n(%)

3.11 Alur Penelitian

Permohonan izin kepada Rumah Sakit


Royal Taruma untuk melakukan
penelitian

Pengumpulan data rekam medis pasien DM tipe


II di Rumah Sakit Royal Taruma tahun 2016-
2018 yang memenuhi kriteria inklusi

Pengolahan data

Penulisan laporan

3.12 Jadwal Pelaksanaan

Semester V Semester VI
Kegiatan
7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6
Pembuatan proposal
Mengurus perijinan
penelitian
Pengumpulan data
Pengolahan data
Pembuatan laporan
penelitian

Universitas Tarumanagara 33
BAB 4
HASIL PENELITIAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit Royal Taruma pada
bulan Febuari sampai Maret 2019,diperoleh 108 subjek penelitian. Data diambil
dari rekam medis pasien, berupa usia, jenis kelamin, hasil pemeriksaan penunjang
meliputi pemeriksaan kadar gula darah, sputum BTA, foto toraks, tatalaksana
yang diberikan.

4.1 Tabel Karakteristik Subyek Penelitian

Karakteristik Jumlah(n) Persentase(%) Mean ± Median Min;


SD Max
Usia 60,43±14, 62 25;89
142
Jenis Kelamin
Laki-Laki 61 57,01
Perempuan 46 42,99

Berdasarkan tabel 4.1 diatas, dari 107 responden didapatkan usia rata-rata
sebesar 60 tahun, dengan usia paling muda 25 tahun dan usia paling tua 89 tahun.
Sebanyak 61 responden berjenis kelamin laki-laki, dan 46 lainnya berjenis
kelamin perempuan.

4.2 Tabel Pemeriksaan Penunjang Subyek Penelitian

Pemeriksaan Jumlah(n) Persentase(%) Mean ± Medi Min;Max


SD an
GDS
Dilakukan 107 100 287,14± 267 152;606
85,294
≥200 98 91,58
<200 9 8,42
GDP
Dilakukan 97 90,65 198,49± 189 91;409
66,224

Universitas Tarumanagara 34
≥126 85 79,43
<126 12 11,22
Tidak dilakukan 10 9,35
HbA1c
Dilakukan 92 85,98 8,83±2,2 8,35 3;14,9
7
≥7% 76 71,02
<7% 16 14,96
Tidak Dilakukan 15 14,02
Sputum
BTA(+) 8 7,47
Tidak Dilakukan 99 92,53
Foto Toraks
Sesuai TB 9 8,41
Tidak Sesuai TB 62 57,94
TidakDilakukan 36 33,65

Pada tabel 4.2 diatas, dari 107 responden,hasil pemeriksaan Gula Darah
Sewaktu didapatkan nilai rata-rata1 sebesar 287,14 mg/dl, dengan nilai terendah
152 mg/dl, dan nilai tertinggi 606 mg/dl.Dari 107 responden tersebut,didaptkan
nilai GDS <200 mg/dl sebanyak 9 responden dan GDS ≥200mg/dl sebanyak 98
responden ,dengan nilai terendah 152 mg/dl, dan nilai tertinggi 606 mg/dl.Selain
itu dari hasil pemeriksaan Gula Darah Puasa didapatkan hasil nilai rata-rata
sebesar 198,49mg/dl,dengan nilai terendah 91mg/dl dan tertingi 409mg/dl.Dari
pemeriksaan HbA1c sebanyak 15 responden tidak melakukannya ,namun
sebanyak 92 responden melakukan pemeriksaan ,dan didapatkan nilai rata-rata
sebesar 8,83% dengan nilai terendah 3% dan nilai tertinggi 14,9%,serta hasil yang
<7% sebanyak 16 orang sedangkan yang ≥7% sebanyak 76 orang.Selain itu tabel
diatas didapatkan hasil pemeriksaan sputum BTA, dengan hasil positif pada 8
responden, dan tidak dilakukan pada 99 responden lainnya. Hasil pemeriksaan
foto toraks juga diperoleh, dengan hasil yang sesuai, yaitu menunjukkan kesan
adanya TB paru, baik berupa gambaran infiltrat, fibroinfiltrat maupun kavitas
pada 9responden, hasil yang tidak sesuai atau tidak menunjukkan kesan TB paru
melainkan menunjukkan kesan adanya Bronkitis dan Pneumonia pada 62
responden, serta tidak dilakukan pemeriksaan foto toraks pada 36 responden.

Universitas Tarumanagara 35
4.3 Tabel Tatalaksana Subyek Penelitian

Jumlah (N) Persentase (%)


Obat Anti Tuberkulosis
Ya 10 9,4
Tidak 97 90,6

Tabel 4.3 menunjukkan dari 107 responden didapatkan sebanyak 10


responden mendapatkan terapi OAT, dan 97 lainnya tidak. Jenis OAT yang
diberikan adalah ProTB4 ,yaitu OAT kombinasi yang terdiri dari Rifampisin,
Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol.

4.4 Tabel Prevalensi Tuberkulosis Paru pada Penderita DM tipe II

Tuberkulosis Pasien Diabetes Melitus Tipe II


Paru n(jumlah) Persentase(%)
Positif 10 9,4
Negatif 97 90,6

Pada tabel 4.4 menunjukan dari 107 responden yaitu penderita DM tipe II
terdiagnosis Tuberkulosis Paru sebanyak 10 orang .Prevalensi TB paru pada
penderita DM tipe II sebesar 9,4%,dimana diagnosis ditegakan berdasarkan
pemeriksaan sputum BTA,Foto toraks dan juga penggunaan OAT teratur.

Universitas Tarumanagara 36
BAB 5
PEMBAHASAN

Pada penelitian ini didapatkan jumlah subjek sebanyak 107 orang.Berdasarkan


hasil penelitian di RS Royal Taruma, didapatkan bahwa rerata penderita DM tipe
2 lebih banyak pasien yang berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan, yaitu
61 laki-laki dan 46 perempuan. Menurut penelitian sebelumnya oleh Alatas A di
RSU Kota Tanggerang Selatan 2013, ditemukan bahwa lebih banyak pasien DM
tipe II dengan TB paru yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 56,2%. Didapatkan
juga dari penelitian ini bahwa usia rata-rata responden adalah 60,3 tahun21, sesuai
dengan penelitian oleh Fauziah,dkk juga yang mendapatkan usia rata-rata pasien
DM tipe II dengan TB paru yaitu 54.66 tahun atau mendekati 60 tahun22.

Dari penelitian ini juga didapatkan hasil pemeriksaan penunjang berupa


pemeriksaan GDS dengan rata-rata sebesar 287,14 mg/dl dan GDP sebesar 198,49
mg /dl, namun pada penelitian yang dilakukan oleh Alisjahbana dkk, data yang
didapat berupa hasil pemeriksaan Gula Darah Puasa dengan nilai median sebesar
215 mg/dl.23

Dari penelitian ini juga didapatkan hasil pemeriksaan kadar HbA1c dengan
rata-rata sebesar 8,83%, berbeda dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa
rata-rata kadar HbA1c pada pasien DM dengan TB adalah sebesar 10.5%.23
HbA1c merupakan nilai yang lebih akurat dibandingkan dengan GDS dan GDP
dikarenakan HbA1c dapat bertahan ditubuh selama 8-12 minggu sehingga
membantu dalam menggambarkan rata-rata gula darah selama 2-3 bulan terakhir.
HbA1c ini juga menjadi indikator jangka panjang pada pasien yang mengevaluasi
kadar gula darah

Pada penelitian ini, didapatkan 10 (9,4%) responden menderita TB paru


yang ditegakkan berdasarkan pemeriksaan bakteriologis, radiologis, dan riwayat
pengobatan. Dari 10 responden tersebut, didapatkan 8 responden positif TB
berdasarkan hasil pemeriksaan sputum BTA. Hal ini berbeda dengan penelitian
yang di lakukan di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil
Padang,dimana didapatkan bahwa hasil pemeriksaan sputum penderita DM tipe II
dengan TB paru lebih sering menunjukkan hasil positif, dimana ditemukan

Universitas Tarumanagara 37
sebesar 3,89% positif TB.22 Pada penelitian ini didapatkan hasil yang lebih besar,
dikarenakan jumlah sampel yang lebih sedikit dibandingkan jumlah sampel pada
penelitian Zeni. Kondisi ini menyebabkan bias pengukuran (measurement bias).

Pada penelitian ini, berdasarkan hasil pemeriksaan foto toraks, didapatkan


kesan TB paru pada 9 orang responden, dengan gambaran berupa infiltrat,
fibroinfiltrat, dan kavitas pada lapang paru yang berbeda-beda. Hal ini sesuai
dengan beberapa penelitian yang menyatakan bahwa gambaran radiologi
penderita TB paru dengan DM menunjukkan gambaran yang atipikal, dimana
pada penderita TB paru biasanya infiltrat ditemukan pada lobus atas paru,
sedangkan pada penderita TB paru dengan DM, infiltrat dapat ditemukan di lobus
paru lainnya. Selain itu juga, pada beberapa penelitian lebih banyak ditemukan
gambaran kavitas dibandingkan dengan gambaran infiltrat maupun
fibroinfiltrat.17,18,22,23

Berdasarkan riwayat pengobatan dengan OAT, hasil penelitian ini juga


ditemukan 10 responden menggunakan OAT yang sudah lebih dari 2 bulan.
Berdasarkan beberapa penelitian, pemberian tatalaksana terhadap penderita DM
tipe II dengan TB paru tidak berbeda dengan penderita DM tipe II saja atau
penderita TB paru saja. Jenis obat dan dosis yang diberikan umumnya sama,
hanya perlu dipertimbangkan interaksi obat seperti pemberian OAT Rifampisin
dengan obat OAT, dimana pemberian Rifampisin dapat menyebabkan
meningkatnya metabolisme obat Antidiabetik oral, dan menyebabkan efek kerja
obat OAD menjadi berkurang. Oleh karenanya, perlu dipertimbangkan
peningkatan dosis untuk obat-obat OAD tersebut. Namun, Metformin merupakan
obat Antidiabetik oral yang tidak dipengaruhi oleh Rifampisin, sehingga
merupakan Antidiabetik oral pilihan utama untuk DM tipe II dengan TB paru.17,18

Dari ketiga cara penegakan diagnosis TB paru, pemeriksaan sputum BTA


merupakan Gold Standard untuk menegakan diagnosis TB paru.Hal tersebut
dikarenakan dengan sputum BTA positif sudah pasti ditemukannya bakteri
M.tuberculosis di sputum penderita TB, sedangkan penegkanan diagnosis
radiologis seringkali tersamakan oleh diagnosis banding lainnya.

Universitas Tarumanagara 38
BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Hasil penelitian diperoleh dari 107 respoden penelitian, dengan usia
rata-rata 60,43 tahun, laki-laki sebanyak 61 orang, sedangkan
perempuan sebanyak 46. Dari hasil pemeriksaan penunjang responden
diperoleh nilai rata-rata GDS sebesar 287,14mg/dl, GDP 198,49%,
HbA1c 8,83%.
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum BTA, didapatkan 8 responden
positif TB. Berdasarkan hasil foto toraks, didapatkan 9 responden
yang menunjukan kesan TB. Sedangkan, berdasarkan riwayat
pengobatan dengan OAT, didapatkan 10 responden menderita TB
paru.
6.2 Saran
1. Bagi peneliti, sebaiknya penelitian jangan hanya terbatas dengan
melihat prevalensi, tetapi dilihat juga hubungan antara Diabetes
Melitus tipe II terhadap Tuberkulosis Paru
2. Bagi instansi terkait, sebaiknya lebih memperhatikan prevalensi
pasien DM tipe II dengan TB paru yang semakin meningkat,apabila
DM tipe II tidsk terkontrol dengan baik, sehingga dapat mengurangi
tingkat mortalitas pasien.

Universitas Tarumanagara 39
DAFTAR PUSTAKA

1. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A,


et al. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di
Indonesia 2015. Jakarta: PB Perkeni; 2015.

2. World Health Organization. Diabetes.(updated 2017 Jul; cited 2018 Okt


27). Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/

3. Kementrian Kesehatan RI. 1Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta:


Infodatin, Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI; 2014.

4. World Health Organization. Tuberculosis (reviewed 2017 Mar; cited 2018


Okt 28) Available at: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/
5. International Diabetes Federation. Diabetes and tuberculosis.2013(cited
2018 Okt 27). Available from:
http://www.idf.org/diabetesatlas/5e/diabetes-and-tuberculosis.
6. M. Delamaire, D. Maugendre, M. Moreno, M.-C. L. Goff, H. Allannic,
and B. Genetet.Impaired Leucocyte Functions in Diabetic Patients.Diabet.
Med., vol. 14, no. 1,29–34, Jan. 1997
7. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes.
Diabetes Care. 2017 Jan; 40(suppl.1):S11-S24.
8. Powers AC. Diabetes Mellitus. In: Jameson JL, editor. Harrison’s
Endocrinology. 2nd ed. New York: McGraw-Hill; 2010. p.267-313
9. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes.
Diabetes Care. 2017 Jan; 40(suppl.1):S11-S24
10. International Diabetes Federation.Complications.(cited 2018 Okt 29).
Available from: https://www.idf.org/aboutdiabetes/what-is-
diabetes/complications.html.
11. Raviglione MC. Tuberculosis. In: Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J, editor. Harrison's Principles of Internal
Medicine. 19thed. New York: McGraw-Hill; 2015. p.1102-1122.
12. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta: Kemetrian Kesehatan RI; 2014.

Universitas Tarumanagara 40
13. Ahmad S. Pathogenesis, Immunology, and Diagnosis of Latent
Mycobacterium tuberculosis Infection. Clin Dev Immunol. 2010 Dec
27;2011
14. Knechel NA. Tuberculosis: Pathophysiology, Clinical Features, and
Diagnosis. Crit Care Nurse. 2009 Apr 1;29(2):34–43.
15. A.Zukifli,B.Asril.Tuberkulosis Paru.In:Setiati S,Alwi I,W.Sudoyo
A,Simadibrata K M,Setiyohadi B,Fahrial Syam A.Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam.6th ed.jakarta:InternalPublishing;2014.
16. Restrepo BI. Diabetes and tuberculosis. Microbiol Spectr. 2016 Dec;4(6).
17. Wijaya I. Tuberkulosis paru pada penderita diabetes melitus. Cermin
Dunia Kedokt. 2015;42(6):412-7.
18. Wulandari DR, Sugiri YJ. Diabetes melitus dan permasalahannya pada
infeksi tuberkulosis. J Respir Indo. 2013 Apr;33(2):126-34.
19. Baghaei P, Marjani M, Javanmard P, Tabarsi P, Masjedi MR. Diabetes
mellitus and tuberculosis facts and controversies. Journal of Diabetes &
Metabolic Disorders. 2013 Dec 20;12(1):58.
20. International Diabetes Federation. TB and Diabetes risks, managements,
and improving outcomes. Diabetes Voice. 2016 (cited 2017 Oct 3);61(1):
Available from: https://www.idf.org/e-library/diabetes-voice/issues/49-
march-2016.html?layout=article&aid=315
21. Alatas A.Prevalensi Tuberkulosis Paru dengan BTA positif pada penderita
Diabetes Melitus Tipe II di Rumah Sakit Umum Kota Tanggerang Selatan
tahun 2013.2013
22. Fauziah DF, Basyar M, Manaf AM. Insidensi Tuberkulosis Paru pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam
RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016 Aug
11;5(2)
23. Alisjahbana B, Sahiratmadja E, Nelwan EJ, Purwa AM, Ahmad Y,
Ottenhoff THM, et al. The effect of type 2 diabetes mellitus on the
presentation and treatment response of pulmonary tuberculosis. Clin Infect
Dis. 2007 Aug 15;45(4):428–35.

Universitas Tarumanagara 41
LAMPIRAN

Borang Data Rekam Medis

Data Dasar Pasien

Nomor rekam medis :


Nama pasien :
Jenis kelamin : L / P
Usia :

Profil Klinis & Laboratorium

Gula darah sewaktu :


Gula darah puasa :
HbA1c :
Foto toraks :
Sputum BTA :

Tatalaksana Diabetes Melitus tipe II

Insulin Ya / Tidak merek: dosis:


Anti Diabetik Oral Ya / Tidak nama obat: dosis:

Tatalaksana Tuberkulosis Paru


OAT Ya/Tidak Lini I / Lini II nama obat: dosis:

Universitas Tarumanagara 42

Anda mungkin juga menyukai