Anda di halaman 1dari 5

Isaiah Berlin dan Wajah Ganda Kebebasan

Isaiah Berlin (Ilustrasi by Arturo Espinosa)

Isaiah Berlin, salah satu pemikir besar abad 20, berusaha mencari akar persoalan dalam liberalisme,
sembari mengemukakan bagaimana mengonseptualisasikan dan mengoperasikan paham yang bisa bunuh
diri ini.

Rasanya cukup sulit diterima nalar bahwa serangan Israel ke Palestina dan Libanon, juga serangan
Amerika Serikat ke Irak dan Afganistan, adalah misi pembebasan. Tapi juga adalah fakta bahwa berkali-
kali Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, dan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, menyebut
serangannya sebagai misi pembebasan.

Lalu seberapa valid klaim pembebasan yang dilakukan oleh AS dan Israel ketika harus dihadapkan dengan
kenyataan bahwa dampak perang yang mereka kobarkan demikian memilukan? Dengan dalih perluasan
kebebasan, Amerika Serikat dan sekutunya merasa berhak melakukan pemaksaan kehendak kepada dunia.
Atau jangan-jangan konsep kebebasanlah yang justru menyimpan persoalan?

Pertengahan tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa kutukan terhadap
liberalisme (kebebasan), paham yang juga mendasari bangsa Indonesia melawan penjajahan, sesuatu yang
memungkinkan MUI ada. Sebetulnya apa yang dimaksud dengan liberalisme? Sampai batas mana ia
benar-benar membebaskan? Lalu kenapa justru kerap kali mengungkung dan memaksa?

Persoalan definisi telah mengganggu Hayek (1960) dan menemukan penegasannya pada beragam peristiwa
dunia yang dilatarbelakangi oleh konsep liberalisme. Ide kebebasan individu dalam liberalisme ternyata
telah menjadi momok menakutkan bagi kebebasan itu sendiri.

Perang Dunia I dan II adalah buah dari liberalisme. Pembantaian kaum Yahudi pada masa Perang Dunia II
adalah puncak pembelengguan kebebasan individu oleh liberalisme.

Munculnya rezim diktator komunis di Uni Soviet dan Cina juga adalah buah liberalisme. Mewabahnya
kemiskinan di Dunia Ketiga yang diyakini banyak orang sebagai akibat invasi dominasi ekonomi kapitalis
adalah dampak nyata liberalisme. Munculnya rezim ultranasionalis dan politik aliran juga adalah buah
perjuangan liberalisme. Merebaknya terorisme pun tidak bisa dilepaskan dari liberalisme. Demikian pula
gerakan kontra-terorisme yang brutal.

Tentu saja liberalisme juga banyak mendatangkan manfaat bagi umat manusia. Misalnya, progresivitas,
kemajuan peradaban, perdamaian, demokrasi, runtuhnya totalitarianisme, dan sebagainya. Tapi paradoks
liberalisme yang terjadi di dunia nyata tidak bisa diabaikan begitu saja.
Apa yang salah dalam liberalisme yang dianut oleh banyak orang itu? Kenapa banyak contoh justru
menunjukkan bahwa liberalisme membunuh kebebasannya sendiri?

Liberalisme Isaiah Berlin

Isaiah Berlin adalah salah satu pemikir besar abad 20. Ia berusaha mencari akar persoalan dalam
liberalisme, sembari mengemukakan bagaimana mengonseptualisasikan dan mengoperasikan paham yang
bisa bunuh diri ini. Kendati ada persoalan, bukan berarti liberalisme (kebebasan) tidak bisa didefinisikan
atau harus dibiarkan liar dan menjadi instrumen politik-ekonomi siapa saja yang berkepentingan. Isaiah
Berlin adalah salah satu tokoh yang berusaha memperkenalkan konsep liberalisme secara genuine.

Kegelisahan Berlin berawal dari kenyataan sejarah, bagaimana liberalisme melahirkan fasisme,
komunisme, politik identitas, dan Nazisme. Suatu ketika, Berlin menulis sejarah pemikiran Karl
Marx, Karl Marx: His Life and Environment (Berlin: 1963).

Sebetulnya, Marx bagi Berlin tidak begitu menarik. Karena dari awal ia menentang ide totalitariannya.
Berlin terpukau ketika menemukan bahwa ide totalitarian Marx ternyata berangkat dari tradisi pemikiran
liberal Pencerahan, terutama dari filsafat Pencerahan Perancis pada abad ke-18.

Para pendahulu Marx itu adalah orang-orang yang membuka mata dunia dengan pembebasan dari
kegelapan, yakni perlawanan terhadap dogmatisme, tradisionalisme, agama, takhayul, kebodohan, dan
ketertindasan (Berlin: 2001). Dobrakan para filsuf Pencerahan diakui oleh Berlin sebagai prestasi yang
sungguh luar biasa, tapi menimbulkan pertanyaan besar ketika ide Pencerahan bermuara pada
totalitarianisme.

Pertanyaan besar tentang muara totaliter Pencerahan inilah yang ingin dipecahkan oleh Isaiah Berlin.
Bukan berarti Berlin keluar dan menolak sepenuhnya ide Pencerahan, melainkan dia menjadi pengikut
yang tidak penurut (Ahmad Sahal: 2004).

Isaiah Berlin menyimpulkan, inti kisruh Pencerahan adalah klaim universalisme yang diembannya.
Pencerahan, betapapun memperjuangkan pengejawantahan diri individu melalui rasionalisme, tapi ia
mengklaim absolutisme dan universalisme rasio atau kemampuan manusia.

Lihat juga: Menjadi Manusia Utuh dengan Jalan Kebebasan

Menyandarkan segala kebenaran kepada rasionalitas secara langsung telah melakukan klaim kebenaran
absolut, sesuatu yang sebetulnya ditolak oleh Pencerahan itu sendiri, melalui perlawanannya terhadap
klaim kebenaran absolut metafisika, agama, tradisionalisme, dan sebagainya. Dengan demikian,
Rasionalisme Pencerahan adalah bentuk baru dari monisme.

Monisme adalah istilah untuk menyebut jenis universalisme yang dikembangkan para pemikir sejak
Yunani sampai sekarang. Monisme ditandai oleh beberapa ciri pemikiran. Pertama, kaum monis meyakini
bahwa semua pertanyaan yang benar pastilah memiliki satu jawaban yang benar, dan hanya satu, semua
jawaban yang lain pasti salah. Jika jawaban ini tidak kita ketahui, pasti ada orang lain yang mengetahui,
generasi selanjutnya mungkin mengetahui, para nabi yang mungkin mengetahui, atau setidaknya Tuhanlah
yang mengetahui.

Kedua, kebenaran jawaban tersebut pasti bisa diketahui dengan menggunakan metode yang bisa
direalisasikan dan diajarkan kepada semua umat manusia. Dan ketiga, kebenaran diandaikan saling
kompatibel dengan kebenaran yang lain.

Kebenaran diandaikan tunggal dan pasti bisa diketahui melalui berbagai macam cara yang menuju arah
yang sama. Plato percaya bahwa matematikalah jalan menuju kebenaran. Aristoteles meyakini Biologi
sebagai jalannya. Kaum Yahudi, Kristen, dan Islam meyakini bahwa jalan kebenaran itu ada dalam Kitab
Suci. Rousseau percaya bahwa kebenaran itu terungkap oleh jiwa manusia yang bersih, anak yang masih
suci, atau mungkin petani biasa, dan lain-lain. Semua pertanyaan tentang moral, sosial, politik, pasti ada
jawaban yang benar tentangnya dan entah di mana.

Kritik atas Universalisme Pencerahan

Universalisme Pencerahan memang adalah momok yang sangat menakutkan bagi ide pembebasan itu
sendiri. Universalisme Pencerahan membuat manusia seolah-olah menjadi mesin yang bisa diarahkan oleh
satu konsep tertentu yang rigit dan terpola.
Berlin menolak itu semua. Sebab dunia, terutama manusia, bukanlah benda mati yang bisa diukur dengan
menggunakan pola perhitungan yang bersifat pasti. Masing-masing individu memiliki keunikan. Berlin
memulai kritiknya terhadap universalisme Pencerahan dengan melakukan pembagian tradisi pemikiran.

Dalam buku The Hedgehog and The Fox (1953), Isaiah Berlin mengindetifikasi bahwa dalam sejarah
pemikiran, ada dunia kecenderungan utama, yakni pemikir pluralis dan monistik. Berlin mengutip satu bait
syair dari fragmen-fragmen penyair Yunani, Archilochus:

The fox knows many things, but the hedgehog knows one big thing (rubah mengetahui banyak hal,
sedangkan landak mengetahui satu hal besar).

Syair tersebut ingin menunjukkan bahwa segala kecerdikan rubah, yang mengetahui banyak strategi
penyerangan, bisa dikalahkan oleh satu sistem pertahanan landak. Dalam tradisi pemikiran, oleh Berlin,
syair itu diartikan bahwa landak dan rubah adalah tipologi pemikiran.

Di satu sisi, ada orang yang menghubungkan segala sesuatu kepada satu pandangan utama yang tunggal,
satu sistem yang kurang lebih bisa dicari koherensinya. Di sisi lain, ada jenis pemikir yang mengandaikan
banyaknya tujuan, yang kerap kali tidak berhubungan bahkan berkontradiksi. Landak adalah tipologi yang
pertama dan rubah adalah yang kedua. Berlin menulis:

…Dante belongs to the first category, Shakespeare to the second; Plato, Lucretius, Pascal, Hegel,
Dostoevsky, Nietzsche, Ibsen, Proust are, in varying degrees, hedgehogs; Herodotus, Aristotle, Montaigne,
Erasmus, Moliere, Goethe, Pushkin, Balzac, Joyce are foxes.

Berlin juga menyimpulkan bahwa tradisi pemikir Pencerahan cenderung jatuh pada kategori pertama,
landak atau monisme. Berlin kemudian mencurahkan perhatian untuk mengembangkan jenis pemikir
kedua, rubah.

Isaiah Berlin, terutama, terpengaruh oleh tiga tokoh pengkritik Pencerahan: Giambattista Vico, Johann
Goerg Hamann, dan Johann Gottfried Herder. Berlin menemukan amunisi untuk menyerang Pencerahan
langsung ke titik pusatnya ketika Vico melakukan kritik terhadap salah satu Bapak Pencerahan, Rene
Descartes.

Vico mengkritik Descartes dan para pengikutnya yang menempatkan peran vital matematika sebagai ilmu
pengetahuan sains. Bagi Vico, matematika adalah penemuan manusia, yang tentu saja tidak bisa keluar
dari kemanusiaan.

Matematika, sebagai ciptaan manusia, tidak bisa objektif. Bukan matematika yang mengetahui manusia,
melainkan manusialah yang mengetahui matematika. Manusia, oleh karenanya, hanya bisa diketahui segala
detailnya oleh penciptanya, yaitu Tuhan.

Manusia hanya mungkin dipelajari dengan mengapresiasi segala motivasi, tujuan, harapan, ketakutan,
kekhawatiran, cinta, dan sebagainya yang ada pada manusia (Berlin: 1998). Vico dengan tegas
mempertahankan keunikan manusia yang tidak bisa direduksi ke dalam pola-pola tertentu.

Lihat juga: Membela Kebebasan; Apa, Mengapa, dan untuk Apa

Dari teolog dan filsuf Königsberg, J.G. Hamann, Berlin menemukan kritikan yang paling baik bagi tradisi
rasionalisme Pencerahan. Hamann menegaskan bahwa semua kebenaran itu partikular, tidak pernah
bersifat umum.

Rasio, bagi Hamann, tidak cukup memiliki kemampuan untuk menunjukkan eksistensi segala sesuatu. Ia
hanyalah alat untuk mengklasifikasi dan membawa data kepada satu pola tertentu, yang sebetulnya tidak
pernah bisa benar-benar absah sesuai dengan realitas.

Realitas selalu memiliki kejutan-kejutan yang tak terduga. Rasionalisme Pencerahan, bagi Hamann dan
diamini oleh Berlin, mencoba membatasi sesuatu yang sebetulnya tak pernah jelas batasnya, bahkan
mungkin tanpa batas. Dari Hamann, Berlin menyimpulkan, what is real is individual (apa yang riil itu
bersifat individual). Segala sesuatu memiliki keunikan yang selalu berbeda dengan yang lain.

G. Herder juga memberi inspirasi bagi Berlin untuk menyerang universalisme Pencerahan. Herder
memperkenalkan konsep keragaman budaya, dunia manusia, dan pengalamannya dalam sejarah.
Herder percaya bahwa untuk memahami setiap sesuatu, harusnya terlebih dahulu memahami individualitas
dan pembangunannya. Untuk itu, diperlukan kapasitas Einfühlung (feeling intoatau empati) kepada
pandangan, karakter individual dari satu tradisi kesenian, sastra, organisasi sosial, masyarakat, budaya,
atau tahapan-tahapan sejarah.

Herder menolak kriteria kemajuan absolut yang dianut di Paris. Sebab tidak ada budaya yang benar-benar
sepenuhnya bisa diterapkan kepada yang lain. Herder mengemukakan tentang perbedaan dan keunikan
masing-masing budaya, meskipun perbedaan itu bisa disatukan dan memang mungkin.

Tapi pernyataan tentang budaya adalah reduksi. Masing-masing budaya harus hidup dengan keunikannya,
kendatipun tetap ada prinsip yang sama. Kemanusiaan itu tidak satu, melainkan banyak (mankind was not
one but many).

Bagi Herder, setiap prestasi manusia dan semua masyarakat ditentukan oleh standar-standar internalnya
sendiri. Dari sini Berlin masuk ke dalam pembahasan yang cukup paradoks, antara konsep pluralisme dan
liberalisme.

Tiga pemikir yang mempengaruhi dia berada pada jalur pluralis. Pluralisme cenderung membiarkan segala
sesuatu tumbuh. Bahkan mengandaikan bahwa segala sesuatu selalu berbeda, yang sangat mungkin saling
berbenturan. Berlin juga tidak ingin jatuh ke dalam relativisme sempit. Tepatnya, Berlin adalah seorang
pluralis liberal.

Penulis biografi pemikiran Isaiah Berlin terkemuka, John Gray, menyebut Berlin bergerak di antara
pluralisme dan liberalisme (John Gray: 1996). Pluralis karena ia mengandaikan keragaman kebenaran, tapi
juga liberal karena ia mengandaikan kebebasan individu harus selalu terpenuhi.

Dua Konsep Kebebasan

Untuk menjernihkan posisi liberalismenya, Berlin menulis esai panjang, Two Concepts of Liberty (1958).
Dalam esai Two Concept of Liberty, Berlin mengemukakan dua konsep kebebasan yang bertolak belakang:
kebebasan positif (positive liberty) dan kebebasan negatif (negative liberty).

Positive liberty diartikan sebagai kebebasan yang mengarah ke luar. Jenis kebebasan ini adalah adopsi dari
nalar Pencerahan yang menempatkan rasionalisme sebagai unsur terpentingnya. Sementara itu, negative
liberty diartikan sebagai terbebasnya seseorang dari halangan-halangan. Dalam kebebasan negatif, individu
menjadi tuan bagi dirinya sendiri.

Pada akhirnya, kebebasan positif dikenai beban moral untuk melakukan ekspansi kebebasan. Kebebasan
harus disebarluaskan demi tercapainya sebuah kehidupan yang baik. Persoalannya, bagaimana
mendefinisikan kebaikan itu sendiri?

Bagi penganut kebebasan positif, prinsip kebebasan bertumpu kepada rasionalitas. Masalahnya, apa yang
kita sebut sebagai rasionalitas, atau keberakalan, ternyata tidak tunggal. Dari sinilah kemudian muncul
keyakinan monistik. Bahwa pasti ada satu kebenaran rasio yang mengatasi kebenaran rasio yang lain yang
beragam.

Perbedaan dalam tingkat rasionalitas bukan karena kebenaran itu beragam, melainkan tingkat capaian
rasiolah yang beragam. Dalam hal ini, tingkat yang lebih tinggi bisa memberikan penerangan terhadap
yang lebih rendah. Kerap kali hanya karena kurangnya pengetahuan, orang tidak menyadari kebutuhan dan
kepentingannya. Atas dasar ini, pemaksaan atas dasar kebebasan dijustifikasi.

Dengan demikian, sebagaimana diakui oleh Berlin, totalitarianisme ternyata tidak berasal dari konsep lain.
Ia justru berasal dari konsepsi kebebasan itu sendiri. Atas nama pembebasan dan kebaikan umum, Hitler
membantai jutaan orang.

Lihat juga: Raymond Aron, Peneguh Hakikat Kebebasan Manusia

Sementara itu, konsep kebebasan negatif tidak berpretensi untuk mencari siapa yang menindas
kebebasannya, melainkan sejauh mana ia dikontrol. Orang bisa dikatakan bebas ketika semakin banyak hal
yang dia bisa kerjakan secara bebas dan di luar kontrol orang lain.

Model kebebasan negatif Isaiah Berlin sekaligus meneguhkan bahwa dia adalah seorang liberal dan
penganut setia Pencerahan, tapi tanpa universalisme. Liberalisme negatif Berlin juga menjadi bantahan
serius terhadap model liberalisme yang dikembangkan para pendahulunya, seperti Jeremy Bentham, John
Stuart Mill, dan tentu saja Imanuel Kant.

Landasan rasionalitas yang menjadi tumpuan konsep liberalisme Kant jelas tertolak melalui penjelasan di
atas. Bahwa rasionalitas tidak bisa dipakai sebagai ukuran satu-satunya bagi kebenaran. Ia bisa sangat
menindas.

Bentham mendefinisikan kebebasan sebagai tiadanya halangan untuk terpenuhinya hasrat manusia.
Dengan demikian, bagi Bentham, manusia akan semakin bebas ketika hasratnya dikurangi. Konsepsi
seperti ini ditentang oleh Mill, yang menganggap bahwa kebebasan justru adalah terpenuhinya kapasitas
individu untuk memenuhi segala hasrat yang ia inginkan (Richard Bellamy: 2000).

Kritikan Berlin terhadap dua pemikir utilitarian itu adalah karena dicantumkannya tujuan dalam konsep
liberalisme mereka. Tujuan yang dimaksud adalah terpenuhinya hasrat bagi Bentham atau kemaslahatan
bagi Mill. Liberalisme bertujuan atau positif liberty mengandaikan bahwa liberalisme penting bukan pada
dirinya sendiri, melainkan adalah instrumen bagi kepentingan yang lain, yakni utility.

Melalui negative liberty, Isaiah Berlin ingin menegaskan bahwa liberalisme atau kebebasan penting pada
dirinya sendiri. Di sinilah Berlin menjadi penganut liberalisme dan Pencerahan sejati dengan menganulir
tendensi universalisme di dalamnya.

*Sebelumnya terbit di saidiman.com

Anda mungkin juga menyukai