Anda di halaman 1dari 9

T.Wahyuningtyas, et al., Kajian Yuridis Terhadap Perkawinan Colong Suku Adat...

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN COLONG SUKU ADAT OSING


BANYUWANGI
(Legal Study On The Osinger Marriage Community About Colong In Banyuwangi)

Titis Wahyuningtyas, Dominikus Rato, Emi Zulaika


Hukum Perdata Humas Fakultas Hukum Universitas Jember (UNEJ)
Jln. Kalimantan 37, Jember 68121
E-mail: ratodominikus@yahoo.com

Abstrak
Perkawinan colong terdapat makna hukum yaitu salah satu bentuk pemberitahuan kepada seluruh anggota masyarakat bahwa
telah terjadi sebuah peristiwa hukum yaitu perkawinan. Perbuatan hukum dalam perkawinan adat Osing di Banyuwangi
dalam proses adalah sosialisasi dan saksi. Jadi, jika ada pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh perbuatan itu, maka segera
melakukan tindakan hukum. Makna perkawinan menurut masyarakat osing nyata dalam prosesi nyadok atau nyurup. Tata
caranya seorang laki-laki yang melarikan seorang perempuan ke tempat persembunyian yang sudah di siapkan sebelumnya
dan pihak dari keluarga si perempuan tidak mengetahui bahwa anak perempuannya telah pergi bersama seorang laki-laki.
Sehingga dalam perkawinan colong di Desa Boyolangu Kabupaten Banyuwangi timbul akibat hukum pada dasarnya suatu
perbuatan yang tidak menyenangkan dan tidak terpuji, karena perbuatan tersebut akan mempengaruhi status sosial orang tua
dan keluarga. Bagi masyarakat Osing perkawinan colong sudah menjadi kebiasaan berbeda dengan di daerah Lombok
perkawinan colong atau biasa disebut dengan merarik itu sudah menjadi suatu tradisi Suku Sasak Lombok atau didaerah Bali.
Kata Kunci: Perkawinan Colong, Suku Osing

Abstract
Colong in marriage legal meaning that there is one form of notification to all members of the public that there has been an
event that the marriage law. Legal actions in customary marriage Osing in Banyuwangi in the process of socialization and
witnesses. So, if there is a third party who feels aggrieved by the act, then immediately take legal action. Meaning of
marriage according to the real people in the procession Osing nyadok or nyurup. Procedure of how a man who ran into a
woman who has been in hiding places prepared earlier and the family of the woman does not know that his daughter had
gone with a man. So in marriage colong in Banyuwangi Regency Village Boyolangu law essentially arise from an act which
is not fun and not commendable, since such actions will affect the social status of the parents and families. For the people
Osing colong marriage has become a habit different from that in the area of Lombok marriage colong or referred to
merarik it has become a tradition Sasak Lombok or Bali area.
Keywords: Colong in Marriage, Osinger Community

Pendahuluan Dilihat dari perkembangan zaman banyak hal yang


menunjukkan berbagai macam alat perlengkapan yang
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak menyertai suatu upacara Perkawinan, dari pakaian mempelai
pada Garis Khatulistiwa, di antara Samudera Lautan teduh yang beraneka macam menunjukkan latar belakang tata cara
dan Samudera Indonesia. Penduduk yang berdiam dan Perkawinan Adat yang berbeda-beda dikalangan masyarakat
berasal dari Pulau-Pulau itu bermacam ragam Adat Budaya Bangsa Indonesia.
dan Hukum Adatnya. Berbeda-beda karena sejarah Namun demikian walaupun berbeda-beda, tetapi
perkembangan budayanya dari zaman Melayu Polinesia, dikarenakan rumpun asalnya adalah bangsa melayu purba,
pergaulan hidup, tempat kediaman dan lingkungan alamnya meski berbeda-beda masih dapat ditarik persamaan dalam
berbeda. Ada masyarakat yang lebih banyak dipengaruhi hal yang bersifat pokok. Hampir di semua lingkungan
tradisi polinesia, ada yang lebih banyak dipengaruhi Agama masyarakat Adat menempatkan Perkawinan sebagai urusan
Hindu, Islam, dan Kristen, dengan lahirnya Republik keluarga dan menempatkan Perkawinan sebagai urusan
Indonesia maka terwujudlah satu kesatuan cita dari berbagai pribadi.2
masyarakat adat yang berbeda-beda, sehingga menjadi Dalam ruang lingkup lingkungan masyarakat aturan tata
“Bhineka Tunggal Ika”, walaupun berbeda-beda menjadi tertib Perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana
satu kesatuan dalam wadah Negara Pancasila.1 yang dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para
pemuka masyarakat Adat dan atau para pemuka Agama.
Aturan tata tertib itu terus berkembang maju dalam
masyarakat yang mempunyai kekuasaan pemerintahan dan di
1
Hilman Hadikusuma, 1983, Hukum Perkawinan Adat,
Bandung: Alumni, hlm. 11 2
Ibid, hlm. 13

Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2014


T.Wahyuningtyas, et al., Kajian Yuridis Terhadap Perkawinan Colong Suku Adat... 2

dalam suatu Negara. Di Indonesia aturan tata tertib Perkawinan menurut hukum Adat adalah urusan
perkawinan itu sudah ada sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan
sampai masa kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah martabat dan urusan pribadi dan begitu pula ia menyangkut
merdeka. Bahkan aturan Perkawinan itu sudah menyangkut urusan keagamaan. Artinya perkawinan itu bukan saja
warga Negara Indonesia, dan juga menyangkut warga berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga sekaligus
Negara Asing, karena bertambah luasnya pergaulan Bangsa merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi
Indonesia. terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata
Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan,
suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari seperti hak dan kewajiban suami-istri, harta bersama,
pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu kedudukan anak dan kewajiban orang tua, tetapi juga
berada serta pergaulan masyarakatnya. Ia dipengaruhi oleh menyangkut tentang hubungan-hubungan adat istiadat,
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan keagamaan kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan
yang dianut masyarakat bersangkutan. Seperti halnya aturan serta menyangkut upacara-upacara Adat dan keagamaan.
perkawinan Bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi Adat Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan
budaya masyarakat setempat, tetapi juga dipengaruhi ajaran larangan Agama, baik dalam hubungan manusia dengan
Agama Hindu Budha, Islam, dan Kristen, bahkan Tuhannya (ibadah) maupun hubungan manusia dengan
dipengaruhi budaya Perkawinan Barat. Sesuai dengan sesama manusia (mu’amalah) dalam pergaulan hidup agar
pepatah yang berlaku di masyarakat yang berbunyi sebagai selamat di dunia dan selamat di akhirat.5
berikut: “Hal mana berakibat lain padang lain belalang Perkawinan bagi masyarakat Hukum Adat adalah
lain lubuk lain ikannya, lain masyarakat lain aturan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting, oleh karena
perkawinannya”.3 menurut pandangan masyarakat Adat, perkawinan itu
Di kalangan masyarakat Adat yang masih kuat prinsip bukanlah merupakan urusan dari para pihak yang kawin itu
kekerabatannya berdasarkan ikatan keturunan (genealogis), saja atau keluarga dan kerabatnya semata-mata, akan tetapi
maka perkawinan merupakan suatu nilai hidup untuk dapat masyarakat yang tidak ada hubungan kekeluargaanpun yang
meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan tinggal disekitar tempat dilangsungkan perkawinan, ikut
kedudukan sosial yang bersangkutan. Di samping itu, ada bertanggung jawab atau setidak-tidaknya ikut berpartisipasi
kalanya suatu perkawinan merupakan sarana untuk atas pelaksanaan peristiwa penting yang bersangkutan dan
memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah menjauh atau menganggap urusan mereka juga. Sehubungan dengan
retak, ia merupakan saran pendekatan dan perdamaian pentingnya perkawinan menurut masyarakat Adat, Iman
kerabat dan begitu pula perkawinan itu bersangkut paut Sudiyat menyatakan bahwa : “Namun meskipun urusan
dengan warisan kedudukan dan harta kekayaan. Perkawinan keluarga, urusan kerabat dan urusan persekutuan
yang dilakukan sendiri tanpa campur tangan orang tua, bagaimanapun juga, perkawinan itu tetap merupakan urusan
keluarga dan kerabat, menurut pandangan masyarakat Adat hidup pribadi dari pihak-pihak Individual yang kebetulan
adalah perkawinan yang bertentangan dengan Hukum Adat. tersangkut di dalamnya; jadi soal suka atau benci. Jalannya
Perkawinan yang hanya didasarkan pada Hukum Agama proses pada kawin pinang, lebih-lebih bentuk kawin lari
semata-mata adalah tanggung jawab dari yang bersangkutan bersama dan kawin bawa lari mencerminkan ketegangan
sendiri.4 tersebut antara kelompok dan warga selaku oknum”6
Menurut hukum Adat suatu ikatan perkawinan bukan Oleh karenanya Ter Haar menyatakan, bahwa
saja berarti bahwa suami dan isteri harus saling bantu perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga,
membantu dan melengkapi kehidupan rumah tangganya, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi dan
tetapi juga berarti ikut sertanya orang tua, keluarga atau begitupula ia menyangkut keagamaan.7 Lebih lanjut
kerabat kedua pihak untuk menunjang kebahagiaan dan dikatakan oleh Van Hollenhoven, “ dalam Hukum Adat
kekekalan hidup rumah tangga mereka. Kenyataannnya banyak lembaga-lembaga Hukum dan Kaidah-kaidah Hukum
masih terlihat berlakunya dilingkungan masyarakat Adat di yang berhubungan dengan tatanan dunia di luar dan di atas
Indonesia, dengan sistim penguraian yang disesuaikan kemampuan manusia (Hoogere Wereldorde)”.8
dengan alam pikiran masyarakat Indonesia, dan menjauhi Perkawinan dalam arti “perikatan adat”, ialah
alam pikiran orang barat, sebagaimana selama ini kita lihat perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap Hukum
pada kepustakaan Hukum Adat yang lama. Dengan Adat, yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Akibat
demikian, terdapat suatu tinjauan kembali terhadap bahan- hukum ini telah ada sejak perkawinan terjadi, yaitu misalnya
bahan kepustakaan Hukum Adat yang sudah ada yang dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan “rasan
menyangkut Hukum Perkawinan Adat. Perkawinan lari sanak” (hubungan anak-anak, bujang-gadis) dan “rasah tuha”
bersama atau perkawinan bawa lari sehingga dipersingkat (hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami-
menjadi kawin lari. Oleh karena perbuatan itu sebenarnya 5
Ter Haar, 1997, Beginselen en Stelsel van het Adatrecht,
belum merupakan perbuatan perkawinan, bahkan kadang- diterjemahkan oleh Soebekti dalam Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,
kadang tidak menyebabkan terjadinya perkawinan. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, hlm 158.
6
Imam Sudiyat, 1987, Hukum Adat, Sketsa Adat, Yogyakarta:
Liberty, hlm. 108.
3
Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, 7
Ibid, hlm.158
Bandung: Mandar Maju, hlm. 1 8
Hilman Hadikusuma, 1980, Pokok-pokok Pengertian Hukum
4
Ibid. Adat, Bandung: Alumni, hlm. 27.

Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2014


T.Wahyuningtyas, et al., Kajian Yuridis Terhadap Perkawinan Colong Suku Adat... 3

istri).9 Setelah terjadinya ikatan perkawinan, maka timbul Lombok yang pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua (termasuk perkawinan colong di daerah Banyuwangi.
anggota keluarga/kerabat) menurut hukum adat setempat, Masyarakat adat Osing yang menjadi objek penelitian
yaitu dalam pelaksanaan Upacara Adat dan selanjutnya ialah masyarakat Adat Osing yang berada di Desa
dalam peran serta memelihara dan membina kerukunan, Boyolangu Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi. Hal
keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak ini dikarenakan objek yang akan diteliti tersedia di Desa
mereka yang terikat dalam perkawinan. Sejauh mana ikatan Boyolangu. Selain itu, ketua adat atau tetua Adat masyarakat
perkawinan itu membawa Akibat Hukum dalam “ikatan Osing masih ada yang bertempat tinggal di Desa Boyolangu
adat” seperti tentang kedudukan suami dan kedudukan istri, kecamatan Glagah kabupaten Banyuwangi.
begitu pula dengan kedudukan anak dan pengangkatan anak, Hal-hal yang menarik untuk dipelajari yaitu penduduk
kedudukan anak tertua, anak penerus keturunan, anak adat, Osing mempunyai citra tersendiri. Dimana masyarakatnya
anak asuh dan lain-lain, dan harta perkawinan, yaitu harta masih merupakan suatu komunitas yang mempunyai Adat,
yang timbul akibat terjadinya perkawinan tergantung pada kebiasaan dan kepercayaan tersendiri.
bentuk dan sistem Perkawinan Adat tersebut. Bagaimana tata Kriteria dari suatu perkawinan adat juga sangatlah
tertib Adat yang harus dilakukan oleh mereka yang akan beragam dari setiap masyarakat Adat. Tiap daerah tidak
melangsungkan perkawinan menurut bentuk dan sistem seragam dan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor
perkawinan yang berlaku dalam masyarakat Undang-Undang tataran hukum adat di daerah masing-masing. Permasalahan
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ini yang timbul dalam perkawinan colong ini yaitu tentang
mengaturnya. Hal mana berarti terserah kepada selera dan makna dari perkawinan colong, tata cara perkawinan colong
nilai-nilai budaya dari masyarakat yang bersangkutan, asal dan akibat hukum dari perkawinan colong yang terdapat di
saja segala sesuatunya tidak bertentangan dengan Desa Boyolangu Kabupaten Banyuwangi.
kepentingan umum.
Melarikan seorang perempuan dalam KUHP (Kitab Metode Penelitian
Undang-Undang Hukum Pidana) hukum yang berlaku Guna mendukung tulisan tersebut menjadi sebuah karya
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. tulis ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan maka dalam
Hukum didalam kehidupan sehari-hari selalu mengikuti penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian yang
perubahan masyarakat Pasal 332 ayat 1 KUHP yang bersifat yuridis empiris yaitu penelitian yang difokuskan
berbunyi : untuk mengkaji dan menganalisa data-data yang diperoleh di
Karena melarikan perempuan dihukum dengan hukuman lapangan.10
penjara selama-lamanya tujuh tahun, barang siapa Tipe Penelitian yuridis empiris menggunakan
melarikan perempuan yang dibawah umur tanpa instrument yakni penulisan sendiri, karena menggunakan
persetujuan orang tuanya atau walinya tetapi dengan metode pengambilan data yang dilakukan secara observasi
kemauan perempuan itu sendiri dengan maksud untuk partisipasi. Unit analisisnya yaitu pandangan/ide/gagasan
memiliki perempuan itu baik dengan perkawinan maupun atau konstruksi pemikiran anggota masyarakat Osing di Desa
tanpa perkawinan. Boyolangu. Di dalam melakukan sebuah penelitian,
Dari pasal tersebut terdapat istilah melarikan yang Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
berarti membawa pergi perempuan di bawah umur tanpa izin empiris, maka metode pendekatan yang digunakan dalam
orang tua atau walinya walaupun atas kemauan perempuan permasalahan ini adalah metode pendekatan kualitatif, yaitu
itu sendiri dan atau membawa pergi perempuan yang belum suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif,
cukup umur dikarenakan akal tipu, kekerasan atau ancaman yaitu apa yang dikemukakan oleh responden secara tertulis
kekerasan. Maksud membawa lari ialah untuk mempunyai atau lisan, dan perilaku nyata, yang diteliti dan dipelajari
perempuan itu dalam atau luar perkawinan Menurut Pasal adalah objek penelitian yang utuh.11 Dalam penelitian ini
332 KUHP walaupun perempuan yang dibawa lari itu atas digunakan cara pengumpulan data berupa observasi atau
kemauan sendiri tetapi karena ia masih dibawah umur dan pengamatan yang menghasilkan gambaran-gambaran atau
tanpa izin orang tua atau walinya maka yang melarikan deskripsi khusus.12 Sedangkan untuk bahan hukum penulis
karena salahnya dihukum. menggunakan 3 bahan hukum yaitu bahan hukum primer
Pada masyarakat Osing perkawinan lari lebih dikenal diperoleh secara langsung dari hasil penelitian di Desa
dengan sebutan perkawinan colong atau perkawinan colok. Boyolangu, serta hasil wawancara langsung oleh pihak yang
Kata colong berarti mencuri, colok artinya utusan atau duta. terkait dalam hal-hal yang mengungkapkan tentang makna,
Bentuk perkawinan ini sampai sekarang masih dilakukan tata cara, dan akibat hukum dalam perkawinan colong
oleh masyarakat Osing Banyuwangi. Tetapi perkawinan terhadap Suku Adat Osing Banyuwangi. Bahan hukum
colong tidak hanya terdapat di daerah Banyuwangi saja di sekunder yang diperoleh dari studi pustaka dengan
daerah lain juga terdapat perkawinan colong seperti Lombok mengambil data yang diperoleh secara teknis, yang didapat
tepatnya di daerah Suku Sasak. Di sana perkawinan colong dari buku-buku literature, pendapat para sarjana, hasil dari
ini sudah menjadi suatu tradisi Suku Sasak sehingga tidak penelitian dan berbagai bahan yang telah diperoleh, dicatat
akan berpengaruh dalam Hukum Negara, Hukum Agama kemudian dipelajari berdasarkan relevansi-relevansinya
maupun Hukum Adat. Karena sudah menjadi suatu Upacara
Adat dalam kawin lari tersebut yang terdapat di daerah
10
Soerjono Soekamto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum,
Jakarta: UI Press, hlm. 6.
Ibid, hlm. 32
11

9
Ibid, hlm. 28 Ibid, hlm. 13
12

Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2014


T.Wahyuningtyas, et al., Kajian Yuridis Terhadap Perkawinan Colong Suku Adat... 4

dengan pokok permasalahan yang diteliti yang selanjutnya Pembahasan


dilakukan pengkajian sebagai satu kesatuan yang utuh
sehingga dapat mendukung, membantu dan melengkapi Makna Perkawinan Colong Dalam Suku Adat Osing
pembahasan. Bahan hukum tersier yaitu berupa data yang Banyuwangi
memberi petunjuk maupun penjelasa terhadap Data Primer Dilihat dari segi bentuk-bentuk perkawinan terdapat
dan Data Sekunder seperti Kamus, ensiklopedia, internet dan suatu makna dalam perkawinan menurut Hukum Adat Osing
lain-lain. Banyuwangi yang menyebutkan bahwa terdapat beberapa
Cara mengumpulkan bahan hukum dalam penelitian ini makna dalam perkawinan menurut Hukum Adat Osing.
cara mengumpulkan bahan hukum yaitu data berupa Makna perkawinan menurut Hukum Adat Osing memiliki 4
wawancara, yaitu mengajukan pertanyaan secara lisan pada (empat) makna yaitu:13
nara sumber dalam bentuk tanya jawab untuk mendapatkan
data yang diperlukan.Melalui observasi merupakan salah 1. Makna Magis Religius;
satu teknik pengumpulan data yang cukup efektif untuk Makna perkawinan menurut masyarakat osing secara magis
mempelajari suatu sistem Observasi merupakan pengamatan religius terlihat dalam ungkapan ragaku membayar hutang
secara langsung terhadap kegiatan yang sedang berlangsung. kepada rohku. Kata-kata ini diundangkan pada waktu
Hal ini merupakan satu sumber primer atau utama dari pada upacara nyadok atau nyurup. Selain itu ungkapan yang sama
ilmu pengetahuan. Untuk itu diperlukan suatu cara-cara ditemukan juga pada ritual prosesi prasuwun. Makna magis
tertentu yang disebut dengan metode atau metodelogi untuk ini pada masa sebelum masuknya agama wahyu ditujukan
memperoleh suatu deskripsi-deskripsi. Alat pengumpulan kepada roh-roh leluhur dan setelah agama wahyu ritual ini
data ini diperoleh dengan cara wawancara/diskusi, yaitu berubah makna yaitu sebagai ungkapan rasa syukur kepada
berupa kuisioner yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk Tuhan, Allah semesta alam.
kemudian diajukan kepada informan.
Proses penelitian tahap persiapan dimulai dengan 2. Makna Ekonomi;
mengumpulkan terlebih dahulu bahan-bahan kepustakaan Makna ekonomi nyata dalam perilaku arisan dan sumbang
yang berhubungan dengan penelitian ini, kemudian dan lama ungkapan ono rino ono sego ono reno ono rupo
dilanjutkan dengan penyusunan dan pengajuan usulan (ada hari ada nasi ada warna ada rupa) artinya selama masih
penelitian. Setelah dikonsultasikan dengan Dosen ada hari/waktu selalu ada rezeki. Terminologi arisan dalam
Pembimbing untuk penyempurnaan dilanjutkan dengan masyarakat osing berbeda dengan termologi arisan dalam
penyusunan instrument penelitian dan pengurusan ijin termologi arisan pengertian yang umum digunakan dalam
penelitian. Tahap pelaksanaan dalam tahap ini dibagi masyarakat. Arisan dalam termologi osing bermakna
menjadi 2 (dua) yaitu melakukan pengumpulan dan perwujudan kebersamaan atau perasaan ikut menanggung
pengkajian terhadap sumber-sumber informasi yang telah biaya secara bersama-sama. Dalam pepatah adat disebut
terkumpul, yang menghasilkan suatu alat pengumpul data tanggung jawab bersama seluruh anggota kerabat. Inilah
yaitu pedoman wawancara yang berupa daftar pertanyaan merupakan aktualisasi nilai kebersamaan dan gotong royong.
yang nantinya diajukan kepada narasumber dan melakukan Makna ekonominya nampak dalam jumlah yang diterima
wawancara dengan informan dengan menggunakan paduan menjadi sebuah kebanggaan secara materi atau ekonomis.
wawancara yang telah disusun dan dipersiapkan sebelumnya Jika diakhir upacara ada kelebihan, maka kelebihannya ini
yaitu tanya jawab secara lisan. Tahap penyelesaian dijual atau dititipkan pada toko untuk dijualkan.
dilakukan berbagai kegiatan antara lain Analisis Data dan
melakukan konsultasi dengan Dosen Pembimbing. Kajian ini 3. Makna Sosial;
dilakukan di Desa Boyolangu, kecamatan Glagah, kabupaten Makna sosial berkenaan dengan status seseorang sebagai
Banyuwangi, Jawa Timur. Dengan dilakukannya suatu anggota masyarakat. Aktualisasi makna sosial terwujud
pertimbangan kasus perkawinan lari yang ada di Lombok dalam ungkapan mangan sing mangan pokoke kumpul
melalui buku literatur dan dokumen. Dapat di jumpai (walaupun tidak ada makanan yang penting kumpul).
informasi mengenai pelaksanaan perkawinan colong Suku Maknanya adalah mempererat tali persahabatan dan tali
Adat Osing Banyuwangi. Penelitian ini berbicara mengenai persaudaraan yaitu memperkuat kohesi sosial (kekuatan
latar belakang terjadinya perkawinan colong terhadap Suku yang menyangkut aspek hidup masyarakat).
Adat Osing Banyuwangi. Analisis data digunakan adalah
metode diskriptif analisis yaitu mencari dan menemukan 4. Makna Yuridis.
hubungan antara data yang diperoleh dari penelitian dengan Dari keempat makna, makna yuridislah yang menjadi pokok
landasan teori yang ada dan yang dipakai, sehingga analisis ini. Makna perkawinan menurut masyarakat osing
memberikan gambaran-gambaran konstruktif mengenai nyata dalam prosesi nyadok atau nyurup. Sebagaimana
permasalahan yang diteliti. Di samping itu, menggunakan makna ritual, maka makna proses itu adalah salah satu
metode analisis kualitatif, yaitu cara penelitian yang bentuk pengumuman atau pemberitahuan kepada seluruh
menghasilkan data deskriptif analisis yaitu yang dinyatakan anggota masyarakat yang hadir disana bahwa telah terjadi
oleh responden secara tertulis dan lisan, diteliti kembali dan sebuah peristiwa hukum yaitu perkawinan. Prosesi itu
dipelajari sebagai suatu yang utuh.
13
Ridha Andreas Dwiyantoro, 2011, Analisis Yuridis Tentang
Bentuk-Bentuk Perkawinan Menurut Hukum Adat Osing Di Banyuwangi
Dalam Kaitannya Dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Skripsi Universitas Jember.

Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2014


T.Wahyuningtyas, et al., Kajian Yuridis Terhadap Perkawinan Colong Suku Adat... 5

mengatakan bahwa dalam peristiwa hukum ini ada perbuatan 2. Keabsahan Dalam Perkawinan Colong
hukum antara dua keluarga yang saling menjodohkan anak
Suatu perkawinan dapat dikatakan sah, apabila sesuai
mereka. Jadi, jika ada pihak ketiga yang merasa dirugikan
dengan syarat yang ditentukan oleh adat Osing yang dipakai
oleh perbuatan itu, maka segera melakukan tindakan hukum.
oleh masyarakat adat serta syarat administratif yang
Misalnya pengaduan tentang pembatalan perkawinan.
tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Dalam
Menurut dari seorang informan selaku sesepuh adat
melakukan perkawinan colong sebelumnya ada kesepekatan
masyarakat Osing di Desa Boyolangu Banyuwangi,
antara pihak laki-laki dan pihak perempuan namun tanpa
menjelaskan bahwa dalam perkawinan colong yang ada di
sepengetahuan dari dari keluarga si perempuan dalam
Desa Boyolangu mempunyai makna yang sangat sederhana
melaksanakan kawin colong. Perkawinan colong dilakukan
dalam melaksanakan perkawinan. Karena menurut
pada malam hari dan tidak ada orang yang mengetahuinya
masyarakat Osing perkawinan colong ini tidak mengeluarkan
kecuali pihak yang akan melarikan dan pihak yang dilarikan
banyak biaya dan juga tidak menggunakan peningset setelah
serta keluarga dari pihak laki-laki. Setelah perkawinan
perkawinan colong dilakukan. Sehingga mayoritas
colong dilakukan pada pihak laki-laki mengirim seorang
masyarakat Osing terutama di Desa Boyolangu Banyuwangi
colok minimal 2 orang kepada keluarga pihak perempuan.
perkawinan colong ini sudah menjadi suatu tradisi di daerah
Dan pada saat itu juga untuk ditentukan tanggal dalam
tersebut. Perkawinan colong dilakukan apabila dua belah
melaksanakan pernikahan apabila orang tua dari pihak
pihak sudah siap maka perkawinan tersebut dapat dilakukan.
perempuan menyetujuinya dan menerima dengan senang
Tetapi perkawinan colong dapat dilakukan apabila usianya
hati.15
masing-masing kedua belah pihak telah mencukupi atau
sesuai dengan ketentuan undang-undang yang telah 3. Keabsahan Anak Dalam Perkawinan Colong
tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan colong tidak diatur secara khusus dalam
Perkawinan.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
Dalam perkawinan colong dapat terjadi di suatu
akan tetapi secara proses dan pelaksanaan perkawinan
lingkungan masyarakat adat, perkawinan colong bukan
colong tidak melanggar aturan atau kaidah-kaidah yang
hanya di daerah banyuwangi saja tetapi terdapat di daerah-
terdapat di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
daerah lain, misalnya di daerah lombok terdapat perkawinan
tentang perkawinan. Dalam masyarakat hukum adat Osing
colong tetapi lebih terkenal dengan sebutan perkawinan lari
Banyuwangi yang memiliki susunan kekerabatan
(merarik). Meskipun dalam perkawinan colong itu
parental/bilateral, dimana setelah kawin suami menjadi
merupakan pelanggaran adat namun terdapat tata cara dalam
kerabat istri dan sebaliknya istri juga menjadi kerabat suami.
menyelesaikannya.
Maka kedudukan anak dikaitkan dengan tujuan penerusan
1. Makna Hukum Dalam Perkawinan Colong keturunan menurut garis bapak dan ibu. Anak yang
dihasilkan dari suatu perkawinan colong tidak merubah
Pada umunya yang dimaksud perkawinan colong adalah
kedudukan anak tersebut secara adat, anak tersebut masih
bentuk perkawinan yang tidak didasarkan atas persetujuan
berhak dalam mewaris dan meneruskan silsilah
lamaran orang tua, tetapi didasarkan kemauan sepihak atau
kekeluargaannya sesuai dengan garis keturunan bapak dan
kemauan kedua pihak yang bersangkutan. Lamaran dan
ibu. Anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan colong
persetujuan untuk perkawinan diantara kedua belah pihak
dapat dikatakan anak yang sah dan berhak atas hak-haknya
orang tua terjadi setelah kejadian perkawinan colong.Salah
yang melekat dalam dirinya. Hal ini dikarenakan anak yang
satu bentuk pengumuman atau pemberitahuan kepada
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
seluruh anggota masyarakat yang hadir disana bahwa telah
perkawinan yang sah. Anak yang lahir dari suatu perkawinan
terjadi sebuah peristiwa hukum yaitu perkawinan. Perbuatan
yang tidak sah hanya akan mempunyai hubungan
hukum dari hukum adat perkawinan dalam kosmologi
keperdataan dengan ibunya.
masyarakat adat Osing di Banyuwangi bahwa prosesi adalah
sosialisasi dan saksi. Jadi, jika ada pihak ketiga yang merasa 4. Harta Gono Gini Dalam Perkawinan Colong
dirugikan oleh perbuatan itu, maka segera melakukan
Barang-barang yang menjadi harta benda bersama menurut
tindakan hukum. Makna perkawinan menurut masyarakat
pandangan masyarakat Osing di Banyuwangi bahwa harta
osing nyata dalam prosesi nyadok atau nyurup. Pada
gono-gini diperoleh melalui harta campuran antara harta
masyarakat Osing yang prinsipnya kekerabatannya
yang dibawa suami dan harta yang dibawa istri. Harta gono
matrilineal atau parental perkawinan colong adalah
gini dalam perkawinan colong menjadi hak bersama suami
pelanggaran adat yang melanggar kekuasaan orang tua tetapi
istri walaupun mungkin yang mengelola hanya suami, tetapi
sudah banyak terjadi bahwa kasus yang serupa diselesaikan
peran istri yang mengurus rumah tangga dan anak di rumah
dalam perundingan antara kedua belah pihak kerabat orang
cukup berarti dalam pembentukan harta gono gini. Apalagi
tua berangkutan atas dasar persetujuan untuk kawin di antara
istri yang hidupnya sederhana dan mampu mengelola harta
si perempuan dan si laki-laki yang melakukan kawin
benda yang dihasilkan oleh suami. Oleh karena itu, harta
colong.14
gono gini menjadi hak bersama. Jika terjadi perceraian,
maka harus dibagi sama rata. Oleh karena itu, suami istri

14
http://anekaartikelhukum.blogspot.com/ di akses pada hari 15
Wawancara dengan Tarjo, seorang warga masyarakat Osing
Rabu, 18 Desember 2013, pukul 16.00 WIB. Desa Boyolangu, pada hari Minggu, 15 Desember 2013, pukul 16.00 WIB.

Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2014


T.Wahyuningtyas, et al., Kajian Yuridis Terhadap Perkawinan Colong Suku Adat... 6

mempunyai hak yang sama.16 Harta gono gini adalah harta hal ini orang tuanya berpura-pura tidak mengetahuinya.
benda yang dihasilkan oleh suami istri selama masa Namun, setelah sampai di rumah, anak laki-lakinya itu
perkawinan. Perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan langsung membicarakan kepada orang tuanya mengenai
yang sah. Perkawinan yang sah, diatur di dalam undang- duduk perkara mengapa ia berani untuk melarikan
undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Harta gono perempuan pujaannya itu dan mohon segera untuk
gini menjadi milik bersama suami istri, walaupun yang dinikahkannya.
bekerja hanya suami atau istri saja. Tentang kapan Dengan melihat kondisi yang demikian itu umumnya
terbentuknya harta gono gini, ditentukan menurut rasa para orang tua langsung saling membicarakan (berembug)
keadilan masing-masing pihak, namun secara umum dengan anaknya. Setelah itu, orang tuanya laki-laki segera
menentukan, menurut kewajaran, bukan waktu. Jika waktu mengutus dua orang saudaranya atau tetangganya untuk
yang menentukan, maka akan terjadi ketidakadilan. Jika mendatangi rumah orang tua perempuan yang dibawa lari
salah satu meninggal terlebih dahulu, lazimnya harta gono itu. Mereka yang diutus itu biasanya orang yang sudah
gini ini berada di bawah pengusaan dan pengelolaan salah terbiasa atau berpengalaman melakukan hal-hal semacam
satu yang hidup, sebagaimana halnya saat masa itu. Biasanya mereka ini adalah tokoh masyarakat seperti
perkawinan.pihak yang masih hidup berhak menggunakan guru, pegawai atau orang yang dituakan. Orang yang disuruh
harta milik bersama itu untuk keperluan hidupnya serta ke rumah calon besan/calon mertua itu biasa disebut colok.
anak-anak yang masih kecil, tetapi jika keperluan hidupnya Biasanya mereka datang kerumah orang tua yang kehilangan
sudah cukup diambilkan harta bersama, maka sebagian lain anaknya itu malam hari. Setelah sampai di rumah yang dituju
selayaknya dibagikan kepada ahli waris dari pihak suami dan dipersilahkan untuk duduk, kemudian mereka berdua
sebagai jasa suaminya almarhum setelah dikurangi hutang- mengenalkan diri dan silaturahmi. Kalau sekiranya dianggap
hutang. Apabila memiliki anak maka harta bersama itu cukup barulah mereka mengutarakan kedatangannya untuk
diwariskan kepada anak sebagai harta asal mereka.17 melaporkan keberadaan anak perempuannya di rumah orang
tua laki-laki pujaannya dengan kondisi baik-baik.
Tata Cara Dalam Melakukan Perkawinan Colong Suku
Pada waktu colok menyampaikan berita tersebut orang
Adat Osing Banyuwangi
tuanya akan menerima dengan senang hati atau secara baik-
Perkawinan colong yaitu perkawinan yang dilakukan baik tanpa ada ekspresi marah sedikitpun. Hanya saja yang
oleh seorang laki-laki dengan cara melarikan perempuan umum terjadi orang tua tersebut akan menangis. Menurut
idamannya. Dalam perkawinan ini bisa terjadi karena informan seorang tetua adat yang berada di Desa Boyolangu
sebagai berikut:18 Banyuwangi, orang menangis itu tidak berarti kecewa atau
1. Kedua sejoli antara laki-laki dan perempuan itu malu, melainkan hanya berpura-pura menangis karena rasa
sudah saling mengenal tetapi orang tua perempuan suka citanya bahwa anak perempuannya sudah ada yang
gadis pujaannya itu melarangnya dengan alasan meminang secara resmi yang berarti anaknya sudah akan
lain; menikah dengan laki-laki pujaannya dan hidup terpisah dari
2. Orang tua perempuan pujaannya itu sudah orang tuanya. Demikian pula untuk anaknya perempuan
mempunyai calon lain atau bakalan; yang dilarikan (dicolong) karena tidak ada persetujuan dan
3. Orang tua perempuan pujaannya itu sudah sudah dilarikan (dicolong) maka akan merasa senang dan
menyetujui hubungan anak perempuan dengan laki- bahagia.
laki pujaannya, namun karena sesuatu hal terpaksa Terkait dengan perkawinan colong ini kalau sudah ada
menunda-nunda waktu sehingga terpaksa dilarikan. yang datang ke rumah berarti sudah terjawab, yaitu ada yang
Penundaan itu dapat terjadi karena belum melarikan (melayokaken) anaknya, sebetulnya dalam hati
terkumpulnya biaya, dapat juga karena anaknya orang tua dari perempuan yang dilarikan (dicolong)
belum selesai sekolah, atau karena faktor yang lain. menangis dan marah, namun kemarahan itu tidak akan
Menurut dari hasil penelitian di lapangan apabila dalam diperlihatkan karena sudah terlanjur terjadi. Meskipun
perkawinan colong perempuan itu hanya karena persoalan pemilik rumah dari orang tua gadis itu menangis, namun ia
biaya yaitu orang tua perempuan belum mampu untuk setiap saja menemui tamunya dengan ramah. Setelah
membiayai segala peralatan upacara adat yang dibutuhkan menyampaikan berita dan telah diterima dengan baik,
padahal dua sejoli itu sudah tidak mau lagi untuk kemudian kedua colok yang diutus tadi akan memohon diri
menunggunya, maka perkawinan colong akan terjadi dengan pulang dan menyampaikan balasannya kepada yang
aman dan tertib tanpa ada kesulitan yang berarti. Dalam mengutusnya. Sesampai dirumah yang mengutus dan
kasus ini biasanya antara perempuan dan laki-laki pujaannya menyampaikan pembicaraannya dari awal hingga akhir dan
sudah ada perjanjian terlebih dahulu. Jadi, setelah ada bisanya orang tua pihak laki-laki hanya mengucapkan terima
kesepakatan bersama maka bertemulah kedua sejoli itu dan kasih dan semoga amal kebaikannya diterima di sisi Tuhan
langsung dibawa pulang ke rumah orang tuanya yang dalam Yang Maha Esa.
Berhubung orang tua perempuan telah didatangi oleh
Soerojo Wignjodipoero, 1982, Pengantar dan Asas-asas
16
colok, maka pada hari berikutnya kedua orang tua
Hukum Adat, Jakarta: PT. Gunung Agung, hlm. 133
perempuan itu bergantian untuk mengutus orang sebagai
17
Dominikus Rato, 2011, Hukum Perkawinan dan Waris Adat colok balen ke rumah orang tua calon suami anaknya.
(Sistem Kekerabatan, Bentuk Perkawinan dan Pola Perkawinan Adat di Mereka ini datang untuk mencocokkan keberadaan
Indonesia), Surabaya: Laksbang Justitia, hlm. 85
perempuan saudara dan tetangganya itu di rumah orang tua
18
Wawancara dengan Rugito, seorang tetua Adat di Desa laki-laki yang membawa lari. Setelah colok balen itu
Boyolangu, pada hari Minggu, 06 Oktober 2013, pukul 13.00 WIB.

Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2014


T.Wahyuningtyas, et al., Kajian Yuridis Terhadap Perkawinan Colong Suku Adat... 7

bertemu dengan perempuan yang dicarinya dan tahu kondisi berperanan dalam bentuk merestui proses tersebut.
yang sebenarnya, barulah mereka duduk bersama dengan Walaupun penyebab terjadi proses atau peristiwa colongan
orang tua dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. adalah dari salah satu keluarga (orang tua) yang tidak
Setelah mereka bertemu dan tahu keadaan perempuan yang menyetujui calon jodoh (calon pendamping hidup) dari
dilarikan (dicolong), kemudian memohon izin untuk pulang anaknya. Peranan keluarga (orang tua) dalam peristiwa ini
guna melaporkan segala sesuatunya kepada yang tetap melaksanakan perkawinan anaknya dalam bentuk tetap
menyuruhnya. menjadi wali dan tetap membiayai pelaksanaan perkawinan
Beberapa hari setelah kedatangan colok balen, maka tersebut.
pihak colok laki-laki datang ke rumah orang tua perempuan
3. Persekutuan
itu lagi untuk membicarakan kapan berlangsungnya
Yang dimaksud persekutuan ini adalah masyarakat setempat
pernikahan dan bagaimana syarat-syarat yang harus
yang merupakan wadah dari anggota-anggota atau warganya
dipenuhi. Apabila alasan dicolong itu karena masalah biaya,
dalam bentuk kelompok sosial. Masyarakat yang merupakan
maka colok tersebut akan menjelaskan kepada orang tua
wadah anggota masyarakatnya maka perkawinan warga
perempuan itu kalau semua biaya pernikahan ditanggung
(anggota masyarakatnya) yang bersangkutan, berarti
oleh pihak laki-laki. Bahkan semua peralatan rumah tangga
peralihan hak dan kewajiban warga tersebut dari status
mulai dari rumah yang dilengkapi dengan seluruh isinya
jejaka ke status berkeluarga yang akan berpengaruh juga
termasuk pakaian wanita dan perlengkapannya adalah
terhadap hak dan kewajibannya. Pihak-pihak lainnya yang
menjadi tanggung jawab yang melarikan (melayokaken)
juga sebagai warga masyarakat tersebut ikut berperanan
perempuan tersebut. Lain halnya kalau yang dilarikan itu
dalam proses ini yaitu dalam pelaksanaan perkawinan
adalah perempuan yang sudah mempunyai bakalan atau
mereka melakukan kegiatan-kegiatan dalam bentuk
orang tua perempuan itu tidak menyukai pemuda atau laki-
sumbangan tenaga, bahan barang maupun uang, misalnya
laki yang melayokaken. Biasanya setelah ada kunjungan
para tetangga, sahabat dan sebagainya.
colok dari orang tua pemuda yang melarikannya maka hari
berikutnya langsung orang tua perempuan tersebut mengutus 4. Martabat
seseorang sebagai colok balen untuk menyampaikan Martabat juga berpengaruh karena terjadinya perkawinan
jawaban. Dalam pertemuan yang kedua ini biasanya colong diantara salah satu penyebabnya adalah karena
dilanjutkan dengan rencana untuk penyelenggaraan upacara mempertahankan martabat. Terutama keluarga si gadis tidak
pernikahan sampai pada masalah pembiayaan upacara setuju dari calon jodoh anaknya dilihat dari salah satu segi
pernikahan.19 bibit, bebet, bobot, yang dapat mempengaruhi martabatnya.
Pihak-Pihak yang Berperan Dalam Proses Perkawinan 5. Pemerintah
Colong Pemerintah juga berperanan baik perkawinan pinang
maupun perkawinan colong. Perkawinan tetap dilaksanakan
Seperti yang tersebut di dalam hukum adat bahwa
di hadapan PPN atau KUA sebagai aparatur pemerintah
perkawinan itu bisa merupakan urusan kerabat, keluarga,
yang mengatur perkawinan secara agama islam.
persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi
tergantung kepada tata susunan masyarakat yang 6. Pribadi-Pribadi yang Bersangkutan
bersangkutan. Demikian juga bagi masyarakat Osing sebagai Perkawinan colong sebagai urusan pribadi maka proses itu
suatu masyarakat yang mempunyai bentuk-bentuk tidak terlepas dari pemuda dan pemudi yang terlibat dalam
perkawinan yang umum berlaku pada masyarakat lainnya, peristiwa tersebut. Pemuda dan pemudi yang bersangkutan
juga mempunyai bentuk perkawinan yang khas, unik dan termasuk pihak-pihak yang berperanan, karena sebagai
menarik pada pihak-pihak yang berperanan. Pihak-pihak pihak-pihak yang langsung melakukan tindakan itu dan
yang dimaksudkan di sini tidak ada jurang pemisah dengan bertanggung jawab terhadap tindakannya dengan segala
hukum adat yang berlaku pada umumnya. Pihak-pihak itu konsekuensinya.
antara lain:20
Akibat Hukum Dari Perkawinan Colong Menurut
1. Kerabat Hukum Adat Osing Banyuwangi
Kaum kerabat baik yang berasal dari pihak pemuda dan
Menurut tetua adat di daerah Desa Boyolangu,
pemudi mempunyai peranan dalam proses perkawinan
mayoritas masyarakat di daerah tersebut melakukan
colong, pihak-pihak ini adalah mereka yang
perkawinan colong. Tetapi selama dari mulai nenek moyang
bertugas/berperanan sebagai pihak yang memberi informasi
sampai saat ini belum ada atau masih jarang ditemukan
maupun yang bertugas sebagai perantara kedua belah pihak
dalam hal yang menimbulkan suatu akibat hukum yang
dalam proses ini yaitu jaruman dan colokan.
merugikan salah satu pihak. Pada masyarakat Osing apabila
2. Keluarga dalam lingkungan tersebut ada yang melakukan perkawinan
Pihak keluarga juga berperanan dalam proses colongan ini, colong warga masyarakat sekitar menanggapinya dengan
karena dalam proses perkawinan ini pihak keluarga tetap sikap saling menghargai ataupun saling membantu. Karena
19
rasa kebersamaannya masih tertanam dalam kehidupan
Wawancara dengan Yasin, seorang warga masyarakat Osing pribadi mereka. Bahkan dalam perkawinan colong belum
Desa Boyolangu, pada hari Minggu, 06 Oktober 2013, pukul 13.00 WIB.
ada pada keluarga perempuan untuk melakukan pengaduan
20
Supijatun, 1990, Mengenai Sekitar Tentang Adat Perkawinan ke pihak yang berwajib, karena mereka sadar bahwa
Melayokaken Pada Masyarakat Osing di Kabupaten Banyuwangi, perkawinan colong itu sudah menjadi suatu Adat untuk
makalah penelitian, Universitas Jember. Hlm. 32-36

Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2014


T.Wahyuningtyas, et al., Kajian Yuridis Terhadap Perkawinan Colong Suku Adat... 8

masyarakat Osing sehingga mereka memahami tentang hal Pengadilan Agama untuk meminta surat penetapan
itu. penunjukan wali nikah.
Dilihat dari suatu mekanisme pelaksanaannya harus Dengan demikian pelaksanaan perkawinan pada
berdasarkan mekanisme adat sampai kepada yang akhirnya tetap dilaksanakan, tetapi yang menjadi wali
berhubungan dengan sanksi-sanksi bagi yang melanggarnya. nikahnya adalah wali hakim. Disamping tidak diberikannya
Tetapi pada saat penelitian di lapangan ada suatu Kasus wali nikah, kepada yang melaksanakan perkawinan colong,
perkawinan colong di Desa Boyolangu Kabupaten setelah dilakukan upaya musyawarah oleh para tokoh
Banyuwangi pada dasarnya suatu perbuatan yang tidak masyarakat yang menjadi utusan dalam rangka upaya
menyenangkan dan tidak terpuji serta tidak bermartabat. perbaikan ke kedua orang tua si perempuan dan laki-laki,
Meskipun keluarga dari pihak si gadis (wanita) tidak upaya musyawarah tersebut akan dapat diterima apabila
menyetujuinya dalam penyelesaiannya tetap dinikahkan. pihak laki-laki bersedia membayar denda atau uang
Apabila tidak dinikahkan akan mencoreng dari keluarga si pengganti menurut pelanggaran yang dilakukan terhadap
pihak wanita karena perbuatan tersebut akan mempengaruhi ketentuan Perkawinan colong dan prosesnya tidak dilakukan
status sosial orang tua dan keluarga. acara lamaran tetapi pihak laki-laki melakukan permintaan
Menurut pandangan agama Islam bahwa perbuatan maaf terhadap kejadian tersebut. Denda yang dimaksud akan
perkawinan colong tersebut bertentangan dengan agama, dimusyawarahkan antara kedua orang tua perempuan dan
karena tidak dibenarkan bagi kaum muslim untuk berduaan laki-laki, dan mengenai besar kecilnya denda akan
antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, diputuskan secara musyawarah yang sifatnya rahasia.21
sehingga haram hukumnya. Dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan pada dasarnya perkawinan colong tersebut Kesimpulan dan Saran
juga tidak dibenarkan, karena didalamnya ada hal-hal yang Kesimpulan
dilanggar yaitu antara lain :
1. Tidak mengindahkan asas musyawarah dan Berdasarkan uraian dalam pembahasan sebagai hasil
mufakat, terjadinya pemaksaan kehendak dan kajian dan analisa dapat disimpulkan sebagai berikut:
2. Terbukanya aib keluarga maupun masyarakat, 1. Menurut dari seorang informan salah satu bentuk
karena konotasi dari perkawinan colong akan pengumuman atau pemberitahuan kepada seluruh
berpeluang terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat. anggota masyarakat bahwa telah terjadi sebuah peristiwa
Tetapi karena perkawinan colong tersebut merupakan suatu hukum yaitu perkawinan. Perbuatan hukum dalam
kebiasaan yang telah diakui keberadaannya oleh masyarakat perkawinan adat Osing di Banyuwangi dalam proses
Osing Kabupaten Banyuwangi khususnya pada umumnya, adalah sosialisasi dan saksi. Jadi, jika ada pihak ketiga
maka apabila terdengar orang yang melaksanakan yang merasa dirugikan oleh perbuatan itu, maka segera
perkawinan colong, oleh masyarakat itu sudah menjadi hal melakukan tindakan hukum. Makna perkawinan menurut
yang biasa. Perkawinan colong atau kawin lari menurut masyarakat osing nyata dalam prosesi nyadok atau
ketentuan Pasal 332 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana nyurup. Tetapi apabila dilihat dari zaman dahulu
menegaskan. perkawinan colong ini sudah menjadi suatu adat/tradisi
Hukuman yang dimaksud terlebih lebih, terhadap turun temurun bagi masyarakat Osing khususnya di Desa
perkawinan colong yang dilakukan terhadap anak Boyolangu dan belum mengenal adanya Hukum Negara
perempuan yang belum cukup umur. Untuk dapat melakukan yang sudah berlaku saat ini
penuntutan terhadap laki-laki yang membawa lari anak 2. Tata cara dari perkawinan colong ini dalam masyarakat
perempuan orang lain tersebut adalah apabila ada Osing apabila setelah ada kesepakatan bersama maka
pengaduan, yang mana pengaduan dapat dilakukan oleh bertemulah kedua sejoli itu dan langsung dibawa pulang
perempuan itu sendiri atau walinya, apabila pada waktu ke rumah orang tuanya yang dalam hal ini orang tuanya
dibawa lari telah dewasa, maka pengaduan dapat dilakukan berpura-pura tidak mengetahuinya. Namun, setelah
oleh perempuan itu ataupun suaminya, kalau sudah kawin. sampai di rumah, anak laki-lakinya itu langsung
Apabila dalam perkawinan colong tersebut mereka telah membicarakan kepada orang tuanya mengenai duduk
kawin, maka laki-laki yang membawa lari tidak dapat perkara mengapa ia berani untuk melarikan perempuan
dikenakan pidana sebelum perkawinan dibatalkan. pujaannya itu dan mohon segera untuk dinikahkannya.
Tetapi apabila orang tua merasa keberatan dengan Setelah itu, orang tuanya laki-laki segera mengutus dua
tindakan yang dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap orang saudaranya atau tetangganya untuk mendatangi
anaknya, maka anak laki-laki tersebut akan bisa dilaporkan rumah orang tua perempuan yang dibawa lari itu.
kepada pihak yang berwajib untuk diproses secara hukum. Biasanya mereka datang kerumah orang tua yang
Karena perkawinan colong atau kawin lari merupakan kehilangan anaknya itu malam hari. Setelah sampai di
perbuatan yang dapat menurunkan martabat atau status rumah yang dituju dan dipersilahkan untuk duduk,
sosial orang tua dan keluarga, sehingga ada salah seorang kemudian mereka berdua mengenalkan diri dan
responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini yang silaturahmi. Pada waktu colok menyampaikan berita
dalam perkawinan melalui perkawinan colong oleh orang tersebut orang tuanya akan menerima dengan senang hati
tuanya tidak diberikan hak walinya. Namun karena atau secara baik-baik tanpa ada ekspresi marah
perempuan dan laki-laki yang berlarian tersebut sudah
Wawancara dengan Asri, ketua RT Lingkungan Krajan 2
21
terlanjur menanggung rasa malu dan merasa bersalah, maka Desa Boyolangu, pada hari Minggu, 06 Oktober 2013, pukul 13.00 WIB.
perempuan tersebut mengajukan permohonan kepada Ketua

Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2014


T.Wahyuningtyas, et al., Kajian Yuridis Terhadap Perkawinan Colong Suku Adat... 9

sedikitpun. Hanya saja yang umum terjadi orang tua Ridha Andreas Dwiyantoro, 2011, Analisis Yuridis Tentang
tersebut akan menangis. Bentuk-Bentuk Perkawinan Menurut Hukum Adat
3. Akibat hukum dari perkawinan colong ini menurut Osing Di Banyuwangi Dalam Kaitannya Dengan
hukum Adat masyarakat Osing dalam mekanisme undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
pelaksanaannya harus berdasarkan mekanisme adat Perkawinan, Skripsi Universitas Jember.
sampai kepada yang berhubungan dengan sanksi-sanksi
Soerojo Wignjodipoero, 1982, Pengantar dan Asas-asas
bagi yang melanggarnya. Kasus perkawinan colong di
Hukum Adat, Jakarta: PT. Gunung Agung
Desa Boyolangu Kabupaten Banyuwangi pada dasarnya
suatu perbuatan yang tidak menyenangkan dan tidak Soerjono Soekamto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum,
terpuji, karena perbuatan tersebut akan mempengaruhi Jakarta: UI Press.
status sosial orang tua dan keluarga. Tetapi karena
Supijatun, 1990, Mengenai Sekitar Tentang Adat
perkawinan colong tersebut merupakan suatu kebiasaan
Perkawinan Melayokaken Pada Masyarakat Osing di
yang telah diakui keberadaannya oleh masyarakat Osing
Kabupaten Banyuwangi, makalah penelitian,
Kabupaten Banyuwangi khususnya pada umumnya,
Universitas Jember.
maka apabila terdengar orang yang melaksanakan
perkawinan colong, oleh masyarakat itu sudah menjadi Ter Haar, 1997, Beginselen en Stelsel van het Adatrecht,
hal yang biasa. diterjemahkan oleh Soebekti dalam Asas-asas dan
Susunan Hukum Adat, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Saran
Peraturan Perundang-undangan
Berkaitan dengan simpulan di atas, maka saran yang
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
dapat disampaikan adalah:
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975
1. Pada saat ini masyarakat Indonesia yang terdiri dari
Nomor 12).
berbagai suku bangsa sedang gencar-gencarnya
melaksanakan pembangunan di era globalisasi ini, disisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (Lembaran
lain masyarakat Indonesia harus tetap dan Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 26).
mempertahankan serta melaksanakan adat istiadat
Internet
sebagai budaya bangsa. Dan kepada orang-orang tua
http://anekaartikelhukum.blogspot.com/ di akses pada hari
khususnya pada masyarakat Osing yang berada di
Rabu, 18 Desember 2013, pukul 16.00 WIB.
kawasan Banyuwangi, untuk lebih terbuka membangun
komunikasi dengan anaknya mengenai adat istiadat yang Lain-lain
ada di daerah Banyuwangi. Wawancara dengan Asri, ketua RT Lingkungan Krajan 2
2. Kegiatan penerangan dan penyuluhan hukum perlu di Desa Boyolangu, pada hari Minggu, 06 Oktober 2013,
galakkan, disamping usaha-usaha mengumpulkan data- pukul 13.00 WIB.
data hukum adat guna membangun dan membina hukum
Wawancara dengan Rugito, seorang tetua Adat di Desa
nasional yang sesuai dengan kepribadian bangsa
Boyolangu, pada hari Minggu, 06 Oktober 2013,
Indonesia.
pukul 13.00 WIB.
Ucapan Terima Kasih Wawancara dengan Tarjo, seorang warga masyarakat
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Osing Desa Boyolangu, pada hari Minggu, 15
Pembimbing dan Pembantu Pembimbing, serta kepada Desember 2013, pukul 16.00 WIB.
kedua orang tua yang telah mendoakan penulis dalam
Wawancara dengan Yasin, seorang warga masyarakat
mengerjakan karya ilmiah ini.
Osing Desa Boyolangu, pada hari Minggu, 06
Daftar Pustaka Oktober 2013, pukul 13.00 WIB.

Buku
Dominikus Rato, 2011, Hukum Perkawinan dan Waris Adat
(Sistem Kekerabatan, Bentuk Perkawinan dan Pola
Perkawinan Adat di Indonesia), Surabaya: Laksbang
Justitia.
Hilman Hadikusuma, 1980, Pokok-pokok Pengertian
Hukum Adat, Bandung: Alumni.
-----------------------------, 1983, Hukum Perkawinan Adat,
Bandung: Alumni.
----------------------------, 1990, Hukum Perkawinan
Indonesia, Bandung: Mandar Maju.
Imam Sudiyat, 1987, Hukum Adat, Sketsa Adat, Yogyakarta:
Liberty.

Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2014

Anda mungkin juga menyukai