Anda di halaman 1dari 49

PANDUAN

MANAJEMEN NYERI

Instalasi Paliatif
Rumah Sakit Kanker Dharmais
Edisi Maret 2019

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Definisi...................................................................................................... 1
C. Tujuan ...................................................................................................... 2
D. Ruang Lingkup ......................................................................................... 2
E. Tatalaksana............................................................................................... 2

BAB II PENGKAJIAN NYERI............................................................................ 4


A. Pengkajian Nyeri....................................................................................... 4
B. Penilaian Skala Nyeri................................................................................ 6
1. Penilaian Secara Subjektif.................................................................... 6
a. Numeric Rating Scale (NRS)............................................................ 6
b. Wong-Baker Faces Pain Scale......................................................... 7
2. Penilaian Secara Objektif...................................................................... 7
a. Behavioural Pain Scale(BPS)........................................................... 8
b. The Face, Legs, Activity, Cry, Consolability (FLACC) Scale……..…. 8
c. Skala CRIES (Crying, Requires O2, Increased vital sign, Expression,
Sleepless)........................................................................................ 9
C. Waktu Pengkajian Nyeri............................................................................ 11
1. Pengkajian Awal Nyeri.......................................................................... 11
2. Pengkajian Ulang Nyeri......................................................................... 11

BAB III MANAJEMEN NYERI............................................................................ 13


A. Terapi Nyeri............................................................................................... 13
1. Farmakologi......................................................................................... 13
a. Paracetamol................................................................................... 14
b. Obat Anti Inflamasi Non-Steroid..................................................... 15
c. Anti Depresan................................................................................. 16
d. Anti Konvulsan............................................................................... 16
e. Opioid............................................................................................. 16
f. Lidokain tempel (Lidocaine patch) 5%............................................. 21
g. Eutectic Mixture of Local Anesthetics (EMLA)………………………. 22
h. Manajemen Nyeri Intervensional.................................................... 22
Panduan Manajemen Nyeri
Rev.Maret 2019 ii
i. PCA (Patient Controled Analgesia)……………………………........... 22
2. Non Farmakologi ................................................................................. 24
B. Manajemen Nyeri pada Keadaan Khusus................................................. 25
1. Manajemen Nyeri Akut.......................................................................... 25
2. Manajemen Nyeri Kronik ...................................................................... 26
3. Manajemen Nyeri Kanker...................................................................... 27
4. Manajemen Nyeri pada Pediatrik.......................................................... 32
5. Manajemen Nyeri Berat......................................................................... 36
C. Alur Manajemen Nyeri............................................................................... 41

BAB IVMONITORING DAN EVALUASI............................................................ 43

BAB VPENUTUP............................................................................................... 44

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... iii

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Rasa nyeri adalah penyebab paling sering membuat orang menderita dan
menyebabkan disabilitas serta merupakan alasan paling umum orang mencari
pertolongan medis. Nyeri juga merupakan gejala utama dalam banyak kondisi medis,
yang secara signifikan mengganggu kualitas hidup dan fungsi umum seseorang.

Kebutuhan untuk tatalaksana nyeri telah lama dimasukan sebagai salah satu hak
asasi manusia, dan pada tahun 1999 The joint Commission on Accreditation of
Healthcare Organization (JCAHO saat ini JCI) menyusun standar pelayanan untuk
menjamin seluruh pasien mendapatkan haknya untuk mendapatkan pengkajian dan
tatalaksana nyeri yang memadai, dan menyebut nyeri sebagai the fifth vital sign
(tanda vital kelima) yang harus di nilai secara rutin.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 0
Sebagai sebuah Rumah Sakit Pusat Kanker dan Rujukan nasional, RS Kanker
“Dharmais” telah memenuhi standar nasional RS dan berkomitmen untuk menjadi RS
yang memenuhi standar internasional. Oleh karena itu diperlukan suatu panduan
yang baku dan berlaku di Rumah Sakit kanker “Dharmais” yang dipakai oleh seluruh
staf medis sebagai panduan pengkajian dan tatalaksana nyeri yang tepat untuk
pasien-pasien di lingkungan RS Kanker “Dharmais”.

B. DEFINISI
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau berpotensi terjadinya
kerusakan jaringan atau tergambarkan seperti adanya kerusakan jaringan tersebut
(International Association for the Study of Pain/ IASP 1979).
1. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas (kurang
dari 6 minggu), yang memiliki hubungan waktu dan kausal dengan cedera atau
penyakit.
2. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama (> 12
minggu), dimana rasa nyerinya terus menerus ada meskipun telah terjadi proses
penyembuhan kerusakan jaringan dan seringkali tidak diketahui penyebabnya
yang pasti.
3. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang terjadi pada jaringan yang intak yang
mendapatkan rangsangan kuat (disebut juga rangsang noksius), biasa disebabkan
suhu yang ekstrim, mekanik maupun kimiawi. Dapat berupa nyeri somatik atau
nyeri viseral.
4. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang disebabkan oleh penyakit atau kerusakan
sistem saraf perifer atau sentral, atau disebabkan adanya disfungsi sistem saraf
5. Nyeri kanker adalah nyeri yang menyertai kanker yang dapat disebabkan oleh
kankernya sendiri (cancer-related 60-90%), akibat terapinya (treatment-related 5-
20%) atau yang tidak berhubungan dengan kankernya (non-cancer-dependent 3-
10%). Nyeri kanker dapat bersifat akut atau kronik, nosiseptif, neuropatik, atau
campuran nosiseptif-neuropatik.

C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
a. Menjadikan Rumah Sakit Kanker “Dharmais” sebagai RS bebas nyeri dan
berstandar internasional.
b. Meningkatkan kualitas pelayanan pasien.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan skrining dan pengkajian nyeri pada pasien yang berada di RS.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 1
b. Melaksanakan manajemen nyeri berdasarkan pengkajian nyeri yang telah
dilakukan.
c. Melakukan evaluasi pada pasien yang sudah mendapatkan pengelolaan nyeri.

D. RUANG LINGKUP
Semua pasien di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” di :
a. Unit Gawat Darurat
b. Rawat Inap
c. Rawat Jalan

E. TATA LAKSANA
Semua pasien yang masuk di RS. Kanker Dharmais dilakukan skrining terhadap
ada tidaknya nyeri. Skrining awal nyeri dilakukan saat pasien masuk Unit gawat
Darurat, Rawat Jalan maupun Rawat Inap yang dilakukan oleh perawat. Jika
ditemukan keluhan nyeri selanjutnya dilakukan pengkajian nyeri oleh dokter
dan/atau perawat secara komprehensif yang bertujuan menemukan penyebab nyeri
dan menentukan terapi yang optimal.
Manajemen nyeri yang optimal didasarkan pada etiologi dan karateristik nyeri serta
kondisi klinis pasien. Standar emas penilaian nyeri adalah self-report. Selanjutnya
dokter dan atau perawat wajib melakukan pengkajian nyeri secara rutin (seperti halnya
dalam pemeriksaan tanda vital) setiap melakukan visit/pemeriksaan pasien, dengan
cara memberi kesempatan bagi pasien untuk mengungkapkan, dengan kata-kata
mereka sendiri, bagaimana mereka merasakan rasa nyeri mereka atau menggunakan
alat bantu pengkajian nyeri.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 2
BAB II

PENGKAJIAN NYERI

A. PENGKAJIAN NYERI
1. Mnemonik PQRST dapat membantu dokter/perawat untuk melakukan pengkajian
nyeri
P : Provocative = hal yang mencetuskan nyeri (misal luka operasi, trauma,
tumor), faktor yang memberatkan dan meringankan nyeri.
Q : Quality = deskripsikan karakteristik nyeri, seperti apa dirasakan, seperti
tertusuk benda tajam, tumpul, terbakar, tersetrum, disertai rasa
kesemutan, dll
R : Regio/Radiation = daerah dimana nyeri dirasakan dan menjalar/tidak
S : Severity = intensitas nyeri, seberapa berat nyeri dirasakan
menggunakan skala 0 – 10
T : Time = Waktu yang berkaitan dengan nyeri, kapan saja muncul nyeri,
frekuensi, hilang timbul/terus menerus, breaktrough pain (renjatan nyeri)

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 3
2. Anamnesis
a. Riwayat penyakit sekarang
 Onset nyeri : akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik.
 Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa
terbakar, tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
 Pola penjalaran / penyebaran nyeri
 Durasi dan lokasi nyeri
 Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan,
mual/muntah, atau gangguan keseimbangan / kontrol motorik.
 Faktor yang memperberat dan memperingan
 Kronisitas
 Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk respon
terapi
 Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka
 Penggunaan alat bantu
 Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup dasar
(activity of daily living)
 Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti adanya
fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang
berhubungan dengan sindrom kauda ekuina.

b. Riwayat pembedahan / penyakit dahulu

c. Riwayat psikososial
 Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika
 Identifikasi pengasuh/perawat utama (primer) pasien
 Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi menimbulkan
eksaserbasi nyeri
 Pembatasan/restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang
berpotensi menimbulkan stres. Pertimbangkan juga aktivitas penggantinya.
 Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri) dapat
menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan kooperasi pasien
dengan program penanganan/manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien
dengan masalah psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi/ psikofarmaka.
 Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi
pasien/keluarga.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 4
d. Riwayat pekerjaan
 Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti
mengangkat benda berat, membungkuk atau memutar; merupakan
pekerjaan tersering yang berhubungan dengan nyeri punggung.

e. Obat-obatan dan alergi


 Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri; dosis,
tujuan minum obat, durasi, efektifitas, dan efek samping.
 Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan
dengan efek samping kognitif dan fisik.

f. Riwayat keluarga
 Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.

g. Pengkajian sistem organ yang komprehensif


 Evaluasi gejala kardiovaskular, psikiatri, pulmoner, gastrointestinal,
neurologi, reumatologi, genitourinaria, endokrin, dan musculoskeletal.
 Gejala konstitusional : penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat
malam, dan sebagainya

3. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan fisik secara komprehensif terutama pada regio yang
dirasakan nyeri (ada tidaknya deformitas, tanda-tanda inflamasi, nyeri tekan,
trigger point) dan pemeriksaan sistem neuromuscular untuk mencari ada tidaknya
gangguan neurologis seperti kelemahan, hiperalgesia, alodinia, hipoestesia serta
pemeriksaan gangguan fungsi. Beberapa manuver yang memicu nyeri seperti
straight-leg test dan tes gerakan persendian dapat dilakukan untuk membantu
menegakan diagnosis.

4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah, radiologi (Rontgen, CT scan, MRI), bone scan,
dan lain sebagainya dilakukan sesuai dengan indikasi untuk menegakan diagnosis
penyebab nyeri.

B. PENILAIAN SKALA NYERI


1. Penilaian secara subyektif, antara lain :
a. Numeric Rating Scale (NRS)

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 5
Indikasi : digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 9 tahun yang
dapat menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang
dirasakan.
Instruksi : pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan
dilambangkan dengan angka 0-10.
 0 : Tidak nyeri
 1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif pasien dapat berkomunikasi
dengan baik).
 4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif pasien mendesis, menyeringai,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendiskripsikan dapat
mengikuti perintah dengan baik).
 7-10 : Nyeri berat (secara obyektif pasien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendiskripsikannya, tidak
dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi).

Gambar 1. NRS (Numerical Rating Scale)

b. Wong Baker FACES Pain Scale


Indikasi : digunakan pada pasien (dewasa dan anak >3 tahun) yang tidak dapat
menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka.
Instruksi : pasien diminta untuk menunjuk/ memilih gambar mana yang paling
sesuai dengan yang ia rasakan. Tanyakan juga lokasi dan durasi nyeri.
 0 : Tidak nyeri
 1-3 : Nyeri ringan
 4-6 : Nyeri sedang
 7 – 10 : Nyeri berat

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 6
Gambar 2. Wong Baker FACES pain scale

2. Penilaian secara objektif (Observasional)


Ada beberapa keadaan dimana penilaian nyeri secara subyektif tidak bisa
dilakukan, seperti :
a. Pasien masih tersedasi atau dibawah pengaruh obat anastesi
b. Belum mempunyai kemampuan verbal yg baik seperti (neonatus, anak
dibawah 3 tahun, geriatri)
c. Kesadaran berubah
d. Pasien terintubasi, atau
e. Pasien sakit keras sehingga tidak bisa berespon.
Maka pada keadaan-keadaan tersebut di atas, skala nyeri dapat dinilai dengan
menggunakan :

a. Behavioural Pain Scale (BPS)


BPS atau Behavioural Pain Scale adalah sebuah tehnik yang dapat digunakan
untuk penilaian nyeri pada pasien penurunan kesadaran dengan atau tanpa
ventilator dimana penilaian tersebut berdasarkan tiga ekspresi perilaku, yaitu
ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas atas, dan kompensasi terhadap
ventilator. Adapun penilaiannya adalah sebagai berikut :
Tabel.1 Behavioral Pain Scale (BPS)
Item Gambaran Skor
Ekspresi Wajah Rileks 1
Wajah sedikit mengkerut (mengerutkan dahi) 2
Mengkerut sepenuhnya (mata menutup) 3
Meringis 4
Pergerakan Tidak ada gerakan 1
Ekstrimitas Atas Menekuk sedikit 2
Menekuk penuh dengan jari meremas 3
Retraksi permanen 4
Toleransi Kooperatif 1
terhadap Batuk tetapi masih kooperatif untuk waktu yang 2
lama

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 7
Ventilator Melawan ventilator 3
Mekanik Tidak mampu mengontrol ventilator 4

BPS menggambarkan nyeri dalam rentan skor antara 3 (tidak nyeri) hingga 12
(nyeri paling hebat). Bila Skor  6 pasien perlu ditambahkan obat analgesik dan
sedasi.

b. The Face, Legs, Activity, Cry, Consolability (FLACC) Scale


Skala nyeri ini digunakan untuk menilai nyeri pada bayi hingga anak-anak usia
3 tahun. Terdiri dari 10 poin dan didasarkan pada respon perilaku pasien.
Dilakukan observasi dan penilaian selama 5 menit pada kaki atau bagian tubuh
yg tidak tertutup, pada pasien yang tidur observasi nilai kaki dan bagian tubuh
yang tidak tertutup jika memungkinkan posisikan pasien dan sentuh tubuhnya.
 0 : Tidak nyeri
 1–3 : Nyeri ringan
 4–6 : Nyeri sedang
 7 – 10 : Nyeri berat

Tabel 2. The Face, Legs, Activity, Cry, Consolability (FLACC) scale

SKOR
KRITERIA
0 1 2 Nilai
Face (Wajah)
Tidak ada Sesekali Dagu
ekspresi tertentu meringis atau gemetaran
atau senyum mengerutkan secara berkala
kening, menarik atau konstan,
diri, tidak tertarik rahang
mengepal
Legs (Kaki)
Posisi normal Gelisah, Menendang
atau santai khawatir, tegang atau menarik
kaki
Activity Melengkung,
Berbaring tenang, Menggeliat,
(Aktivitas) kaku atau
posisi normal, mondar-mandir, menyentak
bergerak dengan tegang
mudah
Cry (Tangis) Menangis
Tidak ada Mengerang atau
secara terus
teriakan (terjaga merintih, menerus,
atau tertidur) sesekali menjerit atau
isak tangis,

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 8
sering
mengeluh
mengeluh
Consolability Sesekali Sulit untuk
Puas / senang,
(Bersuara) diyakinkan dihibur atau
santai dengan merasa nyaman
sentuhan,
pelukan atau
diajak berbicara,
dialihkan
TOTAL SKOR

c. Skala CRIES (Crying, Requires O2, Increased vital sign, Expression,


Sleepless)
Skala nyeri ini digunakan untuk menilai nyeri pada neonatus. Terdiri dari 5 poin
dan didasarkan pada respon perilaku pasien. Dilakukan observasi dan
penilaian kriteria-kriteria tersebut.

Tabel 3. Skala CRIES


Crying – Karakteristik tangisan karena nyeri adalah ‘high pitched’
 0 : Tidak menangis atau menangis tapi tidak ‘high pitched’
 1 : Menangis ‘high pitched’ namun mudah ditenangkan
 2 : Menangis ‘high pitched’ dan tidak dapat ditenangkan
Requires O2 for SaO2 <95% - bayi yang merasa nyeri akan mengalami

perburukan oksigenasi. Pikirkan penyebab hipoksemia lainnya, misalnya


oversedasi, atelektasis, pneumotoraks
 0 : Tidak butuh suplementasi oksigen
 1 : Butuh oksigen dengan FiO2 <30%

 2 : Butuh oksigen dengan FiO2 >30%


Increased vital signs (Tekanan darah dan frekuensi nadi) – Pengukuran
tekanan darah harus paling akhir dilakukan, karena membuat bayi terbangun
sehingga menyulitkan pemeriksaan lain
 0 : Baik frekuensi nadi maupun tekanan darah tidak berubah atau dalam
batas normal
 1 : Frekuensi nadi atau tekanan darah meningkat <20% dari nilai awal
(baseline)
 2 : Frekuensi nadi atau tekanan darah meningkat >20% melampaui nilai
awal
Expression – ekspresi wajah yang dihubungkan dengan rasa nyeri adalah
meringis (grimace), yaitu alis menurun, mata menutup dan mengerenyit, garis
nasolabial semakin dalam atau bibir dan mulut terbuka

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 9
 0 : Tidak meringis
 1 : Hanya meringis
 2 : Meringis dan mengeluarkan suara rintihan/geraman (tapi bukan
menangis)
Sleepless – penilaian berdasarkan pemantauan kondisi bayi selama satu jam
sebelum skor dicatat
 0 : Anak tidur terus-menerus
 1 : Anak terbangun dengan interval yang sering
 2 : Anak terbangun terus-menerus
Keterangan :
 0 : Tidak nyeri  4 – 6 : Nyeri sedang
 1 – 3 : Nnyeri ringan  7 – 10 : Nyeri berat

C. WAKTU PENGKAJIAN NYERI


1. Pengkajian Awal Nyeri
Penilaian awal nyeri harus sudah dilakukan dan tercatat saat pasien masuk di
rumah sakit yang dilakukan oleh dokter dan atau perawat, selanjutnya pengkajian
ulang tergantung pada kondisi pasien :
a. Bila pada penilaian awal pasien mengalami nyeri, perawat melakukan
pengkajian lebih lanjut karakteristik nyeri berupa mnemonik PQRST kemudian
dilanjutkan pemantauannya dengan menggunakan Formulir Pemantauan Nyeri
b. Bila pada pengkajian awal pasien ditemukan tidak nyeri, maka skrining nyeri
tetap dilakukan setiap pergantian shift oleh perawat (setiap 8 jam) bersamaan
dengan pengukuran tanda vital lain dan pasien diberi pesan agar menghubungi
petugas apabila merasakan nyeri. Hasil skrining didokumentasikan pada
lembar Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi.

2. Pengkajian Ulang Nyeri


a. Bila nyeri, pengkajian lebih lanjut karakteristik nyeri berupa mnemonik PQRST
di dokumentasikan pada lembar Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi
kemudian dilanjutkan pemantauannya oleh perawat dengan menggunakan
Formulir Pemantauan Nyeri.
b. Dilakukan monitoring efek terapi untuk menilai apakah terapi sudah adekuat
dan diperlukan tambahan / perubahan terapi, yaitu :
 15 menit setelah intervensi obat injeksi
 1 jam setelah intervensi obat oral atau lainnya
c. Apabila skor nyeri mengalami perbaikan dan pasien tidak memerlukan
tambahan/perubahan terapi, dilakukan pemantauan :
 1 x / shift bila skor nyeri 0 – 3

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 10
 Setiap 3 jam bila skor nyeri 4 -6
 Setiap 1 jam bila skor nyeri 7 – 10
d. Efek samping hasil terapi untuk diketahui tindaklanjut perubahan terapi
yang perlu dilakukan. Efek samping yang harus di nilai :
 Depresi nafas
 Hipotensi
 Mual dan muntah
 Retensi urin
 Urtikaria / gatal
 Kedalaman sedasi  dapat dinilai dengan menggunakan Skala
Sedasi Modifikasi Ramsay

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 11
Tabel 4. Skala Sedasi Modifikasi Ramsay
Skor Deskripsi
1 Cemas dan agitasi atau gelisah, atau keduanya
2 Kooperatif, orientasi baik dan tenang
3 Mengantuk, tetapi berespon terhadap perintah
4 Tidur, berespon dengan cepat terhadap tepukan ringan
glabellar atau rangsangan suara keras
5 Tidur, sulit berspon dengan tepukan ringan glabellar atau
rangsangan suara keras
6 Tidur dan tidak dapat dibangunkan

e. Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan pemantauan setiap 5
menit setelah pemberian nitrat atau obat- obat intravena.

BAB III

MANAJEMEN NYERI

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 12
A. TERAPI NYERI
Terapi nyeri meliputi pendekatan farmakologi dan non farmakologi. Hal ini didasarkan
pada persepsi nyeri yang bersifat kompleks yang tidak hanya melibatkan sensorik tapi
juga emosional dan perilaku pasien. Oleh karena itu penting bagi penyedia layanan
kesehatan untuk melakukan pendekatan holistik yang berpusat pada pasien dan
keluhannya.

1. Farmakologi
Pemilihan obat untuk mengatasi nyeri disesuaikan dengan derajat nyeri yang
dirasakan oleh pasien (lihat Gambar 4). Konsep World Health Organization (WHO)
Three-Step Analgesic Ladder (1986) untuk membantu klinisi dalam pemilihan obat
anti nyeri (Gambar 3).

Gambar 3. WHO Three-Step Analgesic Ladder

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 13
Pengkajian Nyeri

Tidak Nyeri Nyeri

Skrining Nyeri
tiap shift Skala 1-3 Skala 4-6 Skala 7-10

Step 1 : Paracetamol Step 1 : Paracetamol Step 1 : Opioid kuat


Dosis 500 mg min. + Onset cepat dan titrasi
interval 4 jam Coxib/NSAID cepat
(dosis max 4 gr/ hari)

Step 2 : Coxib atau Step 2 : Opioid


NSAID lemah/Opioid kuat
Pilih berdasarkan dosis kecil
Pilih berdasarkan
profil risiko pasien profil risiko pasien

Pengkajian Pengkajian Pengkajian ulang


ulang setiap 8 ulang setiap 3 setiap 15 menit-1 jam
jam jam

Gambar 4. Algoritma Manajemen nyeri berdasar derajat


nyeri
Keterangan :
1) Awalnya, berikan analgesik ringan-sedang (level 1).
2) Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naiklah ke level 2
menggunakan analgesik yang lebih poten (opioid lemah / opioid kuat dosis
kecil)
3) Pada nyeri hebat pasien harus diberikan opioid kuat onset cepat (level 3). Dan
harus dievaluasi setiap 15 menit – 60 menit (Lihat Manajemen nyeri hebat hal
40). Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol tetap
diaplikasikan sebagai analgesik adjuvant.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 14
Adapun obat-obatan yang sering dipakai untuk tatalaksana nyeri yaitu :
a. Parasetamol
 Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan anti-piretik. Dapat
dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek anelgesik yang lebih
besar
 Dosis :
 Oral : 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-6 kali sehari. Untuk dewasa
dapat diberikan dosis 3-6 kali 500 mg perhari.
 Intravena : 15-20 mg/kgBB/kali diberikan 3-4 kali sehari dengan jarak
terdekat 4 jam.

b. Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (OAINS)


 Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan-sedang
 Kontraindikasi : pasien dengan riwayat alergi OAINS, asma bronchial, ulkus
peptic, gangguan fungsi ginjal.
 Efek samping : gastrointestinal (dyspepsia, erosi / ulkus gaster), disfungsi
renal (kecuali gol coxib), gangguan kardiovaskular (kecuali aspirin)

Tabel 5. Obat-obat Anti-Inflamasi Non-Steroid

Dosis Dewasa Interval (jam) Dosis


Nama Obat
(mg) Maksimal/hari
(mg)
Oral
 Aspirin 300 – 900 4–6 36000
 Celecoxib 100 – 200 12 – 24 400
 Diclofenac 25 – 50 8 – 12 150
 Ibuprofen 200 – 400 6–8 3200
 Ketoprofen 50 – 100 6 – 12 200
 Ketorolac
< 65 tahun 10 4–6 40
> 65 tahun 10 6–8 30 – 40
 Meloxicam 7.5 – 15 24 30
 Naproxen 250 – 500 12 1500
 Prioxicam 10 – 30 24 40
Parenteral
 Ketorolac
< 65 tahun 10 – 30 4–6 90 (max.5 hari)
> 65 tahun 10 – 15 4–6 60 (max.5 hari)

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 15
c. Anti Depresan
 Mekanisme kerja : memblok pengambilan kembali norepinefrin dan
serotonin sehingga meningkatkan efek inhibisi nyeri neurotransmitter
tersebut
 Indikasi : nyeri neuropatik (neuropati DM, neuralgia pasca-herpetik, cedera
saraf perifer, nyeri sentral)
 Contoh obat yang sering dipakai: amitriptilin, imipramine, despiramin (efek
antinosiseptif perifer).
 Dosis: 25 – 300 mg, sekali sehari.

d. Anti Konvulsan
a) Carbamazepine
 Efektif untuk nyeri neuropatik.
 Efek samping : somnolen, gangguan berjalan, pusing.
 Dosis : 400 – 1800 mg/hari (2-3 kali perhari). Mulai dengan dosis kecil
(2x100 mg), ditingkatkan perminggu hingga dosis efektif.
b) Gabapentin
 Merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri neuropatik.
 Efek samping minimal dan ditoleransi dengan baik.
 Dosis : 100 – 4800 mg/hari (3 – 4 kali sehari).
c) Pregabalin
 Merupakan salah satu pilihan utama dalam mengobati nyeri neuropatik.
Pregabalin 2-4 kali lebih efektif sebagai analgesik dibanding gabapentin.
 Efek samping minimal dan ditoleransi dengan baik.
 Dosis : 50-300 mg/hari (2-3 kali sehari).

e. Opioid
 Merupakan analgesik poten (tergantung-dosis) dan efeknya dapat
ditiadakan oleh nalokson.
 Dosis opioid dapat disesuaikan pada setiap individu dengan menggunakan
metode titrasi.
 Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri akut.
 Efek samping Opioid ;
1. Depresi pernapasan, dapat terjadi pada :

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 16
 Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat pemberian
secara infus, opioid long acting
 Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepin, antihistamin,
antiemetik tertentu)
 Adanya kondisi tertentu: gangguan elektrolit, hipovolemia, uremia,
gangguan respirasi dan peningkatan tekanan intrakranial.
 Obstructive sleep apnoes atau obstruksi jalan nafas intermiten
2. Sedasi  pantau dengan Skala Sedasi Moidfikasi Ramsay (lihat poin
Pengkajian Ulang Nyeri)
3. Sistem Saraf Pusat
 Euforia, halusinasi, miosis, kekakukan otot
 Pemakai MAOI : pemberian petidin dapat menimbulkan koma
4. Toksisitas Metabolit
 Petidin (norpetidin) menimbulkan tremor, twitching, mioklonus
multifokal, kejang
 Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk
penatalaksanaan nyeri pasca-bedah
 Pemberian morfin kronik: menimbulkan gangguan fungsi ginjal,
terutama pada pasien usia > 70 tahun
5. Efek Kardiovaskular
 Tergantung jenis, dosis, dan cara pemberian; status volume
intravascular; serta level aktivitas simpatetik.
 Morfin menimbulkan vasodilatasi
 Petidin menimbulkan takikardi (Atrophine-like effect)
6. Gastrointestinal
 Mual, muntah, konstipasi.
 Terapi untuk mual dan muntah  hidrasi dan pantau tekanan darah
dengan adekuat, hindari pergerakan berlebihan pasca-bedah, atasi
kecemasan pasien, obat anti emetik.
 Tatalaksana konstipasi  berikan obat laksatif (pencahar).

 Opioid dapat dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu :


1. Opioid Golongan Lemah
a) Codein
- Indikasi : Digunakan untuk terapi nyeri sedang.
- Dosis : 0,5 - 1 mg/kg peroral (Max 60 mg/dosis)

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 17
- Efek samping : sedasi, konfusi, hipotensi, mual, muntah dan
konstipasi.
- Untuk tatalaksana efek samping berupa konstipasi  diperlukan
laksatif secara rutin.
b) Tramadol
 Indikasi : Digunakan untuk terapi nyeri sedang.
 Memiliki efek samping yang minimal terhadap sedasi, depresi
pernafasan dan gastrointestinal.
 Dosis dan cara pemberian :
a) Oral : 2 mg/kg/kali (Max 8 mg/kg/hari)
b) Parenteral : 2 mg/kg/kali (Max 8 mg/kg/hari)
 Efek samping : mual, muntah, gangguan sistem kardiovaskular
dan pernafasan (efek minimal).

2. Opioid Golongan Kuat


a) Morfin
 Indikasi : Digunakan untuk terapi nyeri berat/ nyeri hebat.
 Mekanisme Kerja : Bekerja sebagai agonis reseptor opioid
dengan efek utama mengikat dan mengaktivasi reseptor µ-
opioid pada sistem saraf pusat. Aktivasi ini akan menyebabkan
efek analgesik, sedasi, euforia, physical dependence dan
depresi system pernafasan. Morfin juga bertindak sebagai
reseptor k-opioid yang terkait analgesik spinal dan miosis.
 Kontra Indikasi : Tidak ada
 Dosis dan Cara pemberian :
1) Morfin Oral :
o Lini pertama untuk pasien dengan nyeri hebat (NRS 7-
10) terutama untuk kasus nyeri kanker.
o Terdiri atas 2 jenis sediaan oral, yaitu :
a. Morfin immediate release (IR)
 Dosis ; 10mg/kali pemberian, maksimal tiap 4 jam.
 Cara pemberian  Mulai dengan dosis terkecil
Morfin IR per oral tiap 4 jam, kemudian lakukan
titrasi sampai dosis yang diperlukan  jika ada
breakthrough pain, berikan Morfin IR dosis 1/6-1/10
total dosis 24 jam.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 18
 Bila renjatan nyeri ≥3x/24jam  Naikkan dosis
Morfin IR, caranya :

Dosis hari berikutnya =  Dosis Harian +  Dosis Renjatan

 Dosis morfin perlu dinaikkan 50% – 100% jika nyeri


tetap hebat (NRS 7-10)
 Dosis morfin perlu diturunkan 30% - 50% jika efek
samping yang muncul persisten.
 Jika dosis Morfin IR yang diperlukan tercapai,
gantikan Morfin IR dengan sustained release (SR)
morphine, caranya :

Dosis MST   Total Dosis Mo IR dalam 24 jam : 2

b. Morfin Sustained Release (SR) (MST)


 Sediaan ; 10mg, 15mg dan 30mg.
 Dosis : 10-30mg/12 jam.
 SR morfin mempunyai kelebihan seperti tidak perlu
minum di tengah malam, efek samping mengantuk
dan mual lebih ringan, dan rasa yang lebih dapat
diterima. Berikan dosis SR pertama bersamaan
dengan dosis IR terakhir.
 Tablet SR jangan digerus, jangan dikunyah, harus
ditelan utuh agar memiliki efek kerja dan durasi
yang diinginkan.

2) Morfin Parenteral
o Indikasi :
 Jika terdapat gangguan menelan
 Mual dan muntah hebat
 Ada obstruksi usus
 Penuruna kesadaran
 Kebutuhan dosis morfin yang tinggi
 Nyeri hebat pada pasien yang tidak patuh untuk minum
obat.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 19
o Diberikan secara subkutaneus (SK) atau intravena (IV).
Hindari pemberian secara intramuskuler (IM) karena
absorbsi yang tidak teratur dan nyeri pada saat
penyuntikan.
o Dosis morfin parenteral adalah 1/3 dosis oral, dengan
catatan dosis oral adalah dosis dasar + dosis renjatan,
tidak termasuk dosis untuk nyeri insiden.

 Dosis morfin parenteral 24 jam   Dosis oral 24 jam : 3

o Pemberian morfin SK atau IV dimulai dengan 1/3 dosis


oral.
o Morfin diberikan secara intermiten dengan dosis : 1/6 kali
dari dosis 24 jam, diberikan tiap 4 jam.
o Pemberian SK atau IV secara kontinyu dimulai dengan
pemberian dosis loading 1/6 dosis 24 jam.

b) Oksikodon
 Oksikodon merupakan opioid kuat dan agonis opioid komplit.
 Berikatan dengan reseptor mu, kappa, delta.
 Opioid semisintetik, derivat dari tebain.
 Bioavailabilitas oral Oksikodon : 50–87% lebih besar dari
bioavailabilitas morfin yang hanya15–40%.
 Dosis Equivalensi morfin : oksikodon  1.5 – 2 : 1.
 Oksikodon memiliki efek samping mual dan muntah yang lebih
rendah dari morfin.
 Saat ini tersedia dalam sediaan controlled released (CR) 10 mg,
15 mg, 20mg, yang diberikan setiap 12 jam peroral dan injeksi
10 mg/ml dan immediate release Oxycodone capsule 5 mg, 10
mg serta sirup.

c) Fentanyl
 Fentanyl tidak memiliki bentuk aktif metabolit. Efek samping
terhadap susunan saraf pusat lebih sedikit dibanding dengan
morfin. Efek konstipasi juga lebih ringan.
 Pemberian dapat melalui transdermal atau parenteral.
Pemberian IV atau SK memiliki durasi singkat sehingga dapat
digunakan untuk nyeri renjatan, insiden atau prosedur.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 20
 Kekurangan fentanyl adalah tidak memiliki bentuk oral, dosis
yang besar tidak dapat diberikan melalui SK karena memiliki
volume yang besar, efek onset yang lama pada sediaan
transdermal (12-24 jam), dosis transdermal terbatas (12,5; 25;
50; dan 100 mikrogram per jam) dan tidak dapat dipotong untuk
mendapatkan dosis yang lebih kecil. Kekurangan yang lain
adalah bila pasien berkeringat, bentuk transdermal mungkin
kurang bermanfaat.
 Bila menggunakan transdermal, dosis dasar opioid harus tetap
diberikan pada 12 – 18 jam pertama.
 Dosis equivalen untuk 25 mikrogram per jam trandermal fentanyl
adalah 60 – 100 mg oral morfin/24 jam.

Tabel 6. Dosis Equianalgesik dan Potensi Opioid Oral dan Parenteral


dibandingkan dengan Morfin

f. Lidokain tempel (Lidocaine patch) 5%


 Berisi lidokain 5% (700 mg).
 Mekanisme kerja : memblok aktivitas abnormal di kanal natrium
neuronal.
 Memberikan efek analgesik yang cukup baik ke jaringan lokal, tanpa
adanya efek anestesi (baal), bekrja secara perifer sehingga tidak ada
efek samping sistemik.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 21
 Indikasi: sangat baik untuk nyeri neuropatik (misalnya neuralgia pasca-
herpetik, neuropati diabetik, neuralgia pasca-pembedahan), nyeri
punggung bawah, nyeri miofasial, osteoarthritis.
 Efek samping : iritasi kulit ringan pada tempat menempelnya lidokain.
 Dosis dan cara penggunaan : dapat memakai hingga 3 patches di area
yang paling nyeri (kulit harus intak, tidak boleh ada luka terbuka),
dipakai selama <12 jam dalam periode 24 jam.

g. Eutectic Mixture of Local Anesthetics (EMLA)


 Mengandung lidokain 2,5% dan prilokain 2,5%.
 Indikasi: anestesi topical yang diaplikasikan pada kulit yang intak dan
pada membrane mukosa genital untuk pembedahan minor superfisial
dan sebagai pre-medikasi untuk anestesi infiltrasi.
 Mekanisme kerja: efek anestesi (baal) dengan memblok total kanal
natrium saraf sensorik.
 Onset kerjanya bergantung pada jumlah krim yang diberikan. Efek
anesthesia lokal pada kulit bertahan selama 2-3 jam dengan ditutupi
kassa oklusif dan menetap selama 1-2 jam setelah kassa dilepas.
 Kontraindikasi: methemoglobinemia idiopatik atau kongenital.
 Dosis dan cara penggunaan: oleskan krim EMLA dengan tebal pada
kulit dan tutuplah dengan kassa oklusif.

h. Manajemen Nyeri Intervensional


Dapat berupa blok regional (injeksi epidural, intrathekal/spinal), blok syaraf
perifer, blok syaraf simpatetik, infiltrasi di tempat nyeri, dan neurolisis.

i. PCA (Patient Controled Analgesia)


 PCA adalah cara baru dan canggih untuk mengelola nyeri. Obat
analgesia diberikan dengan bantuan pompa yang disertai tombol.
Pasien memiliki kebebasan untuk mengendalikan jumlah dan dosis
obat penghilang rasa sakit berdasarkan keluhan nyeri yang dirasakan
dengan cara menekan tombol pada mesin PCA. Dosis (demand dose,
background dose, maximum dose), dan waktu (lockout time) dapat di
setting pada mesin PCA disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
Sehingga waktu respon minimal penanganan nyeri dibandingkan
dengan administrasi intermiten oleh seorang perawat lebih cepat dan
tingkat kepuasan lebih tinggi.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 22
 Namun diperlukan kemampuan pemahaman dasar untuk penggunaan
PCA. Sehingga penggunaan PCA lebih banyak digunakan pada pasien
dewasa, dan diperlukan penjelasan dan pemahaman khusus pada
populasi anak-anak dan juga geriatri.
 Indikasi umum untuk PCA adalah :
a) Nyeri pasca operasi
b) Nyeri akut yang berat
c) Eksaserbasi akut dari nyeri kronis
d) Nyeri kanker
e) Pasien tidak bisa minum obat oral
 Kontra-indikasi :
a) Kurang memahami PCA
b) Dukungan fasilitas kesehatan dan staf medis yang tidak memadai
untuk PCA
 Jalur Pemberian PCA :
Ada lima jalur pemberian PCA, yaitu secara oral, intravena, epidural,
inhalasi, dan transkutan.
 Parameter dasar yang harus di atur :
a) Initial loading dose
Digunakan untuk titrasi obat sampai MEAC tercapai.
b) Demand dose
Jumlah dosis analgesik yang diberikan pada pasien tiap kali pasien
menekan tombol permintaan.
c) Lockout interval
Mekanisme pengaman yang digunakan untuk membatasi frekuensi
pemberian bolus PCA yang diminta pasien.
d) Dose limit
Batas maksimum jumlah dosis PCA yang dapat diberikan pada
suatu periode tertentu (umumnya 1 jam atau 4 jam).
e) Background infussion
Infus obat dengan laju konstan yang diberikan tanpa memperhatikan
apakah pasien mengaktifkan demand dose atau tidak.
 Semua opioid umum telah dapat digunakan dengan baik untuk PCA -
IV (Tabel 6), dan morfin adalah yang paling banyak digunakan.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 23
Tabel 7. Pilihan opioid untuk PCA

Continious
Opioid Demand Dose Lockout (min)
Basal
Morphine 1 – 2 mg 6 – 10 0 – 2 mg/h
Hydromorphone 0.2 – 0.4 mg 6 – 10 0 – 0.4 mg/h
Fentanyl 20 – 50 µg 5 – 10 0 – 60 µg/h
Sufentanil 4 – 6 µg 5 – 10 0 – 8 µg/h
Meperidinet 10 – 20 mg 6 – 10 0 – 20 mg/h
Tramadol 10 – 20 mg 6 – 10 0 – 20 mg/h

2) Terapi Non Farmakologi

Rehabilitasi Medik pada Nyeri


 Nyeri  Sindrom multi-faktor (faktor bio-psiko-sosio-spiritual), yang bila tidak di
tatalaksana dengan benar & baik dapat menjadi ‘Penderitaan Total” yang akan
memberikan dampak pada kehidupan pasien & keluarga
 Dampak Nyeri :
a) Gangguan fungsi aktifitas hidup sehari-hari (disabilitas: ketergantungan
meningkat)
b) Kecacatan / handicap
c) Kualitas hidup pasien terganggu
 Tujuan Penanganan : mengoptimalkan kemampuan berfungsi dengan bebas
nyeri atau nyeri terkontrol, sehingga terjadi perbaikan aktifitas hidup sehari-hari
dan kualitas hidup.
 Penanganan secara holistik & terpadu berdasar hasil asesmen komprehensif :
a) Anamnesis berhubungan nyeri, umum & keluhan penyerta serta
pemeriksaan fisik
b) Asesmen Nyeri & Asesmen Fungsional
c) Pemeriksaan penunjang, sesuai indikasi
 Tatalaksana Rehabilitasi Medik pada Nyeri sesuai Diagnosis Nyeri & Medis
penyebab nyeri serta Diagnosis Fungsional.
 Penanganan Medikamentosa / Farmakologi :
a) Sesuai penilaian intensitas derajat nyeri & klasifikasi : jenis / tipe nyeri
serta edukasi.

 Penanganan Non-Medikamentosa/Non-Farmakologi (Lihat Algoritme


Penanganan Rehabilitasi Medik pada Nyeri Kanker berikut). Berbagai

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 24
modalitas penanganan rehabilitasi medik (bio-psiko-sosio-spiritual) dapat
digunakan sesuai diagnosis tersebut diatas & kondisi pasien.

Gambar 5. Algoritme Penanganan Nyeri Kanker : Rehabilitasi Medik

B. MANAJEMEN NYERI PADA KEADAAN KHUSUS

1. Manajemen Nyeri Akut


 Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas (kurang
dari 6 minggu), yang memiliki hubungan waktu dan kausal dengan cedera atau
penyakit.
 Nyeri pasca operasi merupakan nyeri akut yang melibatkan aktivasi reseptor
nosiseptif dan pelepasan mediator inflamasi.
 Tatalaksan nyeri akut tahapan sebagai berikut :
1) Lakukan pengkajian nyeri mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan
penunjang
2) Tentukan klasifikasi nyeri :
a. Nyeri somatik
b. Nyeri visceral
c. Nyeri neuropatik
3) Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya.
a. Farmakologi: pemilihan obat analgesik disesuaikan dengan derajat nyeri.
Prinsip pemilihan obat menggunakan Three Step-Ladder WHO (lihat
manajemen nyeri sebelumnya).
 Intervensi: regional anestesi (injeksi epidural, spinal), blok syaraf
perifer, infiltrasi di tempat nyeri.
 PCA (Patient Controled Analgesia)
b. Non-Farmakologi
 Rehabilitasi Medik (lihat dalam pembahasan nyeri kanker)

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 25
 Akupuntur
 Psikoterapi
4) Follow-up / Pengkajian ulang
1)
a. Pengkajian ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur
b. Panduan umum :
 15 menit setelah intervensi obat injeksi
 1 jam setelah intervensi obat oral atau lainnya
 1 x / shift (8 jam) bila skor nyeri 1 – 3
 Setiap 3 jam bila skor 4 -6
 Setiap 1 jam bila skor nyeri 7 – 10
 Dihentikan bila skor nyeri 0
5) Edukasi
a. Medikasi saat pasien pulang
b. Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan dapat
Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta
tatalaksananya
c. Kepatuhan pasien dalam menjalani terapi nyeri dengan baik.
d. Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada kondisi pasien.
e. Beraktivitas sesuai anjuran bagian Rehabilitasi Medik.

2. Manajemen Nyeri Kronik


 Nyeri kronik adalah nyeri yang persisten melebihi waktu penyembuhan luka
atau berlangsung lebih dari 3 bulan.
 Tatalaksana nyeri kronik tahapan sebagai berikut :
1) Lakukan pengkajian nyeri
Anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat manajemen
nyeri sebelumnya) hingga pemeriksaan penunjang sesuai indikasi.
2) Pengkajian fungsional
a. Nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi disabilitas & kecacatan.
b. Buat tujuan aktivitas fungsi yang ingin dicapai secara spesifik dan
tahapan program pencapaiannya. Nilai efektifitas penanganan
fungsional dan manajemen pengobatan.
3) Tentukan mekanisme nyeri, karena manajemen nyeri bergantung pada
jenis / klasifikasi nyerinya :
a. Pasien sering mengalami >1 jenis nyeri
b. Terbagi menjadi 4 jenis, yaitu :
(1) Nyeri Neuropatik
Panduan Manajemen Nyeri
Rev.Maret 2019 26
 Disebabkan oleh kerusakan/disfungsi sistem somatosensorik
 Contoh : neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-
herpetik.
 Karakteristik : nyeri persisten, rasa terbakar, terdapat penjalaran
nyeri sesuai dengan persarafannya, baal, kesemutan, alodinia.
 Fibromyalgia : gatal, kaku, dan nyeri yang difus pada
muskuloskeletal (bahu,ekstremitas), nyeri berlangsung selama >3
bulan.
(2) Nyeri Otot
 Mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah, panggul,
dan ekstermitas bawah, paling sering ditemukan berupa nyeri
miofasial.
 Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/lebih jenis otot, berakibat
pada kelemahan, keterbatasan gerak
 Biasanya muncul akibat aktivitas pekerjaan yang repetitive.
 Tatalaksana : mengembalikan fungsi otot dengan fisioterapi,
identifikasi dan manajemen faktor yang memperberat (postur,
gerakan repetitif, faktor pekerjaan).
(3) Nyeri Inflamasi (Nyeri Nosiseptif)
 Contoh : arthritis, infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri pasca
operasi.
 Karakteristik : pembengkakan, kemerahan, panas pada tempat
nyeri. Terdapat riwayat cedera/luka.
 Tatalaksana : manajemen proses inflamasi dengan antibiotik/
antirematik, OAINS, dan kortikosteroid.
(4) Nyeri Mekanis/Kompresi
 Merupakan nyeri nosiseptif.
 Diperberat dengan aktivitas, dan nyeri berkurang dengan istirahat.
 Contoh : nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan
strain/sprain ligament/otot), degenerasi diskus, osteoporosis
dengan fraktur kompresi, fraktur.
 Tatalaksana : beberapa memerlukan dekompresi atau stabilisasi.

3. Manajemen Nyeri Kanker


 Nyeri kanker adalah nyeri kompleks yang menyertai penyakit kanker.
Merupakan keluhan yang paling banyak dijumpai pada pasien kanker terutana
pada stadium lanjut.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 27
 Penyebab nyeri pada pasien kanker
1) Terkait dengan tumor
a. Infiltrasi langsung
b. Metastasis jauh (misalnya metastasis tulang dan otak)
c. Obstruksi organ berongga (misalnya perut, kandung kemih)
d. Distensi kapsul organ padat (misalnya hati, ginjal)
e. Kompresi (misalnya sumsum tulang belakang)
f. Sindrom nyeri paraneoplastik (misalnya hipertrofik osteoarthropathy)
2) Terkait dengan pengobatan kanker
a. Pasca operasi (misalnya sindrom pasca-torakotomi)
b. Pasca-kemoterapi (misalnya mucositis)
c. Pasca-iradiasi (misalnya fibrosis setelah iradiasi kepala dan leher)
3) Tidak terkait dengan kanker atau perawatannya
Misalnya osteoarthritis, penyakit tulang belakang degeneratif, penyakit
ulkus peptikum.
4) Terkait dengan ketidakmampuan kronis
Misalnya konstipasi kronis, trombosis vena dalam, dan ulkus decubitus.

 Tatalaksana nyeri kanker sebagai berikut :


1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang,
2) Tentukan klasifikasi nyeri
a. Berdasarkan etiologi
 Disebabkan kanker (invasi tumor kejaringan sekitar, nyeri
metastasis tulang, sentral/perifer neuropati oleh kompresi sistem
syaraf, obstruksi saluran cerna oleh tumor)
 Akibat terapi kanker (nyeri pasca operasi, nyeri pasca kemoterapi,
neuritis radiasi, mukositis radiasi).
 Debilitas (ulkus decubitus, thrombosis vena dalam).
b. Berdasarkan patofisiologi : nosiseptif (somatik, viseral), neuropatik,
mixed pathophysiology, dan psychogenic.
c. Berdasarkan lokasi tumor : nyeri kepala-leher, chest wall syndromes,
nyeri vertebral and radikular, nyeri abdominal-pelvic, nyeri ektremitas
(misal brachial plexopathy, metastasis tulang).
d. Klasifikasi menurut waktu : akut, breakthrough, dan kronik.
e. Klasifikasi menurut keparahan : ringan, sedang, dan berat.
3) Prinsip tatalaksana nyeri kanker adalah dengan pendekatan multimodal.
4) Farmakologi : gunakan step-ladder WHO.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 28
Gambar 6. Step-ladder WHO Untuk Tatalaksana Nyeri

Lima konsep penting dari pendekatan WHO untuk terapi obat pada pasien
nyeri kanker yaitu :
(1) 'By the ladder'  Pemberian analgesik secara bertahap sesuai
dengan level nyeri anak (ringan, sedang, berat).
 Awalnya, berikan analgesik ringan-sedang (level 1).
 Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naiklah ke
level 2 (pemberian analgesik yang lebih poten).
 Pada nyeri hebat pasien harus diberikan opioid kuat onset cepat.
Dan harus dievaluasi setiap 15 menit – 60 menit (Lihat Manajemen
nyeri hebat hal 40). Pada pasien yang mendapat terapi opioid,
pemberian parasetamol tetap diaplikasikan sebagai analgesik
adjuvant.
(2) 'By the clock'  Mengacu pada waktu pemberian analgesik.
Pemberian haruslah teratur, misalnya: setiap 4-6 jam (disesuaikan
dengan masa kerja obat dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak
boleh prn (jika perlu) kecuali episode nyeri pasien benar-benar
intermiten dan tidak dapat diprediksi.
(3) 'By the mouth'  Mengacu pada jalur pemberian oral.
Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak invasif,
dan efektif; biasanya per oral.
Panduan Manajemen Nyeri
Rev.Maret 2019 29
(4) ‘For the invidual’ Mengacu individulisasi terapi.
 Tidak ada standarisasi dosis dan jenis terapi. Manajemen nyeri
berdasarkan level nyeri yang dilaporkan pasien sehingga pemberian
analgesik yang sesuai dengan kondisi masing-masing individu.
 Lakukan monitor dan pengkajian nyeri secara teratur.
 Sesuaikan dosis analgesic sesuai keluhan pasien.
(5) Attention to details  Mengacu pada pemantauan ketat terhadap
segala faktor yang mempengaruhi nyeri pasien termasuk faktor
biopsikososial.

Tabel 8. Obat-Obatan Analgetik dan Adjuvan yang digunakan


Berdasarkan Pendekatan Terapi Step-Ladder WHO

Klasifikasi Analgetik Obat lain


Aspirin
ibuprofen
Paracetamol
Ketoprofen
Nyeri Ringan Ketorolac
STEP 1
(NRS 1 – 3) OAINS Selective Cox-2 inhibitor
Gabapentin
± Adjuvant Amitriptyline
dexamethasone
Opioid lemah / Tramadol
Opioid kuat Morfin
dosis rendah oksikodon
Paracetamol
Aspirin
±
Nyeri Sedang ibuprofen
STEP 2 Paracetamol /
(NRS 4 – 6) Ketoprofen
OAINS
Ketorolac
Selective Cox-2 inhibitor
Gabapentin
± Adjuvant Amitriptyline
dexamethasone
Oksikodon
STEP 3 Nyeri Berat Opioid kuat Hidromofon
(NRS 7 – 10) fentanyl
STEP 3 Nyeri Berat
± Paracetamol
(NRS 7 – 10)
Paracetamol /
Aspirin
OAINS
Panduan Manajemen Nyeri
Rev.Maret 2019 30
ibuprofen

Ketoprofen

Ketorolac

Selective Cox-2 inhibitor


Gabapentin/pregabalin
Amitriptyline
± Adjuvant
Dexamethasone
ketamin

 Selain analgetik tersebut di atas, tatalaksana nyeri kanker yang bersifat multi-
modal dapat pula di dampingi dengan pemberian :
(1) Terapi Adjuvant
 Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri tetapi
dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu
 Pasien dengan nyeri neuropatik dapat diberikan tricyclic
antidepressant dan atau anti-konvulsan.
 Beberapa jenis adjuvant yang sering diberikan untuk tatalaksana nyeri
di antaranya :
a. Anti depresan : Amitriptilin (Tricyclic antidepressant) initial dose 0.2–
0.5 mg/kg PO titrasi hingga 0.25mg/kg setiap 2–3 hari, dosis
pemeliharaan: 0.2–3 mg/kg. Alternatif lainnya : Nortriptiline. Dapat
bermanfaat sebagai analgesik multimodal : antagonis adrenergic
alfa-2, kortikosteroid, anestesi topical.
b. Relaksan otot : Benzodiazepin. Dapat digunakan sebagai analgesik
untuk nyeri musculoskeletal.
c. Ketamine adalah agen anestesi yang memiliki cara kerja sebagai
non-competitive blocker reseptor the N-methyl-D-aspartate (NMDA).
Dapat digunakan secara parenteral dan oral untuk mengatasi nyeri
neuropatik yang tidak respon terhadap terapi opioid dan adjuvant
lainnya. Obat ini memiliki efek psikomimetik yang signifikan,
sehingga sering digunakan sebagai ketamine dosis rendah.

(2) Bisphosponat

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 31
Terapi Bisphosphonat dipertimbangkan pada semua pasien yang
mengalami nyeri karena metastasis tulang (misal multiple myeloma, kanker
payudara metastasis tulang) sebagai tambahan terapi nyeri konvensional.

(3) Manajemen Nyeri Intervensional


 Prosedur interventional dipertimbangkan pada nyeri hebat yang tidak
respon dengan terapi konvensional atau pasien tidak dapat
mentoleransi efek samping obat konvensional. Prosedur interventional
bekerja dengan cara menghambat impuls nyeri memblok jaringan saraf
yang menjadi target suntikan, atau dirusak dengan agen kimia tertentu,
 Dipertimbangkan pada beberapa kondisi :
a. Jika terapi standar seperti obat sistemik (oral, parenteral,
transdermal, subcutan) behavioral dan rehabilitasi fisik tidak dapat
mengatasi nyeri atau efek samping tidak dapat ditoleransi oleh
pasien.
b. Nyeri bersifat terlokalisasi secara jelas.
c. Manfaat intervensi diprediksi lebih besar dibandingkan risikonya.
d. Kemampuan dan fasilitas memenuhi untuk melakukan prosedur
secara benar dan aman.
 Biasanya menggunakan anestesi lokal dan agen neurolisis
(alkohol/fenol), dapat berupa :
a. Blok syaraf perifer (Brachial interscalene, Brachial supraclavicular,
paravertebral block, psoas block dll)
b. Blok syaraf neuraxial ( epidural, spinal)
c. Blok syaraf simpatetik (stellate ganglion, coeliac plexus, lumbar
sympathetic block, ganglion impar block)

(4) Radiopharmaceutical Bone Pain Palliative Samarium-153 EDTMP.


Diindikasikan pada nyeri kanker metastasis tulang yang multiple dan tidak
respon dengan pengobatan konvensional.

4. Manajemen Nyeri Pada Pediatrik


Nyeri pada pasien anak seringkali lebih sulit dikenali dan ditata laksana bila
dibandingkan dengan pasien dewasa. Anggapan bahwa anak, terutama neonatus
dan bayi, kurang mampu mendeteksi rasa nyeri dan tidak dapat mengingat
pengalaman tidak menyenangkan, termasuk rasa sakit, adalah contoh pemikiran
yang membuat manajemen nyeri pada pasien anak belum adekuat.

1) Klasifikasi Nyeri pada Anak


Panduan Manajemen Nyeri
Rev.Maret 2019 32
Tabel 9. Klasifikasi Nyeri pada Anak

Kategori Subklasifikasi Deskripsi


Patofosiologi Nyeri nosiseptif Nyeri tipe ini timbul saat cedera jaringan
mengaktifkan reseptor rasa nyeri yang disebut
nosiseptor, yang sensitif terhadap rangsangan
berbahaya. Reseptor ini dapat merespons
beragam stimulus dan zat kimia yang dilepaskan
dari jaringan sebagai respons terhadap
kekurangan oksigen, kerusakan jaringan, atau
inflamasi. Nyeri dapat berupa rasa sakit somatik
atau visceral berdasarkan lokasi reseptor yang
teraktivasi.
Nyeri neuropatik Nyeri dengan impuls yang berasal dari kerusakan
atau disfungsi sistem saraf, baik perifer maupun
pusat.
Etiologi Non-malignant Nyeri yang ternasuk kategori ini adalah nyeri
muskuloskeletal kronis, nyeri neuropati, nyeri
viseral (seperti distensi visera dan kolik) dan nyeri
kronis pada beberapa anemia tertentu. Tata
laksana utama nyeri jenis ini adalah rehabilitasi.
Malignant Nyeri pada penyakit yang potensial membatasi
kehidupan seperti multiple sclerosis, kanker,
HIV/AIDS, kegagalan organ stadium akhir,
penyakit paru obstruktif kronik, dan gagal jantung
kongestif lanjut. Target utama manajemen nyeri
jenis ini adalah terkontrolnya gejala.
Durasi Akut Nyeri yang baru terjadi dan kemungkinan besar
berlangsung dengan durasi terbatas. Sebab nyeri
biasanya memiliki hubungan temporal dan kausal
yang dapat diidentifikasi yaitu cedera atau
penyakit. Sebagian besar nyeri akut sembuh saat
tubuh sembuh atau cedera teratasi.
Kronik Nyeri yang berlangsung lama, lebih dari 6 bulan.
Rasa sakit umumnya tetap ada walaupun
penyembuhan luka sudah terjadi dan mungkin
tidak ditemukan penyebab yang jelas.
Lokasi Nyeri dapat dikelompokkan berdasarkan organ
tubuh (misalnya di kepala, di bagian belakang
atau leher) atau fungsi anatomi jaringan yang
terkena (misalnya vaskular, rematik, myofascial,

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 33
skeletal, dan neurologis). Pengelompokan ini
mungkin tidak membedakan manajemen untuk
mengatasi rasa sakit, namun bisa bermanfaat
untuk diagnosis banding.

2) Pengkajian Nyeri pada Anak


 Untuk menilai skala nyeri pada anak harus dibedakan berdasarkan tahapan
tumbuh-kembangnya.
 Penilaian nyeri pada neonatus dapat digunakan skala CRIES (Crying,
Requires O2, Increased vital signs, Expression. Sleepless) yaitu akronim
untuk lima parameter fisiologis dan pengamatan perilaku.
 Pada tahap preverbal (bayi dan anak kurang 3 tahun), penilaian lebih
sesuai menggunakan parameter perubahan perilaku yang meliputi ekspresi
wajah, motorik, dan respon fisiologis. Pendapat orangtua juga harus
diperhitungkan untuk membedakan reaksi karena nyeri atau karena
penyebab lainnya.
 Penilaian nyeri yang sesuai dan tervalidasi untuk tahapan ini adalah
FLACC (Face, Legs, Activity, Cry, Consolability) dapat dilihat pada Tabel 2.
 Tahap verbal (3 - 8 tahun) bisa menggunakan self-information melalui
gambar wajah, yang sesuai dan tervalidasi untuk tahapan ini adalah Wong
Baker faces scale dapat dilihat pada Gambar 1.
 Di atas usia 8 tahun, anak-anak yang kompeten bisa menggunakan alat
penilaian uni-dimensional seperti numeric rating scale (NRS) yang juga
tertera pada Gambar 1. Pada skala numerik digunakan skor 0 sampai 10
yaitu skor 10 menggambarkan tingkat nyeri terburuk hingga skor 0
menggambarkan tidak ada sensasi nyeri. Skala Wong Baker Faces terdiri
atas 5 gambar wajah yang mengindikasikan tingkatan nyeri. Pasien cukup
menunjuk salah satu gambar yang menggambarkan tingkatan nyeri yang
sedang dirasakan.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 34
Gambar 7. Gabungan sistem skoring nyeri Visual Analog Scale (VAS) atau Numeric
Rating Scale (NRS) dan Wong-Baker Faces scale11

3) Terapi Nyeri pada Anak


Tata laksana nyeri pada anak meliputi pendekatan farmakologi dan non
farmakologi. Hal ini disebabkan oleh seringkali pasien anak yang sedang
mengalami nyeri juga merasa takut atau tidak nyaman berada di tempat
pelayanan kesehatan. Penting bagi penyedia layanan kesehatan untuk
melakukan pendekatan yang berpusat pada anak atau individu yang sedang
dalam penilaian.
a. Farmakologi
Pemilihan obat untuk mengatasi nyeri akut disesuaikan dengan derajat
nyeri yang dirasakan oleh anak. Nyeri ringan dapat diatasi dengan
analgesik ringan seperti parasetamol, sementara nyeri berat umumnya
membutuhkan opioid. Konsep World Health Organization (WHO) three-step
analgesic ladder diperkenalkan pada tahun 1986 untuk membantu klinisi
dalam pemilihan obat antinyeri (Gambar 2). Obat-obatan yang sering
dipakai dalam manajemen nyeri pada anak dapat dilhat pada Tabel 4.8,12
Sejak tahun 2012, WHO merekomendasikan langkah three-step ladder
menjadi 2 langkah bagi anak yang mengalami nyeri persisten, yaitu:13
1. Tahap 1 (nyeri ringan)
 Usia > 3 bulan: parasetamol atau ibuprofen
 Usia < 3 bulan: parasetamol
2. Tahap 2 (nyeri sedang atau berat). Pilihan obat pada tahap ini adalah
opioid kuat (morfin).

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 35
Tabel 10. Obat-Obatan yang Sering dipakai Untuk Tatalaksana Nyeri pada Anak12

Obat Dosis Onset Indikasi Catatan


(menit)
Parasetam IV, OR: 10-15 mg/kgBB/ 30 Nyeri ringan Tanpa risiko
ol 6 jam sampai depresi napas
sedang
Ketorolak OR: 2 mg/kgBB/6-8 jam 30 Nyeri sedang Aksi sentral
IV, IM: 0,2-1 mg/kgBB/ sampai berat Hepatotoksik
6 jam Pemakaian
jangka pendek
Metamizol IV: 10-40 mg/kgBB/ 15-30 Nyeri sedang Hipotensi pada
4-6 jam sampai berat pemberian secara
INF: 4-6,6 mg/kgBB/jam cepat
Tramadol IV: 1-2 mg/kgBB/4-6 jam 10 Nyeri akut Toleransi
INF: 0,2-0,4 hemodinamik
mg/kgBB/jam baik
Sedikit berisiko
depresi napas
Morfin IV: 0,1-0,2 mg/kgBB/4 20 Sedasi dan Turunkan dosis
jam analgesia pada gangguan
INF: 10-40 pada ventilasi fungsi ginjal dan
mcg/kgBB/jam mekanis hepar
Nyeri akut dan Pelepasan
kronik histamin
Edema paru Mual, muntah,
konstipasi
Fentanil IV: 1-3 mcg/kgBB 1-2 Prosedur Waktu klirens
INF: 1-10 mcg/kgBB/jam singkat panjang
Nyeri (sama Toleransi
dengan morfin) hemodinamik
baik
Metadon IV: 0,1-0,2 mcg/kgBB/ 45 Tata laksana Mual dan muntah
4-6 jam withdrawal
syndrome
Keterangan : IV = intravena, OR = oral, INF = continous infusion

b. Non Farmakologi
 Nyeri terkadang bukan timbul akibat penyakit yang dialami pasien,
namun disebabkan oleh prosedur yang harus ia jalani. Pendekatan
Panduan Manajemen Nyeri
Rev.Maret 2019 36
nonmedikamentosa dapat memperbesar kesempatan anak untuk
terlibat sepenuhnya dalam membuat keputusan. Hal ini memungkinkan
kebebasan bagi anak untuk berpikir, mengalami, mengeksplorasi,
mempertanyakan, dan mencari jawaban, serta memungkinkan mereka
merasa bangga karena melakukan sesuatu untuk diri mereka sendiri.
Anak dan keluarga sebaiknya berpatisipasi aktif dalam manajemen
nyeri.
 Distraksi adalah metode yang paling sering digunakan untuk
mengalihkan perhatian anak-anak dari rangsangan yang menyakitkan
sehingga diharapkan mengurangi rasa sakit dan kecemasan. Hal ini
akan efektif bila dilakukan sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
 Metode distraksi dibagi menjadi 2, yaitu :
(1) Distraksi aktif  mendorong partisipasi anak dalam aktivitas
selama prosedur.
(2) Distraksi pasif  mengharuskan anak tetap diam sementara
petugas kesehatan secara aktif mengalihkan perhatian anak
(menyanyi, berbicara, atau membaca buku).
 Intervensi untuk meminimalkan rasa sakit dapat berupa intervensi
kognitif, perilaku, atau gabungan.
(1) Intervensi kognitif  lebih sering dipakai untuk anak-anak yang
lebih tua untuk mengalihkan perhatian dari rasa sakit yang
berhubungan dengan prosedur (misalnya, menghitung,
mendengarkan musik, berbicara tentang hal lain).
Hal yang dapat dikerjakan saat intervensi kognitif misalnya
permainan imajinasi, penjelasan mengenai prosedur yang akan
dikerjakan (sesuai dengan kemampuan penerimaan anak),
memberikan pikiran positif, mengurangi kecemasan pada
orangtua, permainan/tontonan video atau televisi.
(2). Intervensi perilaku  antara lain latihan pernapasan, memberi
contoh sikap postif, memperkenalkan prosedur yang akan
dikerjakan secara bertahap, pemberian hadiah, serta pendekatan
orangtua.
 Pemberian sukrosa efektif untuk meredakan rasa nyeri pada bayi
prematur dan cukup bulan hingga usia 1 bulan, dengan efektifitas
analgetik selama 3-5 menit. Metode ini dapat lebih dirasakan
manfaatnya bila dikombinasi dengan menyusu atau menghisap
dot/empeng. Menyusu sendiri merupakan pilihan terbaik bagi bayi yang
akan menjalani prosedur ringan dan singkat, seperti pemasangan

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 37
jarum infus. Selain itu, metode kangguru atau skin to skin contact juga
ditemukan sangat membantu mengurangi rasa sakit, terutama bila
dikombinasikan dengan metode lainnya.

5. Manajemen Nyeri Berat (NRS 7-10)


 Nyeri dengan intensitas berat dengan skala NRS antara 7 hingga 10 dianggap
sebagai kedaruratan nyeri (pain emergency).
 Nyeri ini harus ditangani dengan titrasi cepat analgesik opioid oral lepas cepat
(immediate release -IR) atau injeksi intravena untuk menjamin penanganan
nyeri secepat mungkin. Penilaian awal status nyeri adalah pemeriksaan yang
harus dikerjakan untuk menentukan tingkat nyeri yang dirasakan pasien (lihat
Gambar 4. Algoritma Manajemen Nyeri Berdasarkan Derajat Nyeri).
 Tujuan dari tatalaksana ini adalah untuk mengurangi skala intensitas nyeri
terburuk menjadi antara 0 dan 3.
a. Tatalaksana Nyeri Hebat dengan Morfin Oral
 Untuk pasien dengan nyeri hebat dengan skala antara 7 dan 10, dosis
oral awal 5-15 mg morfin sulfat kerja cepat atau setara dianjurkan
untuk pasien yang belum menggunakan opioid.
 Untuk pasien yang saat ini menjalani terapi opioid, dosis 24 jam
sebelumnya dan dosis renjatan (10% -20% dari dosis 24 jam) harus
dihitung. Maka dosis bantuan (rescue dose) harus ditingkatkan sebesar
50% -100% dari dosis renjatan dan kemudian diberikan.
 Penilaian ulang harus dilakukan setiap 60 menit untuk menentukan
dosis selanjutnya.
 Peningkatan dosis 50% -100% dari morfin oral sebelumnya harus
dipertimbangkan untuk pasien dengan skor nyeri yang tidak mengalami
perubahan.
 Peningkatan dosis 25% -50% dari morfin oral harus dipertimbangkan
untuk pasien dengan skor nyeri berkurang kurang dari 50% setelah
penilaian ulang 1 jam dari perawatan awal.
 Jika skor nyeri menurun 50% atau lebih setelah penilaian ulang 1 jam
dari perawatan awal, maka dosis awal dianggap "efektif" dan harus
diberikan setiap 4 jam.

b. Tatalaksana Nyeri Hebat dengan Morfin Injeksi Intravena

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 38
 Dosis awal (loading) intravena untuk pasien dengan nyeri berat (7-10)
atau sedang (4-6) tergantung pada pemberian opioid sebelumnya
(algoritma 2).
 Dosis 1-5 mg intravena sulfat sulfat atau setara dapat
direkomendasikan sebagai dosis awal.
 Penilaian ulang harus direkomendasikan untuk pasien yang naive-
opioid dengan berat yang dilakukan setiap 15 menit untuk menghitung
nyeri selanjutnya.
 Untuk pasien yang saat ini memakai opioid, dosis awal opioid adalah
10-20% dari kebutuhan total 24 jam sebelumnya (bisa juga disebut
sebagai dosis bantuan atau rescue dose).
 Jadi dosis harian berikutnya ditambahkan beberapa kali dosis bantuan
intravena (tergantung pada skor nyeri setelah 15 menit penilaian
ulang).
 Ketika tingkat kenyamanan yang diinginkan tercapai, analgesia yang
adekuat dapat dipertahankan dengan menggunakan opioid kerja lama
(sustained released) untuk dosis pemeliharaan, dan opioid kerja cepat
(immediate release) untuk nyeri renjatan.
 Untuk mengubah dosis opioid : contoh enam kali morfin IR oral setiap 4
jam = dosis morfin IR 24 jam; dibagi menjadi dosis morfin 24 jam
dengan 2 = 12 jam dosis morfin kerja lama (sustained released).

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 39
Nyeri Skala 7 – 10

Belum pernah minum opioid Dalam terapi opioid

Mulai dosis 5-15 mg morfin Kalkulasi total kebutuhan


immediate release (IR) atau opioid 24 jam sebelumnya
yang equivalen

Berikan 10-20% dosis total


24 jam sebelumnya

Naikan dosis 50-100%


untuk breaktrough

Pengkajian ulang skala nyeri setelah 60 menit

Nyeri tidak berubah Nyeri berkurang < 50% Nyeri berkurang > 50%

Ulangi pemberian morfin Ulangi pemberian morfin Berikan dosis yg sama/


Naikan dosis hingga 100% dengan dosis yang sama 4jam bila nyeri

Pengkajian ulang 60 menit Pengkajian ulang 60 menit Ubah dosis total 24 jam
menjadi opioid kerja
panjang (controlled release)

Tentukan dosis breaktrough 10-20% dosis total 24 jam


sebelumnya

Gambar 8. Algoritma Tatalaksana Nyeri Hebat dengan Morfin Oral

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 40
Nyeri Skala 7 – 10

Belum pernah minum opioid Dalam terapi opioid

Mulai dosis 5-15 mg morfin Kalkulasi total kebutuhan


immediate release (IR) atau opioid 24 jam sebelumnya
sejenisnya

Berikan intravena/SC 10-


20% dosis total 24 jam
sebelumnya

Pengkajian ulang skala nyeri setelah 15 menit

Nyeri tidak berubah Nyeri berkurang < 50% Nyeri berkurang > 50%

Ulangi pemberian morfin Ulangi pemberian morfin Pengkajian ulang skala


Naikan dosis hingga 100% dengan dosis yang sama nyeri dalam 2-4 jam untuk
menentukan dosis efektif

Pengkajian ulang 15 menit Pengkajian ulang 15 menit Ubah dosis total 24 jam
menjadi opioid kerja
panjang (controlled release)

Gambar 9. Algoritma Tatalaksana Nyeri Hebat dengan Morfin Intravena

C. Alur Manajemen Nyeri

Pelayanan nyeri di rumah sakit dilakukan 24 jam dengan penanggung jawab adalah
dokter DPJP. Apabila keluhan nyeri pasien tidak dapat ditangani oleh DPJP dengan
skor ≥ 4 dalam waktu 1x24 jam maka harus dikonsultasikan ke tim manajemen nyeri
untuk pemberian terapi nyeri sesuai kebutuhan.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 41
Berikut bagan alur manajemen nyeri :

Setiap pasien baru masuk RS harus


dilakukan skrinning awal nyeri

Pasien Nyeri

Asesmen skala nyeri dengan menggunakan NRS,


Wong baker, BPS, FLACC

Skala Nyeri ≥4 ?
Tidak
Ya

Tata Laksana Nyeri oleh DPJP sesuai


PPK

Nyeri Teratasi ? Ya Assesmen Ulang Nyeri

Tidak,
Skala Nyeri ≥4

Konsultasi kepada
Tim Manajemen Nyeri
Skala Nyeri <4 ? Tidak

Tim Manajemen Nyeri melakukan


Tata laksana nyeri sesuai PPK Ya

Tidak Ya
Nyeri Teratasi SELESAI

Gambar 10. Alur Manajemen Nyeri

D. DOKUMENTASI
1. Pengkajian nyeri yang sudah terintegrasi di dalam formulir pengkajian awal
pasien.
2. Formulir Pemantuan Nyeri dalam rekam medis.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 42
BAB IV

MONITORING DAN EVALUASI

A. Monitoring

Monitoring dilakukan dengan mengamati kegiatan, agar dapat menemukan masalah


seawal mungkin untuk selanjutnya dilakukan perbaikan secara berkesinambungan.
Tujuan monitoring adalah :
1. Untuk mengadakan perbaikan dan perubahan sistem pelayanan secara
berkesinambungan;
2. Untuk menyesuaikan strategi atau panduan kegiatan yang dilaksanakan di
lapangan sesuai dengan temuan-temuan di lapangan;
3. Hasil analisis dan monitoring digunakan untuk perbaikan dalam pemberian
pelayanan di RS Kanker “Dharmais”.
Kegiatan monitoring dilakukan dengan cara :
1. Memeriksa dan meneliti alur rujukan pelayanan pasien kanker dengan nyeri
melalui rekam medis pasien.
2. Memeriksa kelengkapan data pengkajian awal sebelum memulai pengobatan
3. Memeriksa kelengkapan data pematauan nyeri pada rekam medis pasien.

B. Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk mengukur efektifitas dan efisiensi pelayanan manajemen
nyeri yang telah dilakukan dan sejauh mana pemanfaatan panduan manajemen
nyeri dan sumber-sumber yang tersedia. Evaluasi dilakukan secara periodik setiap
6 bulan sekali. Berdasarkan hasil evaluasi dilakukan rencana tindak lanjut
perbaikan untuk meningkatkan kinerja pelayanan dan acuan untuk perencanaan
yang akan datang serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan sumber daya
manusianya.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 43
BAB V

PENUTUP

Dengan ditetapkannya Panduan Manajemen Nyeri ini, maka setiap personil Rumah Sakit
Kanker “Dharmais” agar melaksanakan ketentuan tentang Panduan Manajemen Nyeri
dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
Pada Tanggal : Maret 2019

ABDUL KADIR

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 44
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-undang RI No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


2. Kementerian Kesehatan RI. Standard Akreditasi Rumah Sakit. Tahun 2011.
3. Joint Commission on accreditation of Healthcare Organizations. Pain: current
understanding of assessment, managements, and treatments. National
Pharmaceutical council, Inc; 2001.
4. Wallace MS, Staats PS. Pain medicine and management: just the facts. McGraw-
Hill; 2005.
5. Steven D. Waldman, Pain Management 2nd ed. ; 2011
6. National Institute of Health Warrant Grant Magnuson Clinical Center. Pain intensity
instruments: numeric rating scale; 2003.
7. The Use of the Behavioral Pain Scale to Assess Pain in Conscious Sedated
Patients. Anesthesia and Analgesia. Vol. 110, No. 1, January 2010
8. Wong D, Whaley L. Cinical handbook of pediatric nursing. Edisi ke-2. St. Louis:
C.V. Mosby Company; 1986. h. 373.
9. Adult Cancer pain. NCCN Guidelines version 2.2016
10. Institute for Clinical System Improvements (ICSI). Health care guideline:
assessment and management of acute pain. Edisi ke-6. ICSI; 2008.
11. Pain Management Task Group of The Hull & East Riding Clinical Policy Forum.
Adult pain management guidelines. NHS;2006.
12. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). Health care guideline:
assessment and management of chronic pain. Edisi ke-5. ICSI;2011.

Panduan Manajemen Nyeri


Rev.Maret 2019 45

Anda mungkin juga menyukai