Anda di halaman 1dari 25

Kertas Kerja Perorangan-Pengaruh Pertumbuhan

Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran dan


Kemiskinan Di Kab. Teluk Bintuni

PENGARUH PERTUMBUHAN PENDUDUK TERHADAP


TINGKAT PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN DI
KABUPATEN TELUK BINTUNI

OLEH :
ABED NEGO,SE
NIP. 19821020 201101 1 012

KKP
Untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan
pada Diklat Fungsional Statistisi Tingkat Ahli

BADAN PUSAT STATISTIK


KABUPATEN TELUK BINTUNI
TAHUN 2012
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Jumlah penduduk di dalam pembangunan ekonomi suatu daerah merupakan
permasalahan mendasar, karena pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dapat
mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pembangunan ekonomi yaitu kesejahteraan rakyat.
Menurut Malthus, pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyebabkan kebutuhan konsumsi
lebih banyak daripada kebutuhan untuk berinvestasi sehingga sumber daya yang ada hanya
dialokasikan lebih banyak ke pertumbuhan tenaga kerja yang tinggi daripada untuk
meningkatkan kapital kepada setiap tenaga kerja sehingga akan menyebabkan penyerapan tenaga
kerja yang lambat di sektor-sektor modern dan meningkatkan pengangguran.
            Pertumbuhan penduduk dapat berdampak langsung terhadap pembangunan berupa
tersedianya tenaga kerja yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan. Akan tetapi
kuantitas penduduk tersebut juga memicu munculnya permasalahan-permasalahan yang juga
berdampak terhadap pembangunan. Permasalahan-permasalahan tersebut termasuk tingkat
Pengangguran dan kemiskinan.
            Kabupaten Teluk Bintuni merupakan Daerah pemekaran baru yang kaya akan sumber
daya alamnya. Hal inilah yang memicu mobilitas migrasi masuk pada daerah
yang rodapemerintahannya baru berjalan sejak tahun 2003 lalu. Data BPS menunjukkan, jumlah
penduduk Kabupaten Teluk Bintuni berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2000 sebesar 37 172
jiwa dan Sensus Penduduk ditahun 2010 menunjukan jumlah penduduk sebesar 52 422 jiwa.
Yang Artinya dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun, jumlah penduduk di daerah ini meningkat
sebesar 15 250 jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk 3,5% per tahun.
Dengan jumlah pengangguran terbuka sebesar 1 779 jiwa dari 25 430 jiwa angkatan kerja  serta
tingkat kemiskinan sebesar 47,62%.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang kondisi dan situasi diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
masalah penelitian sebagai berikut ;
1. Bagaimanakah dampak pertumbuhan penduduk terhadap Tingkat Pengangguran di Kabupaten
Teluk Bintuni
2     Bagaimanakah dampak pertumbuhan penduduk terhadap Kemiskinan di Kabupaten Teluk
Bintuni

1.3  Tujuan Dan Manfaat Penelitian


1.3.1 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah diatas maka tujuan
dari penelitian ini yaitu:
1.    Untuk mengetahui dampak pertumbuhan penduduk terhadap Tingkat Pengangguran di
Kabupaten Teluk Bintuni.
2.    Untuk mengetahui apakah pertumbuhan penduduk mempengaruhi tingkat kemiskinan di
Kabupaten Teluk Bintuni.
1.3.2  Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi pemerintah dan lembaga lainnya sebagai masukan dalam memecahkan masalah
pengangguran dan kemiskinan di Kabupaten Teluk Bintuni.
2.    Bahan referensi baik bagi diri sendiri maupun pihak lain guna kepentingan penelitian selanjutnya
dalam masalah yang berkaitan.

1.4 Sistematika Penulisan


Untuk memudahkan penulisan dan pembahasan selanjutnya, maka KKP ini disusun berdasarkan
sistematika pembahasan sebagai berikut :
Bab I       Merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang, masalah pokok, tujuan dan kegunaan
penulisan serta sistematika pembahasan.
Bab II      Membahas metodologi yang terdiri dari metode analisis, jenis dan sumber data.
Bab III    Deskripsi hasil penelitian, analisis data, serta pembahasan hasil penelitian.
Bab IV    Sebagai penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran yang merupakan bagian terakhir dari
penulisan ini.

BAB II
METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Metode Analisis


Metode analisis yang penulis gunakan adalah analisis deskriptif. Adapun yang
dimaksudkan dengan analisis deskriptif  yakni dengan mengumpulkan informasi mengenai status
suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan
dengan tujuan untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-
fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Penelitian deskriptif sebenarnya tidak perlu
mencari atau menerangkan saling hubungan atau komparasi, sehingga juga tidak memerlukan
hipotesis. Namun demikian, dalam perkembangannya selain menjelaskan tentang situasi atau
kejadian yang sudah berlangsung, sebuah penelitian deskriptif juga dirancang untuk membuat
komparasi maupun untuk mengetahui hubungan atas satu variabel kepada variabel lain.

2.2 Jenis dan Sumber Data


            Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu data sekunder yang
bersifat kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh melalui studi kepustakaan sebagai berikut
1. Data Kuantitatif
      Data ini berupa data tahunan periode tahun 2010-2011 yang terdiri dari data pertumbuhan
penduduk berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Teluk
Bintuni, Data ketenagakerjaan berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional Tahun 2010-
2011 dan data kemiskinan tahun 2010-2011.
2. Data Kualitatif
Data ini berupa data yang diperoleh dari berbagai artikel yang digunakan dalam pembahasan ini
dan studi kepustakaan.
Adapun sumber data yang digunakan dalam pembahasan ini di peroleh dari :
1.      Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Teluk Bintuni
2.      Berbagai rujukan Elektronik.

  

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Kependudukan
3.1.1 Konsep Kependudukan
            Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah territorial Republik Indonesia
selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan
menetap. Sementara pertumbuhan penduduk dapat diartikan dengan perubahan populasi
sewaktu-waktu, dan dapat dihitung sebagai perubahan dalam jumlah individu dalam sebuah
populasi menggunakan “per waktu unit” untuk pengukuran.
Salah satu perintang pembangunan ekonomi di negara-negara yang sedang berkembang
dan yang sekaligus merupakan ciri negara-negara tersebut ialah  adanya ledakan penduduk.
Telah kita ketahui bahwa tujuan pembangunan ekonomi adalah meningkatkan standar hidup
penduduk, yang biasa diukur dengan kenaikan penghasilan riil perkapita. Penghasilan riil per
kapita adalah sama dengan PDRB riil atau output secara keseluruhan yang dihasilkan selamam
satu tahun dibagi dengan jumlah penduduk seluruhnya. Jadi standar hidup tidak dapat dinaikkan
kecuali jika output meningkat dengan lebih cepat daripada pertumbuhan jumlah penduduk.
Untuk mempengaruhi perkembangan output total diperlukan penambahan investasi yang cukup
besar agar supaya dapat menyerap pertambahan penduduk, yang berarti naiknya penghasilan riil
per kapita.
Dari banyak penelitian kita mengetahui bahwa faktor utama yang menentukan
perkembangan penduduk adalah tingkat kematian, tingkat kelahiran dan tingkat perpindahan
penduduk (migrasi).
1. Tingkat Kematian (Death Rate)
Ada empat faktor yang menyumbang terhadap penurunan angka kematian pada umumnya:
a).   Adanya kenaikan standar hidup sebagai akibat kemajuan teknologi dan meningkatnya
produktivitas tenaga kerja.
b). Adanya perbaikkan pemeliharaan kesehatan umum (kesehatan masyarakat), maupun kesehatan
individu.
c). Adanya kemajuan dalam bidang ilmu kedokteran serta diperkenalkannya lembaga-lembaga
kesehatan umum yang modern, sehingga dapat mengurangi jumlah orang yang terserang
penyakit.
d).   Meningkatnya penghasilan riil per kapita, sehingga orang mampu membiayai hidupnya dan
bebas dari kelaparan dan penyakit, dan selanjutnya dapat hidup dengan sehat.
2. Tingkat Kelahiran (Birth Rate)
Jika kita menyimak ke negara-negara industri, pertumbuhan penduduk berlangsung terus di
samping adanya penurunan tingkat kelahiran. Tingkat kelahiran lebih dihubungkan dengan
perkembangan ekonomi melalui pola-pola kebudayaan seperti: umur perkawinan, status
wanitanya, kedudukan antara rural dan urban serta sifat-sifat dari system famili yang ada. Di
negara-negara yang sudah maju, terutama di negara-negara barat, penurunan tingkat kematian
sungguh-sungguh telah diikuti oleh suatu penurunan tingakt kelahiran pula.
3. Migrasi
Migrasi merupakan bagian dari mobilitas penduduk. Sedangkan mobilitas penduduk
adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Adapun faktor-faktor yang
menyebabkan migrasi adalah sebagai berikut :
a)         Faktor Ekonomi, yaitu ingin mencari kehidupan yang lebih baik di tempat yang baru. Hal inilah
yang akan banyak di bahas dalam topik yang penulis angkat dalam KKP ini.
b)         Faktor Keselamatan dan Keamanan, yaitu ingin menyelamatkan diri dari bencana alam atau
gangguan keamanan seperti peperangan dan konflik antar kelompok.
c)         Faktor Kepentingan Pembangunan, yaitu dikarenakan daerahnya terkena dampak pembangunan;
dan
d)        Faktor pendidikan, yakni migrasi yang terjadi karena ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi.

  Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio)


Rasio ketergantungan (dependency ratio) merupakan perbandingan antara jumlah
penduduk berumur 0-14 tahun, ditambah dengan jumlah penduduk 65 tahun keatas dibandingkan
dengan jumlah penduduk usia 15-64 tahun. Dependency Ratio ini merupakan salah satu indikator
demografi yang penting. Semakin tinggi persentase dependency ratio menunjukkan semakin
tingginya beban yang ditanggung oleh penduduk produktif untuk membiayai hidup penduduk
yang belum produktif dan penduduk yang tidak produktif lagi. Begitupun sebaliknya jika
semakin rendah persentase dependency ratio, maka semakin ringan pula beban yang di tanggung
oleh penduduk produktif.

3.1.2 Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Teluk Bintuni


Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kabupaten Teluk
Bintuni adalah 52. 422 jiwa yang terdiri 29.078 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 23.344 jiwa
berjenis kelamin perempuan. 
      Dari hasil SP2010 tersebut, tampak bahwa penyebaran penduduk Kabupaten Teluk Bintuni
bertumpu di Distrik Bintuni yang merupakan ibukota kabupaten dengan penduduk sebesar 35,60
persen kemudian diikuti oleh Distrik Sumuri dan Manimeri yakni sebesar 11,87 persen dan 9,93
persen. Sedangkan distrik-distrik yang lain berada di bawah 7 persen.

            Sensus Penduduk 2000 menunjukkan jumlah penduduk Kabupaten Teluk Bintuni sebesar
37.172 jiwa dan melonjak naik sebesar 52.422 jiwa pada saat sensus penduduk tahun 2010. Hal
ini menunjukkan bahwa ada penambahan penduduk sebesar 15.250 jiwa dalam kurun waktu 10
tahun. Data BPS berdasarkan hasil SP2010 tersebut menunjukkan bahwa terdapat migrasi
seumur hidup sebesar 24.717 jiwa atau hampir separuh dari total penduduk Kabupaten Teluk
Bintuni.
  
Tabel 3.1.4     Jumlah penumpang pesawat yang berangkat dan masuk tahun 2007-2011 di
Bandara Bintuni

Uraian 2007 2008 2009 2010 2011

Berangkat 9471 7471 5404 3523 6275

Datang 9263 6752 6109 4750 5536

Selish Datang-Pergi -208 -719 705 1227 -739

Sumber: BPS Kabupaten Teluk Bintuni

Tabel 3.1.5     Jumlah penumpang kapal laut yang berangkat dan masuk tahun 2009-2011 di
pelabuhan Bintuni

Uraian 2009 2010 2011

Berangkat 11754 7060 6714

Datang 13075 6603 8912

Selish Datang-Pergi 1321 -457 2198

Sumber: BPS Kabupaten Teluk Bintuni

Dari data diatas terlihat arus penumpang masuk dan keluar via pesawat terbang dan kapal laut.
Jumlah penumpang melalui bandara udara bintuni terlihat fluktuatif antara selisih kedatangan
dan keberangkatan pada rentan waktu tahun 2007 – 2010. Pada tahun 2007 dan 2008,
penumpang yang berangkat terlihat lebih dominan dengan selisih 208 dan 719 penumpang.
Sedangkan pada tahun 2009 dan 2010 arus penumpang masuk mendominasi dengan penumpang
sebanyak 705 dan 1227, dan kembali didominasi arus penumpang keluar dengan selisih 739
penumpang. Sedangkan arus penumpang masuk dan keluar yang melalui kapal laut, terlihat arus
penumpang masuk sangat dominan dibandingkan arus penumpang keluar di kabupaten Teluk
Bintuni. Mobilitas penduduk masuk dan keluar pada tahun 2009 sangat signifikan jika melihat
dari selisih arus penumpang masuk dan keluar, yang mana terdapat selisih sebesar 1321
penumpang masuk dari total 13075 penumpang masuk dan 11754 penumpang keluar. Pada tahun
2010 arus penumpang keluar mendominasi dengan selisih 457 penumpang. Dan kemudian
kembali didominasi arus penumpang masuk yang melonjak sampai dengan selisih 2198
penumpang dengan total 8912 penumpang masuk dan 6713 penumpang keluar. Dari data diatas,
penulis hanya mendapatkan data selama tiga tahun yakni periode tahun 2009-2011 berhubung
keterbatasan data yang dimiliki BPS Kabupaten Teluk Bintuni yang baru aktif pada tahun 2009
di daerah Kabupaten Teluk Bintuni yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Manokwari.
Hal inilah yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan penduduk di kabupaten ini.
Dimana mobilitas penduduk melalui kapal laut sangat tinggi dibandingkan dengan sarana
transportasi lain. Oleh sebab itu, faktor migrasi masuk sangat dominan dibandingkan dengan
faktor fertilitas dan mortalitas yang mempengaruhi pertumbuhan jumlah penduduk di Kabupaten
Teluk Bintuni

3.2  Konsep Ketenagakerjaan
3.2.1 Kesempatan Kerja
Kesempatan kerja merupakan hubungan antara angkatan kerja dengan kemampuan
penyerapan tenaga kerja. Pertambahan angkatan kerja harus diimbangi dengan investasi yang
dapat menciptakan kesempatan kerja. Dengan demikian, dapat menyerap pertambahan angkatan
kerja.
Dalam ilmu ekonomi, kesempatan kerja berarti peluang atau keadaan yang menunjukkan
tersedianya lapangan pekerjaan sehingga semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja dalam
proses produksi dapat memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahlian, keterampilan dan bakatnya
masing-masing. Kesempatan Kerja (demand for labour) adalah suatu keadaan yang
menggambarkan/ ketersediaan pekerjaan (lapangan kerja untuk diisi oleh para pencari kerja).
Dengan demikian kesempatan kerja dapat diartikan sebagai permintaan atas tenaga kerja.
Sementara itu, angkatan kerja (labour force) menurut Soemitro Djojohadikusumo
didefinisikan sebagai bagian dari jumlah penduduk yang mempunyai pekerjaan atau yang sedang
mencari kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang produktif. Bisa juga disebut sumber daya
manusia.
Banyak sedikitnya jumlah angkatan kerja tergantung komposisi jumlah penduduknya.
Kenaikan jumlah penduduk terutama yang termasuk golongan usia kerja akan menghasilkan
angkatan kerja yang banyak pula. Angkatan kerja yang banyak tersebut diharapkan akan mampu
memacu meningkatkan kegiatan ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pada kenyataannya, jumlah penduduk yang banyak tidak selalu memberikan
dampak yang positif terhadap kesejahteraan.
Usia Kerja adalah suatu tingkat umur seseorang yang diharapkan sudah dapat bekerja dan
menghasilkan pendapatannya sendiri. Usia kerja ini berkisar antara 14 sampai 55 tahun. Selain
penduduk dalam usia kerja, ada juga penduduk di luar usia kerja, yaitu di bawah usia kerja dan di
atas usia kerja. Penduduk yang dimaksud yaitu anak-anak usia sekolah dasar dan yang sudah
pensiun atau berusia lanjut.
Bagian lain dari penduduk dalam usia kerja adalah bukan angkatan kerja. Yang termasuk
di dalamnya adalah para remaja yang sudah masuk usia kerja tetapi belum bekerja atau belum
mencari perkerjaan karena masih sekolah. Ibu rumah tangga pun termasuk ke dalam kelompok
bukan angkatan kerja.
Penduduk dalam usia kerja yang termasuk angkatan kerja, dikelompokkan menjadi
tenaga kerja (bekerja) dan bukan tenaga kerja (mencari kerja atau menganggur). Tenaga Kerja
(man power) adalah bagian dari angkatan kerja yang berfungsi dan ikut serta dalam proses
produksi serta menghasilkan barang atau jasa.
3.2.2  Komposisi Penduduk Usia Kerja
BPS menggunakan pendekatan angkatan kerja (labor force approach) dalam menentukan
konsep atau definisi istilah-istilah ketenagakerjaan yang baku. Pendekatan ini membagi habis
penduduk usia kerja (working-age population) dalam dua kategori besar yaitu angkatan kerja
(labor force) yakni penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan
namun sementara tidak bekerja dan pengangguran.dan bukan angkatan kerja (not in labor force).
Kelompok angkatan kerja terdiri mereka yang bekerja (employed) dan mereka tidak
bekerja dan mencari pekerjaan (unemployed). Dalam kalimat terakhir kata sambung “dan” sangat
penting karena mereka yang tidak bekerja tetapi juga tidak mencari pekerjaan digolongkan ke
dalam bukan angkatan kerja. Komponen bukan angkatan kerja lainnya adalah mereka yang
sekolah, mengurus rumahtangga dan lainnya (penduduk usia lanjut, cacat, dsb).
Pendekatan angkatan kerja memiliki beberapa aturan dasar atau azas yang perlu diikuti
secara ketat dan konsisten. Pertama, azas eksklusivitas. Dengan azas ini seorang penduduk usia
kerja hanya digolongkan dalam satu kategori dalam komposisi penduduk usia kerja itu.
Seseorang yang dikategorikan bekerja, misalnya, tidak dimasukkan dalam kategori lainnya
seperti sekolah, sekalipun orang itu dalam kenyataannya bekerja tetapi juga sekolah.
Kedua, azas prioritas. Dengan azas ini urutan prioritas kategori ditentukan secara pasti
yaitu bekerja, mencari pekerjaan, sekolah, mengurus rumahtangga, dan lainnya. Jika, misalnya,
seorang ibu rumahtangga sebagian besar waktunya digunakan untuk mengurus rumahtangga
tetapi dia secara aktual juga bekerja walaupun hanya satu jam, maka orang itu digolongkan
sebagai penduduk bekerja. Seorang mahasiswa yang “nyambi” bekerja, juga dikategorikan
sebagai bekerja sekalipun sebagian besar waktunya digunakan untuk kuliah.
Azas lainnya yang melekat dalam pendekatan angakatan kerja adalah bahwa dalam
penentuan kategori ketenagakerjaan seorang didasarkan pada kegiatan sebenarnya dalam suatu
rujukan periode waktu tertentu. Rujukan waktu tidak baku tetapi BPS, seperti dianut oleh banyak
negara, menggunakan batasan seminggu terakhir sebagai rujukan waktu survei (survei reference
period).

3.2.3  Bekerja (employed)
Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud
memperoleh atau membantu memperoleh pendapa-tan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam
(tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan ter-sebut termasuk pula kegiatan pekerja tak
dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi.

Definisi itu sebenarnya relatif sangat “longgar”: untuk dikategorikan sebagai bekerja
seseorang cukup bekerja satu jam selama seminggu. Namun kekuatan definisi itu terletak pada
kemampuannya “menangkap” mereka yang sama sekali tidak bekerja (completely absent of
work), kelompok yang merupakan keprihatinan pada era resesi global (1030-an) ketika
pendekatan angkatan kerja diperkenalkan.
Ada beberapa butir pemikiran yang perlu dicermati dalam definisi tersebut di atas:
motivasi, “membantu” dan rujukan waktu.
      Motivasi ekonomis. Untuk dikategorikan bekerja kegiatan seseorang harus memiliki motivasi
ekonomis yaitu memperoleh upah/gaji atau keuntungan. Karena motifnya tidak hanya upah/gaji
tetapi juga keuntungan maka istilah populer berusaha untuk memperoleh keuntungan jelas
tergolong bekerja (lihat kasus ibu rumahtangga di perkotaan Yogyakarta). Selain itu jelas pula
bahwa kegiatan yang bermotivasi selain ekonomis, misalnya sekedar hobi, tidak dikategorikan
sebagai bekerja.
      Membantu. Motivasi ekonomi itu tidak perlu untuk dirinya sendiri, tetapi bisa bersifat
membantu sesorang untuk memperoleh keuntungan ekonomis. Jadi, seorang anak (10+) yang
sekedar membantu ibunya di warung secara relatif tetap, atau seorang istri yang membantu suami
di sawah, termasuk kategori bekerja, bukan sekolah atau mengurus rumahtangga, sejauh syarat
lain dipenuhi.
      Rujukan waktu. Penentuan kategori ketenagakerjaan didasarkan kegiatan aktual atau sebenarnya
selama seminggu yang lalu, bukan “biasanya” yang tidak jelas rujukan waktunya. Jadi, seorang
ibu rumahtangga yang biasanya hanya mengurus rumahtanga, tetapi dalam kurun seminggu
terakhir dia membantu memasak tetangganya yang “hajatan” tetapi dengan motivasi ekonomi
(memperoleh upah), termasuk kategori bekerja.
Sementara keadaan dimana seseorang dikatakan “sementara tidak bekerja” adalah
keadaan dari seseorang yang mempunyai pekerjaan tetapi selama seminggu yang lalu tidak
bekerja karena berbagai sebab, seperti: sakit, cuti, menunggu panenan, mogok dan seba-gainya,
termasuk mereka yang sudah diterima bekerja tetapi selama seminggu yang lalu belum mulai
bekerja. Mulai tahun 2001 ini, mereka yang sudah diterima bekerja tetapi selama seminggu yang
lalu belum mulai bekerja dikate-gorikan sebagai pengangguran (sesuai konsep ILO, hal. 97 “An
ILO Manual on Concepts and Methods”).

3.2.4  Penganggur (unemployed)
Penganggur didefisnikan sebagai penduduk usia kerja yang sama sekali tidak
bekerja danmencari pekerjaan. Seperti disinggung sebelumnya, kata penghubung “dan” sangat
menentukan dalam menentukan kategori ketenagakerjaan.
Mulai 2001 BPS sedikit melonggarkan persyaratan mencari pekerjaan, sesuai dengan
rekomendasi ILO bagi negara-negara yang masih bercorak agraris dan atau didominasi
kegiatansektor informal. Sejak 2001, seseorang yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan
karena alasan “ekonomis” (merasa tidak akan memperolehnya atau sudah memiliki
pekerjaan/usaha tetapi belum mulai) dikategorikan sebagai penganggur. Jadi, seorang buruh tani
yang dalam periode survei tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan karena mengetahui tidak
ada pekerjaan yang tersedia, mulai 2001, dikategorikan sebagai penganggur yang sebelumnya
dianggap bukan angkatan kerja.
Penjelasan lebih lanjut mengenai penganggur dapat dilihat dalam lampiran. Sebagai catatan
tambahan, kategori penganggur bersama kategori bekerja tergolong angkatan kerja. Dua ketegori
itu memiliki konotasi normatif tetapi arahnya jelas berbeda: bekerja dinilai “baik”, sedangkan
penganggur dinilai “buruk”. Ini berarti, angka yang tinggi dinilai “baik” jika diterapkan untuk
bekerja tetapi sebaliknya “buruk” untuk penganggur. Implikasinya, tingkat partisipasi angkatan
kerja (TPAK) yang merupakan salah satu indikator ketenagakerjaan yang populer perlu
ditafsirkan secara hati-hati. TPAK secara keseluruhan kurang bermakna (bahkan dapat
menyesatkan) karena “pembilangnya” yang merupakan gabungan dari dua komponen yang
saling bertentangan konotasi normatifnya.
Sebagai catatan lain, angka penganggur terbuka, proporsi angkatan kerja yang termasuk
pengangur, bagi negara-negara berkembang biasanya relatif rendah. Hal ini terjadi karena di
negara-negara itu seseorang prinsipnya tidak mampu menganggur untuk dapat hidup karena
negara tidak mampu memberikan kompensasi bagi penganggur. Angka penganggur tinggi
biasanya hanya pada keluarga “mampu” secara ekonomis, kelompok usia muda (yang baru
memasuki pasar kerja) dan terdidik (cenderung memilih pekerjaan). Jadi, secara keseluruhan
angka penganggur cenderung rendah dan relatif tidak banyak berubah sehingga kurang sensitif
dan realistis sebagai indikator ketenagakerjaan. Bagi negara berkembang yang masih bercorak
agraris dan didominasi sektor informal, angka setengah penganggur tampaknya lebih sensitife
dan realistis.

3.2.5  Setengah Penganggur
Setengah penganggur didefinisikan sebagai penduduk yang termasuk kategori bekerja
tetapi jam kerjanya di bawah normal, tepatnya kurang dalam seminggu. Mereka terdiri dari dua
kategori: (a)  setengah penganggur terpaksa dan (2)  setengah penganggur sukarela. Yang
membedakan keduanya adalah adalah kegiatan mencari pekerjaan dan kesediaan bekerja. Yang
pertama, yang terpaksa, masih mencari pekerjaan atau bersedia menerima pekerjaan (tambahan),
sedangkan yang kedua (sukarela), tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima
pekerjaan. Dalam kebanyakan literatur (termasuk yang dipublikasikan ILO) istilah setengah
penganggur sebenarnya merujuk pada kategori pertama yaitu setengah penganggur terpaksa.
Istilah setengah penganggur (under employment), jika dilihat kaitannya dengan
produktivitas tenaga kerja, tampaknya lebih tepat jika digunakan untuk kategori pertama
sehingga kata “terpaksa” dalam istilah setengah penganggur terpaksa dapat diabaikan. Hal ini
juga tepat karena istilah untuk kategori kedua, setengah penganggur sukarela, sudah memiliki
istilah sendiri yang lebih dapat diterima yaitu pekerja paruh waktu (part-time employment).
Angka setengah penganggur biasa digunakan untuk mengukur produktivitas tenaga kerja.
Ukuran produktivitas lainnya yang mungkin lebih sensitive dan realistis adalah
upah/gaji/pendapatan. Hal ini terutama berlaku jika dingat bahwa upah/gaji/pendapatan
merupakan sumber utama pendapatan/penghasilan rumahtangga, suatu variabel ekonomi yang
menentukan taraf kesejahteraan rakyat atau (secara negatif) kemiskinan. Jika analisis terakhir
adalah taraf kesra maka upah/gaji/pendapatan jelas lebih relevan. Sebagai ilustrasi, andaikan ada
dua rumahtangga yang terdiri dari lima anggota yang semuanya dewasa (15+). Andaikan dalam
ruta-1 hanya kepalanya yang bekerja tetapi pendapatannya Rp 5.000.000,- per bulan. Pada level
rumahtangga, “angka penganggur” nya mencapai 80%. Dalam ruta-2 ada empat anggotanya
yang bekerja tetapi total penghasilannya hanya Rp 3.500.000,-/bulan. Dengan demikian, angka
penganggur-nya hanya 20%. Dilihat dari “nominal” ketenagakerjaan, ruta-1 dengan angka
penganggur 80% jelas lebih rendah taraf kesranya dibandingkan dengan ruta-2 dengan angka
penganggur 20%. Tetapi jika jika dilihat kemampuan daya beli, ruta-1 dengan total pendapatan
Rp 5 juta jelas lebih sejahtera dibandingkan dengan ruta-2 dengan total pendapatan hanya Rp 3.5
juta.

3.2.5 Pekerja Sektor Informal


Sebagai gambaran awal, istilah sektor informal terkait dengan bentuk kegiatan usaha
berskala kecil dilihat dari modal yang digunakan dan jumlah pekerja yang terlibat. Kegiatan
jualan bakso keliling, jualan “jajanan” di pinggir jalan, jualan sayur keliling, jualan rokok di
lampu merah, merupakan contoh-contoh khas kegiatan usaha informal. Bentuk kegiatan itu jelas
“mudah di masuki” (easy entry) tetapi juga mudah untuk keluar (ganti pekerjaan).
Upaya untuk mengumpulkan informasi mengenai sektor informal sebenarnya sudah lama
dirintis (sejak pertengahan 1980-an) tetapi tanpa hasil yang memuaskan. Masalahnya adalah
konsep-konsep yang susah payah dibangun tidak diintegrasikan dalam survei reguler BPS
sehingga datanya tersedia secara reguler. Pertanyaannya kemudian adalah apakah survei
rumahtangga yang dilakukan BPS secara reguler dapat digunakan untuk
menghitung pekerjasektor informal (dari sisi tenaga kerja). Jawabannya adalah ya tetapi terbatas
dan bersifat pendekatan: terbatas karena survei rumahtangga hanya melihat dari sisi tenaga kerja
dan karena variabel yang bisa digunakan juga sangat terbatas; bersifat pendekatan (proxy) karena
variabel yang tersedia dan relevan untuk informal juga sangat terbatas.
Untuk mendefinsikan pekerja sektor informal dari Sakernas atau Susenas biasanya
digunakan hanya variabel status pekerjaan. Mereka yang bekerja yang berstatus buruh/karyawan
atau pengusaha dengan buruh tetap dianggap sebagai pekerja sektor formal; sebaliknya, pekerja
dengan status pekerjaan lainnya dianggap pekerja informal. Tetapi pendekatan di atas (hanya
menggunakan variabel status pekerjaan) sebenarnya mengandung kelemahan karena mereka
yang berstatus usaha sendiri atau berusaha dibantu pekerja tak-dibayar secara serta merta
dianggap sebagai pekerja sektor informal. Secara umum hal ini tidak masalah tetapi untuk kasus
seperti dokter atau pengacara yang berusaha sendiri atau dibantu pekerja tak dibayar dengan
berjualan es, misalnya, secara logis “tidak adil” karena mensejajarkan mereka dengan tukang
baso keliling, misalnya. Atas dasar ini maka direkomendasikan untuk juga menggunakan
variabel jabatan, selain  status pekerjaan dalam mendefinsikan pekerja sektor informal.

3.2.2 Ketenagakerjaan Di Kabupaten Teluk Bintuni


Dari data kependudukan Kabupaten Teluk Bintuni, penulis mendapatkan data jumlah
angkatan kerja berdasar definisi diatas yakni penduduk berusia 15 tahun keatas, yang kemudian
dibandingkan dengan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional yang juga merupakan survei rutin
Badan Pusat Statistik. Dengan hasil tersebut maka ditampilkan data ketenagakerjaan periode
tahun 2008-2011 di bawah ini :

Tabel 3.2.1   Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas menurut Jenis Kegiatan Utama di Kabupaten Teluk
Bintuni Tahun  2009 – 2011

Jenis Kegiatan Utama


2008 2009 2010 2011
Activity During Previous Week

(1) (2) (3) (4) (5)


1.    Penduduk Usia Kerja/(15 +)Working 35 791 36 861 35 068
33 726
Age Population
a.  Angkatan Kerja/ Labour Force 27 089 25 311 25 430 25 845

i. Bekerja/ Employment
        
24 971 23 056 23 651 23 750

ii.     PengangguranTerbuka          Open 2 118 2 255 2 095


1 779
Unemployment
b.  Bukan Angkatan Kerja               Non 8 702 11 550 9 223
8 296
Labour Force
i. Sekolah/ Attending School
        
2 637 3 405 3 397 3 982

  ii.    Mengurus Rumah Tangga  House 5 689 7 183 4 812


4 268
keeping
iii.    Lainnya/ Others 376 962 631 429

2.    T P A K /  LFPR (%) 92,18 68,67 75,40 73,70

3.    Tingkat Pengangguran
Terbuka               Unemployment Rate 7,82 8,91 7,00 8,11
(%)
Sumber : Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS Kab. Teluk Bintuni

Table diatas menunjukkan persentase Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang
berfluktuatif tiap tahunnya. Pada tahun 2008 TPAK Kabupaten Teluk Bintuni sebesar 92,18
persen atau sebesar 27.089 orang kemudian menurun sebesar 68,67 persen ditahun 2009, 75,40
persen ditahun 2010 dan 73,70 persen atau sebesar 25.845 orang ditahun 2011 dengan jumlah
angkatan kerja yang bekerja yang hampir merata di periode ini yakni sebesar 24.971 orang  pada
tahun 2008, 23.056 orang ditahun 2009, 23.651 ditahun 2010 dan 23.750 orang pada tahun 2011.
Tingkat Pengangguran Terbuka di kabupaten Teluk Bintuni juga mengalami fluktuasi.
Pada tahun 2008, TPT berada pada posisi 7,82 persen dari total TPAK yang sebesar 92,18
persen. Ditahun 2009, fenomena ketenagakerjaan muncul dimana TPT Teluk Bintuni meningkat
sebesar 8,91 persen sementara TPAK Teluk Bintuni menurun tajam pada posisi 68,67 persen dari
total angkatan kerja yang sebesar 36.861 orang. Ditahun 2010 TPT Teluk Bintuni membaik
dengan tingkat pengangguran terbuka sebesar 7,00 persen dengan TPAK sebesar 75,40 persen
kemudian naik lagi sebesar 8,11 persen dari TPAK yang sebesar 73,70 persen.
Sementara dari angka TPAK diatas, terdapat lapangan pekerjaan utama dari angkatan
kerja yang bekerja diberbagai sector lapangan pekerjaan. Dalam hal ini BPS menggolongkannya
menjadi 4 sektor yakni; 1)  Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan; 2) Jasa
Kemasyarakatan; 3) Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel; dan 4) sektor
Lainnya (Industry Pengolahan, Pertambangan dan Penggalian, Listrik, Gas dan Air, Bangunan,
Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi, Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan,
Tanah, dan Jasa Perusahaan). Pada sektor Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan,
jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor ini mengalami pergeseran dari tahun ke tahun. Dari
tahun 2008 sebesar 15372 orang yang kemudian menurun secara beruntun ditahun 2009, 2010
dan 2011 yakni sebesar 13.459, 10.014 dan 8.196 orang tenaga kerja. Berbeda dengan sektor jasa
kemasyarakatan yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yakni berturut turut dari tahun
2008 sebesar 2042 orang, 3808, 4454 dan 4831 orang pada tahun 2009, 2010 dan 2011.
Sektor Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel secara akumulatif pun
mengalami peningkatan yakni sebesar 1562 orang pada tahun 2008, 1083 orang pada tahun
2009, 2491 orang ditahun 2010 dan 3218 orang pada tahun 2011. Sama halnya dengan sektor
sebelumnya, sektor lainnya (Industry Pengolahan, Pertambangan dan Penggalian, Listrik, Gas
dan Air, Bangunan, Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi, Keuangan, Asuransi, Usaha
Persewaan Bangunan, Tanah, dan Jasa Perusahaan) pun mengalami kenaikan secara akumulatif
yakni sebesar 5.995 tenaga kerja ditahun 2008, 4.706 tenaga kerja ditahun 2009, 6.692 tenaga
kerja ditahun 2010 dan 7.505 orang tenaga kerja pada tahun 2011.
3.3 konsep Kemiskinan
3.3.1 Pengertian Kemiskinan
Menurut wikipedia Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang
biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini
berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses
terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan
mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah
global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang
lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut
ilmiah yang telah mapan.

Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:


  Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang,
perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi
kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
  Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan
ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan
informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
  Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini
sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Sedangkan Badan Pusat Statistik, seseorang dianggap miskin apabila dia tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan hidup minimal itu adalah kebutuhan untuk
mengkonsumsi makanan dalam takaran 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan
minimal non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. Jadi ada
kebutuhan makanan dalam kalori dan kebutuhan non makanan dalam rupiah.

3.3.2 Mengukur Kemiskinan


Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan
absolut danKemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang
konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran
absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang
kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan
dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari, dengan
batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari
$1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari."Proporsi penduduk
negara berkembang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990
menjadi 21% pada 2001.Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang
hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga
mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang
kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan
kaumtuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang
miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok
orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap
miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara
berkembang.

3.3.3 Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
  penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku,
pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
  penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
  penyebab sub-budaya ("subcultural"), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan
sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
  penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang,
pemerintah, dan ekonomi;
  penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur
sosial.

3.3.4 Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Teluk Bintuni


Kabupaten Teluk Bintuni pada tahun 2010 merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan
tertinggi di antara kabupaten/kota lain di Provinsi Papua Barat dengan angka kemiskinan
mencapai 47,62 persen dari total jumlah penduduk Kabupaten Teluk Bintuni yang mencapai
52.422 jiwa berdasarkan hasil SP2010, atau sekitar 25 ribu penduduk kabupaten teluk bintuni
berada dibawah garis kemiskinan dengan pendapatan perkapita 389.419,-/bulan. Angka tersebut
diatas masih tergolong fantastis meskipun angka tersebut semakin membaik dibandingkan tahun-
tahun sebelumnya yang mana pada tahun 2006 angka tingkat kemiskinan mencapai 53,75 persen,
kemudian di tahun 2007 dan 2008, angka ini menurun perlahan pada posisi 51,37 dan 50,39
persen. Pada tahun 2009 angka kemiskinan kembali meningkat hingga 51,91 persen dan semakin
membaik pada tahun 2010 yang mana angka kemiskinan berhasil turun sebesar 47,62 persen.
Seperti dapat kita lihat pada grafik berikut:

 Angka Kemiskinan ini kemudian menjadi fenomena di Kabupaten Teluk Bintuni. Mengingat
Daerah ini yang kaya akan sumber daya alam dengan iklim investasi yang cukup menggiurkan
juga memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik di setiap tahunnya. Hal inilah yang memicu
adanya pemikiran tentang faktor migrasi yang berperan besar terhadap tingginya angka
kemiskinan di Kabupaten Teluk Bintuni, yang selanjutnya penulis akan coba membahas tentang
pengaruh pertumbuhan penduduk (dalam hal ini migrasi) terhadap tingkat kemiskinan
berdasarkan konsep ketenagakerjaan di Kabupaten Teluk Bintuni.

 3.4 Pengaruh Pertumbuhan Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran di Kabupaten Teluk


Bintuni.
Banyak sedikitnya jumlah angkatan kerja tergantung komposisi jumlah penduduknya.
Kenaikan jumlah penduduk terutama yang termasuk golongan usia kerja akan menghasilkan
angkatan kerja yang banyak pula. Angkatan kerja yang banyak tersebut diharapkan akan mampu
memacu meningkatkan kegiatan ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pada kenyataannya, jumlah penduduk yang banyak tidak selalu memberikan
dampak yang positif terhadap kesejahteraan.
            Berikut penulis akan membahas hubungan antara jumlah pertumbuhan penduduk yang
mana hal ini sangat dipengaruhi oleh arus migrasi masuk dengan tingkat pengangguran terbuka
di Kabupaten Teluk Bintuni. Terlihat pada grafik perbandingan dibawah bahwa arus migrasi
mempunyai hubungan yang bervariasi terhadap tingkat pengangguran didaerah ini. Pada tahun
2009, terlihat bahwa lonjakan arus penumpang baik melalui bandara bintuni dan pelabuhan
bintuni terdapat selisih positif sebesar 2.026 penumpang dan keadaan ini dibarengi oleh
peningkatan Tingkat Pengangguran sebesar 8,91 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 7,82
persen pada tahun 2008 dengan TPAK sebesar 68,67 persen. Menurun dari tahun seblumnya
yang sebesar 75,69 persen. Tahun 2010 hal ini mengalami kebalikan dimana terdapat selisih
positif dari total arus penumpang masuk sebesar 770 penumpang namun terjadi penurunan
tingkat pengangguran sebesar 1,91 poin yakni 7,00 persen dibandingkan dengan peningkatan
tingkat pengangguran tahun sebelumnya yang meningkat 1,09 poin. Tingkat pengangguran ini
kembali meningkat di tahun 2011 sebesar 8,11 persen atau meningkat 1,11 poin. Yang mana
peningkatan ini juga dibarengi oleh total arus penumpang masuk yang juga terdapat selisih
positif yakni sebanyak 1.459 penumpang.
Dari analisis tersebut, terlihat bahwa peningkatan arus penumpang masuk yang terjadi ditahun
2009 sangat berpengaruh terhadap TPAK dan tingkat pengangguran didaerah ini. Namun pada
tahun 2010, TPAK meningkat diikuti penurunan tingkat pengangguran sementara arus migrasi
masuk tetap menunjukkan selisih positif walau dalam skala yang kecil. Dapat disimpulkan
bahwa jumlah angkatan kerja pengangguran yang terdapat pada tahun 2009, kebanyakan sudah
memperoleh pekerjaan pada tahun 2010. Ditahun 2011 kembali terjadi lonjakan arus migrasi
masuk yang diikuti oleh peningkatan tingkat pegangguran dan TPAK yang sedikit menurun. Hal
ini menunjukkan bahwa kebanyakan migrasi masuk adalah Angkatan Kerja yang mengadu nasib
didaerah ini namun belum mendapatkan pekerjaan.

3.5     Pengaruh Pertumbuhan Penduduk Terhadap Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Teluk


Bintuni.
Dari beberapa studi literature, penulis menemukan bahwa penyebab kemiskinan adalah
terbatasnya modal manusia, asset dan uang, lingkungan fisik, lapangan kerja, serta adanya
streotipe orang miskin menurut orang tidak miskin dan miskin. Pada kesempatan ini, penulis
menyempitkan faktor-faktor diatas yakni dari sisi pertumbuhan penduduk yang secara langsung
berdampak pada ketersediaan lapangan pekerjaan dan memicu tingkat pengangguran. Pada
grafik dibawah ini, penulis mencoba membandingkan Pengaruh peningkatan jumlah penduduk
terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Teluk Bintuni.

Secara keseluruhan dapat kita lihat bahwa jumlah penduduk yang meningkat tiap tahunnya
dalam hal ini migrasi penduduk masuk, mempunyai hubungan yang tidak terlalu signifikan
terhadap tingkat kemiskinan didaerah ini. Sempat menguat ditahun 2009 sebesar 51,91 persen
atau sekitar 26 ribu penduduk Teluk Bintuni namun menurun pada tahun 2010 yakni sebesar
47,62 persen atau sekitar 25 ribu orang. Yang artinya walaupun terjadi peningkatan penduduk
yang cukup tinggi ditahun tersebut, tingkat kemiskinan dapat ditekan hingga 4,29 poin. Hal yang
cukup membanggakan pemerintah daerah dalam hal pengentasan kemiskinan. Akan tetapi angka
tersebut tetaplah fantastis jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Papua
Barat.
Sama halnya dengan tingkat pengangguran yang juga memiliki hubungan yang tidak terlalu
signifikan terhadap laju pertumbuhan penduduk di daerah ini. Akan tetapi tingkat pengangguran
terbuka mempunyai hubungan yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Yang mana
keduanya sama-sama mengalami penurunan pada periode 2007-2008, kemudian sama-sama
meningkat pada periode 2008-2009, dan kembali menurun pada periode 2009-2010.
Jadi menurut analisa diatas, bahwa Peningkatan jumlah penduduk yang dalam hal ini besar
dipengaruhi oleh faktor mobilitas penduduk masuk, tidak dapat dikatakan sebagai faktor yang
sangat mempengaruhi tingkat kemiskinan di Kabupaten Teluk Bintuni meskipun terdapat
hubungan antara kedua variable tersebut namun hubungannya tidaklah terlalu signifikan.
 

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
            Dari hasil pembahasan diatas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa:
  Terdapat hubungan yang bervariatif antara pertumbuhan penduduk yang mana hal ini sangat
dipengaruhi oleh mobilitas penduduk masuk terhadap Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan
Juga Tingkat Pengangguran Terbuka di Kabupaten Teluk Bintuni. Akan tetapi hubungan ini
menunjukkan hal yang positif dimana tingkat pengangguran dengan segera akan mendapatkan
lapangan pekerjaan. Dan mengingat Kabupaten Teluk Bintuni yang masih tergolong baru, masih
membutuhkan tenaga kerja selaku pelaku pembangunan didaerah ini.
  Peningkatan jumlah penduduk yang dalam hal ini besar dipengaruhi oleh faktor mobilitas
penduduk masuk, tidak dapat dikatakan sebagai faktor yang sangat mempengaruhi tingkat
kemiskinan di Kabupaten Teluk Bintuni meskipun terdapat hubungan antara kedua variable
tersebut namun hubungannya tidaklah terlalu signifikan.

4.2 Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan tersebut diatas adalah :
  Perluasan kesempatan kerja dengan cara mendirikan industri-industri baru, terutama yang bersifat
padat karya.
  Deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang industri untuk merangsang timbulnya investasi
baru.
  Menggalakkan pengembangan sektor informal, seperti home industry.
  Mengadakan pelatihan tenaga kerja untuk mengisi formasi kesempatan (lowongan) kerja yang
kosong
  Pembukaan proyek-proyek umum oleh pemerintah, seperti pembangunan jembatan, jalan
raya,PLTU, PLTA, dan lain-lain sehingga bisa menyerap tenaga kerja secara langsung maupun
untuk merangsang investasi baru dari kalangan swasta.
  Meningkatkan sumber daya ekonomi yang dimiliki penduduk miskin misalnya dengan
mengoptimalkan pemanfaatan lahan pertanian yang sempit dengan intensifikasi pertanian
  Membimbing penduduk untuk jeli memerhatikan dan memanfaatkan peluang usaha disekitarnya
berupa pembekalan keterampilan agar dapat menghasilkan sesuatu guna menunjang
pendapatannya.

  Menyediakan pasar-pasar bagi penjualan produksi penduduk. Yang mana pasar merupakan
fasilitas penting dalam menunjang pendapatan penduduk. Selain sebagai tempat untuk
memasarkan hasil produksi masyarakat, keberadaan pasar juga bias memotivasi masyarakat
untuk lebih produktif lagi, serta
  Membuka akses bagi daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh fasilitas pendidikan dan kesehatan
untuk menunjang kualitas masyarakat pedesaan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Teluk Bintuni. 2011. Bintuni Dalam Angka Tahun
2011.Bintuni.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Teluk Bintuni. 2010. Bintuni Dalam Angka Tahun
2010.Bintuni.

Dr. Hamonangan Ritonga, Pemantauan Kemiskinan Untuk   Program Penanggulangan


Kemiskinan Di Indonesia, 2004

Ebied, Beberapa Faktor yang Menyebabkan Kemiskinan, melalui


http://www.masbied.com/2011/07/17/Beberapa-Faktor-yang-Menyebabkan-Kemiskinan/

Irfan. Masalah Kepadatan Penduduk, melalui


http://Jawaposting.blogspot.com/2011/04/Masalah-Kepadatan-Penduduk.html?m=1

Yusuf faisal, Makalah pertumbuhan penduduk, melalui http://yusuf-


faisal.blogspot.com/2011/12/makalah-pertumbuhan-penduduk.html?m=1

Alfinza Raendina, Pengaruh Pertumbuhan Penduduk Terhadap Perkembangan


Sosialmelalui : http:// AlfinzaRaendina.blogspot.com/2010/10/Pengaruh-Pertumbuhan-
Penduduk-Terhadap.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai