Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KOASISTENSI PATOLOGI VETERINER

NEKROPSI HEWAN AQUATIK

Mesa Jemsly Niex Boru, S.KH


1509010025

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Nekropsi atau bedah bangkai merupakan teknik yang sangat penting dalam  penegakan

diagnosa penyakit. Sifat pemeriksaan hasil nekropsi adalah berdasarkan  perubahan patologi

anatomi (Murtidjo, 1992 dalam Damayanti Y dkk 2012). Nekropsi adalah teknik lanjutan dari

diagnosa klinik untuk mengukuhkan atau meyakinkan hasil diagnosa klinik. Nekropsi banyak

digunakan dalam hal pemeriksaan hewan yang diduga telah terjangkit penyakit. Hal ini dilakukan

agar dapat diketahui penyakit yang diderita oleh hewan sehingga dapat ditentukan penanganan

yang tepat untuk menanggulangi  penyakit tersebut agar peternakan terhindar dari kerugian yang

lebih  besar.

Diagnosa penyakit secara cepat dan tepat sanggat efektif dalam upaya pengendalian

maupun pemberantasan penyakit. Sifat pemeriksaan hasil nekropsi adalah berdasarkan perubahan

anatomi patologi (Berata et al, 2010). Untuk mendiagnosa penyebab kematian perlu dilakukan

pemeriksaan secara patologi anatomi. Pemeriksaan patologi anatomi dapat melihat lesi-lesi yang

ditemukan, memberi diagnosa morfologik pada organ-organ yang mengalami  perubahan patologik

serta dapat memberi diagnosa tentatif (sementara) pada kasus yang ditemukan.

1.2. Tujuan
Tujuan dilakukan nekropsi adalah untuk mempelajari dan mengetahui teknik nekropsi pada

hewan aquatik dan mengetahui perubahan patologi anatomi pada organ yang diamati.
BAB II
MATERI DAN METODE
2.1. Alat dan Bahan
2.1.1. Alat
Spuit 3 ml, spuit 1 ml, needle, scaple, blade, gunting tajam tumpul, gunting tajam,

pinset anatomi, pinset cirurgis, pot organ, pisau, nampan, dan mikroskop.

2.1.2. Bahan
Gloves, masker, ikan sakit, dan air bersih

2.2. Metodologi
2.2.1. Nekropsi Ikan
1. Pemeriksaan keadaan umum. Pemeriksaan keadaan umum ikan meliputi

pemeriksaan sisik, pemeriksaan mulut, pemeriksaan sirip-sirip ikan dan pemeriksaan

ingsang pada ikan.

2. Teknik euthanasia ikan. Terdapat 2 teknik euthanasia ikan yaitu memukul kepala ikan

hingga ikan mati dan merusak cerebrospinal dengan bantuan sonde. Sebelum

dinekropsi , pemeriksaan eksternal dilakukan.

3. Setelah dieuthanasia, ikan diincisi kea rah cranial mulai dari lubang anus sampai ¼

bagian speculum ikan

4. Dilanjutkan incisi ke atas dari ¼ bagian dari operculum ikan sampai ke batas os

costae. Dilanjtkan incisi ke atas dari bagian anus ke batas os caudal

5. Incisi dilanjtkan kembali arah cranial dari batas os costae caudal sampai ke batas

akhir incisi os costae cranial

6. Dilakukan pengamatan organ abdomen dan toraks sebelum dikeluarkan dari ruang

abdomendan thoraks, juga setelah dikeluarkan.

7. Dilanujtkan pemeriksaan bagian kepala. Pertama, incisi dilakukan pada ½ bagian

operculum, melakukan pemeriksaan ingsang, kemudian ingsang dikeluarkan.

8. Pemeriksaan otak, dilakukan pembukaan kepala , bagian caudal kepala dibuka secara

melintang kurang lebih 2 cm.


9. Kemudian dibuat irisan/potongan melintang didaerah bagian cranial kepala di dekat

aperturalfosa nasi kurang lebih 0,5 cm.

10. Kemudian kedua ujung irisan tersebut dihubungkan dengan irisan, sehingga seluruh

bagian atas kavitas cranialis dapat di angkat dan otak dapat diperiksa.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Nekropsi Ikan
3.1.1. Pemeriksaan Ikan
A. Data pemilik
Nama : Bpk. Simon Ne’a

Alamat : Tarus

Mahasiswa Koas : Mesa Jemsly Niex Boru, S.K.H

B. Data Pasien
Jenis hewan : ikan Nila
Umur : 2-3 bulan
Jenis kelamin : betina
C. Ananmesa
Pengamatan pada kolam pemeliharaan ikan menunjukkan kolam terbuat dari tanah,

air yang digunakan untuk memelihara ikan adalah air yang berasal dari sumur yang berada

di dekat kolam. Tidak pernah dilakukan pergantian air kolam. air kolam tampak keruh dan

berwarna kecoklatan dan berada di sekitar area perumahan warga dan perkebuhan/sawah.

Pakan yang digunakan merupakan pakan yang dibeli dari toko, pembersihan kolam jarang

dilakukan , kapasitas populasi ikan pada kisaran 50 puluan ekor terdiri dari ikan kecil dan

besar . jenis ikan Nila dan Mas. Berdasarkan dari pernyataan dari pemilik kolam, biasanya

terjadi kematian ikan di kolam tersebut, namun tidak dalam jumlah besar. Namun pada saat

pengambilan ikan tidak ada ikan yang mati. Ikan yang diambil merupakan ikan yang

menunjukan gejala sering berenang dipermukaan air.

D. Pemeriksaan eksternal
Pemeriksaan umum dilakukan dengan melihat keadaan luar dari anterior sampai

posterior tubuh ikan. Hasil pemeriksaan menunjukkan tidak adanya kelainan pada tubuh

ikan dari anterior sampai posterior.


Gambar 1. Ikan Nila
E. Pemeriksaan internal
Pemeriksaan organ internal dilakukan dengan melihat keadaan perubahan

morfologik dimulai dari warna, ukuran, konsistensi. Hasil pemeriksaan tidak menunjukan

adanya perubahan pada semua organ yang diperiksa. Pemeriksaan dilanjutkan dengan

pemeriksaan mikroskopik menggunakan mikroskop (100x) dengan tambahan minyak

emersi.

F. Hasil
- Organ yang diperiksa
Nama organ Gambar Keterangan
Jantung Tidak ada perubahan
morfogik
-pankreas (tanda Tidak ada perubahan
panah merah) morfologik
-limpa (tanda panah
kuning)
-hati (tanda panah
hijau)

-lambung (tanda Tidak ada perubahan


panah hijau) morfologik
-usus (tanda panah
kuning)

Insang Pemeriksaan ingsang


secara mikroskopis
ditemukannya cacing

Dactylogyrus Sp.

G. Pembahasan
Pada kasus mandiri kali ini hewan digunakan adalah ikan nila yang diambil dari

kolam tradisional milik warga. Ikan yang diambil berdasarkan gejala yang ditunjukan

hewan tersebut. Ikan tersebut menunjukan gejala sering berenang dipermukaan, hal ini

dimungkinkan karna ikan kesulitan bernapas. Untuk pemeriksaan ekstrenal tidak ada

perubahan signifikan pada tubuh ikan dari anterior hingga posterior. Pemeriksaan

dilanjutkan dengan melihat perubahan organ internal. Ikan diincisi menggunakan scalpel

dari anus hingga speculum ikan. Setelah itu organ diamati satu persatu. Namun saat

pemeriksaan ditemukan adanya pendarahan pada organ internal ikan terkhususnya hati, hal

ini terjadi akibat pada saat incisi pisau saclpel melukai organ internal tekhusus hati. Namun

tidak ada perubahan signifikan pada organ jika dilihat dari ukuran konsistensi serta warna.

Pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopik menggunakan mikroskop

dengan membuka bagian operculum untuk melihat insang. Bagian sisir ingsang di ambil

untuk diamati di bawah mikroskop, pada pengamatan di temukan cacing Dactylogyrus Sp.

cacing ini hidup menetap atau habitatnya berada di insang ikan. Dactylogyrus sp. lebih

banyak terdapat pada insang terutama pad ikan nila, dikarenakan kebutuhan nutrien yang

dibutuhkan banyak terdapat pada insang (Tarmizi et al, 2016). Pada kasus mandiri kali ini

hewan yang digunakan merupakan ikan nila dan ditemukan cacing pada bagian insang

yang menjadi organ target cacing Dactylogyrus sp maka diduga cacing tesebut merupakan

cacing Dactylogyrus sp dilihat juga dari struktur anatomi cacing tersebut.

Diagnosa Sementara

Infestasi Ektoparasit Dactylogyrus Sp


Dactylogyrus sp. adalah ektoparasit yang memiliki nilai prevalensi yang paling

tinggi yang menginfeksi benih ikan nila pada kolam tradisional dan longyam. Menurut

Kabata (1985), klasifikasi dactylogyrus sp. yaitu : Phylum Platyhelmithes, Class

Trematoda Monogenia, Ordo Dactylogiridae, Famili Dactylogyridae, Genus

Dactilogyrus, Spesies Dactylogyrus sp. Tingginya prevalensi Dactylogyrus sp. karena

ektoparasit ini berkembang biak dengan cepat. Dactylogyrus sp. berkembangbiak dengan

cara bertelur dan ratusan ekor parasit dapat menginfeksi satu ekor ikan (Wahyuni et al,

2017). Morfologi cacing Dactylogyrus sp. adalah cacing dewasa berukuran 0, 2 – 0, 5


mm. Mempunyai dua pasang eye spots pada ujung anterior. Sucker terletak dekat ujung

anterior. Pada ujung posterior tubuh terdapat alat penempel yang terdiri dari 2 kait besar

yang dikelilingi 16 kait lebih kecil disebut Opisthaptor. Mempunyai testis dan ovary.

Kutikular, memiliki 16 kait utama, satu pasang kait yang sangat kecil. Dactylogyrus sp.

mempunyai ophisaptor (posterior sucker) dengan 1 – 2 pasang kait besar dan 14 kait

marginal yang terdapat pada bagian posterior. Kepala memiliki 4 lobe dengan dua pasang

mata yang terletak di daerah pharynx.

Gambar 2. Anatomi Dactilogyrus sp. (Kabata, 1985)

Sifat Biologis Bersifat hermaprodit, sebagian besar telur terlepas dari insang dan

sebagian kecil tertanam pada insang, ukuran telur 50 um, bentuknya ovoid dan berspina

seperti duri mawar/ rosethorn like, sexual maturity 3 – 6 hari Larva dapat hidup tanpa

hospes selama 1 hari (Kabata, 1985).

Penyakit yang disebabkan oleh parasit ini adalah penyakit Dactylogiriasis. Ikan

yang terinfeksi parasit ini dalam jumlah yang besar akan mengalami kerusakan insang.

Epitel lamela insang akan mengalami hyperplasia. Produksi lendir (mucosa) menjadi

berlebihan akibat infeksi parasitini, sehingga mengganggu proses respirasi ikan.

Pembuluh darah pada lamela insang mengalami telangi ectasis. Insang akan berubah

warna menjadi pucat. Selanjutnya terjadi penurunan berat badan ikan, karena hilangnya

nafsu makan ikan. Ikan yang terinfeksi berat akan menunjukkan tingkah laku yang tidak

normal dan menyebabkan kematian (wahyuni et al, 2017). Ikan nila (O. niloticus) yang
Ikan yang terserang Dactylogyrus sp. akan menunjukkan gejala kesulitan berenang,

lemas, dan tidak suka bergerak karena pernapasannya terganggu. Pada intensitas tinggi,

ikan yang terserang parasit ini mengalami pendarahan pada insang (Kordi & Ghufran

2004). Tingginya nilai prevalensi Dactylogyrus sp. karena ektoparasit ini berkembang

biak dengan cepat. Dactylogyrus sp. berkembangbiak dengan cara bertelur dan ratusan

ekor parasit dapat menginfeksi satu ekor ikan terutama dengan adanya alat ophishaptor.

Serangan Dactylogyrus sp. terutama terjadi pada benih ikan berukuran 3-5 cm yang

berada pada kondisi perairan terburuk (Huet 1979). Faktor kualitas air dapat

mempengaruhi banyak tidaknya telur yang dihasilkan oleh Dactylogyrus sp. Jumlah telur

yang dihasilkan bergantung kepada kadar oksigen terlarut dalam air. Pada kadar oksigen

terlarut rendah, maka telur yang dihasilkan tinggi, sebaliknya jika kadar oksigen terlarut

dalam air tinggi, maka jumlah telur yang dihasilkan sedikit (Kabata 1985).

Diagnosa Banding

Gyrodactiliasis disebabkan oleh parasit Gyrodactylus sp. Tergolong cacing

monogenia cacing ini juga bentuknya pipih dan pada ujung badannya di lengkapi dengan

alat yang berfungsi sebagai penggait dan alat penghisap darah. Gyrodactylus sp. biasanya

menyerang kulit dan sirip ikan. Ikan yang terserang gejalanya dapat di kenali kulitnya

kelihatan tidak bening lagi, ikan terlihat berkumpul pada pintu air masuk dan ikan berenang

tidak normal. Penanggulangan penyakit ini sama dengan penanggulanagn penyakit yeng

disebabkan oleh parasit Dactylogyrus sp. (Ghufran dan Kordi 2004).


sehingga ikan akan terganggu pertumbuhannya (Gusrina, 2008).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pada studi kasus mandiri ini, dilakukan nekropsi pada hewan aquatik. Pada

kasus satwa akuatik, nekropsi dilakukan pada ikan nila, dengan suspect Dactylogyrus

sp dilihat dari morfologi cacing saat diperiksa dibawah mikroskop. kasus tersebut

didiagnosa berdasarkan riwayat kasus, pemeriksaan klinis serta tindakan nekropsi

untuk melihat perubahan patologi anatomi pada hewan sakit.


DAFTAR PUSTAKA
Ansary H. 2008. Modul Pembelajaran Parasitologi Ikan. Program Studi Budidaya Perairan
Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanudin
Makasar

[KEMENTAN] Kementrian pertanian. 2014. Manual Penyakit Hewan Ikan. Subdit


pengamatan penyakit hewan. Penerbit Subdit Pengamatan Penyakit Hewan.
Jakarta.

Kabata Z. 1985. Parasites and Diseases of Fish Cultured in The Tropics. London and
Philadelphia: Taylor dan Prancis.
Kordi M & Ghufran H. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta: Rineka
Cipta dan Bina Adiaksara. 2009. Budidaya Perairan Buku Kedua. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.

Pujiastuti N & Setiati N. 2015. Identifikasi dan prevalensi ektoparasit pada ikan konsumsi di
balai benih ikan Siwarak. Unnes J Life Sci, 4 (1): 9-15.

Roberts, R.J., 1993. Motile Aeromonas Septicemia. In:Bacterial Disease of Fish (Inglis.V.,
R.J.Robert and N.R.Bromage, eds). Blackwell Scientific Publication, London, pp. 143
– 155
Shafrudin D, Yuniarti & Setiawati M. 2006. Pengaruh kepadatan benih ikan lele dumbo
(Clarias sp.) terhadap produksi pada sistem budidaya dengan pengendalian nitrogen
melalui penambahan tepung terigu. J Akuakultur Indonesia 5(2):137-147.

Tarmizi, Sofyatuddin K, Dwinna A. 2016. Pengendalian Infestasi Ektoparasit Dactylogyrus


Sp. Pada Benih Ikan Patin (Pangasius Sp.) Dengan Penambahan Garam Dapur.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah. Vol 1(2) : 222-228

Wahyuni s, Hendri A, Erlita. 2017 Identifikasi Parasit Pada Ikan Air Tawar Di Balai Benih Ikan
Babah Krueng Kecamatan Beutong Kabupaten Nagan Raya. Jurnal Akuakultura 1 (1),
29-36.

Winaruddin & Eliawardani. 2007. Inventarisasi ektoparasit yang menyerang ikan mas yang di
budidaya dalam jarring apung di Danau laut air tawar Kabupaten Aceh Tengah.
Jurnal Kedokteran Hewan, I (2) : 66-69.

Anda mungkin juga menyukai