Anda di halaman 1dari 13

NAMA : NURTILA MANUSU

NIM : 13211.19.011
SOAL : UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)
MATA KULIAH : EKOLOGI PANGAN DAN GIZI DAN SISTEM INFORMASI
KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

1. Buatkan gambar diagram alir konsep permintaan, penawaran dan harga pangan!
Permintaan

Penawaran
Harga Pangan

2. Berikan contoh kasus penerapan cost benefit analysis (CBA) dan cost effectiveness
analysis (CEA) bidang pangan dan gizi !
Contoh Kasus cost benefit analysis (CBA)
A. Bidang Pembangunan
Perencanaan maupun evaluasi proyek pembangunan dapat menggunakan metode Cost
Benefit Analysis (CBA) untuk meminimalisi risiko kerugian bagi perencanaan, dan
evaluasi untuk perbaikan. Seperti proyek perluasan jalan raya oleh pemerintah
kabupaten A. Oleh karena arus kendaraan yang padat, pemerintah A berencana
melebarkan jalan dari empat lajur menjadi enam lajur. Asumsi bahwa, pelebaran jalan
ini akan memberikan manfaat penghematan waktu pengguna jalan dan mengurangi
kecelakaan di jalan tersebut.
B. Bidang Kesehatan
Cost Benefit Analysis juga sering diterapkan dalam pengambilan keputusan di bidang
kesehatan. Dalam hal ini penulis mengemukakan contoh cost benefit analysis dalam
program Keluarga Berencana (KB). Program Keluarga Berencana adalah program
mengendalikan pertumbuhan penduduk yang mempunyai elemen biaya (cost) dan
manfaat (benefit) sebagai berikut:
a) Elemen biaya.
 Biaya program KB untuk mencegah atau menjarangkan kelahiran.
 Biaya atau kerugian yang timbul karena menurunnya jumlah tenaga kerja.
b) Elemen manfaat
 Efek utama : berkurangnya belanja konsumsi karena kelahiran yang dapat
dicegah, sehingga belanja yang tidak dikonsumsi tersebut tersedia untuk
penduduk luas.
 Meningkatnya public saving dari penurunan pendidikan karena menurunnya
jumlah anak yang lahir
 Meningkatnya produktivitas karena keluarga yang lebih kecil bisa meningkatkan
status gizinya
Contoh Kasus effectiveness analysis (CEA)
A. Bidang Transportasi
Cost Effectiveness Analysis sangat diperlukan dalam bidang transportasi. Seseorang
membutuhkan perhitungan waktu, jarak, medan, biaya yang dikeluarkan,
kenyamanan, keamanan, serta keefektifan dalam memilih alat transportasi. Selain itu
juga dapat menganalisis mengenai beberapa rencana program seperti rencana
pembatasan jumlah kendaraan bermotor, pembangunan MRT di Jakarta dsb.
B. Bidang Kesehatan
Cost Effectiveness Analysis digunakan untuk memilih program pengobatan penyakit
– penyakit yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah TBC pada tahun 1984.
C. Bidang Industri
Perusahaan menggunakan Cost Effectiveness Analysis untuk menentukan program
mana yang akan dijalankan atau mengevaluasi program – program yang telah
dilakukan untuk melihat program mana yang paling efektif untuk meningkatkan
income perusahaan.
3. Jelaskan metode dan pentingnya diversifikasi pangan !
Pentingnya Diversifikasi pangan merupakan upaya untuk mendorong masyarakat agar
memvariasikan makanan pokok yang dikonsumsi sehingga tidak terfokus pada satu jenis
saja. Konsep diversifikasi hanya terbatas pangan pokok, sehingga diversifikasi konsumsi
pangan diartikan sebagai pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh
penambahan konsumsi bahan pangan non beras. Pada dasarnya diversifikasi pangan
mencakup tiga lingkup pengertian yang saling berkaitan, yaitu diversifikasi konsumsi
pangan, diversifikasi ketersediaan pangan, dan diversifikasi produksi pangan.
Diverifikasi pangan juga bermanfaat untuk memperoleh nutrisi dari sumber gizi yang
lebih beragam dan seimbang. Diversifikasi pangan yang dilakukan masyarakat kawasan
ASEAN umumnya, dan Indonesia khususnya yaitu berupa nasi, karena mayoritas wilayah
Asia Tenggara merupakan wilayah penghasil beras. Indonesia juga menegaskan
komitmennya dalam melaksanakan program tersebut dengan menjelaskan definisi
diversifikasi pangan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2002
tentang Ketahanan Pangan demi mewujudkan swasembada beras dengan meminimalkan
konsumsi beras agar tidak melebihi produksinya.
Beberapa karakter yang seharusnya dimiliki oleh pangan pengganti beras, menurut
Irawan et al. (1999) adalah sebagai berikut:
1. memiliki kandungan energi dan protein yang cukup tinggi sehingga apabila harga
bahan pangan tersebut dihitung dalam kalori atau harga protein nabati, maka
perbedaannya tidak terlalu jauh dengan harga energi atau harga protein nabati yang
berasal dari beras
2. memiliki peluang yang besar untuk dikonsumsi dalam kuantitas yang relatif tinggi
sehingga apabila terjadi penggatian konsumsi beras dengan bahan tersebut maka
pengurangan kuantitas kalori dan protein nabati yang berasal dari beras dapat
dipenuhi dari bahan pangan alternatif yang dikonsumsi
3. bahan baku untuk pembuatan bahan pangan alternatif cukup tersedia di daerah
sekitarnya
4. dari segi selera, bahan pangan alternatif memiliki peluang cukup besar untuk
dikonsumsi secara luas oleh rumah tangga konsumen.
Oleh karena itu, antisipasi terhadap pangan baru seperti mi yang bahan bakunya tidak
diproduksi di dalam negeri harus diperhatikan dalam mengembangkan industri dan
menerapkan jenis teknologi yang akan dipilih. Indonesia memiliki berbagai macam
pangan alternatif, seperti jenis umbi-umbian, yakni talas, gandum dan jagung, yang
semuanya bisa dijadikan makanan pengganti beras
Kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan
pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan
sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah
lingkungan. Ini berarti kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi
pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada
4. Jelaskan konsep pola pangan harapan !
Konsep pola pangan harapan ialah susunan beragam pangan atau sekelompok pangan
yang didasarkan atas sumbangan energinya, baik secara absolut maupun relatif terhadap
total energi baik dalam hal ketersediaan maupun konsumsi pangan yang mampu
mencukupi kebutuhan dengan mempertimbangkan aspek aspek sosial, ekonomi , budaya ,
agama dan cita rasa
Dalam melakukan penilaian terhadap konsumsi energi dan protein secara agregat,
digunakan standar/Angka Kecukupan Gizi (AKG) hasil Widyakarya Nasional Pangan
dan Gizi (WNPG). WNPG VIII tahun 2004 dan IX tahun 2008 menganjurkan AKG di
tingkat konsumsi pangan sebesar 2.000 kilokalori/kapita/hari dan 52 gram/kapita/ hari.
AKG tersebut mengalami penyesuaian dalam WNPG X tahun 2012, dan telah ditetapkan
dalam Permenkes Nomor 75 tahun 2013 sebesar 2.150 kilokalori/kapita/hari dan 57
gram/kapita/hari.
Untuk keperluan perencanaan dan evaluasi, AKG tersebut perlu diterjemahkan dalam
satuan yang dikenal oleh para penyelenggara pangan menjadi volume bahan pangan atau
kelompok pangan. PPH merupakan manifestasi konsep Gizi Seimbang yang didasarkan
pada konsep Triguna Makanan. Keseimbangan jumlah antar kelompok pangan
merupakan syarat terwujudnya keseimbangan Gizi. PPH merupakan susunan pangan
yang benar-benar menjadi harapan baik di tingkat konsumsi maupun ketersediaan, serta
dapat digunakan sebagai pedoman perencanaan dan evaluasi ketersediaan dan konsumsi
pangan penduduk.
5. Jelaskan Metodologi NBM !
Neraca Bahan Makanan (NBM) adalah tabel yang menyajikan gambaran menyeluruh
tentang penyediaan/pengadaan (supply), penggunaan/pemanfaatan (utilization) pangan di
suatu wilayah dalam periode tertentu (dalam kurun waktu satu tahun). NBM
menunjukkan ketersediaan bahan pangan untuk setiap komoditas dan olahannya yang
lazim dikonsumsi penduduk berdasarkan sumber penyediaan dan penggunaannya.
Penyediaan diperoleh dari jumlah total bahan pangan yang diproduksi dikurangi dengan
perubahan stok ditambahkan dengan jumlah total yang diimpor dan dikurangi dengan
jumlah total yang diekspor selama periode tersebut. Sedangkan penggunaan diperoleh
dari jumlah total kebutuhan pakan, bibit, industri makanan dan non makanan, tercecer,
serta bahan makanan yang tersedia untuk dikonsumsi manusia. Ketersediaan per kapita
untuk dikonsumsi diperoleh dengan membagi ketersediaan bahan makanan dengan
jumlah penduduk pertengahan tahun.Neraca Bahan Makanan (NBM) adalah suatu tabel
yang terdiri atas kolom-kolom yang memuat berbagai informasi berupa data tentang
situasi dan kondisi penyediaan bahan makanan bagi penduduk suatu negara/daerah,
dalam suatu kurun waktu tertentu. Informasi tersebut dicantumkan dalam 19 kolom
sebagai berikut : kolom (1) Jenis Bahan Makanan (Commodity), kolom produksi
(production) yang terdiri atas kolom (2) masukan (input) dan (3) keluaran (output);
kolom (4) Perubahan stok (changes in stock), kolom (5) impor (import) kolom (6)
Penyediaan Dalam Negeri sebelum Ekspor (Domestic Supplay prior to Export) kolom (7)
Ekspor (export) kolom (8) Penyediaan Dalam Negeri (Domestic Utilization) yang terdiri
atas : kolom (9) Pakan (feed) (10) Bibit (Seed) diolah untuk (Manufactured for) (11)
Makanan (food) dan (12) Bukan makanan (non food), (13) Tercecer (Weste) dan (14)
Bahan Makanan (Food), Ketersediaan per kapita (per capita availability) terdiri atas
kolom-kolom (15) kg/thn (kg/year), (16) Gram/hari (gram/day), (17) Energi dalam satuan
kalori/hari (cal/day), (18) Protein dalam satuan gram/hari (proteins in gram/day) dan (19)
Lemak dalam satuan gram/hari (fats in gram/day).
6. Jelaskan elemen-elemen ketahanan pangan serta upaya lembaga yang terlibat dalam
sistem ketahanan pangan !
A. Elemen Sistem Ketahanan Pangan
Sistem ketahanan pangan dan gizi secara komprehensif meliputi empat subsistem, yaitu:

 ketersediaan pangan dalam jumlah dan


 jenis yang cukup untuk seluruh penduduk,
 distribusi pangan yang lancar dan merata,

konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang
berdampak pada   status gizi masyarakat.

Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal
produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional),
tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan
individu serta status gizi anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah
tangga miskin (RAN PG 2006-2010).

Gambar 1. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan dan Gizi (RAN PG 2006-2011) Suryana (2003)
menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu sistem ekonomi pangan yang terintegrasi
yang terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi
pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergis dan interaksi
dari ketiga subsistem tersebut. Ketiga subsistem tersebut merupakan satu kesatuan yang
didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya alam, kelembagaan, budaya dan teknologi.
Proses pembangunan ketahanan pangan akan berjalan dengan efisien apabila ada partisipasi
masyarakat dan fasilitasi pemerintah.Kinerja dari ketiga subsistem ketahanan pangan akan
terlihat pada status gizi masyarakat, yang dapat dideteksi antara lain dari status gizi anak balita
(usia di bawah lima tahun). Apabila salah satu atau lebih, dari ke tiga subsistem tersebut tidak
berfungsi dengan baik, maka akan terjadi masalah kerawanan pangan yang akan berdampak
peningkatan kasus gizi kurang dan/atau gizi buruk. Dalam kondisi demikian, negara atau daerah
dapat dikatakan belum mampu mewujudkan ketahanan pangan.

B.Lembaga Dalam Sistem Ketahanan Pangan

Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, untuk
pelaksanaan pembangunan ketahanan pangan di tingkat pusat dibutuhkan kelembagaan
ketahanan pangan. Sejalan dengan amanat tersebut, sesuai dengan Peraturan Presiden No 45
tahun 2015 tentang Kementerian Pertanian, Badan Ketahanan Pangan mempunyai tugas
menyelenggarakan koordinasi dan perumusan kebijakan dibidang peningkatan diversifikasi dan
pemantapan ketahanan pangan. Pelaksanaan tugas diselenggarakan secara efektif dan efisien
berdasarkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).Prinsip tata kelola
yang baik tersebut meliputi manajemen di Badan Ketahanan Pangan mulai dari aspek
perencanaan sampai dengan evaluasi dan pelaporan ketahanan pangan. Upaya untuk mencapai
prinsip tata kelola yang baik diawali dengan pembaruan dan perubahan mendasar terhadap
sistem penyelenggaraan pemerintahan di lingkup Badan Ketahanan Pangan. Langkah strategis
perubahan tersebut melalui agenda reformasi birokrasi dengan 8 (delapan) area perubahan
meliputi:

1. Aspek kelembagaan, guna melahirkan organisasi yang proporsional, efektif, dan efisien
(organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran)
2. Aspek tata laksana, guna melahirkan sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif,
efisien, terukur dan sesuai prinsip-prinsip good governance
3. Peraturan perundang-undangan, guna melahirkan regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang
tindih dan kondusif
4. Sumber daya manusia aparatur, guna melahirkan sumber daya manusia aparatur yang
berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera
5. Pengawasan, bertujuan meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bebas korupsi,
kolusi, dan nepotisme
6. Akuntabilitas, bertujuan meningkatnya kapasitas dan kapabilitas kinerja birokrasi
7. Pelayanan publik, untuk mewujudkan pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan
masyarakat
8. Mindset dan Cultural Set Aparatur Badan Ketahanan Pangan, guna melahirkan birokrasi
dengan integritas dan kinerja yang tinggi.
Dalam rangka menunjang upaya pencapaian ketahanan pangan nasional, provinsi dan
kabupaten/kota telah terbentuk SKPD Ketahanan Pangan yang didasari dengan semangat untuk
mendorong terwujudnya struktur pemerintahan yang efisien, efektif dan memberikan pelayanan
maksimal kepada masyarakat. Pembangunan ketahanan pangan ke depan dihadapkan pada
perubahan lingkungan strategis, baik domestik maupun internasional yang dinamis. Dengan
demikian, dituntut kinerja kelembagaan ketahanan pangan yang handal baik di tingkat pusat,
provinsi, maupun kabupaten/kota. Bentuk dan nama unit kerja yang menangani ketahanan
pangan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota masih sangat beragam, seperti terlihat
pada Tabel Berikut:

Tabel Bentuk Kelembagaan Ketahanan Pangan Seluruh Indonesia

Provin Kabupaten/Ko Jumla


Nama Lembaga
si ta h

Lembaga Ketahanan 34 479 513


Pangan

Badan Ketahanan
20 156 176
Pangan/Kantor
Ketahanan Pangan

Badan Ketahanan
Pangan/Kantor Ketahan 10 201 211
an Pangan dan (Unit
Kerja Lain)

Dinas dan (Unit Kerja 4 114 118


Lain)

Seksi/Sub Bagian/UPTD - 8 8
Ketahanan Pangan

 Dalam era desentralisasi dan otonomi daerah, hubungan kerja antara pusat dengan daerah adalah
hubungan fungsional dalam pembangunan ketahanan pangan. Oleh karena itu, dalam rangka
memperkuat aspek koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan program diperlukan Dewan
Ketahanan Pangan (DKP) pada berbagai tingkatan pemerintahan (pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota). Jumlah kelembagaan DKP saat ini meliputi 33 provinsi dan 437 kab/kota.
Selain hubungan antar pemerintahan, juga dibutuhkan peran serta masyarakat dan partisipasi
seluruh pemangku kepentingan (stake holders) dalam mencapai target pemantapan ketahanan
pangan. Melalui berbagai kesepakatan internasional dan nasional, Indonesia telah menyatakan
komitmen dan berperan aktif dalam berbagai program yang terkait dengan ketahanan pangan dan
kemiskinan, antara lain melalui deklarasi Roma Tahun 1996 pada Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Pangan Dunia, Deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) Tahun
2000, International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICOSOC) yang sudah
diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, Regional ASEAN
pada Sidang ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry (AMAF) di Ha Noi pada bulan
Oktober 2008. Di dalam negeri telah terwujud melalui kesepakatan Gubernur selaku Ketua
Dewan Ketahanan Pangan (DKP) Provinsi dan Bupati/Walikota selaku Ketua DKP
Kabupaten/Kota dalam Konferensi dan Sidang Regional DKP pada bulan Nopember
2008.Ketahanan pangan dengan prinsip kemandirian dan berkelanjutan senantiasa harus
diwujudkan dari waktu ke waktu, sebagai prasyarat bagi keberkelanjutan eksistensi bangsa
Indonesia. Upaya mewujudkan ketahanan pangan tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor
internal maupun eksternal yang terus berubah secara dinamis. Dalam penyelenggaraan ketahanan
pangan, peran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mewujudkan ketahanan
pangan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002
adalah melaksanakan dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketahanan pangan di
wilayah masing-masing dan mendorong keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan
ketahanan pangan, dilakukan dengan: (a) memberikan informasi dan pendidikan ketahanan
pangan; (b) meningkatkan motivasi masyarakat; (c) membantu kelancaran penyelenggaraan
ketahanan pangan; (d) meningkatkan kemandirian ketahanan pangan.Pentingnya ketahanan
pangan, pemerintah mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan (a) Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, (b) Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada
Masyarakat, dan (c) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. Sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 7 huruf m, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 bahwa Ketahanan Pangan
sebagai urusan wajib dalam penyelenggaraan pemerintahan. Menindaklanjuti ketahanan pangan
sebagai urusan wajib bagi daerah, maka diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57
Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah dan hasil
Konferensi Dewan Ketahanan Pangan menjadi acuan implementasi di daerah. Sampai dengan
tahun 2009 secara bertahap di provinsi dan kabupaten/kota telah dibentuk 438 lembaga struktural
ketahanan pangan tersebar di 33 provinsi dan 405 kabupaten/kota. Dari 438 lembaga structural
ketahanan pangan tersebut yang bersifat mandiri dalam bentuk Badan Ketahanan Pangan di
Provinsi sejumlah 19 unit, dan 38 unit di tingkat Kabupaten/Kota. Selebihnya beragam, baik
dalam bentuk Kantor Ketahanan Pangan maupun bergabung dengan Unit Kerja Lain.
Keberagaman bentuk lembaga ketahanan pangan di Provinsi dan Kabupaten/Kota, seperti pada
Tabel I.10.

Perwujudan ketahanan pangan harus dilaksanakan secara sinergis seluruh sektor dan pemangku
kepentingan dengan koordinasi secara terpadu antara pemerintah dan pemerintah daerah.
Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan (DKP),
menjadikan DKP sebagai wadah forum koordinasi dalam pembangunan ketahanan pangan. Di
tingkat pusat Presiden RI sebagai Ketua DKP, Menteri Pertanian RI sebagai Ketua Harian DKP
dan Badan Ketahanan Pangan secara ex-officio sebagai Sekretariat DKP. Ketua DKP di tingkat
Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah Gubenur dan Bupati/Walikota.
7. Jelaskan indikator kewaspadaan pangan dan gizi serta tindak lanjut hasil SKPG !
Sesuai dengan fungsi dan kegunaannya indikator SKPG dikategorikan
dalam 3 (tiga) kelompok utama yaitu:

(1). Indikator untuk pemetaan situasi pangan dan gizi 1 tahun di kecamatan,
kabupaten/kota, provinsi maupun nasional dengan menggunakan 3 indikator
yang digabungkan secara komposit yaitu:

a) indikator pertanian, dengan memperhatikan bahwa potensi pertanian pangan antar wilayah
sangat beragam maka akan didekati dengan beberapa alternatif yang mungkin dan cocok
diterapkan pada suatu wilayah pengamatan.

b) indikator kesehatan yaitu Prevalensi Kekurangan Energi Protein (KEP).

c) indikator sosial yaitu persentase keluarga miskin.

(2). Indikator untuk peramalan produksi secara periodik (bulanan, triwulan,


musiman atau tahunan) khusus untuk kondisi produksi pertanian yaitu:

-       luas tanam

-       luas kerusakan

-       luas panen dan produktivitas

(3). Indikator untuk pengamatan gejala kerawanan pangan dan gizi yaitu:
kejadian-kejadian yang spesifik lokal (indikator lokal) yang dapat dipakai
untuk mengamati ada/tidaknya gejala rawan pangan dan gizi.

Tindak lanjut Hasil dari SKPG

Kejadian krisis pangan dan gizi dapat diantisipasi apabila gejala-gejala kekurangan pangan dan
gizi (sebab-sebab masalah) dapat secara dini dikenali, dan kemudian dilakukan tindakan secara
cepat dan tepat sesuai dengan kondisi yang ada.Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)
merupakan sistem yang tepat digunakan oleh pemerintah daerah karena SKPG merupakan sistem
pengelolaan informasi pangan dan gizi dalam rangka menetapkan kebijakan program pangan dan
gizi. Selain itu, informasi pangan dan gizi dapat dipakai untuk menetapkan kebijakan dan
tindakan segera terutama dalam keadaan krisis pangan dan gizi. Dalam keadaan normal,
informasinya dapat dipakai untuk pengelolaan program pangan dan gizi jangka panjang. Sistem
Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) yang sejak tahun 2007 keberadaannya di Kota
Probolinggo dikatakan vakum, sebagai deteksi dini dalam mencegah terjadinya kerawanan
pangan dan gizi. Sebenarnya Kota Probolinggo bukanlah daerah rawan pangan dan tidak
termasuk daerah yang rawan pangan. Namun, karena ketiadaan SKPG di kota  ini yang
menjadikan Kota Probolinggo mendapat warning, lingkaran merah pada peta ketahanan pangan
di propinsi Jatim sebagai daerah yang rawan pangan.

Untuk menindaklanjuti masalah tersebut, maka Dinas Pertanian kota Probolinggo merasa perlu
untuk kembali menggalakkan atau merevitalisasi SKPG yang semula vakum menjadi aktif
kembali. Tujuannya agar Kota Probolinggo di tahun 2012 tidak kembali
mendapatkan warning dari provinsi terkait masalah rawan pangan. Agar SKPG berjalan dengan
baik maka perlu dilakukan:

1. Hendaknya Wali Kota Probolinggo lebih serius dalam mengkoordinasi semua tim SKPG
2.  Diharapkan agar Perintah Daerah Kota Probolinggo meningkatkan sarana dan prasarana
dalam menunjang kinerja Tim SKPG dengan tenaga yang selalu mengingatkan laporan,
analisis data dan pertemuan tim.
3. Perlu tenaga penggerak SKPG yang mengerti SKPG, dapat mendekati kepala daerah dan
dapat berkomunikasi dengan pelaksana SKPG lain di daerah.
4. Perlu dipersiapkan tim yang dapat memberikan bimbingan teknis dan manajemen kepada
setiap daerah yang membutuhkan.

Dengan tindakan-tindakan tersebut diharapkan SKPG dapat berjalan dengan baik sesuai
fungsinya dan dapat memberikan informasi yang dapat dipakai untuk pengelolaan program
pangan dan gizi dengan tepat sasaran.

8. Apa perbedaan tujuan pelaksanaan pemantauan SKPG bulanan dan SKPG tahunan !
1. Membangun/menyediakan data dan informasi situasi pangan yang mempengaruhi
status gizi pada skala rumah tangga, wilayah dan nasional.
2. Membangun/menyediakan isyarat dini kemungkinan terjadinya ganguan ketersediaan
pangan yang dapat mengakibatkan kerawanan pangan dan gizi.
3. Membangun/menyediakan  kebijakan penyediaan kecukupan pangan
4. Membangun / menyediakan kebijakan tindakan penanggulangan kerawanan pangan.
5. Menfasilitasi institusi lintas sektoral maupun swasta dalam  menyusun program-
program yang mendukung ketahanan pangan.
Data Bulanan
Analisis Untuk situasi kewaspadaan dini terhadap perubahan situasi pangan dan gizi
investasi.
Data bulanan dikumpulkan berdasarkan tiga aspek ketahanan pangan, yaitu: (1)
ketersediaan, (2) akses terhadap pangan, (3) pemanfaatan pangan, dan (4) spesifik
lokal
Setelah diketahui kantong-kantong kerawanan pangan dari hasil analisis bulanan
langkah selanjutnya dilakukan investigasi. Data investigasi dikumpulkan dari hasil
survey yang dilakukan oleh Tim Pangan dan Gizi. Data yang dikumpulkan
antara  lain: (1) kondisi umum responden, (2) Permasalahan yang dihadapi oleh
responden, (3) pemecahan masalah yang telah dilakukan.
Data Tahunan
Analisis untuk situasi perencanaan program pangan dan gizi jangka menegah dan
jangka panjang.
Data tahunan dikumpulkan berdasarkan tiga aspek ketahanan pangan, yaitu: (1)
ketersediaan, (2) aksesibilitas, dan (3) pemanfaatan pangan

Anda mungkin juga menyukai