Anda di halaman 1dari 59

1

SKENARIO 4
BAYI BESAR

Seorang ibu berusia 37 tahun, G3P2A0 dengan usia kehamilan 40 minggu melahirkan
bayinya di ruang OK. Bayi tersebut lahir dengan sectio caesar, dengan BB lahir 4200 gram
dan saat lahir pasien langsung menangis. ibu pasien memiliki riwayat Diabetes Mellitus sejak
kehamilan anak ke 2. Dokter melakukan perawatan rutin di kamar bersalin. setelah itu, bayi
dirawat di Ruang NICU.

STEP 1
1. Ruang NICU : (Neonatal intensive care unit) adalah ruangan untuk merawat
bayi lahir sampai usia 30 hari yang memerlukan pengobatan dan
perawatan khusus dibawah pemantauan tim dokter.
2. Sectiocaesar : Proses persalinan dengan pembedahan irisan diperut ibu dan rahim
ibu untuk mengeluarkan bayi.
STEP 2
1. Mengapa bayi tersebut bisa besar?
2. Mengapa bayi tersebut dilahirkan secara sectiocaesar? Apa saja indikasi sectio
caesar?
3. Apakah berat badan bayi di skenario termasuk berat badan bayi yang normal?
4. Apakah riwayat Diabetes mellitus berpengaruh dengan kehamilan? Jelaskan!
5. Apakah perawatan pertama yang dapat dilakukan pada bayi tersebut?

STEP 3
1. A. Faktor ibu :factor hiperglikemi, obesitas, riwayat melahirkan.
B. Faktor genetik : DM dikeluarga atau riwayat DMG.
2. Tidak memungkinkan persalinan pervaginam karena dapat menyebabkan distosia
bahu atau robekan jalan lahir. Indikasi SC antara lain :
A. Absolut :Riwayat SC, makrosomia, sungsang, DMG, ibu hipertensi, ibu dengan
penyakit jantung, giant baby, CPD, ibu dengan tumor atau skoliosis.
B. Relatif :permintaan pasien.
2

3. Tidak normal. Karena berat badan bayi baru lahir yang normal adalah 2500-
4000gram.
A. Berat badan lahir normal : 2500-4000gram
B. Berat badan lahir rendah : <2500gram
C. Berat badan lahir lebih : >4000gram
4. Riwayat DM ->ibu hiperglikemia -> transport plasenta ->anak hipoglikemia ->
pankreas -> hiperinsulinemia -> lipolysis lemak rendah ->bayi besar
5. A. NICU (inkubator, monitor, ventilator)
B. OGT
C. Membersihkan jalan napas
D. Menghangatkan bayi
E. Memotong tali pusat
STEP 4
1. A. Resistensi insulin ->hormone diabetik (GH, CRH placental lactogen, progesteron)
-> perubahan pasokan nutrisi ke janin berlebih
B. Hormon HPL, progesteron, prolaktin -> menginhibisi insulin ->hiperinsulinemia
2. Indikasi SC : preeklampsia, CPD, plasenta previa
3. Resiko tinggi pada bayi baru lahir adalah : bayi hipoglikemia, bayi ikhterus, bayi
tetanus neonatus, bayi asfiksia.
4. A. Sebelum usia kehamilan 36 minggu, insulin diproduksi oleh plasenta -> saat usia
kehamilan 36 minggu pancreas sudah matang ->stress bayi ->katekolamin meningkat
-> glucagon menurun ->hiperinsulinemia -> bayi hipoglikemia
B. Pada ibu insulin diproduksi juga dari plasenta -> glukosa darah meningkat ->
glikogen berlebih -> masuk ke janin -> penimbunan lemak dibadan dan bahu janin
yang dapat menyebabkan distosia bahu -> makrosomia.
5. A. NICU (inkubator, monitor, ventilator)
B. OGT
C. Membersihkan jalan napas
D. Menghangatkan bayi
E. Memotong tali pusat
3

MIND MAP
Etiolog
i
Faktor
risiko Ibu
Bayi beresiko
tinggi

Bayi
Genetik,
Besar
Perawatan obesitas, DM,

Komplikas SC Indikasi Ibu


i

Janin
TTN, asfiksia,
infeksi

STEP 5

1. Jelaskan kriteria bayi beresiko tinggi!


2. Pemeriksaan untuk mengetahui bayi beresiko tinggi
3. Patomekanisme terjadinya bayi beresiko tinggi dihubungkan dengan factor risikonya
beserta tatalaksana bayi beresiko tinggi
4. Komplikasi SC

STEP 6

Belajar mandiri

STEP 7

1. Kriteria bayi-bayi resiko tinggi yaitu :


a. Bayi lahir dengan masa gestasi < 37 minggu atau > 42 minggu
b. Bayi dengan berat badan lahir < 2500 gram atau > 4000 gram
4

c. Bayi besar atau kecil untuk umur kehamilan


d. Bayi dengan riwayat penyakit neonatus yang berat atau dengan kematian
saudaranya.
e. Bayi dengan keadaan lahir yang buruk (nilai Apgar 0-3 pada menit pertama) atau
yang memerlukan resusitasi dikamar bersalin
f. Bayi lahir dengan penyakit infeksi, adanya riwayat penyakit selama kehamilan,
ketuban pecah dini, riwayat masalah sosial yang berat seperti kehamilan dimasa
remaja, tidak adanya perawatan prenatal, hampir tidak ada kenaikan berat badan
selama kehamilan, lama tidak mempunyai bayi, mempunyai 4 atau lebih anak
sebelumnya, ibu yang mempunyai anak pertama pada usia 35 tahun atau lebih,
pecandu obat, peminum obat-obat atau tidak kawin.
g. Bayi yang lahir dengan kehamilan ganda atau ibu hamil lagi setelah 3 bulan
melahirkan.
h. Bayi yang lahir dengan bedah kaisar atau adanya komplikasi kehamilan seperti
hidramnion, abrupsio plasenta, plasenta previa, atau letak plasenta tidak normal.
i. Bayi yang mempunyai satu pembuluh darah arteri tali pusat atau setiap kecurigaan
akan cacat bawaan.
j. Bayi yang dikenal menderita anemi atau inkompatibilitas darah
k. Bayi lahir dari ibu yang sangat menderita selama hamil seperti masalah emosi
yang berat,hiperemesis, kecelakaan yang membahayakan, anastesi umum. 1

2. Pemeriksaan untuk mengetahui bayi beresiko tinggi


1) Timbang berat badan
Untuk mengetahui apakah bayi mengalami risiko bayi lahir rendah.
Penimbangan berat badan pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk
mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan janin. Penambahan berat badan yang
kurang dari 9 kilogram selama kehamilan atau kurang dari 1 kilogram setiap bulannya
menunjukkan adanya gangguan pertumbuhan janin.
2) Ukur lingkar lengan atas (LiLA)
Untuk mengetahui apakah bayi mengalami risiko bayi lahir rendah.
Pengukuran LiLA hanya dilakukan pada kontak pertama untuk skrining ibu hamil
berisiko kurang energi kronis (KEK). Kurang energi kronis disini maksudnya ibu
5

hamil yang mengalami kekurangan gizi dan telah berlangsung lama (beberapa
bulan/tahun) dimana LiLA kurang dari 23,5 cm. Ibu hamil dengan KEK akan dapat
melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR).
3) Ukur tekanan darah
Untuk mengetahui apakah bayi mengalami risiko bayi lahir Caesar.
Pengukuran tekanan darah pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk
mendeteksi adanya hipertensi (tekanan darah >140/90 mmHg) pada kehamilan dan
preeklampsia (hipertensi disertai edema wajah dan atau tungkai bawah, dan atau
proteinuria).
4) Ukur tinggi fundus uteri
Untuk mengetahui apakah bayi mengalami risiko bayi lahir rendah.
Pengukuran tinggi fundus pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk
mendeteksi pertumbuhan janin sesuai atau tidak dengan umur kehamilan. Jika tinggi
fundus tidak sesuai dengan umur kehamilan, kemungkinan ada gangguan
pertumbuhan janin. Standar pengukuran menggunakan pita pengukur setelah
kehamilan 24 minggu.
5) Hitung denyut jantung janin (DJJ)
Untuk mengetahui apakah bayi bisa mengalami risiko bayi lahir dengan asfiksia.
Penilaian DJJ dilakukan pada akhir trimester I dan selanjutnya setiap kali kunjungan
antenatal. DJJ lambat kurang dari 120/menit atau DJJ cepat lebih dari 160/menit
menunjukkan adanya gawat janin.
Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan tanda-tanda
klinis pada janin atau bayi. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit
tidak teratur
6) Tentukan presentasi janin
Untuk mengetahui apakah bayi mengalami risiko bayi lahir Caesar.
Menentukan presentasi janin dilakukan pada akhir trimester II dan selanjutnya setiap
kali kunjungan antenatal. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mengetahui letak janin.
Jika, pada trimester III bagian bawah janin bukan kepala, atau kepala janin belum
masuk ke panggul berarti ada kelainan letak, panggul sempit atau ada masalah lain

.
6

7) Beri Imunisasi Tetanus Toksoid (TT)


Untuk mengetahui apakah bayi mengalami risiko bayi lahir dengan infeksi tetanus
neonatorum.
Untuk mencegah terjadinya tetanus neonatorum, ibu hamil harus mendapat imunisasi
TT. Pada saat kontak pertama, ibu hamil diskrining status imunisasi TT nya.
Pemberian imunisasi TT pada ibu hamil, disesuai dengan status imunisasi ibu saat
ini.2
8) Periksa laboratorium (rutin dan khusus)
Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada saat antenatal meliputi:
a. Pemeriksaan golongan darah
Untuk mengetahui apakah bayi mengalami inkompatibilitas dengan darah ibu.
Pemeriksaan golongan darah pada ibu hamil tidak hanya untuk mengetahui jenis
golongan darah ibu melainkan juga untuk mempersiapkan calon pendonor darah
yang sewaktu-waktu diperlukan apabila terjadi situasi kegawatdaruratan.
b. Pemeriksaan protein dalam urin
Pemeriksaan protein dalam urin pada ibu hamil dilakukan pada trimester kedua dan
ketiga atas indikasi. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui adanya proteinuria
pada ibu hamil. Proteinuria merupakan salah satu indikator terjadinya preeklampsia
pada ibu hamil.
c. Pemeriksaan kadar gula darah.
Untuk mengetahui apakah bayi mengalami risiko hipoglikemia saat lahir.
Ibu hamil yang dicurigai menderita Diabetes Melitus harus dilakukan pemeriksaan
gula darah selama kehamilannya minimal sekali pada trimester pertama, sekali pada
trimester kedua, dan sekali pada trimester ketiga (terutama pada akhir trimester
ketiga).
d. Pemeriksaan terkait penyakit infeksi.
Untuk mengetahui apakah bayi mengalami risiko bayi lahir dengan infeksi sifilis
dan HIV.
A. Pemeriksaan tes Sifilis
Pemeriksaan tes Sifilis dilakukan di daerah dengan risiko tinggi dan ibu hamil
yang diduga Sifilis. Pemeriksaaan Sifilis sebaiknya dilakukan sedini mungkin
pada kehamilan.
7

B. Pemeriksaan HIV
Pemeriksaan HIV terutama untuk daerah dengan risiko tinggi kasus HIV dan
ibu hamil yang dicurigai menderita HIV. Ibu hamilsetelah menjalani konseling
kemudian diberi kesempatan untuk menetapkan sendiri keputusannya untuk
menjalani tes HIV. 2
9) Anamnesis Ibu
Untuk mengetahui apakah bayi mengalami risiko bayi lahir dengan Berat Bayi
Lahir Rendah. Pada ibu pecandu narkotika mengandung zat-zat adiktif yang dapat
memasuki sirkulasi janin sehingga menyebabkan vasokontriksi arteri umbilikal dan
menekan aliran darah plasenta sehingga menyebabkan suplai nutrisi berkurang dan
terjadi BBLR.2

3. Patomekanisme terjadinya bayi beresiko tinggi dihubungkan dengan faktor risikonya


beserta tatalaksana bayi beresiko tinggi.
1) Kelahiran Kurang Bulan
Kelahiran kurang bulan atau prematur adalah istilah yang digunakan untuk
mendefinisikan neonatus yang dilahirkan terlalu dini. Berdasarkan usia kehamilan,
bayi yang baru lahir mungkin kurang bulan, aterm, atau lebih bulan. Berdasarkan
ukuran, bayi yang baru lahir mugkin tumbuh normal dan sesuai masa kehamilan,
kecil ukurannya, yaitu, kecil masa kehamilan, atau tumbuh berlebihan, yaitu, besar
masa kehamilan.1
Prematuritas adalah kelahiran yang berlangsung pada umur kehamilan 20
minggu hingga 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. Terdapat tiga
subkategori usia kelahiran prematur berdasarkan kategori World Health
Organization (WHO), yaitu :
a) Extremely preterm (< 28 minggu)
b) Very preterm (28 hingga < 32 minggu)
c) Moderate to late preterm (32 hingga < 37 minggu).1
a. Faktor risiko
Terdapat empat penyabab utama untuk kelahiran kurang bulan, yaitu :
a) Pelahiran atas indikasi ibu atau janin sehingga persalinan diinduksi atau
bayi dilahirkan dengan pelahiran caesar prapersalinan
8

b) Persalinan kurang bulan spontan tak terjelaskan dengan selaput ketuban


utuh.
c) Ketuban pecah dini preterm (PPROM) idiopatik.
d) Kelahiran kembar dan multi janin yang lebih banyak. 1
b. Patofisiologi
Secara umum, penyebab persalinan prematur dapat dikelompokan dalam 4
golongan yaitu :
a) Aktivasi prematur dari pencetus terjadinya persalinan
b) Inflamasi/infeksi
c) Perdarahan plasenta
d) Peregangan yang berlebihan pada uterus. 1
2) Bayi Lewat Bulan
a. Pengaruh hormon progesteron
Penurunan hormon progesteron dalam kehamilan dipercaya merupakan kejadian
perubahan endokrin yang penting dalam memacu proises biomelekuler pada
persalinan dan meningkatkan sensitivitas uterus terhadap oksitosin, sehingga
terjadinya kehgamilan postterm adalah karena masih pengaruh progesteron.1
b. Teori oksitosin
Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan pada kehamilan postterm
memberi kesan bahwa oksitosin secara fisiologis memegang peranan penting
dalam menimbulkan persalinan dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis. Ibu
hamil yang kurang pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor
penyebab kehamilan postterm.1
c. Teori kortisol
Diduga akibat peningkatan tiba-tiba kadar kortisol plasma janin akan
mempengaruhi plasenta sehingga produksi progersteron berkurang dan
memperbesar sekresi estrogen, selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya
produksi prostaglandin. Pada cacat bawaan janin seperti anesefalus dan tidak
adanya kelenjar hipofisis pada janin akan menyebabkan kortisol janin tidak
diproduksi dengan baik sehingga kehamilan dapat berlangsung lewat bulan.1
9

d. Saraf uterus
Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus frankenhauser akan
membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan dimana tidak ada tekanan pada
pleksus ini seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek, dan bagian bawah
masih tinggi diduga sebagai penyebab terjadinya kehamilan postterm. 1

Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada


kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Penurunan fungsi
plasenta dapat dibuktikan dengan penurunan kadar estriol dan plasental laktogen.
Perubahan yang terjadi pada plasenta sebagai berikut:
a) Penimbunan kalsium. Pada kehamilan postterm terjadi peningkatan
penimbunan kalsium pada plasenta. Hal ini dapat menyebabkan gawat janin
dan bahkan kematian janin intrauterin yang dapat meningkat sampai 2-4 kali
lipat. Timbunan kalsium plasenta meningkat sesuai dengan progresivitas
degenerasi plasenta. Namun, beberapa vili mungkin mengalami degenerasi
tanpa mengalami kalsifikasi. 1
b) Selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya berkurang.
Keadan ini dapat menurunkan mekanisme transpor plasenta.
c) Terjadi proses degenerasi jaringan plasenta seperti edema, timbunan fibrinoid,
fibrosis, trombosis intervili, dan infark vili. 1
d) Perubahan biokimia. Adanya insufisiensi plasenta menyebabkan protein
plasenta dan kadar DNA di bawah normal, sedangkan konsentrasi RNA
meningkat. Transpor kalsium tidak terganggu, aliran natrium, kalium, dan
glukosa menurun. Pengangkutan bahan dengan berat molekul tinggi seperti
asam amino, lemak, dan gama globulin biasanya mengalami gangguan
sehingga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin intrauterin.1
10

Gambar 3.1 Patofisiologi prematur.1


Mekanisme pertama ditandai dengan stres yang biasa terjadi pada
primipara muda yang mempunyai predisposisi genetik. Adanya stres fisik
maupun psikologi menyebabkan aktivasi prematur dari aksis Hypothalamus-
Pituitary-Adrenal (HPA) ibu dan menyebabkan terjadinya persalinan prematur.
Aksis HPA ini menyebabkan timbulnya insufisiensi uteroplasenta dan
mengakibatkan kondisi stres pada janin. Stres pada ibu maupun janin akan
mengakibatkan peningkatan pelepasan hormon Corticotropin Releasing
Hormone (CRH), perubahan pada Adrenocorticotropic Hormone (ACTH),
prostaglandin, reseptor oksitosin, matrix metaloproteinase (MMP), interleukin-
8, cyclooksigenase-2, dehydroepiandrosteron sulfate (DHEAS), estrogen
plasenta dan pembesaran kelenjar adrenal. 1
Mekanisme kedua adalah decidua-chorio-amnionitis, yaitu infeksi
bakteri yang menyebar ke uterus dan cairan amnion. Keadaan ini merupakan
11

penyebab potensial terjadinya persalinan prematur. Infeksi intraamnion akan


terjadi pelepasan mediator inflamasi seperti pro-inflamatory sitokin (IL-1β, IL-
6, IL-8, dan TNF-α ). Sitokin akan merangsang pelepasan CRH, yang akan
merangsang aksis HPA janin dan menghasilkan kortisol dan DHEAS. Hormon-
hormon ini bertanggung jawab untuk sintesis uterotonin (prostaglandin dan
endotelin) yang akan menimbulkan kontraksi. Sitokin juga berperan dalam
meningkatkan pelepasan protease (MMP) yang mengakibatkan perubahan pada
serviks dan pecahnya kulit ketuban.1
Mekanisme ketiga yaitu mekanisme yang berhubungan dengan
perdarahan plasenta dengan ditemukannya peningkatan hemosistein yang akan
mengakibatkan kontraksi miometrium. Perdarahan pada plasenta dan desidua
menyebabkan aktivasi dari faktor pembekuan Xa (protombinase). Protombinase
akan mengubah protrombin menjadi trombin dan pada beberapa penelitian
trombin mampu menstimulasi kontraksi miometrium.1
Mekanisme keempat adalah peregangan berlebihan dari uterus yang bisa
disebabkan oleh kehamilan kembar, polyhydramnion atau distensi berlebih yang
disebabkan oleh kelainan uterus atau proses operasi pada serviks. Mekanisme ini
dipengaruhi oleh IL-8, prostaglandin, dan COX-2.1

3). Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)


Pengertian
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang
dari 2500 gram tanpa melihat usia gestasi. BBLR merupakan salah satu penyebab
utama morbiditas dan mortalitas neonatus. Dengan pengertian seperti yang telah
diterangkan diatas, bayi BBLR dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

1) Prematuritas murni
Masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan
berat badan untuk masa gestasi itu atau biasa disebut neonatus kurang bulan
sesuai untuk masa kehamilan.
12

a) Berat badan kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang dari 45 cm,
lingkar kepala kurang dari 33 cm, lingkar dada kurang dari 30 cm.
b) Masa gestasi atau umur kehamilan kurang dari 37 minggu.
c) Gerakan kurang aktif dan otot masih hipotonis.
d) Kepala lebih besar dari badan, rambut tipis dan halus.
e) Tulang tengkorang lunak, fontanela besar dan sutura besar.
f) Telinga sedikit tulang rawannya dan berbentuk sederhana.
g) Kulit tipis dan transparan, lanugo (bulu halus) banyak terutama pada dahi,
pelipis, telinga dan lengan.
h) Lemak subkutan kurang.
i) Pernafasan belum teratur dan sering mengalami serangan apneu.
j) Putting susu belum terbentuk sempurna.
k) Pembuluh darah kulit banyak terlihat peristaltic usus dapat terlihat.
l) Genetalia belum sempurna, pada wanita labia minora belum tertutup oleh
labia mayora.
m)Reflek menghisap dan menelan belum sempurna. 5
2) Dismaturitas
Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan yang seharusnya untuk
usia kehamilannya. Berarti bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrautein
dan merupakan bayi yang kecil untuk masa kehamilannya.
Pre term : sama dengan bayi prematur murni
Post term :
a) Kulit pucat, mekonium kering keriput, tipis.
b) Vernix caseosa tipis/ tidak ada.
c) Jaringan lemak dibawah kulit tipis.
d) Bayi tampak gesit, aktif dan kuat.
e) Tali pusat berwarna kuning kehijauan. 5

Etiologi

Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu


yang lain adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskuler,
13

kehamilan kembar/ganda, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya


BBLR. BBLR dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

1) Faktor ibu
a. Penyakit
Penyakit yang berhubungan langsung dengan kehamilan misalnya
toksemia gravidarum, perdarahan antepartum, trauma fisik dan psikologis,
penyakit lainnya yaitu nefritis akut, diabetes melitus, infeksi akut atau
tindakan operatif.
b. Usia
Angka kejadian prematuritas tertinggi yaitu pada usia ibu dibawah 20
tahun dan pada multigravida yang jarak antar kelahirannya terlalu dekat.
Kejadian terendah yaitu pada usia ibu antra 26-35 tahun.
c. Keadaan sosial-ekonomi
Kejadian tertinggi terdapat pada golongan sosial-ekonomi yang
rendah dan perkawainan yang tidak sah. Hal ini disebabkan oleh keadaan
gizi yang kurang baik dan pengawasan antenatal yang kurang.
d. Sebab lain
Ibu yang perokok, ibu yang peminum alkohol dan ibu pecandu
narkotika termasuk faktor lain yang mengakibatkan bayi lahir dengan
BBLR. Obat-obatan yang dikonsumsi oleh ibu yang pecandu narkotika, zat
aditif dalam alkohol dan juga zat nikotin dalam rokok tersebut akan
memasuki peredaran darah ibu, ketika ibu sedang hamil sirkulasi darah
tersebut mengandung zat-zat narkotika yang adiktif dan zat-zat nikotin yang
terkandung dalam rokok akan memasuki sirkulasi janin yang bisa
mengakibatkan vasokontriksi arteri umbilikal dan menekan aliran darah
plasenta sehingga dapat menyebabkan suplai nutrisi janin berkurang dan
terjadi BBLR. 5

2) Faktor janin
Cacat bawaan, infeksi dalam rahim, kehamilan ganda dan kelainan kromosom
umumnya akan mengakibatkan bayi lahir dengan BBLR.
14

3) Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi terjadinya BBLR, meliputi
tempat tinggal dataran tinggi, radiasi, dan zat-zat beracun. 5

Masalah – masalah atau kelainan pada bayi berat lahir rendah pada BBLR yaitu :

A. Suhu Tubuh
1) Pusat mengatur nafas tubuh masih belum sempurna.
2) Luas badan bayi relatif besar sehingga penguapannya bertambah.
3) Otot bayi masih lemah.
4) Lemak kulit dan lemak coklat kurang sehingga cepat kehilangan panas badan.
5) Kemampuan metabolisme panas masih rendah sehingga bayi dengan berat
badan lahir rendah perlu diperhatikan agar tidak terlalu banyak kehilangan
panas badan dan dapat dipertahankan sekitar 36° sampai 37° C.

B. Pernafasan

1) Pusat pengatur pernafasan belum sempurna.

2) Surfaktan paru-paru masih kurang sehingga perkembangan tidak sempurna.

3) Otot pernafasan dan tulang iga masih lemah.

4) Dapat disertai penyakit : penyakit hialin membran, mudah infeksi paru-paru,


gagal pernafasan.

C. Alat pencernaan makanan

a) Penyerapan makanan masih lemah atau kurang baik karena pencernaannya


belum berfungsi sempurna.

b) Aktivitas otot pencernaan makanan masih belum sempuna sehingga


pengosongan lambung berkurang.

c) Mudah terjadi regurgitasi isi lambung dan dapat menimbulkan aspirasi


pneumonia.

D. Hepar belum matang


15

Mudah menimbulkan gangguan pemecahan bilirubin sehingga mudah terjadi


hiperbilirubinemia (kuning) sampai menyebabkan ikterus.

E. Ginjal masih belum matang

Kemampuan mengatur pembuangan sisa metabolisme dan air masih belum


sempurna sehingga mudah terjadi oedema.

F. Perdarahan dalam otak


a) Pembuluh darah bayi dengan berat badan lahir rendah masih rapuh dan mudah
pecah.
b) Karena mengalami gangguan pernafasan sehingga memudahkan terjadi
perdarahan dalam otak.
c) Perdarahan dalam otak memperburuk keadaan dan menyebabkan kematian pada
bayi.
d) Pemberian oksigen belum mampu diatur sehingga mempermudah terjadi
perdarahan dan nekrosis.5

Patofisiologi

Tingkat kematangan fungsi sistem organ neonatus merupakan syarat untuk dapat
beradaptasi dengan kehidupan diluar rahim. Secara umum bayi berat badan lahir rendah
ini berhubungan dengan usia kehamilan yang belum cukup bulan atau prematur dan
disebabkan karena dismaturitas. Biasanya hal ini terjadi karena adanya gangguan
pertumbuhan bayi sewaktu dalam kandungan yang disebabkan oleh faktor ibu,
komplikasi hamil, komplikasi janin, plasenta yang menyebabkan suplai makanan ibu ke
bayi berkurang. Faktor lainnya yang menyebabkan bayi berat badan lahir rendah yaitu
faktor genetik atau kromosom, infeksi, kehamilan ganda, perokok, peminum alkohol. 5

Konsekuensi dari anatomi dan fisiologi yang belum matang, bayi prematur cenderung
mengalami masalah yang bervariasi. Hal ini harus diantisipasi dan dikelola pada masa
neonatal. Berkaitan dengan hal itu, maka menghadapi bayi prematur harus
memperhatikan masalah masalah sebagai berikut :

a) Sistem pengaturan suhu tubuh (Hipotermia)


16

Dalam kandungan, bayi berada dalam suhu lingkungan yang normal dan stabil
yaitu 36° sampai dengan 37° C. Segera setelah lahir bayi dihadapkan pada suhu
lingkungan yang umumnya lebih rendah. Perbedaan suhu ini memberi pengaruh pada
kehilangan panas tubuh bayi. Hipotermia terjadi apabila suhu tubuh turun dibawah
36,5° C. Apabila seluruh tubuh bayi teraba dingin maka bayi sudah mengalami
hipotermia sedang (suhu 32° C sampai dengan 36° C). Disebut hipotermia berat
apabila suhu tubuh kurang dari 32°C. Hipotermia dapat terjadi karena kemampuan
untuk mempertahankan panas dan kesanggupan menambah produksipanas sangat
terbatas karena pertumbuhan otot-otot yang belumcukup memadai, lemak subkutan
yang sedikit, belum matangnyasistem saraf pengatur suhu tubuh, luas permukaan
tubuh relatif lebih besar dibandingkan dengan berat badan sehingga mudah
kehilangan panas.
b) Gangguan pernafasan
Asfiksia adalah suatu keadaan kegagalan bernafas secara spontan dan teratur
beberapa saat setelah lahir. Kegagalan ini menyebabkan terjadinya hipoksia yang
diikuti dengan asidosis respiratorik. Apabila proses berlanjut maka metabolisme sel
dalam suasana anaerob akan menyebabkan asidosis metabolik yang selanjutnya
terjadi perubahan kardiovaskuler. Menurunnya atau terhentinya denyut jantung
menyebabkan iskemia. Iskemia setelah mengalami asfiksia selama 5 menit
menyebabkan penyumbatan pembuluh darah kecil dimana akan mengakibatkan
kerusakan-kerusakan menetap.
c) Hipoglikemia
Glukosa merupakan sumber utama energi selama masa janin. Kecepatan
glukosa yang diambil janin tergantung dari kadar gula darah ibu karena terputusnya
hubungan plasenta dan janin menyebabkan terhentinya pemberian glukosa. Bayi
aterm dapat mempertahankan kadar gula darah 50-60 mg/dL selama 72 jam pertama,
sedangkan bayi berat badan lahir rendah dalam kadar 40 mg/dL. Hal ini disebabkan
cadangan glikogen yang belum mencukupi. Hipoglikemia bila kadar gula darah sama
dengan atau kurang dari 20 mg/dL.
d) Sitem imunologi
Kemungkinan terjadi kerentanan pada bayi dengan berat lahir rendah terhadap
infeksi mengalami peningkatan. Konsentrasi Ig G serum pada bayi sama dengan bayi
17

matur. Imunoglobulin G ibu ditransfer secara aktif melalui plasenta ke janin pada
trimester terakhir. Konsentrasi Ig G yang rendah mencerminkan fungsi plasenta yang
buruk berakibat pertumbuhan janin intra uterin yang buruk dan meningkatkan risiko
infeksi post natal. Oleh karena itu bayi dengan berat lahir rendah berpotensi
mengalami infeksi lebih banyak dibandingkan bayi matur.
e) Perdarahan intrakranial
Pada bayi dengan berat badan lahir rendah pembuluh darah masih sangat
rapuh hingga mudah pecah. Perdarahan intracranial dapat terjadi karena trauma lahir,
disseminated intravascular coagulopathy atau trombositopenia idiopatik. Matriks
germinal epidimal yang kaya pembuluh darah merupakan wilayah yang sangat rentan
terhadap perdarahan selama minggu pertama kehidupan.
f) Rentan terhadap infeksi
Pemindahan substansi kekebalan dari ibu ke janin terjadi pada minggu terakhir
masa kehamilan. Bayi dengan berat badan lahir rendah mudah menderita infeksi
karena imunitas humoral dan seluler masih kurang hingga bayi mudah menderita
infeksi. Selain itu, karena kulit dan selaput membran bayi dengan berat badan lahir
rendah tidak memiliki perlindungan seperti bayi cukup bulan.
g) Hiperbilirubinemia
Pada bayi dengan berat badan lahir rendah lebih sering mengalami
hiperbilirubinemia dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Hal ini dapat terjadi
karena belum maturnya fungsi hepar sehingga konjugasi bilirubin indirek menjadi
bilirubin direk belum sempurna. Kadar bilirubin normal pada bayi dengan berat badan
lahir rendah 10 mg/dL. Sesungguhnya hiperbilirubinemia merupakan keadaan normal
pada bayi baru lahir selama minggu pertama, karena belum sempurnanya
metabolisme bilirubin bayi.5
18

Gambar 3.2 Patofisiologi Bayi Baru Lahir dengan BBLR.5

Diagnosa dan gejala klinis

1) Sebelum bayi lahir

a) Pada anamnesis sering dijumpai adanya riwayat abortus, partusprematurus dan


lahir mati.
b) Pembesaran uterus tidak sesuai masa kehamilan.
c) Pergerakan janin yang pertama (quickening) terjadi lebihlambat, gerakan janin
lebih lama walaupun kehamilannya sudahagak lanjut.
d) Pertambahan berat badan ibu lambat dan tidak sesuai menurutseharusnya.
19

e) Sering dijumpai kehamilan dengan oligohidramnion atau bisapula dengan


hidramnion, hiperemesis gravidarum dan padahamil lanjut dengan toksemia
gravidarum atau perdarahanantepartum. 5

2) Setelah bayi lahir

a) Bayi dengan reterdasi pertumbuhan intrauterin secara klasik tampak seperti


bayi yang kelaparan. Tanda-tanda bayi ini adalah tengkorak kepala keras,
gerakan bayi terbatas, verniks kaseosa sedikit atau tidak ada, kulit tipis,
kering, berlipat-lipat, mudah diangkat. Abdomen cekung atau rata, jaringan
lembek dan berwarna kehijauan.
b) Bayi prematur yang lahir sebelum kehamilan 37 minggu. Verniks kaseosa ada,
jaringan lemak bawah kulit sedikit, tulang tengkorak lunak mudah bergerak,
abdomen buncit, tali pusar tebal dan segar, menangis lemah, tonus otot
hipotoni, dan kulit tipis, merah dan transparan.
c) Bayi small for date sama dengan bayi dengan retardasi pertumbuhan
intrauterin.
d) Bayi prematur kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam tubuhnya,
karena itu sangat peka terhadap gangguan pernafasan, infeksi, trauma
kelahiran, hipotermi, dan sebagainya, pada bayi kecil untuk masa kehamilan
(small for date) alat-alat dalamtubuh lebih berkembang dibandingkan dengan
bayi prematurberat badan sama, karena itu akan lebih mudah hidup diluar
rahim, namun tetap lebih peka terhadap infeksi dan hipotermi dibandingkan
dengan bayi matur dengan berat badan normal. 5

Penatalaksanaan
a). Pemberian vitamin Kı
Pemberian vitamin Kı diberikan secara Injeksi 1 mg IM, atau 2 mg secara
oral sebanyak 3 kali (lahir usia 3-10 hari, usia 4-6 minggu).
b). Pengaturan suhu lingkungan
Menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh bayi baru lahir dapat
dilakukan dengan lima cara yaitu kontak kulit dengan kulit, kangaroo mother
care (dada dan perut bayi kontak kulit dengan dada ibu dengan kepala bayi
20

sedikit ditengadahkan, posisi dipertahankan dengan gendongan kain dan


pakaian ibu), pemancar panas, inkubator (alat yang berfungsi membantu
terciptanya suhu lingkungan yang cukup dengan suhu normal), dan ruangan
yang hangat.
c). Diatetik (pemberian nutrisi yang adekuat) pada bayi baru lahirdengan Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR), yaitu :
I. Apabila daya isap belum baik, bayi dicoba untuk menetek sedikit demi
sedikit.
II. Apabila bayi belum bisa meneteki pemberian ASI diberikan melalui
sendok atau pipet.
III. Apabila bayi belum ada reflek mengisap dan menelan harus dipasang
sonde fooding. 5

Bayi dengan berat badan lahir rendah mempunyai masalah menyusui karena
refleks menghisapnya masih lemah. Untuk itu sebaiknya ASI dikeluarkan dengan
pompa atau diperas dan diberikan pada bayi dengan pipa lambung atau pipet.
Dengan memegang kepala dan menahan bawah dagu, bayi dapat dilatih untuk
menghisap sementara ASI yang telah dikeluarkan diberikan dengan pipet atau
selang kecil yang menempel pada putting. ASI merupakan pilihan utama :

a) Apabila bayi mendapat ASI, pastikan bayi menerima jumlah yang cukup
dengan cara apapun, perhatikan cara pemberian ASI dan nilai kemampuan
bayi menghisap paling kurang sehari sekali.
b) Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan beratnya naik 20g/hari
selama 3 hari berturut-turut, timbang bayi minimal 2 kali seminggu. 5

4). Kecil masa kehamilan (KMK)

Definisi Small for Gestational Age (Kecil Masa Kehamilan) dijelaskan


sebagai berat badan bayi lebih rendah dari populasi normal atau lebih rendah
dari berat badan yang telah ditentukan sebelumnya. KMK didefinisikan sebagai
berat badan bayi dibawah persentil 10 atau lebih dari dibawah 2 standar deviasi
sesuai usia kehamilan. Ponderal index merupakan suatu formula yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi massa jaringan lunak pada bayi yang tidak
21

sesuai dengan perkembangan skeletal. Oleh karena itu, Ponderal index di bawah
persentil 10 digunakan untuk identifikasi bayi PJT. Jadi, semua bayi PJT belum
tentu KMK, dan semua bayi KMK belum tentu kecil sebagai hasil dari proses
restriksi pertumbuhan. 1
5). Asfiksia neonatorum
Definisi
Asfiksia neonatorum adalah keadaan gawat bayi merupakan kegagalan
bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Untuk mengakhiri
hipoksia, hiperkapnia, dan berakhir dengan asidosis. Konsekuensi masalah
psikologis yang terjadi pada asfiksia adalah depresi sisunan sarat dengan kriteria
menunit (WHO) tahun 2008 yang dianggap melibatkan neurologis yang
melibatkan hipoksia iskemik enchepalopaty (HIE), akan tetapi kelainan ini tidak
dapat diakses dengan segera. 6

Keadaan asidosis, gangguan kardiovaskuler serta komplikasinya sebagai


akibat langsung dari hipoksia merupakan penyebab utama kegagalan adaptasi
bayi baru lahir. Kegagalan ini juga berakuibat pada terganggunya fungsi dari
masing masing jaringan dan organ yang akan menjadi masalah pada hari pertama
setelah perawatan bayi baru lahir. 6

Etiologi

Pengembangan bayi baru lahir terjadi pada menit menit pertama kelahiran
kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila didapati dengan adanya
gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin akan
berakibat asfiksiajanin. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan,
persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian besar asfiksia bayi baru
lahir merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama masa
kehamilan dan persalinan memegang peranan penting untuk keselamatan bayi. 6
22

Faktor Resiko

(1). Faktor ibu :

a. Hipoksia ibu hal ini berakibat pada hipoksia janin. Hipoksia ibu dapat
terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anestesia
Iain

b. Ganggguan aliran darah uterus : berkurangnya aliran darah pada uterus akan
menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan janin.

(2). Faktor plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi
plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada
plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain lain.

(3). Faktor janin

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah


dalam pembuluh darah umbilikusdan menghambat pertukaran gas antara ibu
dan janin. Hal ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat melilit leher dan
lain lain.

(4). Faktor neonatus depresi pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena
beberapa hal, yaitu:

a. pemakaian obat anestesi dan analgesia yang berlebihan

b. trauma persalinan

c. kelainan kongenital bayi seperti hernia diafragmatika, atresia saluran


pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain. 6

Patofisiologi

Proses kelahiran selalu meimbulkan asfiksia ringan yang bersifat


sementara. proses ini dianggap perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat
23

pemafasan agar terjadi primary gasping yang kemudian berlanjut dengan


pernafasan teratur. Sifat asfiksia ini tidak mempunyai pengaruh buruk karena
reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya. kegagalan pernafasan mengakibatkan
gangguan pertukaran oksigen dan karbon dioksida sehingga menimbulkan
berkurangnya oksigen dan meningkatnya karbondioksida, diikuti dengan
asidosis respiratorik. apabila proses berlanjut maka metabolisme sel akan
berlangsung dalam suasana anaerobik yang berupa glikolisis glikogen sehingga
sumber utama glikogen terutama pada jantung dan hati akan berkurang dan
asam organik yang terjadi akan menyebabkan asidosis metabolik. Padatingkat
selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan beberapa
keadaan diantaranya:

a.hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung

b. terjadinya asidosis metabolik mengakibatkan menurunnya sel jaringan


termasuk otot sehingga menimbulkan kelemahan jantung

c. pengisian udara alveolus yang kurang adekuat menyebabkan tetap tingginya


resistensi pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru dan sistem
sirkulasi tubuh lain mengalami gangguan.

Sehubungan dengan proses faali tersebut maka fase awal asfiksia


ditandai dengan pernafasan cepat dalam selama tiga menit (periode hiperpneu)
diikuti dengan apneu primer kira kira 1 menit dimana pada saat ini denyut
jantung dan tekanan darah menurun kemudian bayi akan mulai bernafas
(gasping) 8-10 kali/menit, gasping ini akan semakin melemah sehingga akhirnya
timbul apneu sekunder. Pada fase normal keadaan ini tidak jelas terlihat karena
setelah pembersihan jalan nafas bayi maka bayi akan segera bernafas dan
menangis kuat.

Pemakaian sumber glikogen untuk energi dalam metabolisme anaerob


menyebabkan dalam waktu singkat tubuh bayi akan menderita hipoglikemia.
Pada saat asfiksia berat menyebabkan kerusakan membran sel teruta sel susunan
saraf pusat sehingga mengakibatkan gangguan elektrolit, berakibat pada
24

hiperkalemia dan pembengkakan sel. Kerusakan otak terjadi setelah asfiksia


berlangsung 8-15 menit. 6

Manifestasi Klinik

Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan


tanda-tanda klinis pada janin atau bayi berikut ini :
a. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur

b. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala


c. Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ lain
d. Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen
e. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada
otot-otot jantung atau sel-sel otak
f. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung,
kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta
sebelum dan selama proses persalinan
g. Takipneu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru
atau nafas tidak teratur/megap-megap
h. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah
i. Penurunan terhadap spinkters
j. Pucat. 6

Diagnosis
Untuk dapat menegakkan gawat janin dapat ditetapkan dengan
melakukan pemeriksaan sebagai berikut :
1. Denyut jantung janin.
Frekeunsi denyut jantung janin normal antara 120 – 160 kali per
menit; selama his frekeunsi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi
kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya
tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekeunsi turun sampai di bawah
100 per menit di luar his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu
merupakan tanda bahaya. Di beberapa klinik elektrokardiograf janin
25

digunakan untuk terus-menerus mengawasi keadaan denyut jantung dalam


persalinan.
1) Mekonium di dalam air ketuban.
Mekonium pada presentasi-sunsang tidak ada artinya, akan
tetapi pada presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan
oksigenisasi dan harus menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium
dalam air ketuban pada presentasi-kepala dapat merupakan indikasi
untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan
mudah.
2) Pemeriksaan pH darah janin.
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan lewat servik
dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah
janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan
turunnya pH. 6

Penatalaksanaan
Bayi baru lahir dalam apnu primer dapat memulai pola pernapasan biasa,
walaupun mungkin tidak teratur dan mungkin tidak efektif, tanpa intervensi
khusus. Bayi baru lahir dalam apnu sekunder tidak akan bernapas sendiri.
Pernapasan buatan atau tindakan ventilasi dengan tekanan positif (VTP) dan
oksigen diperlukan untuk membantu bayi memulai pernapasan pada bayi baru
lahir dengan apneu sekunder.
Menganggap bahwa seorang bayi menderita apnu primer dan memberikan
stimulasi yang kurang efektif hanya akan memperlambat pemberian oksigen
dan meningkatkan resiko kerusakan otak. Sangat penting untuk disadari bahwa
pada bayi yang mengalami apnu sekunder, semakin lama kita menunda upaya
pernapasan buatan, semakin lama bayi memulai pernapasan spontan.
Penundaan dalam melakukan upaya pernapasan buatan, walaupun singkat,
dapat berakibat keterlambatan pernapasan yang spontan dan teratur.
Perhatikanlah bahwa semakin lama bayi berada dalam apnu sekunder, semakin
besar kemungkinan terjadinya kerusakan otak.
26

Penyebab apa pun yang merupakan latar belakang depresi ini, segera
sesudah tali pusat dijepit, bayi yang mengalami depresi dan tidak mampu
melalui pernapasan spontan yang memadai akan mengalami hipoksia yang
semakin berat dan secara progresif menjadi asfiksia. Resusitasi yang efektif
dapat merangsang pernapasan awal dan mencegah asfiksia progresif.
Resusitasi bertujuan memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen
dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak,
jantung dan alat – alat vital lainnya.
Antisipasi, persiapan adekuat, evaluasi akurat dan inisiasi bantuan
sangatlah penting dalam kesuksesan resusitasi neonatus. Pada setiap kelahiran
harus ada setidaknya satu orang yang bertanggung jawab pada bayi baru lahir.
Orang tersebut harus mampu untuk memulai resusitasi, termasuk pemberian
ventilasi tekanan positif dan kompresi dada. Orang ini atau orang lain yang
datang harus memiliki kemampuan melakukan resusitasi neonatus secara
komplit, termasuk melakukan intubasi endotrakheal dan memberikan obat-
obatan. Bila dengan mempertimbangkan faktor risiko, sebelum bayi lahir
diidentifikasi bahwa akan membutuhkan resusitasi maka diperlukan tenaga
terampil tambahan dan persiapan alat resusitasi. Bayi prematur (usia gestasi <
37 minggu) membutuhkan persiapan khusus. Bayi prematur memiliki paru
imatur yang kemungkinan lebih sulit diventilasi dan mudah mengalami
kerusakan karena ventilasi tekanan positif serta memiliki pembuluh darah
imatur dalam otak yang mudah mengalami perdarahan Selain itu, bayi
prematur memiliki volume darah sedikit yang meningkatkan risiko syok
hipovolemik dan kulit tipis serta area permukaan tubuh yang luas sehingga
mempercepat kehilangan panas dan rentan terhadap infeksi. Apabila
diperkirakan bayi akan memerlukan tindakan resusitasi, sebaiknya sebelumnya
dimintakan informed consent. Definisi informed consent adalah persetujuan
tertulis dari penderita atau orangtua/wali nya tentang suatu tindakan medis
setelah mendapatkan penjelasan dari petugas kesehatan yang berwenang.
Tindakan resusitasi dasar pada bayi dengan depresi pernapasan adalah
tindakan gawat darurat. Dalam hal gawat darurat mungkin informed consent
dapat ditunda setelah tindakan. Setelah kondisi bayi stabil namun memerlukan
27

perawatan lanjutan, dokter perlu melakukan informed consent. Lebih baik lagi
apabila informed consent dimintakan sebelumnya apabila diperkirakan akan
memerlukan tindakan
Oleh karena itu untuk menentukan butuh resusitasi atau tidak, semua bayi
perlu penilaian awal dan harus dipastikan bahwa setiap langkah dilakukan
dengan benar dan efektif sebelum ke langkah berikutnya.
Secara garis besar pelaksanaan resusitasi mengikuti algoritma resusitasi
neonatal.
Berikut ini akan ditampilkan diagram alur untuk menentukan apakah terhadap
bayi yang lahir diperlukan resusitasi atau tidak. 6
28

Gambar 3.3 Algoritma Resusitasi Neonatus. 6


29

Obat-obatan dan cairan:


a. Epinefrin
i. Larutan = 1 : 10.000
ii. Cara = IV (pertimbangkan melalui ET bila jalur IV sedang disiapkan)
iii. Dosis : 0,1 – 0,3 mL/kgBB IV
iv. Persiapan = larutan 1 : 10.000 dalam semprit 1 ml (semprit lebih besar
diperlukan untuk pemberian melalui pipa ET. Dosis melalui pipa ET 0,3-1,0
mL/kg)
v. Kecepatan = secepat mungkin
vi. Jangan memberikan dosis lebih tinggi secara IV.
b. Bikarbonat Natrium 4,2%
c. Dekstron 10%
d. Nalokson. 6

6). Sepsis Neonatal


Sepsis pada bayi baru lahir adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif
dan ditandai dengan ditemukannya bakteri dala cairan tubuh seperti darah, cairan
sumsum tulang atau cairan kemih. 7
Keadaan ini sering terjadi pada bayi berisiko misalnya BKB, BBLR, bayi
dengan sindrom gangguan napas atau bayi yang lahir dari ibu berisiko. Sepsis
neonatal biasanya dibagi dalam dua kelompok yaitu sepsis awitan dini dan awitan
lambat. 7
Mikroorganisme penyebab sepsis
Organisme penyebab sepsis primer berbeda dengan sepsis nosokomial.
Sepsis primer biasanya disebabkan : Streptokokus Grup B, kuman usus Gram
negatif, terutama Escherisia coli, Listeria monocytogenes, Stafilokokus,
Streptokokus lainnya (termasuk Enterokokus), kuman anaerob, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab sepsis nosokomial adalah
Stafilokokus (terutama Staphylococcus epidermidis), kuman Gram negatif
(Pseudomonas, Klebsiella, Serratia, dan Proteus), dan jamur. 7

Faktor risiko untuk terjadinya sepsis neonatal


30

a) Prematuritas dan berat lahir rendah, disebabkan fungsi dan anatomi kulit
yang masih imatur, dan lemahnya sistem imun
b) Ketuban pecah dini (>18 jam)
c) Ibu demam pada masa peripartum atau ibu dengan infeksi, misalnya
khorioamnionitis, infeksi saluran kencing, kolonisasi vagina oleh
Streptokokus Grup B, kolonisasi perineal dengan Escherisia coli
d) Cairan ketuban hijau keruh dan berbau
e) Tindakan resusitasi pada bayi baru lahir
f) Kehamilan kembar
g) Prosedur invasive
h) Tindakan pemasangan alat misalnya kateter, infus, pipa endotracheal
i) Bayi dengan galaktosemi
j) Terapi zat besi
k) Perawatan di NICU (neonatal intensive care unit) yang terlalu lama
l) Pemberian nutrisi parenteral
m) Pemakaian antibiotik sebelumnya. 7
Patofisiologi
Sesuai dengan patogenesis, secara klinik sepsis neonatal dapat
dikategorikan dalam : sepsis dini, terjadi pada 5-7 hari pertama, tanda distres
pernapasan lebih mencolok, organisme penyebab penyakit didapat dari
intrapartum, atau melalui saluran genital ibu. Pada keadaan ini kolonisasi
patogen terjad pada periode perinatal. Beberapa mikroorganisme penyebab,
seperti treponema, virus, listeria dan candida, transmisi ke janin melalui
plasenta secara hematogenik. Cara lain masuknya mikroorganisme, dapat
melalui proses persalinan. Dengan pecahnya selaput ketuban, mikroorganisme
dalam flora vagina atau bakteri patogen lainnya secara asenden dapat
mencapai cairan amnion dan janin. Hal ini memungkinkan terjadinya
khorioamnionitis atau cairan amnion yang telah terinfeksi teraspirasi oleh
janin atau neonatus, yang kemudian berperan sebagai penyebab kelainan
pernapasan. Adanya vernix atau mekoneum merusak peran alami
bakteriostatik cairan amnion. Akhirnya bayi dapat terpapar flora vagina waktu
melalui jalan lahir. Kolonisasi terutama terjadi pada kulit, nasofaring,
31

orofaring, konjungtiva, dan tali pusat. Trauma pada permukaan ini


mempercepat proses infeksi. Penyakit dini ditandai dengan kejadian yang
mendadak dan berat, yang berkembang dengan cepat menjadi syok sepsis
dengan angka kematian tinggi. 7

Sepsis lambat mudah menjadi berat, tersering menjadi meningitis.


Bakteri penyebab sepsis dan meningitis, termasuk yang timbul sesudah lahir
yang berasal dari saluran genital ibu, kontak antar manusia atau dari alat-alat
yang terkontaminasi. Di sini transmisi horisontal memegang peran. Insiden
sepsis lambat sekitar 5-25%, sedangkan mortalitas 10-20% namun pada bayi
kurang bulan mempunyai risiko lebih mudah terinfeksi, disebabkan penyakit
utama dan imunitas yang imatur. 7

Tatalaksana
a) Terapi awal
Penisilin atau derivat biasanya ampisilin 100mg/kg/24jam intravena tiap
12 jam, apabila terjadi meningitis untuk umur 0-7 hari 100-
200mg/kg/24jam intravena/intramuskular tiap 12 jam, umur >7 hari 200-
300mg/kg/24jam intravena/intramuskular tiap 6-8 jam, maksimum
400mg/kg/24jam. 7
Ampisilin sodium/sulbaktam sodium, dosis sama dengan
ampisilin ditambah aminoglikosid 5mg/kg/24jam intravena diberikan tiap
12 jam. Pada sepsis nosokomial, sebaiknya diberikan vankomisin dengan
dosis tergantung umur dan berat badan :
A. < 1,2kg umur 0-4 minggu : 15mg/kg/kali tiap 24 jam.
B. 1,2-2kg umur 0-7 hari : 15mg/kg/kali tiap 12-18 jam.
C. 1,2-2kg umur >7 hari : 15mg/kg/kali tiap 8-12 jam.
D. > 2kg umur 0-7 hari : 15mg/kg/kali tiap 12 jam.
E. > 2kg umur >7 hari : 15mg/kg/kali tiap 8 jam ditambah
aminoglikosid atau sefalosporin generasi ketiga. 7
b) Terapi lanjutan disesuaikan dengan hasil biakan dan uji resistensi. 7
c) Pengobatan komplikasi
32

A. Pernapasan : kebutuhan oksigen meningkat, yang harus dipenuhi


dengan pemberian oksigen, VTP atau kemudian dengan ventilator.7
B. Kardiovaskular : menunjang tekanan darah dan perfusi jaringan,
mencegah syok dengan pemberian volume ekspander 10-20ml/kg
(NaCl 0,9%, albumin dan darah). Catat pemasukan cairan dan
pengeluaran urin. Kadang diperlukan pemakaian dopamin atau
dobutamin. 7
C. Hematologi : untuk DIC (trombositopeni, protrombin time
memanjang, tromboplastin time meningkat), sebaiknya diberikan
FFP 10ml/kg, vit K, suspensi trombosit, dan kemungkinan transfusi
tukar. Apabila terjadi neutropeni, diberikan transfusi neutrophil. 7
D. Susunan saraf pusat : bila kejang beri fenobarbital (20mg/kg
loading dose) dan monitor timbulnya sindrom inappropriate
antidiuretic hormon atau SIADH, ditandai dengan ekskresi urin
turun, hiponatremi, osmolaritas serum turun, naiknya berat jenis
urin dan osmolaritas. 7
E. Metabolik : monitor dan terapi hipo dan hiperglikemia. Koreksi
asidosis metabolik dengan bikarbonat dan cairan7
Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan memperhatikan pemakaian jarum atau
alat tajam lainnya sekali pakai. Pemakaian proteksi di setiap tindakan,
termasuk sarung tangan, masker, baju, kacamata debu. Tangan dan kulit yang
terkena darah atau cairan tubuh lainnya segera dicuci.7

7). Kehamilan Multiple


Definisi
Kehamilan multiple/ganda ialah satu kehamilan dengan dua janin atau lebih.1
Faktor Predisposisi
a) Usia ibu > 30 tahun
b) Konsumsi obat untuk kesuburan
c) Fertilisasi in vitro
d) Faktor keturunan. (1)
33

Patofisiologi
Kehamilan ganda dapat dibedakan menjadi :
A. Kehamilan ganda monozigotik
Kehamilan ganda monozigotik artinya kehamilan berasal dari satu sel
telur, sehingga keduanya memiliki jenis kelamin yang sama dan
genotip yang identik. Kehamilan monozigotik diakibatkan terjadi
pembelahan pada oosit pasca fertilisasi. (1)
B. Kehamilan ganda dizigotik
Kehamilan ganda dizigotik artinya kehamilan berasal dari 2 sel telur
yang dibuahi oleh 2 sperma yang berbeda. Hal ini mengakibatkan
keduanya tidak memiliki genotip yang identi. 2/3 kehamilan ganda
umumnya bersifat dizigotik, sementara hanya 1/3 yang bersifat
monozigotik. (1)
8). Hipoglikemia
Bayi dengan risiko hipoglikemia
Pada bayi baru lahir yang mempunyai risiko hipoglikemia, kadar
glukosa darahnya dipantau secara rutin, terlepas dari pemberian, macam dan
cara minum apapun yang didapatkan. Terdapat 3 kategori bayi yang berisiko
hipoglikemia:

a) Pemakaian glukosa yang berlebihan, termasuk kondisi hiperinsulinemia


b) Produksi dan cadangan glukosa yang tidak memadai
c) Peningkatan pemakaian glukosa dan penurunan produksi. 3

Bayi yang mempunyai risiko hipoglikemia:

I. Bayi dari ibu dengan diabetes. Ibu dengan diabetes yang tidak terkontrol
memiliki kadar glukosa darah yang tinggi yang bisa melewati plasenta
sehingga merangsang pembentukan insulin pada neonatus. Saat lahir,
kadar glukosa darah tiba-tiba turun karena pasokan dari plasenta berhenti,
padahal kadar insulin masih tinggi, sehingga terjadi hipoglikemia.
Pencegahannya adalah dengan mengontrol kadar glukosa darah pada ibu
hamil.
34

II. Bayi besar untuk masa kehamilan (BMK). Bayi BMK biasanya lahir dari
ibu dengan toleransi glukosa yang abnormal.
III. Bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK). Selama dalam kandungan, bayi
sudah mengalami kekurangan gizi, sehingga tidak sempat membuat
cadangan glikogen, dan kadang persediaan yang ada sudah terpakai. Bayi
KMK mempunyai kecepatan metabolisme lebih besar sehingga
menggunakan glukosa lebih banyak daripada bayi yang berat lahirnya
sesuai untuk masa kehamilan (SMK), dengan berat badan yang sama.
Meskipun bayi KMK bugar, bayi mungkin tampak lapar dan memerlukan
lebih banyak perhatian. Bayi KMK perlu diberi minum setiap 2 jam dan
kadang masih hipoglikemia, sehingga memerlukan pemberian
suplementasi dan kadang memerlukan cairan intravena sambil menunggu
ASI ibunya cukup.
IV. Bayi kurang bulan. Deposit glukosa berupa glikogen biasanya baru
terbentuk pada trimester ke-3 kehamilan, sehingga bila bayi lahir terlalu
awal, persediaan glikogen ini terlalu sedikit dan akan lebih cepat habis
terpakai.
V. Bayi lebih bulan. Fungsi plasenta pada bayi lebih bulan sudah mulai
berkurang. Asupan glukosa dari plasenta berkurang, sehingga janin
menggunakan cadangan glikogennya. Setelah bayi lahir, glikogen tinggal
sedikit, sehingga bayi mudah mengalami hipoglikemia.
VI. Pasca asfiksia. Pada asfiksia, akan terjadi metabolisme anaerob yang
banyak sekali memakai persediaan glukosa. Pada metabolisme anaerob, 1
gram glukosa hanya menghasilkan 2 ATP, sedang pada keadaan normal 1
gram glukosa bisa menghasilkan 38 ATP.
VII. Polisitemia. Bayi dengan polisitemia mempunyai risiko tinggi untuk
terjadinya hipoglikemia dan hipokalsemia, karena pada polisitemia terjadi
perlambatan aliran darah.
VIII. Bayi yang dipuasakan, termasuk juga pemberian minum pertama yang
terlambat. Bayi dapat mengalami hipoglikemia karena kadar glukosa darah
tidak mencukupi
35

IX. Bayi yang mengalami stres selama kehamilan atau persalinan, misalnya
ibu hamil dengan hipertensi. Setelah kelahiran, bayi mempunyai kecepatan
metabolisme yang tinggi dan memerlukan energi yang lebih besar
dibandingkan bayi lain.
X. Bayi sakit. Bayi kembar identik yang terjadi twin to twin tranfusion,
hipotermia, distress pernapasan, tersangka sepsis, eritroblastosis fetalis,
sindrom Beckwith-Wiedermann, mikrosefalus atau defek pada garis
tengah tubuh, abnormalitas endokrin dan bayi stres lainnya, mempunyai
risiko mengalami hipoglikemia.
XI. Bayi yang lahir dari ibu yang bermasalah. Ibu yang mendapatkan
pengobatan (terbutalin, propanolol, hipoglikemia oral), ibu perokok, ibu
yang mendapat glukosa intra vena saat persalinan, dapat meningkatkan
risiko hipoglikemia pada bayinya. 3

Manifestasi klinis hipoglikemia

Manifestasi klinis hipoglikemia pada bayi cukup bulan bisa samar dan non
spesifik, muncul pada neonatus bersama dengan berbagai masalah neonatus
lainnya. Pemeriksaan fisis dan observasi keadaan umum bayi harus dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Untuk menunjukkan bahwa
gejala yang timbul berhubungan dengan hipoglikemia, diperlukan hal-hal berikut:

a) Tanda klinik harus didapatkan


b) Kadar glukosa darah rendah, diukur secara akurat
c) Tanda klinik menghilang pada saat kadar glukosa darah normal

Pemberian ASI secara dini dan eksklusif dapat memenuhi kebutuhan


nutrisi dan metabolik bayi baru lahir cukup bulan yang sehat. Bayi cukup bulan
yang sehat tidak akan menjadi hipoglikemia yang simptomatik karena pemberian
minum yang kurang.3

Skrining glukosa darah bayi baru lahir


36

Skrining hipoglikemia mengenai kapan dilakukannya dan berapa lama


pemantauannya, belum disepakati secara umum. Strip glukosa untuk skrining
tidak mahal, praktis, dan hasilnya cepat. Jika didapatkan hipoglikemia harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah di laboratorium, karena hasil
yang diperoleh sering berbeda sekitar 15% dari hasil laboratorium, atau tidak
sesuai dengan varian yang signifikan dari kadar glukosa yang sesungguhnya.

Beberapa pedoman singkat skrining glukosa pada bayi baru lahir:

a) Pemantauan glukosa darah rutin bayi baru lahir cukup bulanyang asimtomatik
tidak perlu dan mungkin merugikan.
b) Skrining glukosa darah harus dilakukan pada bayi dengan risiko hipoglikemia
untuk mengetahui adanya hipoglikemia ataupun bayi yang menunjukkan
manifestasi klinis hipoglikemia, dengan frekuensi dan lama pemantauan
tergantung dari kondisi bayi masing-masing.
c) Pemantauan dimulai dalam 30-60 menit pertama bayi dengan dugaan
hiperinsulinisme dan tidak lebih dari umur 2 jam pada bayi dengan risiko
hipoglikemia kategori lainnya.
d) Pemantauan sebaiknya dilanjutkan setiap 3 jam sampai kadar glukosa darah
sebelum minum mencapai normal. Kemudian lanjutkan tiap 12 jam.
e) Skrining glukosa dihentikan setelah 2 kali didapatkan kadar glukosa normal
atau dengan pemberian minum saja, didapatkan 2 kali pemeriksaan kadar
glukosa normal.
f) Konfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah di laboratorium harus
dilakukan jika hasil skrining glukosa darah abnormal. 3

Tatalaksana umum

Data yang ada menunjukkan bahwa pemberian ASI yang tidak adekuat
meningkatkan risiko hipoglikemia, bahkan pada bayi yang sudah pulang ke
rumah. Tata laksana pemberian ASI yang tepat sangat penting bagi perkembangan
bayi. 3
37

Tatalaksana umum pada bayi yang mempunyai risiko:

1) Pemberian ASI sedini mungkin dalam 30-60 menit kemudian


diteruskan sesuai keinginan bayi.
a. Pemberian asupan enteral sedini mungkin -- ungkin merupakan tindakan
pencegahan tunggal yang paling penting. Secara khusus disebutkan bahwa
pemberian ASI sedini mungkin, merupakan hal yang terpenting untuk
pencegahan bayi dengan risiko dan terapi hipoglikemia. Mengenali bahwa
bayi menangis merupakan tanda yang terlambat jika bayi lapar. Bayi baru lahir
akan mendapatkan kolostrum yang berisi protein, lemak, dan karbohidrat yang
akan membuat glukosa darah stabil. Pemberian kolostrum tidak boleh
dihentikan hanya karena bayi masuk dalam kriteria yang harus dipantau kadar
glukosa darahnya.
b. Jika memungkinkan berikan ASI dengan bayi menyusu langsung atau
melalui pipa orogastrik. Bayi yang mempunyai risiko hipoglikemia tetapi
belum memungkinkan menyusu dan belum bisa diberi ASI melalui pipa
orogastrik karena adanya darah yang tertelan, lakukan pembilasan lambung
dan kemudian berikan ASI melalui pipa orogastrik. Jika tidak berhasil, segera
mulai pemberian glukosa intra vena. 3
2) Suplementasi rutin pada bayi cukup bulan yang sehat dengan air, air
gula atau susu formula tidak diperlukan.

Hal ini dapat mengganggu pemberian ASI dan mekanisme kompensasi


metabolik yang normal. Jika bayi tidak dapat menyusu langsung, berikan ASI
dengan cara alternatif lainnya; dengan sendok, gelas, atau pipa orogastrik. Jika
bayi tidak mampu menghisap, tidak perlu dipaksakan pemberian minum
melalui mulut, untuk mencegah aspirasi. Pemilihan suplemen tergantung dari
ketersediaan ASI perah ibu. Kolostrum perah adalah pilihan utama. ASI akan
meningkatkan glukoneogenesis dan keseimbangan energi. Jika tidak tersedia,
pilihan berikutnya adalah donor ASI yang sudah di pasteurisasi. Jika pilihan
kedua tidak tersedia, terpaksa diberikan susu formula dengan
mempertimbangkan riwayat keluarga mengenai toleransi susu. Jika didapatkan
38

alergi susu sapi, pilihannya adalah susu formula khusus (susu formula dengan
protein dihidrolisis sempurna). Air gula akan meningkatkan sekresi insulin dan
menunda mulainya glukoneogenesis yang alami dan proses homeostasis
ketogenik. Jika air gula diberikan pada bayi, kadar glukosa akan berfluktuasi
dan akan muncul masalah hipoglikemia rebound.

3) Memfasilitasi kontak kulit ke kulit antara ibu dan bayi untuk


merangsang pembentukan ASI. Cara ini akan mempertahankan suhu tubuh
normal, menurunkan pengeluaran energi, dan mempertahankan kadar glukosa
darah normal, sementara hal tersebut akan menstimulasi produksi ASI dan
pengisapan. Dengan melekatkan bayi ke ibunya secara sering dapat mencegah
suplementasi pada banyak kasus.
4) Pemberian minum yang sering. Berikan minum 10-12 kali dalam 24 jam
pada beberapa hari pertama sesudah lahir. Pemberian ASI yang sering,
meskipun sedikit-sedikit, tetapi dengan protein tinggi dan kalori tinggi dari
kolostrum akan lebih baik bila dibandingkan dengan pemberian susu formula
atau air gula. 3

Tatalaksana bayi dengan hipoglikemia

Bayi dengan risiko hipoglikemia, harus dipantau kadar glukosa darahnya.


Glukosa yang diperlukan mungkin belum cukup hanya dengan pemberian
kolostrum saja pada umur beberapa hari, tetapi tidak ada bukti klinik yang
menyebutkan bahwa bayi dengan hipoglikemia asimtomatik mendapatkan
keuntungan dari pemberian glukosa intra vena yang diberikan.

Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI perah dengan menggunakan
salah satu alternatif cara pemberian minum. Anjurkan ibu untuk menyusui jika
kondisi bayi bayi baru lahir sudah memungkinkan.3

Tatalaksana pemberian ASI pada bayi hipoglikemia:

a. Asimtomatik (tanpa manifestasi klinis)


39

1) Pemberian ASI sedini mungkin dan sering akan menstabilkan kadar


glukosa darah. Teruskan menyusui bayi (kira-kira setiap 1-2 jam) atau beri
3-10 ml ASI perah tiap kg berat badan bayi, atau berikan suplementasi
(ASI donor atau susu formula)
2) Periksa ulang kadar glukosa darah sebelum pemberian minum berikutnya
sampai kadarnya normal dan stabil
3) Jika bayi tidak bisa menghisap atau tidak bisa mentoleransi asupannya,
hindari pemaksaan pemberian minum, dan mulailah pemberian glukosa
intra vena. Pada beberapa bayi yang tidak normal, diperlukan pemeriksaan
yang seksama dan lakukan evaluasi untuk mendapatkan terapi yang
intensif
4) Jika kadar glukosa tetap rendah meskipun sudah diberi minum, mulailah
terapi glukosa intra vena dan sesuaikan dengan kadar glukosa darah
5) ASI diteruskan selama terapi glukosa intra vena. Turunkan jumlah dan
konsentrasi glukosa intra vena sesuai dengan kadar glukosa darah
6) Catat manifestasi klinis, pemeriksaan fisis, kadar skrining glukosa darah,
konfirmasi laboratorium, terapi dan perubahan kondisi klinik bayi
(misalnya respon dari terapi yang diberikan). 3

b. Simtomatik dengan manifestasi klinis atau kadar glukosa plasma < 20-25
mg/dL atau < 1,1 - 1,4 mmol/L.

1) Berikan glukosa 200 mg tiap kilogram berat badan atau 2 mL tiap


kilogram berat badan cairan dekstrosa 10%. Lanjutkan terus pemberian
glukosa 10% intra vena dengan kecepatan (glucose infusion rate atau GIR)
6-8 mg tiap kilogram berat badan tiap menit
2) Koreksi hipoglikemia yang ekstrim atau simtomatik, tidak boleh diberikan
melalui oral atau pipa orogastrik.
3) Pertahankan kadar glukosa bayi yang simtomatik pada >45 mg/dL atau
>2.5 mmol/L
4) Sesuaikan pemberian glukosa intravena dengan kadar glukosa darah yang
didapat
40

5) Dukung pemberian ASI sesering mungkin setelah manifestasi


hipoglikemia menghilang
6) Pantau kadar glukosa darah sebelum pemberian minum dan saat
penurunan pemberian glukosa intra vena secara bertahap (weaning),
sampai kadar glukosa darah stabil pada saat tidak mendapat cairan glukosa
intravena. Kadang diperlukan waktu 24-48 jam untuk mencegah
hipoglikemia berulang.
7) Lakukan pencatatan manifasi klinis, pemeriksaan fisis, kadar skrining
glukosa darah, konfirmasi laboratorium, terapi dan perubahan kondisi
klinik (misal respon dari terapi yang diberikan).3

Dukungan pada ibu

Mempunyai bayi yang diperkirakan akan lahir normal dan sehat, tetapi
ternyata kemudian berkembang mengalami hipoglikemia sering mengganggu
kepercayaan pemberian ASI. Ibu sebaiknya diyakinkan bahwa tak ada masalah
dengan air susunya, dan bahwa pemberian suplementasi hanya sementara saja.
Perah ASI dengan tangan ataupun pompa tertentu yang dianjurkan.
Memberikan minum paling tidak 8 kali dalam 24 jam sampai bayi bisa
menyusu dan menghisap dengan baik, akan membantu mempertahankan
produksi ASI. Sangat penting untuk sesegera mungkin menstimulasi produksi
ASI dengan melekatkan bayi ke dada ibu. Kontak kulit-ke-kulit yang
dikerjakan meskipun bayi masih menggunakan akses vena, akan sangat
berguna dan akan menurunkan trauma karena intervensi. Kontak kulit-ke-kulit
akan memberikan termoregulasi fisiologis, yang akan berkontribusi
dalam homeostasis metabolic. Sangat penting untuk melakukan edukasi
kepada ibu tentang pemberian ASI sedini mungkin dan pemberian minum
secara bertahap dengan tidak mengharapkan ASI keluar banyak pada saat awal
menyusui. Bayi mampu menghisap dan menelan selama 5 menit merupakan
pertanda bayi siap beralih dari cara mendapat asupan melalui pipa orogastrik
menuju cara menyusu langsung pada ibu.3

9). Ikterus
41

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling


sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang
kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan
ini. Bayi dengan hiperbilirubinemia tampak kuning akibat akumulasi pigmen
bilirubin yang berwarna kuning pada sklera dan kulit.

Pada janin, tugas mengeluarkan bilirubin dari darah dilakukan oleh


plasenta, dan bukan oleh hati. Setelah bayi lahir, tugas ini langsung diambil
alih oleh hati, yang memerlukan sampai beberapa minggu untuk penyesuaian.
Selama selang waktu tersebut, hati bekerja keras untuk mengeluarkan bilirubin
dari darah. Walaupun demikian, jumlah bilirubin yang tersisa masih
menumpuk di dalam tubuh. Oleh karena bilirubin berwarna kuning, maka
jumlah bilirubin yang berlebihan dapat memberi warna pada kulit, sklera, dan
jaringan-jaringan tubuh lainnya.

Pada setiap bayi yang mengalami ikterus harus dibedakan apakah


ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologik atau non-fisiologik.
Selain itu, perlu dimonitor apakah keadaan tersebut mempunyai
kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia berat yang
memerlukan penanganan optimal. 4

Hiperbilirubinemia dan ikterus

Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar


bilirubin dalam darah >5mg/dL, yang secara klinis ditandai oleh adanya
ikterus, dengan faktor penyebab fisiologik dan non-fisiologik. 4

Ikterus fisiologik

Bentuk ikterus ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar
bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada bayi cukup
42

bulan yang diberi susu formula, kadar bilirubin akan men- capai puncaknya
sekitar 6-8 mg/dl pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat
selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan lambat sebesar 1 mg/dL selama 1
sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI, kadar bilirubin
puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan
terjadi lebih lambat, bisa terjadi selama 2-4 minggu, bahkan dapat mencapai 6
minggu.

Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan terjadi
peningkatan kadar bilirubun dengan kadar puncak yang lebih tinggi dan
bertahan lebih lama, demikian pula dengan penurunannya bila tidak diberikan
fototerapi pencegahan. Peningkatan kadar billirubin sampai 10-12 mg/dl
masih dalam kisaran fisiologik, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai
kelainan metabolism bilirubin.

Frekuensi ikterus pada bayi cukup bulan dan kurang bulan ialah secara
berurut 50-60% dan 80%. Umumnya fenomena ikterus ini ringan dan dapat
membaik tanpa pengobatan. Ikterus fisiologik tidak disebabkan oleh faktor
tunggal tetapi kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan
maturitas fisiologik bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak
terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi
pening- katan ketersediaan bilirubin dan penurunan klirens bilirubin. 4

Ikterus non-fisiologik

Jenis ikterus ini dahulu dikenal sebagai ikterus patologik, yang tidak
mudah dibedakan dengan ikterus fisiologik. Ter- dapatnya hal-hal di bawah ini
merupakan petunjuk untuk tindak lanjut, yaitu: ikterus yang terjadi sebelum
usia 24 jam; setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan
fototerapi; peningkatan kadar bilirubin total serum >0,5 mg/dL/jam; adanya
tanda-tanda penyakit yang men- dasar pada setiap bayi (muntah, letargis,
malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu
yang tidak stabil); ikterus yang bertahan setelah delapan hari pada bayi cukup
43

bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. 4

Metabolisme bilirubin

Sebagian besar produksi bilirubin merupakan akibat degradasi


hemoglobin pada sistem retikuloendotelial. Tingkat penghancuran hemoglobin
pada neonatus lebih tinggi daripada bayi yang lebih tua. Sekitar 1 g
hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek, yaitu bilirubin yang
larut dalam lemak tetapi tidak larut dalam air.

Transportasi bilirubin indirek melalui ikatan dengan albumin. Bilirubin


ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit, sedangkan albumin tidak.
Di dalam sel, bilirubin akan terikat pada ligandin, serta sebagian kecil pada
glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua
arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin plasma dan ligandin
dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit dikonjugasi
dan diekskresi ke dalam empedu. Di dalam sitosol hepatosit, ligandin
mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak.

Di dalam hepatosit terjadi konjugasi lanjut dari bilirubin menjadi


bilirubin diglukoronid. Sebagian kecil bilirubin terdapat dalam bentuk
monoglukoronid, yang akan diubah oleh glukoronil-transferase menjadi
diglukorinid. Enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukorinid, yaitu
uridin difosfat-glukoronid transferase (UDPG-T), yang mengatalisis
pembentukan bilirubin monoglukoronid. Sintesis dan ekskresi diglukoronid
terjadi di kanalikuli empedu. Isomer bilirubin yang dapat mem- bentuk ikatan
hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresi langsung ke dalam
empedu tanpa konjugasi, misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar.
Setelah konjugasi bilirubin menjadi bilirubin direk yang larut dalam air, terjadi
ekskresi segera ke sistem empedu kemu- dian ke usus. Di dalam usus,
bilirubin direk ini tidak di absorbsi; sebagian bilirubin direk dihidrolisis
menjadi bilirubin indirek dan direabsorbsi, siklus ini disebut siklus
enterohepatik. 4
44

Etiologi ikterus

Etiologi ikterus yang sering ditemu- kan ialah: hiperbilirubinemia


fisiologik, inkompabilitas golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk
jaundice, infeksi, bayi dari ibu penyandang diabetes melitus, dan
polisitemia/hiperviskositas.

Etiologi yang jarang ditemukan yaitu: defisiensi G6PD, defisiensi


piruvat kinase, sferositosis kongenital, sindrom Lucey- Driscoll, penyakit
Crigler-Najjar, hipotiroid, dan hemoglobinopati. 4

Patofisiologi

Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk


akhir dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi.
Pada langkah pertama oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja
heme oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan karbon monoksida. Besi
dapat digunakan kembali, sedang- kan karbon monoksida diekskresikan
melalui paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin
yang hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan
hidrogen intramolekul). Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik diangkut
dalam plasma, terikat erat pada albumin. Bila terjadi gangguan pada ikatan
bilirubin tak terkonjugasi dengan albumin baik oleh faktor endogen maupun
eksogen (misalnya obat-obatan), bilirubin yang bebas dapat melewati
membran yang mengandung lemak (double lipid layer), termasuk penghalang
darah otak, yang dapat mengarah ke neuro- toksisitas.

Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit,


dimana biliru- bin terikat ke ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan
meningkat sejalan dengan terjadinya peningkatan konsentrasi ligandin.
Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pada saat lahir namun akan meningkat
pesat selama beberapa minggu kehidupan.Bilirubin terikat menjadi asam
gluku- ronat di retikulum endoplasmik retikulum melalui reaksi yang
dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil transferase (UDPGT). Konjugasi
45

bilirubin mengubah molekul bilirubin yang tidak larut air menjadi molekul
yang larut air. Setelah diekskresikan kedalam empedu dan masuk ke usus,
bilirubin direduksi dan menjadi tetrapirol yang tak berwarna oleh mikroba di
usus besar. Sebagian dekonjugasi terjadi di dalam usus kecil proksimal
melalui kerja B-glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi
kembali dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin
plasma total. Siklus absorbsi, konjugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorbsi
ini disebut sirkulasi enterohepatik. Proses ini berlangsung sangat panjang pada
neonatus, oleh karena asupan gizi yang terbatas pada hari-hari pertama
kehidupan. 4

Faktor risiko

ASI yang kurang

Bayi yang tidak mendapat ASI cukup saat menyusui dapat bermasalah
karena tidak cukupnya asupan ASI yang masuk ke usus untuk memroses
pembuangan bilirubin dari dalam tubuh. Hal ini dapat terjadi pada bayi
prematur yang ibunya tidak memroduksi cukup ASI. 4

Peningkatan jumlah sel darah merah

Peningkatan jumlah sel darah merah dengan penyebab apapun berisiko


untuk terjadinya hiperbilirubinemia. Sebagai contoh, bayi yang memiliki jenis
golongan darah yang berbeda dengan ibunya, lahir dengan anemia akibat
abnormalitas eritrosit (antara lain eliptositosis), atau mendapat transfusi darah;
kesemuanya berisiko tinggi akan mengalami hiperbilirubinemia. 4

Infeksi/ inkompabilitas ABO-Rh

Bermacam infeksi yang dapat terjadi pada bayi atau ditularkan dari ibu
46

ke janin di dalam rahim dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia.


Kondisi ini dapat meliputi infeksi kongenital virus herpes, sifilis kongenital,
rubela, dan sepsis. 4

Gejala klinis pada hiperbillirubinemia

Sebagian besar kasus hiperbilirubin- emia tidak berbahaya, tetapi


kadang- kadang kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan
kerusakan otak (Kern icterus). Gejala klinis yang tampak ialah rasa kantuk,
tidak kuat menghisap ASI/susu formula, muntah, opistotonus, mata terputar-
putar keatas, kejang, dan yang paling parah bisa menyebabkan kematian. Efek
jangka panjang Kern icterus ialah retardasi mental, kelumpuhan serebral, tuli,
dan mata tidak dapat digerakkan ke atas. 4

DIAGNOSIS

Visual

Metode visual memiliki angka kesalahan yang cukup tinggi, namun


masih dapat digunakan bila tidak tersedia alat yang memadai. Pemeriksaan ini
sulit di- terapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias
penilaian. Secara evident base, pemeriksaan metode visual tidak
direkomendasikan, namun bila terdapat keterbatasan alat masih boleh
digunakan untuk tujuan skrining. Bayi dengan skrining positif harus segera
dirujuk untuk diagnosis dan tata laksana lebih lanjut. 4

Panduan WHO mengemukakan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai


berikut:

a) Pemeriksaan dilakukan pada pencahayaan yang cukup (di siang hari


dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat
dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang
kurang.
b) Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di
bawah kulit dan jaringan subkutan.
47

c) Keparahan ikterus ditentukan berdasarkan usia bayi dan bagian tubuh yang
tampak kuning. 4

Bilirubin serum

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan


diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentu-kan perlunya intervensi
lebih lanjut. Pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin total perlu
dipertimbangkan karena hal ini merupakan tindakan invasif yang dianggap
dapat meningkatkan morbiditas neonatus.4

Bilirubinometer transkutan

Bilirubinometer merupakan instrumen spektrofotometrik dengan


prinsip kerja memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang
gelombang 450 nm). Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna
kulit neonatus yang sedang diperiksa.4

Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

Bilirubin bebas dapat melewati sawar darah otak secara difusi. Oleh
karena itu, ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum
yang rendah.

Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin


bebas, antara lain dengan metode oksidase peroksidase. Prinsip cara ini yaitu
berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin dimana
bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin
bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.

Pemecahan heme menghasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah


yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang
dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi
bilirubin. 4
48

Pengobatan
Fototerapi
Fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan transfusi
pengganti untuk menurunkan bilirubin. Bila neonatus dipapar dengan cahaya
berintensitas tinggi, tindakan ini dapat menurunkan bilirubin dalam kulit.
Secara umum, fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5
mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus
difototerapi bila konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa pakar mengarahkan
untuk memberikan fototerapi profilaksis 24 jam pertama pada bayi berisiko
tinggi dan berat badan lahir rendah. 4

Intravena immunoglobulin (IVIG)

Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan


faktor imunologik. Pada hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh
inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi, pemberian IVIG dapat
menurunkan kemungkinan dilakukannya transfusi tukar. 4

Transfusi pengganti

Transfusi pengganti digunakan untuk mengatasi anemia akibat eritrosit


yang rentan terhadap antibodi erirtosit maternal; menghilangkan eritrosit yang
tersensitisasi; mengeluarkan bilirubin serum; serta meningkatkan albumin
yang masih bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatannya dangan
bilirubin. 4

Penghentian ASI

Pada hiperbilirubinemia akibat pemberian ASI, penghentian ASI


selama 24-48 jam akan menurunkan bilirubin serum. Mengenai pengentian
pemberian ASI (walaupun hanya sementara) masih terdapat perbedaan
pendapat. 4

Terapi medikamentosa
49

Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim yang


mening- katkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif
diberikan pada ibu hamil selama beberapa hari sampai beberapa minggu
sebelum melahirkan.

Penggunaan phenobarbital post natal masih menjadi pertentangan oleh


karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat mengurangi bilirubin
dengan mengeluar- kannya melalui urin sehingga dapat menurunkan kerja
siklus enterohepatika.4

10). Hipotermi
Hipotermi pada neonatus adalah suatu keadaan dimana terjadi
penurunan suhu tubuh yang disebabkan oleh berbagai keadaan terutama karena
tingginya konsumsi oksigen dan penurunan suhu ruangan. Mempertahankan suhu
tubuh dalam batas normal. sangat penting untuk kelangsungan hidup dan
pertumbuhan bayi baru lahir terutama bagi bayi prematur.
Pengaturan suhu tubuh tergantung pada faktor penghasil panas dan
pengeluarannya, sedang produksi panas sangat tergantung pada oksidasi biologis
dan aktifitas metabolisme dari sel-sel tubuh waktu istirahat.
Suhu normal adalah suhu tubuh yang menjamin kebutuhan oksigen bayi
secara individual (dapat terpenuhi dengan suhu bayi stabil dengan suhu aksila
antara 36,5 ºC –37,5 ºC.
Hipotermi dapat terjadi karena kemampuan untuk mempertahankan
panas dan kesanggupan menambah produksi panas sangat terbatas karena
pertumbuhan otot-otot yang belum cukup memadai, lemak subkutan yang sedikit,
belum matangnya sistemsaraf yang mengatur suhu tubuh, luas permukaan tubuh
relatif lebih besar disbanding dengan berat badan sehingga mudah kehilangan
panas.
Untuk mengukur hipotermi diperlukan termometer ukuran rendah yang
dapat mengukur suhu hingga 25ºC. Hipotermi dapat menyebabkan penyempitan
pembuluh darah dan mengakibatkan terjadinya hipoksemia dan berlanjut dengan
kematian.
50

Menurut diagnosis banding pada suhu tubuh hipotermi ada dua yakni : hipotermi
sedang 32ºC – 36,4 ºC dan suhu tubuh kurang dari 32ºC disebut hipotermi berat. 5
1. Mekanisme Terjadinya Hipotermi
Hipotermi pada bayi baru lahir timbul karena adanya penurunan suhu
tubuhyang dapat terjadi melalui cara hipoksemin yaitu kadar O2 dalam darah.
1) Evaporasi
Adalah kehilangan panas karena penguapan cairan ketuban
yang melekatpada permukaan tubuh bayi yang tidak segera
dikeringkan.Contoh : air ketuban pada tubuh bayi baru lahir tidak cepat
dikeringkan serta bayi segera dimandikan.
2) Konduksi
kehilangan panas karena panas tubuh melalui kontak
langsungantara tubuh bayi dengan permukaan yang dingin seperti :
meja, tempattidur atau timbangan yang temperaturnya lebih rendah
dari tubuh bayiakan menyerap panas tubuh bayi melalui mekanisme
konduksi apabilabayi diletakan di atas benda tersebut.
3) Konveksi
Kehilangan panas tubuh yang terjadi pada saat bayi terpapar
udara sekitar ruang lebih dingin. Kehilangan panas juga terjadi jika
konveksi aliran udara dan kipas angin, hembusan udara melalui
ventilasi atau pendingin ruangan.
4) Radiasi
Kehilangan panas tubuh yang terjadi karena bayi ditempatkan
di dekat benda-benda yang mempunyai suhu lebih rendah dari suhu
tubuh bayi karena benda tersebut akan menyerap radiasi panas tubuh
bayi.
Banyak faktor resiko dari hipotermi, antara lain bayi baru lahir
tidak segera dikeringkan, terlalu cepat dimandikan, setelah dikeringkan
tidak segera diberi pakaian,tidak segera didekap pada tubuh ibu, bayi
baru lahir dipisahkan dari ibunya, tidak segera disusui ibunya, berat
badan bayi baru lahir rendah, bayi tidak segera dibungkus dan bayi
sakit5
51

Gejala Hipotermi
Hipotermi memiliki gejala sebagai berikut :
1) Bayi tidak mau menetek.
2) Bayi tampak lesu atau mengantuk saja.
3) Tubuh bayi teraba dingin.
4) Dalam keadaan berat, denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh
bayi mengeras (sklerema).
5) Bayi menggigil.
6) Suhu (aksila) bayi turun dibawah 360C.
7) Kulit pucat. 5
Tanda Hipotermi
a) Hipotermi sedang (stres dingin) :
1) Aktifitas berkurang, letargis.
2) Tangisan lemah.
3) Kulit berwarna tidak rata (cutis marmorata).
4) Kemampuan mengisap lemah.
5) Kaki teraba dingin.
b) Hipotermi lanjut :
a. Bibir dan kuku kebiruan.
b. Ujung kaki dan tangan berwarna merah terang.
c. Pernapasan lambat dan tak teratur.
d. Bagian tubuh lainnya pucat.
e. Bunyi jantung lambat.
f. Kulit mengeras, merah dan timbul edema terutama pada
punggung kaki dan tangan. 5
Penyebab Hipotermi
Hipotermi dapat disebabkan oleh :
a) Kehilangan panas yang berlebihan seperti lingkungan atau cuaca
dingin basah atau bayi telanjang.
b) Luas permukaan tubuh pada bayi baru lahir relatif besar sehingga
penguapannya bertambah.
52

c) Kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas tubuhnya


masih rendah.
d) Otot bayi masih lemah. 5

Pencegahan Hipotermi
a. Keringkan bayi dengan seksama.
Pastikan tubuh bayi dikeringkan segera lahir untuk mencegah kehilangan panas
disebabkan oleh evaporasi cairan ketuban pada tubuh bayi.Keringkan bayi dengan
handuk atau kain yang telah disiapkan di atas perutibu.
b. Selimuti bayi dengan selimut atau kain bersih dan hangat, serta segera mengganti
handuk atau kain yang dibasahi oleh cairan ketuban.
c. Selimuti bagian kepala
Pastikan bagian kepala bayi ditutupi atau diselimuti setiap saat. Bagian kepala
bayi memiliki luas permukaan yang relatif luas dan bayi akan dengan cepat
kehilangan panas jika bagian tersebut tidak tertutup.
d. Tempatkan bayi pada ruangan yang panas
Suhu ruangan atau kamar hendaknya dengan suhu 280 C – 300 C untuk
mengurangi kehilangan panas karena radiasi.
e. Anjurkan ibu untuk memeluk dan menyusui bayinya.
Pelukan ibu pada tubuh bayi dapat menjaga kehangatan tubuh dan mencegah
kehilangan panas. Anjurkan ibu untuk menyusukan bayinya segera setelah lahir.
Pemberian ASI lebih baik ketimbang glukosa karena ASI dapat mempertahankan
kadar gula darah.
f. Jangan segera menimbang atau memandikan bayi baru lahir.
Karena bayi baru lahir cepat dan mudah kehilangan panas tubuhnya (terutama
jika tidak berpakaian) sebelum melakukan penimbangan terlebih dahulu selimuti
bayi dengan kain atau selimut bersih dan kering. 5

Penanganan Hipotermi
a. Mengeringkan tubuh bayi dengan cepat mulai dari kepala dan seluruh tubuh.
53

b. Tubuh bayi segera dibungkus dengan selimut, topi atau tutup kepala, kaos
tangan dan kaki.
c. Bayi diletakkan telungkup di dada ibu agar terjadi kontak kulit langsung ibu dan
bayi. Untuk menjaga bayi agar tetap hangat dan bayi harus beradadi dalam suatu
pakaian atau yang disebut sebagai metode kanguru.
d. Bila tubuh bayi masih dingin, segera menghangatkan bayi di dalam inkubator
atau melalui penyinaran lampu.
e. Periksa suhu bayi setiap jam.
f. Pemberian ASI sedini dan sesering mungkin.
g. Jika bayi tidak dapat menyusui, berikan perasan ASI dengan menggunakan
metode pemberian alternatif (dipompa).5

11). Perdarahan intrakranial

Etilogi
Perdarahan periventrikuler/intraventrikuler adalah perdarahan intrakranial
yang paling sering terjadi pada masa neonatus. Hal ini sering terjadi pada bayi kurang
bulan tetapi dapat juga terjadi pada bayi cukup bulan. Perdarahan
periventrikuler/intraventrikuler melibatkan traktus motorik periventrikuler dan
berhubungan dengan kecacatan neurologis jangka panjang pada anak. Perdarahan ini
dapat merupakan sebab yang cukup bermakna pada morbiditas dan mortalitas pada
bayi yang lahir kurang bulan. Perdarahan pada bayi cukup bulan terjadi karena
perluasan perdarahan dari tempat lain atau memang perdarahannya dalam ventrikel,
yaitu dari pleksuskoroid, matriks germinal sub ependimal atau keduanya. 1

Faktor resiko

Faktor resiko yang cukup kuat pada perdarahan


periventrikuler/intraventrikuler mencakup bayi kurang bulan dan berat badan lahir
rendah, cara persalinan, asfiksia dan resusitasi saat lahir (perdarahan yang muncul
dini), hal ini disebabkan karena matriks germinal mulai berkembang saat trimester II
kehamilan, terjadinya pneumothoraks, bayi kurang bulan yang mendapatkan
ventilator, kejang, serta meningkatnya tekanan darah arteri tiba-tiba karena
54

peningkatan volume cairan yang diberikan secara intravena. Faktor risiko lain yang
juga berpengaruh adalah kebiasaan merokok ibu, ketuban pecah dini, infeksi
intrauterine, persalinan yang lama, sepsis, hipotermia, hipotensi, PDA dan juga
transfusi tukar. 1

Patofisiologi

Patofisiologi perdarahan periventrikuler/intraventrikuler meliputi fragilitas


intrinsik pembuluh darah pada matriks germinal dan merupakan area yang kaya
dengan vaskularisasi, sebab pada matriks germinal yang belum matang sangat kaya
dengan pembuluh darah yang rapuh karena lemahnya otot vaskuler serta jaringan ikat
yang menopangnya. Lokasinya berada di antara nucleus kaudatus dan thalamus,
sedikit kearah posterior foramen Monro. Pembuluh darah pada daerah ini merupakan
perbatasan dengan cairan dan pada cerebrum yang immature berisiko terjadinya
trauma hipoksia dan iskemik. terjadinya peninggian tekanan vena serebral pada saat
persalinan, kesulitan persalinan pervaginam, asfiksia dan gangguan pernapasan. Hal
yang lain juga menyebabkan adalah hilangnya proses auto regulasi otak serta
menurunnya secara tiba-tiba aliran darah dan tekanan di otak. Terjadinya gangguan
respirasi dan metabolik yang berakibat pada fluktuasi aliran darah serebrovaskuler dan
terganggunya auto regulasi. Gangguan iatrogenik pada volumen intravaskuler yang
disebabkan seringnya pemberian bolus intravena pada bayi kurang bulan dan
gangguan pada sistem koagulasi. 1
Gejala
Pada bayi yang mengalami perdarahan periventrikuler/intraventrikuler secara
klinis dapat asimptomatik sekitar 25-50% kasus atau bergejala seperti ubun-ubun
besar yang menonjol, menurunnya hematokrit yang cepat, apnea, bradikardi, asidosis,
kejang, dan perubahan tonus otot serta tingkat kesadaran. Sindrom yang berat pada
perdarahan ini bila terjadi onset yang cepat pada tingkat sopor atau koma,
abnormalitas respirasi, kejang, refleks cahaya yang lambat dan kelemahan otot. Pada
bayi kurang bulan biasanya asimptomatik, beberapa dengan menurunnya kesadaran
dan gerakan, hipotonus, gerakan mata yang aneh. Yang sangat jarang dan berat
sampai dengan koma, hipotonus yang berat. Pada bayi cukup bulan gejala yang khas
adalah otot kejang, apneu, iritabel, muntah dan ubun-ubun besar yang membonjol. 1
55

Diagnosis
1) USG kepala, keuntungannya adalah tidak invasif dan mudah untuk dilakukan.
Tingkat perdarahan yang terjadi juga dapat diukur pada pemeriksaan ini. USG
digunakan pula untuk menentukan saat timbulnya perdarahan, memantau
perubahan yang terjadi dan meramalkan akibat perdarahan pada masa akut.
rutin dilakukan untuk bayi dengan umur kehamilan < 30 minggu, skrining
dapat dilakukan pada umur 3-7 hari karena perdarahan dini terjadi sebelum umur
tersebut dan diulangi pada umur 28-30 hari yang berguna untuk menemukan
perdarahan onset lambat. Pada bayi yang lebih besar USG kepala dapat dilakukan
apabila terdapat faktor risiko atau adanya gejala hidrosefalus.
Pada pemeriksaan USG akan didapatkan perdarahan intraparenkim dengan
daerah yang lebih ekhoik, baik secara potongan koronal dan sagital. Terdapatnya
daerah hiperekhoik memperlihatkan perdarahan yang mengelilingi daerah sentral
yang hipoekhoik. Daerah hipoekhoik ini merupakan daerah resorpsi.
2) CT-scan kepala diindikasikan untuk bayi cukup bulan dengan kemungkinan trauma
otak karena USG kepala tidak dapat memperkirakan luas udem atau perdarahan
intraparenkim dan infark.
3) MRI kepala lebih sensitif sebagai alat evaluasi trauma perventrikuler yang masif
dan untuk mendapatkan prediksi luaran prognosis jangka panjang.1
Tatalaksana
1) pencegahan prenatal (mencegah kelahiran kurang bulan, bila terdapat faktor risiko
terjadinya perdarahan maka diperlukan persalinan dengan seksiosesaria,
pemberian antenatal steroid pada bayi kurang bulan selama masa kehamilan untuk
mencegah terjadinya distress respirasi pada bayi setelah lahir, pemberian
indometasin akan mengurangi kejadian PDA pada pasien kurang bulan).
2) pencegahan postnatal (pencegahan asfiksia, pencegahan fluktuasi tekanan darah
yang besar, pencegahan pemberian cairan intravena yang besar secara tiba-tiba,
koreksi kelainan asam basa dan abnormalitas koagulasi).
3) Tatalaksana perdarahan akut adalah dengan mempertahankan volume normal
darah, menjaga stabilitas asam basa, USG serial untuk mendeteksi kemungkinan
hidrosefalus yang progresif. Pemberian vitamin K1 dapat diberikan walaupun
belum secara jelas. Fenobarbital tidak mencegah terjadinya perdarahan
56

periventrikuler/ intraventrikuler pascakelahiran sehingga cukup diberikan bila


terdapat gejala kejang pada neonatus.1

12). Kejang Neonatus


Definisi
Kejang adalah depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak, yang
mengakibatkan perubahan yang bersifat paroksismal fungsi neuron (perilaku,
fungsi motorik dan otonom) dengan atau tanpa perubahan kesadaran. 3
Patofisiologi
Depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak terjadi akibat masuknya ion
natrium ke dalam sel, sedangkan repolarisasi diakibatkan oleh keluarnya ion
kalium ke ekstra sel. Fungsi neuron adalah menjaga keseimbangan antara
depolarisasi dan repolarisasi. Jika terjadi depolarisasi maka terjadi potensial aksi
yang mengakibatkan penglepasan neurotransmiter dari presinaps di terminal
akson.3
Neurotransmiter akan berikatan dengan reseptor postsinaps dan menghasilkan
potensial aksi yang dapat bersifat eksitasi atau inhibisi. Fungsi otak normal sangat
bergantung dari keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Keseimbangan
membran potensial membutuhkan energi yang berasal dari adenosine triphospate
(ATP) yang menggerakkan pompa Na-K yang berfungsi mengeluarkan ion kalium
dan memasukkan ion natrium.
Meskipun mekanisme terjadinya kejang pada neonatus belum diketahui secara
pasti, namun terdapat beberapa teori yang menerangkan depolarisasi berlebihan,
yaitu
(1) Pompa Na-K tidak berfungsi akibat kekurangan energi, disebabkan oleh
hipoksik-iskemik dan hipoglikemia.
(2) Neurotransmiter eksitasi (glutamate) yang berlebihan (produksi yang berlebih
atau berkurangnya re-uptake) sehingga mengakibatkan depolarisasi yang
berlebihan, ditemukan pada keadaan hipoksik-iskemik dan hipoglikemia.
(3) Defisiensi relatif neurotransmiter inhibisi (gama-amynobutiric acid /GABA)
mengakibatkan depolarisasi berlebihan, hal ini terjadi akibat menurunnya
57

aktivitas enzim glutamic acid decarboxylase pada keadaan defisiensi


piridoksin.
(4) Terganggunya permeabilitas membran sel, sehingga ion natrium lebih banyak
masuk ke intrasel yang mengakibatkan depolarisasi berlebihan, ditemukan
pada hipokalsemia dan hipomagnesemia karena ion kalsium dan magnesium
berinteraksi dengan membran sel untuk menghambat masuknya ion natrium. 6
Organisasi korteks serebri pada neonatus belum sempurna, selain itu
pembentukan dendrit, akson, sinaptogenesis dan proses mielinisasi dalam sistem
eferen korteks belum selesai. Imaturitas anatomi tersebut mengakibatkan kejang
yang terjadi tidak dapat menyebar ke bagian otak yang lain sehingga tidak
menyebabkan kejang umum.
Daerah subkorteks seperti sistem limbik berkembang lebih dahulu
dibandingkan daerah korteks dan bagian ini sudah terhubung dengan diensefalon
dan batang otak sehingga kejang pada neonatus lebih banyak bermanifestasi
gerakan-gerakan oral-buccal-lingual movements seperti menghisap, mengunyah,
drooling, gerakan bola mata dan apnea.
Hubungan antara sinaps eksitasi dan inhibisi merupakan faktor penentu
apakah kejang yang terjadi akan menyebar ke daerah lain. Ternyata kecepatan
perkembangan aktifitas sinaps eksitasi dan inhibisi di otak manusia berbeda-beda.
Sinaps eksitasi berkembang lebih dahulu dibandingkan sinaps inhibisi terutama di
daerah limbik dan korteks. Selain itu daerah hipokampus dan neuron korteks yang
masih imatur lebih mudah terjadi kejang dibandingkan yang telah matur. Belum
berkembangnya sistem inhibisi di substansia nigra juga mempermudah timbulnya
kejang. 6
Tata laksana
Prinsip utama dalam tata laksana kejang neonatus adalah:
(1) Mempertahankan ventilasi dan perfusi yang adekuat.
(2) Mencari dan memberikan tata laksana terhadap etiologi kejang sesegera mungkin.
(3) Tata laksana kejang, dengan mempertimbangkan manfaat pemberantasan kejang
dengan efek samping yang mungkin timbul dari pemberian obat antikonvulsan. 6
58

Tabel 3.1 Terapi kejang pada neonates. 6


59

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F. Obstetri Williams Volume 2 Edisi 23. Jakarta : Penerbit Buku


Kedokteran EGC;2016
2. KEMENKES RI. Pedoman Pelayanan Atenatal Terpadu. Jakarta. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2010.
3. IDAI. Menyusui Bayi Dengan Risiko Hipoglikemia. Ikatan Dokter Anak Indonesia :
Jakarta : 2013
4. Mathindas, Wilar, Wahani. Hiperbilirubinemia pada neonates. Volume 5, Nomor 1.
Jurnal Biomedik ; Maret 2013.
5. Prawiroharjo, S. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta : Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo;2016
6. Kosim Sholeh M, Yunanto A. Buku Ajar Neonatologi. Edisi Pertama. Cetakan Ketiga.
Jakarta. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012
7. Marchdante, Karen J. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi ke-6. Singapur:
Elsevier; 2018.

Anda mungkin juga menyukai