SKENARIO 3
“Polifarmasi”
FAKULTAS KEDOKTERAN
UGJ
CIIREBON
2020
Skenario 3
Polifarmasi
Pasien lansia berusia 80 tahun diantar oleh keluarganya datang ke praktek dokter
dengan keluhan lemas dan berdebar. Menurut keterangan keluarga pasien kemarin
berobat ke mantra di desa karena keluhan demam batuk pilek dan diberi obat 10
jenis obat. Pasien meminum obat dengan dosis yang dberikan yaitu 1 tablet dalam
setiap obat. Pasien tampak keriput dan didapatkan BB 35 kg. Dokter menduga
pasien mengalami polifarmasi. Dokter kemudian memberikan edukasi dan
tatalaksana yang tepat kepada pasien.
STEP 1
STEP 2
STEP 3
STEP 4
1. Cukup jelas
2. Efek samping obat: semakin banyak obat yang diberikan maka semakin
banyak juga efek sampingnya
Efek interaksi: semakin banyak obat maka akan menimbulkan interaksi
obat yang satu dengan yang lainnya
Penyakit iatrogenic: obat yang terlalu banyak menimbulkan penyakit baru
pada geriatric
Hipertensi postural, ataksia, kebingungan, retensi urin, dan inkontinensia.
3. Tepat pasien: cek program terapi pengobatan dari dokter, cek identitas
pasien,
Tepat obat: menanyakan keluhan sebelum dan setelah pemberian obat,
mengetahui efek samping obat
Tepat dosis:
Tepat waktu: cek kadaluarsa obat, memberikan obat dlm rentang 30 menit
Tepat cara pemberian: cek cara pemberian pada label, pemberian peroral
cek kemampuan menelan pasien
Tepat dokumentasi: catat pasien, dosis, nama inisial dan paraf, catat
keluhan pasien, catat segera setelah pemberian obat
Pharmatical care dilakukan dengan memonitor obat
4. Prinsip pengobatan lansia:
a. Riwayat pemakaian obat: diperlukan untuk mengetahui keluhan
b. Indikasi yang tepat
c. Mulai dengan dosis terendah: untuk menghindari intoksikasi
d. Resepkan obat yang menjamin ketaatan pasiennya
Menurut Leipzig:
MIND MAP
Prinsip Cara
Efek polifarmasi
pengobatan menghindari
Polifarmasi
Farmakokinetik
pada lansia
Edukasi pasien
Kriteria
STEP 5
Alhamdulillah PBL kali ini berjalan dengan lancar. Untuk lebih memahami
materinya saya akan belajar mandiri sesuai dengan sasaran belajar yang diberikan
STEP 6
BELAJAR MANDIRI
STEP 7.
A. Perubahan Kardiovaskuler
Perubahan struktur jantung dan sistem vaskular
menyebabkan penurunan kemampuan untuk berfungsi secara
efisien. Katup jantung menjadi lebih tebal dan kaku, jantung serta
arteri kehilangan elastisitasnya. Tumpukan kalsium dan lemak
berkumpul didalam dinding arteri, vena menjadi sangat berkelok-
kelok. Meskipun fungsi dijaga dalam keadaan normal, tetapi sistem
kardiovaskuler berkurang cadangannya dan kemampuannya dalam
merespon stress menurun. Curah jantung saat istirahat (frekuensi
jantung x volume sekuncup) berkurang sekitar 1% per tahun
setelah usia 20. Dalam kondisi stress, baik curah jantung
maksimum dan denyut jantung maksimum juga menurun tiap
tahun.1
Perubahan Morfologis dan Struktur Perubahan Fungsional
Jantung a. Kenaikan jaringan a. Berkurangnya eksitabilitas .
lemak. b. Berkurangnya curah jantung .
b. Kenaikan jaringan c. Berkurangnya aliran darah balik.
ikat. d. Kenaikan distritmia jantung
c. Kenaikan massa dan
volume.
d. Kenaikan lipofusin .
e. Kenaikan kandungan
amyloid.
f. Kenaikan konduksi
saraf.
g. Berkurangnya
inervasi instrinsik dan
ekstrinsik.
h. Kenaikan jaringan
ikat dan elastin.
B. Perubahan Genitourinaria
Sistem genitourinaria tetap berfungsi secara baik pada
individu lansia, meskipun terjadi pengurangan massa ginjal akibat
kehilangan beberapa nefron. Perubahan fungsi ginjal meliputi
berkurangnya laju infiltrasi, penurunan fungsi tubuler dengan
penurunan efisiensi dalam resorbsi dan pemekatan urin dan
perlambatan restorasi keseimbangan asam basa terhadap stres.
Wanita lansia biasanya menderita penurunan tonus otot perineal
yang mengakibatkan stress inkontinesia dan genito urgensi
inkontinensia. Pada lansia laki-laki sering ditemukan pembesaran
kelenjar prostat (hiperplasia prostat benigna) yang dapat
mengakibatkan retensi urin kronis, sering berkemih dan
inkontinensia.2
C. Perubahan sistem muskuluskeletal
Pada usia lanjut perubahan sistem muskuluskeletal yang sering
terjadi ialah tulang kehilangan densitas dan semakin rapuh
sehingga menyebabkan pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari
terbatas, begitu juga dengan persendian semakin kaku. Selain itu
tendon mengkerut dan mengalami sklerosis sehingga pergerakan
lansia menjadi lambat dan ototnya mudah mengalami kram dan
tremor.1
D. Perubahan sistem kardiopulmonal
Umumnya sistem kardiovaskuler pada usia lanjut
mengalami perubahan yaitu kehilangan elastisitas arteri maupun
aorta, tetapi katup jantung justru menebal dan menjadi kaku. Hal
ini menyebabkan kemampuan jantung untuk memompa darah
menurun sehingga terjadi penurunan kontraksi dan volume
kardiopulmonal tetapi terjadi peningkatan nadi dan tekanan
sistolik.1
E. Sistem pencernaan
Terkait dengan sistem pencernaan, kemunduran yang sering
terjadi adalah pada esofagus yaitu gerakan peristaltik rendah
sehingga usia lanjut cenderung mengalami disfagia, nyeri dan
muntah. Asam lambung menurun sehingga sensitivitas rasa lapar
juga menurun dan waktu pengosongan lambung juga menurun.
Pada pankreas terjadi penurunan jumlah sekresi pankreatik
biasanya terjadi setelah usia 40 tahun begitu juga terjadi penurunan
pengeluaran enzim sesuai dengan bertambahnya usia. Penurunan
aktivitas enzim berhubungan dengan pencernaan lemak.
Melemahnya peristaltik usus pada lansia akan menyebabkan
konstipasi.1
F. Perubahan sistem perkemihan
Perubahan yang signifikan pada sistem perkemihan pada
usia lanjut ialah. menurunnya laju filtrasi glomerulus, ekskresi dan
reabsorbsi oleh ginjal, penurunan kapasitas kandung kemih dan
penyempitan saluran kemih. Pada usia 40 tahun aliran darah
keginjal perlahan mulai menurun.1
G. Perubahan sistem endokrin
Pada lansia produksi semua hormon akan menurun begitu
pula dengan aktivitas tiroid, penurunan Basal Metabolic Rate
(BMR), penurunan pertukaran zat dan produksi hormon seperti
progesteron, estrogen dan testosterone. Perubahan sistem
neurologis.1
H. Gangguan neurologis
Pada lansia disebabkan perubahan struktur dan fungsi saraf.
Perubahan ini tergantung pada banyak faktor termasuk faktor
genetik serta area otak yang mengalami kerusakan. Pada usia lanjut
berat otak menurun 10 sampai 20% (setiap orang sel saraf otaknya
berkurang setiap hari), pengecilan saraf pancaindra seperti
penglihatan berkurang, pengecilan saraf penciuman, meningkatnya
sensitivitas terhadap perubahan suhu karena rendahnya ketahanan
terhadap dingin.1
B. Distribusi
Tidak seperti proses absorpsi, distribusi obat
dipengaruhi oleh perubahan usia pada kondisi klinis yang amat
penting. Pada pasien lanjut usia, lemak di tubuhnya relatif
meningkat dan massa tubuhnya yang menurun memengaruhi
distribusi obat, sehingga obat yang larut lemak terdistribusi
lebih luas dan obat yang larut air terdisbursi cenderung lebih
sempit . Meningkatnya distribusi obat larut lemak juga dapat
menunda eliminasi obat tersebut dan menghasilkan
perpanjangan waktu kerja dari dosis tunggal obat. Efek ini
pada obat-obatan hipnotik dan analgetik, yang diberikan
sejumlah dosis tunggal, pada waktu intermitten. Sebagai contoh,
volume distribusi dari diazepam meningkat dua kali lipat pada
pasien lanjut usia, dan waktu paruh eliminasi nya diperpanjang
dari 24 jam pada pasien muda dan hampir 90 jam pada pasien
lansia. Untuk obat yang berikatan dengan protein serum,
terjadi kesetimbangan antara obat terikat atau bagian yang tidak
aktif dan obat tidak terikat atau bagian aktif . Obat-obat asam
yang terikat kuat dengan dengan albumin konsentrasi
plasmanya kemungkinan besar dan berhubungan dengan efek
farmakologisnya. Meskipun kadar albumin pada lansia hanya
terjadi sedikit penurunan, namun ketika sakit kadar albuminnya
akan terus berkurang. Hal ini bisa menghasilkan kadar obat
bebas akan meningkat pada pasien lansia sepanjang dia sakit,
dan meningkatkan petonsi toksik. Perubahan ini siginifkan pada
obat-obatm tiroid hormone, digoxin, warfarin, dan fenitoin.
Secara keseluruhan pada proses distribusi, perubahan ikatan
protein serum merupakan pertimbangan penting ketika awal
pemberian obat, ketika dosis berubah, ketika kadar protein
serum berubah, atau ketika obat menggeser obat yang telah
terikat protein sebelumnya. Karena bagian bebas obat (tidak
terikat protein serum) umumnya lebih kecil dibandingkan
bagian obat yang terikat protein serum, sehingga mekanisme
normal dalam metabolisme dan ekskresinya adalah
menghilangkan bagian obat yang bebas (tidak terikat protein
serum). Jika salah satu fungsi hati atau ginjal terganggu karena
usia atau penyakit, proses ini akan melambat.1
C. Metabolisme
Meskipun penelitian in vitro pada aktivitas enzim pemetabolisme
obat dari sampel biopsi hati manusia belum menunjukkan
adanya perubahan dengan penuaan, beberapa peneliti
berspekulasi bahwa penurunan ukuran hati pada lansia dapat
mengakibatkan kapasitas metabolisme menurun. Penurunan
yang signifikan terhadap laju aliran darah menuju hati terjadi
pada lansia, dengan pengurangan 25% sampai 47% dilaporkan
pada orang antara usia 25 dan 90 tahun. Penurunan aliran darah
menuju hati secara klinis penting karena metabolisme hati adalah
rate limiting step yang menentukan clearans obat. Perubahan ini
sangat relevan untuk obat yang mengalami metabolisme hepatik
cepat (misalnya, propranolol). Juga, obat-obatan yang
mengalami metabolism lintas pertama kemungkinannya untuk
mencapai tinggi pada kadar plasma darah menurun jika aliran
darah menuju hati menurun. Hati memetabolisme obat melalui
dua sistem yang berbeda. Metabolisme Fase I melibatkan
oksidasi, reduksi, dan hidrolisis obat dan metabolisme Fase II
melibatkan glukuronidasi, sulfasi, asetilasi, dan metilasi.
Metabolisme Fase I dikatalisis terutama oleh sistem sitokrom
P450 (CYP) dalam retikulum endoplasma halus di sel hati. Enzim
CYP adalah superfamili dari enzim pemetabolisme obat
mikrosomal yang penting dalam biosintesis dan degradasi
senyawa endogen seperti steroid, lipid, dan vitamin, serta
metabolisme obat yang paling umum digunakan. Aktifitas
metabolisme Fase I menurun secara drastis pada lansia. Obat-
obatan yang dimetabolisme melalui fase I akan memiliki waktu
paruh yang diperpanjang akibat lansia. Metabolisme hati Fase II
melibatkan konjugasi obat atau metabolitnya menjadi senyawa
organik. Eliminasi obat yang mengalami metabolisme fase II
melalui proses konjugasi (seperti, asetilasi, glukouronidasi,
sulfatisi, dan konjugasi glisin) umumnya sedikit berubah pada
lansia. Dengan demikian, obat yang hanya memerlukan
metabolisme fase II untuk diekskresi (misalnya, triazolam) tidak
mengalami perpanjangan waktu paruh pada pasien lansia.
Obat ini kontras dengan obat-obatan seperti diazepam yang
mengalami kedua fase metabolisme dan memiliki metabolit
intermediate yang aktif. Meskipun pengaruh penuaan pada
metabolisme obat di hati bevariasi, namun metabolisme fase I
adalah proses yang paling mungkin berkurang pada lansia. 1
D. Eliminasi
Perubahan farmakokinetik penting yang terjadi pada orang
usia lanjut adalah bahwa adanya pengurangan eliminasi obat
ginjal. Perubahan ini adalah hasil perubahan fungsi yang
berhubungan dengan usia pada tingkat filtrasi glomerulus dan
fungsi tubular. Obat yang bergantung pada fungsi glomerulus
(misalnya, gentamisin) dan obat-obatan yang bergantung pada
sekresi tubular (misalnya penisilin) untuk eliminasi ekskresi
keduanya berkurang pada pasien yang lebih tua. Karena
eliminasi obat berkorelasi dengan kreatinin klirens, pengukuran
kreatinin klirens sangat membantu dalam menentukan dosis
pemeliharaan. Di ginjal, rata-rata kreatinin menurun sebesar 50%
dari usia 25 sampai usia 85 tahun meskipun kadar kreatinin
serumnya tetap tidak berubah pada sekitar 1,0 mg / dL. (2)
1) Metadon.
Mekanisme kerjanya yaitu kerja mirip
morfin lengkap, sedatif lebih lemah. Indikasi untuk
detoksifikas ketergantungan morfin, nyeri hebat
pada pasien yang di rumah sakit. Efek pada obat ini
depresi pernapasan, konstipasi, gangguan SSP,
hipotensi ortostatik, mual dan muntah pada dosis
awal.
2) Fentanil.
Mekanisme kerjanya yaitu lebih poten dari
pada morfin. Depresi pernapasan lebih kecil
kemungkinannya.
Indikasi untuk medikasi praoperasi yang digunakan
dalan anastesi. Efek pada obat ini depresi
pernapasan lebih kecil kemungkinannya, rigiditas
otot, bradikardi ringan.
i. Kodein
Indikasi obat ini untuk penghilang rasa nyeri
minor
Efek yang tak diinginkan serupa dengan morfin,
tetapi kurang hebat pada dosis yang
menghilangkan nyeri sedang. Pada dosis tinggi,
toksisitas seberat morfin.
Obat Analgetik Non-narkotik
c. Asam Mefenamat
Analgesik Non-Opioid
B. Antihipoglikemi
C. Antihipertensi
Menurunkan tekanan darah yang meningkat dapat menurunkan
frekuensi stroke, kejadian koroner, gagal jantung, dan gagal ginjal.
Kemungkinan penyebab hipertensi (misalnya penyakit ginjal,
penyebab endokrin), faktor pendukung, faktor risiko, dan adanya
beberapa komplikasi, seperti hipertrofi ventrikel kiri harus
ditegakkan. Pasien sebaiknya disarankan untuk merubah gaya
hidup untuk menurunkan tekanan darah maupun risiko
kardiovaskuler, termasuk menghentikan merokok, menurunkan
berat badan, mengurangi konsumsi alkohol yang berlebih,
mengurangi konsumsi garam, menurunkan konsumsi lemak total
dan jenuh, meningkatkan latihan fisik (olahraga), dan
meningkatkan konsumsi sayur dan buah. Indikasi antihipertensi
pada hipertensi yang menetap meskipun sudah mengubah gaya
hidup, hipertensi paru. Obat yang digunakan untuk terapi
hipertensi. Pemilihan obat antihipertensi bergantung pada indikasi
maupun kontraindikasi yang sesuai untuk pasien; beberapa indikasi
dan kontraindikasi dari berbagai obat antihipertensi adalah sebagai
berikut:5
a. Tiazid
b. Beta bloker
c. Penghambat ACE
e. Antagonis kalsium
f. Alfa bloker
DAFTAR PUSTAKA
1. Martono HH. Pranarka. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2015.