Anda di halaman 1dari 30

RESUME PBL

SKENARIO 3
“Polifarmasi”

NAMA : RIZKI IMAM


FATHURROHMAN
NPM : 117170059
KELOMPOK : 8
BLOK/SEMESTER : 6.3 / 6

FAKULTAS KEDOKTERAN

UGJ

CIIREBON

2020
Skenario 3

Polifarmasi

Pasien lansia berusia 80 tahun diantar oleh keluarganya datang ke praktek dokter
dengan keluhan lemas dan berdebar. Menurut keterangan keluarga pasien kemarin
berobat ke mantra di desa karena keluhan demam batuk pilek dan diberi obat 10
jenis obat. Pasien meminum obat dengan dosis yang dberikan yaitu 1 tablet dalam
setiap obat. Pasien tampak keriput dan didapatkan BB 35 kg. Dokter menduga
pasien mengalami polifarmasi. Dokter kemudian memberikan edukasi dan
tatalaksana yang tepat kepada pasien.

STEP 1

1. Polifarmasi adalah penggunaan 5 atau lebih dari obat secara bersamaan


dan melebihi satu indikasi klinis.

STEP 2

1. Apa saja kriteria dari polifarmasi?


2. Bagaimana efek dari polifarmasi tersebut?
3. Bagaimana cara menghindari terjadinya polifarmasi?
4. Apa saja prinsip pengobatan pada usia lanjut?
5. Bagaimana hubungan peningkatan usia dengan farmakokinetik obat?
6. Bagaimana edukasi yang diberikan pada lansia ?

STEP 3

1. Kriteria polifarmasi yaitu:


 Menggunakan obat-obatan tanpa indikasi yang jelas
 Menggunakan terapi yang sama untuk penyakit yang sama
 Penggunaan obat-obatan secara bersamaan
 Penggunaan obat dengan dosis yang tidak tepat
 Penggunaan obat-obatan lain untuk mengatasi efek samping obat
2. Efek polifarmasi:
 Efek samping interaksi obat, efek samping obat, efek toksisitas obat
dan penyakit iatrogenic.
 Terjadi sindrom geriatric, adanya kebingungan, jatuh, inkontinensia
urine atau alvi, retensi urine, malaise, dokter akan meresepkan obat
lain untuk mengatasinya.
 Interaksi obat-makanan, obat-obat, dan obat-penyakit
3. Cara menghindari polifarmasi:
 Catat semua obat yang dipakai
 Kenali nama obat
 Kenali indikasi klinis
 Ketahui profil efek samping obat
 Hentikan pemberian obat yang tidak ada indikasi klinisnya
 Ganti obat yang efeknya lebih aman
 Pemberian obat secara rasional, 6T: tepat pasien, tepat waktu, tepat
obat, tepat cara, tepat dosis, tepat dokumentasi.
 Mengetahui tujuan pemberian obat
 evaluasi pemberian obat scr berkala
 Dosis minimum obat
 Pantau efek samping obat
 Kenali penyebab penyakit
 Berikan jumlah obat seminimal mungkin
 Dilakukan penerapan pharmatical care
4. Prinsip pengobatan usia lanjut:
a. Riwayat pemakaian obat
b. Obat diberikan atas indikasi
c. Mulai dengan dosis terkecil
d. Siapkan obat yang menjamin ketaatan pasien tersebut
e. Pilih obat dengan rasio pemanfaatan yang lebih besar
f. Berikan regimen dosis sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan
g. Periksa secara berkala obat yang akan dmakan pasien
h. Hentikan obat yg sudah tidak diperlukan
i. Menurut lepizig.
j. Berikan obat yang perlu diberikan
5. Absorbsi : Perlambatan aliran darah dan kenaikan ph lambung, penundaan
pengosongan lambung, menurunnya sekresi saliva, berkurangnya motilitas
GI tract
Distribusi: pengurangan massa tubuh dan kenaikan lemak tubuh,
pengurangan albumin, pengurangan air tubuh total, penurunan Cardiac
output
Metabolisme: perlambatan aliran darah hepatic, pengurangan massa hepar
dan penurunan aktivitas enzim, meningkat waktu paruh
Ekskresi: perlambatan aliran darah ginjal, perlambatan filtrasi glomerular,
dan perlambatan sekresi tubular, penurunan perfusi ginjal.
Perubahan patologis
Disribusi: Kadar obat yang terdistribusi akan memperpanjang waktu
paruh.
Metabolisme: menurunkan metabolic lintas pertama, menurunkan
biotransformasi beberapa obat
6. Edukasi:
a. Nama obat, kegunaan obat, aturan pakai, teknik penggunaan obat, cara
penyimpanan, apa yang harus dilakukan bila pasien lupa, efek samping
obat, cara meminimalisir efek sampingnya, laporkan jika ada keluhan
selama penggunaan obat
b. Dijelaskan sejelas mungkin kepada pasien mengenai aturan pakai obat,
wadah obat mudah dibuka dan dilihat, tulisan label obat dengan jelas,
sesudah atau sebelum makan, diawasi minum obatnya oleh keluarga
maupun perawat.

STEP 4

1. Cukup jelas
2. Efek samping obat: semakin banyak obat yang diberikan maka semakin
banyak juga efek sampingnya
Efek interaksi: semakin banyak obat maka akan menimbulkan interaksi
obat yang satu dengan yang lainnya
Penyakit iatrogenic: obat yang terlalu banyak menimbulkan penyakit baru
pada geriatric
Hipertensi postural, ataksia, kebingungan, retensi urin, dan inkontinensia.
3. Tepat pasien: cek program terapi pengobatan dari dokter, cek identitas
pasien,
Tepat obat: menanyakan keluhan sebelum dan setelah pemberian obat,
mengetahui efek samping obat
Tepat dosis:
Tepat waktu: cek kadaluarsa obat, memberikan obat dlm rentang 30 menit
Tepat cara pemberian: cek cara pemberian pada label, pemberian peroral
cek kemampuan menelan pasien
Tepat dokumentasi: catat pasien, dosis, nama inisial dan paraf, catat
keluhan pasien, catat segera setelah pemberian obat
Pharmatical care dilakukan dengan memonitor obat
4. Prinsip pengobatan lansia:
a. Riwayat pemakaian obat: diperlukan untuk mengetahui keluhan
b. Indikasi yang tepat
c. Mulai dengan dosis terendah: untuk menghindari intoksikasi
d. Resepkan obat yang menjamin ketaatan pasiennya

Menurut Leipzig:

a. Riwayat pengobatan lengkap


b. jangan berikan obat sebelum waktunya
c. Jangan menggunakan obat terlalu lama
d. Kenali obat yang digunakan
e. Mulai dengan dosis rendah naikkan perlahan-lahan
f. Obat sesuai patokan
g. Beri dorongan supaya patuh berobat
h. Hati-hati menggunakan obat baru
5. Absorbsi: perubahan motilitas GI pada lansia yang akan berefek pada
absorbs obat. Obat basa lemah akan lambat absorbsinya, sedangakan obat
asam lemah akan mempecepat absorbs
Distribusi:
Metabolisme: yang berperan hati, dimana perubahan pada hati seperti
penurunan enzim hati, waktu paruh obat akan meningkat, akumulasi obat
akibat penurunan metabolisme
6. Edukasi:
 Berikan informasi aturan pakai obat, nama obat, dosis dll.
Pertimbangkan tingkat pengetahuan pasiennya, sesuaikan dengan
kondisi pasien, berikan informasi scr lisan yang ditunjang dengan
informasi tertulis, komunikasi scr verbal maupun dengan gerak tubuh
agar pasien mudah mengerti .

MIND MAP

Prinsip Cara
Efek polifarmasi
pengobatan menghindari

Polifarmasi

Farmakokinetik
pada lansia
Edukasi pasien
Kriteria

STEP 5

1. Jelaskan proses penuaan terhadap metabolisme obat (pengaruh dengan


ginjal, hati, sensitivitas SSP, serta komposisi tubuh)
2. Prinsip pemilihan obat dan dosis pemberian obat pada lansia
3. Obat-obatan yang perlu perhatian khusus pada pasien geriatric serta
rekomendasi alternative terapi
REFLEKSI DIRI

Alhamdulillah PBL kali ini berjalan dengan lancar. Untuk lebih memahami
materinya saya akan belajar mandiri sesuai dengan sasaran belajar yang diberikan

STEP 6

BELAJAR MANDIRI

STEP 7.

1. Proses Penuaan Terhadap Metabolisme Obat

A. Perubahan Kardiovaskuler
Perubahan struktur jantung dan sistem vaskular
menyebabkan penurunan kemampuan untuk berfungsi secara
efisien. Katup jantung menjadi lebih tebal dan kaku, jantung serta
arteri kehilangan elastisitasnya. Tumpukan kalsium dan lemak
berkumpul didalam dinding arteri, vena menjadi sangat berkelok-
kelok. Meskipun fungsi dijaga dalam keadaan normal, tetapi sistem
kardiovaskuler berkurang cadangannya dan kemampuannya dalam
merespon stress menurun. Curah jantung saat istirahat (frekuensi
jantung x volume sekuncup) berkurang sekitar 1% per tahun
setelah usia 20. Dalam kondisi stress, baik curah jantung
maksimum dan denyut jantung maksimum juga menurun tiap
tahun.1
Perubahan Morfologis dan Struktur Perubahan Fungsional
Jantung a. Kenaikan jaringan a. Berkurangnya eksitabilitas .
lemak. b. Berkurangnya curah jantung .
b. Kenaikan jaringan c. Berkurangnya aliran darah balik.
ikat. d. Kenaikan distritmia jantung
c. Kenaikan massa dan
volume.
d. Kenaikan lipofusin .
e. Kenaikan kandungan
amyloid.
f. Kenaikan konduksi
saraf.
g. Berkurangnya
inervasi instrinsik dan
ekstrinsik.
h. Kenaikan jaringan
ikat dan elastin.

Aliran darah a. Kenaikan proporsi a. Berkurangnya aliran darah untuk


perubahan jaringan memenuhi kebutuhan oksigen
otot polos normal jaringan.
menjadi jaringan ikat b. Berkurangnya aliran dan resiko
dan elastin. penggumpalan darah pada
b. Kenaikan rigiditas sirkulasi vena.
arteri besar. c. Berkurangnya curah jantung.
c. Kenaikan arteroma d. Berkurangnya aliran darah balik
sirkulasi.
d. Kenaikan kalsifikasi.
e. Kenaikan dilatasi
vena

Tabel 1.1 Perubahan sistem kardiovaskuler pada lansia1

Kemampuan arteri dalam melakukan fungsinya berkurang


sampai 50%, pembuluh darah kapiler mengalami penurunan
elastisitas dan permeabilitas. Terjadi perubahan fungsional yaitu
kenaikan tahanan vaskular sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan sistol dan penurunan perfusi jaringan. Penurunan
sensitifitas baroreseptor mengakibatkan terjadinya hipotensi
postural. Curah jantung (cardiac output) berkurang akibat
penurunan denyut jantung maksimal dan volume sekuncup. Respon
vasokonstriksi dalam mencegah terjadinya penggumpalan darah
(pooling of blood) menurun sehingga respon terhadap hipoksia
menjadi lambat. Penggunaan oksigen pada tingkat maksimal (VO2
maks) berkurang sehingga kapasital vital paru menurun.1

B. Perubahan Genitourinaria
Sistem genitourinaria tetap berfungsi secara baik pada
individu lansia, meskipun terjadi pengurangan massa ginjal akibat
kehilangan beberapa nefron. Perubahan fungsi ginjal meliputi
berkurangnya laju infiltrasi, penurunan fungsi tubuler dengan
penurunan efisiensi dalam resorbsi dan pemekatan urin dan
perlambatan restorasi keseimbangan asam basa terhadap stres.
Wanita lansia biasanya menderita penurunan tonus otot perineal
yang mengakibatkan stress inkontinesia dan genito urgensi
inkontinensia. Pada lansia laki-laki sering ditemukan pembesaran
kelenjar prostat (hiperplasia prostat benigna) yang dapat
mengakibatkan retensi urin kronis, sering berkemih dan
inkontinensia.2
C. Perubahan sistem muskuluskeletal
Pada usia lanjut perubahan sistem muskuluskeletal yang sering
terjadi ialah tulang kehilangan densitas dan semakin rapuh
sehingga menyebabkan pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari
terbatas, begitu juga dengan persendian semakin kaku. Selain itu
tendon mengkerut dan mengalami sklerosis sehingga pergerakan
lansia menjadi lambat dan ototnya mudah mengalami kram dan
tremor.1
D. Perubahan sistem kardiopulmonal
Umumnya sistem kardiovaskuler pada usia lanjut
mengalami perubahan yaitu kehilangan elastisitas arteri maupun
aorta, tetapi katup jantung justru menebal dan menjadi kaku. Hal
ini menyebabkan kemampuan jantung untuk memompa darah
menurun sehingga terjadi penurunan kontraksi dan volume
kardiopulmonal tetapi terjadi peningkatan nadi dan tekanan
sistolik.1
E. Sistem pencernaan
Terkait dengan sistem pencernaan, kemunduran yang sering
terjadi adalah pada esofagus yaitu gerakan peristaltik rendah
sehingga usia lanjut cenderung mengalami disfagia, nyeri dan
muntah. Asam lambung menurun sehingga sensitivitas rasa lapar
juga menurun dan waktu pengosongan lambung juga menurun.
Pada pankreas terjadi penurunan jumlah sekresi pankreatik
biasanya terjadi setelah usia 40 tahun begitu juga terjadi penurunan
pengeluaran enzim sesuai dengan bertambahnya usia. Penurunan
aktivitas enzim berhubungan dengan pencernaan lemak.
Melemahnya peristaltik usus pada lansia akan menyebabkan
konstipasi.1
F. Perubahan sistem perkemihan
Perubahan yang signifikan pada sistem perkemihan pada
usia lanjut ialah. menurunnya laju filtrasi glomerulus, ekskresi dan
reabsorbsi oleh ginjal, penurunan kapasitas kandung kemih dan
penyempitan saluran kemih. Pada usia 40 tahun aliran darah
keginjal perlahan mulai menurun.1
G. Perubahan sistem endokrin
Pada lansia produksi semua hormon akan menurun begitu
pula dengan aktivitas tiroid, penurunan Basal Metabolic Rate
(BMR), penurunan pertukaran zat dan produksi hormon seperti
progesteron, estrogen dan testosterone. Perubahan sistem
neurologis.1
H. Gangguan neurologis
Pada lansia disebabkan perubahan struktur dan fungsi saraf.
Perubahan ini tergantung pada banyak faktor termasuk faktor
genetik serta area otak yang mengalami kerusakan. Pada usia lanjut
berat otak menurun 10 sampai 20% (setiap orang sel saraf otaknya
berkurang setiap hari), pengecilan saraf pancaindra seperti
penglihatan berkurang, pengecilan saraf penciuman, meningkatnya
sensitivitas terhadap perubahan suhu karena rendahnya ketahanan
terhadap dingin.1

Perubahan fisiologis pada pasien lanjut usia mempengaruhi proses


farmakokinetika obat lewat penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresi
Efek dari perubahan fungsi fisologis ini sangat variatif dan sulit untuk diprediksi.
Beberapa perubahan fisiologis ini hanya disebabkan oleh penuaan, namun
beberapa perubahan fisiologis lainnya kemungkinan besar disebabkan oleh efek
gabungan dari usia, penyakit, dan lingkungan. Meskipun bertambahnya usia
sering disertai dengan penurunan fungsi fisiologis pada banyak sistem organ
juga tetap bergantung dari dampak penyakit yang diderita, namun perubahan
tersebut tidak seragam. Ada perbedaan substansial pada satu individu dengan
individu lain, sehingga membuat pasien lanjut usia lebih rentan daripada yang
pasien pada usia lain. Perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik obat
yang terjadi pada pasien lanjut usia membuat tenaga kesehatan harus
mempertimbangkan secara farmakologis risiko kerentanan pasien lansia terhadap
efek obat. Sayangnya, hasil studi epidemiologi yang mengeksplorasi hubungan
ini tidak memberikan gambaran yang jelas, karena minimnya jumlah pasien
lanjut usia yang termasuk dalam studi premarketing relatif terhadap populasi
pasien yang mungkin akan mengkonsumsi obat. Hasil uji coba dan efek samping
yang dilaporkan sering terbatas pada pasien lanjut usia dengan beberapa penyakit
yang mengonsumsi beberapa obat. Secara umum, pertimbangan kondisi masing-
masing pasien, seperti keadaan fisiologis (hidrasi, nutrisi, dan curah jantung), dan
bagaimana status ini mempengaruhi farmakologi obat tertentu lebih penting dalam
peresepan obat dibandingkan setiap perubahan spesifik yang berkaitan dengan
usia.1
Tabel 1.2. Hubungan peningkatan usia dengan
farmakokinetik obat. (1)
A. Absobsi
Proses Absorpsi pada obat terjadi via difusi pasif, dan
hanya sedikit perubahan dengan bertambahnya usia. Daftar
perubahannya bisa dilihat di Tabel 2 yang berpotensi
memengaruhi absorpsi obat. Perubahan ini penting pada
beberapa rute pemerian obat. Contonhya antasida menurunkan
absorpsi oral dari cimetidine, dan alkohol mempercepat absorpsi
dari kloral hidrat.1

B. Distribusi
Tidak seperti proses absorpsi, distribusi obat
dipengaruhi oleh perubahan usia pada kondisi klinis yang amat
penting. Pada pasien lanjut usia, lemak di tubuhnya relatif
meningkat dan massa tubuhnya yang menurun memengaruhi
distribusi obat, sehingga obat yang larut lemak terdistribusi
lebih luas dan obat yang larut air terdisbursi cenderung lebih
sempit . Meningkatnya distribusi obat larut lemak juga dapat
menunda eliminasi obat tersebut dan menghasilkan
perpanjangan waktu kerja dari dosis tunggal obat. Efek ini
pada obat-obatan hipnotik dan analgetik, yang diberikan
sejumlah dosis tunggal, pada waktu intermitten. Sebagai contoh,
volume distribusi dari diazepam meningkat dua kali lipat pada
pasien lanjut usia, dan waktu paruh eliminasi nya diperpanjang
dari 24 jam pada pasien muda dan hampir 90 jam pada pasien
lansia. Untuk obat yang berikatan dengan protein serum,
terjadi kesetimbangan antara obat terikat atau bagian yang tidak
aktif dan obat tidak terikat atau bagian aktif . Obat-obat asam
yang terikat kuat dengan dengan albumin konsentrasi
plasmanya kemungkinan besar dan berhubungan dengan efek
farmakologisnya. Meskipun kadar albumin pada lansia hanya
terjadi sedikit penurunan, namun ketika sakit kadar albuminnya
akan terus berkurang. Hal ini bisa menghasilkan kadar obat
bebas akan meningkat pada pasien lansia sepanjang dia sakit,
dan meningkatkan petonsi toksik. Perubahan ini siginifkan pada
obat-obatm tiroid hormone, digoxin, warfarin, dan fenitoin.
Secara keseluruhan pada proses distribusi, perubahan ikatan
protein serum merupakan pertimbangan penting ketika awal
pemberian obat, ketika dosis berubah, ketika kadar protein
serum berubah, atau ketika obat menggeser obat yang telah
terikat protein sebelumnya. Karena bagian bebas obat (tidak
terikat protein serum) umumnya lebih kecil dibandingkan
bagian obat yang terikat protein serum, sehingga mekanisme
normal dalam metabolisme dan ekskresinya adalah
menghilangkan bagian obat yang bebas (tidak terikat protein
serum). Jika salah satu fungsi hati atau ginjal terganggu karena
usia atau penyakit, proses ini akan melambat.1

C. Metabolisme
Meskipun penelitian in vitro pada aktivitas enzim pemetabolisme
obat dari sampel biopsi hati manusia belum menunjukkan
adanya perubahan dengan penuaan, beberapa peneliti
berspekulasi bahwa penurunan ukuran hati pada lansia dapat
mengakibatkan kapasitas metabolisme menurun. Penurunan
yang signifikan terhadap laju aliran darah menuju hati terjadi
pada lansia, dengan pengurangan 25% sampai 47% dilaporkan
pada orang antara usia 25 dan 90 tahun. Penurunan aliran darah
menuju hati secara klinis penting karena metabolisme hati adalah
rate limiting step yang menentukan clearans obat. Perubahan ini
sangat relevan untuk obat yang mengalami metabolisme hepatik
cepat (misalnya, propranolol). Juga, obat-obatan yang
mengalami metabolism lintas pertama kemungkinannya untuk
mencapai tinggi pada kadar plasma darah menurun jika aliran
darah menuju hati menurun. Hati memetabolisme obat melalui
dua sistem yang berbeda. Metabolisme Fase I melibatkan
oksidasi, reduksi, dan hidrolisis obat dan metabolisme Fase II
melibatkan glukuronidasi, sulfasi, asetilasi, dan metilasi.
Metabolisme Fase I dikatalisis terutama oleh sistem sitokrom
P450 (CYP) dalam retikulum endoplasma halus di sel hati. Enzim
CYP adalah superfamili dari enzim pemetabolisme obat
mikrosomal yang penting dalam biosintesis dan degradasi
senyawa endogen seperti steroid, lipid, dan vitamin, serta
metabolisme obat yang paling umum digunakan. Aktifitas
metabolisme Fase I menurun secara drastis pada lansia. Obat-
obatan yang dimetabolisme melalui fase I akan memiliki waktu
paruh yang diperpanjang akibat lansia. Metabolisme hati Fase II
melibatkan konjugasi obat atau metabolitnya menjadi senyawa
organik. Eliminasi obat yang mengalami metabolisme fase II
melalui proses konjugasi (seperti, asetilasi, glukouronidasi,
sulfatisi, dan konjugasi glisin) umumnya sedikit berubah pada
lansia. Dengan demikian, obat yang hanya memerlukan
metabolisme fase II untuk diekskresi (misalnya, triazolam) tidak
mengalami perpanjangan waktu paruh pada pasien lansia.
Obat ini kontras dengan obat-obatan seperti diazepam yang
mengalami kedua fase metabolisme dan memiliki metabolit
intermediate yang aktif. Meskipun pengaruh penuaan pada
metabolisme obat di hati bevariasi, namun metabolisme fase I
adalah proses yang paling mungkin berkurang pada lansia. 1

D. Eliminasi
Perubahan farmakokinetik penting yang terjadi pada orang
usia lanjut adalah bahwa adanya pengurangan eliminasi obat
ginjal. Perubahan ini adalah hasil perubahan fungsi yang
berhubungan dengan usia pada tingkat filtrasi glomerulus dan
fungsi tubular. Obat yang bergantung pada fungsi glomerulus
(misalnya, gentamisin) dan obat-obatan yang bergantung pada
sekresi tubular (misalnya penisilin) untuk eliminasi ekskresi
keduanya berkurang pada pasien yang lebih tua. Karena
eliminasi obat berkorelasi dengan kreatinin klirens, pengukuran
kreatinin klirens sangat membantu dalam menentukan dosis
pemeliharaan. Di ginjal, rata-rata kreatinin menurun sebesar 50%
dari usia 25 sampai usia 85 tahun meskipun kadar kreatinin
serumnya tetap tidak berubah pada sekitar 1,0 mg / dL. (2)

2. Prinsip pemilihan obat dan dosis pemberian obat pada lansia


Secara singkat, pemakaian atau pemberian obat pada usia lanjut
hendaknya mempertimbangkan hal-hal berikut :

a. Riwayat pemakaian obat


Informasi mengenai pemakaian obat sebelumnya perlu
ditanyakan, mengingat sebelum datang ke dokter umumnya
penderita sudah melakukan upaya pengobatan sendiri. Informasi
ini diperlukan juga untuk mengetahui apakah
keluhan/penyakitnya ada kaitan dengan pemakaian obat (efek
samping), serta ada kaitannya dengan pemakaian obat yang
memberi interaksi.2

b. Obat diberikan atas indikasi yang ketat, untuk diagnosis yang


dibuat. Sebagai contoh, sangat tidak dianjurkan memberikan
simetidin pada kecurigaan diagnosis ke arah dispepsia. 2
c. Mulai dengan dosis terkecil. Penyesuaian dosis secara individual
perlu dilakukan untuk menghindari kemungkinan intoksikasi,
karena penanganan terhadap akibat intoksikasi obat akan jauh
lebih sulit.2
d. Hanya resepkan obat yang sekiranya menjamin ketaatan pasien,
memberi resiko yang terkecil, dan sejauh mungkin jangan
diberikan lebih dari 2 jenis obat. Jika terpaksa memberikan lebih
dari 1 macam obat, pertimbangkan cara pemberian yang bisa
dilakukan pada saat yang bersamaan.2
3. Obat-obatan yang perlu perhatian khusus pada pasien geriatric
A. Analgetik
Analgetik atau obat-obat penghilang nyeri adalah zat-zat
yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran. Didalam lokasi jaringan yang
mengalami luka atau peradangan beberapa bahan algesiogenik
kimia diproduksi dan dilepaskan, didalamnya terkandung dalam
prostaglandin dan brodikinin. Brodikinin sendiri adalah
perangsang reseptor rasa nyeri. Sedangkan prostaglandin ada 2
yang pertama Hiperalgesia yang dapat menimbulkan nyeri dan
PG(E1, E2, F2A) yang dapat menimbulkan efek algesiogenic.
Mekanisme pada obat analgesik yaitu menghambat sintase
Prostaglandins (PGs) di tempat yang sakit/trauma jaringan.
Karakteristik pada analgesic yaitu sebagai berikut :3
a. Hanya efektif untuk menyembuhkan sakit.
b. Bukan narkotika dan tidak menimbulkan adiksi,
rasa senang dan gembira.
c. Tidak mempengaruhi pernapasan.
d. Gunanya untuk nyeri sedang, contohnya sakit gigi.

Analgesik di bagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut yaitu Analgesik


Opioid atau analgesik narkotika. Analgesik opioid merupakan
kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin.
Golongan obat ini digunakan untuk meredakan atau menghilangkan
rasa nyeri seperti pada fraktur dan kanker. Macam-macam obat
Analgesik Opioid yaitu sebagai berikut:3

1) Metadon.
Mekanisme kerjanya yaitu kerja mirip
morfin lengkap, sedatif lebih lemah. Indikasi untuk
detoksifikas ketergantungan morfin, nyeri hebat
pada pasien yang di rumah sakit. Efek pada obat ini
depresi pernapasan, konstipasi, gangguan SSP,
hipotensi ortostatik, mual dan muntah pada dosis
awal.
2) Fentanil.
Mekanisme kerjanya yaitu lebih poten dari
pada morfin. Depresi pernapasan lebih kecil
kemungkinannya.
Indikasi untuk medikasi praoperasi yang digunakan
dalan anastesi. Efek pada obat ini depresi
pernapasan lebih kecil kemungkinannya, rigiditas
otot, bradikardi ringan.
i. Kodein
Indikasi obat ini untuk penghilang rasa nyeri
minor
Efek yang tak diinginkan serupa dengan morfin,
tetapi kurang hebat pada dosis yang
menghilangkan nyeri sedang. Pada dosis tinggi,
toksisitas seberat morfin.
Obat Analgetik Non-narkotik

Obat Analgesik Non-Nakotik dalam Ilmu Farmakologi juga


sering dikenal dengan istilah Analgetik/Analgetika/Analgesik
Perifer. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-
obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral.
Penggunaan Obat Analgetik Non-Narkotik atau Obat Analgesik
Perifer ini cenderung mampu menghilangkan atau meringankan
rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat
atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat
Analgetik Non-Narkotik atau Obat Analgesik Perifer ini juga tidak
mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna (berbeda halnya
dengan penggunanaan Obat Analgetika jenis Analgetik Narkotik).
Efek samping obat-pbat analgesik perifer: kerusakan lambung,
kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal, kerusakan kulit.
Macam-macam obat Analgesik Non-Narkotik yaitu sebagai
berikut:3
a. Ibuprofen

Ibuprofen merupakan derivat asam


propionat yang diperkenalkan banyak negara. Obat
ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi
yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama
dengan aspirin. Indikasi obat ini yaitu nyeri ringan
sampai sedang antara lain nyeri pada penyakit gigi
atau pencabutan gigi, nyeri pasca bedah, sakit
kepala, gejala artritis reumatoid, gejala
osteoartritis, gejala juvenile artritis rheumatoid.
Peringatan pada obat ini tidak dianjurkan pada
lansia, kehamilan, persalinan, menyusui, pasien
dengan perdarahan, ulkus, perforasi pada lambung,
gangguan pernafasan, gangguan fungsi jantung,
gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati,
hipertensi tidak terkontrol, hiperlipidemia, diabetes
melitus, gagal jantung kongestif, penyakit jantung
iskemik, penyakit serebrovaskular, penyakit arteri
periferal, dehidrasi, meningitis aseptik.
Kontraindikasi obat ini pada pasien dengan ulkus
peptikum (ulkus duodenum dan lambung),
hipersensitivitas, polip pada hidung, angioedema,
asma, rinitis, serta urtikaria ketika menggunakan
asam asetilsalisilat atau AINS lainnya. Efek Samping
yang terjadi yaitu pusing, sakit kepala, dispepsia,
diare, mual, muntah, nyeri abdomen, konstipasi,
hematemesis, melena, perdarahan lambung, ruam.
rinitis, ansietas, insomnia, somnolen, paraestesia,
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran,
tinnitus, vertigo, asma, dispnea, ulkus mulut,
perforasi lambung, ulkus lambung, gastritis,
hepatitis, gangguan fungsi hati, urtikaria, purpura,
angioedema, nefrotoksik, gagal ginjal. Jarang:
meningitis aseptik, gangguan hematologi, reaksi
anafilaktik, depresi, kebingungan, neuritis optik,
neuropati optik, edema. Sangat jarang:
pankreatitis, gagal hati, reaksi kulit (eritema
multiform, sindroma Stevens – Johnson, nekrolisis
epidermal toksik), gagal jantung, infark miokard,
hipertensi. Dosis yang dianjurkan 200-250 mg 3-4
kali sehari. Sebaiknya diminum setelah makan.
Pada penyakit Osteoartritis, artritis rheumatoid
1200 mg – 1800 mg 3 kali sehari.

b. Paracetamol atau acetaminophen

Merupakan devirat para amino fenol. Di Indonesia


penggunaan parasetamol sebagai analgesik dan
antipiretik, telah menggantikan penggunaan
salisilat. Sebagai analgesik, parasetamol sebaiknya
tidak digunakan terlalu lama karena dapat
menimbulkan nefropati analgesic. Jika dosis terapi
tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar
tidak menolong.
Dalam sediaannya sering dikombinasikan
dengan cofein yang berfungsi meningkatkan
efektinitasnya tanpa perlu meningkatkan dosisnya.
Indikasi obat ini yaitu nyeri ringan sampai sedang,
nyeri sesudah operasi cabut gigi, pireksia.
Kontraindikasi pada obat ini yaitu gangguan fungsi
hati berat, hipersensitivitas. Efek Samping jarang
terjadi, tetapi dilaporkan terjadi reaksi
hipersensitivitas, ruam kulit, kelainan darah
(termasuk trombositopenia, leukopenia,
neutropenia), penggunaan jangka panjang dan
dosis berlebihan atau overdosis dapat
menyebabkan kerusakan hati. Dosis yang dapat
digunakan melalui oral 0,5–1 gram setiap 4–6 jam
hingga maksimum 4 gram per hari.

c. Asam Mefenamat

Asam mefenamat digunakan sebagai


analgesik. Asam mefenamat sangat kuat terikat
pada protein plasma, sehingga interaksi dengan
obat antikoagulan harus diperhatikan. Efek
samping terhadap saluran cerna sering timbul
misalnya dispepsia dan gejala iritasi lain terhadap
mukosa lambung.
Indikasi pada obat ini yaitu nyeri ringan
sampai sedang seperti sakit kepala, sakit gigi,
dismenore primer, termasuk nyeri karena trauma,
nyeri otot, dan nyeri pasca operasi.
Peringatan risiko kardiovaskular, AINS dapat
meningkatkan risiko kejadian trombotik
kardiovaskuler serius, infark miokard, dan stroke,
yang dapat fatal. Risiko ini bertambah dengan
lamanya penggunaan. Pasien dengan penyakit
kardiovaskuler atau faktor risiko untuk penyakit
kardiovaskuler berada dalam risiko yang lebih
tinggi. Gunakan dengan hati-hati pada pasien
lansia, pengobatan jangka lama lakukan tes darah.
Kontraindikasi pada obat ini yaitu pengobatan nyeri
peri operatif pada operasi CABG, peradangan usus
besar. Efek Samping yaitu gangguan sistem darah
dan limpatik berupa agranulositosis, anemia
aplastika, anemia hemolitika autoimun, hipoplasia
sumsum tulang, penurunan hematokrit, eosinofilia,
leukopenia, pansitopenia, dan purpura
trombositopenia. Dapat terjadi reaksi anafilaksis.
Pada sistem syaraf dapat mengakibatkan meningitis
aseptik, pandangan kabur; konvulsi, mengantuk.
Diare, ruam kulit (hentikan pengobatan), kejang
pada overdosis. Dosis yang dapat digunakan 500
mg 3 kali sehari sebaiknya setelah makan, selama
tidak lebih dari 7 hari.

Analgesik Non-Opioid

Asetosal diindikasikan untuk sakit kepala, nyeri


muskuloskeletal sementara, dismenore, dan demam. Pada
peradangan kebanyakan klinisi lebih menyukai pengobatan anti
inflamasi dengan AINS lain yang mungkin lebih dapat ditoleransi
dan lebih nyaman bagi pasien. Asetosal makin banyak dipakai
karena kerja antiplateletnya. Tablet asetosal atau tablet terlarut
(dispersible) asetosal memadai untuk sebagian besar penggunaan
karena efeknya yang cepat. Iritasi lambung dapat menjadi masalah
namun dapat dikurangi dengan meminum obat setelah makan.
Tersedia juga sediaan salut enterik tetapi mempunyai mula kerja
yang lambat dan karena itu tidak sesuai untuk penggunaan
analgesik dosis tunggal (walaupun kerja yang lebih panjang
mungkin berguna untuk nyeri pada malam hari). Indikasi obat ini
yaitu nyeri ringan sampai sedang, demam. Peringatan pada obat ini
pada penyakit asma, penyakit alergi, gangguan fungsi ginjal,
menurunnya fungsi hati, dehidrasi. Kontraindikasi yaitu tidak
untuk pengobatan gout, hipersensitivitas. Efek samping biasanya
ringan dan tidak sering, tetapi kejadiannya3 tinggi untuk terjadinya
iritasi saluran cerna dengan perdarahan ringan yang asimptomatis.
memanjangnya bleeding time, bronkospasme, dan reaksi kulit pada
pasien hipersensitif. Dosis yang dapat digunakan yaitu 300-900 mg
tiap 4-6 jam bila diperlukan maksimum 4 g per hari.3

Analgesik antiinflamasi nonsteroid

Berguna untuk pengobatan pasien dengan penyakit kronis yang


disertai nyeri dan inflamasi. Beberapa AINS juga digunakan untuk
pengobatan jangka pendek nyeri ringan sampai sedang termasuk
nyeri muskuloskeletal ringan, tetapi parasetamol sekarang lebih
disukai, terutama pada orang lansia. AINS juga sesuai untuk
mengurangi nyeri pada dismenore dan untuk mengobati nyeri yang
disebabkan tumor sekunder pada tulang yang beberapa diantaranya
menimbulkan lisis tulang dan melepaskan prostaglandin (lihat
Peresepan pada Perawatan Paliatif). Inhibitor selektif COX-2 dapat
juga digunakan menggantikan AINS non-selektif untuk pasien
dengan risiko tinggi efek samping serius saluran cerna. AINS
termasuk ketorolak juga digunakan untuk analgesia perioperatif. 3

B. Antihipoglikemi

Dosis awal glukosa 10–20 g diberikan melaui mulut dalam


bentuk cair atau sebagai gula granul atau gula batu. Kira-kira 10 g
glukosa sama dengan 2 sendok teh gula, 3 gula batu. Hipoglikemia
yang menyebabkan pasien pingsan merupakan keadaan darurat.
Glukagon, hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel alfa dari
pulau Langerhans, meningkatkan kadar glukosa plasma dengan
mengubah glikogen yang disimpan di hati. Pada hipoglikemia, jika
gula tidak dapat diberikan melaui mulut, glukagon dapat diberikan
melalui injeksi. Karbohidrat sebaiknya diberikan sesegera mungkin
untuk mengganti simpanan glikogen di hati; glukagon tidak tepat
untuk keadaan hipoglikemia kronik. Glukagon dapat digunakan
untuk keadaan gawat darurat pada pasien dengan terapi insulin
yang mengalami serangan hipoglikemia. Sebaiknya penderita
dirawat selalu siap dengan glukagon untuk memudahkan perawat
menangani hipoglikemi akibat insulin. Jika tidak efektif dalam 10
menit glukosa intravena sebaiknya diberikan. Sebagai alternatif 50
mL infus intravena glukosa 20%, dapat diberikan secara intravena
pada pembuluh vena besar menggunakan jarum yang besar, hati-
hati karena kadar ini menimbulkan iritasi terutama jika timbul
ekstravasasi. Sebagai alternatif, infus intravena 50 mL glukosa
20% atau 25 mL glukosa 50% dapat diberikan, tapi kadar tinggi
bersifat lebih iritan dan kental sehingga menyulitkan pemberian.
Infus intravena glukosa 10% dapat juga diberikan, tetapi
diperlukan jumlah yang lebih besar. Diperlukan pengawasan ketat
pada keadaan hipoglikemi akibat insulin kerja panjang karena
diperlukan pemberian glukosa juga dalam jangka panjang. Pasien
yang hipoglikemia karena obat antidiabetik oral sebaiknya dibawa
kerumah sakit karena efek hipoglikemia obat ini mungkin bertahan
beberapa jam. Glukagon tidak efektif untuk mengatasi hipoglikemi
karena gangguan penyimpanan glikogen atau gangguan oksidasi
asam lemak. Hipoglikemi menetap ringan yang asimtomatik
biasanya memberikan respon terhadap dosis tunggal glukagon.
Pemberian glucagon tidak efektif pada hipoglikoma kronik,
kelaparan dan kekurangan adrenalin. Efek Samping yang dapat
terjadi yaitu mual, muntah, nyeri perut, hipokalemia, hipotensi,
reaksi hipersensitivitas. Dosis pada hipoglikemia yang diinduksi
oleh insulin, melalui injeksi subkutan, intramuskular atau intravena
yaitu 1 mg.4

C. Antihipertensi
Menurunkan tekanan darah yang meningkat dapat menurunkan
frekuensi stroke, kejadian koroner, gagal jantung, dan gagal ginjal.
Kemungkinan penyebab hipertensi (misalnya penyakit ginjal,
penyebab endokrin), faktor pendukung, faktor risiko, dan adanya
beberapa komplikasi, seperti hipertrofi ventrikel kiri harus
ditegakkan. Pasien sebaiknya disarankan untuk merubah gaya
hidup untuk menurunkan tekanan darah maupun risiko
kardiovaskuler, termasuk menghentikan merokok, menurunkan
berat badan, mengurangi konsumsi alkohol yang berlebih,
mengurangi konsumsi garam, menurunkan konsumsi lemak total
dan jenuh, meningkatkan latihan fisik (olahraga), dan
meningkatkan konsumsi sayur dan buah. Indikasi antihipertensi
pada hipertensi yang menetap meskipun sudah mengubah gaya
hidup, hipertensi paru. Obat yang digunakan untuk terapi
hipertensi. Pemilihan obat antihipertensi bergantung pada indikasi
maupun kontraindikasi yang sesuai untuk pasien; beberapa indikasi
dan kontraindikasi dari berbagai obat antihipertensi adalah sebagai
berikut:5

a. Tiazid

Diindikasikan untuk hipertensi pada lansia.


Sedangkan untuk kontraindikasi pada penyakit gout.

b. Beta bloker

Indikasi meliputi infark miokard, angina.


Kontraindikasi meliputi asma, blokade jantung.

c. Penghambat ACE

Indikasi meliputi gagal jantung, disfungsi


ventrikel kiri dan nefropati akibat diabetes.
Kontraindikasi meliputi penyakit renovaskular.
d. Antagonis reseptor angiotensin II

Merupakan alternatif untuk pasien yang


tidak dapat mentoleransi penghambat ACE karena
efek samping batuk kering yang menetap, namun
antagonis reseptor Angiotensin II mempunyai
beberapa kontraindikasi yang sama dengan
penghambat ACE.

e. Antagonis kalsium

Antagonis kalsium dihidropiridin bermanfaat dalam


hipertensi sistolik pada lansia apabila tiazid dosis
rendah dikontraindikasikan atau tidak dapat
ditoleransi. Antagonis kalsium bermanfaat pada
angina. Kontraindikasi meliputi gagal jantung dan
blokade jantung.

f. Alfa bloker

Indikasi yang mungkin adalah prostatis.


Kontraindikasi pada inkontinensia urin.

Obat antihipertensi tunggal seringkali tidak cukup dan obat


antihipertensi yang lain biasanya ditambahkan secara bertahap
sampai hipertensi dapat dikendalikan. Kecuali apabila diperlukan
penurunan tekanan darah dengan segera, diperlukan interval waktu
pemberian sekurang-kurangnya 4 minggu untuk menentukan
respons. Respons pengobatan dengan obat antihipertensi dapat
dipengaruhi oleh usia pasien. Penghambat ACE maupun antagonis
reseptor angiotensin II kemungkinan merupakan obat awal yang
paling sesuai pada pasien yang berusia lebih dari 55 tahun
mempunyai respon yang kurang baik terhadap obat-obat ini dan
tiazid maupun antagonis kalsium merupakan pilihan untuk
pengobatan awal. Untuk pengobatan rutin hipertensi tanpa
komplikasi, beta bloker sebaiknya dihindari pada pasien dengan
diabetes, atau pada pasien dengan risiko tinggi menderita diabetes,
terutama apabila beta bloker dikombinasikan dengan diuretika
tiazid. Pada keadaan dimana dua obat antihipertensi diperlukan,
penghambat ACE atau antagonis reseptor angiotensin II dapat
dikombinasikan dengan tiazid atau antagonis kalsium. Apabila
pemberian 2 jenis obat masih belum dapat mengontrol tekanan
darah, tiazid dan antagonis kalsium dapat ditambahkan.
Penambahan alfa bloker, spironolakton, diuretika yang lain
maupun beta-bloker sebaiknya dipertimbangkan pada hipertensi
yang resisten. Pada pasien dengan hiperaldosteronisme primer
digunakan, spironolakton. Tindakan lain yang dapat dilakukan
untuk menurunkan risiko kardiovaskuler. Asetosal dengan dosis 75
mg sehari menurunkan risiko kejadian kardiovaskuler dan infark
miokard. Tekanan darah yang terlalu tinggi harus dikendalikan
sebelum pemberian asetosal. Bila tidak ada kontraindikasi, asetosal
dianjurkan untuk semua pasien dengan penyakit kardiovaskuler
atau pasien dengan risiko mengalami penyakit kardiovaskuler 10
tahun ke depan sebesar 20% atau lebih dan berusia lebih dari 50
tahun. Obat hipolipidemik dapat bermanfaat juga pada penyakit
kardiovaskuler atau pada pasien dengan risiko tinggi mengalami
penyakit kardiovaskuler. Pada lansia manfaat pengobatan dengan
antihipertensi hingga usia 80 tahun, namun pada saat memutuskan
penggunaan suatu obat tidak tepat apabila berdasarkan pembatasan
usia. Pada lansia yang nampak sehat, apabila mengalami hipertensi
tekanan darahnya harus diturunkan. Ambang batas pengobatan
adalah tekanan darah diastolik rata-rata ≥ 90 mmHg atau tekanan
darah sistolik rata-rata ≥160 mmHg setelah pengamatan selama
lebih dari 3-6 bulan (meskipun telah menjalani terapi tanpa obat).
Pasien yang mencapai usia 80 tahun pada saat pengobatan dengan
antihipertensi sebaiknya tetap melanjutkan pengobatan. Tiazid
dosis rendah merupakan obat pilihan pertama, bila perlu dengan
tambahan antihipertensi lainnya.5

Hipertensi sistolik terisolasi (tekanan darah sistolik ≥160


mmHg, tekanan darah diastolik < 90 mmHg) menyebabkan
meningkatnya risiko penyakit kardiovaskuler, terutama pada pasien
usia di atas 60 tahun. Tekanan darah sistolik rata-rata 160 mmHg
atau lebih tinggi selama lebih dari 3-6 bulan (meskipun telah
menjalani terapi tanpa obat) harus diturunkan pada pasien berusia
diatas 60 tahun, sekalipun hipertensi diastolik tidak ada.
Pengobatan dengan pemberian tiazid dosis rendah, bila perlu
dengan tambahan beta bloker, memberikan hasil yang efektif.
Antagonis kalsium dihidropiridin kerja panjang dianjurkan apabila
tiazid dikontraindikasikan atau tidak dapat ditoleransi.5

DAFTAR PUSTAKA
1. Martono HH. Pranarka. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2015.

2. Gunawan. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia; 2007.
3. Medscape. NSAID class [document on the Internet 2017][
Diunduh]. Tersedia dari
https://emedicine.medscape.com/article/2172136-overview
4. Farinde E. Oral Hypoglycemic Agents. [document on the Internet 2019]

[diunduh 28 September 2019]. Tersedia dari


https://emedicine.medscape.com/article/2172160-overview
5. Alexander M. Hypertension Medication. [document on the Internet 2019]
[diunduh 28 September 2019]. Tersedia dari
https://emedicine.medscape.com/article/241381-medication

Anda mungkin juga menyukai