Anda di halaman 1dari 17

Pemantauan Terapi Obat pada Pasien Lanjut Usia

I. Deskripsi Singkat
Apoteker sebagai bagian dari tenaga kesehatan memiliki peran strategis dalam
pelayanan kesehatan. Peran aktif apoteker sangat penting karena pada pasien geriatri terjadi
berbagai perubahan terkait farmakokinetika dan farmakodinamika. Umumnya pasien geriatri
akan menjumpai polifarmasi, dan biaya besar akibat polifarmasi.
Pasien geriatri memiliki karakter kondisi multipatologi, kondisi penyakit cepat
memburuk bila tidak mendapat terapi, insiden kompilkasi tinggi akibat penyakit dan terapi,
serta perlu rehabilitasi. Ini semua merupakan kondisi yang mewajibkan adanya peran apoteker
dalam tim interdisiplin.
Tim interdisiplin dapat diperoleh melalui kolaborasi interprofesi, yakni kondisi di mana
beragam tenaga kesehatan dari berbagai latar belakang profesi bekerja bersama menangani
pasien, keluarga, pengasuh, serta komunitas untuk memberikan mutu asuhan terbaik. Selain
itu tim interdisiplin juga dapat dibentuk melalui pendidikan interprofesi, bila peserta didik dari
dua profesi atau lebih saling belajar tentang, dari, dan antar mereka untuk mencapai
kolaborasi yang efektif dan meningkatkan hasil di bidang kesehatan.
Dalam tim interdisiplin ini, peran apoteker tidak hanya pada aspek compounding dan
dispensing, namun sudah meluas menjadi pharmaceutical care. Dengan kata lain, peran
apoteker akan bertambah, dari sekadar product oriented menjadi patient oriented.

II. Tujuan Pembelajaran


A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti pelatihan ini, peserta diharapkan mampu menjelaskan prinsip
pemantauan terapi obat pada pasien geriatri.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Peserta diharapkan mampu:
1. Menjelaskan perubahan dan kondisi lanjut usia dalam hubungannya dengan
obat
2. Menjelaskan obat-obat yang harus diwaspadai pada lanjut usia
3. Menjelaskan problem terkait obat yang banyak terjadi pada lanjut usia
4. Menjelaskan peran apoteker pada perawatan pasien lanjut usia
III. Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut:
A. Perubahan dan kondisi lanjut usia dalam hubungannya dengan obat
Sub Pokok Bahasan:
1. Perubahan farmakokinetik obat pada lanjut usia
a. Absorpsi
b. Distribusi
c. Metabolisme
d. Ekskresi
2. Perubahan farmakodinamik obat pada lanjut usia
B. Obat-obat yang harus diwaspadai pada lanjut usia
Sub Pokok Bahasan:
1. Beers Criteria
2. START and STOPP Toolkit
C. Problem terkait obat yang banyak terjadi pada lanjut usia
Sub Pokok Bahasan:
1. Polifarmasi
2. Interaksi obat
3. Efek samping obat
4. Ketidakpatuhan pengobatan
D. Peran apoteker pada perawatan pasien lanjut usia
Sub Pokok Bahasan:
1. Pemantauan terapi obat
2. Manajemen polifarmasi
3. Rekonsiliasi obat
4. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam minum obat
5. Terlibat aktif dalam tim geriatri terpadu

IV. Bahan Belajar


Bahan belajar yang dapat digunakan untuk melengkapi modul ini antara lain:
A. Pedoman Pemantauan Terapi Obat, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan RI,
2009.
B. Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) untuk Pasien Geriatri,
Depkes RI, 2006.
C. Pharmacotherapy Principles and Practice, 4th Edition, 2016.
D. Pharmacotherapy Handbook, 9th Edition, 2015.
E. American Geriatrics Society 2019 Updated AGS Beers Criteria® for Potentially
Inappropriate Medication Use in Older Adults.
F. STOPP START Toolkit Supporting Medication Review.

V. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran

Proses Pembelajaran
No. Waktu Metode Media
Kegiatan Pengampu Kegiatan Peserta
1 5 menit Pembukaan 1. Menjawab salam Ceramah LCD,
1. Salam 2. Mendengarkan Diskusi laptop,
2. Penjelasan mata ajar 3. Memperhatikan Tanya materi ajar
4. Bertanya jawab
2 35 menit 1. Tujuan 1. Menganalisis Ceramah LCD,
2. Perubahan dan 2. Menjawab Diskusi laptop,
kondisi pada lanjut 3. Mencatat Tanya materi ajar
usia dalam 4. Bertanya jawab
hubungannya
dengan obat
3. Obat-obat yang
harus diwaspadai
pada lanjut usia
4. Problem terkait
obat yang banyak
terjadi pada lanjut
usia
5. Peran apoteker
dalam perawatan
pasien lanjut usia
3 5 menit 1. Menutup 1. Memperhatikan Ceramah LCD,
2. Menyimpulkan 2. Menjawab Diskusi laptop,
3. Menanyakan Tanya materi ajar
konsep jawab

VI. Uraian Materi


A. Perubahan pada lanjut usia dalam hubungannya dengan obat
Tabel 1. Perubahan Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat Akibat Proses Menua
Parameter Perubahan Akibat Proses Menua
Absorpsi Penurunan permukaan absorpsi, sirkulasi darah splanchnic, motilitas
gastrointestinal
Peningkatan pH lambung
Distribusi Penurunan curah jantung (cardiac output), cairan badan total (total body
water), massa otot badan (lean body mass), serum albumin
Peningkatan lemak badan, alfa-1 asam glikoprotein
Perubahan pengikatan terhadap protein
Metabolisme Penurunan aliran darah hepar, massa hepar, aktivitas enzim, penginduksian
enzim
Ekskresi Penurunan aliran darah ginjal, filtrasi glomerulus, sekresi tubuler
Sensitifitas Perubahan pada jumlah reseptor, afinitas reseptor, fungsi pembawa kedua,
Jaringan respon seluler dan nuclear

Farmakokinetik membahas perjalanan nasib obat dalam tubuh, sedangkan


farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Keempat komponen
farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) berubah pada lanjut
usia, namun yang paling penting dan konsisten secara klinis adalah penurunan eliminasi
obat melalui ginjal. Kondisi lanjut usia cenderung mengalami malnutrisi dan menderita
beberapa penyakit yang juga dapat mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik
obat.

A.1. Perubahan farmakokinetik obat pada lanjut usia


A.1.1. Absorpsi
Absorpsi obat dari lambung dan usus secara keseluruhan tidak
mengalami perubahan yang berarti. Penurunan vaskularisasi dan motilitas usus
tidak mengurangi jumlah yang diabsorpsi, namun hanya menurunkan kecepatan
mencapai puncak efek obat. Transport obat dari saluran gastrointestinal ke
sirkulasi sistemik juga tidak terjadi perubahan yang berarti. Pada lanjut usia
terjadi penurunan perfusi darah jaringan menyebabkan kecepatan absorpsi obat
melalui transdermal, subkutan, dan intramuskular mengalami penurunan dan
bervariasi. Penurunan produksi saliva menurunkan kecepatan absorpsi obat
melalui mukosa rongga mulut. Secara umum pada sebagian besar obat, absorpsi
pada lanjut usia tidak terpengaruh signifikan, dan perubahan yang terjadi tidak
bermakna secara klinis.
A.1.2. Distribusi
Protein plasma darah pada lansia mengalami perubahan dimana kadar
albumin turun dan kadar alfa-acid glycoprotein bertambah. Obat-obat yang
bersifat asam (phenytoin, warfarin) fraksi obat bebasnya akan meningkat.
Sebaliknya, obat-obat yang bersifat basa (propranolol, lidocain) fraksi obat
bebasnya berkurang, dapat menurunkan efek terapi dan memperpanjang waktu
paruhnya. Obat-obat yang mempunyai daya kelarutan lemak tinggi (lipofilik) akan
terdistribusi lebih luas (volume distribusinya menjadi lebih besar), sehingga onset
kerja obat menjadi lebih lambat, waktu paruhnya betambah panjang, obat lebih
lama dikeluarkan dari tubuh. Contoh obat bersifat lipofilik adalah diazepam dan
amitriptilin. Sebaliknya, obat-obat hidrofilik volume distribusinya menurun,
contohnya digoksin, levodopa, dan morfin. Penurunan massa otot pada lansia
juga dapat mempengaruhi volume distribusi obat. Obat yang aktif di jaringan
otot, seperti digoksin, akan menurun volume distribusinya dan meningkat
kadarnya dalam plasma.
A.1.3. Metabolisme
Kapasitas fungsi hepar pada lansia menurun karena massa dan aliran
darah hepar berkurang, sehingga eliminasi obat menjadi lebih lambat. Hal ini
terjadi pada obat-obat dengan rasio ekstraksi hepatik yang tinggi, seperti
amitriptilin, warfarin, morfin, propranolol, dan amiodaron. Namun menurut
beberapa penelitian, penurunan ini tidak konsisten. Perubahan aktivitas enzim di
hepar lebih banyak disebabkan oleh gaya hidup (merokok), penyakit, dan
interaksi obat. Aktivitas enzim di hepar dapat dirangsang oleh obat induktor
enzim, dan dapat pula dihambat oleh inhibitor enzim. Obat-obat yang termasuk
inhibitor enzim adalah allopurinol, isoniazid, simetidin, kloramfenikol, eritromisin,
valproat, dan ciprofloxacin. Obat-obat yang termasuk induktor enzim adalah
rifampisin, phenobarbital, diazepam, fenitoin, dan karbamazepin. Pada
peresepan polifarmasi perlu diperhitungkan pengaruh obat-obat induktor dan
inhibitor enzim ini terhadap perubahan kinetik obat lain.
A.1.4. Ekskresi
Penurunan eliminasi obat melalui ginjal adalah perubahan farmakokinetik
yang paling penting secara klinis pada lansia. Seiring bertambahnya usia, aliran
darah renal, massa ginjal, glomerular filtration rate (GFR), fraksi filtrasi, dan
sekresi tubular mengalami penurunan. Efek signifikan dari penurunan klirens
renal meliputi pemanjangan waktu paruh obat, peningkatan kadar obat dalam
darah, dan peningkatan potensi efek samping obat. Perlu perhatian khusus untuk
obat-obat yang dieliminasi melalui ginjal dengan indeks terapi sempit (contohnya,
digoksin, aminoglikosida). Penyesuaian dosis dan pemantauan kadar obat dalam
darah (bila tersedia) dapat mencegah terjadinya efek samping serius yang
ditimbulkan oleh akumulasi obat.
Meskipun fungsi ginjal mengalami penurunan seiring dengan
bertambahnya usia, kreatinin serum dapat saja tidak mengalami perubahan dan
tetap dalam batas normal. Hal ini disebabkan pada pasien lansia, terutama pada
lansia yang rapuh, terjadi penurunan massa otot sehingga hanya sedikit kreatinin
yang dihasilkan dan yang masuk ke sirkulasi darah. Oleh karena itu, sebaiknya
dilakuka n penghitungan klirens kreatinin dalam penyesuaian dosis obat pada
pasien lanjut usia. Klirens kreatinin dapat dihitung dengan rumus Cockcroft–
Gault, sebagai berikut:

Klirens kreatinin ( menit


ml
)= ( 140−umur ) × Berat badan ( kg )
72× kreatinin serum (
× 0 ,85 (untuk wanita)

dL )
mg

A.2. Perubahan farmakodinamik obat pada lanjut usia


Secara umum, perubahan farmakodinamik obat pada lanjut usia berupa
peningkatan sensitivitas terhadap efek obat. Meskipun demikian, dapat juga terjadi
penurunan respon terapi. Perubahan yang terjadi pada reseptor meliputi perubahan
afinitas ikatan dengan obat, jumlah reseptor aktif pada organ target, struktur reseptor,
dan efek post reseptor (proses biokimia/transmisi sinyal). Reseptor yang terpengaruh
meliputi sistem adrenergik, kolinergik, dan dopaminergik, reseptor GABA, dan opioid.
Perubahan mekanisme homeostatik pada lansia meningkatkan risiko hipotensi
ortostatik jika lansia mengkonsumsi obat yang mempengaruhi sistem kardiovaskuler
dan menurunkan tekanan darah arteri. Selain itu, obat-obat lain seperti antidepresan
trisiklik, antipsikotik, loop diuretik, vasodilator dan opioid juga dapat menyebabkan
hipotensi ortostatik. Fungsi reseptor beta adrenergik menurun, sehingga pasien lansia
kurang sensitif terhadap efek agonis beta dan antagonis beta. Hipotensi dan penurunan
denyut nadi juga dilaporkan pada penggunaan Calcium Channel Blocker (verapamil).
Risiko pemanjangan interval QT dan torsade de pointes yang disebabkan oleh obat juga
meningkat. Oleh karena itu, obat harus dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi secara
pelan serta perlu pemantauan ketat terhadap munculnya efek samping.
Pasien geriatri sangat sensitif terhadap obat-obat yang bekerja di sistem saraf
pusat. Sawar darah otak lebih permeable sehingga obat-obatan dapat menembusnya
dan menimbulkan efek samping sistem saraf pusat. Contoh obat-obat tersebut antara
lain benzodiazepine, antidepresan, neuroleptik, dan antihistamin. Jumlah reseptor
dopamin tipe 2 meningkat, menyebabkan lansia lebih rentan mengalami delirium dari
obat-obat antikolinergik dan dopaminergik. Di sisi lain, jumlah dopamin dan neuron
dopaminergik di substantia nigra di otak berkurang, sehingga meningkatkan risiko
gejala ekstrapiramidal dari obat-obat antidopaminergik (misalnya, antipsikotik).
Mekanisme homeostatik cairan dan elektrolit menurun pada lansia. Lansia
mengalami penurunan rasa haus dan refleks kardiovaskuler, penurunan asupan cairan,
penurunan kemampuan ginjal untuk memproduksi urin, peningkatan natriuretic
peptide atrial, penurunan respon aldosterone terhadap hiperkalemia, dan penurunan
resepon terhadap hormon antidiuretik. Hal ini menyebabkan peningkatan kejadian
hiponatremia, hipokalemia, dan prerenal azotemia, terutama pada pasien lansia yang
mengkonsumsi diuretik. Angiotensin converting enzyme inhibitor berpotensi
menyebabkan hiperkalemia dan gagal ginjal akut pada lansia. Oleh karena itu, obat ini
perlu dimulai dengan dosis rendah, dititrasi secara pelan, dan dipantau secara teratur.
Pada lansia terjadi penurunan sekresi dan sensitivitas insulin. Kejadian
hipoglikemia meningkat pada penggunaan sulfonilurea (contohnya, gliburid, glipizide).
Karena adanya gangguan sistem saraf otonom, pasien lansia tidak dapat mengenali
gejala hipoglikemia seperti berkeringat, palpitasi, atau tremor. Gejala hipoglikemia yang
muncul berupa gejala neurologik, seperti syncope, ataksia, konfusio, atau kejang.
Risiko pendarahan meningkat pada lansia, diikuti dengan angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi jika terjadi pendarahan. Penggunaan warfarin pada lansia
memberikan efek penghambatan terhadap pembentukan faktor pembekuan darah
yang tergantung vitamin K lebih besar dibanding pada usia yang lebih muda.

B. Obat-obat yang harus diwaspadai pada lanjut usia


B.1. Beer’s Criteria
Salah satu alat skrining untuk mengidentifikasi potensi ketidaktepatan
pengobatan pada lansia yang paling sering digunakan adalah Beers Criteria. Beers
Criteria pertama dikembangkan tahun 1991, mencakup 53 pengobatan atau kelas
pengobatan yang berpotensi tidak tepat diberikan pada pasien lanjut usia, dibagi
menjadi 3 kategori yaitu obat-obat yang harus dihindari apapun penyakit/kondisinya,
obat-obat yang berpotensi tidak tepat diberikan lansia dengan penyakit/sindrom
tertentu, dan obat-obat sebaiknya yang digunakan dengan hati-hati pada lansia. Contoh
obat-obat yang ada dalam daftar Beers Criteria adalah sebagai berikut:
a. Antidepresan trisiklik tersier, seperti amitriptilin (efek antikolinergik dan sedasi
yang kuat)
b. Benzodiazepin, seperti diazepam (meningkatkan risiko jatuh, fraktur, dan gangguan
kognitif)
c. Antihistamin generasi pertama seperti difenhidramin (Konfusio dan risiko jatuh
dengan efek yang berkepanjangan)
d. NSAID (meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal, memperburuk gagal
jantung, dan menyebabkan gangguan ginjal)
e. Obat-obat antikolinergik pada pasien dengan obstruksi saluran kemih atau
hiperplasia prostat jinak
f. Metoklopramid dan antipsikotik pada pasien Parkinson dan antipsikotik pada
pasien demensia
g. Benzodiazepin, antikolinergik, antispasmodik, dan relaksan otot pada pasien
dengan gangguan kognitif

B.2. STOPP and START Toolkit


Alat skrining lain yang dikembangkan untuk mengidentifikasi risiko efek
samping obat pada lansia dan untuk menurunkan risiko dimulainya pengobatan yang
dapat menyebabkan efek samping, adalah the screening tool of older person’s
potentially inappropriate prescriptions (STOPP) and the screening tool to alert doctors
to the right treatment (START). Alat ini telah tervalidasi pada pasien usia 65 tahun ke
atas oleh panel konsensus dari 18 ahli farmakoterapi geriatri di Irlandia dan Inggris.
Sebuah penelitian menguji realibilitas inter rater cukup tinggi untuk STOPP (K = 0,97)
dan START (0,92).
STOPP terdiri dari 65 kriteria peresepan yang signifikan secara klinis berpotensi
tidak tepat pada lansia. Setiap kriteria disertai dengan penjelasan singkat mengenai
alasan mengapa peresepan obat tersebut berpotensi tidak tepat. Kriteria ini
menekankan pada potensi interaksi obat dan duplikasi pengobatan. Contohnya,
disarankan untuk menghentikan obat NSAID pada pasien dengan riwayat PUD (peptic
ulcer disease) atau pendarahan gastrointestinal karena risiko menyebabkan
kekambuhan ulkus peptik. Sebagai tambahan, NSAID sebaiknya dihentikan pada
hipertensi sedang sampai berat (sedang: 160/100 – 179/109 mmHg; berat: ≥ 180/110
mmHg) karena dapat menyebabkan risiko perburukan hipertensi. START terdiri dari 22
kriteria untuk mengidentifikasi potensi kelalaian peresepan, misalnya disarankan untuk
memberikan aspirin atau klopidogrel pada pasien dengan riwayat penyakit pembuluh
darah aterosklerotik koroner, serebral, atau perifer pada pasien dengan sinus rhythm.
C. Problem terkait obat yang banyak terjadi pada lanjut usia
C.1. Polifarmasi
Memasuki usia 60 tahun ke atas timbul penyakit yang biasanya lebih dari satu
macam (multipatologis) menyebabkan usia lanjut memerlukan terapi obat-obatan yang
jumlahnya juga lebih dari satu jenis atau yang disebut dengan istilah polifarmasi. Istilah
polifarmasi sendiri sebenarnya masih diartikan secara beragam oleh beberapa ahli.
Beberapa definisi antara lain, meresepkan obat melebihi indikasi klinik; pengobatan
yang mencakup setidaknya satu obat yang tidak perlu; penggunaan empiris lima obat
atau lebih. Apapun definisi yang digunakan, yang pasti adalah polifarmasi mengandung
risiko yang lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang dapat dipetik sehingga
sedapat mungkin dihindari.
Konsumsi suplemen dan produk herbal yang cukup tinggi pada lansia juga ikut
menyumbang polifarmasi. Selain itu, pasien mengunjungi banyak dokter dan
mendapatkan banyak obat untuk penyakitnya tanpa adanya koordinasi yang baik, juga
berpotensi menyebabkan polifarmasi. Selain membutuhkan biaya besar, polifarmasi
juga menyebabkan risiko munculnya interaksi obat dan efek samping obat. Penelitian
oleh Hohl dkk (2001) mendapatkan bahwa dari 283 kasus gawat darurat pada pasien
berusia lanjut ternyata saat itu menggunakan rata-rata lebih dari 4 obat. Efek samping
obat merupakan 10,6% dari seluruh penyebab datangnya pasien ke unit gawat darurat
tersebut. Lima puluh persennya setidaknya meminum satu obat yang potensial
menimbulkan efek samping membahayakan. Jenis obat tersering digunakan (yang
mengakibatkan efek samping) adalah NSAID, antibiotik, antikoagulan, diuretik, obat
hipoglikemik dan penyekat beta. Untuk meminimalkan risiko tersebut, proses
rekonsiliasi obat menjadi sangat penting untuk dilakukan pada setiap kunjungan pasien.
C.2. Interaksi obat
Semakin banyak obat yang digunakan maka semakin banyak pula kemungkinan
interaksi obat, meskipun tidak semua kemungkinan interaksi obat menunjukkan gejala
klinik. Suatu penelitian melaporkan jumlah pasien dengan kemungkinan interaksi
sebanyak 2,4% dengan 2 obat, 8,8% dengan 3 obat, 22,7% dengan 6 obat dan 55,8%
dengan 12 obat. Mekanisme interaksi obat yang sudah dikenal terutama berhubungan
dengan metabolisme obat di hepar. Metabolisme obat ini melalui jalur yang dibantu
oleh sistem enzim sitokrom P-450 (CYP) dengan berbagai isoenzimnya. Beberapa obat
dapat bersifat induktor enzim, sedangkan obat-obat lainnya dapat bekerja
menghambat kerja enzim. Baik induktor maupun inhibitor ini akan mempengaruhi
kadar dan efek obat lain yang dimetabolisme atau sebagai substrat dari enzim yang
sama.
Interaksi obat yang sering muncul pada lanjut usia antara lain perdarahan
lambung (tersering akibat NSAID dan bisfosfonat, terutama jika tanpa penjelasan yang
memadai, dan diberikan bersamaan dengan warfarin atau aspirin), mual muntah dan
aritmia akibat intoksikasi digitalis (terutama jika diberikan bersama diuretik tanpa
memantau kadar elektrolit maupun digitalis plasma), hipotensi ortostatik sampai jatuh
dan fraktur (terutama akibat pemberian teofilin bersamaan dengan antihipertensi kerja
sentral yang diberikan pagi hari), perubahan atau gangguan kesadaran akibat obat
hipnotik sedatif (pemberian obat kerja panjang atau yang diberikan bersamaan dengan
antidepresan golongan non SSRI, antagonis H-2, atau diuretik kuat.
C.3. Efek samping obat
Efek samping obat menurut WHO adalah reaksi obat yang berbahaya dan tidak
diinginkan, yang terjadi pada dosis normal baik untuk profilaksis, diagnosis, dan terapi
pada manusia. Efek samping obat meningkat dengan adanya polifarmasi dan
merupakan kejadian DRP paling banyak terjadi di rumah perawatan lansia. Terdapat 7
prediktor efek samping obat pada lansia, yaitu mendapat lebih dari 4 obat, perawatan
di rumah sakit lebih dari 14 hari, memiliki lebih dari 4 problem medis, perawatan di
bangsal geriatric, riwayat konsumsi alcohol, skor MMSE rendah (konfusio, demensia),
dan mendapatkan 2-4 tambahan obat baru selama perawatan di rumah sakit.
Sedangkan 4 prediktor efek samping berat pada lansia antara lain menggunakan obat-
obat tertentu seperti diuretik, NSAID, antiplatelet, dan digoksin; jumlah obat yang
diminum; usia; dan komorbid.
Pemberian obat-obat yang mengganggu fungsi kognitif pada lansia perlu
mendapat perhatian khusus, misalnya obat antiaritmia, antidepresan, antiemetik,
antihistamin, anti Parkinson, antipsikotik, benzodiazepin, digoksin, antagonis reseptor
histamin-2, NSAID, opioid, dan relaksan otot skeletal. Salah satu efek samping obat
berbahaya yang dialami lansia adalah jatuh. Sebuah systematic review menyatakan
bahwa obat-obat psikotropik seperti benzodiazepin, antidepresan, dan antipsikotik
memiliki potensi tinggi menyebabkan jatuh, sementara antiepilepsi dan anthipertensi
potensinya lebih rendah. Strategi pencegahan jatuh pada lansia sebaiknya mencakup
penyederhanaan dan modifikasi pengobatan untuk mencegah dan mengatasi efek
samping obat.
Masalah lain yang dapat timbul akibat pemberian obat pada pasien geriatri
adalah sindroma delirium atau acute confusional state. Tune (1999) menyebutkan
bahwa drug induced delirium adalah penyebab tersering dari sindroma ini yang
mekanismenya antara lain, akibat perubahan metabolisme obat terkait usia;
polifarmasi; interaksi beberapa obat; kekacauan pengobatan karena pasien sulit
mengingat; penurunan produksi dan turnover neurotransmiter terkait usia. efek
kumulatif obat antikolinergik paling sering menimbulkan sindroma delirium; seperti
diketahui bahwa neurotransmisi kolinergik memang menurun sejalan dengan
penambahan umur seseorang. Ternyata, beberapa obat yang sebenarnya bukan
tergolong antikolinergik namun jika diberikan pada usia lanjut akan memberikan efek
antimuskarinik; beberapa diantaranya adalah simetidin, ranitidin, prednisolon, teofilin,
digoksin, lanoksin, furosemid, isosorbid-dinitrat dan nifedipin. Semakin banyak obat
yang diberikan maka semakin besar pula kemungkinan efek antikolinergik yang bisa
muncul.
Berikut adalah strategi untuk mencegah efek samping obat pada lansia:
a. Mengevaluasi komorbid, kerapuhan, dan fungsi kognitif
b. Mengidentifikasi caregiver (keluarga atau orang lain yang merawat pasien) untuk
ikut bertanggungjawab terhadap manajemen pengobatan pasien
c. Mengevaluasi fungsi ginjal dan melakukan penyesuaian dosis jika diperlukan
d. Memonitor efek obat
e. Mengenali gejala dan tanda efek samping obat
f. Meminimalkan jumlah obat yang diberikan
g. Menyesuaikan terapi dengan harapan hidup pasien
h. Memberikan edukasi terkait swamedikasi dan kepatuhan pengobatan
C.4 Ketidakpatuhan pengobatan
Pasien lansia memiliki risiko tinggi tidak patuh terhadap pengobatan karena
kondisi multipatologis, penurunan fungsi kognitif, polifarmasi, dan tingginya biaya
pengobatan. Selain itu, kurangnya kepahaman pasien terhadap pengobatan, kurangnya
edukasi dari tenaga medis, rejimen terlalu kompleks dan mengganggu kenyamanan
pasien, terapi untuk kondisi asimtomatik (seperti hipertensi dan hiperlipidemia),
gangguan penglihatan/pendengaran, ketergantungan terhadap caregiver, riwayat tidak
patuh minum obat sebelumnya, tinggal sendirian, mengunjungi lebih dari 3 dokter,
serta penggantian obat lebih dari 4 kali dalam 12 bulan terakhir juga turut menjadi
penyebab ketidakpatuhan lansia terhadap pengobatannya sehingga efek maksimal dari
terapi tidak tercapai.
D. Peran Apoteker pada Perawatan Pasien Lanjut Usia
D.1. Pemantauan terapi obat
Pemberian obat pada lansia harus diupayakan serasional mungkin dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Periode pengobatan dibuat tidak terlalu lama agar bisa diadakan reevaluasi
secepatnya atas pengobatan yang diberikan
b. Jumlah/jenis obat dibuat seminimal mungkin, dengan mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
1) Obat diberikan atas diagnosis pasti, sebaiknya dihindari pemberian obat atas
dasar gejala
2) Harus diketahui dengan jelas efek obat, mekanisme kerja, dosis, dan efek
samping yang mungkin timbul. Apalagi ragu-ragu, lebih baik tidak memberikan
obat
3) Apabila diperlukan pemberian polifarmasi, dapat diprioritaskan pemberian obat
yang ditujukan untuk mengurangi gangguan fungsional
4) Pemberian obat dimulai dari dosis kecil, kemudian dititrasi setelah beberapa
hari (kecuali antiinfeksi langsung dengan dosis optimal)
c. Frekuensi pemberian obat diupayakan sesedikit mungkin, bila memungkinkan
diberikan 1 kali sehari, bisa diberikan bersamaan dengan kegiatan rutin harian,
misalnya makan.
d. Untuk obat-obat tertentu, dilakukan tapering off dosis sebelum obat dihentikan,
untuk mencegah sindrom putus obat.
e. Melakukan review/telaah secara teratur untuk mengidentifikasi kebutuhan akan
obat baru, atau menghentikan obat yang tidak diperlukan lagi.
f. Telaah kepatuhan pasien terhadap pengobatan
Selain hal-hal di atas, penting juga untuk memastikan pasien dan pengasuhnya dapat
mengetahui dan memantau secara mandiri efek pengobatannya.
D.2. Manajemen polifarmasi
Depresribing merupakan salah satu proses dalam manajemen polifarmasi.
Deprescribing adalah proses yang sistematis dalam mengidentifikasi dan menghentikan
obat pada kondisi dimana kerugian aktual maupun potensial lebih besar dibandingkan
manfaatnya baik aktual maupun potensial, di dalam konteks tujuan perawatan pasien
secara individu, tingkat fungsional saat ini, nilai harapan hidup, dan preferensi.
Deprescribing juga meliputi kegiatan mengurangi dosis obat. Deprescribing sebaiknya
dilakukan ketika ditemukan hal-hal sebagai berikut:
a.Polifarmasi
b. Muncul ADR
c.Bagian dari prescribing cascade
d. Tidak ada indikasi
e. Gejala/penyakit sudah hilang
f. Efek merugikan lebih besar daripada manfaatnya
g.Obat tidak efektif
h. Ketidakpatuhan
Peran apoteker dalam manajemen polifarmasi:
a. Melakukan review terhadap semua obat pasien (salah satunya dengan proses
rekonsiliasi obat).
b. Melakukan pengkajian terhadap obat-obat yang diterima pasien.
•Kriteria eksplisit (Beers Criteria & STOPP/START Criteria) dan implisit (Medication
Appropriateness Index)
•Deprescribing Tools
• The Anticholinergic Burden Calculator:
http://anticholinergicscales.es/calculate
• The Beers List: https://bit.ly/2GQhM2Y
• Deprescribing.org: https://deprescribing.org/
• MedStopper: http://medstopper.com/
c. Mengkomunikasikan dengan dokter jika ada usulan penghentian obat/perubahan
dosis.
d. Mereview pengobatan pasien secara rutin.
e. Memonitor potensi efek samping obat dan interaksi obat.
D.3. Rekonsiliasi obat
Review/telaah terhadap obat-obat yang diminum oleh pasien lansia pada setiap
kunjungan dapat mencegah terjadinya polifarmasi yang tidak tepat. Hal ini bertujuan
untuk memastikan bahwa rejimen obat diberikan sesuai dengan indikasi kliniknya,
mencegah atau meminimalkan efek yang merugikan akibat penggunaan obat dan
mengevaluasi kepatuhan pasien dalam mengikuti rejimen pengobatan. Jika tidak
memungkinkan dilakukan telaah ulang terhadap semua pasien lansia, kriteria prioritas
dapat ditetapkan antara lain sebagai berikut:
a. Mendapat 5 macam obat atau lebih, atau 12 dosis atau lebih dalam sehari
b. Mendapat obat dengan rejimen yang kompleks, dan atau obat yang berisiko tinggi
untuk mengalami efek samping yang serius
c. Menderita tiga penyakit atau lebih
d. Mengalami gangguan kognitif, atau tinggal sendiri
e. Tidak patuh dalam mengikuti rejimen pengobatan
f. Akan pulang dari perawatan di rumah sakit
g. Berobat pada banyak dokter
h. Mengalami efek samping yang serius, alergi
Peran apoteker dalam rekonsiliasi obat:

a. Memastikan informasi yang akurat tentang obat-obat yang digunakan


b. Mengidentifikasi adanya diskrepansi pada saat admisi, transfer, dan pulang
c. Menindaklanjuti diskrepansi melalui komunikasi dengan dokter atau tenaga
kesehatan lain
d. Konseling pasien
Tatalaksana telaah ulang rejimen pengobatan:
a. Melakukan pengambilan riwayat penggunaan obat pasien:
1) Meminta pasien untuk memperlihatkan semua obat yang sedang
digunakannya.
2) Menanyakan mengenai semua obat yang sedang digunakan pasien, meliputi:
obat resep, obat bebas, obat tradisional/jamu, obat suplemen.
3) Aspek-aspek yang ditanyakan meliputi: nama obat, frekuensi, cara penggunaan
dan alasan penggunaan.
4) Melakukan cek silang antara informasi yang diberikan pasien dengan data yang
ada di catatan medis, catatan pemberian obat dan hasil pemeriksaan terhadap
obat yang diperlihatkan pasien.
5) Memisahkan obat-obat yang seharusnya tidak digunakan lagi oleh pasien.
6) Menanyakan mengenai efek yang dirasakan oleh pasien, baik efek terapi
maupun efek samping.
7) Mencatat semua informasi di atas pada formulir pengambilan riwayat
penggunaan obat pasien.
b. Meneliti obat-obat yang baru diresepkan dokter.
c. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat
d. Melakukan tindakan yang sesuai untuk masalah yang teridentifikasi, contoh:
menghubungi dokter untuk mengkonfirmasi indikasi dari pemberian obat tertentu
Dalam melakukan telaah ulang rejimen obat, dapat menggunakan alat bantu misalnya
Medication Appropriateness Index, yang terdiri dari 10 pertanyaan untuk membantu
mengidentifikasi perlunya dilakukan penyederhanaan rejimen obat, antara lain sebagai
berikut:
a. Is there an indication for the medication?
b. Is the medication effective for the condition?
c. Is the dosage correct?
d. Are the directions correct?
e. Are the directions practical?
f. Are there clinically significant drug-drug interactions?
g. Are there clinically significant drug-disease/condition interactions?
h. Is there unnecessary duplication with other medication(s)?
i. Is the duration of therapy acceptable?
j. Is this medication the least expensive alternative compared to others of equal
utility?
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan telaah ulang rejimen obat adalah bahwa
polifarmasi yang tepat dan sesuai indikasi dapat saja terjadi pada pasien lansia yang
mengalami beberapa penyakit. Dalam hal ini, dukungan akan kepatuhan pengobatan
merupakan hal yang penting untuk mencapai efek terapi yang optimal.
D.4. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam minum obat
Penelitian membuktikan bahwa obat yang diresepkan tidak selalu sama dengan
obat yang diminum. Ketidakpatuhan pada pasien lansia cukup besar, sehingga dianggap
penting untuk memberikan penjelasan tentang penyakit dan pengobatannya. Untuk
mengurangi ketidakpatuhan pada pasien lansia dapat diupayakan hal-hal sebagai
berikut:
a. Penjelasan kepada pasien minimal mengenai efek obat yang diharapkan dan
cara minumnya terutama obat-obat khusus seperti inhaler, tetes mata, tetes
telinga, insulin membutuhkan penjelasan detail disertai praktek/demonstrasi.
Satu penelitian membuktikan bahwa penjelasan selama 15 menit kepada
pasien akan mengurangi kesalahan pengobatan, bahkan pada pasien yang
orientasinya sudah berkurang sekalipun. Selama memberikan edukasi perlu
diperhatikan fungsi penglihatan, pendengaran, fungsi menelan, kognitif,
gangguan motorik, status pendidikan, serta kemampuan pasien dalam
membaca dan menulis.
b. Pilihan sediaan yang paling mudah diterima pasien. Penurunan kepatuhan
sering dihubungkan dengan perubahan formulasi obat, variasi ukuran, bentuk,
warna dan rasa obat, efek samping yang tidak nyaman atau menyulitkan.
c. Wadah obat sebaiknya mudah dibuka, terbuat dari bahan yang transparan,
misalnya plastic atau gelas, karena lansia sering mengenali obat dari bentuk,
ukuran, dan warna tablet.
d. Etiket harus memberikan petunjuk yang jelas, misalnya “diminum 3 kali sehari
sesudah makan”. Petunjuk yang tidak jelas, seperti bd, tds, prn, seperti
dieprintahkan, seperti sebelumnya, harus dihindari. Kegunaan obat, misalnya,
untuk jantung, kencing manis, darah tinggi, akan mempermudah pasien untuk
patuh. Petunjuk sebaiknya ditulis dengna huruf cetak dan tebal.
e. Bantuan mengingat dengan wadah khusus (dosets, medidos) dapat membantu
mengingatkan pasien mengenai waktu minum obat.
f. Pengawasan minum obat, dapat dilaksanakan oleh keluarga, perawat
kunjungan rumah, pramu wreda, dan lain-lain. Pengawasan sebaiknya juga
dilakukan terhadap efek samping obat yang mungkin muncul.
D.5. Terlibat aktif dalam tim geriatri terpadu
Tim terpadu geriatri terdiri dari beberapa profesi kesehatan, salah satunya adalah
apoteker. Peran apoteker dalam tim geriatri terpadu sangat penting, terutama dalam
kegiatan asesmen geriatri terpadu (comprehensive geriatric assessment). Asesmen
geriatri bermanfaat pada pasien lanjut usia di bangsal khusus geriatri, di antaranya lama
rawat inap lebih singkat, lebih jarang terjadi penurunan fungsi kognitif dan fungsional,
serta angka kematiannya lebih rendah dibandingkan pasien yang dirawat di bangsal
umum. Asesmen geriatri sendiri juga dinilai efektif dalam memperbaiki kualitas hidup
dan mengurangi beban caregiver/perumat pada penderita usia lanjut. Di dalam suatu
literatur disebutkan bahwa menggabungkan kegiatan rekonsiliasi obat dan asesmen
geriatri terpadu sebelum memulai terapi sistemik untuk pasien lanjut usia dengan
penyakit kanker dapat memberikan dokter onkologist informasi yang tepat untuk
memberikan terapi kanker kepada lansia secara personal/individual, mengoptimalkan
dosis terapi untuk memberikan efikasi terbaik dan toksisitas minimal, serta
menurunkan kejadian interaksi obat.

VII. Referensi

Darmojo, B. and Martono, H., 2006. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi Ke-
3. Jakarta. Balai Pustaka FKUI.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.

Royal College of Physicians of Ireland. (2015). Comprehensive Geriatric Assessment - A


Summary adapted from Specialist Geriatric Team Guidance on Comprehensive Geriatric
Assessment National Clinical Programme for Older People(2016), (December 2015), 1–6.
Clinical Interventions in Aging 2020:15 1587–1598

Thamby, S.A. and Subramani, P., 2014. Seven-star pharmacist concept of WHO. Journal of
Young Pharmacists, 6(2), p.1.

Zazzara, M. B., Palmer, K., Liborio Vetrano, D., Carfì, A., & Graziano, · Onder. 2021. Adverse
Drug Reactions in Older Adults: a Narrative Review of the Literature. European Geriatric
Medicine, 12, 463–473.

Anda mungkin juga menyukai