Anda di halaman 1dari 43

TUGAS PEMBIAYAAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

COST BENEFIT ANALYSIS (CBA)

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah pembiayaan dan pengembangan kesehatan
Dosen : Tri Ani Marwati, Dr., S.E., M.Kes, Akt.,

Disusun Oleh:
BAIQ NABILA ISLAMI (1800029251)
ANISTIA PRATIWI (1800029252)
DEBY MIA ANGGRAENI (1800029253)
FERNANDA WINTANG ATHA (1800029254)
NAMIRA AISYAH LUGIANA (1800029255)
SENDY MARTHA MARETA (1800029257)
TITIM MARTINI (1800029258)
JIHAN OKTAVIANI AMALIA (1800029259)
DIRATUL AMELIA ZULANDA (1800029260)
AYU NURSUCITA (1800029262)
REVLYNE SAVIRA PRASETYO (1800029264)
SHAFA NABILA KAMAL (1800029265)
DELLIA CHOIRUNNISAH (1800029266)
SHERINA AMALIA PUTRI (1800029267)
MELIYANTO TAUFIK (1800029268)
HASANAIN MUWAHHID (1800029270)
DWI RATNA RAHAYU (1800029271)
FITRIANINGSIH SIKUMBANG (1800029273)
KHANSA ALIYYA R. (1800029274)
NABILA SHOLEHA (1800029275)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
2020
A. Konsep Pembiayaan Kesehatan
1. Pengertian Pembiayaan Kesehatan
Sistem pembiayaan kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya
penggalian (collecting : sumber pembiayaan), pengalokasian (allocating) dan
pembelanjaan sumber daya keudangan (purchasing : pemanfaatan) secara terpadu dan
saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya (unsur pembiayaan kesehatan dalam ayat 2 pasal 170 Undang-Undang
Kesehatan No 36 tahun 2009). Sistem pembiayaan ini merupakan subsistem dari Sistem
Kesehatan Nasional (SKN). Tujuan pembiayaan kesehatan adalah untuk penyediaan
pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah mencukupi, teralokasi
secara adil (equity), dan termanfaatkan secara berhasil guna (efektif), dan berdaya guna
(efisien) untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan, agar meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya (Bab XV. Pembiayaan Kesehatan pasal
170, UU Kesehatan No 36 tahun 2009) (Supriyanto dkk, 2018). Biaya kesehatan adalah
besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan
berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan
masyarakat (Setyawan, 2018).
Biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut yaitu berdasarkan:
a. Penyedia Pelayanan Kesehatan (Health Provider), adalah besarnya dana yang harus
disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan, maka biaya kesehatan
dari sudut penyedia pelayanan adalah persoalan utama pemerintah dan ataupun pihak
swasta, yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan upaya kesehatan. Besarnya
dana bagi penyedia pelayanan kesehatan lebih menunjuk kepada seluruh biaya
investasi (investment cost) serta seluruh biaya operasional (operational cost).
b. Pemakai Jasa Pelayanan (Health consumer), adalah besarnya dana yang harus
disediakan untuk dapat memanfaatkan jasa pelayanan. Dalam hal ini biaya kesehatan
menjadi persoalan utama para pemakai jasa pelayanan, namun dalam batas-batas
tertentu pemerintah juga turut serta, yakni dalam rangka terjaminnya pemenuhan
kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkannya. Besarnya
dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih menunjuk pada jumlah uang yang harus
dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat memanfaatkan suatu upaya kesehatan.
(Azwar, A. 1999 dalam Jurnal Setyawan, 2018).
Pembiayaan kesehatan memegang peranan untuk penyelenggaraan pelayanan
kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan
di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable
access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality). Fokus penting
kebijakannya yakni kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin
terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan
efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri.Perencanaan dan
pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai (health care financing) akan menolong
pemerintah di suatu negara untuk dapat memobilisasi sumber-sumber pembiayaan
kesehatan, mengalokasikannya secara rasional serta menggunakannya secara efisien dan
efektif(Departemen Kesehatan RI, 2004 dalam Jurnal Setyawan, 2018).
Sistem pembiayaan Kesehatan di Indonesia (SKN, 2009):
Subsistem Pembiayaan kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai
upaya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan sumberdaya keuangan secara terpadu
dan saling mendukung guna menjamin tercapainya kesehatan setinggi-tingginya.
Tujuannya adalah tersedianya pembiayaan kesehatan yang mencukupi, teralokasi secara
adil dan termanfaatkan secara berhasilguna dan berdayaguna untuk menjamin
terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.
2. Pembiayaan kesehatan dari sisi penyelenggaraan dan pengguna
Untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat terhadap kesehatan banyak
hal yang harus dilakukan, salah satunya adalahpenyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Secara umum dapat dibedakan 9 syarat penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang baik,
yakni (Azwar Azrul ,1999):
a. Tersedia (available)
b. Menyeluruh (comprehensive)
c. Berkesinambungan (countinues)
d. Terpadu (integrated)
e. Wajar (appropiate)
f. Dapat diterima (acceptable),
g. Bermutu (quality)
h. Tercapai (accessible) serta
i. Terjangkau (affordable).
Proses pelayanan kesehatan tidak bisa dipisahkan dengan pembiayaan kesehatan.
Biaya kesehatan ialah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan
atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga,
kelompok dan masyarakat. Berdasarkan pengertian ini, maka biaya kesehatan dapat
ditinjau dari dua sudut yaitu berdasarkan:
a. Penyedia Pelayanan Kesehatan (Health Provider), adalah besarnya dana yang harus
disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan, maka dilihat pengertian
ini bahwa biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan adalah persoalan utama
pemerintah dan ataupun pihak swasta, yakni pihak-pihak yangakan
menyelenggarakan upaya kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia pelayanan
kesehatan lebih menunjuk kepada seluruh biaya investasi (investment cost) serta
seluruh biaya operasional (operational cost).
b. Pemakai Jasa Pelayanan (Health consumer), adalah besarnya dana yang harus
disediakan untuk dapat memanfaatkan jasa pelayanan. Dalam hal ini biaya kesehatan
menjadi persoalan utama para pemakai jasa pelayanan, namun dalam batas-batas
tertentu pemerintah juga turut serta, yakni dalam rangka terjaminnya pemenuhan
kebutuhan pelayanan kesehatan bagimasyarakat yang membutuhkannya. Besarnya
dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih menunjuk pada jumlah uang yang harus
dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat memanfaatkan suatu upaya kesehatan.
(Azwar, A. 1999).
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang
peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka
mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara
diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to
health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality). Oleh karena itu reformasi
kebijakan kesehatan di suatu negara seyogyanya memberikan fokus penting kepada
kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan
(adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari
pembiayaan kesehatan itu sendiri(Departemen Kesehatan RI, 2009).

Model System Pembiayaan

Pertanyaan yang mengemuka ialah model kebijakan kesehatan seperti apa yang
layak diterapkan di Indonesia, sistem pembiayaan yang bagaimana yang cocok dengan
kehidupan masyarakat kita. Terdapat beberapa model sistem pembiayaan pelayanan
kesehatan yang dijalankan oleh beberapa negara, berdasarkan sumber pembiayaannya:
a. Direct Payments by Patients Ciri utama model direct payment adalah setiap individu
menanggung secara langsung besaran biaya pelayanan kesehatan sesuai dengan
tingkat penggunaannya. Pada umumnya sistem ini akan mendorong penggunaan
pelayanan kesehatan secara lebih hati-hati, serta adanya kompetisi antara para
provider pelayanan kesehatan untuk menarik konsumen atau free market.
b. User payments Dalam model ini, pasien membayar secara langsung biaya pelayanan
kesehatan baik pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta.
c. Saving based Model ini mempunyai karakteristik ‘risk spreding’ pada individu namun
tidak terjadi risk pooling antar individu. Artinya biaya kesehatan langsung, akan
ditanggung oleh individu sesuai dengan tingkat penggunaannya, namun individu
tersebut mendapatkan bantuan dalam mengelola pengumpulan dana (saving) dan
penggunaannya bilamana membutuhkan pelayanan kesehatan. Biasanya model ini
hanya mampu mencakup pelayanan kesehatan primer dan akut, bukan pelayanan
kesehatan yang bersifat kronis dan kompleks yang biasanya tidak bisa ditanggung
oleh setiap individu meskipun dengan mekanisme saving.
d. Informal Ciri utama model ini adalah bahwa pembayaran yang dilakukan oleh
individu pada provider kesehatan formal misalnya dokter, bidan tetapi juga pada
provider kesehatan lain misalnya: mantri, dan pengobatan tradisional; tidak dilakukan
secara formal atau tidak diatur besaran, jenis dan mekanisme pembayarannya.
e. Insurance Based Sistem pembiayaan dengan pendekatan asuransi mempunyai
perbedaan utama dimana individu tidak menanggung biaya langsung pelayanan
kesehatan. Konsep asuransi memiliki dua karakteristik khusus yaitu pengalihan resiko
kesakitan pada satu individu pada satu kelompok serta adanya sharing looses secara
adil.
Model Asuransi Kesehatan Pembiayaan pelayanan kesehatan, semakin meningkat
dari waktu ke waktu dan dirasakan berat baik oleh pemerintah, dunia usaha terlebih
masyarakat pada umumnya, untuk itu, sebagian besar negara memilih model pembiayaan
kesehatan bagi rakyatnya, yang diberlakukan secara nasional, berbagai model yang
dominan implementasinya disesuaikan dengan keadaan di negara masingmasing.
Beberapa model yang dominan adalah
a. Model asuransi kesehatan sosial ( Social Health Insurance). Model ini dirintis sejak
Jerman dibawah Bismarck pada tahun 1882. Model inilah yang berkembang di
beberapa Negara Eropa, Jepang (sejak 1922) dan kemudian ke nonformal dan self
employed. Program bagi Negaranegara Asia lainnya yakni Philipina, masyarakat
miskin seringkali dikembangkan Korea, Taiwan dll. Kelebihan sistem ini menjadi
bagian dari kelompok non formal, atau memungkinkan cakupan 100% penduduk dan
dikembangkan secara tersendiri bergantung relatif rendahnya peningkatan biaya
pelayanan kepada kebijakan negara. Program asuransi kesehatan kesehatan sosial di
berbagai Negara
b. Model asuransi kesehatan komersial menunjukkan terjadinya peningkatan akses
(Commercial/Private Health Insurance). Model seluruh penduduk ke fasilitas
kesehatan serta ini berkembang di AS. Namun sistem ini gagal terjadinya
pengendalian biaya. mencapai cakupan 100% penduduk. Sekitar 2) Di berbagai
negara, program ini dimulai dengan 38% penduduk tidak tercakup dalam sistem.
beberapa badan penyelenggara akan tetapi Selain itu terjadi peningkatan biaya yang
amat jumlah tersebut semakin menurun. Dimulai besar karena terbukanya peluang
moral dengan kerjasama/koordinasi diantara hazard. Sejak tahun 1993; oleh Bank
Dunia berbagai badan penyelenggara, selanjutnya direkomendasikan pengembangan
model terjadi merger sehingga akhimya menjadi satu Regulated Health Insurance
dimana bad an pen ye Ieng gar a yang kepesertaan berdasarkan kelompok dengan
menyelenggarakan program secara nasional syarat jumlah minimal tertentu sehingga
{contoh; Taiwan, Korea Selatan). Deogan mengurangipeluangmoralhazard demikian
bargaining power badan
c. Model NHS (National Health Services) yang penyelengara semakin besar, sementara
dirlntis pemerlntah lnggris sejak usai perang hukum the law of the large number juga
dunia kedua. Model ini juga membuka peluang semakin besar. cakupan 100%
penduduk. Na mun pembiayaan Perkembangan asuransi kesehatan sosial di kesehatan
yang dijamin melalui anggaran berbagai negara telah mengubah konsep asuransi
pemerintah akan menjadi beban yang berat (Thabrany, Hasbullah, 2010, Sejarah
Asuransi Kesehatan, Jakarta: Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan Universitas
Indonesia.)
3. Keterkaitan belanja kesehatan dengan indicator kesehatan
Belanja kesehatan merupakan salah satu fokus belanja pemerintah yang
dikategorikan berdasarkan fungsinya.Berdasarkan pentingnya capaian indikator
kesehatan di Indonesia, hasil studi terdahulu mengenai hubungan antara belanja
kesehatan pemerintah dengan capaian indikator kesehatan yang belum konsisten,
besarnya peran pemerintahan tingkat daerah dalam sektor kesehatan, serta dugaan adanya
peran dari korupsi, penelitianini bertujuan untuk menguji hipotesis mengenai signifikansi
pengaruh daribelanja kesehatan pemerintah dan tingkat korupsi terhadapindikator
kesehatan pada daerah tingkat kabupaten/kota di Indonesia.
Urusan kesehatan merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Dalam
struktur APBD, belanja kesehatan merupakan salah satu fokus belanja pemerintah daerah
yang dibagi berdasarkan fungsinya. Pengelolaan urusan baik dalam hal operasional
maupun keuangan yang berada pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah diharapkan
akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan pelayanan kesehatan di
Indonesia, yang selanjutnyaakan meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat di
Indonesia.
Sebagai salah satu sumber utama pendanaan dalam penyediaan layanan dan
fasilitas kesehatan di Indonesia, belanja kesehatan pemerintah diduga memiliki peranan
penting dalam menunjang capaian indikator kesehatan di Indonesia. Peningkatan belanja
kesehatan pemerintah diharapkan akan membawa perbaikan pada layanan dan fasilitas
kesehatan. Layanan dan fasilitas kesehatan yang semakin baik diharapkan akan diiringi
oleh perbaikan tingkat kesehatan penduduk di Indonesia.
Penyediaan layanan dan fasilitas pendukung kesehatan yang tidak optimal pada
suatu daerah akan berdampak buruk bagi capaian indikator kesehatan masyarakat pada
daerah yang bersangkutan.

B. Masalah-masalah Konseptual Pendanaan Kesehatan di Indonesia


Rendahnya pendanaan kesehatan dan cakupan asuransi kesehatan sosial di Indonesia
sangat dipengaruhi oleh ketidaktahuan dan ketidakpedulian pemerintah dalam melindungi
penduduknya dari proses pemiskinan karena mahalnya biaya kesehatan (Thabrany, 2008).
Ada beberapa masalah pokok yang menjadi penyebab penting dalam rendahnya
pendanaan kesehatan di Indonesia yang kemudian berakibat rendahnya mutu manusia
Indonesia:
a. Pola Pikir Jangka Panjang
Kebanyakan masyarakat Indonesia, termasuk para pimpinan bangsa masih
terjebak kepada kepentingan jangka pendek dengan program-program pemerintah yang
lebih mengutamakan pembangunan yang tampak dengan mata seperti membangun
gedung kantor yang bagus, taman yang indah, pembelian alat alat canggih dan
sebagainya. Pembangunan sumber daya masih jauh tertinggal. Pola piker kebanyakan
orang memang masih didominasi kepentingan jangka pendek. Masih didominasi
kepentingan sendiri, baik perorangan maupun kelompok, belum benar-benar memikirkan
kepentingan bangsa dan generasi di masa depan.
b. Salah Terap Pelayanan Kesehatan: Sumber dana daerah
Investasi (menanam atau membangun) SDM yang kuat memang membutuhkan
waktu lama dan banyak orng tidak melihat manfaat pembangunan jangka panjang.
Meskipun ada pihak swasta yang mampu melihat manfaat jangka panjang tetapi mereka
tidak tertarik untuk menanam karena pihak swasta meskipun memiliki visi jangka
panjang umumnya berorientasi kepentingan sendiri.
Pihak swasta memang tertarik untuk membangun rumah sakit di daerah dimana
pendapatan penduduk relatif tinggi. Membangun rumah sakit memang memakan waktu
hanya satu atau dua tahun saja, setelah itu pelayanan sudah dapat diberikan. Apabila
pihak swasta berhasil merayu pimpinan daerah dengan menyodorkan bangunan fisik yang
megah dan alat yang canggih maka pihak swasta dapat dukungan pimpinan pemda.
Pimpinan pemda ikut mempromosikan investasi jangka pendek tersebut. Rakyat di
daerah tersebut akan bayar mahal untuk berobat di rumah sakit ini. Pemerintah bahkan
ikut menikmati biaya yang ditarik rumah sakit terhadap penduduk yang sakit dan harus
membayar mahal dengan menarik pajak penghasilan dan pajak lain. Dengan kata lain,
pemerintah mengambil keuntungan yang cukup besar dalam jangka pendek dari
rakyatnya yang sakit. Namun sebenarnya pemerintah telah menciptakan kerugian besar
jangka panjang karena banyak rakyat yang sakit tetapi tidak mampu berobat sehingga
berpotensi menurunkan tingkat produktifitas.
c. Kurang Prioritas dan Kurang Komitmen
Perhatian atau prioritas pembangunan manusia di Indonesia sejak Orde Baru
boleh dikatakan kurang besar dibandingkan dengan prioritas pembangunan modal tidak
tahan lama (prasarana dan industri). Kesan tersebut dapat diambil dari kecenderungan
belanja pemerintah untuk kesehatan yang dilihat dari belanja sektor kesehatan yang
selama 20 tahun lebih tidak mengalami perubahan berarti jika dihitung dalam dolar
Amerika. Jika dihitung belanja pemerintah per orang per tahun dalam rupiah terdapat
peningkatan. Namun peningkatan dalam jumlah rupiah tidak dapat diartikan sebagai
peningkatan riil karena nilai inflasi dan rendahnya nilai tukar rupiah dari waktu ke waktu.
Memang pada umumnya negara berkembang mengeluarkan dana, baik dari
sumber pemerintah maupun dari sumber masyarakat yang tidak terlalu banyak. Hal ini
disebabkan karena kebanyakan negara memandang pendanaan kesehatan dengan keliru,
yaitu hanya sebagai beban pengeluaran jangka pendek. Padahal pengeluaran tersebut
merupakan investasi modal manusia jangka panjang yang sangat strategis dan memiliki
nilai politis yang tinggi (Thabrany, 2006).

1. Tarif Terjangkau
Pendanaan kesehatan merupakan suatu cara dalam memungkinkan seseorang
memenuhi kebutuhan medisnya. Berdasarkan Permenkes RI Nomor 59 Tahun 2014
tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan, tarif pelayanan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama meliputi tarif
kapitasi dan tarif non kapitasi. Tarif kapitasi adalah besaran pembayaran perbulan yang
dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehattan Tingkat Pertama
(FKTP) berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan
jumlah pelayanan kesehatan (Thabrany, 2006).
Pada penetapan tarif biasanya melibatkan para manajer, seperti manajer produk,
manajer peningkatan kunjungan dan manajer lainnya. Tarif pelayanan rumah sakit
merupakan nilai yang nyata yang bisa dilihat dan dirasakan oleh pasien berkaitan
dengan pemanfaatn pelayanan produk jasa kesehatan di rumah sakit. Besarnya tarif
pelayanan rumah sakit merupakan salah satu yang mendasari keputusan sang paisen
untuk memanfaatkan atau tidak memanfaatkan pelayanan rumah sakit. Berdasarkan hal
tersebut dalam hal menentukan tarif suatu pelayanan di rumah sakit banyak hal yang
harus dipertimbangkan yaitu (Zebua, 2018) :
a. Biaya dari setiap pelayanan
b. Tarif pelayanan dari rumah sakit pesaing dan tariff pelayanan subitusi
c. Penilaian pelanggan terhadap keistimewaan produk jasa kesehatan atau pelayanan
rumah sakit.
Rumah sakit dalam melakukan pelayanan menerapkan tarif yang harus
dikeluarkan pasien atas jasa pelayanan yang telah diberikan. Besar kecilnya tarif
pelayanan di rumah sakit berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan kepada pasien.
Tarif pelayanan di rumah sakit seperti tarif pelayanan rawat jalan eksklusif. Besaran tarif
pelayanan rawat jalan eksklusif disetiap rumah sakit ditetapkan oleh maisng-masing
kepala atau direktur rumah sakit sesuai dengan penghitungan tarif rumah sakit. Peserta
JKN, besarnya tarif pelayanan rawat jalan eksklusif di rumah sakit sesuai dnegan
ketentuan undang-undang (Rikomah, 2017.
Adapun tujuan penerapan tariff adalah sebagai berikut (Zebua, 2018):
a. Cost recovery
Kemampuan rumah sakit untuk menutup biaya yang dikeluarkan dari pendapatan
yang diperoleh, sehingga mencapai target pemulihan biaya yang diharapkan.
b. Subsidi silang
Penentuan tarif ditunjukan untuk mengadakan kseimbangan penggunaan
pelayanan bagi masyarakat ekonomi lemah.
c. Maksimalisasi pendapatan
Untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan
sehingga menghasilkan profit.
d. Minimalisasi penggunaan pelayanan
Menetapkan tarif yang tinggi, biasanya digunakan pada pelayanan yang biaya
operasionalnya tinggi.
e. Maksimalisasi penggunaan pelayanan
Melakukan penetapan tarif yang serendah-rendahnya, biasanya digunakan pada
pelayanan yang biaya tidak tetapnya rendah.
2. Pendanaan Fasilitas
Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 191 negara dalam Indeks Pembangunan
Manusia, Hal ini berarti mutu kesehatan bangsa ini juga masih rendah, faktor yang
membuat kita tetap sehat masih rendah, lingkungan hidup kita (udara, biologis, kimiawi,
sosial dll) masih jauh dari lingkungan yang memungkinkan kita hidup sehat dan produktif
dari hari ke hari, dan kualitas pelayanan kesehatan kita masih jauh dari baik. Salah satu
akar masalah terpenting adalah pendanaan (financing) program dan pelayanan kesehatan
di Indonesia yang jauh dari memadai. Pengalokasian dana yang dikucurkan dalam sektor
kesehatan masih jauh dari memadai. Adapun masalah masalah pendanaan fasilitas di
Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Rendahnya belanja kesehatan
Rendahnya kinerja sistem kesehatan kita sangat berkorelasi dengan rendahnya
belanja kesehatan yang hanya naik dari 2,9% Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun
1999 menjadi 3,1% PDB di tahun 2003. Sementara di Cina belanja kesehatan naik
dari 4,9% PDB di tahun 1999 menjadi 5,6% PDB di tahun 2003, dan di India turun
sedikit dari 5,1% menjadi 4,8% PDB. Yang menarik adalah bahwa pada periode
tersebut, Pemerintah China membelanjakan antara 9,7% - 12,5% anggaran
pemerintah untuk kesehatan dan Filipina menghabiskan 4,9% - 7,1%, dan pemerintah
Indonesia hanya membelanjakan 3,8% - 5,1% anggaran pemerintah untuk kesehatan
(WHO, 2006). Rendahnya belanja kesehatan Indonesia merupakan salah satu
indikator rendahnya komitmen pemerintah dan lemahnya kebijakan sosial bidang
kesehatan.
b. Pemanfaatan Dana Kapitasi
Mengacu pada Perpres No. 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan
Dana Kapitasi JKN pada fasilitas kesehatan tingkat pertama milik Pemerintah
Daerah, dan Permenkes No. 19 Th. 2014 tentang Penggunaan dana kapitasi JKN
untuk jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pada fasilitas
kesehatan tingkat pertama milik Pemerintah Daerah , maka dasar 60% untuk jasa
pelayanan dan 40% untuk biaya operasional perlu ditinjau kembali. Premi tersebut
pada tahun 2015 akan ditingkatkan menjadi Rp. 22.500,- per peserta per bulan, yang
dibayar oleh pemerintah (Donald, 2015 dalam Budiarto dan Kristiana 2015).
Penggunaan dana kapitasi di puskesmas sebagian besar digunakan untuk
membayar jasa dan sisanya untuk operasional. Klinik pratama menggunakan sebagian
besar dana kapitasi untuk membayar jasa, dan sisanya untuk operasional, dan
dokter/dokter gigi praktek perseorangan, untuk jasa dan operasional relatif sama. Biaya
kapitasi terbanyak digunakan untuk obat-obatan sedangkan dokter gigi praktek banyak
menggunakan untuk lisktrik. Agar klinik pratama bisa berfungsi sebagai provider BPJS
kesehatan secara komprehensif, maka sebaiknya setiap klinik menyediakan fasilitas UGD
sehingga dapat digunakan untuk kasus-kasus ‘emergency’ bagi peserta. Disarankan pula
untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada swasta untuk mendirikan klinik
pratama dan praktek dokter bersama (dokter umum dan dokter gigi) dan menambah
kerjasama BPJS dengan klinik-klinik lainnya (Budiarto dan Kristiana, 2015). Dari hal-hal
yang disampaikan diatas menjadi salah satu penyebab dimana pada tahun 2019
mekanisme pemanfataan dana kapitasi dievaluasi dikarenakan kurang optimalnya
implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Barang publik sangat terkait dengan konsep ekonomi lain seperti eksternalitas,
yang mengarah pada biaya dan manfaat yang tercipta di pasar yang bersifat tambahan dan
eksternal terhadap produk yang diproduksi dan dibeli dipasaran (public goods are
strongly related to another economic concept: that of externalities, which point to costs
and benefits that are created in markets that are additional and external to the product
that was produced for and bought on the market). (berg, 2011)
Barang publik (public goods) Karakteristik barang non-rival dan non-excludable
seharusnya disediakan oleh negara. Nonprofittype institutions involve redistribution,
meaning that the individual who pays for the good is not the (sole) beneficiary of the
good (Witesman, 2016). Lembaga pemerintah bertanggung jawab untuk mendistribusikan
barang publik kepada masyarakat namun barang tersebut seperti telah diuraikan
sebelumnya akan tidak dapat dinikmati secara gratis bila nonprofit organization telah
diprivatisasi. Masalah yang sering melekat pada barang publik antara lain: (1.) barang
publik tidak akan pernah menguntungkan bagi negara, karena biaya produksi maka
barang tersebut harus bernilai tambah buat negara dengan beberapa asumsi dan diperoleh
secara umum namun harus di bayar; (2.) konsep ekonomi yang selalu mencari
keuntungan memaksa barang publik (public goods) tidak lagi dapat diperoleh secara
gratis; dan (3.) bagaimana pemerintah bisa memutuskan barang tersebut bisa gratis,
ketika penghasilan negara masih mengandalkan pada sektor pajak yang dipungut.
Kondisi ini, membuat barang publik tidak bermakna hanya dikatakan barang public.
Menurut Warner (2011) memberikan penekanan karakteristik pokok dari barang
publik, barang ini tidak dapat dimiliki dan hanya bisa dinikmati. Karakteristik tersebut
dapat memberikan arti karena pertama, konsumsi barang umum oleh satu orang tidak
mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain dan tidak perlu bagi seseorang untuk
memilikinya agar dapat memanfaatkannya; Kedua, tidak ada persaingan (non-rival) di
dalam konsumsinya, satu orang dapat meningkatkan kepuasannya dari barang ini tanpa
mengurangi kepuasan orang lain. Barang-barang publik tidak dikonsumsi dalam arti
dipakai habis, tetapi barang-barang ini dinikmati; Ketiga, tidak dikecualikan (non-
excludable). Tidak ada cara untuk mengecualikan siapa pun agar dapat memanfaatkan
barang umum yang murni. Manfaat barang publik juga dapat dirasakan oleh banyak
orang meskipun ada yang tidak ikut membayar dalam penyediaan barang publik tersebut.
Dengan demikian, karakteristik non-rival dan non-excludable bervariasi pada setiap
barang.
3. Pemahaman Kesehatan Sebagai Konsumsi Belaka, Salah Paham Konsep Public goods
dan Private Goods
Barang publik belum tentu dikatakan barang publik, karena untuk
mendapatkannya harus perlu usaha dan mengeluarkan sesuatu. Semestinya barang publik
dapat dinikmati masyarakat tanpa persaingan. Barang-barang tersebut dapat dipahami
sangat sulit untuk menyediakannya, di sisi lain barang ini juga akan menghasilkan
keuntungan, tapi dibeberapa kondisi sulitnya penyediaan barang publik disebabkan oleh
mekanisme kegagalan pasar dan sangat berkontribusi terhadap kestabilan keadaan
ekonomi dan sosial di suatu negara. Barang publik juga berkontribusi dalam menjaga
keselarasan kehidupan berbangsa dan bernegara dan mempererat kesatuan pada setiap
warga negara (Kallhoff, 2014).
Barang pribadi (private goods) Karakteristik rival dan excludable, merupakan
barang kebutuhan horizontal setiap individu, jelas untuk mendapatkannya harus
memerlukan usaha. Sebagai contoh ketika kita ingin memiliki sebuah sepeda, maka
untuk memilikinya perlu usaha dengan cara mengeluarkan sejumlah uang kemudian
menjadi milik pribadi. Contoh lainnya seperti “tubuh” (extreme private good) yang
hanya dimiliki oleh pemilik tubuh tersebut. Kebutuhan yang harus dipenuhi sesuai
dengan kebutuhan dan manfaat, pola untuk memperoleh harus diikuti dengan
pengetahuan, tapi pengetahuan tidak selalu menjadi prasyarat untuk menjaga
keberlangsungan common goods. Budaya juga sangat berpengaruh dalam menjaga
common goods seperti kebiasaan adat Suku Anak Dalam (Jambi), Suku Baduy
(Banten) yang menjaga keseimbangan alam. (murti, 2003)
Barang public murni memilki dua karakteristik (1) nonrival dan (2)
nonexcludable. Pertama barang public tidak akan habis disebut nonrival atau
inexhaustible) artinya, sekali produksi maka diperlukan biaya tambahan bagi orang dalam
menggunakan barang itu, dengan kata lain, biaya marginal bagi pengguna tambahan
adalah 0,MC = 0. Kedua barang public bersifat noneksklutif. Artinya orang tidak dapat
dicegah untuk menggunakan barang public apabila barang tersebut tersedia. (murti, 2003)
Private goods (barang swasta, barang pribadi) bersifat rival atau exhaustible,
artinya akan habis setelah dikonsumsi, misalnya pil (dengan huruf kecil ) atau waktu
konsultasi seorang dokter. Jika seorang pasien menggunakan waktu kkonsultasi yg
tersedia untuk pasien – pasien berikutnya akan berkurang. Sebaliknya, formula pil itu
sendiri da nisi konsultasi dokter berupa nasihat bahwa mengkonsumsi makanan kaya
akan vitamin C mengurangi risiko kanker, tidak bisa habis setelah dikonsumsi. (murti,
2003)
Barang swasta bersifat excludable (eksklusif), artinya jika seorang menggunakan
barabg itu makaorang lain tidak dapat menggunakannya. Pelayanan bedah seorang ahli
ortopedi kepada seorang pasien merupakan barang swasta. Hal ini karena bersifta
eksklusif untuk pasien tersebut yg tidak dapat digantikan atau dipindahkan kepada pasien
lainnya. Sifat eksklusif memudahkan ahli ortopedi untuk mengenakan biaya atas
penggunaan pelayanan yg diberikan dan meminta pengguna pelayanan membayar biaya
produksi. (murti, 2003)
Sebaliknya, barang – barang public seperti udara bersih, panduan mercusuar,
maupun informasi tentang pencegahan SARS (sindroma pernapasan akut parah) bersifat
noneksklusuf. Siapapu bisa menggunakan barang public danpa dapat dicegah. Maka tidak
seorang pun mempunyai dorongan untuk membayar barang itu, inilah problem yg
terkenal dengan istilah free rider (pembonceng gratis). Dikatakan problem karena jika
tidak ada seorang pun dengan sukarela atau mau membayar untuk penyediaan barang
public, tidak aka nada orang yg mau menyediakan barang public. Terjadilah kejadian yg
disebut kegagalan pasar (market failure). Disinilah pemerintah diperkenankan untuk
campur tangan dengan ekonomi pasar dengan bertindak sebagai penyedia atau pembeli
barang atau pelayanan. Sebagai contoh, pemerintah (Dapartemen Kesehatan)
menyediakan program pencegahan SARS kepada masyarakat, menyelenggarakan
berbagai program pemberantasan naymuk, seperti penyemprotan dan larvisida,
membiayai dan menyelenggarakan penelitian tentang HIV/AIDS. (murti, 2003)

C. Investasi Keshatan
1. Alasan Perlunya Membuat Kebijakan Investasi Kesehatan
Proses pelayanan kesehatan tidak dapat dipisahkan dengan pembiayaan
kesehatan. Bagi penyedia pelayanan kesehatan, biaya kesehatan merupakan besarnya
dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan, maka
dilihat dari pengertian ini biaya kesehatan adalah persoalan utama pemerintah dan
ataupun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan upaya kesehatan.
Besarnya dana bagi penyedia pelayanan kesehatan lebih menunjukkan kepada seluruh
biaya investasi (Setyawan, 2015).
Kebijakan dapat diartikan sebagai pendanaan untuk bertindak, pedoman itu boleh
jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur
atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif-kuantitatif, publik atau prifat
(Wahab, 2001).
Investasi merupakan salah satu pilar pertumbuhan ekonomi. Investasi dapat
berupa investasi modal fisik dan investasi modal manusia. Investasi fisik yakni semua
pengeluaran yang dapat menciptakan modal baru. Sedangkan investasi sumber daya
manusia dapat berupa nilai-nilai pembelajaran dan pengalaman yang ada dalam diri
tenaga kerja seperti peningkatan produktivitas dan pendapatan. Beberapa bentuk investasi
sumber daya manusia dapat berupa pendidikan, kesehatan maupun migrasi (Sjafii, 2009).
Kebijakan kesehatan merupakan seluruh sarana dan prasarana untuk mencapai
tujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Kebijakan kesehatan melingkupi
berbagai upaya dan tindakan pengambilan keputusan yang meliputi aspek teknis medis
dan pelayanan kesehatan, serta keterlibatan pelaku/aktor baik pada skala individu
maupun organisasi atau institusi dari pemerintah, swasta, LSM dan representasi
masyarakat lainnya yang membawa dampak pada kesehatan. Secara sederhana kebijakan
kesehatan dipahami persis sebagai kebijakan publik yang berlaku untuk bidang kesehatan
(Dumilah, 2014).
Keputusan investasi adalah suatu kebijakan atau keputusan yang diambil untuk
menanamkan modal pada satu atau lebih aset untuk mendapatkan keuntungan di masa
yang akan datang atau permasalahan bagaimana manajer keuangan harus mengalokasikan
dana kedalam bentuk-bentuk investasi yang akan dapat mendatangkan keuntungan di
masa yang akan datang (Tandelilim dan Eduardus, 2010).
Kebijakan kesehatan memiliki karakteristik tersendiri yang mengakomodasikan
keunikan sektor kesehatan antara lain adalah (Dumilah, 2014) :
a. Sektor kesehatan amat kompleks karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan
kepentingan masyarakat luas. Dengan perkataan lain, kesehatan menjadi hak dasar
setiap individu yang membutuhkannya secara adil dan setara. Artinya, setiap individu
tanpa terkecuali berhak mendapatkan akses dan pelayanan kesehatan yang layak apa
pun kondisi dan status finansialnya.
b. Consumer ignorance, keawaman masyarakat membuat posisi dan relasi “masyarakat-
tenaga medis” menjadi tidak sejajar dan cenderung berpola paternalistik. Artinya
masyarakat atau dalam hal ini pasien, tidak memiliki posisi tawar yang baik, bahkan
hampir tanpa daya tawar ataupun daya pilih.
c. Kesehatan memiliki sifat uncertainty atau ketidakpastian. Kebutuhan akan pelayanan
kesehatan sama sekali tidak berkait dengan kemampuan ekonomi rakyat. Siapa pun ia
baik dari kalangan berpunya maupun miskin papa ketika jatuh sakit tentu akan
membutuhkan pelayanan kesehatan. Ditambah lagi, seseorang tidak akan pernah tahu
kapan ia sakit dan berapa biaya yang akan dikeluarkan. Disinilah pemerintah harus
berperan menjamin setiap warga negara mendapatkan pelayanan kesehatan ketika
membutuhkan, terutama bagi masyarakat miskin.
d. Karakteristik lain dari sektor kesehatan adalah adanya eksternalitas, yaitu keuntungan
yang dinikmati atau kerugian yang diderita oleh sebagian masyarakat karena tindakan
kelompok masyarakat lainnya. Dalam hal kesehatan, dapat berbentuk eksternalitas
positif atau negatif. Sebagai contoh, jika di suatu lingkungan rukun warga sebagian
besar masyarakat tidak menerapkan pola hidup sehat sehingga terdapat sarang
nyamuk aides aigepty, maka dampaknya kemungkinan tidak hanya mengenai
sebagian masyarakat tersebut saja melainkan diderita pula oleh kelompok masyarakat
lain yang telah menerapkan perilaku hidup bersih.
2. Alasan Meningkatkan Skala Intervensi Kesehatan Baik dalam Perspektif Produksi
Kesehatan maupun Produksi Pelayanan Kesehatan
Alasan meningkatkan skala intervensi kesehatan baik dalam perspektif produksi
kesehatan maupun produksi pelayanan Kesehatan (Idris, 2014) :
a. Alasan meningkatkan skala intervensi kesehatan baik dalam perspektif produksi
kesehatan
yaitu untuk menemukan produksi kesehatan yang tepat bagi pasien serta
memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi pasien yang dirawat.
b. Alasan meningkatkan skala intervensi kesehatan baik dalam perspektif produksi
pelayanan kesehatan
Yaitu kunjungan pasien rumah sakit semakin meningkat sehingga
membutuhkan pelayanan kesehatan yang optimal serta untuk memudahkan layanan
Kesehatan bagi pasien.
3. Alasan Diperlukannya Peran Serta Pemerintah dan Swasta dalam Pembiayaan Kesehatan
Pemerintah daerah dapat mencari cara lain untuk mengelola pelayanan kesehatan.
Salah satu cara adalah mengadakan kerja sama dengan pihak swasta dengan mengkuti
kentetuan – ketentuan yang di terapkan bersama. Dan kerja sama ini tetap berfokus pada
peningkatan pelayanan kesehatan, bukan untuk mencari keuntungan yang banyak.
Definisi Public Private Partnership ( PPP ) adalah persetujuan kerja sama antara
agensi publik ( negara, pemerintah pusat atau daerah ) dan perusahaan yang berorientasi
laba, atau kerja sama antar organisasi sektor publikitu sendiri dan pihak swasta.
Kemampuan dan aset setiap sektor dibagi untuk mencapai pelayanan atau asilitas yang
akan digunakan publik umum. Setiap pihak harus mengakui tujuan pihak lain dan siap
untuk membangun hubungan yang baik dan jangka panjang. Pemasok komersial, yang
cenderung lebih mementingkan laba dari pada kesejahtraan publik, dianggap sebagai
partner yang akan berguna. Pegawai pemerinta, yang dianggap otoriter dianggap sebagai
partner yang responsi dan kapabel untuk aktivitas yang berkaitan dengan kesehatan
publik.
Alasan untuk melakukan kerja sama antara pihak publik dengan swasta adalah
adanya kompleksitas masalah kesehatan dan sosial yang dihadapi oleh negara- negara
dan mereka memecahkannya dengan melakukan kolaborasi antara organisasi dan
beberapa sektor. Alasan lain adalah tumbuhnya kesadaran bahwa pendekatan inter-
sectoral untuk pelayanan kesehatan lebih efesien dan cost – effective daripada jika
dilakukan terpisah.
Penerapan PPP akan mendatangkan keuntungan atau PPP mempunyai beberapa
kelebihan, diantara lain :
a. Memberi kesempatan untuk memperhatikan bidang kesehatan dalam suatu acara
komprehensi
b. Membangun kekuatan untuk setiap organisasi, setiap organisasi dapat mengumpulkan
sumber daya dan memaksimalkan dampak positif yang akan terjadi
c. Mendorog keterlibatan masyarakat untuk menjaga kesehatan
d. Mencari sumber daya baru dan menggunakan secara efesien
e. Membuat standar untuk kualtas pelayanan kedua sektor, dan meningkatkan kualitas
pemeliharaan kesehatan.
f. Dapat mengurangi kesenjangan pelayanan, dan meningkatakan akses pelayanan untuk
kelompok yang belum terlayani.
Faktor kunci kerja sama yang efektif , diantara lain :
a. Komunikasi. Organisasi – organisasi mulai saling berkomunikasi tentang kepentingan
mereka saat membuat kerja sama
b. Kooperasi. Dua atau lebih organisasi yang berkomunikasi mencapai pemahaman
untuk saling membantu
c. Koordinasi. Organisasi mengkombinasikan sumber daya dan memperkuat peranan
masing – masing.
d. Kolaborasi. Dua atau lebih organisasi yang sudah berkomunikasi sama – sama
mengembangkan aktivitas , program atau kebijakan yang sebelumnya tidak ada.
PPP mempunyai beberapa model yaitu desain dang bangun ; desain , bangun dan
kelola; desain, bangun, keola dan mendanai, konsensi. Dalam bastian ( 2001) model –
model kerjasama adalah :
a. Bangun – Operasi – Serahkan (Built, Operate and Transer)
pihak penyelenggara proyek melaksanakan kegiatan kontruksi ( termasuk
pembiayaan suatu asilitas instratruktur), termasuk proses pengoprasian dan
pemeliharaan proyek. Proyek dijalankan dalam jangka waktu tertentu . setelah jangka
waktu yang ditetapkan habis seluruh fasilitas diserahkan kepada pemerintah.
b. Bangun Serah (Built and Transer)
Pihak penyelenggara proyek melaksanakan kegiatan konstruksi dan
pembiayaan suatu proyek dalam jangka waktu tertentu, yang disepakati dalam
kontrak perjanjian. Setelah kontrak selesai, diserahkan kepada pemerintah, dan
pemerintah wajib membayar pihak penyelenggara sebesar nilai investasi yang
dikeluarkan untuk nilai proyek ditambah nilai pengembalian yang wajar bagi
investasi yang dilakukan.
c. Bangun Kelola Miliki (Built, Operate and Own)
Pihak swasta diberi kewenangan untuk membangun dan membiayai,
mengoperasikan dan memelihara suatu fasilitas infrastruktur. Pihak penyelenggara
diberi kewenangan untuk mendapatkan biaya pengembalian investasi, serta biaya
operasional dan pemeliharaan, termasuk keuntungan yang wajar dengan cara menarik
biaya dari pemakai fasilitas infrastruktur tersebut.
d. Konsesi (Concession)
Pihak berwenang memberikan ijin kepada pihak swasta untuk melakukan
kegiatan eksploitasi tertentu, sedangkan pihak swasta dibebani kewajiban untuk
membayar fee atau retribusi kepada pihak berwenang (pemerintah).
e. Leasing
Titik beratnya pada penyewaan fasilitas tertentu kepada pihak swasta. Pihak
swasta wajib memikul resiko komersial dari kegiatan yang dijalankan Bagi hasil.
f. Kontrak pelayanan
Pihak yang berwenang (pemerintah) menyerahkan suatu kegiatan pelayanan
jasa tertentu kepada pihak swasta dan sebaliknya pihak swasta memberikan jasa-jasa
tertentu kepada pemerintah.
g. Management contract
Bentuk kerja sama ini adalah mengalihkan seluruh kegiatan operasional dan
pemeliharaan suatu bidang tertentu kepada pihak swasta.
h. Bentuk kerja sama ini adalah mengalihkan seluruh kegiatan operasional dan
pemeliharaan suatu bidang tertentu kepada pihak swasta.
Menurut Thomas dan Curtis (2001) ada tiga model kerja sama, yaitu product-
based partnership, product-development partnership, dan system/issues based
partnership. Thomas dan Curtis juga mengembangkan prinsip-prinsip PPP. Prinsip-
prinsip itu adalah:
a. Good governance, struktur pengelolaan kerja sama yang tepat dan penting harus
menjamin adanya pencapaian tujuan kesehatan publik, dapat mempertemukan tujuan
semua partner, dan adanya komunikasi yang transparan. Ada empat model
pengelolaan PPP, yaitu:
1) Elite committe model
2) NGO model
3) Quasi-public authority model
4) Catalyst model
b. Pemilihan partner, organisasi sektor publik dan swasta dapat bekerja sama untuk
mendukung program pencegahan penyakit jika mereka mempunyai pandangan
benefit yang saling menguntungkan dan situasi menang-menang. Pemerintah harus
selektif dalam memilih partner yang akan diajak kerja sama.
c. Transparansi dan komunikasi.
d. Akuntabilitas, PPP menggunakan sumber daya publik dan harus
dipertanggungjawabkan ke publik. Pengawasan dan evaluasi yang efektif diperlukan,
audit dari badan/organisasi independen harus ditingkatkan.
e. Menghindari kompetisi yang tidak adil, PPP perlu mengeksplore pengaruh produk
yang disubsidi pada industri lokal.
f. Equity, PPP diharapkan mempunyai strategi untuk menjamin equity, terutama saat
kontribusi publik dinaikkan untuk membantu masyarakat yang miskin.
g. Externalities

D. Kebijakan Asuransi Kesehatan dan Efisiensi Alokasi Sumberdaya


Dalam kamus atau perbendaharaan kata bangsa Indonesia, tidak dikenal kata asuransi,
yang dikenal adalah istilah “jaminan” atau “tanggungan”. Dalam konteks asuransi kesehatan,
pengertian asuransi adalah memastikan seseorang yang menderita sakit akan mendapatkan
pelayanan yang dibutuhkannya tanpa harus mempertimbangkan keadaan ekonominya. Ada
pihak yang menjamin atau menanggung biaya pengobatan atau perawatannya. Pihak yang
menjamin ini dalam bahasa Inggris disebut insurer atau dalam UU Asuransi disebut asuradur.
Asuransi merupakan jawaban atas sifat ketidak-pastian (uncertain) dari kejadian sakit dan
kebutuhan pelayanan kesehatan. Untuk memastikan bahwa kebutuhan pelayanan kesehatan
dapat dibiayai secara memadai, maka seseorang atau kelompok kecil orang melakukan
transfer risiko kepada pihak lain yang disebut insurer/asuradur, ataupun badan penyelenggara
jaminan. (Thabrany H, 2001).
Menurut pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), asuransi
mempunyai pengertian sebagai berikut: Asuransi atau pertanggungan adalah suatu
persetujuan dimana penanggung kerugian diri kepada tertanggung, dengan mendapat premi
untuk mengganti kerugian karena kehilangan kerugian atau tidak diperolehnya suatu
keuntungan yang diharapkan, yang dapat diderita karena peristiwa yang tidak diketahui lebih
dahulu. (Andreas,2009).
Definisi asuransi menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992
adalah Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana
pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga
yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti
atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan. (Andreas, 2009).
Dalam dunia asuransi ada 6 (enam) macam prinsip dasar yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Insurable interest
Hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari suatu hubungan keuangan, antara
tertanggung dengan yang diasuransikan dan diakui secara hukum.
2. Utmost good faith
Suatu tindakan untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap, semua fakta yang
material (material fact) mengenai sesuatu yang akan diasuransikan baik diminta maupun
tidak. Artinya adalah: penanggung harus dengan jujur menerangkan dengan jelas segala
sesuatu tentang luasnya syarat atau kondisi dari asuransi dan tertanggung juga harus
memberikan keterangan yang jelas dan benar atas obyek atau kepentingan yang
dipertanggungkan.
3. Proximate cause
Suatu penyebab aktif, efisien yang menimbulkan rantaian kejadian yang menimbulkan
suatu akibat tanpa adanya intervensi suatu yang mulai dan secara aktif dari sumber yang
baru dan independen.
4. Indemnity
Suatu mekanisme dimana penanggung menyediakan kompensasi finansial dalam
upayanya menempatkan tertanggung dalam posisi keuangan yang ia miliki sesaat
sebelum terjadinya kerugian (KUHD pasal 252, 253 dan dipertegas dalam pasal 278).
5. Subrogation
Pengalihan hak tuntut dari tertanggung kepada penanggung setelah klaim dibayar.
6. Contribution
Hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya yang sama-sama menanggung,
tetapi tidak harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untukikut memberikan
indemnity. Pada umumnya model asuransi mendorong munculnya apa yang disebut
sebagai moral hazard:
a. Pada sisi tertanggung (pasien): adanya kecenderungan untuk memaksimalkan
pelayanan kesehatan karena semua biaya akan ditanggung asuransi, dan
kecenderunganuntuk tidak melakukan tindakan preventif.
b. Pada sisi provider: mempunyai kecenderungan untuk memberikan terapi secara
berlebihan untuk memaksimalkan pendapatan.
Sehingga beberapa skema asuransi diatur sedemikian rupa untuk mengurangi
terjadinya moral hazard, misalnya dengan mengatur batasan paket pelayanan, mengatur
besaran kontribusi sesuai dengan tingkat resiko tertanggung. Sistem ini dapat dibedakan
menjadi asuransi yang bersifat umum yaitu mencakup semua golongan dan asuransi yang
bersifat khusus untuk kelompok masyarakat tertentu. Sifat asuransi dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Asuransi Bersifat Umum
a. General taxation
General taxation merupakan model dimana sumber pembiayaan diambil dari
pajak pendapatan secara proporsional dari seluruh populasi yang kemudian
dialokasikan untuk berbagai sektor (tidak terbatas pelayanan kesehatan). Alokasi pada
sektor kesehatan biasanya berupa budget pada fasilitas kesehatan dan gaji staf
kesehatan. Meskipun mempunyai cakupan yang luas, keberhasilan sistem ini
tergantung pada tingkat pendapatan masyarakat dan angkatan kerja, besaran alokasi
pada pelayanan kesehatan dan sistem penarikan pajak. Rendahnya pendapatan
masyarakat (ekonomi negara) akan menurunkan nilai pajak, alokasi biaya pada
pelayanan kesehatan sehingga mendorong rendahnya cakupan dan mutu pelayanan
sehingga pada akhirnya biaya pelayanan kesehatan akan kembali ditanggungakhirnya
biaya pelayanan kesehatan akan kembali ditanggung langsung oleh individu.
b. Earmarked payroll tax
Sistem ini memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan general taxation
hanya saja penarikan pajak dialokasikan langsung bagi pelayanan kesehatan sehingga
lebih bersifat transparan dan dapat mendorong kesadaran pembayaran pajak karena
kejelasan penggunaan.
2. Asuransi Bersifat Khusus
Dibandingkan dengan sistem umum, asuransi selektif mempunyai perbedaan
dalam hal kontribusi dan tanggungan hanya ditujukan pada suatu kelompok tertentu
dengan paket pelayanan yang telah ditetapkan.
a. Social insurance
Social insurance mempunyai karakteristik khusus yang membedakan dengan
private insurance, yaitu:
1) Keanggotaan bersifat wajib
2) Kontribusi (premi) sesuai dengan besaran gaji
3) Cakupan pelayanan kesehatan yang diasuransikan sesuai dengan besaran
kontribusi
4) Pelayanan dirupakan dalam bentuk paket
5) Dikelola oleh organisasi yang bersifat otonom
6) Biasanya merupakan bagian dari sistem jaminan sosial yang berskala luas
7) Umumnya terjadi cross subsidi
b. Voluntary community
Perbedaan utama sistem ini dengan asuransi sosial adalah keanggotaan yang
bersifat sukarela serta skala cakupan tertanggung yang lebih sempit. Biasanya
asuransi ini berkembang pada kelompok masyarakat yang tidak tertanggung oleh
asuransi sosial yaitu kelompok yang tidak memiliki pekerjaan formal, yang tidak
memungkinkan untuk dilakukan penarikan kontribusi rutin dari penghasilan. Contoh
penerapan dari sistem ini adalah kartu sehat/kartu gakin yang dikembangkan
pemerintah daerah dan ditujukan pada kelompok tertentu (masyarakat miskin).
c. Private Insurance
Perbedaan utama private insurance dan social insurance adalah tidak adanya
risk pooling dan bersifat voluntary. Disamping itu private insurance juga
memperhitungkan resiko kesakitan individu dengan besaran premium dan cakupan
pelayanan asuransi yang diberikan. Artinya individu yang lebih beresiko sakit
misalnya kelompok rentan (bayi, ibu hami, lansia), orang dengan perilaku tertentu
misalnya perokok, dan orang dengan pekerjaan yang beresiko akan dikenakan premi
yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang dengan resiko rendah. Model ini
tentunya mempunyai mekanisme lebih rumit mengingat harus memperhitungkan
tingkat resiko tertanggung.
Model private insurance mungkin bersifat profit yaitu mencari keuntungan
untuk pengelolaan dan pemilik, atau menggunakan keuntungan untuk mengurangi
besaran premi tertanggung. Bentuk private insurance dapat berupa lembaga asuransi
swasta atau NGO bagi umum maupun asuransi kelompok khusus seperti asuransi
pekerja.
d. Funding/Donation
Seluruh sistem pembiayaan yang telah diuraikan diatas menganut keterkaitan
antara pengguna jasa pelayanan kesehatan atau tertanggung dan penggunaan jasa
pelayanan kesehatan. Model funding tidak ditujukan langsung pada kelompok
individu tetapi lebih pada program kesehatan misalnya bantuan alat kesehatan,
pelatihan atau perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan. Permasalahan yang sering
muncul adalah ketidaksesuaian program funding dengan kebutuhan atau kesalahan
pengelolaan oleh negara. Disamping itu sumber dana dari funding tentu saja tidak
dapat diandalkan keberlangsungannya. Berdasarkan pengelolaan manajemennya,
sistem pembiayaan menggambarkan hubungan antara pasien sebagai konsumen dan
atau sumber biaya, provider/penyelenggara atau pemberi pelayanan kesehatan
(dokter, perawat atau institusi seperti rumah sakit), pemerintah sebagai pengatur,
pengelola pelayanan kesehatan dan sumber biaya.
1. Dampak Deductable
Asuransi kesehatan yang paling mutakhir adalah managed care, dimana sistem
pembiayaan dikelola secara terintegrasi dengan sistem pelayanan. Asuransi kesehatan
dengan model managed care ini mulai dikembangkan di Amerika. Hal ini timbul oleh
karena sistem pembiayaan kesehatan yang lama, inflasi biaya kesehatan terus meningkat
jauh diatas inflasi rata-rata, sehingga digali model lain untuk mengatasi peningkatan
biaya kesehatan. Managed care pada dasarnya sudah mulai diterapkan pada tahun 1983
yaitu oleh kaisar Permanente Medical Care Program, tetapi secara meluas mulai
diterapkan pada tahun 1973, yaitu dengan diberlakukannya HMO Act, pada periode
pemerintahan Noxon. (Juanita,2002).
Pada hakekatnya, managed care adalah suatu konsep yang masih terus berkembang,
sehingga belum ada suatu definisi yang satu dan universal tentang managed care. Namun
demikian secara umum dapat didefinisikan bahwa managed care adalah suatu sistem
dimana pelayanan kesehatan terlaksana secara terintegrasi dengan sistem pembiayaan
kesehatan, yang mempunyai 5 (lima) elemen sebagai berikut:
a. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh provider tertentu (selecte provider).
b. Adanya kriteria khusus untuk penetapan provider.
c. Mempunyai program pengawasan mutu dan managemen utilisasi.
d. Penekanan pada upaya promotive dan preventive.
e. Ada financial insentive bagi peserta yang melaksanakan pelayanan sesuai prosedur.
(Juanita, 2002).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan alokasi anggaran untuk
kesehatan yang ideal adalah sekurangkurangnya 6% dari anggaran belanja negara
(APBN). Sementara itu di negara-negara maju, alokasi anggaran untuk kesehatan
mencapai 6%-15%. Di Indonesia anggaran untuk Departemen Kesehatan kurang 5% dari
APBN.
Melihat karakteristik tersebut diatas, maka biaya yang timbul akibat gangguan
kesehatan (penyakit) merupakan obyek yang layak diasuransikan untuk meringankan
beban yang ditanggung oleh penderita serta meningkatkan akses pelayanan kesehatan
yang merupakan kebutuhan hidup masyarakat. WHO didalam The World Health Report
2000-Health System: Inproving Pervormance juga merekomendasikan untuk
mengembangkan sistem pembayaran secara ”prepayment”, baik dalam bentuk asuransi,
tax, maupun social security. Sistem kesehatan haruslah dirancang sedemikian rupa,
sehingga bersifat terintegrasi antara sistem pelayanan dan sistem pembiayaan, mutu
terjamin (quality assurance) dengan biaya terkendali (cost containment).
Indonesia dengan kondisi yang sangat turbulensi dalam berbagai hal pada saat ini,
serta dengan keterbatasan resources yang ada, maka sistem managed care merupakan
pilihan yang tepat dalam mengatasi masalah pembiayaan kesehatan. Managed care
dianggap tepat untuk kondisi di Indonesia, kemungkinan karena sistem pembiayaan
managed care dikelola secara terintegrasi dengan sistem pembiayaan, dengan managed
care berarti badan pengelola dana (perusahaan asuransi) tidak hanya berperan sebagai
juru bayar, sebagaimana berlaku pada asuransi tradisional, tapi ikut berperan dalam dua
hal penting, yaitu pengawasan mutu pelayanan (quality control) dan pengendalian biaya
(cost containment).
Salah satu elemen managed care adalah bahwa pelayanan diberikan oleh provider
tertentu, yaitu yang memenuhi kriteria yang ditetapkan meliputi aspek administrasi,
fasilitas sarana, prasarana, prosedur dan proses kerja atau dengan istilah lain meliputi
proses bisnis, proses produksi, sarana, produk dan pelayanan. Dengan cara ini,maka
pengelola dana (asuransi) ikut mengendalikan mutu pelayanan yang diberikan kepada
pesertanya.
2. Dampak Co-Insurance
Dampak krisis ekonomi di Indonesia sampai saat ini meluas ke seluruh bidang
kehidupan, termasuk bidang pelayanan kesehatan. Dilema yang dihadapi pelayanan
kesehatan, disatu pihak pelayanan kesehatan harus menjalankan misi sosial, yakni
merawat dan menolong yang sedang menderita tanpa memandang sosial, ekonomi,
agama dan sebagainya. Namun dipihak lain pelayanan kesehatan harus bertahan secara
ekonomi dalam menghadapi badai krisis tersebut. Oleh sebab itu pelayanan kesehatan
harus melakukan reformasi, reorientasi dan revitalisasi. (Juanita, 2002).
Reformasi kebijakan pembangunan kesehatan telah selesai dilakukan
sebagaimana telah tertuang dalam Visi, Misi, Strategi dan Paradigma baru pembangunan
kesehatan yang populer dengan sebutan Indonesia Sehat. Reformasi Sistem Kesehatan
Nasional (SKN) telah memberi arah baru pembangunan kesehatan di Indonesia. Jika
diperhatikan kebijakan dan system baru hasil reformasi tersebut tampak banyak
perubahan yang akan dilakukan, dua diantaranya yang terpenting adalah perubahan pada
subsistem upaya kesehatan dan perubahan pada subsistem pembiayaan kesehatan.
(Gotama I, Pardede D, 2010).
Penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan sumber daya keuangan dalam
subsistem pembiayaan kesehatan dilakukan untuk membiayai UKM dan UKP penduduk
miskin dengan mobilisasi dan dari masyarakat, pemerintah dan public-private mix.
Sedangkan untuk penduduk mampu, pembiayaan kesehatan masyarakat terutama dari
masyarakat itu sendiri dengan mekanisme jaminan kesehatan baik wajib maupun
sukarela. (Gotama I, Pardede D, 2010).
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang
peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka
mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara
diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to
health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality). Oleh karena itu reformasi
kebijakan kesehatan di suatu negara seyogyanya memberikan fokus penting kepada
kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan
(adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari
pembiayaan kesehatan itu sendiri. (Departemen Kesehatan RI, 2009).
Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai (health care
financing) akan menolong pemerintah di suatu negara untuk dapat memobilisasi sumber-
sumber pembiayaan kesehatan, mengalokasikannya secara rasional serta
menggunakannya secara efisien dan efektif. Kebijakan pembiayaan kesehatan yang
mengutamakan pemerataan serta berpihak kepada masyarakat miskin (equitable and pro
poor health policy) akan mendorong tercapainya akses yang universal. Pada aspek yang
lebih luas diyakini bahwa pembiayaan kesehatan mempunyai kontribusi pada
perkembangan sosial dan ekonomi. Pelayanan kesehatan itu sendiri pada akhir-akhir ini
menjadi amat mahal baik pada negara maju maupun pada negara berkembang.
Penggunaan yang berlebihan dari pelayanan kesehatan dengan teknologi tinggi adalah
salah satu penyebab utamanya. Penyebab yang lain adalah dominasi pembiayaan
pelayanan kesehatan dengan mekanisme pembayaran tunai (fee for service) dan lemahnya
kemampuan dalam penatalaksanaan sumber-sumber dan pelayanan itu sendiri (poor
management of resources and services). (Departemen Kesehatan RI, 2009).
Pelayanan kesehatan memiliki beberapa ciri yang tidak memungkinkan setiap
individu untuk menanggung pembiayaan pelayanan kesehatan pada saat diperlukan:
a. Kebutuhan pelayanan kesehatan muncul secara sporadik dan tidak dapat
diprediksikan, sehingga tidak mudah untuk memastikan bahwa setiap individu
mempunyai cukup uang ketika memerlukan pelayanan kesehatan.
b. Biaya pelayanan kesehatan pada kondisi tertentu juga sangat mahal, misalnya
pelayanan di rumah sakit maupun pelayanan kesehatan canggih (operasi dan tindakan
khusus lain), kondisi emergensi dan keadaan sakit jangka panjang yang tidak akan
mampu ditanggung pembiayaannya oleh masyarakat umum.
c. Orang miskin tidak saja lebih sulit menjangkau pelayanan kesehatan, tetapi juga lebih
membutuhkan pelayanan kesehatan karena rentan terjangkit berbagai permasalahan
kesehatan karena buruknya kondisi gizi, perumahan.
d. Apabila individu menderita sakit dapat mempengaruhi kemampuan untuk berfungsi
termasuk bekerja, sehingga mengurangi kemampuan membiayai. (Departemen
Kesehatan RI, 2009).
Berdasarkan karakteristik tersebut, sebuah sistem pembiayaan pelayanan
kesehatan haruslah bertujuan untuk:
a. Risk spreading, pembiayaan kesehatan harus mampu meratakan besaran resiko biaya
sepanjang waktu sehingga besaran tersebut dapat terjangkau oleh setiap rumah
tangga. Artinya sebuah sistem pembiayaan harus mampu memprediksikan resiko
kesakitan individu dan besarnya pembiayaan dalam jangka waktu tertentu (misalnya
satu tahun). Kemudian besaran tersebut diratakan atau disebarkan dalam tiap bulan
sehingga menjadi premi (iuran, tabungan) bulanan yang terjangkau.
b. Risk pooling, beberapa jenis pelayanan kesehatan (meskipun resiko rendah dan tidak
merata) dapat sangat mahal misalnya hemodialisis, operasi spesialis (jantung koroner)
yang tidak dapat ditanggung oleh tabungan individu (risk spreading). Sistem
pembiayaan harus mampu menghitung dengan mengakumulasikan resiko suatu
kesakitan dengan biaya yang mahal antar individu dalam suatu komunitas sehingga
kelompok masyarakat dengan tingkat kebutuhan rendah (tidak terjangkit sakit, tidak
membutuhkan pelayanan kesehatan) dapat mensubsidi kelompok masyarakat yang
membutuhkan pelayanan kesehatan. Secara sederhana, suatu sistem pembiayaan akan
menghitung resiko terjadinya masalah kesehatan dengan biaya mahal dalam satu
komunitas, dan menghitung besaran biaya tersebut kemudian membaginya kepada
setiap individu anggota komunitas. Sehingga sesuai dengan prinsip solidaritas,
besaran biaya pelayanan kesehatan yang mahal tidak ditanggung dari tabungan
individu tapi ditanggung bersama oleh masyarakat.
c. Connection between ill-health and poverty, karena adanya keterkaitan antara
kemiskinan dan kesehatan, suatu sistem pembiayaan juga harus mampu memastikan
bahwa orang miskin juga mampu pelayanan kesehatan yang layak sesuai standar dan
kebutuhan sehingga tidak harus mengeluarkan pembiayaan yang besarnya tidak
proporsional dengan pendapatan. Pada umumnya di negara miskin dan berkembang
hal ini sering terjadi. Orang miskin harus membayar biaya pelayanan kesehatan yang
tidak terjangkau oleh penghasilan mereka dan juga memperoleh pelayanan kesehatan
di bawah standar.
d. Fundamental importance of health, kesehatan merupakan kebutuhan dasar dimana
individu tidak dapat menikmati kehidupan tanpa status kesehatan yang baik.
Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan kepada
beberapa hal pokok yakni; kesinambungan pembiayaan program kesehatan prioritas,
reduksi pembiayaan kesehatan secara tunai perorangan (out of pocket funding),
menghilangkan hambatan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pemerataan
dalam akses pelayanan, peningkatan efisiensi dan efektifitas alokasi sumber daya
(resources) serta kualitas pelayanan yang memadai dan dapat diterima pengguna jasa.
Sumber dana biaya kesehatan berbeda pada beberapa negara, namun secara garis besar
berasal dari:
a. Anggaran Pemerintah
b. Anggaran Masyarakat
c. Bantuan Biaya dari dalam dan Luar Negeri
d. Gabungan Anggaran Pemerintah dan Masyarakat
3. Kerugian Kesejahteraan Akibat Efisiensi Alokasi Sumberdaya
Dibeberapa negara, termasuk Indonesia, sebagian besar asuradur menerapkan
adanya pembayaran deposit premi sebelum polis di terbitkan. Besarnya deposit premi ini
juga sangat bervariasi. Beberapa asuradur menerapkan pembayaran deposit premi sebesar
satu bulan premi berdasarkan premi indikatif yang terdapat dalam proposal penawaran
asuransi kesehatan. Dilain pihak, asuradur lainnya menerapkan sistem persentasi dari
premi indikatif tersebut yang mana biasanya sekitar 20 % dari premi indikatif. Ada
beberapa alasan kenapa asuradur memberlakukan deposit premi. Alasan yang paling
menonjol adalah untuk melindungi asuradur dari kemungkinan kerugian akibat
pembatalan pertanggungan secara sepihak oleh pemegang polis di awal masa
pertanggungan. Sebagaimana yang diketahui, asuradur akan mengeluarkan cukup banyak
biaya diawal kepesertaan pemegang polis, diantaranya untuk mencetak buku panduan
kepesertaan (membership handbook), kartu kepesertaan (membership card) dan biaya-
biaya untuk mengadakan acara sosialisasi perihal proteksi kepada peserta. Oleh
karenanya, tanpa pembayaran deposit premi, biasanya asuradur belum akan memulai
proses penerbitan polis.
Dengan diserahkannya SPA dan Instruksi Penutupan, bagian penagihan
(collection) akan menerbitkan tagihan (invoice) untuk deposit premi. Petugas penjualan
bertanggung jawab terhadap pengumpulan deposit premi ini. Bukti pembayaran deposit
premi ini, yang biasanya melalui transfer antar bank ke rekening asuradur (bank transfer),
dilampirkan dengan dokumen lainnya untuk diserahkan kepada bagian penerbitan polis
(policy issuance). (Nadjib, Mardiati., Efmansyah., dkk. 2005)
Pemegang polis pada umumnya diberikan tenggang waktu (grace period) selama
31 hari untuk pembayaran premi. Apabila premi belum diterima setelah batas tenggang
waktu yang disediakan, biasanya perusahaan asuransi kesehatan akan lebih berusaha
untuk tetap “mengamankan” case ini daripada membatalkan polis tersebut secara
otomatis dengan memberikan perpanjangan tenggang waktu. Namun jika usaha ini juga
gagal, maka asuradur akan mengirimkan surat pemberitahuan resmi perihal pembatalan
polis. Surat pemberitahuan ini biasanya dikirimkan pada hari ke 31 setelah masa
tenggang waktu berakhir. Walaupun demikian, seharusnya proses terhadap klaim
ditangguhkan terlebih dahulu hingga premi diterima.
Pada berbagai kasus, perusahaan asuransi kesehatan akan menerima kembali polis
bila premi yang sudah jatuh tempo masa pembayarannya akhirnya dibayarkan oleh
pemegang polis. Tindakan menerima kembali polis yang sudah dibatalkan dinamakan
proses reinstatement. Di sejumlah negara terdapat peraturan yang mengharuskan
perusahaan asuransi kesehatan mereview terlebih dahulu kerugian yang terjadi sebelum
keputusan reinstatement diterapkan. Peraturan tersebut menyatakan bahwa jika satu
perusahaan asuransi kesehatan menerima kembali polis yang telah dibatalkan, maka
perusahaan asuransi kesehatan tersebut bertanggungjawab terhadap seluruh klaim yang
terjadi sesuai dengan klausula polis.
Saat ini, sebagian besar perusahaan asuransi kesehatan memiliki bagian
pengumpulan premi (premium collection) sendiri. Tugas pokok dari bagian ini adalah
memastikan bahwa setiap pemegang polis membayar premi dalam waktu yang telah
ditetapkan. Upaya yang dijalankan dapat berupa melakukan follow up yang ber
kesinambungan baik menggunakan teknologi seperti telepon dan atau surat elektronik (e-
mail) maupun melalui kunjungan langsung ke pemegang polis. (Nadjib, Mardiati.,
Efmansyah., dkk. 2005)

E. Cost Benefit Analysis


1. Pengertian Cost Benefit Analysis
Cost Benefit Analysis merupakan salah satu jenis evaluasi ekonomi. Evaluasi
ekonomi adalah cara untuk melakukan perbandingan terhadap tingkat efisiensi beberapa
intervensi (Probandari, 2007).
Cost benefit analysis merupakan suatu analisis ekonomi yang digunakan untuk
mengevaluasi penggunaan sumber-sumber ekonomi agar sumber daya ekonomi yang
langka tersebut dapat digunakan dengan efisien (Nuryadi, 2009).
Cost Benefit Analysis (CBA) Cara untuk menentukan hasil yang menguntungkan
dari sebuah alternatif, akan cukup untuk dijadikan alasan dalam menentukan biaya
pengambilan alternatif. CBA adalah suatu teknik yang paling umum untuk menghitung
biaya (cost) dan manfaat (benefit) dalam suatu proyek teknologi informasi (Apriliya F.C
et all, 2012).
CBA merupakan suatu metode yang praktis untuk menentukan kelayakan dan
daya tarik suatu proyek yaitu:proyek itu layak dibangun, dengan maksud proyek
memberikan manfaat bagi pemilik (owner), bagi negara dan bagi masyarakat dan proyek
itu menarik untuk dibangun, maksudnya tidak menimbulkan kebisingan terhadap
lingkungan dan tidak pula merusak lingkungan atau memberi pengaruh negatif terhadap
lingkungan. Evaluasi dilakukan sekarang (present) sedangkan hasilnya atau manfaatnya
akan terjadi dimasa datang (in the future). Seluruh benefit yang akan dihasilkan diwaktu
yang akan datang diproyeksikan pada tingkat nilai sekarang (present value). Present value
dari benefit yang akan dihasilkan harus lebih besar dari investasi sekarang (present)
supaya suatu proyek yang bersangkutan layak (feasible) di bangun (Nuryadi, 2009).
Analisis Biaya-Manfaat (CBA) adalah proses menggunakan teori, data dan model
untuk menguji produk, pengorbanan dan kegiatan untuk menilai tujuan yang relavan dan
solusi alternatif (Womer, Bougnol, Dula & Retzlaff-Roberts, 2006 dalam Misuraca,
2014).
2. Tujuan Cost Benefit Analysis
a. Menentukan apakah suatu proyek merupakan suatu investasi yang baik.
b. Memberikan dasar untuk membandingkan suatu proyek, termasuk membandingkan
biaya total yang diharapkan dari setiap pilihan dengan total keuntungan yang
diharapkan, untuk mengetahui apakah keuntungan melampaui biaya serta berapa
banyak.
c. Untuk mengetahui besaran keuntungan atau kerugian serta kelayakan suatu proyek.
Analisis ini memperhitungkan biaya serta manfaat yang akan diperoleh dari
pelaksanaan program. Perhitungan manfaat dan biaya merupakan satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
d. Untuk mengetahui seberapa baik atau seberapa buruk tindakan yang akan
direncanakan akan berubah. Analisis ini sering digunakan oleh pemerintah dan
organisasi lainnya, seperti perusahaan swasta, untuk mengevaluasi kelayakan dari
kebijakan yang diberikan.
3. Manfaat Cost Benefit Analysis
Manfaat Cost Benefit Analysis adalah dapat membantu dalam proses
pengambilan keputusan baik pemerintah maupun sumber dana. Dengan adanya CBA
sumber dana dapat yakin untuk menginvestasikan dana dalam berbagai proyek. Selain
itu, CBA dapat dilakukan untuk mengontrol perkembangan proyek yang bersangkutan
pada tahun-tahun ke depannya. CBA juga bermanfaat untuk mengevaluasi suatu proyek
yang telah selesai dikerjakan. Tujuan dilakukannya evaluasi ini adalah untuk mengetahui
kinerjasuatu proyek dan hasil analisis yang telah dilakukan dapat digunakan untuk
perbaikan program yang selanjutnya.
4. Pengaplikasian CBA berkaitan erat dengan tiga hal penting dan saling berhubungan
yaitu:
a. Manfaat (benefit) domain bisnis adalah berwujud penurunan biaya dan atau
peningkatan kinerja atau revenue.
b. Biaya (cost) domain teknologi adalah berupa biaya tetap dan biaya variabel yang
diperlukan untuk membangun sistem.
c. Nilai (Value) adalah manfaat yang diperoleh atas pembangunan TI, yang tercermin
pada peningkatan kinerja organisasi pada saat sekarang maupun masa yang akan
dating.
5. Kekuatan dan Kelamahan CBA
a. Kekuatan Cost Benefit Analysis
1) Penggunaan sumber – sumber ekonomi menjadi lebih efisien. Jika efisiensi
meningkat, pencapaian kesejahteraan masyarakat dari kebijakan publik yang
diimplementasikan lebih maksimal. Analisis biaya manfaat dalam pengitungan
biaya maupun manfaat diukur dengan mata uang sebagai unit nilai, sehingga
memudahkan efisiensi.
2) Sebagai dasar yang kuat guna mempengaruhi pengambilan keputusan contohnya
seperti pemerintah atau sumber dana serta meyakinkan mereka untuk
mengivestasikan dana dalam berbagai proyek
3) Dapat mengukur efisiensi ekonomi (ketika satu pilihan dapat meningkatkan
efisiensi, pilihan tersebut harus diambil).
4) Tidak hanya membantu mengambil kebijakan untuk memilih alternatif terbaik
dari pilihan yang ada, yang dalam hal ini pemilihan alternatif terbaik dilakukan
berdasarkan alasan perbandingan antara life benefit dengan biaya yang
dikeluarkan, melainkan juga dapat membandingkan alternatif-alternatif tersebut.
5) Dapat mengontrol perkembangan dari proyek yang bersangkutan pada tahun-
tahun ke depan.
b. Kelemahan Cost Benefit Analysis
1) Analisis ini membutuhkan waktu dan proses yang lama
2) Tidak memiliki fleksibilitas tinggi, karena semua penghitungan dilakukan secara
kuantitatif. Hal ini menimbulkan interpretasi jika analisis ini dilaksanakan terlalu
jauh, pemerintah tidak lagi dilaksanakan oleh wakil wakil rakyat yang membawa
aspirasi rakyat, melainkan seakan akan dilaksanakan oleh robot computer
3) Tidak dapat mengukur aspek multidimensional seperti keberlangsungan, etika,
partisipasi publik dalam pembuatan keputusan dan nilai-nilai sosial yang lain.
4) CBA juga lebih berfungsi memberikan informasi kepada pengambil keputusan,
tapi tidak dengan sendirinya membuat keputusan.
5) Tidak ada standar dalam kuantifikasi biaya-manfaat. Subjektivitas yang terlibat
ketika mengidentifikasi, mengukur, dan memperkirakan biaya dan manfaat yang
berbeda dapat menimbulkan penafsiran biaya manfaat yang berbeda pula.
6. Komponen Cost Benefit Analysis
Menurut Frederick yang dikutip dalam ( Prabantoro, 2003 ), komponen biaya
yang berhubungan dengan pengembangan sebuah system informasi dapat diklasifikasikan
dalam empat kategori yaitu :
a. Procurement Cost
Procurement cost atau biaya pengadaan adalah semua biaya yang dikeluarkan
berkaitan dengan pengadaan hardware. Diantaranya adalah seperti biaya konsultasi
pengadaan hardware, pembelian hardware, instalasi hardware, manajerial dan
personalia untuk pengadaan hardware. Biaya ini biasanya dikeluarkan pada tahun-
tahun pertama ( initial cost ) sebelum system dioperasikan.
b. Star Up Cost
Star Up Cost merupakan biaya operasional yaitu semua biaya yang
dikeluarkan sebagai upaya membuat system siap untuk dioperasikan. Biaya tersebut
meliputi biaya pembelian, networking, re-organisasi, manajemen, dan personalia.
c. Project Related Cost
Project Related Cost merupakan biaya yang berkaitan dengan biaya
pengembangan system dan penerapannya. Biaya proyek antara lain adalah biaya
dokumentasi, biaya rapat, biaya system analisis, manajerial, dan personalia.
d. Ongoing Cost
Ongoing Cost merupakan biaya operasional system agar system dapat
beroperasi dengan baik. Termasuk biaya maintenance system. Biaya ini termasuk
ongoing cost antara lain biaya personalia, biaya overhead (telepon, listrik, dll),
perawatan software, biaya manajerial dalam operasional system. Biaya ini terjadi
secara rutin selama usia operasional system.
7. Langkah-langkah CBA
a. Identifikasi siapa saja yang terkena dampak dan pengaruh dari isu strategis Pada
langkah pertama ini pembuat kebijakan mengidentifikasi seluruh pihak yang terkait
dengan isu strategis, baik yang terkena dampak (positif dan negatif), maupun yang
terkena pengaruh (nilai, prinsip) Setidaknya ada empat pihak yang terkait:
pemerintah, sektor privat/swasta/bisnis, organisasi-organisasi masyarakat sipil,
kelompok-kelompok dan golongan-golongan di dalam masyarakat (pemuda,
perempuan, anak, orang tua, suku, dan lain sebagainya).
b. Identifikasi biaya dan manfaat apa yang akan diperoleh oleh masing-masing pihak
terkait Pada langkah kedua ini pembuat kebijakan menyusun daftar manfaat dan biaya
yang akan diterima oleh para pihak terkait. Manfaat itu bisa ekonomi, sosial, budaya
atau politik. Dalam hal mengidentifikasi biaya-biaya dan manfaat yang akan
dibebankan pada pihak terkait, pembuat kebijakan harus menimbang prinsip-prinisp
dan nilai-nilai yang kadang sulitdikuantifikasi seperti good governance, hak asasi
manusia, lingkungan hidup dan lain sebagainya.Dalam konteks pembentukan regulasi
pembuat kebijakan juga harus menimbang biaya dan manfaat yang akan muncul
dalam implementasi (Pelaksanaan peraturan dan penyelesaian sengketa) di antaranya:
1) Apakah diperlukan proses administrasi tambahan?
2) Apakah dibutuhkan organisasi/unit pelaksana baru?
3) Apakah ada keperluan penambahan sarana dan teknologi baru?
4) Apakah ada kebutuhan penambahan jumlah SDM / peningkatan kualitas SDM?
5) Apakah perlu lembaga penyelesaian sengketa khusus?
6) Apakah perlu mekanisme monitoring dan evaluasi tersendiri?
c. Kuantifikasi atas dampak kebijakan Pada langkah ketiga ini pembuat kebijakan
diminta untuk melakukan kuantifikasi atas tiap dampak dari kebijakan. Tidak seluruh
dampak mudah dikuantifikasi, namun dianjurkan untuk memonetasinya seoptimal
mungkin.
d. Valuasi terbatas Pada langkah ini pembuat kebijakan bisa menggunakan teknik
tersendiri yang diperkenalkan untuk melakukan kuantifikasi dan valuasi. Pada
tahapan awal, biasanya ditentukan impact yang akan diperoleh dari sebuah aturan
dapat diukur dan dikuantifikasi atau tidak. Apabila bisa, biasanya digunakan “market
price” untuk menilainya. Apabila tidak bisa, salah satu tekniknya adalah menentukan
“willingness to pay” dalam konteks keuntungan atau “willingness to accept” dalam
konteks biaya.
e. Kuantifikasi Sepenuhnya Pada langkah kelima semua manfaat dan biaya sudah
terhitung sepenuhnya dalam satuan mata uang. Jadi, pada tahapan itu, pembuat
kebijakan telah dapat menentukan pilihan yang paling baik dari kebijakan yang akan
diambil.
8. Prinsip CBA
a. Berbasis pada data yang sudah ada
b. Sudah dilakukan
c. Hasilnya terukur dan rasional
d. Perlu dikonsultasikan dengan stakeholders
e. Menimbang berbagai pilihan intervensi, khususnya mengapa perlu regulasi
f. Laporan sederhana dan mudah dipahami bph.
9. Metode CBA
Pada dasarnya untuk menganalisis efisiensi suatu proyek langkah-langkah yang
harus diambil adalah :
a. Menentukan semua manfaat dan biaya dari proyek yang akan dilaksanakan
b. Menghitung manfaat dan biaya dalam nilai uang
c. Menghitung masing-masing manfaat dan biaya dalam nilai uang sekarang.
Metode-metode untuk menganalisis manfaat dan biaya suatu proyek yaitu Metode
Payback Period (PP), Metode Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR),
dan Perbandingan Manfaat Biaya / Benefit-Cost Ratio (BCR).
a. Metode Payback Period (PP)
Metode ini mencoba mengukur seberapa cepat investasi bisa kembali.Karena
itu satuan hasilnya bukan persentase.Tetapi satuan waktu (bulan, tahun, dan
sebagainya).Karena model ini mengukur seberapa cepat suatu investasi bisa kembali,
maka dasar yang dipergunakan adalah aliran kas (cash flow).
b. Metode NPV (Nilai Bersih Sekarang)
Metode ini menghitung selisih antara nilai sekarang inventasi dengan nilai
sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di massa yang akan datang.untuk
mengitung nilai sekarang tersebut perlu ditentukan terlebih dahulu tingkat bunga yang
dianggap relevan. Analisis ini dapat dihitung menggunakan rumus :
Dimana : NB = Net Benefit =
Benefit - Cost
C = Biaya Investasi +
Biaya Operasi
B = Benefit yang telah
didiskon
C = Cost yang telah
didiskon
i = Diskon factor
n = tahun (waktu ekonomis)

c. Metode NPB (Nilai Bersih Sekarang)


Proyek yang efisien adalah proyek yang manfaatnya lebih besar dari pada
biaya yang diperlukan. Nilai bersih suatu proyek merupakan seluruh nilai dari
manfaat proyek dikurangkan dengan biaya proyek pada tahun yang bersangkutan.
Rumus perhitungannya adalah :

d. Metode IRR (Internal Rate of Return)


Dengan metode ini tingkat diskonto dicari sehingga menghasilkan nilai
sekarang suatu proyek sama dengan nol. Rumus yang digunakan adalah :

Proyek yang mempunyai nilai IRR yang tinggi yang mendapat prioritas. Suatu
proyek akan dilaksanakan dengan mempertimbangkan tingkat pengembalian (IRR)
dan tingkat diskonto (i). Tingkat diskonto merupakan biaya pinjaman modal yang
harus diperhitungkan dengan tingkat pengembalian investasi. Investor akan
melaksanakan semua proyek yang mempunyai IRR > i dan tidak melaksanakan
investasi pada proyek yang hargaIRR < i.
e. Metode Perbandingan Manfaat dan Biaya (BCR)
Dengan kriteria ini maka proyek yang dilaksanakan adalah proyek yang
mempunyai angka perbandingan lebih besar dari satu.

Berdasarkan metode ini, suatu proyek akan dilaksanakan apabila BCR > 1.
Metode BCR akan memberikan hasil yang konsisten dengan metode NPB, apabila
BCR > 1 berarti pula NPB > 0.
Ada beberapa kelebihan dan kelemahan masing-masing metode analisis
seperti ditunjukkan pada Tabel di bawah. Dari ketiga metode analisis tersebut NPB
merupakan yang terbaik karena metode lainnya dapat memberikan hasil yang keliru
dalam menentukan pilihan proyek yang akan dilaksanakan.
Tabel Perbandingan Analisa NPB, IRR, dan BCR
Contoh beberapa kajian:
Beberapa penelitian menggunakan Cost Benefit Analyisis untuk mengetahui
dampak pembangunan Pantai Ngedan dan memberi gambaran tentang dampak yang
ditimbulkan menggunakan penilaian nilai kelayakan dalam CBA. Penelitian Analisis
Cost Benefit digunakan untuk menganalisis suatu proyek layak atau tidak dijalankan
didasarkan pada kesejahteraan sosial masyarakat. Seperti yang diungkapkan Hicks
dan Kaldor (dalam Hansen,2005) kelayakan suatu proyek diterima jika kesejahtaraan
sosial masyarakat meningkat (sosial Improvement)dengan beberapa orang merasa
lebih baik (better off) dan tidak ada yang merasa dirugikan (Worse off)dengan kata
lain kesejahtraan didapat saat masyarakat mendapatkan manfaat dari suatu kegiatan.
Bentuk dari peningkatan kesejahtraan masyarakat juga berbeda-beda ada yang
dilakukan dengan cara perbaikan kualitas hidup masyarakat ataupun perbaikan
prasarana yang ada di masyarakat. Pada kasus pengembangan Pantai Ngedan
kesejahtraan masyarakat diharapkan berasal dari kualitas hidup dengan meningkatnya
pendapatan warga sekitar sekaligus adanya perbaikan saran dan prasarana hidup
masyarakat di sekitar Pantai Ngedan.
Kajian selanjutnya yaitu bertujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
besarnya perbandingan keuntungan dan kerugian yang dialami oleh masyarakat,
pemerintah, perusahaan dan karyawan dengan adanya industri rokok di Indonesia.
Hal ini diukur melalui besarnya benefit yang disumbangkan dan cost yang
ditimbulkan sebagai akibat keberadaannya diIndonesia. Benefit yang ditimbulkannya
antara lain: lapangan kerja yang cukup besar, penyerapan tenaga kerja yang cukup
besar dan sumber pendapatan negara yang cukup besar dari pembayaran pajaknya.
Sedangkan cost yang ditimbulkannya adalah antara lain: biaya yang harus
dikeluarkan untuk membeli produk, beban biaya yang harus ditanggung dalam jangka
waktu yang panjang (biaya pengobatan sebagai efek dari merokok), efek tak langsung
terhadap lingkungan sekitar perokok, serta hilangnya kesempatan kerja sebagai akibat
dari stamina tubuh yang terganggu dan cenderung menurun.(Richard Llewelyn
&Lukas Musianto,2000).
DAFTAR PUSTAKA

Andreas, 2009, Defisi Asuransi, Jakarta, Diakses tanggal 10 Desember 2011, (http://jurnal-sdm.
blogspot.com/2009/08/ asuransi-insurance-assurance-definisi.html)

Apriliya F.C., dkk., 2012.Analisis Kelayakan Teknologi Informasi menggunakan Metode Cost
Benefit Analysis dengan Microsoft Excel. Jurnal ilmiah Fakultas MIPA., Universitas
sebelas Maret.

Azwar, A, 1999, Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa Aksara:Jakarta.

Bastian, Indra. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia, Edisi Pertama, BPFE Yogyakarta,

Berg, R. D. 2011. Evaluation in the context of global public goods. Evaluation, 17 (4), 405-415.

Budiarto, W. and Kristiana, L., 2015. The Use Capitation Funds in the First Level Health Facility
(FKTP) the Implementation JKN. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 18(4), pp.437-
445.

Dumilah,, A. 2014. Kebijakan Kesehatan Prinsip dan Praktik. Jakarta : PT Rajagrafindo.

Eldi Rahman, 2014.”Pengaruh Belanja Kesehatan Pemerintah Daerah dan Tingkat Korupsi
Terhadap Indikator Kesehatan di Indonesia”.Skripsi. Fakultas Ekonomi. Universitas
Indonesia: Depok

Hansen, D. R., & Mowen, M. (2005). Management Accounting, 7th edition. South Western
Cengage Learning.

Hasbullah, t. 2006. Penyakit kronis yg berkomplikasi kebodohan dan kemiskinan. Depok : UI


press.

Idris, Fachmi. 2014. Optimalisasi Sistem Pelayanan Kesehatan Berjenjang Pada Program Kartu
Jakarta Sehat. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol. 9. No. 1.

Juanita, 2002, Peran Asuransi Kesehatan dalam Benchmarking Rumah Sakit dalam Menghadapi
Krisis Ekonomi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Jurusan Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan, Universitas Sumatera Utara, Diakses tanggal 12 Februari 2012, (www.
repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/3747/1/ fkm-juanita5.pdf).
Kallhoff, A. 2014. Why societies need public goods. Critical Review of International Social and
Political Philosophy, 17 (6), 635-651.

Misuraca, Pamela. 2014. The Effectiveness of a Costs and Benefits Analysis in Making Federal
Government Decisions: A Literature Review. Center for National Security, The MITRE
Corporation

Nadjib, Mardiati., Efmansyah., dkk. 2005. Dasar-dasar Asuransi Kesehatan. Jakarta: Pamjaki.

Nuryadi, Alik., 2009. CBA pada pengadaan alat CTscan antara pembelian tunaidengan KSO
Study di RSI Khadijah Sidoarjo. Skripsi. Surabaya, FKM

Prabantoro, G. 2003. Mengukur Kelayakan Ekonomis Proyek Sistem Informasi Manajemen


menggunakan Metode Cost Benefit dan Aplikasi dengan MS Excell 2000

Prawani, Dwi dan Jefri, Heridiansyah. 2015. Model Kerjasama Pemerintah dengan Pihak Swasta
dalam Pelayanan Kesehatan. Jurnal STIE Semarang. Vol 7, No 2.

Probandari, Ari. 2007. Cost Effectivess Analysis dalam penentuan Kebijakan Kesehatan:
Sekedar Konsep Atau Aplikatif?. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan (10): 104-107

Richard. L&Lukas. M. 2000. Analisis Cost-BenefitTerhadap Industri Rokok di Indonesia. Jurnal


Manajemen & Kewirausahaan Vol. 2, No. 2,: 68 – 85. Universitas Kristen Petra.

Rikomah, S. 2018. Farmasi Rumah Sakit. Yogyakarta: Deepublish.

Setyawan, Budi, E,F. 2018. Sistem Pembiayaan Kesehatan. Jurnal Unimus. Vol 2 (4) : 57-70.

Setyawan. 2015. Sistem pembiayaan kesehatan. Jurnal Sistem Pembiayaan Kesehatan. Vol 11.
No 2.

Sjafii, A. 2009. Pengaruh investasi fisik dan investasi pembangunan manusia terhadap
pertumbuhan ekonomi. Jurnal of Indonesian Applied Economics. Vol 3. No 1 : 59-76.

Supriyanto, Stefanus., Ernawaty., dan Budi, Endra. 2018. Sistem Pembiayaan dan Asuransi
Kesehatan. Sidoarjo : Zifatama Jawara.

Tandelilim dan Eduardus. 2010. Portofolio dan Investasi. Yogyakarta : Kanisius.


Thabrany, H, 2001, Asuransi Kesehatan di Indonesia. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKMUI,
Depok, Indonesia.

Thabrany, Hasbullah, 2010, Sejarah Asuransi Kesehatan, Jakarta: Pusat Kajian Ekonomi
Kesehatan Universitas Indonesia.

Wahab, S. A. 2001. Kebijaksanaan. Jakarta : Bumi Aksara.

Warner, M. E. 2011. Club goods and local government. Journal of the American Planning
Association, 77 (2), 155-166.

WHO. 2006. The World Health Report: Working Together for Health. Geneva: WHO

Witesman, E. M. 2016. An institutional theory of the nonprofit: Toll goods and voluntary action.
Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 45 (45), 975-1155.

Yogyakarta Departemen Kesehatan RI, 2009, Sistem Kesehatan Nasional : Jakarta.

Zebua, M. 2018. Pemasaran Produk Jasa Kesehatan. Yogyakarta: Deepublish.

Anda mungkin juga menyukai