Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah pembiayaan dan pengembangan kesehatan
Dosen : Tri Ani Marwati, Dr., S.E., M.Kes, Akt.,
Disusun Oleh:
BAIQ NABILA ISLAMI (1800029251)
ANISTIA PRATIWI (1800029252)
DEBY MIA ANGGRAENI (1800029253)
FERNANDA WINTANG ATHA (1800029254)
NAMIRA AISYAH LUGIANA (1800029255)
SENDY MARTHA MARETA (1800029257)
TITIM MARTINI (1800029258)
JIHAN OKTAVIANI AMALIA (1800029259)
DIRATUL AMELIA ZULANDA (1800029260)
AYU NURSUCITA (1800029262)
REVLYNE SAVIRA PRASETYO (1800029264)
SHAFA NABILA KAMAL (1800029265)
DELLIA CHOIRUNNISAH (1800029266)
SHERINA AMALIA PUTRI (1800029267)
MELIYANTO TAUFIK (1800029268)
HASANAIN MUWAHHID (1800029270)
DWI RATNA RAHAYU (1800029271)
FITRIANINGSIH SIKUMBANG (1800029273)
KHANSA ALIYYA R. (1800029274)
NABILA SHOLEHA (1800029275)
Pertanyaan yang mengemuka ialah model kebijakan kesehatan seperti apa yang
layak diterapkan di Indonesia, sistem pembiayaan yang bagaimana yang cocok dengan
kehidupan masyarakat kita. Terdapat beberapa model sistem pembiayaan pelayanan
kesehatan yang dijalankan oleh beberapa negara, berdasarkan sumber pembiayaannya:
a. Direct Payments by Patients Ciri utama model direct payment adalah setiap individu
menanggung secara langsung besaran biaya pelayanan kesehatan sesuai dengan
tingkat penggunaannya. Pada umumnya sistem ini akan mendorong penggunaan
pelayanan kesehatan secara lebih hati-hati, serta adanya kompetisi antara para
provider pelayanan kesehatan untuk menarik konsumen atau free market.
b. User payments Dalam model ini, pasien membayar secara langsung biaya pelayanan
kesehatan baik pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta.
c. Saving based Model ini mempunyai karakteristik ‘risk spreding’ pada individu namun
tidak terjadi risk pooling antar individu. Artinya biaya kesehatan langsung, akan
ditanggung oleh individu sesuai dengan tingkat penggunaannya, namun individu
tersebut mendapatkan bantuan dalam mengelola pengumpulan dana (saving) dan
penggunaannya bilamana membutuhkan pelayanan kesehatan. Biasanya model ini
hanya mampu mencakup pelayanan kesehatan primer dan akut, bukan pelayanan
kesehatan yang bersifat kronis dan kompleks yang biasanya tidak bisa ditanggung
oleh setiap individu meskipun dengan mekanisme saving.
d. Informal Ciri utama model ini adalah bahwa pembayaran yang dilakukan oleh
individu pada provider kesehatan formal misalnya dokter, bidan tetapi juga pada
provider kesehatan lain misalnya: mantri, dan pengobatan tradisional; tidak dilakukan
secara formal atau tidak diatur besaran, jenis dan mekanisme pembayarannya.
e. Insurance Based Sistem pembiayaan dengan pendekatan asuransi mempunyai
perbedaan utama dimana individu tidak menanggung biaya langsung pelayanan
kesehatan. Konsep asuransi memiliki dua karakteristik khusus yaitu pengalihan resiko
kesakitan pada satu individu pada satu kelompok serta adanya sharing looses secara
adil.
Model Asuransi Kesehatan Pembiayaan pelayanan kesehatan, semakin meningkat
dari waktu ke waktu dan dirasakan berat baik oleh pemerintah, dunia usaha terlebih
masyarakat pada umumnya, untuk itu, sebagian besar negara memilih model pembiayaan
kesehatan bagi rakyatnya, yang diberlakukan secara nasional, berbagai model yang
dominan implementasinya disesuaikan dengan keadaan di negara masingmasing.
Beberapa model yang dominan adalah
a. Model asuransi kesehatan sosial ( Social Health Insurance). Model ini dirintis sejak
Jerman dibawah Bismarck pada tahun 1882. Model inilah yang berkembang di
beberapa Negara Eropa, Jepang (sejak 1922) dan kemudian ke nonformal dan self
employed. Program bagi Negaranegara Asia lainnya yakni Philipina, masyarakat
miskin seringkali dikembangkan Korea, Taiwan dll. Kelebihan sistem ini menjadi
bagian dari kelompok non formal, atau memungkinkan cakupan 100% penduduk dan
dikembangkan secara tersendiri bergantung relatif rendahnya peningkatan biaya
pelayanan kepada kebijakan negara. Program asuransi kesehatan kesehatan sosial di
berbagai Negara
b. Model asuransi kesehatan komersial menunjukkan terjadinya peningkatan akses
(Commercial/Private Health Insurance). Model seluruh penduduk ke fasilitas
kesehatan serta ini berkembang di AS. Namun sistem ini gagal terjadinya
pengendalian biaya. mencapai cakupan 100% penduduk. Sekitar 2) Di berbagai
negara, program ini dimulai dengan 38% penduduk tidak tercakup dalam sistem.
beberapa badan penyelenggara akan tetapi Selain itu terjadi peningkatan biaya yang
amat jumlah tersebut semakin menurun. Dimulai besar karena terbukanya peluang
moral dengan kerjasama/koordinasi diantara hazard. Sejak tahun 1993; oleh Bank
Dunia berbagai badan penyelenggara, selanjutnya direkomendasikan pengembangan
model terjadi merger sehingga akhimya menjadi satu Regulated Health Insurance
dimana bad an pen ye Ieng gar a yang kepesertaan berdasarkan kelompok dengan
menyelenggarakan program secara nasional syarat jumlah minimal tertentu sehingga
{contoh; Taiwan, Korea Selatan). Deogan mengurangipeluangmoralhazard demikian
bargaining power badan
c. Model NHS (National Health Services) yang penyelengara semakin besar, sementara
dirlntis pemerlntah lnggris sejak usai perang hukum the law of the large number juga
dunia kedua. Model ini juga membuka peluang semakin besar. cakupan 100%
penduduk. Na mun pembiayaan Perkembangan asuransi kesehatan sosial di kesehatan
yang dijamin melalui anggaran berbagai negara telah mengubah konsep asuransi
pemerintah akan menjadi beban yang berat (Thabrany, Hasbullah, 2010, Sejarah
Asuransi Kesehatan, Jakarta: Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan Universitas
Indonesia.)
3. Keterkaitan belanja kesehatan dengan indicator kesehatan
Belanja kesehatan merupakan salah satu fokus belanja pemerintah yang
dikategorikan berdasarkan fungsinya.Berdasarkan pentingnya capaian indikator
kesehatan di Indonesia, hasil studi terdahulu mengenai hubungan antara belanja
kesehatan pemerintah dengan capaian indikator kesehatan yang belum konsisten,
besarnya peran pemerintahan tingkat daerah dalam sektor kesehatan, serta dugaan adanya
peran dari korupsi, penelitianini bertujuan untuk menguji hipotesis mengenai signifikansi
pengaruh daribelanja kesehatan pemerintah dan tingkat korupsi terhadapindikator
kesehatan pada daerah tingkat kabupaten/kota di Indonesia.
Urusan kesehatan merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Dalam
struktur APBD, belanja kesehatan merupakan salah satu fokus belanja pemerintah daerah
yang dibagi berdasarkan fungsinya. Pengelolaan urusan baik dalam hal operasional
maupun keuangan yang berada pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah diharapkan
akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan pelayanan kesehatan di
Indonesia, yang selanjutnyaakan meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat di
Indonesia.
Sebagai salah satu sumber utama pendanaan dalam penyediaan layanan dan
fasilitas kesehatan di Indonesia, belanja kesehatan pemerintah diduga memiliki peranan
penting dalam menunjang capaian indikator kesehatan di Indonesia. Peningkatan belanja
kesehatan pemerintah diharapkan akan membawa perbaikan pada layanan dan fasilitas
kesehatan. Layanan dan fasilitas kesehatan yang semakin baik diharapkan akan diiringi
oleh perbaikan tingkat kesehatan penduduk di Indonesia.
Penyediaan layanan dan fasilitas pendukung kesehatan yang tidak optimal pada
suatu daerah akan berdampak buruk bagi capaian indikator kesehatan masyarakat pada
daerah yang bersangkutan.
1. Tarif Terjangkau
Pendanaan kesehatan merupakan suatu cara dalam memungkinkan seseorang
memenuhi kebutuhan medisnya. Berdasarkan Permenkes RI Nomor 59 Tahun 2014
tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan, tarif pelayanan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama meliputi tarif
kapitasi dan tarif non kapitasi. Tarif kapitasi adalah besaran pembayaran perbulan yang
dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehattan Tingkat Pertama
(FKTP) berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan
jumlah pelayanan kesehatan (Thabrany, 2006).
Pada penetapan tarif biasanya melibatkan para manajer, seperti manajer produk,
manajer peningkatan kunjungan dan manajer lainnya. Tarif pelayanan rumah sakit
merupakan nilai yang nyata yang bisa dilihat dan dirasakan oleh pasien berkaitan
dengan pemanfaatn pelayanan produk jasa kesehatan di rumah sakit. Besarnya tarif
pelayanan rumah sakit merupakan salah satu yang mendasari keputusan sang paisen
untuk memanfaatkan atau tidak memanfaatkan pelayanan rumah sakit. Berdasarkan hal
tersebut dalam hal menentukan tarif suatu pelayanan di rumah sakit banyak hal yang
harus dipertimbangkan yaitu (Zebua, 2018) :
a. Biaya dari setiap pelayanan
b. Tarif pelayanan dari rumah sakit pesaing dan tariff pelayanan subitusi
c. Penilaian pelanggan terhadap keistimewaan produk jasa kesehatan atau pelayanan
rumah sakit.
Rumah sakit dalam melakukan pelayanan menerapkan tarif yang harus
dikeluarkan pasien atas jasa pelayanan yang telah diberikan. Besar kecilnya tarif
pelayanan di rumah sakit berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan kepada pasien.
Tarif pelayanan di rumah sakit seperti tarif pelayanan rawat jalan eksklusif. Besaran tarif
pelayanan rawat jalan eksklusif disetiap rumah sakit ditetapkan oleh maisng-masing
kepala atau direktur rumah sakit sesuai dengan penghitungan tarif rumah sakit. Peserta
JKN, besarnya tarif pelayanan rawat jalan eksklusif di rumah sakit sesuai dnegan
ketentuan undang-undang (Rikomah, 2017.
Adapun tujuan penerapan tariff adalah sebagai berikut (Zebua, 2018):
a. Cost recovery
Kemampuan rumah sakit untuk menutup biaya yang dikeluarkan dari pendapatan
yang diperoleh, sehingga mencapai target pemulihan biaya yang diharapkan.
b. Subsidi silang
Penentuan tarif ditunjukan untuk mengadakan kseimbangan penggunaan
pelayanan bagi masyarakat ekonomi lemah.
c. Maksimalisasi pendapatan
Untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar dari biaya yang dikeluarkan
sehingga menghasilkan profit.
d. Minimalisasi penggunaan pelayanan
Menetapkan tarif yang tinggi, biasanya digunakan pada pelayanan yang biaya
operasionalnya tinggi.
e. Maksimalisasi penggunaan pelayanan
Melakukan penetapan tarif yang serendah-rendahnya, biasanya digunakan pada
pelayanan yang biaya tidak tetapnya rendah.
2. Pendanaan Fasilitas
Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 191 negara dalam Indeks Pembangunan
Manusia, Hal ini berarti mutu kesehatan bangsa ini juga masih rendah, faktor yang
membuat kita tetap sehat masih rendah, lingkungan hidup kita (udara, biologis, kimiawi,
sosial dll) masih jauh dari lingkungan yang memungkinkan kita hidup sehat dan produktif
dari hari ke hari, dan kualitas pelayanan kesehatan kita masih jauh dari baik. Salah satu
akar masalah terpenting adalah pendanaan (financing) program dan pelayanan kesehatan
di Indonesia yang jauh dari memadai. Pengalokasian dana yang dikucurkan dalam sektor
kesehatan masih jauh dari memadai. Adapun masalah masalah pendanaan fasilitas di
Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Rendahnya belanja kesehatan
Rendahnya kinerja sistem kesehatan kita sangat berkorelasi dengan rendahnya
belanja kesehatan yang hanya naik dari 2,9% Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun
1999 menjadi 3,1% PDB di tahun 2003. Sementara di Cina belanja kesehatan naik
dari 4,9% PDB di tahun 1999 menjadi 5,6% PDB di tahun 2003, dan di India turun
sedikit dari 5,1% menjadi 4,8% PDB. Yang menarik adalah bahwa pada periode
tersebut, Pemerintah China membelanjakan antara 9,7% - 12,5% anggaran
pemerintah untuk kesehatan dan Filipina menghabiskan 4,9% - 7,1%, dan pemerintah
Indonesia hanya membelanjakan 3,8% - 5,1% anggaran pemerintah untuk kesehatan
(WHO, 2006). Rendahnya belanja kesehatan Indonesia merupakan salah satu
indikator rendahnya komitmen pemerintah dan lemahnya kebijakan sosial bidang
kesehatan.
b. Pemanfaatan Dana Kapitasi
Mengacu pada Perpres No. 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan
Dana Kapitasi JKN pada fasilitas kesehatan tingkat pertama milik Pemerintah
Daerah, dan Permenkes No. 19 Th. 2014 tentang Penggunaan dana kapitasi JKN
untuk jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pada fasilitas
kesehatan tingkat pertama milik Pemerintah Daerah , maka dasar 60% untuk jasa
pelayanan dan 40% untuk biaya operasional perlu ditinjau kembali. Premi tersebut
pada tahun 2015 akan ditingkatkan menjadi Rp. 22.500,- per peserta per bulan, yang
dibayar oleh pemerintah (Donald, 2015 dalam Budiarto dan Kristiana 2015).
Penggunaan dana kapitasi di puskesmas sebagian besar digunakan untuk
membayar jasa dan sisanya untuk operasional. Klinik pratama menggunakan sebagian
besar dana kapitasi untuk membayar jasa, dan sisanya untuk operasional, dan
dokter/dokter gigi praktek perseorangan, untuk jasa dan operasional relatif sama. Biaya
kapitasi terbanyak digunakan untuk obat-obatan sedangkan dokter gigi praktek banyak
menggunakan untuk lisktrik. Agar klinik pratama bisa berfungsi sebagai provider BPJS
kesehatan secara komprehensif, maka sebaiknya setiap klinik menyediakan fasilitas UGD
sehingga dapat digunakan untuk kasus-kasus ‘emergency’ bagi peserta. Disarankan pula
untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada swasta untuk mendirikan klinik
pratama dan praktek dokter bersama (dokter umum dan dokter gigi) dan menambah
kerjasama BPJS dengan klinik-klinik lainnya (Budiarto dan Kristiana, 2015). Dari hal-hal
yang disampaikan diatas menjadi salah satu penyebab dimana pada tahun 2019
mekanisme pemanfataan dana kapitasi dievaluasi dikarenakan kurang optimalnya
implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Barang publik sangat terkait dengan konsep ekonomi lain seperti eksternalitas,
yang mengarah pada biaya dan manfaat yang tercipta di pasar yang bersifat tambahan dan
eksternal terhadap produk yang diproduksi dan dibeli dipasaran (public goods are
strongly related to another economic concept: that of externalities, which point to costs
and benefits that are created in markets that are additional and external to the product
that was produced for and bought on the market). (berg, 2011)
Barang publik (public goods) Karakteristik barang non-rival dan non-excludable
seharusnya disediakan oleh negara. Nonprofittype institutions involve redistribution,
meaning that the individual who pays for the good is not the (sole) beneficiary of the
good (Witesman, 2016). Lembaga pemerintah bertanggung jawab untuk mendistribusikan
barang publik kepada masyarakat namun barang tersebut seperti telah diuraikan
sebelumnya akan tidak dapat dinikmati secara gratis bila nonprofit organization telah
diprivatisasi. Masalah yang sering melekat pada barang publik antara lain: (1.) barang
publik tidak akan pernah menguntungkan bagi negara, karena biaya produksi maka
barang tersebut harus bernilai tambah buat negara dengan beberapa asumsi dan diperoleh
secara umum namun harus di bayar; (2.) konsep ekonomi yang selalu mencari
keuntungan memaksa barang publik (public goods) tidak lagi dapat diperoleh secara
gratis; dan (3.) bagaimana pemerintah bisa memutuskan barang tersebut bisa gratis,
ketika penghasilan negara masih mengandalkan pada sektor pajak yang dipungut.
Kondisi ini, membuat barang publik tidak bermakna hanya dikatakan barang public.
Menurut Warner (2011) memberikan penekanan karakteristik pokok dari barang
publik, barang ini tidak dapat dimiliki dan hanya bisa dinikmati. Karakteristik tersebut
dapat memberikan arti karena pertama, konsumsi barang umum oleh satu orang tidak
mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain dan tidak perlu bagi seseorang untuk
memilikinya agar dapat memanfaatkannya; Kedua, tidak ada persaingan (non-rival) di
dalam konsumsinya, satu orang dapat meningkatkan kepuasannya dari barang ini tanpa
mengurangi kepuasan orang lain. Barang-barang publik tidak dikonsumsi dalam arti
dipakai habis, tetapi barang-barang ini dinikmati; Ketiga, tidak dikecualikan (non-
excludable). Tidak ada cara untuk mengecualikan siapa pun agar dapat memanfaatkan
barang umum yang murni. Manfaat barang publik juga dapat dirasakan oleh banyak
orang meskipun ada yang tidak ikut membayar dalam penyediaan barang publik tersebut.
Dengan demikian, karakteristik non-rival dan non-excludable bervariasi pada setiap
barang.
3. Pemahaman Kesehatan Sebagai Konsumsi Belaka, Salah Paham Konsep Public goods
dan Private Goods
Barang publik belum tentu dikatakan barang publik, karena untuk
mendapatkannya harus perlu usaha dan mengeluarkan sesuatu. Semestinya barang publik
dapat dinikmati masyarakat tanpa persaingan. Barang-barang tersebut dapat dipahami
sangat sulit untuk menyediakannya, di sisi lain barang ini juga akan menghasilkan
keuntungan, tapi dibeberapa kondisi sulitnya penyediaan barang publik disebabkan oleh
mekanisme kegagalan pasar dan sangat berkontribusi terhadap kestabilan keadaan
ekonomi dan sosial di suatu negara. Barang publik juga berkontribusi dalam menjaga
keselarasan kehidupan berbangsa dan bernegara dan mempererat kesatuan pada setiap
warga negara (Kallhoff, 2014).
Barang pribadi (private goods) Karakteristik rival dan excludable, merupakan
barang kebutuhan horizontal setiap individu, jelas untuk mendapatkannya harus
memerlukan usaha. Sebagai contoh ketika kita ingin memiliki sebuah sepeda, maka
untuk memilikinya perlu usaha dengan cara mengeluarkan sejumlah uang kemudian
menjadi milik pribadi. Contoh lainnya seperti “tubuh” (extreme private good) yang
hanya dimiliki oleh pemilik tubuh tersebut. Kebutuhan yang harus dipenuhi sesuai
dengan kebutuhan dan manfaat, pola untuk memperoleh harus diikuti dengan
pengetahuan, tapi pengetahuan tidak selalu menjadi prasyarat untuk menjaga
keberlangsungan common goods. Budaya juga sangat berpengaruh dalam menjaga
common goods seperti kebiasaan adat Suku Anak Dalam (Jambi), Suku Baduy
(Banten) yang menjaga keseimbangan alam. (murti, 2003)
Barang public murni memilki dua karakteristik (1) nonrival dan (2)
nonexcludable. Pertama barang public tidak akan habis disebut nonrival atau
inexhaustible) artinya, sekali produksi maka diperlukan biaya tambahan bagi orang dalam
menggunakan barang itu, dengan kata lain, biaya marginal bagi pengguna tambahan
adalah 0,MC = 0. Kedua barang public bersifat noneksklutif. Artinya orang tidak dapat
dicegah untuk menggunakan barang public apabila barang tersebut tersedia. (murti, 2003)
Private goods (barang swasta, barang pribadi) bersifat rival atau exhaustible,
artinya akan habis setelah dikonsumsi, misalnya pil (dengan huruf kecil ) atau waktu
konsultasi seorang dokter. Jika seorang pasien menggunakan waktu kkonsultasi yg
tersedia untuk pasien – pasien berikutnya akan berkurang. Sebaliknya, formula pil itu
sendiri da nisi konsultasi dokter berupa nasihat bahwa mengkonsumsi makanan kaya
akan vitamin C mengurangi risiko kanker, tidak bisa habis setelah dikonsumsi. (murti,
2003)
Barang swasta bersifat excludable (eksklusif), artinya jika seorang menggunakan
barabg itu makaorang lain tidak dapat menggunakannya. Pelayanan bedah seorang ahli
ortopedi kepada seorang pasien merupakan barang swasta. Hal ini karena bersifta
eksklusif untuk pasien tersebut yg tidak dapat digantikan atau dipindahkan kepada pasien
lainnya. Sifat eksklusif memudahkan ahli ortopedi untuk mengenakan biaya atas
penggunaan pelayanan yg diberikan dan meminta pengguna pelayanan membayar biaya
produksi. (murti, 2003)
Sebaliknya, barang – barang public seperti udara bersih, panduan mercusuar,
maupun informasi tentang pencegahan SARS (sindroma pernapasan akut parah) bersifat
noneksklusuf. Siapapu bisa menggunakan barang public danpa dapat dicegah. Maka tidak
seorang pun mempunyai dorongan untuk membayar barang itu, inilah problem yg
terkenal dengan istilah free rider (pembonceng gratis). Dikatakan problem karena jika
tidak ada seorang pun dengan sukarela atau mau membayar untuk penyediaan barang
public, tidak aka nada orang yg mau menyediakan barang public. Terjadilah kejadian yg
disebut kegagalan pasar (market failure). Disinilah pemerintah diperkenankan untuk
campur tangan dengan ekonomi pasar dengan bertindak sebagai penyedia atau pembeli
barang atau pelayanan. Sebagai contoh, pemerintah (Dapartemen Kesehatan)
menyediakan program pencegahan SARS kepada masyarakat, menyelenggarakan
berbagai program pemberantasan naymuk, seperti penyemprotan dan larvisida,
membiayai dan menyelenggarakan penelitian tentang HIV/AIDS. (murti, 2003)
C. Investasi Keshatan
1. Alasan Perlunya Membuat Kebijakan Investasi Kesehatan
Proses pelayanan kesehatan tidak dapat dipisahkan dengan pembiayaan
kesehatan. Bagi penyedia pelayanan kesehatan, biaya kesehatan merupakan besarnya
dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan, maka
dilihat dari pengertian ini biaya kesehatan adalah persoalan utama pemerintah dan
ataupun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan upaya kesehatan.
Besarnya dana bagi penyedia pelayanan kesehatan lebih menunjukkan kepada seluruh
biaya investasi (Setyawan, 2015).
Kebijakan dapat diartikan sebagai pendanaan untuk bertindak, pedoman itu boleh
jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur
atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif-kuantitatif, publik atau prifat
(Wahab, 2001).
Investasi merupakan salah satu pilar pertumbuhan ekonomi. Investasi dapat
berupa investasi modal fisik dan investasi modal manusia. Investasi fisik yakni semua
pengeluaran yang dapat menciptakan modal baru. Sedangkan investasi sumber daya
manusia dapat berupa nilai-nilai pembelajaran dan pengalaman yang ada dalam diri
tenaga kerja seperti peningkatan produktivitas dan pendapatan. Beberapa bentuk investasi
sumber daya manusia dapat berupa pendidikan, kesehatan maupun migrasi (Sjafii, 2009).
Kebijakan kesehatan merupakan seluruh sarana dan prasarana untuk mencapai
tujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Kebijakan kesehatan melingkupi
berbagai upaya dan tindakan pengambilan keputusan yang meliputi aspek teknis medis
dan pelayanan kesehatan, serta keterlibatan pelaku/aktor baik pada skala individu
maupun organisasi atau institusi dari pemerintah, swasta, LSM dan representasi
masyarakat lainnya yang membawa dampak pada kesehatan. Secara sederhana kebijakan
kesehatan dipahami persis sebagai kebijakan publik yang berlaku untuk bidang kesehatan
(Dumilah, 2014).
Keputusan investasi adalah suatu kebijakan atau keputusan yang diambil untuk
menanamkan modal pada satu atau lebih aset untuk mendapatkan keuntungan di masa
yang akan datang atau permasalahan bagaimana manajer keuangan harus mengalokasikan
dana kedalam bentuk-bentuk investasi yang akan dapat mendatangkan keuntungan di
masa yang akan datang (Tandelilim dan Eduardus, 2010).
Kebijakan kesehatan memiliki karakteristik tersendiri yang mengakomodasikan
keunikan sektor kesehatan antara lain adalah (Dumilah, 2014) :
a. Sektor kesehatan amat kompleks karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan
kepentingan masyarakat luas. Dengan perkataan lain, kesehatan menjadi hak dasar
setiap individu yang membutuhkannya secara adil dan setara. Artinya, setiap individu
tanpa terkecuali berhak mendapatkan akses dan pelayanan kesehatan yang layak apa
pun kondisi dan status finansialnya.
b. Consumer ignorance, keawaman masyarakat membuat posisi dan relasi “masyarakat-
tenaga medis” menjadi tidak sejajar dan cenderung berpola paternalistik. Artinya
masyarakat atau dalam hal ini pasien, tidak memiliki posisi tawar yang baik, bahkan
hampir tanpa daya tawar ataupun daya pilih.
c. Kesehatan memiliki sifat uncertainty atau ketidakpastian. Kebutuhan akan pelayanan
kesehatan sama sekali tidak berkait dengan kemampuan ekonomi rakyat. Siapa pun ia
baik dari kalangan berpunya maupun miskin papa ketika jatuh sakit tentu akan
membutuhkan pelayanan kesehatan. Ditambah lagi, seseorang tidak akan pernah tahu
kapan ia sakit dan berapa biaya yang akan dikeluarkan. Disinilah pemerintah harus
berperan menjamin setiap warga negara mendapatkan pelayanan kesehatan ketika
membutuhkan, terutama bagi masyarakat miskin.
d. Karakteristik lain dari sektor kesehatan adalah adanya eksternalitas, yaitu keuntungan
yang dinikmati atau kerugian yang diderita oleh sebagian masyarakat karena tindakan
kelompok masyarakat lainnya. Dalam hal kesehatan, dapat berbentuk eksternalitas
positif atau negatif. Sebagai contoh, jika di suatu lingkungan rukun warga sebagian
besar masyarakat tidak menerapkan pola hidup sehat sehingga terdapat sarang
nyamuk aides aigepty, maka dampaknya kemungkinan tidak hanya mengenai
sebagian masyarakat tersebut saja melainkan diderita pula oleh kelompok masyarakat
lain yang telah menerapkan perilaku hidup bersih.
2. Alasan Meningkatkan Skala Intervensi Kesehatan Baik dalam Perspektif Produksi
Kesehatan maupun Produksi Pelayanan Kesehatan
Alasan meningkatkan skala intervensi kesehatan baik dalam perspektif produksi
kesehatan maupun produksi pelayanan Kesehatan (Idris, 2014) :
a. Alasan meningkatkan skala intervensi kesehatan baik dalam perspektif produksi
kesehatan
yaitu untuk menemukan produksi kesehatan yang tepat bagi pasien serta
memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi pasien yang dirawat.
b. Alasan meningkatkan skala intervensi kesehatan baik dalam perspektif produksi
pelayanan kesehatan
Yaitu kunjungan pasien rumah sakit semakin meningkat sehingga
membutuhkan pelayanan kesehatan yang optimal serta untuk memudahkan layanan
Kesehatan bagi pasien.
3. Alasan Diperlukannya Peran Serta Pemerintah dan Swasta dalam Pembiayaan Kesehatan
Pemerintah daerah dapat mencari cara lain untuk mengelola pelayanan kesehatan.
Salah satu cara adalah mengadakan kerja sama dengan pihak swasta dengan mengkuti
kentetuan – ketentuan yang di terapkan bersama. Dan kerja sama ini tetap berfokus pada
peningkatan pelayanan kesehatan, bukan untuk mencari keuntungan yang banyak.
Definisi Public Private Partnership ( PPP ) adalah persetujuan kerja sama antara
agensi publik ( negara, pemerintah pusat atau daerah ) dan perusahaan yang berorientasi
laba, atau kerja sama antar organisasi sektor publikitu sendiri dan pihak swasta.
Kemampuan dan aset setiap sektor dibagi untuk mencapai pelayanan atau asilitas yang
akan digunakan publik umum. Setiap pihak harus mengakui tujuan pihak lain dan siap
untuk membangun hubungan yang baik dan jangka panjang. Pemasok komersial, yang
cenderung lebih mementingkan laba dari pada kesejahtraan publik, dianggap sebagai
partner yang akan berguna. Pegawai pemerinta, yang dianggap otoriter dianggap sebagai
partner yang responsi dan kapabel untuk aktivitas yang berkaitan dengan kesehatan
publik.
Alasan untuk melakukan kerja sama antara pihak publik dengan swasta adalah
adanya kompleksitas masalah kesehatan dan sosial yang dihadapi oleh negara- negara
dan mereka memecahkannya dengan melakukan kolaborasi antara organisasi dan
beberapa sektor. Alasan lain adalah tumbuhnya kesadaran bahwa pendekatan inter-
sectoral untuk pelayanan kesehatan lebih efesien dan cost – effective daripada jika
dilakukan terpisah.
Penerapan PPP akan mendatangkan keuntungan atau PPP mempunyai beberapa
kelebihan, diantara lain :
a. Memberi kesempatan untuk memperhatikan bidang kesehatan dalam suatu acara
komprehensi
b. Membangun kekuatan untuk setiap organisasi, setiap organisasi dapat mengumpulkan
sumber daya dan memaksimalkan dampak positif yang akan terjadi
c. Mendorog keterlibatan masyarakat untuk menjaga kesehatan
d. Mencari sumber daya baru dan menggunakan secara efesien
e. Membuat standar untuk kualtas pelayanan kedua sektor, dan meningkatkan kualitas
pemeliharaan kesehatan.
f. Dapat mengurangi kesenjangan pelayanan, dan meningkatakan akses pelayanan untuk
kelompok yang belum terlayani.
Faktor kunci kerja sama yang efektif , diantara lain :
a. Komunikasi. Organisasi – organisasi mulai saling berkomunikasi tentang kepentingan
mereka saat membuat kerja sama
b. Kooperasi. Dua atau lebih organisasi yang berkomunikasi mencapai pemahaman
untuk saling membantu
c. Koordinasi. Organisasi mengkombinasikan sumber daya dan memperkuat peranan
masing – masing.
d. Kolaborasi. Dua atau lebih organisasi yang sudah berkomunikasi sama – sama
mengembangkan aktivitas , program atau kebijakan yang sebelumnya tidak ada.
PPP mempunyai beberapa model yaitu desain dang bangun ; desain , bangun dan
kelola; desain, bangun, keola dan mendanai, konsensi. Dalam bastian ( 2001) model –
model kerjasama adalah :
a. Bangun – Operasi – Serahkan (Built, Operate and Transer)
pihak penyelenggara proyek melaksanakan kegiatan kontruksi ( termasuk
pembiayaan suatu asilitas instratruktur), termasuk proses pengoprasian dan
pemeliharaan proyek. Proyek dijalankan dalam jangka waktu tertentu . setelah jangka
waktu yang ditetapkan habis seluruh fasilitas diserahkan kepada pemerintah.
b. Bangun Serah (Built and Transer)
Pihak penyelenggara proyek melaksanakan kegiatan konstruksi dan
pembiayaan suatu proyek dalam jangka waktu tertentu, yang disepakati dalam
kontrak perjanjian. Setelah kontrak selesai, diserahkan kepada pemerintah, dan
pemerintah wajib membayar pihak penyelenggara sebesar nilai investasi yang
dikeluarkan untuk nilai proyek ditambah nilai pengembalian yang wajar bagi
investasi yang dilakukan.
c. Bangun Kelola Miliki (Built, Operate and Own)
Pihak swasta diberi kewenangan untuk membangun dan membiayai,
mengoperasikan dan memelihara suatu fasilitas infrastruktur. Pihak penyelenggara
diberi kewenangan untuk mendapatkan biaya pengembalian investasi, serta biaya
operasional dan pemeliharaan, termasuk keuntungan yang wajar dengan cara menarik
biaya dari pemakai fasilitas infrastruktur tersebut.
d. Konsesi (Concession)
Pihak berwenang memberikan ijin kepada pihak swasta untuk melakukan
kegiatan eksploitasi tertentu, sedangkan pihak swasta dibebani kewajiban untuk
membayar fee atau retribusi kepada pihak berwenang (pemerintah).
e. Leasing
Titik beratnya pada penyewaan fasilitas tertentu kepada pihak swasta. Pihak
swasta wajib memikul resiko komersial dari kegiatan yang dijalankan Bagi hasil.
f. Kontrak pelayanan
Pihak yang berwenang (pemerintah) menyerahkan suatu kegiatan pelayanan
jasa tertentu kepada pihak swasta dan sebaliknya pihak swasta memberikan jasa-jasa
tertentu kepada pemerintah.
g. Management contract
Bentuk kerja sama ini adalah mengalihkan seluruh kegiatan operasional dan
pemeliharaan suatu bidang tertentu kepada pihak swasta.
h. Bentuk kerja sama ini adalah mengalihkan seluruh kegiatan operasional dan
pemeliharaan suatu bidang tertentu kepada pihak swasta.
Menurut Thomas dan Curtis (2001) ada tiga model kerja sama, yaitu product-
based partnership, product-development partnership, dan system/issues based
partnership. Thomas dan Curtis juga mengembangkan prinsip-prinsip PPP. Prinsip-
prinsip itu adalah:
a. Good governance, struktur pengelolaan kerja sama yang tepat dan penting harus
menjamin adanya pencapaian tujuan kesehatan publik, dapat mempertemukan tujuan
semua partner, dan adanya komunikasi yang transparan. Ada empat model
pengelolaan PPP, yaitu:
1) Elite committe model
2) NGO model
3) Quasi-public authority model
4) Catalyst model
b. Pemilihan partner, organisasi sektor publik dan swasta dapat bekerja sama untuk
mendukung program pencegahan penyakit jika mereka mempunyai pandangan
benefit yang saling menguntungkan dan situasi menang-menang. Pemerintah harus
selektif dalam memilih partner yang akan diajak kerja sama.
c. Transparansi dan komunikasi.
d. Akuntabilitas, PPP menggunakan sumber daya publik dan harus
dipertanggungjawabkan ke publik. Pengawasan dan evaluasi yang efektif diperlukan,
audit dari badan/organisasi independen harus ditingkatkan.
e. Menghindari kompetisi yang tidak adil, PPP perlu mengeksplore pengaruh produk
yang disubsidi pada industri lokal.
f. Equity, PPP diharapkan mempunyai strategi untuk menjamin equity, terutama saat
kontribusi publik dinaikkan untuk membantu masyarakat yang miskin.
g. Externalities
Proyek yang mempunyai nilai IRR yang tinggi yang mendapat prioritas. Suatu
proyek akan dilaksanakan dengan mempertimbangkan tingkat pengembalian (IRR)
dan tingkat diskonto (i). Tingkat diskonto merupakan biaya pinjaman modal yang
harus diperhitungkan dengan tingkat pengembalian investasi. Investor akan
melaksanakan semua proyek yang mempunyai IRR > i dan tidak melaksanakan
investasi pada proyek yang hargaIRR < i.
e. Metode Perbandingan Manfaat dan Biaya (BCR)
Dengan kriteria ini maka proyek yang dilaksanakan adalah proyek yang
mempunyai angka perbandingan lebih besar dari satu.
Berdasarkan metode ini, suatu proyek akan dilaksanakan apabila BCR > 1.
Metode BCR akan memberikan hasil yang konsisten dengan metode NPB, apabila
BCR > 1 berarti pula NPB > 0.
Ada beberapa kelebihan dan kelemahan masing-masing metode analisis
seperti ditunjukkan pada Tabel di bawah. Dari ketiga metode analisis tersebut NPB
merupakan yang terbaik karena metode lainnya dapat memberikan hasil yang keliru
dalam menentukan pilihan proyek yang akan dilaksanakan.
Tabel Perbandingan Analisa NPB, IRR, dan BCR
Contoh beberapa kajian:
Beberapa penelitian menggunakan Cost Benefit Analyisis untuk mengetahui
dampak pembangunan Pantai Ngedan dan memberi gambaran tentang dampak yang
ditimbulkan menggunakan penilaian nilai kelayakan dalam CBA. Penelitian Analisis
Cost Benefit digunakan untuk menganalisis suatu proyek layak atau tidak dijalankan
didasarkan pada kesejahteraan sosial masyarakat. Seperti yang diungkapkan Hicks
dan Kaldor (dalam Hansen,2005) kelayakan suatu proyek diterima jika kesejahtaraan
sosial masyarakat meningkat (sosial Improvement)dengan beberapa orang merasa
lebih baik (better off) dan tidak ada yang merasa dirugikan (Worse off)dengan kata
lain kesejahtraan didapat saat masyarakat mendapatkan manfaat dari suatu kegiatan.
Bentuk dari peningkatan kesejahtraan masyarakat juga berbeda-beda ada yang
dilakukan dengan cara perbaikan kualitas hidup masyarakat ataupun perbaikan
prasarana yang ada di masyarakat. Pada kasus pengembangan Pantai Ngedan
kesejahtraan masyarakat diharapkan berasal dari kualitas hidup dengan meningkatnya
pendapatan warga sekitar sekaligus adanya perbaikan saran dan prasarana hidup
masyarakat di sekitar Pantai Ngedan.
Kajian selanjutnya yaitu bertujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
besarnya perbandingan keuntungan dan kerugian yang dialami oleh masyarakat,
pemerintah, perusahaan dan karyawan dengan adanya industri rokok di Indonesia.
Hal ini diukur melalui besarnya benefit yang disumbangkan dan cost yang
ditimbulkan sebagai akibat keberadaannya diIndonesia. Benefit yang ditimbulkannya
antara lain: lapangan kerja yang cukup besar, penyerapan tenaga kerja yang cukup
besar dan sumber pendapatan negara yang cukup besar dari pembayaran pajaknya.
Sedangkan cost yang ditimbulkannya adalah antara lain: biaya yang harus
dikeluarkan untuk membeli produk, beban biaya yang harus ditanggung dalam jangka
waktu yang panjang (biaya pengobatan sebagai efek dari merokok), efek tak langsung
terhadap lingkungan sekitar perokok, serta hilangnya kesempatan kerja sebagai akibat
dari stamina tubuh yang terganggu dan cenderung menurun.(Richard Llewelyn
&Lukas Musianto,2000).
DAFTAR PUSTAKA
Andreas, 2009, Defisi Asuransi, Jakarta, Diakses tanggal 10 Desember 2011, (http://jurnal-sdm.
blogspot.com/2009/08/ asuransi-insurance-assurance-definisi.html)
Apriliya F.C., dkk., 2012.Analisis Kelayakan Teknologi Informasi menggunakan Metode Cost
Benefit Analysis dengan Microsoft Excel. Jurnal ilmiah Fakultas MIPA., Universitas
sebelas Maret.
Bastian, Indra. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia, Edisi Pertama, BPFE Yogyakarta,
Berg, R. D. 2011. Evaluation in the context of global public goods. Evaluation, 17 (4), 405-415.
Budiarto, W. and Kristiana, L., 2015. The Use Capitation Funds in the First Level Health Facility
(FKTP) the Implementation JKN. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 18(4), pp.437-
445.
Eldi Rahman, 2014.”Pengaruh Belanja Kesehatan Pemerintah Daerah dan Tingkat Korupsi
Terhadap Indikator Kesehatan di Indonesia”.Skripsi. Fakultas Ekonomi. Universitas
Indonesia: Depok
Hansen, D. R., & Mowen, M. (2005). Management Accounting, 7th edition. South Western
Cengage Learning.
Idris, Fachmi. 2014. Optimalisasi Sistem Pelayanan Kesehatan Berjenjang Pada Program Kartu
Jakarta Sehat. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol. 9. No. 1.
Juanita, 2002, Peran Asuransi Kesehatan dalam Benchmarking Rumah Sakit dalam Menghadapi
Krisis Ekonomi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Jurusan Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan, Universitas Sumatera Utara, Diakses tanggal 12 Februari 2012, (www.
repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/3747/1/ fkm-juanita5.pdf).
Kallhoff, A. 2014. Why societies need public goods. Critical Review of International Social and
Political Philosophy, 17 (6), 635-651.
Misuraca, Pamela. 2014. The Effectiveness of a Costs and Benefits Analysis in Making Federal
Government Decisions: A Literature Review. Center for National Security, The MITRE
Corporation
Nadjib, Mardiati., Efmansyah., dkk. 2005. Dasar-dasar Asuransi Kesehatan. Jakarta: Pamjaki.
Nuryadi, Alik., 2009. CBA pada pengadaan alat CTscan antara pembelian tunaidengan KSO
Study di RSI Khadijah Sidoarjo. Skripsi. Surabaya, FKM
Prawani, Dwi dan Jefri, Heridiansyah. 2015. Model Kerjasama Pemerintah dengan Pihak Swasta
dalam Pelayanan Kesehatan. Jurnal STIE Semarang. Vol 7, No 2.
Probandari, Ari. 2007. Cost Effectivess Analysis dalam penentuan Kebijakan Kesehatan:
Sekedar Konsep Atau Aplikatif?. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan (10): 104-107
Setyawan, Budi, E,F. 2018. Sistem Pembiayaan Kesehatan. Jurnal Unimus. Vol 2 (4) : 57-70.
Setyawan. 2015. Sistem pembiayaan kesehatan. Jurnal Sistem Pembiayaan Kesehatan. Vol 11.
No 2.
Sjafii, A. 2009. Pengaruh investasi fisik dan investasi pembangunan manusia terhadap
pertumbuhan ekonomi. Jurnal of Indonesian Applied Economics. Vol 3. No 1 : 59-76.
Supriyanto, Stefanus., Ernawaty., dan Budi, Endra. 2018. Sistem Pembiayaan dan Asuransi
Kesehatan. Sidoarjo : Zifatama Jawara.
Thabrany, Hasbullah, 2010, Sejarah Asuransi Kesehatan, Jakarta: Pusat Kajian Ekonomi
Kesehatan Universitas Indonesia.
Warner, M. E. 2011. Club goods and local government. Journal of the American Planning
Association, 77 (2), 155-166.
WHO. 2006. The World Health Report: Working Together for Health. Geneva: WHO
Witesman, E. M. 2016. An institutional theory of the nonprofit: Toll goods and voluntary action.
Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 45 (45), 975-1155.