Anda di halaman 1dari 2

Judul Buku : Perburuan Musim

Jenis Buku : Kumpulan Puisi


Penulis : Sartian Nuriamin, Isno
Nois, Fauzi Alfaridzi, dan
Ungke.
Foto Sampul : Iwan Konawe
Tata Letak : CWPantomo
Penerbit : Pustaka Kabanti
Cetakan : Pertama, Mei 2020
ISBN : 978-623-90810-4-1

“Perburuan Musim” merupakan buku antologi puisi terbaru yang diterbitkan oleh Pustaka
Kabanti Kendari yang merupakan kumpulan puisi empat penyair Kabupaten Kolaka. Puisi-
puisi karya empat penyair ini kian menambah khazanah puisi di sulawesi tenggara.

Buku antologi puisi berjudul “Perburuan Musim” ini adalah karya Sartian Nuriamin, Isno
Nois, Fauzi Alfaridzi, dan Ungke. Keempatnya merupakan penyair yang bearsal dari
komunitas yang sama yakni sanggar Teater Kolaka (TEKO).

Buku bersampul dermaga Kolaka ini menyajikankan 83 buah judul puisi yang dikemas dalam
90 halaman. Dalam buku ini, sebagian menggambarkan lokalitas daerah khususnya di
Kabupaten Kolaka. Kemudian kejujuran penyair ketika menangkap gejala sosial yang hidup
disekelilingnya yang lazim dialami penyairnya dan suasana kebatinan penyair sendiri baik itu
tentang pesona alam di Kabupaten Kolaka yang merupakan anugerah besar dari Sang
Pencipta.

Ketika membaca puisi-puisi “Perburuan Musim” ini, pertama sekali yang saya rasakan adalah
kalau penyair dalam puisinya mengangkat lokalitas daerah dengan bahasa yang menghimpun
berbagai macam ilmu pengetahuan tentang Kolaka. Isinya disampaikan dalam bentuk yang
indah dan penyair juga mampu merangkul hingga membawa para pembacanya secara
perlahan-lahan agar mampu memaknai puisi-puisinya yang tidak hanya dalam sekali baca.
Penyair mampu menuangkan segala yang ia rasakan ke dalam tiap-tiap bait puisinya agar
para pembaca terus menikmati dan terus mengulang-ulang untuk dapat memahami puisi-
puisinya agar mendapatkan makna yang eksotis dan luar biasa yang terdapat di dalam larik
maupun pada tiap-tiap baitnya.

Beberapa puisi yang ditulis empat penyair ini mengandung identitas lokal daerah Kolaka
seperti pada puisi Sartian Nuriamin yang berjudul Kalosara, ketika saya membacanya selain
kita untuk memahami puisinya, Sartian juga seolah sedang mengajak kita untuk memahami
lebih jauh tentang simbol hukum adat pada masyarakat Tolaki. berikut ini puisinya:

KALOSARA
“kepada siwole
segala suka duka dibaringkan
kepada okati
kebenaran dibentangkan seluas nurani
kepada okalo
lingkar hidup menjalin
riang dan sedih tak selalu abadi
kepada niwule,
kearifan dijunjung
yang menjelma bara ditahan hati
menjelma teduh dilepas lidah
menjelma riwayat dilepas laku
menjelma tanah dilepas tubuh
yang beradab, berkawan adat
takberadab, adat ditegakkan.”

Semakin sering saya membacanya perlahan-lahan kita menemukan makna yang lebih
mendalam tentang simbol hukum adat pada masyarakat Tolaki. Bahwa segala persoalan yang
ada, Kalosara jalan penyelesaiannya. Dengan itu kita akan dianggap sebagai orang-orang
yang memiliki adab dan sebaliknya bila tidak demikian maka mereka dianggap tidak
memiliki adab sebab hukum adat wajib ditegakkan. Betapa penting menghargai adat dan
tidak boleh dilanggar.

Anda mungkin juga menyukai