Anda di halaman 1dari 12

REFLEKSI KASUS APRIL 2018

URTIKARIA

OLEH :

Moh. Wahid Agung

N 111 17 103

PEMBIMBING KLINIK:

Dr. Diany Nurdin, Sp.KK, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RSUD UNDATA DAN UNIVERSITAS TADULAKO

2018

STATUS PASIEN
BAGIAN ILMU KULIT DAN KELAMIN

RSUD UNDATA PALU

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A
Umur : 39 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Togelele Kec. Tanantovea
Agama : Islam
Tanggal pemeriksaan : 23 April 2018
Ruangan : Poli Kulit & Kelamin RSUD Undata
II. ANAMNESIS
Keluhan utama: Gatal pada tangan dan perut
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien perempuan umur 39 tahun datang ke poliklinik kesehatan
kulit dan kelamin RSUD, dengan keluhan gatal-gatal dan kemerahan pada
telapak tangan dan lengan tangan sejak 3 hari yang lalu. Awalnya pasien
merasa gatal pada bagian punggung telapak tangan sebelah kiri kemudian
digaruk yang semakin lama semakin menyebar ke lengan bawah kiri
muncul kemerahan dan bintil-bintil pada kedua telapak tangan dan lama-
kelamaan menyebar ke lengan kanan dan perut. Tetapi rasa gatalnya
datang kembali setelah mengkonsumsi telur dan mie instan. Pasien juga
mengaku mengalami flu dan mata berair pada pagi hari.

Riwayat Penyakit dahulu:


Pasien pernah menderita hal yang serupa dan belum pernah datang ke RS
sebelumnya. Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis
Keadaan umum : normal
Kesadaran : kompos mentis
Status gizi : gizi cukup
b. Vital Sign :
TD : 120/80 mmHg
N : 80 kali per menit
c. Ujud kelaianan kulit: makula eritema, papul eritem difus, lesi urtika
d. Lokalisasi:
1. Kepala: Tidak terdapat Ujud Kelaina Kulit (UKK)
2. Telinga: Tidak terdapat Ujud Kelaina Kulit (UKK)
3. Leher: Tidak terdapat Ujud Kelaina Kulit (UKK)
4. Dada: Tidak terdapat Ujud Kelaina Kulit (UKK)
5. Punggung: Tidak terdapat Ujud Kelaina Kulit (UKK)
6. Perut: Tampak makula eritem difus berbatas tegas
7. Genitalia: Tidak terdapat Ujud Kelaina Kulit (UKK)
8. Selangkangan: Tidak terdapat Ujud Kelaina Kulit (UKK)
9. Bokong: Tidak terdapat Ujud Kelaina Kulit (UKK)
10. Ekstremitas atas:
Punggung telapak tangan : Tampak papul eritem difus
Lengan tangan kanan : Tampak lesi urtika
11. Ekstremitas bawah: Tidak terdapat Ujud Kelaina Kulit (UKK)

IV. GAMBAR
Perut: Tampak makula eritem difus berbatas tegas

Punggung telapak tangan kiri : Tampak papul eritem difus


Lengan bawah tangan kanan : Tampak lesi urtika

V. RESUME
Pasien perempuan umur 39 tahun datang ke poliklinik kesehatan
kulit dan kelamin RSUD, dengan keluhan gatal-gatal dan kemerahan pada
telapak tangan dan lengan tangan sejak 3 hari yang lalu. Awalnya pasien
merasa gatal pada bagian punggung telapak tangan sebelah kiri kemudian
digaruk yang semakin lama semakin menyebar ke lengan bawah kiri
muncul kemerahan dan bintil-bintil pada kedua telapak tangan dan lama-
kelamaan menyebar ke lengan kanan dan perut. Tetapi rasa gatalnya
datang kembali setelah mengkonsumsi telur dan mie instan. Pasien juga
mengaku mengalami flu dan mata berair pada pagi hari. Pada pemeriksan
status dermatologis didapatkan makula eritem pada perut pasien, papul
eritem difus pada palmar sinistra bagian dorsal, dan lesi urtika pada ante
brachium sinistra.

VI. DIAGNOSIS KERJA


Urtikaria
VII. DIAGNOSIS BANDING
a. Dermatitis atopi
b. Scabies
c. Insect bite

VIII. ANJURAN PEMERIKSAAN


a. skin prick test
b. pemeriksaan darah (eosinofil)

IX. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
a. Hindari faktor pemicu seperti makanan tertentu (mie, telur dll)
b. menjaga kebersihan kulit
2. Medikamentosa
a. Sistemik
- Cetirizine 10 mg tab 1x1
- Metilprednisolon 4 mg 3x1
b. Topikal
- Menthol cream 2%

PROGNOSIS
a. Qua ad vitam : bonam
b. Qua at fungtionam : bonam
c. Qua at sanationam : bonam
d. Qua at cosmetikam : bonam
PEMBAHASAN
Pasien perempuan umur 39 tahun datang ke poliklinik kesehatan kulit
dan kelamin RSUD, dengan keluhan gatal-gatal dan kemerahan pada telapak
tangan dan lengan tangan sejak 3 hari yang lalu. Awalnya pasien merasa gatal
pada bagian punggung telapak tangan sebelah kiri kemudian digaruk yang
semakin lama semakin menyebar ke lengan bawah kiri muncul kemerahan dan
bintil-bintil pada kedua telapak tangan dan lama-kelamaan menyebar ke lengan
kanan dan perut. Tetapi rasa gatalnya datang kembali setelah mengkonsumsi telur
dan mie instan. Pasien juga mengaku mengalami flu dan mata berair pada pagi
hari. Pada pemeriksan status dermatologis didapatkan makula eritem pada perut
pasien, papul eritem difus pada palmar sinistra bagian dorsal, dan lesi urtika pada
ante brachi sinistra.

Urtikaria (hives, biduren) adalah erupsi eritematosa yang meninggi,


terjadi secara singkat atau edema bagian dermis bagian atas dan berhubungan
dengan rasa gatal. Gambaran dari urtikaria yaitu (i) peninggian dengan berbagai
ukuran baik dengan atau tanpa dikelilingi eritema, (ii) rasa gatal atau kadang-
kadang timbul rasa terbakar dan (iii) kulit akan kembali normal, biasanya dalam
waktu 1–24 jam.(1)

Angioedema didefinisikan sebagai (i) peninggian pada lapisan bawah


dermis dan subkutis; (ii) selain gatal dan menimbulkan rasa nyeri; (iii)
biasanya melibatkan membran mukosa; dan (iv) kulit akan kembali dalam
bentuk normal biasanya dalam 72 jam. Lesi angioedema berupa peninggian
yang sering mengenai area wajah pada kelopak mata dan bibir. Angioedema
juga dapat mengenai saluran gastrointestinal dan respiratorius menyebabkan
nyeri abdomen, coryza, sesak, dan masalah pernapasan lainnya. Bila mengenai
saluran pernapasan juga dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas.(1)
Berdasarkan waktu, urtikaria mempunyai 2 bentuk yaitu urtikaria akut
(UA) yang berlangsung kurang dari enam minggu dan urtikaria kronik (UK)
yang berlangsung lebih dari enam minggu. Urtikaria akut biasanya dapat
ditangani dengan mudah, namun adanya manifestasi klinis angioedema dapat
menyebabkan obstruksi nafas apabila mengenai laring dan merupakan suatu
kegawatan. Urtikaria kronis diasosiasikan dengan tingginya angka morbiditas
dan penurunan kualitas hidup. (1),(2)
Prevalensi urtikaria di dunia berkisar antara 0,3-11,3% tergantung populasi
yang diteliti. Prevalensi hospitalisasi akibat urtikaria dan angioedema makin
meningkat di Australia. Hospitalisasi akibat urtikaria 3 kali lebih tinggi pada
anak usia 0-4 tahun. Peningkatan hospitalisasi akibat urtikaria paling sering
dijumpai pada usia 5-34 tahun, sedangkan hospitalisasi akibat angioedema
tinggi pada usia >65 tahun. Urtikaria lebih sering ditemukan pada wanita usia
35-60 tahun (usia rata-rata 40 tahun). Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum
diketahui pasti. Penelitian di Palembang tahun 2007 pada 3000 remaja usia 14-
19 tahun, mendapatkan prevalensi urtikaria sebesar 42,78%. Prevalensi
urtikaria kronis lebih kecil dibandingkan urtikaria akut, yaitu 1,8% pada
dewasa dan berkisar antara 0,1-0,3% pada anak.(3)
Urtikaria adalah penyakit yang diperantarai sel mast. Sel mast yang
teraktivasi akan mengeluarkan histamin dan mediator lain seperti platelet
activating factor (PAF) dan sitokin. Terlepasnya mediator-mediator ini akan
menyebabkan aktivasi saraf sensoris, vasodilatasi, ekstravasasi plasma, serta
migrasi sel-sel inflamasi lain ke lesi urtikaria. Pada kulit yang terkena, dapat
ditemukan berbagai jenis sel inflamasi, antara lain eosinofil dan/atau neutrofil,
makrofag, dan sel T. Banyak teori etiologi urtikaria, sampai sekarang belum
ada yang bisa dibuktikan. Beberapa teori antara lain:
- Faktor psikosomatis. Dulu urtikaria kronis spontan dianggap
disebabkan oleh gangguan cemas, ada beberapa data bahwa gangguan
cemas akan memperburuk penyakitnya. Saat ini dapat disimpulkan
bahwa kelainan mental (seperti depresi dan kecemasan) akan
mempengaruhi kualitas hidup pasien, tetapi bukan penyebab urtikaria.
- Alergi makanan tipe 1 Hubungan antara alergi makanan dan urtikaria
kronis masih diperdebatkan. Beberapa ahli tidak menganjurkan
eliminasi diet pada pasien urtikaria, tetapi sebagian menemukan
perbaikan pada 1/3 pasien urtikaria kronis spontan yang melakukan
diet eliminasi.
- Autoreaktivitas dan autoimun. Degranulasi sel mast akan
menyebabkan infiltrasi granulosit (neutrofil, eosinofil, dan basofil), sel
T, dan monosit yang akan menyebabkan urtikaria. Jika serum pasien
diinjeksikan intradermal ke kulit pasien sendiri, dapat ditemukan
infiltrasi sel-sel inflamasi yang pada akhirnya menyebabkan urtikaria,
disebut autoreaktivitas, yang ditemukan ± pada 30% pasien.1 Selain
autoreaktivitas, dapat juga ditemukan reaksi autoimun. Pada awalnya,
hanya ditemukan adanya IgG terhadap subunit α reseptor IgE pada 5-
10% pasien, tetapi berangsur-angsur IgG ini makin banyak ditemukan
pada 30-40% pasien urtikaria. IgG akan terikat pada IgE reseptor
mengaktivasi jalur komplemen klasik (dilepaskannya C5a), basofil,
dan sel mast. Meskipun demikian, adanya antibodi ini tidak
membuktikan hubungan kausalitas.
- Peran IgE. Terapi dengan anti-IgE (omalizumab) memberikan hasil
yang baik. Oleh karena itu, salah satu etiologi urtikaria dianggap
berhubungan dengan IgE.(3)
Pemeriksaan penunjang pada urtikaria terutama ditujukan untuk mencari
penyebab atau pemicu urtikaria. Adapun pemeriksaan yang perlu dilakukan
adalah:
- Pemeriksaan darah, urin dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya
infeksi yang tersembunyi, infestasi, atau kelainan alat dalam.
- Pemeriksaan kadar IgE total dan eosinofil untuk mencari kemungkinan
kaitannya dengan faktor etopi.
- Pemeriksaan gigi, THT dan usapan genitalia interna wanita untuk
mencari fokus infeksi.
- Uji tusuk terhadap berbagai makanan dan inhalan.
- Uji serum autolog dilakukan pada pasien urtikaria kronis untuk
membuktikan adanya urtikaria autoimun.
- Uji demografisme dan uji dengan es batu (ice cuce test) untuk mencari
penyebab fisik.
- Pemeriksaan histopatologis kulit perlu dilakukan bila terdapat
kemungkinan urtikaria sebagai gejala vaskulitis atau mastositosis.(4)
Tatalaksana urtikaria, baik akut maupun kronis terdiri dari 2 hal utama,
yaitu:
1. Identifikasi dan eliminasi faktor penyebab atau pencetus .
Identifikasi faktor penyebab membutuhkan diagnostik yang
menyeluruh dan tepat. Jika didapatkan perbaikan setelah eliminasi faktor
diduga penyebab, faktor ini baru bisa disimpulkan sebagai penyebab jika
terjadi kekambuhan setelah tes provokasi.
2. Terapi simtomatik
- Antihistamin. Antihistamin-H1 non-sedatif/ generasi kedua (azelastine,
bilastine, cetirizine, desloratadine, ebastine, fexofenadine,
levocetirizine, loratadine, mizolastine, dan rupatadine) memiliki efikasi
sangat baik, keamanan tinggi, dan dapat ditoleransi dengan baik,
sehingga saat ini digunakan sebagai terapi lini pertama. Apabila
keluhan menetap dengan pemberian antihistamin-H1 non-sedatif
selama 2 minggu, dosis antihistamin-H1 nonsedatif dapat ditingkatkan
sampai 4 kali lipat dosis awal yang diberikan. Antihistamin generasi
pertama sudah jarang digunakan, hanya direkomendasikan sebagai
terapi tambahan urtikaria kronis yang tidak terkontrol dengan
antihistamin generasi kedua. Antihistamin generasi pertama sebaiknya
diberikan dosis tunggal malam hari karena mempunyai efek sedatif.
- Antagonis H2. Antagonis H2 (cimetidine) diberikan dalam kombinasi
dengan antagonis H1 pada urtikaria kronis.
- Antagonis reseptor leukotrien. Dari beberapa penelitian, disimpulkan
bahwa terapi ini hanya bermanfaat pada urtikaria kronis spontan yang
berhubungan dengan aspirin atau food additives, tetapi tidak
bermanfaat pada urtikaria kronis lain. Terapi ini dapat dicoba pada
pasien yang tidak merespons pengobatan antihistamin.
- Kortikosteroid. Kortikosteroid digunakan hanya pada urtikaria akut
atau eksaserbasi akut urtikaria kronis. Belum ada konsensus yang
mengatur pemberian kortikosteroid, disarankan dalam dosis terendah
yang memberikan efek dalam periode singkat.18 Salah satu
kortikosteroid yang disarankan adalah prednison 15 mg/hari,
diturunkan 1 mg setiap minggu.
- Imunosupresan Imunosupresan yang saat ini digunakan adalah
inhibitor kalsineurin (siklosporin). Imunosupresan lain (azatioprin,
metotreksat, siklofosfamid, dan mikofenolat mofetil) dapat
dipertimbangkan untuk urtikaria kronis yang tidak merespons
antihistamin generasi pertama.(3)
Prognosis urtikaria akut umumnya baik, bisa hilang dalam 24 jam.
Urtikaria akut hampir tidak pernah menimbulkan kematian, kecuali bila
disertai angioedema saluran napas bagian atas. Pada anak-anak, 20-30%
urtikaria akut akan berkembang menjadi urtikaria kronis dan angka
hospitalisasi meningkat 3 kali lipat pada usia 0-4 tahun. Prognosis urtikaria
kronis lebih bervariasi. Sebanyak 30-50% remisi spontan, 20% dalam 5 tahun,
dan 20% akan menetap setelah 5 tahun.(3)
DAFTAR PUSTAKA

1. Vella, dkk. 2010. Urtikaria – Studi Retrospektif. Berkala Ilmu Kesehatan


Kulit & Kelamin Vol. 22 No.3 Desember 2010 page 172-179
<www.journal.unair.ac.id>
2. Wirantari N, Rosita C. 2014. Urtikaria dan Angioedema: Studi Retrospektif.
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin-Periodical of Dermatology and
Venereology Vol.26 No.3 Desember 2014 page 213-219
<www.download.portalgaruda.org>
3. Siannoto, Melisa. 2017. Tinjauan Pustaka Diagnosis dan Tatalaksana
Urtikaria. CDK-250/ vol.44 No.3 th. 2017 page 190-194
<www.kalbemed.com>
4. Menaldi, Sri Linuwih SW. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed.3.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai