Kasus Timor Timur
Kasus Timor Timur
A.Pendahuluan
1.Latar Belakang
Ada yang membela kebijakan pemerintah Habibie meskipun masih jauh lebih banyak
yang menyalahkannya. Mereka yang menolak pada umumnya berpendapat bahwa kebijakan
itu tidak tepat waktu, sedangkan mereka yang setuju menyatakan bahwa Indonesia ingin
terhindar dari masalah TimTim yang selama lebih dari dua dasawarsa selalu mengganggu dan
menjadi ganjalan dalam hubungan internasional.
Dalam tataran nasional, berita-berita politik yang menyangkut isu Aceh dan Ambon
juga sarat dengan nuansa SARA. Begitujuga pemberitaan mengenai isu calon presiden.
Majalah Tajuk edisis 19 Agustus – 1 September 1999 misalnya memuat cover luar bergambar
Megawati dengan banner “Pasukan Jihad Menghadang Mega”, sedangkan Majalah Media
Dakwah edisi September 1999 mengangkat isu utama “KOMPAS (Komando Pastur)
1
Mengganyang Habibie”. Dari laporan utama kedua Majalah diatas dan beberapa hasil analisis
isi berita politik yang dilakukan Media Watch Society pada kurun waktu tertentu dapat
disimpulkan bahwa seringkali isu politik yang digulirkan bernuansa konflik SARA.
2. KASUS-KASUS UTAMA
2
Belo disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan, dan pembakaran. Serangan itu
setidaknya berakibat jatuhnya korban 2 orang tewas. Penghancuran massal dan
pembunuhan di Maliana
Pada tanggal 4 September terjadi penghancuran dan pembakaran rumah penduduk
dan bangunan-bangunan di Maliana. Penghancuran itu berakibat 80% bangunan
hancur. Kota Maliana sejak tanggal 30 Agustus dibawah pengawasan pihak TNI,
Polri dan Milisi DMP dan Halilintar, yang melakukan pembatasan gerak keluar
masuknya penduduk, terutama mereka yang dianggap Pro kemerdekaan dan staf
Unamet. Dalam proses penghancuran kota, pihak pelaku juga melakukan
penculikan, pembunuhan terhadap dua orang staf lokal UNAMET dan aktivis Pro
kemerdekaan. Terjadi penyerangan baik dengan senjata api maupun senjata tajam
terhadap penduduk yang berupaya mengungsi. Sejak itu di wilayah Bobonaro,
khususnya Memo dan Batugade didirikan pos-pos pemeriksaan oleh milisi untuk
memeriksa para pengungsi yang akan menuju wilayah NTT.
Keterangan beberapa saksi mengindikasikan tejadinya kasus hilang paksa atas
pengungsi yang sebelumnya terlihat diperiksa di pos-pos tersebut.
Pada tanggal 8 September saat itu juga terjadi tindakan pembunuhan terhadap
penduduk yang mengungsi di Polres Meliana, yang dilakukan oleh Milisi Dadarus
merah putih dengan dukungan langsung aparat TNI dan Polri, yang berakibat
setidaknya 3 orang tewas.
3
mereka mengancam akan membunuh semua Pastor, dan para pengungsi laki-laki,
maupun perempuan. Pada saat itu lebih kurang 100 orang pengungsi yang berada di
dalam gereja sedangkan di luar tidak terhitung jumlahnya. Pastor Hilario ditembak
di bagian dada sebanyak satu kali dan jenasahnya diinjak oleh Igidio Manek salah
seorang anggota milisi Laksaur. Sedangkan Pastor Francisco mati ditikam dan
dipotong oleh Americo yang juga anggota milisi Laksaur. Saksi lainnya, Domingas
dos Santos, menyaksikan Pastor Dewanto dibunuh di gereja lama. Pada saat
penyerangan, Polisi, Brimob Kontingen Loro Sae dan aparat TNI berada di luar
pagar menembaki pengungsi yang berupaya melarikan diri keluar dari kompleks
gereja. Diperkirakan paling sedikit 50 orang terbunuh dalam peristiwa tersebut.
Dua puluh enam jenasah di antara korban tersebut diangkut truk dan dua buah
mobil, serta dikuburkan di desa Alas Kec. Wemasa Kab. Belu. Kegiatan
penguburan jenasah tersebut dipimpin oleh Lettu TNI Sugito, bersama 3 orang
anggota TNI dan satu kompi milisi Laksaur. Jenasah-jenasah tersebut dibawa oleh
Lettu Sugito dan kawan-kawan dari Suai sekitar pukul 08.30 melewati pos Polisi
Metamauk di wilayah hukum Polsek Wemasa, NTT. Dari hasil Penggalian kuburan
massal korban pembantaian di Gereja Suai tersebut teridentifikasi 16 laki-laki,
8perempuan, 2 jenasah tidak dapat diidentifikasi jenis kelaminnya, berusia 5 tahun
sampai dengan dewasa berumur 40an tahun.
4
e.) Pembunuhan rombongan rohaniwan di Lospalos
Pada tanggal 25 September terjadi penyerangan terhadap rombongan rohaniawan
yang sedang dalam perjalanan menuju Baucau. Penyerangan ini dilakukan oleh
kelompok milisi Tim Alfa di bawah pimpinan Joni Marques dan menewaskan
9orang, termasuk wartawan Agus Mulyawan, seperti diakuinya sendiri. Tindakan
ini diduga dilakukan atas perintah anggota satuan Kopassus yang tergabung dalam
satuan tugas Tribuana. Jenasah para korban dibuang ke sungai Raumoko dan mobil
yang mengangkut dibakar.
Pada tanggal 16 September, 2 orang perempuan remaja dari Ainaro dibawa paksa
milisi Mahidi dan diperlakukan sebagai budak seksual oleh komandan kompi
milisi Mahidi. Dalam tempat penguasaan milisi Mahidi, kedua korban harus
menghadapi tindak perkosaan oleh para anggota milisi, hal ini berlangsung
berminggu-minggu.
Pada tanggal 5 September, seorang Gadis bernama Alola, - seorang pelajar SMP
kelas III Suai - bersama beberapa perempuan lain dibawa paksa oleh Danki
Laksaur, Manek E. Gidu ke markas Laksaur di Raihenek NTT, kecamatan
Kobalima, Belu. Mereka dijadikan budak seks milisi Laksaur. Saksi dan ibu korban
telah dua kali berupaya meminta kembali anaknya namun tidak diperbolehkan oleh
milisi.
5
b.) Perkosaan
Dalam peristiwa penyerangan kompleks Gereja Suai pada tanggal 6 September,
beberapa orang perempuan ditahan di Kodim Kovalima. Mereka mengalami
percobaan perkosaan oleh milisi Laksaur. Salah seorang di antaranya gadis muda
bernama Martinha, pada tanggal 7 September, dibawa paksa oleh milisi Laksaur
bernama Olipio Mau dan kemudian diperkosa. Begitu anaknya dibawa paksa,
keluarganya langsung melaporkan kejadian itu kepada Dandim, namun Dandim
tidak berada di tempat, lalu keesokan harinya ia melaporkan ke juru bayar namun
tidak mendapat tanggapan. Siang harinya barulah anaknya dikembalikan kepada
ibunya.
Pertama, tidak dapat dipungkiri bahwa selama masa-masa suram kepemimpinan Orde
Baru telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia secara mendasar dan sistematis terhadap
masyarakat Timor. Pelanggaran-pelanggaran berat ini secara nyata ternyata terus dilanjutkan
oleh penguasa sekarang melalui aktivitas militer Indonesia yang menyokong milisi-milisi
bersenjata.
Kedua, dalam pandangan dunia internasional, hasil jajak pendapat sudah merupakan
fakta politik dan fakta hukum yang memperkuat kemerdekaan Timor-Timur sekaligus
menegaskan seluruh kesalahan dan prilaku aparat politik Indonesia. sehingga seluruh
kekerasan yang terjadi pasca jajak pendapat seperti : pembunuhan, perusakan, teror,
penganiayaan, pengusiran massal tidak dapat tidak secara politik dan secara hukum menjadi
beban di pundak bangsa Indonesia.
6
Commission of Inqury oleh PBB, yang kemungkinan besar akan menjadi mekanisme
pengantar untuk dilakukannya sebuah Interntional Tribunal terhadap pelaku kejahatan
kemanusiaan dan kejahatan terhadap perdamaian Timor-Timur.
Meninjau fakta-fakta tersebut maka kontras mengajukan beberapa seruan sebagai berikut:
Ketiga, KONTRAS juga mengingatkan kepada pemerintah bahwa citra buruk dan
desakan internasional yang demikian dan tak terbendung, terjadi karena kegagalan Indonesia
untuk secara cepat mengatasi krisis ekonomi dan politik, serta kegagalan untuk membangun
sikap respek terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia di Indonesia. Karenanya dalam
pandangan KONTRAS, untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan,
pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah konkret dengan (a) membenahi
pelaksanaan dan perlindungan HAM melalui : minimalisirperan dan fungsi lembaga koersi
seperti militer, (b) menghapuskan “political-gangsterâ€, (c) menghapuskan lembaga-
lembaga militer ekstra judicial yang selama ini beroperasi mirip badan-badan intelejen milik
Stalin dan Hitler, (d) mengadili dan menuntaskan seluruh kasus dan pelaku pelanggaran
HAM yang terjadi di seluruh Indonesia.
7
2. Mendesak Jaksa Agung Memeriksa Kembali Kasus Timor Timur.
Fakta hukum berupa putusan pengadilan yang telah mebebaskan seluruh para perwira
TNI/Polri karena tidak terbukti ditemukannya relasi antara pemegang komando dengan
otoritas sipil dengan militer sehingga para perwira tersebut tidak bertanggung jawab atas
pelamnggaran HAM yang terjadi pada saat itu. Akan tetapi fakta hukum yang disampaikan
dalam putusan PK MA yang membebaskan Abilio justru menyatakan adalah TNI/Polri yang
memiliki kewenangan dalam menjaga keamanan dan ketertiaban selama jajak pendapat
berlangsung. Posisi gubernur adalah sebatas pada kewenangan administratif.
Kami memandang putusan tersebut belum menghentikan upaya hukum terhadap kasus
pelanggaran HAM berat di Timtim. Justru terdapat hal-hal penting yang patut
dipertimbangkan oleh Kejaksaan Agung untuk membuka serta mengajukan kembali ke
pengadilan seluruh kasus pelanggaran HAM berat Timtim.
Dalam upayanya itu, Kejaksaan Agung juga harus melakukan re-eksaminasi dengan
memperhatikan serta mengacu pada fakta-fakta, temuan-temuan serta rekomendasi dari
Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM Timtim. Untuk itu, kami mendesak Jaksa
8
Agung Abdul Rahman Saleh untuk segera mengajukan kembali kasus-kasus tersebut sebagai
langkah-langkah nyata memutus rantai impunitas (cycle of impunity) yang hingga kini masih
terus berlangsung di tanah air kita.
9
Mangkoedilaga (koordinator), Ahmad Ali, Wisber Loeis, Mgr. Petrus Turang, dan Agus
Widjojo. Sementara anggota dari Timor Leste adalah Jacinto Alves (koordinator), Dionosio
Babo, Aniceto Guterres, Felicidade Guterres, dan Cirilio Varadeles. Selama bertugas KKP
berupaya untuk mengungkap tiga kasus yang terjadi sebelum dan paska jajak pendapat di
Timor Timur tahun 1999 , yaitu kasus pembunuhan di Gereja Liquic`a, perusakan rumah
Manuel Carrascalao, dan kerusuhan Santa Cruz.
Beberapa tokoh yang telah didengar keterangannya oleh KKP diantaranya, mantan
Menlu Ali Alatas, Mantan Presiden BJ Habibie, Mantan Panglima ABRI Wiranto, Mantan
Uskup Dili Carlos Felipe Ximenes Belo, Mantan Kepala Badan Intelijen ABRI Mayjen
(Purn) Zacky Anwar Makarim, Mantan Komandan Korem Wiradharma Dili Mayjen
Suhartono Suratman, dan Mantan Panglima Kodam IX Udayana Mayjen (Purn) Adam
Damiri. KKP tidak bermaksud menindaklanjuti penemuannya secara hukum karena seluruh
kasus pelanggaran HAM menjelang dan sesudah jajak pendapat 1999 di Timor Timur telah
ingkrah secara hukum sehingga tidak dapat diajukan kembali ke pengadilan.
C. Kesimpulan
Kasus Pelanggaran HAM yang terjadi di Timor-Timur paska jajak pendapat, militer
dan Polisi serta milisi Pro Indonesia melakukan pembunuhan, pembakaran,dan pemaksaan
terhadap penduduk untuk pindah. Pelanggaran HAM yang terjadi termasuk dalam
pelanggaran kejahatan kemanusiaan karena akibat dari serangan itu yang meluas dan sistemik
yang ditunjukkan kepada rakyat sipil yang berupa penyiksaan, penganiayaan, pemerkosaan
serta pembunuhan.
Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Aparat Pemerintah yang terjadi pada bulan
September 1999 yang ditujukan kepada rakyat sipil terutama mereka terutama mereka yang
dianggap Pro kemerdekaan dan staf Unamet. Dalam proses penghancuran kota, pihak pelaku
juga melakukan penculikan, pembunuhan terhadap dua orang staf lokal UNAMET dan
aktivis Pro kemerdekaan. Terjadi penyerangan baik dengan senjata api maupun senjata tajam
terhadap penduduk yang berupaya mengungsi.
Proses penyelesaian hukum Kasus pelanggaran hak asasi manusia menjelang dan
pasca jajak pendapat 1999 di Timor Timur secara resmi ditutup setelah penyerahan laporan
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste kepada dua kepala negara
terkait. KKP tidak bermaksud menindaklanjuti penemuannya secara hukum karena seluruh
kasus pelanggaran HAM menjelang dan sesudah jajak pendapat 1999 di Timor Timur telah
ingkrah secara hukum sehingga tidak dapat diajukan kembali ke pengadilan.
10