Anda di halaman 1dari 33

Namun, hubungan langsung antara asap mariyuana dan kanker masih diperdebatkan

karena hasil yang saling bertentangan dari penelitian case-control yang menunjukkan

temuan yang berbeda-beda (Huang et al., 2015b). Reseptor cannabinoid dan nicotine

mengaktifkan jalur Akt yang dapat menghambat apoptosis dan meningkatkan

pertumbuhan tumor pada kanker (Gomez del Pulgar et al., 2000). Cannabis

smoking tampaknya mendorong dan meningkatkan agresivitas dari laryngeal

carcinoma pada subset perokok dengan rokok cannabis (Bhattacharyya et al., 2015).

Meskipun INHANCE telah melakukan analisis gabungan dari sembilan penelitian case-

control  untuk meneliti hubungan antara cannabis smoking  dan oropharyngeal

cancer  dan tongue cancer (Marks et al., 2014), temuan mereka mendukung bahwa

penggunaan mariyuana dapat memiliki dampak yang berbeda pada head and neck

cancer berdasarkan lokasi tumor. Menariknya, penelitian ini menunjukkan hubungan

positif yang mungkin antara penggunaan mariyuana dan oropharyngeal cancer, tetapi

memiliki hubungan negatif dengan oral cancer (Marks et al., 2014). Mengingat bahwa

bukti saat ini jarang, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyingkirkan

peran cannabis pada tumorigenesis dari head and neck squamous cell carcinoma.

Alkohol

Pada tahun 2002, jumlah orang di seluruh dunia yang secara teratur mengonsumsi

minuman beralkohol diperkirakan lebih dari 1,9 miliar orang. Konsumsi harian rata-rata

adalah sekitar 13 g etanol (~ 1 minuman) (Baan et al., 2007). Dari konsumen ini, 80 juta

diperkirakan memiliki gangguan penyalahgunaan alkohol yang dapat didiagnosis (Petti,

2009). Konsumsi diyakini meningkat di banyak negara, terutama di daerah dengan

pertumbuhan ekonomi yang cepat dan di antara perempuan (Boffetta dan Hashibe,
2006). Program global burden of disease dari World Health Organization menilai

jumlah kematian yang dapat dikaitkan dengan alkohol pada tahun 2000. Mereka

menemukan bahwa beban global dari alkohol berjumlah 1,8 juta kematian per tahun

(sekitar 3,2% dari seluruh kematian) (Ezzati et al., 2004).

Pada tahun 2007, International Agency for Research on Cancer, setelah meneliti

bukti epidemiologi yang ada, menyimpulkan bahwa "minuman beralkohol bersifat

karsinogenik bagi manusia (Kelompok 1)" dan "terjadinya tumor ganas pada rongga

mulut, faring, laring, esofagus, hepar, kolorektum, dan payudara perempuan

berhubungan dengan konsumsi alkohol”. Selain itu, mereka mengklasifikasikan etanol

yang terkandung dalam minuman beralkohol sebagai "karsinogenik bagi manusia

(Kelompok 1)" (Baan et al.,  2007). Di seluruh dunia, sekitar 389.000 kasus kanker

dapat dikaitkan dengan konsumsi alkohol kronis (3,2% dari semua kanker) (Seitz dan

Stickel, 2010).

Kemungkinan dari konsumsi alkohol yang menjadi faktor risiko independen

terhadap terjadinya OSCC diperiksa pertama kali pada tahun 1961 (Boffetta dan

Hashibe, 2006). Sejumlah penelitian dan tinjauan epidemiologi sejak saat itu telah

meneliti hubungan tersebut (Blot et al., 1988; Talamini et al., 1990; LaVecchia et al.,

1997; Wight dan Ogden, 1998; Castellsague et al., 1999, 2004; Franceschi et al., 2000;

Fernandez Garrote et al., 2001; Zavras et al., 2001; Balaram et al., 2002; Huang et al.,

2003; Lissowska et al., 2003; Pelucchi et al., 2003; Boffetta dan Hashibe, 2006;

Maserejian et al., 2006; Gillison, 2007; Hashibe et al., 2007, 2009; Lubin et al., 2009).

Dengan menyesuaikan odds ratio terhadap faktor perancu dan menganalisis faktor

risiko pada yang bukan perokok, penelitian ini memang menegaskan adanya konsumsi

alkohol sebagai faktor risiko independen untuk OSCC. Terdapat beberapa pola yang
jelas. Pertama, peningkatan risiko sangat tergantung pada paparan (minuman per

minggu), yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan dosis-respon yang signifikan

(Blot et al., 1988; Talamini et al., 1990; Franceschi et al., 2000; Fernandez Garrote et

al., 2001 ; Zavras et al., 2001; Balaram et al., 2002; Huang et al., 2003; Lissowska et

al.,  2003; Pelucchi et al., 2003; Castellsague et al., 2004). Sementara definisi paparan

bervariasi di antara penelitian, peminum dengan paparan yang "tinggi" secara konsisten

memiliki risiko lebih tinggi daripada mereka yang memiliki paparan yang "sedang".

Risiko berlebih terhadap paparan yang "tinggi" adalah bervariasi dari 2,2 (> 56

minuman/minggu) hingga 12,0 (> 90 minuman/minggu) (Talamini et al., 1990;

Franceschi et al., 2000). Walaupun ini adalah rentang odds ratio yang signifikan,

seluruh penelitian yang disebutkan secara konsisten menunjukkan beberapa bentuk efek

dosis-respon. Pada tahun 2010, Tramacere et al., yang menerbitkan meta-analisis dari

42 penelitian case-control, termasuk 17.085 kasus positif, meneliti antara konsumsi

alkohol dan oral cancer  dan pharyngeal cancer. Di sini ditemukan bahwa relative

risk yang dikumpulkan terhadap peminum berat (≥ 4 minuman/hari) adalah 5,24 (95%

CI, 4,36-6,30), dibandingkan dengan relative risk terhadap peminum ringan (≤ 1

minuman/hari), yaitu sebesar 1,21 (95% CI, 1,10–1,33), dimana dengan jelas

menunjukkan hubungan dosis-respon (Tramacere et al., 2010). Kedua, terdapat hasil

yang beragam mengenai efek dari konsumsi alkohol yang "sedang". Berbagai penelitian

telah melaporkan bahwa tidak ada risiko berlebih yang diakibatkan dari konsumsi yang

sedang dan bahwa terjadi peningkatan risiko yang signifikan (Blot et al., 1988;

Franceschi et al., 2000; Lissowska et al., 2003; Castellsague et al., 2004).

Castellsague et al., menyimpulkan bahwa konsumsi bahkan satu gelas sehari

menyebabkan peningkatan risiko yang signifikan (Castellsague et al., 2004). Dalam


meta-analisis mereka, Tramacere et al. menemukan bahwa satu minuman atau kurang

dalam sehari memberikan relative risk sebesar 1,21 (95% CI, 1,10-1,33) (Tramacere et

al., 2010). Demikian pula meta-analisis yang besar oleh Bagnardi et al. dan Li et

al.  menyimpulkan bahwa satu minuman atau kurang dalam sehari memberikan relative

risk masing-masing sebesar 1,17 (95% CI, 1,06-1,29) dan 1,26 (95% CI, 0,94-1,67)

(Bagnardi et al., 2013; Li et al., 2014). Demikian pula hasil gabungan ditemukan

mengenai efek durasi konsumsi alkohol (riwayat minum), dengan beberapa penelitian

menunjukkan peningkatan risiko dengan peningkatan durasi, sementara yang lain

menunjukkan tidak ada efek dari durasi (Blot et al., 1988; Merletti et al., 1989; Wight

dan Ogden, 1998; Castellsague et al. 1999, 2004; Hayes et al. 1999; Franceschi et al.

2000; Fernandez Garrote et al. 2001; Balaram et al., 2002; Lissowska et al., 2003;

Castellsague et al., 2004; Boffetta dan Hashibe, 2006; Gillison, 2007; Lubin et

al.,  2009; Goldstein et al., 2010). Sehubungan dengan penghentian dari konsumsi

alkohol, sebagian besar penelitian telah menemukan bahwa penghentian menyebabkan

penurunan risiko segera (Fernandez Garrote et al., 2001; Castellsague et al., 2004;

Goldstein et al., 2010). Castellsague et al.  menemukan bahwa terdapat penurunan risiko

yang signifikan dalam 3 tahun; namun, butuh 14 tahun untuk pendekatan risiko pada

individu yang bukan peminum (Castellsague et al., 2004). Di sisi lain, Francheschi et

al. menemukan bahwa risiko sebenarnya memuncak 7-10 tahun setelah penghentian

alkohol dan bahkan 10 tahun setelah penghentian tidak ada penurunan risiko

(Franceschi et al., 2000). Pada tahun 2012, sebuah meta-analisis menentukan bahwa

risiko menurun setelah penghentian, tetapi butuh sekitar 16 tahun untuk menghilangkan

risiko yang meningkat (Jarl dan Gerdtham, 2012). Penelitian juga secara konsisten

menunjukkan bahwa konsentrasi etanol dalam minuman berperan sebagai faktor risiko
independen terhadap terjadinya OSCC (Zavras et al., 2001; Huang et al., 2003;

Castellsague et al., 2004; Gillison, 2007). Ketika konsentrasi etanol dalam minuman

meningkat, begitu juga dengan risikonya. Ini dibuktikan dalam penelitian oleh Huang et

al., yang menemukan peningkatan risiko 6,4 kali dengan spirit yang kuat dibandingkan

dengan minuman lain, bahkan setelah disesuaikan dengan total konsumsi etanol.

Disarankan bahwa fenomena ini dapat menunjukkan efek lokal etanol dalam rongga

mulut yang berperan terhadap karsinogenesis (Huang et al., 2003).

IARC Working Group on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans telah

menyatakan bahwa “satu minuman setara dengan 14 g, 18 mL atau 0,49 ons alkohol,

yang umumnya setara dengan 330 mL bir, 150 mL wine, dan 36 mL hard liquor”

(IARC Working Group on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans, 2010).

Telah disetujui secara luas bahwa acetaldehyde berperan atas efek karsinogenik oral

dari etanol, karena berbagai efek mutageniknya pada DNA (IARC Working Group on

the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans, 2010). Di Australia pada tahun 2010,

46% individu yang berusia 12 tahun ke atas mengonsumsi alkohol setidaknya setiap

minggu (AIHW, 2011). Juga diketahui secara luas bahwa konsumsi alkohol per kapita

di Australia adalah tinggi berdasarkan standar dunia, yaitu sekitar 10 L/tahun dari

alkohol murni di antara individu yang berusia di atas 15 tahun dibandingkan dengan

yang sangat tinggi, yaitu sekitar 15 L/tahun untuk penduduk asli Australia (Australian

bureau of statistics, 2010). Sebagai suatu bangsa, Australia mengalami peningkatan

risiko terhadap terjadinya OC berdasarkan pada tingkat konsumsi alkohol ini.

Konsumsi alkohol meningkatkan risiko oral cancer tanpa melihat riwayat dari

penggunaan tembakau pada individu (Franceschi et al., 1990; Macfarlane et al., 1995;

IARC Working Group on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans, 2010;


Turati et al., 2013). Namun, hubungan ini terlihat lebih lemah pada individu yang tidak

pernah/ sudah berhenti merokok dibandingkan dengan perokok aktif (Franceschi et al.,

1990; Bagnardi et al., 2013). Hubungan yang kuat yang tergantung pada dosis telah

dilaporkan (IARC Working Group on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans,

2010; Bagnardi et al., 2013; Turati et al., 2013). Dalam penelitian meta-analisis yang

dikumpulkan, para peneliti membandingkan risiko peminum berat dengan orang-orang

yang minum sesekali (yaitu, satu hingga dua minuman/hari) dan tidak minum sama

sekali. Relative risk (RR) untuk peminum berat adalah 4,92 (95% CI; 2,80-8,65)

untuk wine saja; 4,20 (95% CI, 1,43-12,38) untuk bir saja, dan 5,20 (95% CI, 2,77-9,78)

untuk spirit saja, sedangkan RR yang dikumpulkan untuk peminum sedang

dibandingkan dengan peminum yang minum sesekali atau tidak minum sama sekali

adalah 1,36 (95% CI, 1,20-1,54) (Turati et al., 2013). Sulit untuk menentukan secara

tepat jenis minuman apa yang memiliki risiko tertinggi karena terdapat perbedaan di

antara berbagai penelitian dari berbagai wilayah geografis (IARC Working Group on

the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans, 2010). Namun, secara umum telah

disetujui bahwa jenis minuman beralkohol yang merupakan kontributor terbesar

terhadap konsumsi minuman beralkohol dikaitkan dengan peningkatan risiko yang

paling besar (IARC Working Group on the Evaluation of Carcinogenic Risks to

Humans, 2010). Selain itu, tampaknya alkohol berperan secara signifikan terhadap

risiko terjadinya secondary oral cancer dan primary oral cancer dan OPC (IARC

Working Group on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans, 2010). Hipotesis

tentang peran berbagai jenis minuman beralkohol sebagai karsinogenik juga disetujui

secara luas. Hal ini pada dasarnya tergantung pada peran etanol dan metabolitnya,

terutama acetaldehyde, sebagai agen karsinogenik utama daripada senyawa spesifik


pada minuman (Boccia et al., 2009; IARC Working Group on the Evaluation of

Carcinogenic Risks to Humans, 2010).

Baru-baru ini, dalam sebuah penelitian yang meneliti efek konsumsi alkohol

pada oral microbiome telah ditunjukkan bahwa keragaman mikrobiota oral dan profil

bakteri secara keseluruhan berbeda antara peminum berat dan yang bukan peminum,

dan banyaknya susunan komensal Lactobacillales, menurun dengan konsumsi alkohol

yang lebih tinggi (Fan et al., 2018). Selain itu, genera tertentu pada subjek dengan

konsumsi alkohol yang lebih tinggi, termasuk Actinomyces, Leptotrichia,

Cardiobacterium, dan Neisseria; beberapa genera ini mengandung patogen oral,

sementara Neisseria dapat mensintesis human carsinogen acetaldehyde dari etanol

(Fan et al., 2018). Peminum wine berbeda dari yang bukan peminum berdasarkan

keragaman dan profil mikroba setelah mengontrol jumlah minuman, sedangkan

peminum liquor dan bir tidak. Seluruh perbedaan yang signifikan antara peminum dan

yang bukan peminum tetap setelah menyingkirkan perokok saat ini. Hasil yang menarik

ini menunjukkan bahwa konsumsi alkohol, dan peminum berat khususnya, dapat

mempengaruhi komposisi oral microbiome, dan temuan ini mungkin memiliki implikasi

untuk pemahaman yang lebih baik tentang peran potensial yang dimainkan bakteri pada

mulut dalam head and neck cancer dan penyakit yang berhubungan dengan alkohol

lainnya (Fan et al., 2018).

Penggunaan Tembakau dan Alkohol

Salah satu tantangan yang berhubungan dengan penilaian efek minuman beralkohol

pada OSCC adalah seringnya merokok sebagai suatu kofaktor. Penelitian epidemiologi

sering terpengaruh oleh rendahnya jumlah individu yang merupakan peminum berat dan
tidak merokok (Wight dan Ogden, 1998). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,

dalam penelitian ini ditemukan kesulitan, sehingga diperlukan penyesuaian terhadap

jumlah perokok saja atau berpusat pada peminum yang tidak merokok. Contohnya

adalah analisis yang digabungkan oleh Hashibe et al., yang berhasil meneliti 1072 kasus

dan 5775 kontrol yang merupakan peminum yang tidak merokok (Hashibe et al., 2007).

Pada tahun 2012, sebuah meta-analisis oleh Turati et al. meliputi 18.387 total kasus

positif juga mencoba untuk menetapkan penggunaan alkohol sebagai faktor risiko

independen terhadap terjadinya OSCC dengan meneliti yang bukan perokok. Dari hal

tersebut, ditemukan bahwa pada individu bukan perokok yang menggunakan alkohol

memberikan relative risk sebesar 1,32 (95% CI, 1.05-1,67) terhadap terjadinya oral

cancer dan pharyngeal cancer, sedangkan peminum berat meningkatkan risiko ini

menjadi 2,54 (95% CI, 1,80-3,58) (Turati et al., 2013).

Seperti yang disebutkan sebelumnya, merokok dengan produk tembakau berperan

sebagai faktor risiko independen terhadap terjadinya OSCC. Selain itu, penelitian dan

tinjauan yang meneliti risiko OSCC pada pasien yang merokok dan mengkonsumsi

alkohol telah menemukan bahwa kedua faktor ini berperan secara sinergis untuk

menimbulkan peningkatan yang lebih besar daripada yang multiplikatif dalam risiko

pengembangan OSCC dibandingkan dengan merokok atau minum saja (Blot et

al.,  1988; LaVecchia et al., 1997; Fernandez Garrote et al., 2001; Zavras et al., 2001;

Lissowska et al., 2003; Castellsague et al., 2004; Gillison, 2007; Seitz dan Stickel,

2007; Petti, 2009). Suatu International Head and Neck Cancer Epidemiology

Consortium (INHANCE) baru-baru ini yang menggunakan 12.828 kasus head and neck

cancer dan 17.189 kontrol mengkonfirmasi hasil ini, dimana penelitian ini menemukan

peningkatan yang lebih besar daripada yang multiplikatif dalam risiko pengembangan
OSCC dan pharyngeal SCC ketika pasien tersebut merokok dan minum (Hashibe et

al., 2009). Hal ini telah membentuk teori bahwa efek yang lebih besar daripada yang

multiplikatif pada head and neck cancer ini disebabkan oleh interaksi lokal dari

tembakau dan alkohol yang mengakibatkan potensiasi karsinogenesis terhadap satu

sama lainnya (Scully dan Bagan, 2009b). Mekanismenya meliputi peningkatan aktivasi

metabolisme dari prokarsinogen yang disebabkan oleh induksi CYP2E1 dan

peningkatan penetrasi di seluruh mukosa mulut.

Obat Kumur yang Mengandung Alkohol

Etanol merupakan bahan utama dalam sebagian besar obat kumur yang tersedia secara

komersial, yang berperan sebagai agen pelarut, pengawet, antiseptik, dan kaustik.

Konsentrasi tersebut terjadi dalam berbagai produk, tetapi dapat sebesar 26% v/v.

Karena konsentrasi ini melebihi yang ditemukan dalam jenis minuman beralkohol

tertentu, obat kumur yang mengandung alkohol harus diteliti lebih lanjut mengenai

hubungan sebab-akibatnya dengan OSCC. Terdapat sejumlah penelitian dan tinjauan

epidemiologi yang meneliti hubungan ini. Selain itu, sejumlah penelitian in vivo dan in

vitro telah meneliti efek lokal dari obat kumur yang mengandung alkohol di rongga

mulut.

Kemungkinan hubungan antara penggunaan obat kumur dan OSCC pertama kali

diangkat setelah penelitian case-series dan case-control pada tahun 1979 (Weaver et

al.,  1979). Termasuk publikasi ini, terdapat 19 penelitian case-control yang telah

meneliti penggunaan obat kumur pada pasien dengan OSCC (Weaver et al., 1979;

Blot et al.,  1983; Wynder et al., 1983; Young et al., 1986; Kabat et al., 1989;

Talamini et al., 1990; Winn et al., 1991, 2001; Marshall et al., 1992; Cole et al., 2003;


D'Souza et al., 2007; Guha et al., 2007; Marques et al., 2008; Divaris et al., 2010;

Macfarlane et al., 2010; Chang et al., 2013; Eliot et al., 2013; Ahrens et al., 2014;

Tsai et al.,2014). Terdapat juga sejumlah tinjauan yang membahas masalah yang sama

(Elmore dan Horwitz, 1995; Cole et al., 2003; Carretero et al., 2004; Lewisand Murray,

2006; Lachenmeier, 2008; Lemos dan Villoria, 2008; McCullough dan Farah, 2008; La

Vecchia, 2009; Warnakulasuriya, 2009b). Meskipun ini merupakan bukti yang luas,

kemungkinan karsinogenisitas dari obat kumur yang mengandung alkohol masih

merupakan masalah yang kontroversial. Secara keseluruhan, penelitian case-

control  memberikan hasil yang bertentangan mengenai risiko berlebih dari OSCC, jika

ada, yang disebabkan oleh penggunaan obat kumur. Beberapa telah melaporkan

peningkatan risiko yang signifikan, meskipun yang lain melaporkan peningkatan risiko

yang tidak signifikan, tetapi tidak ada perubahan risiko, atau bahkan penurunan risiko

(Weaver et al., 1979; Blot et al., 1983; Wynder et al., 1983; Mashberg et al., 1985;

Young et al., 1986; Kabat et al., 1989; Talamini et al., 1990; Winn et al., 1991, 2001;

Marshall et al., 1992; Cole et al., 2003; D'Souza et al., 2007; Guha et al., 2007;

Marques et al., 2008; Divaris et al., 2010; Macfarlane et al., 2010; Chang et al., 2013;

Eliot et al., 2013; Ahrens et al., 2014; Tsai et al., 2014). Demikian pula, tinjauan dibagi

dalam peran mereka untuk dan terhadap suatu hubungan (Elmore dan Horwitz, 1995;

Cole et al., 2003; Carretero Pelaez et al., 2004; Lewis dan Murray, 2006; Lemosand

Villoria, 2008; McCullough dan Farah, 2008; La Vecchia, 2009; Warnakulasuriya,

2009b).

Salah satu alasan untuk hasil yang bertentangan ini adalah variasi yang besar

dalam desain penelitian di antara penelitian case-control yang utama. Dalam 18

penelitian yang ada, terdapat perbedaan yang cukup besar sehubungan dengan
keterangan yang berhubungan dengan penggunaan obat kumur yang diperoleh dari

peserta penelitian. Masalah terbesarnya adalah bahwa hanya enam penelitian (Winn et

al., 1991, 2001; Cole et al., 2003; Chang et al., 2013; Eliot et al., 2013; Tsai et al.,

2014) yang meneliti saat pasien menggunakan obat kumur yang mengandung alkohol,

sedangkan sisanya hanya meneliti hubungan antara "penggunaan obat kumur" dan

OSCC (Winn et al., 1991, 2001; Cole et al., 2003; Chang et al., 2013; Eliot et al., 2013;

Tsai et al., 2014). Karena etanol telah digambarkan sebagai karsinogen yang

berhubungan dengan terjadinya OSCC, sehingga penting untuk dijelaskan bahwa

paparan terhadap obat kumur yang mengandung alkohol, bukan hanya obat kumur saja,

sedang diteliti. Pelaporan variabel lain yang berhubungan dengan penggunaan obat

kumur juga bersifat sporadis, dengan 15 yang menilai frekuensi penggunaan, 8 yang

menilai riwayat penggunaan, 3 yang menilai waktu penyimpanan dalam mulut, dan 3

yang menilai alasan penggunaan obat kumur (Weaver et al., 1979; Blot et al., 1983;

Wynder et al., 1983; Mashberg et al., 1985; Young et al., 1986; Kabat et al., 1989;

Winn et al., 1991, 2001; Marshall et al., 1992; Talamini et al., 2000 ; Cole et al., 2003;

D'Souza et al., 2007; Guha et al., 2007; Marques et al.,2008; Divaris et al., 2010;

Macfarlane et al., 2010; Chang et al., 2013; Eliot et al., 2013; Ahrens et al., 2014;

Tsai et al., 2014). Penelitian juga bervariasi mengenai lokasi kanker, yang sebagian

besar membatasi definisi kasus untuk SCC pada rongga mulut dan faring, meskipun

yang lainnya juga meliputi daerah laring. Jumlah dari heterogenitas ini yang

berhubungan dengan desain penelitian menunjukkan bahwa sulit untuk membandingkan

hasil individu dari setiap penelitian (Weaver et al., 1979; Blot et al., 1983; Wynder et

al.,1983; Mashberg et al., 1985; Young et al., 1986; Kabat et al., 1989; Winn et

al., 1991, 2001; Marshall et al., 1992; Talamini et al., 2000; Cole et al., 2003;


D'Souza et al.,  2007; Guha et al., 2007; Marques et al., 2008; Divaris et al., 2010;

Macfarlane et al., 2010; Chang et al., 2013; Eliot et al.,2013; Ahrens et al., 2014;

Tsai et al.,2014).

Kesulitan lain mengenai penilaian efek, atau tidak, dari obat kumur yang

mengandung alkohol terhadap risiko OSCC adalah tingginya insiden penggunaannya

pada pasien yang juga merokok dan/atau minum alkohol (Cole et al., 2003). Seperti

yang disebutkan sebelumnya, merokok dan konsumsi alkohol merupakan faktor risiko

independen terhadap terjadinya OSCC. Mereka memiliki teori bahwa

tingkat overlap yang tinggi antara kebiasaan ini dan penggunaan obat kumur yang

mengandung alkohol dapat menyebabkan penilaian yang berlebihan terhadap risiko

yang terjadi karena penggunaan obat kumur. Contoh dari hal ini terlihat pada salah satu

dari beberapa penelitian untuk menilai alasan penggunaan obat kumur pada pasien

(Kabat et al., 1989). Ditemukan bahwa subjek perempuan secara signifikan lebih

mungkin menggunakan obat kumur untuk menyembunyikan bau tembakau (OR = 3,3,

95% CI 1,24-8,75) dan alkohol (OR = 3,25, 95% CI 1,03-10,3) daripada bau makanan

(OR = 0,66, 95% CI 0,3-1,43) atau infeksi gigi (OR = 0,72, 95% CI 0,27-1,94)

(Kabat et al., 1989). Selain itu juga, terdapat teori bahwa dengan kurangnya pelaporan

tentang kebiasaan merokok atau penggunaan alkohol di antara kasus-kasus tersebut,

dapat menyebabkan penilaian yang berlebihan terhadap efek dari penggunaan obat

kumur yang mengandung alkohol (Shapiro et al., 1996). Namun, telah ditunjukkan juga

dengan tepat bahwa kurangnya pelaporan yang sama di antara kontrol akan

menyebabkan penilaian yang kurang terhadap risiko yang terjadi (McCullough dan

Farah, 2009). Efek dari faktor-faktor pengganggu ini dapat dilihat pada penelitian tahun

2013 yang menemukan bahwa penggunaan obat kumur ≥ 1/hari dibandingkan dengan
yang bukan merupakan pengguna obat kumur, menunjukkan sedikit peningkatan risiko

terjadinya OSCC pada peminum yang lebih berat (> 2 minuman/hari) (OR = 1,14, 95%

CI 0,99-1,32) dibandingkan dengan yang bukan peminum (OR = 1,08, 95% CI 0,87-

1,34) dan yang pernah merokok (OR = 1,17, 95% CI 1,01-1,23) dibandingkan dengan

yang tidak pernah merokok (OR = 1,10, 95% CI 0,96-1.25) (Eliot et al., 2013). Dalam

kasus ini, pertanyaannya tetap, apakah peningkatan risiko yang berhubungan dengan

gabungan dari kebiasaan merokok/ minum dan penggunaan obat kumur dibandingkan

dengan penggunaan obat kumur saja merupakan indikasi dari efek kumulatif atau

sinergis pada risiko atau karena adanya kebiasaan merokok dan mengonsumsi alkohol

sebagai faktor risiko yang telah ditetapkan terhadap terjadinya OSCC.

Sebuah penelitian case-control  mengidentifikasi bahwa subkelompok perempuan

yang tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol yang menggunakan obat kumur

setiap harinya memiliki peningkatan risiko terhadap terjadinya OSCC (OR = 3,63, 95%

CI 1,48-8,92) (Wynder et al., 1983). Telah diusulkan bahwa karena tidak adanya faktor-

faktor risiko klasik, demografi yang tidak merokok dan yang tidak minum akan menjadi

yang paling mungkin untuk menunjukkan sifat karsinogenik dari obat kumur yang

mengandung alkohol (Winn et al., 2001). Suatu penelitian follow up yang terbatas pada

perempuan memang menunjukkan peningkatan risiko yang tidak signifikan pada yang

bukan perokok/ bukan peminum yang menggunakan obat kumur (OR = 1,38, 95% CI

0,42-4,55). Namun, hal ini terhambat oleh karena populasi yang kecil dari subkelompok

(delapan kasus dan tujuh kontrol) (Kabat et al., 1989). Penelitian lain mencatat

peningkatan risiko yang tidak signifikan yang serupa pada subkelompok yang sama (OR

= 2,8, 95% CI 0,8-9,9) (Winn et al., 2001; Divaris et al., 2010). Di sisi lain, odds

ratio  untuk laki-laki dan perempuan yang tidak merokok dan tidak minum yang
menggunakan obat kumur sebenarnya lebih sedikit dibandingkan dengan populasi

penelitian umumnya (Winn et al., 1991).

Aspek penting lain yang berdampak pada bukti epidemiologi yang berhubungan

dengan penggunaan obat kumur adalah prevalensi sponsor industri. Dua tinjauan yang

disebutkan di atas mengenai efek statistik dari penggunaan alkohol dan tembakau yang

kurang dilaporkan (Shapiro et al., 1996; Gandini et al., 2012) serta tinjauan lain dan

analisis ulang dari dataset sebelumnya yang seluruhnya menyatakan beberapa bentuk

dari gabungan industri (Elmore dan Horwitz, 1995; Cole et al., 2003; La Vecchia,

2009). Hal ini terutama berasal dari perusahaan farmasi Warner and Lambert,

Pfizer, dan Johnson and Johnson, yang semuanya memiliki kepemilikan dari merek

obat kumur "Listerine." Tinjauan yang tidak tergabung, mencatat bahwa penelitian yang

didukung oleh industri memiliki banyak kesimpulan yang jauh lebih positif (yaitu, tidak

ada hubungan antara obat kumur yang mengandung alkohol dengan OSCC)

dibandingkan tinjauan independen lainnya dan menunjukkan bahwa mungkin terdapat

beberapa bentuk bias yang terjadi (Lachenmeier, 2008).

Dalam meta-analisis dari seluruh penelitian epidemiologi diketahui meneliti

hubungan antara penggunaan obat kumur dan oral cancer (totalnya adalah 4484 kasus

dan 8781 kontrol), dan diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan

antara penggunaan obat kumur dan oral cancer (RR = 1,13; 95% CI 0,95-1,35), tidak

ada risiko signifikan yang berhubungan dengan penggunaan sehari-hari (p = 0,11), dan

tidak ada hubungan yang signifikan ketika diketahui bahwa obat kumur mengandung

alkohol (RR = 1,0; 95% CI 0,39, 2,60) (Gandini et al.,2012). Namun, telah

dipertanyakan, apakah suatu meta-analisis dengan jumlah subjek ini akan memiliki

kekuatan statistik yang cukup untuk mendeteksi risiko yang rendah tetapi signifikan
yang diakibatkan oleh penggunaan obat kumur yang mengandung alkohol secara teratur

(Lachenmeier, 2012).

Meskipun heterogenitas yang terdapat dalam desain dan hasil antara penelitian

dan tinjauan epidemiologi menyebabkannya tidak mungkin untuk menilai hubungan

antara penggunaan pencuci mulut yang mengandung alkohol dan terjadinya OSCC

secara akurat, tetapi bukti terbaru dari INHANCE yang melakukan analisis gabungan

dari 12 penelitian case-control lebih lanjut mendukung adanya hubungan antara

penggunaan obat kumur jangka panjang dan dosis tinggi dengan risiko oral cancer dan

OPC (Boffetta et al., 2015). Dibandingkan dengan yang tidak pernah menggunakan

obat kumur, OR dari seluruh head and neck cancer adalah 1,01 [95% CI 0,94-1,08]

untuk yang pernah menggunakan obat kumur, berdasarkan dari 12 penelitian. OR untuk

kanker pada rongga mulut dan orofaring masing-masing adalah 1,11 (95% CI 1,00-

1,23) dan 1,28 (95% CI 1,06-1,56) (Boffetta et al., 2015). Odds ratio untuk seluruh

kasus head and neck cancer  adalah 1,15 (95% CI 1,01-1,30) untuk digunakan selama

lebih dari 35 tahun, berdasarkan tujuh penelitian (P untuk linear trend = 0,01), dan OR

1,31 (95% CI 1,09-1,58) untuk digunakan lebih dari satu per hari, berdasarkan lima

penelitian (P untuk linear trend < 0,001) (Boffetta et al., 2015). Analisis gabungan ini

memberikan perkiraan yang paling tepat dari hubungan antara penggunaan obat kumur

dan head and neck cancer dan berpotensi berhubungan dengan kandungan alkohol dari

produk ini (Winn et al., 2001; Gandini et al., 2012; Boffetta et al., 2015) dan

mendukung hipotesis gabungan yang menunjukkan model biologis yang dapat diterima.

Penelitian lebih lanjut yang dirancang secara konsisten dengan jumlah peserta

yang besar, pemeriksaan yang ketat dari semua variabel yang berhubungan dengan

penggunaan obat kumur, spesifikasi kandungan etanol dalam obat kumur, dan kontrol
yang jelas untuk konsumsi alkohol dan tembakau diperlukan sebelum hubungan

definitif dapat dibentuk atau didiskreditkan. Disimpulkan dalam diskusi bahwa "tidak

adanya bukti bukanlah bukti dari ketidakmunculan" sehubungan dengan hubungan ini

(Johnson et al., 2011).

Selain penelitian epidemiologi yang disebutkan di atas, terdapat juga sejumlah

penelitian in vitro dan in vivo yang meneliti efek dari obat kumur yang mengandung

alkohol pada sel manusia dan rongga mulut. Sementara temuan epidemiologi yang

konsisten diperlukan untuk membentuk hubungan sebab akibat antara penggunaan obat

kumur yang mengandung alkohol dan terjadinya OSCC, penelitian ini dapat

memberikan pengetahuan tentang efek lokal dan kemungkinan mekanisme

karsinogenik.

Seperti disebutkan sebelumnya, produksi acetaldehyde dari etanol dianggap

oleh International Agency for Research on Cancer sebagai proses karsinogenik

(Baan et al., 2007). Juga telah dijelaskan bahwa metabolisme etanol

menjadi acetaldehyde dapat terjadi di mulut karena adanya ADH dalam sel-sel epitel

pada mulut manusia dan ADH diproduksi oleh bakteri komensal. Salah satu penelitian

yang melibatkan relawan manusia yang sehat dilakukan untuk mengukur

jumlah acetaldehyde yang diproduksi di rongga mulut setelah 30 detik paparan terhadap

13 obat kumur yang mengandung alkohol berbeda yang konsentrasi alkoholnya

bervariasi dari 6,8% v/v hingga 26,8% v/v (Lachenmeier et al., 2009). Dari hal tersebut,

ditemukan bahwa sementara tidak ada acetaldehyde yang terdeteksi sebelum paparan,

dan pada konsentrasi rata-rata 52  14 μM (kisaran 11-105 μM) acetaldehyde dapat

dideteksi dalam saliva pada 2 menit setelah paparan. Nilai ini telah dikurangi menjadi

15  7 μM (kisaran 0-37 μM) pada 10 menit setelah paparan. Seperti yang dibuktikan
oleh rentang nilai tersebut, muncul sejumlah besar variasi antarindividu

(Lachenmeier et al., 2009). Para penulis mencatat bahwa ini merupakan temuan yang

signifikan karena telah terbukti bahwa pembentukan 1,N2-PdG adduct yang sangat

mutagenik dapat terjadi pada konsentrasi acetaldehyde serendah 100 μM dan

pertukaran sister chromatid dapat terjadi dalam sel mamalia dengan konsentrasi

serendah 88 μM (Obe dan Ristow, 1977; Theruvathu et al., 2005). Penambahan untuk

ini merupakan evaluasi terbaru yang mengarah pada kesimpulan bahwa ambang

mutagenik acetaldehyde dalam saliva turun antara 50 dan 150 μM (Salaspuro, 2007).

Sebuah penelitian serupa yang menggunakan obat kumur yang mengandung alkohol dan

relawan manusia menemukan konsentrasi acetaldehyde dalam saliva yang meningkat

secara signifikan berkisar dari 43,8 hingga 97,0 μM pada 1 menit setelah paparan

(McCullough et al., 2012). Namun, seperti yang disebutkan sebelumnya, pemberian

obat kumur chlorhexidine secara signifikan mengurangi produksi acetaldehyde lokal

dari etanol karena kerjanya mengurangi kadar mikroba oral (Homann et al., 1997). Ini

juga ditunjukkan dalam uji coba yang terpisah dimana relawan manusia berkumur

dengan obat kumur yang mengandung alkohol selama 30 detik diikuti dengan

pengukuran acetaldehyde dalam saliva di beberapa titik. Pada 2 menit setelah paparan,

obat kumur essential oil  menghasilkan konsentrasi acetaldehyde dalam saliva rata-rata

44,3 μM (kisaran 35,2-63,6 μM) dibandingkan dengan larutan etanol yang ekuivalen

yang menghasilkan konsentrasi 72,6 μM (kisaran 46,5-111,2 μM) (Moazzez et al.,

2011). Walaupun ini merupakan konsentrasi yang lebih rendah secara signifikan,

kelompok obat kumur yang mengandung alkohol masih menunjukkan nilai-nilai

individual yang berada dalam kisaran konsentrasi Salaspuro’s theoretical dari

mutagenisitas. Juga harus dicatat bahwa penelitian ini menerima dana dari Johnson and
Johnson, yaitu produsen dari Listerine. Secara keseluruhan, akan terlihat bahwa

walaupun sifat antibakteri dari obat kumur yang mengandung alkohol mengurangi

tingkat produksi acetaldehyde dalam rongga mulut (dibandingkan dengan larutan etanol

yang ekuivalen), tetapi komponen etanol pada obat kumur masih menyebabkan

produksi acetaldehyde ke tingkat dimana efek mutagenik dapat terjadi.

Penelitian human in vivo lainnya meneliti insiden dari abnormalitas nukleus dalam

sel-sel buccal yang tereksfoliasi dari tiga kelompok peserta: satu kelompok yang telah

menggunakan obat kumur yang mengandung alkohol dua kali sehari selama 30 hari,

kelompok lain yang telah menggunakan obat kumur bebas alkohol, dan sebuah

kelompok yang tidak menggunakan keduanya (Zamora-Perez et al., 2013). Dari hal

tersebut, ditemukan bahwa dibandingkan dengan dua kelompok yang bebas alkohol,

penggunaan obat kumur yang mengandung alkohol menyebabkan jumlah abnormalitas

nukleus yang jauh lebih tinggi, seperti micronucleus, binucleated cells, dan nuclear

budding. Ini merupakan temuan yang penting, mengingat bahwa abnormalitas nukleus

merupakan penanda yang kuat dari genotoksisitas (Zamora-Perez et al., 2013).

Beberapa penelitian in vitro lainnya yang berhubungan dengan obat kumur yang

mengandung alkohol telah dilakukan. Salah satu penelitian meneliti kemampuan tiga

obat kumur yang berbeda untuk menginduksi mutasi genetik menggunakan Drosophila

melanogaster Somatic Mutation dan Recombination Test (Rodrigues et al., 2007). Uji

ini diakui bermanfaat dalam mengevaluasi genotoksisitas dari agen lingkungan pada

manusia (Bishop dan Schiestl, 2003). Penelitian ini menemukan bahwa uji obat kumur

dengan persentase etanol tertinggi (16,8%) menginduksi sejumlah besar rekombinasi

mitosis. Penelitian lebih lanjut menentukan bahwa etanol yang terdapat dalam obat

kumur, bukan merupakan bahan aktif (cetylpyridinium chloride), yang menyebabkan


genotoksisitas. Para penulis memiliki teori bahwa acetaldehyde merupakan agen

penyebab dalam kerusakan genetik ini (Rodrigues et al., 2007). Penelitian lain

menggunakan single-cell gel electrophoresis assay untuk mengukur induksi dari

patahan untaian DNA dalam sel-sel epitel pada mulut manusia yang dikultur setelah

paparan terhadap pengenceran larutan dari obat kumur yang mengandung alkohol.

Kerusakan DNA yang jauh lebih besar secara signifikan dijumpai ketika dibandingkan

dengan kelompok kontrol bebas etanol (McCullough et al., 2012).

Tidak ada penelitian in vivo pada hewan yang meneliti efek pada mukosa mulut

tentang paparan topikal jangka panjang terhadap obat kumur yang mengandung alkohol.

Namun, beberapa penelitian pada hewan yang menggunakan etanol murni dalam

konsentrasi yang sama dengan obat kumur yang tersedia secara komersial memang ada.

Satu penelitian meneliti tentang perubahan yang terjadi pada mukosa mulut tikus yang

diberi makan diet yang mengandung 6,6% v/v etanol selama 6 bulan. Dari hal tersebut,

ditemukan bahwa dasar mulut, lateral lidah, dan epitel ventral lidah pada tikus yang

terpapar etanol menyebkan pembesaran nukleus sel basal, hiperplasia sel basal,

stratifikasi epitel yang berubah, dan persentase sel yang lebih besar dalam fase S dari

siklus sel secara signifikan. Juga ditemukan bahwa ketebalan rata-rata dasar mukosa

mulut berkurang secara signifikan pada tikus yang terpapar etanol. Para penulis

menyimpulkan bahwa paparan topikal kronis terhadap etanol menyebabkan atrofi

mukosa mulut dan hiper-regenerasi, dan ini kemungkinan mengakibatkan peningkatan

kerentanan terhadap karsinogen (Maier et al., 1994). Penelitian lain pada tikus yang

menggunakan etanol 6,4% v/v selama 5 bulan menemukan bahwa tingkat proliferasi sel

epitel esofagus secara signifikan meningkat pada tikus yang terpapar etanol. Ini

merupakan temuan yang signifikan mengingat bahwa hiperproliferasi mukosa


merupakan faktor risiko pada keganasan lainnya seperti colorectal

carcinoma (Simanowski et al., 1993). Suatu penelitian yang serupa pada kelinci, kecuali

menggunakan konsentrasi etanol yang lebih tinggi (20% v/v, 40% v/v, dan 96% v/v)

selama 12 bulan, menemukan epitel mulut pada kelinci yang terpapar etanol

menyebabkan terjadinya kelainan seperti dyskeratosis, keratosis permukaan,

peningkatan ketebalan lapisan basal, dan peningkatan jumlah dari gambaran mitosis

(Muller et al.,  1983). Mengingat bahwa ada beberapa masalah dalam menghubungkan

hasil penelitian ini dengan penggunaan obat kumur yang mengandung alkohol

(peningkatan jumlah paparan, lama paparan, konsumsi etanol, dan lain-lain), penelitian

lebih lanjut pada hewan diperlukan untuk meneliti efek lokal dari paparan topikal

jangka panjang terhadap obat kumur yang mengandung alkohol pada mukosa mulut.

Secara keseluruhan, bukti mekanistik dari penelitian in vivo dan in vitro ini

menunjukkan bahwa metabolisme etanol dalam obat kumur yang mengandung alkohol

dapat menghasilkan sejumlah besar acetaldehyde dalam rongga mulut, bahkan sampai

pada tingkat dimana kerusakan genetik dapat terjadi. Terjadinya kerusakan genetik

setelah terpapar obat kumur yang mengandung alkohol telah dibuktikan dalam model

hewan. Perlu juga dicatat bahwa sisa dari penelitian in vitro yang meneliti efek toksik

akut dari paparan jangka pendek terhadap obat kumur yang mengandung alkohol, bukan

efek kronis yang berhubungan dengan paparan berulang (Poggi et al., 2003; Welk et

al.,  2007; Moharamzadeh et al., 2009; Tsourounakis et al., 2013). Namun, hasil dari

abnormalitas epitel yang signifikan pada mukosa mulut hewan melalui paparan etanol

topikal kronis telah ditunjukkan dalam sejumlah penelitian. Penelitian yang lebih besar

diperlukan untuk menunjukkan insiden dan jalur dimana kerusakan genetik dapat terjadi

melalui paparan kronis terhadap obat kumur yang mengandung alkohol.


Kebutuhan menyeluruh terhadap penambahan etanol pada formulasi obat kumur

antibakteri telah dipertanyakan (Lachenmeier, 2008). Mereka mencatat bahwa beberapa

penelitian telah menunjukkan bahwa obat kumur yang tidak mengandung alkohol sama

efektifnya dan terbukti memiliki insiden dari efek samping yang lebih rendah daripada

yang mengandung etanol (Eldridge et al., 1998; Borrajo et al., 2002; Herrera et

al., 2003; Almerich et al., 2005; Bahna et al., 2007; Charles et al., 2012; Lopez-

Jornet et al., 2012; Olsson et al., 2012). Poin yang menarik ditunjukkan dalam sebuah

penelitian yang meneliti produksi acetaldehyde dalam saliva setelah dikumur dengan

obat kumur yang mengandung alkohol ataupun varian yang tidak mengandung alkohol.

Ditemukan bahwa penggunaan obat kumur yang mengandung alkohol menghasilkan

puncak acetaldehyde dalam saliva yang jauh lebih besar daripada yang tidak

mengandung alkohol. Karena penelitian ini berjalan selama 2 minggu dengan subjek

yang sama, juga ditemukan bahwa bahkan penggunaan sehari-hari dari obat kumur yang

mengandung alkohol menyebabkan hampir lima kali lipat jumlah acetaldehyde dalam

saliva daripada yang tidak mengandung alkohol (Nummi et al., 2011).

Sehubungan dengan perubahan yang tidak diinginkan dalam rongga mulut,

genotoksisitas yang disebabkan oleh alkohol memenuhi epidemiologi dari paparan obat

kumur yang mengandung alkohol untuk membentuk hipotesis gabungan menurut teori

yang memanfaatkan teori dari field cancerization. Dengan referensi khusus terhadap

rongga mulut, bidang kanker mengacu pada teori bahwa paparan karsinogen lingkungan

ke permukaan mukosa menyebabkan perubahan molekuler yang tidak diinginkan pada

keseluruhan mukosa. Ini menghasilkan "bidang" seluler yang lebih rentan terhadap

pengembangan fokus keganasan di beberapa lokasi (Angadi et al., 2012). Dalam model

ini (Gambar 118), paparan topikal secara reguler terhadap obat kumur yang
mengandung alkohol, secara teoritis dapat memiliki beberapa efek dari sudut pandang

karsinogenik. Seperti yang disebutkan sebelumnya, paparan yang singkat telah terbukti

menyebabkan kadar acetaldehyde dalam saliva dimana terdapat potensi terjadinya

peristiwa mutagenik. Seperti dicatat, kerja antibakteri dari obat kumur yang

mengandung alkohol mengurangi kontribusi terhadap acetaldehyde dalam saliva oleh

flora oral; namun, penggunaan obat kumur yang mengandung alkohol menghasilkan

kadar acetaldehyde dalam saliva yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan obat

kumur yang tidak mengandung alkohol, bahkan setelah 2 minggu dengan penggunaan

dua kali sehari, setelah itu, flora oral akan disupresi secara menyeluruh (Nummi et al.,

2011). Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dengan relatif tidak adanya bakteri yang

berkontribusi, etanol dalam obat kumur mendorong peningkatan acetaldehyde dalam

saliva. Selain menghasilkan karsinogen secara langsung, etanol juga memiliki efek tidak

langsung seperti peningkatan permeasi mukosa dan induksi sitokrom P450 2E1, yang

berperan untuk meningkatkan kerja karsinogen yang berhubungan dengan tembakau.

Hal ini mungkin relevan dengan penggunaan obat kumur yang mengandung alkohol,

karena pengguna obat kumur yang merokok berisiko lebih tinggi terkena OSCC

daripada pengguna yang tidak merokok (Winn et al., 1991; Guha et al., 2007). Efek

gabungan ini dapat menyebabkan kejadian mutagenik yang terus menerus dalam bidang

yang sensitif, sehingga mendorong transformasi epitel yang berkelanjutan. Efek dari

minuman beralkohol dalam hal ini telah terlihat, karena baru-baru ini telah ditunjukkan

bahwa konsumsi dari minuman beralkohol secara terus menerus setelah terjadinya

OSCC secara signifikan meningkatkan risiko pasien terhadap terjadinya second primary

OSCC  yang mungkin berasal dari transformasi lanjutan dalam bidang yang sensitif

(Druesne-Pecollo et al., 2014). Adanya lesi displastik pada rongga mulut juga


menimbulkan bidang yang bisa dibilang lebih sensitif terhadap transformasi keganasan

dalam merespon rangsangan lingkungan, mengingat disregulasi proses seluler yang

sudah ada dalam sel-sel ini. Hal ini didukung oleh transcriptomic data saat ini yang

meneliti pengaruh obat kumur yang mengandung alkohol pada batas sel epitel oral yang

normal dan displastik (Fox et al., 2018). Mereka menunjukkan bahwa batas sel normal

(OKF6-TERT) dan displastik (DOK) menunjukkan kerusakan DNA yang bergantung

pada dosis sebagai respons terhadap paparan akut terhadap obat kumur yang

mengandung etanol dan alkohol serta obat kumur yang tidak mengandung alkohol yang

direkonstitusi dengan etanol seperti yang ditunjukkan oleh Comet assay. Efek

transkriptomik dari paparan obat kumur yang mengandung alkohol lebih kompleks

dengan ekspresi gen berbeda yang signifikan mulai dari > 2000 gen dalam sel-sel yang

displastik (DOK) hingga < 100 gen dalam sel yang normal (OKF6-TERT). Pathway

enrichment analysis dalam sel DOK menyatakan bahwa obat kumur yang mengandung

alkohol menunjukkan gambaran umum di antara dua merek yang digunakan termasuk

respon kerusakan DNA serta jalur yang berhubungan dengan kanker. Dalam sel OKF6-

TERT, enriched pathway secara signifikan melibatkan inflammatory signaling. Obat

kumur yang mengandung alkohol bersifat genotoksik in vitro terhadap keratinosit oral

yang normal dan displastik dan menyebabkan perubahan yang luas dalam ekspresi gen.

Sel-sel displastik lebih rentan terhadap efek transkriptomik dari obat kumur (Fox et

al., 2018).
Gambar 118. Model hipotesis dari jalur yang menyebabkan karsinogenesis pada
mukosa mulut setelah penggunaan obat kumur yang mengandung alkohol

Human Papillomavirus dan Mikroorganisme Lainnya

Berbagai tipe HPV telah diidentifikasi pada lesi jinak rongga mulut. Dalam dekade

terakhir, lebih banyak perhatian telah diberikan pada peran onkogenik dari HPV

dalam oral carcinogenesis (IARC Working Group on the Evaluation of Carcinogenic

Risk to Humans, 2007b; Tornesello et al., 2014). Bertentangan dengan hubungan yang

kuat antara HPV dan oropharyngeal cancer, ada bukti yang minimal untuk mendukung

peran HPV dalam OSCC pada rongga mulut. Tidak seperti orofaring, OSCC yang

berhubungan dengan HPV jarang terjadi dengan hanya sekitar 5% dari jumlah kasus

yang terbukti secara positif berhubungan dengan HPV (Lingen et al., 2013; Poling et

al.,  2014; Castellsague et al., 2016; Zafereo et al., 2016). Selain itu, imunohistokimia

p16 memiliki nilai prediktif positif yang buruk untuk deteksi HPV pada oral cancer.

Selain itu, HPV tidak terdeteksi pada sebagian besar lateral tongue

carcinoma (Poling et al., 2014). Mengingat pengamatan dimana HPV sedikit berperan,


jika terdapat peran dalam terjadinya kanker ini, maka tes HPV rutin tidak dapat

dibenarkan, bahkan untuk pasien tanpa faktor risiko tradisional (Poling et al., 2014).

Mikroorganisme lain yang berhubungan dengan kejadian oral

cancer meliputi Epstein-Barr virus (EBV), Candida, Neisseria, dan streptococci

(Hooper et al., 2009). Syphilitic glossitis juga dilaporkan berhubungan dengan

meningkatnya risiko oral cancer. Meskipun demikian, sedikit bukti mendukung peran

dari dampak gabungan dari mikroflora oral dan kebersihan mulut yang buruk pada oral

carcinogenesis. Telah disarankan bahwa mikroflora oral adalah denominator yang

menghubungkan seluruh elemen etiologi lainnya bersama-sama (Hooper et al., 2009).

Seperti disebutkan di atas, bukti terbaru menunjukkan bahwa konsumsi alkohol

dapat mempengaruhi komposisi dan keragaman oral microbiome, mengurangi

banyaknya susunan komensal Lactobacillales hingga meningkatkan yang lainnya

seperti Neisseria yang diketahui mensintesis human carcinogen acetaldehyde dari

etanol. Temuan ini memerlukan penelitian lebih lanjut, akan tetapi dapat menjelaskan

peran oral microbiome dan mikroorganisme yang spesifik dalam etiologi head and neck

cancer (Fan et al., 2018).

Qat

Qat, juga disebut khat atau chat, merupakan nama umum untuk Catha edulis, yaitu

tanaman hijau sepanjang masa di negara-negara Afrika Timur, Yaman, dan bagian barat

daya Arab Saudi, dimana itu merupakan tempat dedaunan dan rantingnya yang segar

dikunyah karena kemiripannya dengan amphetamine dan efek euforianya (Dhaifalah

dan Santavy, 2004; Al-Hebshi dan Skaug, 2005; El-Zaemey et al., 2015). Efek

farmakologis dari qat pada dasarnya dikaitkan dengan amina seperti cathinone dan


norpseudoephedrine (Al-Hebshi dan Skaug, 2005). Mengunyah qat merupakan suatu

kebiasaan sehari-hari yang terjadi dalam lingkungan pertemuan sosial yang berlangsung

selama beberapa jam (Al-Sanosy, 2009). Penggunaan qat telah dikaitkan dengan

dampak yang merugikan terhadap kesehatan meliputi stomatitis, esofagitis, gastritis,

konstipasi, malnutrisi, sirosis hepatis, dan spermatorrhea (Al-Hebshi dan Skaug, 2005).

Mukosa buccal dan gingiva pada daerah mulut yang paling terpengaruh karena kontak

langsung dengan penempatan qat (Lukandu et al., 2015). Oral leukoplakia yang

disebabkan oleh mengunyah qat yang kronis juga telah didokumentasikan (El-Wajeh

dan Thornhill, 2009; Lukandu et al., 2015). Beberapa laporan menghubungkan antara

mengunyah qat dengan terjadinya oral cancer (Soufi et al., 1991; Fasanmade et

al., 2007; Marway, 2016); namun, bukti saat ini masih lemah dan didasarkan pada

rangkaian kasus yang tidak adekuat menjelaskan penggunaan tembakau secara

bersamaan (Chaouachi, 2007; El-Zaemey et al.,2015). Selain itu, mengunyah qat dan

penggunaan shammah bersamaan telah dikaitkan dengan tingkat OSCC yang jauh lebih

rendah daripada penggunaan shammah saja, dimana hal tersebut menunjukkan

bahwa qat memiliki beberapa efek perlindungan terhadap karsinogenesis yang

disebabkan oleh shammah (Nasher et al., 2014). Meskipun demikian, pemahaman

mendalam tentang peran qat sebagai faktor penyebab untuk oral cancer masih kurang,

dan diperlukan penelitian lebih lanjut yang dirancang dengan baik.

Minuman Maté

Daun kering dan batang pohon dari pohon abadi Ilex paraguariensis yang diseduh dan

dikonsumsi sebagai minuman di banyak negara di Amerika Selatan. Minuman maté

juga sangat umum di Suriah, Lebanon, dan Israel Utara. Sebuah meta-analisis telah
mengusulkan bahwa risiko oral cancer meningkat seiring dengan jumlah cangkir maté

yang dikonsumsi per bulan, dimana odds ratio  yang disetujui adalah sebesar 2,11

(95% confidence interval  (CI) = 1,39-3,19) (Dasanayake et al., 2010). Namun,

penelitian lebih lanjut diperlukan sebelum maté dapat dianggap sebagai faktor

risiko oral cancer.

Radiasi dan Paparan Sinar Matahari

Terapi radiasi pengion dan paparan kronis terhadap sinar matahari diberi label oleh

IARC Working Group on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans sebagai

Kelompok 1. Hal ini berarti bahwa mereka memiliki dampak karsinogenik terhadap

manusia (IARC Working Group on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans,

2012). Penelitian epidemiologi telah menunjukkan bahwa paparan kronis terhadap sinar

matahari merupakan faktor yang signifikan terhadap terjadinya kanker pada bibir bawah

(Ariyawardana dan Johnson, 2013). Selain itu, radiasi pengion dianggap sebagai

kofaktor yang mungkin meningkatkan risiko OSCC pada pasien yang menerima

radiotherapy (RT) (Gilbert, 2009).

Kebersihan Mulut dan Inflamasi Kronis

Kebersihan mulut yang buruk dan gigi yang buruk (restorasi yang salah, gigi yang

tajam, dan gigi palsu yang tidak tepat) telah terlibat dalam beberapa penelitian

epidemiologi; namun, faktor pengganggu oleh tembakau dan alkohol belum ditangani

secara adekuat dalam penelitian ini (Zheng et al., 1990; Marshall et al., 1992;

Warnakulasuriya, 2009a, b). Setelah disesuaikan untuk tobacco smoking dan konsumsi

alkohol, hubungan yang berlawanan dengan head and neck cancer diamati dalam


analisis gabungan INHANCE untuk < 5 gigi yang hilang [OR = 0,78; 95% CI 0,74-

0,82], kunjungan dokter gigi tiap tahun (OR = 0,82; 95% CI 0,78-0,87), menyikat gigi

setiap hari (OR = 0,83, 95% CI 0,79-0,88), dan tidak ada penyakit pada gusi (OR =

0,94; 95% CI 0,89-0,99), dan tidak ada hubungan yang diamati terhadap pemakaian gigi

palsu (Hashim et al., 2016). Hubungan ini relatif konsisten pada lokasi kanker tertentu,

terutama untuk menyikat gigi dan kunjungan dokter gigi. Populasi yang dikaitkan

sedikitnya untuk 2 dari 5 indikator kebersihan mulut yang baik adalah 8,9% (95% CI

3,3-14) untuk oral cacity cancer. Kebersihan mulut yang baik, yang ditandai dengan

beberapa gigi yang hilang, kunjungan dokter gigi tiap tahunnya, dan menyikat gigi

setiap hari, mungkin secara sederhana mengurangi risiko head and neck

cancer  (Hashim et al., 2016).

Penyakit periodontal berhubungan dengan peningkatan risiko oral

cancer  (Gasche et al., 2011). Dikatakan bahwa infeksi kronis dari penyakit periodontal

menyebabkan inflamasi derajat rendah dan stres oksidatif, yang dapat berkontribusi

terhadap karsinogenesis (Gasche et al., 2011). Sebuah penelitian case-control dari

Jepang menemukan bahwa menyikat gigi yang sering dapat mengurangi risiko kanker

pada saluran aerodigestif bagian atas, terutama pada kelompok yang berisiko tinggi dari

konsumen tembakau dan alkohol yang berat (Sato et al., 2011). Beberapa bakteri pada

mulut juga memetabolisme alkohol menjadi acetaldehyde, yang dikenal sebagai

karsinogen (Homann et al., 2000). Candida albicans juga dapat secara efisien

mengubah alkohol menjadi karsinogenik acetaldehyde, yang serupa dengan beberapa

bakteri dalam flora oral (Homann et al., 2000; Scully, 2011). Infeksi jamur, sekunder

akibat Candida albicans yang paling umum, dapat mengenai epitel oral dan berperan

dalam menghasilkan perubahan displastik (Homann et al., 2000; Scully, 2011). Bukti


menunjukkan bahwa selain respon inflamasi, nitrosamine yang diproduksi oleh jamur

dapat mengaktifkan proto-onkogen (Homann et al., 2000). Beberapa penelitian telah

mendukung pendapat bahwa trauma pada rongga mulut dapat memainkan peran

mekanis dalam model multifaktorial dari patogenesis oral cancer (Thumfart et

al.,  1978; Piemonte et al., 2010); namun, peran kausatif dari trauma gigi pada oral

carcinogenesis belum sepenuhnya diatasi, dan penelitian lebih lanjut diperlukan.

Faktor Lingkungan dan Pekerjaan

Data terbaru menunjukkan bahwa polusi udara rumah tangga, yang dihasilkan dari

penggunaan bahan bakar padat (misalnya, kayu, residu tanaman, kotoran hewan, dan

batubara) untuk memasak dan memanaskan, berkontribusi terhadap terjadinya oral

cancer (Sapkota et al., 2008; Josyula et al., 2015), seperti halnya kontaminasi dari tanah

dengan logam berat (Lin et al., 2014). Beberapa pekerjaan yang berhubungan dengan

tingkat debu yang tinggi juga dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko oral

cancer  (Gustavsson et al., 1998). Selain itu, paparan pekerjaan dari pekerja tembakau

terhadap tembakau yang tidak terbakar atau debu tembakau telah dikaitkan dengan

peningkatan risiko OPC (IARC Working Group on the Evaluation of Carcinogenic

Risks to Humans, 2007a). Namun, bukti ini harus dibaca dengan tekun. Diperlukan

lebih banyak penelitian untuk mendukung atau membantah temuan yang diamati saat ini

tentang peran dari faktor lingkungan dan pekerjaan terhadap risiko terjadinya oral

carcinogenesis.

Penilaian risiko pasien yang menyeluruh adalah wajib untuk dimasukkan dengan

pemeriksaan head and neck cancer yang komprehensif dan terutama harus dilakukan


untuk pasien yang berisiko tinggi. Berbagai indikator risiko prediktif terhadap

terjadinya head and neck SCC dibahas dalam bab ini dan dirangkum dalam Gambar 68.

Pola Makan yang Buruk dan Defisiensi Nutrisi

Pola makan yang buruk, atau pola makan buah dan sayuran segar yang kurang, telah

muncul sebagai faktor risiko yang signifikan untuk HNC, terlepas dari tembakau,

alkohol, konsumsi betel nut, dan HPV (World Cancer Research Fund, 2007;

Bradshaw et al., 2012). Seperti halnya karsinoma lain di luar rongga mulut, diet tinggi

buah-buahan dan sayuran dapat mencegah terjadinya oral cancer ketika penelitian

epidemiologi terkontrol untuk penggunaan tembakau dan alkohol (Winn et al., 1984).

Penelitian lebih lanjut terhadap fenomena ini telah menunjukkan bahwa suplementasi β-

carotene dan vitamin A menyebabkan regresi substansial dari beberapa OPMD (Stich et

al., 1988a, b). Peningkatan konsumsi sayur-sayuran berdaun hijau dan umbi-umbian

yang tidak mengandung tepung seperti wortel, dapat mengurangi risiko

dari oropharyngeal cancer (Pavia et al., 2006). Dalam penelitian pada hewan dan

manusia, epitel oral sering mengalami atrofi pada anemia defisiensi besi dan kemudian

menunjukkan pergantian epitel yang cepat (Rennie dan MacDonald, 1982; Rennie et

al.,  1982). Salah satu hipotesis adalah bahwa kekurangan zat besi dapat meningkatkan

kerentanan seseorang terhadap karsinogen kimia dari epitel yang mengalami yang

penipisan, atrofi, dan lebih permeabel dan juga dari tingginya jumlah sel pembagi yang

rentan karena peningkatan turnover (Rennie dan MacDonald, 1982). Efek dari

komponen makanan individu dan elemen yang tersisa pada karsinogenesis masih belum

jelas (Meurman, 2010).


Sering mengonsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran, terutama yang kaya dengan

multivitamin A, B, C, D, dan E, telah diketahui memiliki efek perlindungan terhadap

semua jenis kanker, termasuk oral cancer (Chainani-Wu et al., 2011). Mekanisme

pencegahan terhadap terjadinya kanker tidak sepenuhnya dipahami. Secara umum

dijelaskan oleh sifat antioksidan dari senyawa tertentu dalam buah-buahan dan sayur-

sayuran yang dapat mencegah kerusakan DNA dengan mengurangi paparan oksigen

radikal bebas (Chainani-Wu et al., 2011).

Mengingat sulitnya mengevaluasi peran murni diet dalam etiologi multifaktorial

OPC, diet yang tidak seimbang atau kurang telah dianggap sebagai faktor risiko

tambahan penting yang dapat berkontribusi terhadap peningkatan dari kecenderungan

kejadian OPC, khususnya di dunia bagian Barat (Chainani-Wu et al., 2011).

Menariknya, sebuah penelitian case-control menunjukkan fakta bahwa konsumsi buah-

buahan dan sayur-sayuran yang rendah, digabungkan dengan konsumsi daging yang

sering, riwayat merokok dengan rokok tembakau, dan riwayat minum alkohol telah

meningkatkan risiko OPC hingga 20 kali lipat (Bravi et al., 2013).

Etnisitas

Terdapat banyak penjelasan mengenai kerentanan terhadap oral cancer berdasarkan

etnis dan ras, karena tingkat insiden oral cancer sangat bervariasi pada berbagai

kelompok di dunia (Warnakulasuriya, 2009b). Sebagai contohnya, salah satu penelitian

tentang laki-laki Afrika-Amerika menunjukkan insiden 15% lebih tinggi daripada laki-

laki Amerika berkulit putih (Goodwin et al., 2008). Yang lain menunjukkan bahwa

orang Asia Selatan memiliki insiden yang jauh lebih tinggi daripada kebanyakan

kelompok lain di dunia (Warnakulasuriya, 2009b). Perbedaan nutrisi, pola merokok,


perbedaan jumlah yang dihisap atau alkohol yang dikonsumsi, dan interaksi dua arah

dan tiga arah dari mengunyah betel quid dengan merokok dan alkohol, daripada faktor

genetik, mungkin memainkan peran dalam variasi yang diamati dalam populasi dan

insiden yang tinggi ini pada beberapa kelompok etnis dan ras (Warnakulasuriya,

2009b).

Predisposisi Genetik

Beberapa kelainan genetik telah dikaitkan dengan peningkatan perkembangan oral

cancer pada beberapa tahap, termasuk hereditary nonpolyposis colorectal cancer,

Fanconi’s anemia, Bloom syndrome, xeroderma pigmentosum, Lynch II

syndrome, dan Li-Fraumeni syndrome (Jefferies et al., 1999). Lebih menarik lagi,

laporan dari kasus oral cancer dan OPC dalam keluarga pada pasien yang muda telah

didokumentasikan dan diketahui bahwa hal tersebut mendukung peran keluarga dalam

meningkatkan risiko OPC. Pola ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa anggota keluarga

berbagi paparan lingkungan dengan faktor risiko utama (Jefferies et al., 1999;

Garavello et al., 2008). Selain itu, pasien dengan riwayat oral cancer atau OPC

memiliki peningkatan risiko terhadap terjadinya second primary malignancy secara

bersamaan atau setelah diagnosis primary malignancy. Pada pertengahan abad kedua

puluh, Slaughter et al. mengembangkan konsep "field cancerization" berdasarkan pada

pendapat bahwa paparan langsung dari karsinogen ke daerah yang besar pada kepala

dan leher akan menyebabkan genesis beberapa tumor primer (Gambar 119)

(Slaughter et al., 1953). Baru-baru ini, telah terjadi peningkatan jumlah kasus oral

cancer yang baru, terutama pada pasien yang lebih muda tanpa faktor risiko tradisional

yang berhubungan dengan OSCC seperti merokok dan konsumsi alkohol. Telah
dijelaskan bahwa kecenderungan genetik mungkin berhubungan dengan onset awal

OSCC pada pasien ini.

Baru-baru ini, faktor genetik seperti mutasi p53, aberrant

expression dari epidermal growth factor receptor (EGFR) dan/atau ligan untuknya, dan

metilasi promotor dari human MutL homolog1 (hMLH1), semuanya telah dikaitkan

dengan oral cancer (Szymanska et al.,  2010; Taoudi Benchekroun et al., 2010;

González-Ramírez et al., 2011). Meskipun oral cancer merupakan bagian dari penyakit

genetik yang disebabkan oleh paparan lingkungan terhadap karsinogen, tetapi tidak

terdapat hubungan dengan hereditary cancer syndromes yang dikatakan herediter

(Warnakulasuriya, 2009b). Relative risk dari oral cavity cancer adalah antara 1,2% dan

3,8% untuk mereka yang memiliki riwayat keluarga HNC bila dibandingkan dengan

mereka yang tidak memiliki riwayat keluarga seperti itu (Radoi dan Luce, 2013). Data

yang tidak dipublikasikan dari Farah et al. menunjukkan perbedaan dalam distribusi

dari mutasi OSCC pada pasien yang lebih muda (< 40 tahun) dan lebih tua (> 60 tahun).

Data tersebut mendukung bukti awal bahwa terdapar pola mutasi somatik yang berbeda

yang ditemukan pada tumor dari pasien yang lebih muda terutama pada gen perbaikan

kerusakan DNA yang membedakan tumor onset awal pada pasien yang lebih muda.

Perbedaan utama antara kedua kelompok usia terletak pada jumlah varian non-

synonymous dan nonsense pada gen yang spesifik. BRCA1, pada pasien yang lebih

muda, dan TP53, pada pasien yang lebih tua, memiliki jumlah varian tertinggi.

Meskipun pengetahuan tentang faktor keturunan dan faktor genetik meningkat, tetapi

saat ini hal tersebut tidak banyak membantu dokter dalam melakukan penilaian risiko,

karena bukti untuk susunan keluarga yang terbatas (Warnakulasuriya, 2009b).

Anda mungkin juga menyukai