“Hari ini hari spesialku, aku mau mengajakmu minum kopi di kedai kopi dekat sini.”
Ia tersenyum hangat pada Nadja dengan tangan dimasukkan di kantong celananya yang masih
belepotan cat minyak.
“Ulang tahun ?” Tukas Nadja sembari menangkap binar kegembiraan dalam bola
matanya yang teduh.
“Bukan, tapi tadi malam manajerku memberitahuku kalau bulan depan aku diundang
ikut pameran lukisan kontemporer di Berlin.”
“Oyaa...wow...selamat ya...!” Seru Nadja tak bisa menyembunyikan kekaguman yang
menghentak di relung hatinya.
“Tapi...berarti kamu harus balik ke LA, right ?” Tiba-tiba hati Nadja terasa nelangsa.
“Arrhh...masih lama...” Ujarnya santai. “Aku masih ingin lebih lama di sini...alamnya
indah...natural...matahari...laut...pasir putih...dan kamu....”
Nadja terhenyak sesaat. Aku...ia membathin.
“Kenapa aku...” Desisnya dengan bergetar. Ada keharuan yang mendesir di dadanya.
“Kamu gadis Indonesia yang menjadi temanku di sini. Dan membuatku berpikir untuk
tinggal lebih lama di Indonesia...” Sahutnya masih dengan nada santai. Ia berjalan pelan
menuju kedai kopi di pinggir pantai. Nadja yang masih kebingungan mengikuti langkahnya.
“Sudah sarapan ?” Tanyanya.
Nadja mengangguk. “Aku selalu sarapan jam 06.30.”
Lee tertawa sumringah sambil melirik jam yang terpampang di sudut ruangan. Sudah
jam 08.35.
“Aku sangat kelaparan...” Kekehnya sambil memesan roti sandwich, telur dan kopi.
Nadja hanya memesan kopi dan roti cane.
Dari balik jendela kafe, terlihat hamparan laut biru yang begitu tenang. Cuaca pagi ini
benar-benar cerah. Secerah wajah Lee.
“Rasanya aku ingin lebih lama tinggal di sini. Aku punya rencana untuk membuat
proyek lukisanku berikutnya di sini. “ Ia berbicara dengan bersemangat.
“Sepertinya kau akan jadi pelukis terkenal, Lee...” Ucap Nadja sambil menyeruput
kopinya.
“Aku tidak ingin jadi terkenal...” Tukas Lee lugas.
“Aku hanya ingin karyaku bisa dinikmati semua orang...” Ucapnya tercenung.
“Kalau begitu aku akan jadi penggemar rahasiamu...” Sahut Nadja tertawa. Wajahnya
terlihat begitu cantik dengan kulit yang mulai kecoklatan karena berjemur beberapa hari ini.
Lee menatap Nadja dalam, ia mencari sesuatu di sorot mata Nadja yang berbinar cerah.
“Nadja...kamu tidak keberatan menjadi sahabatku kan...” Ujarnya dengan nada suara
halus dan hati-hati.
“Maksudku...sahabat...bukan sekedar teman traveling...” Tukas Lee dengan mata
berkilat dan tersenyum polos.
“Tentu saja Lee...kamu sahabat yang menyenangkan...aku berharap kita bisa
bersahabat untuk selamanya....” Ucap Nadja tertawa lepas. Arrhh, sahabat...terdengar manis.
“Aku punya sesuatu yang istimewa untukmu...” Lee tiba-tiba mengeluarkan sesuatu
dari balik saku celananya.
Sebuah kotak kecil yang terbuat dari kayu etnik yang dilukis indah. Laut dan senja.
Warna biru yang dilebur dengan jingga.
“Bagus banget Lee...” Desis Nadja sambil meraih kotak kayu itu dengan perasaan
meluap-luap. Dengan hati-hati ia membukanya, dan...ahaaa...
Sebuah cincin kayu yang juga dilukis indah dengan warna biru muda dan jingga.
“Cincin persahabatan kita...” Ucap Lee dengan mata berbinar.
Nadja memasukkan cincin itu ke jari manisnya. Seketika perasaannya membumbung
ke angkasa. Ia sadar, tidak akan berharap terlalu tinggi akan persahabatan ini...ia tidak ingin
menjadi manusia-manusia pecundang yang cuma sekedar pemimpi di pagi hari.
“Terima kasih Lee...” Gumamnya penuh arti.
Dan sepanjang hari itu, mereka habiskan berdua untuk menikmati laut. Laut yang
menemukan mereka, laut yang melukis sepenggal kisah mereka. Laut juga yang
meninggalkan jejak pertemuan mereka.
Nadja tahu, seperti dongeng laut yang seringkali ia ceritakan pada murid-murid taman
kanak-kanak, Lee bagaikan sebuah legenda bajak laut yang datang di kala laut penuh
gelombang...dan kemudian menghilang tanpa pesan di kegelapan.
Keesokan harinya, Nadja hanya mendapati pesan dari resepsionis hotel tempat Lee
menginap, bahwa Lee sudah berangkat pagi-pagi ke bandara menuju Los Angeles.
“Dear Nadja, terima kasih sudah menjadi sahabat terbaikku selama di Bali. Aku
berharap, persahabatan kita bisa terjalin selamanya. Maafkan, aku harus buru-buru
pergi...karena ada urusan penting yang harus aku selesaikan. Love, Lee.”
Suatu hari di bulan September, Nadja mendapati sebuah vlog tentang pameran lukisan
kontemporer di Berlin. Dari beberapa pelukis yang melakukan pameran di sana, nampak
terpampang wajah Lee yang tersenyum sumringah dengan kacamata hitam dengan rambut
yang sedikit gondrong meskipun tersisir rapi. Ada beberapa lukisan karya Lee yang berderet
di sana, salah satunya adalah lukisan laut yang berlatar senja. Lukisan itu bertuliskan “Untuk
Nadja”.
Nadja hanya tersenyum kecil, mungkin dengan menjadi Lee Robertson akan membuat
hidupnya jauh lebih tenang, tanpa harus dikejar-kejar paparazi dan pesta-pesta selebritis. Lee
Robertson yang sekarang jauh lebih natural dan sederhana. Dan ia mengubur dirinya yang
lain dan merubah penampilannya sebagai Edmond Cunningham si selebriti yang terkenal
playboy dan banyak terlibat masalah, sampai harus terlilit hutang dan mengalami depresi.
Dan sudah lebih dari setahun, seorang Edmond Cunningham seolah menghilang dari
dunia...ia tidak ada lagi di berbagai berita, dia juga berhenti menjadi aktor dan pemusik.
Semua akun di media sosialnya dihapus. Yang ada hanyalah seorang Lee Robertson....Dia...si
pelukis laut.
Dia, seperti garis yang penuh alur tak bertepi
Dia, jejak yang tak bertapak
Dia, bayangan yang tak berwujud
Dia, ekspresi dari jiwa yang bersayap
Dia, kabut di kanvas putih, abstrak, berdenyut hidup
Menarilah di ombak…menyelami buih
Pelukis laut…Dia
Senja kan membawamu, memanggil…
Saat laut berbisik…kau dan kebebasanmu
Biodata Penulis
Perempuan yang dipanggil Lita ini, lahir dan dibesarkan di kota Banjarmasin.
Menyukai dunia tulis-menulis sejak duduk di bangku SMP. Aktivitas kesehariannya adalah
sebagai pengajar mata pelajaran ekonomi di SMAN 1 Banjarmasin. Memiliki hobi membaca,
menulis, menonton film, dan traveling ini berharap bisa mengispirasi banyak orang lewat
sebuah karya berupa tulisan.