Anda di halaman 1dari 32

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................3
2.1 Fisiologi Cairan Tubuh..............................................................................3
2.2 Macam Macam Cairan 2,13,14......................................................................5
2.3 Terapi Cairan Perioperatif.......................................................................10
2.4 Masalah pada Terapi Perioperatif............................................................14
2.5 Monitoring pada Terapi Perioperatif.......................................................16
BAB III KOMPLIKASI.........................................................................................23
BAB IV KESIMPULAN.......................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Terapi cairan perioperatif merupakan terapi cairan yang dilakukan pada

periode sekitar operasi, meliputi cairan saat pre-operatif, durante operatif, dan

post-operatif. Tujuan dari terapi cairan perioperatif adalah menyediakan jumlah

cairan yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskular yang adekuat

agar sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan

aliran darah yang adekuat ke organ-organ vital dan ke jaringan yang mengalami

trauma dan efektif untuk penyembuhan luka. Volume plasma yang adekuat

penting untuk mempertahankan curah jantung dan perfusi jaringan.

Defisit cairan perioperatif timbul sebagai akibat puasa pra-bedah,

kehilangan cairan, pendarahan, dan lamanya pembedahan yang mengakibatkan

terjadinya sequestrasi atau translokasi cairan. Pada periode pasca bedah kadang-

kadang perdarahan dan atau kehilangan cairan (dehidrasi) masih berlangsung,

yang tentu saja memerlukan perhatian khusus.1,2

Puasa pra-bedah selama 6 jam atau lebih dapat menimbulkan defisit

cairan (air dan elektrolit) sebanyak 500 - 1000 mililiter pada pasien orang

dewasa.1,3,4 Gejala dari defisit cairan ini belum dapat dideskripsikan, tetapi

termasuk didalamnya adalah rasa haus, mengantuk, dan pusing.1,5

Target terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit cairan

pra bedah, selama pembedahan dan pasca bedah dimana saluran pencernaan

belum berfungsi secara optimal, untuk pemenuhan kebutuhan normal harian.

Terapi dinilai berhasil apabila tidak ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan

1
hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan berupa edema paru dan gagal

nafas.2 Sampai saat ini terapi cairan perioperatif masih merupakan topik yang

menarik untuk dibicarakan, karena dalam praktiknya, banyak hal yang sulit diukur

atau dinilai secara obyektif.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Cairan Tubuh

Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat

berubah tergantung pada umur, jenis kelamin, dan derajat obesitas seseorang.

Pada bayi usia <1 tahun cairan tubuh adalah sekitar 60-85% berat badan dan pada

bayi usia >1 tahun mengandung air sebanyak 60-70%. Seiring dengan

pertumbuhan seseorang persentase jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-

angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa 50-60% berat badan, sedangkan pada

wanita dewasa 50% berat badan.5 Hal ini terlihat pada tabel berikut :

Tabel 2-1 Distribusi cairan tubuh

Distribusi cairan Laki-laki Perempuan Bayi


Total air tubuh% 60 50 75
Intraseluler 40 30 40
Ekstraseluler 20 20 35
-Plasma 4 4 5
-Interstisial 15 15 30
-Transeluler 1 1

Garner MW : Physiology and pathophysiology of the body fluid, St. Louis, 2015,
Mosby,5
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada

perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan perioperatif, dapat

menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan tersebut tidak

dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka resiko

penderita menjadi lebih besar.5

1. Cairan intraselular

3
Cairan yang terkandung di dalam sel disebut cairan intraseluler. Pada orang

dewasa, sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraseluler

(sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70

kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya

merupakan cairan intraselular.

2. Cairan ekstraselular

Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif

cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir,

sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia

1 tahun, jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari

volume total. Ini sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan

berat rata-rata 70 kg.5

Cairan ekstraselular dibagi menjadi 5:

a. Cairan Interstisial

Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstisial,

sekitar 11-12 liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam

volume interstisial. Relatif terhadap ukuran tubuh, volume ISF adalah

sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan orang dewasa.5

b. Cairan Intravaskular

Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah

(contohnya volume plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa

sekitar 5-6 L dimana 3 liternya merupakan plasma, sisanya terdiri dari

sel darah merah, sel darah putih dan platelet.5

c. Cairan Transeluler

4
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu

seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular

dan sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan

transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak

dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.5

Body
100%

Water Tissue
60% (100) 40%

Intracellular space Extracellular space


40% (60) 20% (40)

Intracellular Intravascular space


space 5% (10)
15% (30)

Gambar 2-1 Distribusi Cairan Tubuh


2.2 Macam macam cairan 2,13,14

1. Cairan Kristaloid

Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler.

Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan

mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak

menimbulkan alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan

dapat disimpan lama. Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup

(3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan

5
koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan

kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.

Tabel 2.2 Komposisi Cairan Kristaloid

Solution Tonicity Na+ Cl- K+ Ca2 Glucose Lactate


5% Hypo (253) 50
Dextrose in
water
Normal Iso (308) 154 154
saline
D5 ¼ NS Iso (330) 38,5 38,5 50
D5 ½ NS Hyper 77 77 50
(407)
D5NS Hyper 154 154 50
(561)
Lactated Iso (273) 130 109 4 3 28
Ringers
D5 RL Hyper 130 109 4 3 50 28
(525)

Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak

digunakan untuk resusitasi cairan walaupun agak hipotonis dengan susunan yang

hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan

tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan

kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan

berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional

hyperchlorenmic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat

peningkatan klorida. Sedangkan larutan dextrose 5% (D5) mempunyai kadar

glukosa yang tinggi sehingga diberikan pada pasien dengan kadar gula darah yang

rendah.

6
2. Cairan Koloid

Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut

“plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang

mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotuik yang

menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6

jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan

untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok

hipovolemik/hemorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia

berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).

Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat

menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan

gangguan pada sensitifitas.

Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid :

a. Koloid alami yaitu

Larutan koloid murni yang berasal dari plasma manusia. Waktu

paruh albumin dalam plasma sekitar 16 jam. Albumin digunakan untuk

defisit volume plasma pada pasien dengan retensi garam dan air serta

edema.. Oleh sebab itu pemberian infus dengan fraksi protein plasma

seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.

b. Koloid sintesis, yaitu :

1) Dextran

Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan

Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000 – 70.000

diproduksi oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh

7
dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume

expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi

Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro

karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah..

Pemakaian dextran untuk anti tombotik, meningkatkan fibrinolisis

dan melancarkan aliran darah, hendaknya dibatasi 20 ml/kgBB/hari

karena dapat menimbulkan risiko perdarahan abnormal. Hal tersebut

dapat dicegah pula dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih

dahulu.

2) Hydroxylethyl Starch (Heta starch)

Terapi dan profilaksis defisiensi volume (hipovolemi), syok

hemoragik, syok traumatik dan kombustio. Kontraindikasi pada

pasien gagal jantung, gagal ginjal dan gangguan koagulasi berat

(kecuali kedaruratan yang mengancam jiwa). Larutan koloid ini

juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat

meningkatkan kadar serum amilase (walau jarang).

3) Gelatin

Digunakan untuk penggantian volume primer pada hipovolemi,

stabilisasi sirkulasi perioperatif. Kontraindikasi pada infark

miokard dan gagal jantung. Pemberian gelatin sering menimbulkan

reaksi alergik (kemerahan kulit, pireksia sampai reaksi anafilaksis).

Tabel 2.3 Perbedaan cairan kristaloid dan cairan koloid

Sifat-sifat Kristaloid Koloid


1. Berat Molekul Lebih kecil Lebih besar
2. Distribusi Lebih cepat Lebih lama dalam sirkulasi

8
3. Faal Hemostasis Tidak ada pengaruh Mengganggu
4. Penggunaan Untuk Dehidrasi Pada perdarahan massif
5. Untuk koreksi Diberikan 2-3x jumlah Sesuai jumlah perdarahan
perdarahan perdarahan

9
2.3. Terapi Cairan Perioperatif2,13,14

Terdapat 3 periode yang dialami pasien apabila menjalani tindakan

pembedahan yaitu pre operatif, durante operatif dan post operatif. Ketiga

periode tersebut mempunyai permasalahan yang berbeda-beda satu sama lain

yang tidak bisa dipisahkan. Salah satunya yang perlu mendapat perhatian

adalah terapi cairan karena ketika terjadi defisit cairan, output cairan dalam

tubuh tidak sebanding dengan input yang didapatkan, atau dengan kata lain

bagaimana kebutuhan cairan dalam tubuh tidak bisa terpenuhi.

Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian orang dewasa rata-rata

membutuhkan + 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+ = 2-4

mmol/kgBB/hari K+ = 1-2 mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan

pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi

gastrointestinal, keringan (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau

dikenal dengan insensible water losses.

2.3.1 Pre Operatif

Sebelum melaksanakan operasi, status cairan pasien harus dinilai

dan dikoreksi. Penilaian status cairan ini didapat berdasarkan hasil

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lab. Apabila dalam tahap

penilaian status cairan ditemukan kehilangan cairan, maka hal ini wajib

untuk dikoreksi dengan terapi cairan preoperatif Terapi cairan preoperatif

adalah terapi cairan yang diberikan sebelum pembedahan dengan tujuan

untuk mengganti cairan yang hilang sebelum dilakukan pembedahan yang

terjadi akibat puasa dan untuk koreksi defisit akibat hipovolemik atau

dehidrasi. Pemberian cairan diberikan dengan tujuan:

10
1. Untuk mengganti asupan cairan saat puasa diberikan cairan

pemeliharaan,

2. Untuk mengoreksi defisit cairan puasa atau dehidrasi diberikan

cairan kristaloid,

3. Jika terdapat perdarahan akut, diberikan kombinasi cairan

kristaloid dan koloid atau dilakukan transfusi darah bila diperlukan


Tabel 1. Jumlah kebutuhan cairan per jam

No. Berat Jumlah cairan hilang


1 10 kg pertama 4ml/ kg /jam
2 10 kg kedua 2ml/ kg /jam
3 > 20jkg berikutnya 1ml/ kg /jam

Defisit tersebut harus segera diganti dengan melakukan resusitasi

carian atau rehidrasi sebelum induksi anestesi. Defisit tersebut

dapat dihitung dengan mengalikan kebutuhan pemeliharaan dengan

durasi waktu puasa. Tujuannya mengganti cairan pre operatif yang

dialami pasien akibat puasa, perdarahan atau kehilangan cairan

(hipovolemik, dehidrasi) sebelum pembedahan. Kehilangan cairan

di ruang ECF ini cukup diganti dengan cairan kristaloid seperti

normal saline, ringer laktat dan dextrose. Evaluasi perbaikan tanda-

tanda dehidrasi, kondisi umum pasien dan urin output.

Tabel 4 Penatalaksanaan Dehidrasi

11
Kondisi Umum Cairan Mekanisme Pemberian
Normohidrasi Kristaloid Maintenance (2 ml/kgBB/jam) x lama puasa
Dehidrasi Ringan Kristaloid Maintenance (2 ml/kgBB/jam) x lama puasa
+ (3-5% X TBW  dibagi 8 jam pertama ½
dan 8 Jam kedua ½)
Dehidrasi Sedang Kristaloid Maintenance (2 ml/kgBB/jam) x lama puasa
+ (6-8% X TBW  dibagi 8 jam pertama ½
dan 8 Jam kedua ½)
Dehidrasi Berat Kristaloid Maintenance (2 ml/kgBB/jam) x lama puasa
+ 10%X TBW  dibagi 8 jam pertama ½
dan 8 Jam kedua ½)

Tabel 5 Klasifikasi Dehidrasi Klinik PIERCE


Dehidrasi Berat
Gejala Defisit Dehidrasi Ringan Dehidrasi Sedang
Turgor kulit Berkurang Menurun Sangat menurun
Lidah Normal Lunak Kecil keriput
Mata Normal Cowong Sangat cowong
Ubun-ubun Normal Cekung Sangat cekung
Rasa haus + ++ +++
Mukosa bibir Kering Kering Sangat kering
Nadi Takikardi Takikardi, kecil Takikardi, sangat
lemah lemah s/d tidak
teraba
Tensi Hipotensi Hipotensi Tidak terukur
Urin Sedikit Sedikit dan pekat Anuria
: Tanda Intersitial (Intersitial sign) Tanda Plasma (Plasma

sign)

Contoh :

Pasien wanita umur 30 tahun dengan berat badan 50 kg dengan kondisi

umum dehidrasi sedang akan dilakukan operasi nefrolitotomi, sebelumnya

pasien dipuasakan 8 jam. Berapa kebutuhan cairannya?

= Defisit Puasa + Dehidrasi Sedang

=(40+20+30 x lama puasa) + maintenance x lama puasa (8%x TBW)

=(90 x 8 jam) + (2 ml x 50 x 8 + (8% x 31 l) )

=720 mL+ 800 mL + 2480 mL/16 jam

2.3.2 Durante Operasi

12
a. Perdarahan

Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan

kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan

(perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi).

1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya

bedah mata (ekstraksi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan

saja selama pembedahan.

2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya : appendektomi dapat

diberikan cairan sebanyak 2ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar

ditambah 4ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma pembedahan.

Total yang diberikan adalah 6ml/kgBB/jam berupa cairan garam

seimbang seperti Ringer Laktat atau Normal Saline.

3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2

ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 6ml/kgBB/jam untuk

pembedahannya. Total 8ml/kgBB/jam.

4. Pembedahan dengan trauma besar diberikan cairan sebanyak

2ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8ml/kgBB/jam untuk

pembedahannya. Total 10ml/kgBB/jam

Tabel 6 Koreksi Cairan Berdasarkan Stres Pembedahan

Jenis Contoh Koreksi Cairan


Minor Tendon Repair Tympanoplasty 6 ml/kgBB/jam
Moderate Hysterectomy, Inguinal hernia 8 ml/kgBB/jam
Total hip replacement
Major Abdominal case with peritonitis 10 ml/kgBB/jam

13
EBL Jenis Cairan Mekanisme Pemberian
10 % EBV (70 ml/kgBB) Kristaloid 2-4 x EBL dalam 30 Menit
20% EBV Koloid 1 x EBL dalam 30 Menit
>20% EBV Darah 1 x EBL

Penggantian darah yang hilang

Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (EBV=Estimated Blood

Volume=taksiran volume darah), akan menimbulkan gejala hipotensi, takikardi

dan penurunan tekanan vena sentral. Kompensasi tubuh ini akan mengalami

pembiusan (anestesi) sehingga gejala-gejala tersebut seringkali tidak begitu

tampak karena depresi komponen vasoaktif.

Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan

larutan kristaloid, pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan

pertimbangan berdasarkan :

a.Keadaan umum penderita (kadar Hb dan hematokrit) sebelum

pembedahan

b. Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi.

c.Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum

d. Kedaaan hemodinamik (tensi dan nadi)

e.Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan

f. Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan

hematokrit

Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah :

- 1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan

kadar hemoglobin sebesar 1 gr% dan hematokrit 2-3% pada dewasa.

14
- Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar

hemoglobin 3 gr%. Monitor organ-organ vital dan diuresis, berikan

cairan secukupnya sehingga diuresis + 1 ml/kgBB/jam.

- EBV (Estimated Blood Volume)= BB x 70

- EBL (Estimated Blood Loss) = % BL (Blood Loss) x EBV

- Replacement = (2-4) x EBL diberikan dalam 30 menit

- Maintenance 50ml/kgBB/hari

b. Kehilangan cairan lainnya

Pada setiap pembedahan terjadi kehilangan cairan yang akibat adanya

evaporasi dan translokasi cairan internal. Kehilangan cairan akibat penguapan

(evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan dengan luka pembedahan yang

luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal istilah

perpindahan ke ruang ketiga (third space) yang disebut sequestrasi secara masif

dapat berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler.

Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat

mengakibatkan sequestrasi sejumlah cairan interstisial dan perpindahan cairan ke

ruangan abdominal (ascites) atau ke lumen usus, jaringan retroperitoneal atau

jaringan di sekitar retakan tulang. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam

ruang ekstraseluler meningkat.

Contoh

Wanita 35 tahun dengan BB 50 kg dilakukan operasi Open Reduction

Internal Fixation (ORIF) plate akibat fraktur 1/3 proximal humerus,

dengan estimasi darah yang hilang adalah 35%. Berapa kebutuhan cairan

pasien tersebut?

15
= Maintenance + Stres pembedahan + EBL (EBV 70ml/kgBB 3500 ml)

(2 ml/kgBB/jam x lama operasi) + (10 ml/kgBB/jam x lama operasi) +

(350 ml x 3) +( 350 ml x 1) + (525 x 1)

= (2 ml x 50 kg x 2) + (10 ml x 50 kg x 2) + 1050 ml kristaloid + 350 ml

koloid + 525 ml darah

= 2250 ml (kristaloid) + 350 ml (koloid) + 525 ml (darah)

2.3.3 Post Operasi

Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal dibawah ini:

1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.

Kebutuhan air untuk penderita dalam keadaan basal sekitar + 50

ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan

pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan

yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress

pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung

menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari

pasca bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan

umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat

100-150 mg/hari cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori

dan dapat menekan pemecahan protein sampai 50% kadar albumin

harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca

bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garam

isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum

dan makan.

2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah

16
3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama

pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari

10 gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya

angkut oksigen.

4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi

cairan tersebut.

Pada pasien yang masih tidak diperbolehkan makan dan minum setelah

dilakukan tindakan operatif, maintenance (2 ml/kgBB/jam Puasa) + Elektrolit

(Na+=2-4 mEq/kgBB/24 Jam, K+ =1-2 mEq/kgBB/24 Jam) + Nutrisi (Jika

dibutuhkan) lalu evaluasi tanda-tanda dehidrasi dan keluhan mual, muntah dan

pusing.

Contoh

Wanita berumur 30 tahun dengan BB 80 kg post-operasi SC tidak

diperbolehkan makan dan minum selama 3 jam kedepan, bagaimana terapi

cairannya?

= Defisit puasa + Elektrolit

(2 ml/kgBB/jam x lama puasa) + Na+ (2mEq x 80/8) K+(1mEq/80/8)

(2 ml x 60 kg x 3 jam) + 20 mEq (Na+) 10 mEq (K+)

360 cc + 20 mEq (Na+) 10 mEq (K+) (Ringer Laktat atau D5 RL)

2.4 Masalah yang dapat terjadi dalam terapi perioperatif

Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang

umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor pre-operatif,

durante operatif dan post-operatif.5

17
2.4.1. pre-operatif

1. Kondisi yang telah ada

Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat

diperburuk oleh stres akibat operasi.

2. Prosedur diagnostic

Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker

intravena dapat menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang

tidak normal karena efek diuresis osmotik.

3. Pemberian obat

Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi

ekskresi air dan elektrolit.

4. Preparasi bedah

Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air

dan elektrolit dari traktus gastrointestinal

5. Restriksi cairan preoperative

Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat

kehilangan cairan sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat

meningkat jika pasien menderita demam atau adanya kehilangan

abnormal cairan.

6. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya

Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari

anestesi.

2.4.2 Durante operatif :

1. Induksi anestesi

18
2. Kehilangan darah yang abnormal

3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya

kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat

operasi)

4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada

luka operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)

2.4.3 Postoperatif :

1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi

2. Peningkatan katabolisme jaringan

3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif

4. Risiko atau adanya ileus postoperative

2.5 Monitoring pada Terapi Perioperatif

2.5.1 Praoperatif

Monitoring pra operatif dilakukan berdasarkan jenis operasi yang

akan dilakukan. Kunjungan pada operasi elektif umumnya 1-2 hari sebelum

operasi sedangkan operasi emergensi dilakukan beberapa jam sebelum

operasi atau pada saat dikonsulkan oleh ahli bedah. 4 hal penting yang di

evaluasi pada saat kunjungan pre operatif :

1. “Surgical disease” yaitu penyakit yang menyebabkan penderita di operasi

2. “Internal disease” yaitu penyakit lain yang menyertai surgical disease,

misal penderita hernia dengan penyakit diabetes melitus

3. Kesulitan pemberian anestesi, misalnya kesulitan intubasi atau kesulitan

penyuntikan pada analgesia regional

19
4. Komplikasi anestesi yang mungkin terjadi baik selama dan sesudah

operasi

2.5.2 Intra operatif

Menurut ASA terdapat standar monitoring intra operatif yaitu

oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan suhu pasien harus terus dievaluasi.

1. Oksigenasi untuk memastikan konsentrasi oksigen yang cukup dalam

udara inspirasi dan darah selama semua prosedur anestesi.

Metode monitoring : menggunakan pulse oximetry

2. Ventilasi untuk memastikan ventilasi yang memadai terhadap pasien

selama semua prosedur anestesi.

Metode monitoring : melihat pengembangan dada, auskultasi suara nafas.

Apabila tracheal tube atau laryngeal mask dengan menggunakan analisis

end tidal CO2 secara terus menerus

3. Sirkulasi untuk memastikan kecukupan fungsi peredaran darah pasien

selama semua prosedur anestesi.

Metode monitoring : EKG

4. Suhu tubuh untuk membantu dalam pemeliharaan suhu tubuh yang tepat

selama semua prosedur anestesi. Setiap pasien yang menerima anastesi

harus dipantau suhuh tubuhnya pada keadaan yang diperkirakan akan

terjadi perubahan suhu tubuh yang signifikan secara klinis.

2.5.3 Post operatif

Monitoring yang dilakukan post operatif adalah monitoring dari B1-B6 :

1. B1 (Breath)

Sering terjadi adalah :

20
a. Obstruksi jalan nafas

Bisa total maupun parsial. Oleh karena tidak sadar sehingga

pangkal lidah jatuh kebelakang, laryngospasm, odema glottis,

muntah, blood clot pada jalan nafas

b.Hipoventilasi

Menyebabkan PCO2 > 45. Oleh karena efek depresi dari obat

narkotik (opioid), hipokalemia, nyeri pada operasi thoraks atau

abdomen bagian atas.

c. Pneumothoraks

Oleh karena tindakan pembedahan

d.Apneu

Kegagalan bernafas. Oleh karena obat-obat anastesi, gangguan

fungsi paru.

e. Hipoksemia

Oksigen menurun dalam darah. Oleh karena gangguan fungsi

paru, gangguan jalan nafas, kegelisahan, cardiac iritability (AF/VF).

Monitoring yang dilakukan :

1. Tanda distress pernafasan (RR> 30 x/ menit, nafas cuping hidung,

sianosis, takikardi, keringat dingin)

2. Pulse Oxymetri

3. Analisis gas darah

4. Elektrolit

Tindakan yang dilakukan :

a. Membebaskan jalan nafas (jaw trust, pemasangan orofaring, suction)

21
b. Memberikan oksigenasi yang cukup dengan alat yang sesuai (kanul,

masker)

2. B2 (Blood)

Sering terjadi :

a. Hipotensi

b. Hipertensi

c. Bradikardi

d. Disrithmia

e. Myocard infark

Monitoring yang dilakukan :

1. Tekanan darah

2. EKG

3. CVP

4. Laboratorium : elektrolit dan faal hemostatis

Tindakan yang dilakukan :

a. Koreksi penyebab (cairan, transfusi atau elektrolit)

b. Atasi hipoksia

c. Atasi nyeri

d. Apabila diperlukan RJPO (Resusitasi Jantung Paru Otak), DC-Shock

3. B3 (Brain)

Sering terjadi :

1. Kesadaran menurun sampai koma

2. Tetraplegi atau tetraparese

3. Gelisah, mual, muntah, sakit kepala

22
4. Kejang

Oleh karena : tekanan intrakranial meningkat, gangguan elektrolit,

trauma kapitis, hipoksia, hipercarbia

Monitoring yang dilakukan :

a. Tingkat kesadaran (GCS)

b. Tekanan intrakranial

c. Refleks patologis

d. Refleks pupil atau refleks cahaya, isokor atau anisokor

e. CT scan atau MRI

Tindakan yang dilakukan :

1. Bebaskan jalan nafas, oksigenasi

2. Cegah hipoksia dan hiperkarbia

3. Posisi head up kurang lebih 30 derajat

4. Anti konvulsi

5. Mencegah nyeri

4. B4 (Bladder)

Sering terjadi :

1. Anuria

2. Oliguria

3. Polyuria

4. Hematuri

Monitoring yang dilakukan :

a. Produksi urin per jam

b. Fungsi ginjal, ureum dan kreatinin

23
c. Elektrolit

Tindakan yang dilakukan :

1. Bila urin tidak ada atau kurang harus mencari penyebab

a. Pre renal

Penyebab : hipovolemi oleh karena kurang cairan atau

adanya perdarahan.

Monitoring : tekanan darah menurun, nadi meningkat dan

perfusi jaringan jelek

Tindakan : Beri cairan yang cukup dan kalau perlu berikan

transfusi

b. Renal

Penyebab : proses pre renal yang tidak teratasi, Cronic Renal

Failure (CRF), Acute Tubular Necrosis (ATN)

Monitoring : cairan, elektrolit

Tindakan : Pasang CVP, kalau perlu hemodialisa

c. Post renal

Penyebab : prostat hipertrofi, batu, bekuan darah, striktur

uretra, kateter dan urine bag tersumbat

Tindakan : Kandung kemih penuh, adanya sumbatan kateter

dibebaskan, apabila urine tidak ada atau kurang dilakukan

perika hemodinamik tekanan darah, nadi, perfusi jaringan,

tentukan normovolemi atau hipovolemi, periksa kandung

kemih penuh atau kosong, periksa sumbatan di kateter dan

24
urine bag, periksa elektrolit, kalium, natrium, klor, radiologi

(BNO, IVP, USG).

5. B5 (Bowel)

Sering terjadi :

1. Distensi abdomen

2. Peristaltik dapat meningkat atau menurun

3. Nasogastric tube jumlah cairan meningkat

4. Nyeri dapat kolik maupun defance muscular

Monitoring yang dilakukan :

a. Hemodinamik (tekanan darah, nadi, CVP)

b. Lingkaran abdomen

c. Drain, jumlah dan jenis cairan

d. Laboratorium (Hemoglobin, hematokrit, elektrolit)

Tindakan yang dilakukan :

1. Koreksi cairan atau elektrolit atau darah

2. Atasi nyeri

3. Mencari penyebab

4. Apabila diperlukan melakukan tindakan relaparatomi

6. B6 (Bone)

Sering terjadi :

1. Kompartemen sindrom adanya edema dan perdarahan

2. Perfusi jaringan disekitar dingin, basah dan biru

3. Perubahan posisi

4. Nyeri

25
Monitoring yang dilakukan :

a. Perfusi jaringan (SpO2)

b. Nyeri

c. Perdarahan

26
BAB III
KOMPLIKASI DAN PROGNOSA

Dalam pemberian terapi cairan terdapat beberapa komplikasi yang dapat

terjadi. Komplikasi ini disebabkan oleh proses kanulasi vena yang dilakukan,

pilihan cairan, kelalaian dalam pemantauan, dan kemungkinan risiko infeksi.

Komplikasi yang dapat timbul adalah sebagai berikut:

A. Gangguan keseimbangan cairan

Pada umumnya akan terjadi kelebihan cairan dengan segala akibatnya,

seperti payah jantung dan edema pada otak, paru, dan jaringan lainnya.

Hal ini dapat terjadi karena pemantauan pemberian cairan yang kurang

baik.

B. Gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa

Hal ini dapat terjadi apabila dalam pemilihan cairan dilakukan dengan

tidak tepat.

C. Komplikasi akibat kanulasi

Komplikasi terjadi terutama pada kanulasi vena sentral. Proses

kanulasi vena sentra dapat menyabakan munculnya hematom, emboli

udara, pneumo-hidro-hematototoraks, dan munculnya reflek vagal

D. Infeksi

Infeksi lokal pada jalur vena yang dilalui dapat menimbulkan rasa

nyeri yang hebat, keadaan ini dapat berlangsung dalam waktu yang lama.

Kemungkinan terjadinya risiko terutama pada kanulasi vena sentral yang

digunakan untuk memasukkan obat suntik berulang.

27
BAB IV

KESIMPULAN

Terapi cairan perioperatif merupakan pemberian cairan pada periode

sebelum, sesaat, dan setelah operasi. Terapi cairan perioperatif dilakukan dengan

tujuan untuk melengkapi kebutuhan cairan dan elektrolit dalam mempertahankan

perfusi jaringan yang adekuat, mencegah, dan mengoreksi adanya defisit cairan.

Pemberian terapi cairan perioperatif dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu

preoperatif, durante operatif, dan postoperatif. Cairan kristaloid, cairan koloid,

maupun darah, adalah jenis cairan yang digunakan dalam pemberian terapi cairan.

Pemilihan jenis cairan yang diberikan dibedakan oleh komposisi cairan yang

diberikan. Pemilihan rute pemberian cairan adalah hal yang perlu diperhatikan.

Pemilihan rute pemberian cairan didasari pada beberapa pertimbangan seperti

durasi pemberian cairan.

Dalam pemberian terapi cairan terdapat beberapa komplikasi yang dapat

terjadi, seperti gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, hingga terjadinya

infeksi. Pemberian terapi cairan sesuai dengan prosedur dapat mencegah

terjadinya komplikasi dan mempercepat penyembuhan pasien pasca operasi.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartz SI, ed. Principles of Surgery Companion Handbook. Seventh

edition. New York. 2005.

2. Holte K, Kehlet H. Compensatory fluid administration for preoperative

dehydration – does it improve outcome? Acta Anaesthesiol Scand. 2011;

46:1089-93.

3. Pandey CK, Singh RB. Fluid and electrolyte disorders. Indian J. Anaesh.

2012;47(5):380-387.

4. Keane PW, Murray PF. Intravenous Fluids in Minor Surgery. Their effect

in Recovery from Anaesthesia. 2013; 41:635 – 7.

5. Heitz U, Horne MM. Fluid, electrolyte and acid base balance. Nine

edition. Missouri: Elsevier – mosby; 2015.p3-227.

6. Kaswiyan U. Terapi Cairan Perioperatif. Bagian Anestesiologi dan

Reanimasi. Fakultas Kedokteran UnPad/RS Hasan Sadikin. 2010.

7. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. Twelve edition.

Pennsylvania:W.B. Saunders company; 2014:375-393.

8. Latief AS, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi : Terapi cairan pada

pembedahan. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI,

2002.

9. Leksana E. Terapi cairan dan elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi

Intensif FK UNDIP: Semarang; 2014:1-60.

29
10. Mayer H, Follin SA. Fluid and electrolyte made incredibly easy. Second

edition. Pennsylvania: Springhous; 2012:3-189.

11. Silbernagl F, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. Stuttgart: Thieme;

2010:122 – 3.

12. Lyon Lee. Fluid and Electrolyte Therapy. Oklahoma State University –

Center for Veterinary Health. 2016. Tersedia dari :

http://member.tripod.com/lyser/ivfs.htm

13. Sutomo. Terapi Cairan. Fakultas Kedokteran. Universitas Padjajaran.

Protokol Tindakan Bedah. Bandung. 2013.

14. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia.

Fifth edition. Philadelphia:Lippincot Williams and Wilkins; 2006:74-97.

15. Sunatrio S. Resusitasi Cairan. Jakarta : Media Aesculapius; 2013:1-58.

16. Ellsbury DL, George CS. Dehydration. eMed J. 2016. Tersedia dari: URL:

http://www.emedicine.com/CHILD/topic925.htm.

17. Graber MA. Terapi cairan, elektrolit dan metabolik. Edisi 2. farmedia;

2013:17-40.

30
31

Anda mungkin juga menyukai