Anda di halaman 1dari 42

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 URAIAN UMUM

Perlintasan sebidang merupakan pertemuan yang melibatkan arus

kendaraan bermotor pada satu sisi sedangkan pada sisi lain terdapat arus kereta

api. Berdasarkan waktu penggunaan perlintasan, kereta api menggunakan

perlintasan dengan jadwal tertentu atau dapat dikatakan tertentu walaupun sering

sekali tidak tepat waktu sedangkan kendaraan yang melewati persimpangan tidak

terjadwal sehingga arus kendaraan dapat melintasi perlintasan kapan saja. Dari

segi akselerasi dan sistem pengereman diperoleh kendaraan bermotor lebih unggul

dibandingkan kereta api dimana kendaraan dalam melakukan akselerasi

(percepatan atau perlambatan) cenderung lebih singkat dari pada kereta api begitu

juga sebaliknya waktu dan jarak pengereman, kendaraan bermotor mempunyai

waktu pengereman dan jarak pengereman yang lebih pendek dari kereta api.

Dengan demikianlah terpolalah perlintasan kereta api dengan jalan raya menganut

sistem prioritas untuk kereta api dimana arus kendaraan harus berhenti dahulu

ketika kereta api melewati perlintasan. Hal ini sesuai dengan Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Kereta Api

(KA) pada Pasal 110 ayat (1).

5
2.2 PERATURAN PERLINTASAN SEBIDANG

Berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Pedoman

Teknis Perlintasan Sebidang Antara Jalan Raya dengan Jalan Kereta Api yang

dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan tahun 2005, ada 2 ketentuan dalam

perencanaan perlintasan sebidang yaitu:

a. Ketentuan Umum

Dalam pedoman perlintasan jalan dengan jalur kereta api harus

memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:

1. Keselamatan lalu lintas, dimana kereta api mempunyai prioritas

utama.

2. Pandangan bebas pemakai jalan.

3. Kepentingan pejalan kaki.

4. Drainase jalan.

5. Kepentingan penyandang cacat.

6. Desain yang ramah lingkungan

b. Ketentuan Teknis

1. Geometrik pada perlintasan sebidang ( sarana dan prasarana,

klasifikasi fungsi jalan, potongan melintang dan daerah / ruang

bebas).

2. Pengaturan lalu lintas.

3. Tipe perkerasan pada perlintasan sebidang.

6
2.2.1 Persyaratan Perlintasan Sebidang

Perlintasan sebidang antara jalan dengan jalur kereta api terdiri dari 2

jenis yaitu:

a. Perlintasan sebidang yang dilengkapi pintu.

Perlintasan ini terbagi 2 jenis yaitu perlintasan sebidang yang dilengkapi

pintu otomatis dan pintu tidak otomatis. Pintu tidak otomatis terdiri dari 2

jenis tenaga penggerak yaitu tenaga mekanik dan tenaga elektrik.

b. Perlintasan sebidang yang tidak dilengkapi pintu perlintasan.

Berikut ini adalah persyaratan sarana dan prasarana perlintasan sebidang

yang akan dilalui oleh kereta api.

a. Selang waktu antara kereta api satu dengan kereta api berikutnya

(headway) yang melintas pada lokasi yang tersebut minimal 6 (enam)

``menit.

b`.Jarak perlintasan yang satu dengan yang lainnya pada satu jalur kereta api

tidak kurang dari 800 meter.

c. Kecepatan kereta api yang melintasi perlintasan sebidang kurang dari 60

km

d. Tidak terletak pada lengkungan jalan kereta api atau tikungan jalan.

e. Jalan kereta api yang dilintasi adalah jalan kelas III.

f. Terdapat kondisi lingkungan yang memungkinkan pandangan bagi

masinis kereta dari as perlintasan dan bagi pengemudi kenderaan

bermotor.

7
2.2.2 Penentuan Perlintasan Sebidang Jalan Raya dengan Jalan Rel

Kereta Api yang Dilengkapi Pintu Perlintasan

Perlintasan sebidang yang dilengkapi dengan pintu memiliki ketentuan

sebagai berikut :

1. Jumlah kereta api yang melintas pada lokasi tersebut sekurang-kurangnya

25 kereta / hari dan sebanyak-banyaknya 50 kereta / hari.

2. Volume lalu lintas harian rata-rata (LHR) sebanyak 1.000 sampai dengan

1.500 kendaraan pada jalan dalam kota.

3. Hasil perkalian antara volume lalu lintas harian rata-rata (LHR) dengan

frekuensi kereta api antara 12.500 sampai dengan 35.000 smpk.

Pada Gambar 2.1 terdapat area perlintasan sebidang berdasarkan

frekuensi kereta per hari dan volume harian lalu lintas rata-rata yang

menunjukkan area perlintasan sebidang baik itu tanpa pintu, dengan pintu

maupun tidak sebidang.

8
Gambar 2.I Grafik area perlintasan sebidang berdasarkan Frekuensi Kereta per
Hari dan Volume Harian Lalu Lintas Rata-rata
Sumber: SK Dirjen 770, 2005

2.2.3 Persyaratan Ruas Jalan yang Menjadi Perlintasan Sebidang

Tidak semua ruas jalan raya apabila memotong rel kereta api dapat

dijadikan perlintasan sebidang. Berikut ini persyaratan ruas jalan yang dapat

dibuat perlintasan sebidang antara jalan raya dengan jalur kereta api:

1. Jalan kelas III.

2. Jalan sebanyak-banyaknya 2(dua) lajur 2 (dua) arah.

3. Tidak pada tikungan jalan atau alinement horizontal yang memiliki

radius sekurang-kurangnya 500 m.

4. Tingkat kelandaian kurang dari 5 (lima) persen dari titik terluar jalan rel.

5. Memenuhi jarak pandang bebas.

6. Sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR).

9
Gambar 2.2 Kemiringan jalan pada perlintasan jalan dengan jalur kereta api
Sumber: SK Dirjen 770, 2005

2.2.4 Jarak Pandang

Pada perlintasan sebidang antara jalan rel dan jalan raya harus tersedia

jarak pandangan yang memadai bagi kedua belah pihak, terutama bagi pengendara

kendaraan. Daerah pandangan pada perlintasan merupakan daerah pandangan

segitiga dimana jarak-jaraknya ditentukan berdasarkan pada kecepatan rencana

kedua belah pihak. (Djuanda, 1986) Jarak-jarak minimum untuk berbagai

kombinasi kecepatan adalah seperti yang tercantum dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Hubungan Jarak Pandang Minimum dengan Kecepatan

Sumber : SK Dirjen 770, 2005

10
Daerah pandang segitiga harus bebas dari benda-benda penghalang

setinggi 1,00 meter ke atas. Sudut perpotongan perlintasan sebidang diusahakan

sebesar 90° dan bila tidak memungkinkan sudut perpotongan harus lebih besar

dari pada 30°. Kalau akan membuat perlintasan baru, jarak antara perlintasan baru

dengan yang sudah ada tidak boleh kurang dari 800 meter. Penjelasan dapat

dilihat pada gambar 1.

Gambar 2.3 Perlintasan Sebidang antara Jalan Rel dan Jalan Raya
Sumber : SK Dirjen 770, 2005

2.3 PRASARANA PERLINTASAN SEBIDANG

Perlintasan sebidang antara jalan raya dengan jalur kereta api memiliki

prasarana yang wajib dilengkapi berupa rambu dan marka lalu lintas serta lampu

isyarat dan pintu perlintasan. Rambu perlintasan berfungsi sebagai alat peringatan

dan larangan, marka berfungsi sebaga tanda yang mengarahkan lalu lintas dan

lampu isyarat berfungsi memberi peringatan bahaya kepada pemakai jalan.

11
2.3.1 Rambu Peringatan pada Perlintasan Sebidang

Rambu Peringatan adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan

peringatan bahaya atau tempat berbahaya pada jalan di depan pemakai jalan.

rambu peringatan terdiri dari:

1. Rambu yang menyatakan adanya perlintasan sebidang antara jalan

dengan jalur kereta api dimana jalur kereta api dilengkapi dengan pintu

perlintasan.

Gambar 2.4 Contoh Perlintasan berpintu pada jalan dua lajur dua arah dengan
jalur tunggal kereta api
Sumber: SK Dirjen 770, 2005

2. Rambu yang menyatakan adanya perlintasan sebidang antara jalan

dengan jalur kereta api dimana jalur kereta api tidak dilengkapi dengan pintu

perlintasan.

12
Gambar 2.5 Contoh Perlintasan tanpa pintu pada jalan dua lajur dua arah
dengan jalur tunggal kereta api
Sumber: SK Dirjen 770, 2005

3. Rambu peringatan yang menyatakan hati-hati berupa tanda seru.

Gambar 2.6 Rambu peringatan hati – hati


Sumber: SK Dirjen 770, 2005

4. Rambu peringatan tambahan yang menyatakan jarak per 150 meter

dengan rel kereta api terluar.

13
Gambar 2.7 Rambu peringatan jarak
Sumber: SK Dirjen 770, 2005

5. Rambu peringatan berupa kata-kata yang menyatakan agar berhati-hati

mendekati pintu perlintasan kereta api.

Gambar 2.8 Rambu peringatan berupa kata-kata


Sumber: SK Dirjen 770, 2005

2.3.2 Rambu Larangan pada Perlintasan Sebidang

Rambu Larangan adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan

perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pemakai jalan. Rambu larangan terdiri

dari:

14
1. Rambu larangan berjalan terus berupa tanda ”stop” yang berarti wajib

berhenti sesaat dan meneruskan perjalanan setelah mendapat kepastian

aman dari lalu-lintas arah lainnya.

Gambar 2.9 Rambu larangan berjalan terus wajib berhenti sesaat


Sumber: SK Dirjen 770, 2005

2. Rambu larangan berjalan terus berupa tanda ”single cross” dipasang

pada perlintasan sebidang jalan dengan kereta api jalur tunggal yang

mewajibkan kenderaan berhenti sesaat untuk mendapatkan kepastian

aman sebelum melintasi rel.

Gambar 2.10 Rambu larangan berjalan terus pada persilangan sebidang lintasan
kereta api jalur tunggal
Sumber: SK Dirjen 770, 2005

15
3. Rambu larangan berjalan terus berupa tanda ”double cross” dipasang

pada perlintasan sebidang jalan dengan kereta api jalur ganda yang

mewajibkan kenderaan berhenti sesaat untuk mendapatkan kepastian

aman sebelum melintasi rel.

Gambar 2.11 Rambu larangan berjalan terus pada persilangan sebidang lintasan
kereta api jalur ganda
Sumber: SK Dirjen 770, 2005

4. Rambu larangan berbalik arah berupa tanda dilarang memutar kenderaan

bermotor maupun tidak bermotor pada perlintasan kereta api.

Gambar 2.12 Rambu larangan berbalik arah bagi kenderaan bermotor maupun
tidak bermotor
Sumber: SK Dirjen 770, 2005

16
5. Rambu larangan berupa kata-kata yang menyatakan agar pengemudi

berhenti sebentar untuk memastikan tidak ada kereta api yang melintas

sebelum memasuki rel perlintasan kereta api.

Gambar 2.13 Rambu larangan berupa kata-kata


Sumber: SK Dirjen 770, 2005

2.4 MARKA LALU LINTAS PADA PERLINTASAN SEBIDANG

Marka Jalan adalah tanda yang berada di permukaan jalan atau di atas

permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang berbentuk garis

membujur, garis melintang serta lambang lainnya yang berfungsi untuk

mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu lintas.

Perlintasan sebidang antara jalan raya dengan jalur kereta api wajib dilengkapi

perlengkapan jalan yang berupa marka jalan sebagai berikut:

1. Marka melintang berupa tanda garis melintang sebagai batas wajib

berhenti kenderaan sebelum melintasi jalur kereta api, dengan ukuran

lebar 0,30 meter dan tinggi 0,03 meter.

2. Marka membujur berupa garis utuh sebagai larangan kenderaan untuk

melintasi garis tersebut dengan ukuran lebar 0,12 meter dan tinggi 0,03

17
meter.

3. Marka lambang berupa tanda peringatan yang dilengkapi dengan tulisan

“KA” sebagai tanda peringatan adanya perlintasan dengan jalur kereta

api, dengan ukuran lebar secara keseluruhan 2,4 meter dan tinggi 6 meter

serta ukuran huruf yang bertuliskan “KA” tinggi 1,5 meter dan lebar 0,60

meter.

4. Pita penggaduh (rumble strip) dibuat sebelum memasuki perlintasan

sebidang.

5. Median minimal 6 m lebar 1 m pada jalan 2 lajur 2 arah.

Gambar 2.14 Penempatan marka perlintasan sebidang


Sumber: SK Dirjen 770, 2005

2.5 LAMPU ISYARAT PADA PERLINTASAN SEBIDANG

Isyarat Lampu Lalu Lintas adalah isyarat lampu lalu lintas satu warna

terdiri dari satu lampu menyala berkedip atau dua lampu yang menyala bergantian

untuk memberikan peringatan bahaya kepada pemakai jalan. Perlintasan sebidang

18
antara jalan raya dengan jalur kereta api wajib dilengkapi perlengkapan jalan yang

berupa sinyal isyarat sebagai berikut:

1. Isyarat lampu satu warna berwarna merah yang menyala berkedip atau

dua lampu berwarna merah yang menyala bergantian.

2. Isyarat suara atau tanda panah pada lampu yang menunjukkan arah

datangnya kereta api.

Gambar 2.15 Lampu Isyarat pada perlintasan sebidang


Sumber: SK Dirjen 770, 2005

2.6 PINTU PERLINTASAN PADA PERLINTASAN SEBIDANG

Perlintasan sebidang yang dilengkapi dengan pintu tidak otomatis baik

elektrik maupun mekanik harus dilengkapi dengan :

1. Genta/isyarat suara dengan kekuatan 115 db pada jarak 1 meter.

2. Daftar semboyan.

3. Petugas yang berwenang.

4. Daftar dinasan petugas.

5. Gardu penjaga dan fasilitasnya.

19
6. Daftar perjalanan kereta api sesuai Grafik Perjalanan Kereta Api

(GAPEKA).

7. Semboyan bendera berwarna merah dan hijau serta lampu semboyan.

8. Perlengkapan lainnya seperti senter, kotak P3K, jam dinding.

9. Pintu dengan persyaratan kuat dan ringan, anti karat serta mudah dilihat

dan memenuhi kriteria failsafe untuk pintu elektrik.

Perlintasan sebidang yang tidak dilengkapi dengan pintu wajib

dilengkapi dengan rambu,marka, isyarat suara dan lampu lalu lintas satu warna

yang berwarna merah berkedip atau dua lampu satu warna yang berwarna merah

menyala bergantian. Isyarat lampu lalu lintas satu warna pada ketentuan diatas,

memiliki persyaratan sebagai berikut :

1. Terdiri dari satu lampu yang menyala berkedip atau dua lampu yang

menyala bergantian.

2. Lampu berwarna kuning dipasang pada jalur lalu lintas, mengisyaratkan

pengemudi harus berhati-hati

3. Lampu berwarna merah dipasang pada perlintasan sebidang dengan jalan

kereta api dan apabila menyala mengisyaratkan pengemudi harus

berhenti .

4. Dapat dilengkapi dengan isyarat suara atau tanda panah pada lampu yang

menunjukan arah datangnya kereta api.

5. Berbentuk bulat dengan garis tengah antara 20 sentimeter sampai dengan

30 sentimeter.

6. Daya lampu antara 60 watt sampai dengan 100 watt.

20
Gambar 2.16 Desain Pintu Perlintasan Kereta Api
Sumber: SK Dirjen 770, 2005

Tatacara pemasangan perlengkapan jalan berupa rambu, marka dan

pita kejut pada perlintasan sebidang yang dilengkapi pintu dan tidak dilengkapi

pintu serta desain pintu dapat dilihat pada gambar berikut :

2.7 KARAKTERISTIK LALU LINTAS

Lalu lintas merupakan interaksi antara beberapa komponen yang

membentuk suatu sistem yang terdiri dari jalan, manusia, dan kendaraan. Untuk

keberhasilan pengoperasiannya, ketiga komponen ini harus kompatibel. Dalam

kenyataan sehari hari hal ini tidak pernah terjadi, akibatnya sistem lalu lintas jalan

seringkali gagal. Kecelakaan, kemacetan, dan gangguan lalu lintas merupakan

contoh kegagalan sistem dan hampir semua kasus disebabkan oleh

ketidaksesuaian antar ketiga komponen, atau antar satu komponen dan lingkungan

dimana sistem beroperasi. Ada tiga karakteristik primer dalam teori arus lalu

lintas yang saling terkait, secara makroskopik dikenal dengan arus (flow),

21
kecepatan (speed), dan kerapatan (density), dimana ketiga variabel ini

menggambarkan kualitas tingkat pelayanan yang dialami oleh pengemudi

kendaraan.

2.7.1 Arus / Volume

Arus lalu lintas (flow) adalah jumlah kendaraan yang melintasi satu titik

pengamatan pada penggal jalan tertentu pada periode waktu tertentu, diukur dalam

satuan kendaraan per satuan waktu. Sedangkan volume adalah jumlah kendaraan

yang melintasi suatu ruas jalan pada periode waktu tertentu, diukur dalam satuan

kendaraan per satuan waktu. Volume biasanya dihitung dalam kendaraan/hari atau

kendaraan/jam. Volume dapat juga dinyatakan dalam periode waktu yang lain.

Dalam pembahasannya volume dibagi menjadi :

1. Volume harian (daily volumes)

Volume harian ini digunakan sebagai dasar untuk perencanaan jalan

dan observasi umum tentang trend. Pengukuran volume harian dibedakan

menjadi :

a. Average Annual Daily Traffic (AADT), yakni volume yang diukur

selama 24 jam dalam kurun waktu 365 hari, dengan demikian total kendaraan

yang dibagi 365 hari.

b. Average Daily Traffic (AAD), Yakni volume yang diukur selama 24 jam

penuh dalam periode waktu tertentu yang dibagi dari banyaknya hari tersebut.

2. Volume Per jam (hourly volumes) Menurut Direktorat Jenderal Bina

Marga tentang Manual Kapasitas Jalan Indonesia (Dirjen Bina Marga, 1997),

perhitungan arus lalu lintas dilakukan persatuan jam untuk satu arah atau lebih

22
periode, misalnya didasarkan pada kondisi arus lalu lintas rencana jam puncak

pagi, siang dan sore. Variasi yang terjadi selama satu jam dinyatakan dalam faktor

jam puncak (Peak Hour Factor / PHF), yaitu merupakan perbandingan antara

volume arus lalu lintas jam puncak dengan 4 kali rate of flow /15 menit volume

arus lalu lintas tertinggi pada jam yang sama (jam puncak).

Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) , mendefinisikan ekivalen


mobil penumpang, yaitu faktor konversi berbagai jenis kendaraan dibandingkan
dengan mobil penumpang atau kendaraan ringan lainnya sehubungan dengan
dampaknya pada perilaku lalu lintas, dimana untuk mobil penumpang dan
kendaraan lainnya nilai emp sama dengan 1,0.

Tabel 2.2. Nilai Ekivalen Mobil Penumpang


Tipe Jalan: Arus lalu lintas emp

Jalan tak terbagi total dua arah HV MC

(kend/jam) Lebar jalan lalu-

lintas Wc(m)

≤6 >6

Dua lajur tak 0 1,3 0,5 0,40

terbagi (2/2 UD) ≥1800 1,2 0,35 0,25


Dua lajur tak 0 1,3 0,40

terbagi (2/2 UD) ≥3700 1,2 0,25

Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

2.7.2 Kecepatan
Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh
kendaraan dibagi waktu tempuh. Menurut MKJI (1997) Kecepatan dibagi menjadi
2 jenis :

23
1. Kecepatan bergerak (running speed)
Adalah kecepatan kendaraan rata-rata pada suatu jalur pada saat
kendaraan bergerak dan didapat dengan membagi panjang jalur dibagi dengan
lama waktu kendaraan bergerak menempuh jalur tersebut.
2. Kecepatan perjalanan ( journey speed)
Adalah kecepatan efektif kendaraan yang sedang dalam perjalanan antara
dua tempat, dan merupakan jarak antara dua tempat dibagi dengan lama waktu
bagi kendaraan untuk menyelesaikan perjalanan antara dua tempat tersebut,
dengan lama waktu ini mencakup setiap waktu berhenti yang ditimbulkan oleh
hambatan (penundaan) lalu lintas. Kecepatan dapat didefinisikan dengan
persamaan 2.1 sebagai berikut :
V=s/t (2.1)

Di mana :

v = Kecepatan (km/jam)

s = Jarak (Km)

t = Waktu (detik)

Kecepatan kendaraan pada suatu bagian jalan, akan berubah-ubah

menurut waktu dan besarnya lalu lintas. Ada 2 (dua) hal penting yang perlu

diperhatikan dalam menilai hasil studi kecepatan yaitu:

1. Time mean speed (TMS), yang didefinisikan sebagai kecepatan ratarata

dari seluruh kendaraan yang melewati suatu titik dari jalan selama periode

waktu tertentu dengan persamaan 2.2 berikut ini :

Ut = Ln (l/t1 + l/t2 + l/t3..... + l/tn) (2.2)

Di mana :

24
L = panjang penggal jalan (m).

N = jumlah sampel kendaraan.

Tn = waktu tempuh kendaraan (jam).

2. Space mean speed (SMS), yakni kecepatan rata-rata dari seluruh

kendaraan yang menempati penggal jalan selama periode tertentu. Kedua

jenis kecepatan diatas sangat berguna dalam studi mengenai hubungan

antara volume, kecepatan dan kerapatan/ kepadatan.

2.7.3 Kerapatan (k)


Kerapatan didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang menempati suatu

panjang jalan atau lajur, secara umum diekspresikan dalam vehicle per mile (vpm)

atau vehicle per mile per lane (vpmpl). Kerapatan sulit diukur secara langsung di

lapangan, sehingga nilai kerapatan diperoleh dari hubungan :

V = Ūs ∗ D

V
Sehingga D= (2.3)
Us

dimana :

V = volume (kend/jam)

Ūs = space mean speed (km/jam)

D = kerapatan (kend/km)

2.7.4 Hubungan antara Volume, Kecepatan, dan Kepadatan

Aliran lalu lintas pada suatu ruas jalan raya terdapat 3 (tiga) variabel
utama yang digunakan untuk mengetahui karakteristik arus lalu lintas, yaitu :

25
1. Volume (flow), yaitu jumlah kendaraan yang melewati suatu titik tinjau
tertentu pada suatu ruas jalan per satuan waktu tertentu.
2. Kecepatan (speed), yaitu jarak yang dapat ditempuh suatu kendaraan
pada ruas jalan per satuan waktu.
3. Kepadatan (density), yaitu jumlah kendaraan per satuan panjang jalan
tertentu.
Variabel-variabel tersebut memiliki hubungan antara satu dengan
lainnya. Hubungan antara volume, kecepatan dan kepadatan dapat digambarkan
secara grafis dengan menggunakan persamaan matermatis

2.7.5 Hubungan antara Volume (Us) dan Kecepatan (v)

Hubungan mendasar antara volume dan kecepatan adalah dengan


bertambahnya volume lalu lintas maka kecepatan rata-rata ruangnya akan
berkurang sampai kepadatan kritis (volume maksimum) tercapai. Hubungan
keduanya ditunjukkan pada gambar berikut ini:

Gambar 2.17 Hubungan Volume – Kecepatan


Sumber: Traffic Flow Theory, 2000

Setelah kepadatan kritis tercapai, maka kecepatan rata-rata ruang dan


volume akan berkurang. Jadi kurva diatas menggambarkan dua kondisi yang
berbeda, lengan atas menunjukkan kondisi stabil dan lengan bawah
menunjukkan kondisi arus padat.

26
2.7.6 Hubungan antara Kecepatan (v) dan Kepadatan (D)

Kecepatan akan menurun apabila kepadatan bertambah. Kecepatan arus


bebas akan terjadi apabila kepadatan sama dengan nol, dan pada saat kecepatan
sama dengan nol maka akan terjadi kemacetan (jam density). Hubungan
keduanya ditunjukkan pada gambar berikut ini:

Gambar 2.18 Hubungan Kecepatan – Kepadatan


Sumber: Traffic Flow Theory, 2000

2.7.7 Hubungan antara Volume (Us) dan Kepadatan (D)

Volume maksimum terjadi (Vm) terjadi pada saat kepadatan mencapai


titik Dm (kapasitas jalur jalan sudah tercapai). Setelah mencapai titik ini volume
akan menurun walaupun kepadatan bertambah sampai terjadi kemacetan di titik
Dj. Hubungan keduanya ditunjukkan pada gambar berikut ini,

Gambar 2.19 Hubungan Volume – Kepadatan


Sumber: Traffic Flow Theory, 2000

27
2.7.8 Tundaan
Tundaan berdasarkan Peraturan Direktorat Jendral Bina Marga tentang
Manual Kapasitas Jalan Indonesia (Bina Marga, 1997) merupakan waktu tempuh
tambahan yang diperlukan untuk melalui simpang apabila dibandingkan lintasan
tanpa melalui suatu simpang. Tundaan terdiri dari tundaan lalu lintas dan tundaan
geometri. Tundaan Lalu Lintas adalah waktu menunggu yang disebabkan oleh
interaksi lalu lintas dengan gerakan lalu lintas yang bertentangan. Beberapa
definisi tentang tundaan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Stopped delay adalah waktu saat kendaraan berada dalam kondisi
stationer akibat adanya aktivitas pada persimpangan.
2. Time in queue delay adalah waktu sejak kendaraan pertama berhenti
sampai kendaraan tersebut keluar dari antrian. Pada persimpangan, waktu
kendaraan tersebut dari antrian dihitung saat kendaraan melewati stop line.
Suatu prosedur input dan output dengan stopped delay (Ds) yang dapat dihitung

dengan persamaan 2.4 sebagai berikut:


n
Ds = ∑ (Tsi−Tei ) (2.4)
i=1

Di mana :

Ds = Stopped delay (detik/ kendaraan)

N = Total kendaraan yang berhenti

Tsi = Waktu saat kendaraan ke i berhenti

TEi = Waktu saat kendaraan ke i start

2.7.9 Antrian
Jumlah antrian dalam Direktorat Jendral Bina Marga tentang Manual
Kapasitas Jalan Indonesia ( Bina Marga,1997) didefinisikan sebagai jumlah
kendaraan yang antri dalam suatu pendekat samping dan dinyatakan dalam

28
kendaraan atau satuan mobil penumpang. Sedangkan panjang antrian
didefinisikan sebagai panjang antrian kendaraan dalam suatu pendekat dan
dinyatakan dalam satuan meter. Gerakan kendaraan yang berada dalam antrian
akan dikontrol oleh gerakan yang didepannya atau kendaraan tersebut dihentikan
oleh komponen lain dari sistem lalu lintas.
Terdapat dua aturan dalam antrian, yaitu first in first out (FIFO) dan last
in first out (LIFO). Dalam kondisi analisis pengaruh penutupan pintu perlintasan
kereta api ini digunakan aturan antrian yang pertama, yaitu first in first out hal ini
disebabkan penyesuaian dengan kenyataan di lapangan dan kondisi pendekat
lintasan. Dalam melakukan pengukuran panjang antrian, didalamnya harus
meliputi pencacahan dari jumlah kendaraan yang berada dalam sistem antrian
pada suatu waktu tertentu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan perhitungan fisik
kendaraan atau dengan memberi tanda (placing mark along the rood length) pada
jalan, sehingga mengindikasikan bahwa jumlah kendaraan yang berada dalam
antrian akan dinyatakan dalam satuan panjang. Alternatif lain adalah dengan
menggunakan video camera untuk merekam kondisi antrian yang terjadi.

2.7.10 Model Linier Greenshields

Model ini adalah model yang paling awal tercatat dalam usaha

mengamati perilaku lalu lintas. Greenshields mengadakan studi pada jalur jalan di

luar kota Ohio, dimana kondisi lalu lintas memenuhi syarat karena tanpa

gangguan dan bergerak secara bebas (steady state condition). Greenshields

mendapatkan hasil bahwa hubungan antara kecepatan dan kerapatan bersifat

linier. Berdasarkan penelitian-penelitian selanjutnya terdapat hubungan yang erat

antara model linier dengan keadaan data di lapangan. Hubungan linier kecepatan

dan kerapatan ini menjadi hubungan yang paling populer dalam tinjauan

pergerakan lalu lintas, mengingat fungsi hubungannya adalah yang paling

29
sederhana sehingga mudah diterapkan. Model ini dapat dijabarkan sebagai

berikut:

Uf
U s=U f − ( )
Dj
D (2.5)

dimana :

Ūs = kecepatan rata-rata ruang

Ūf = kecepatan rata-rata ruang keadaan arus bebas (free flow)

Dj = kerapatan pada saat macet (jam density)

D = kerapatan

Pada saat kecepatan merupakan kecepatan arus bebas (free flow speed),

pengemudi dapat memacu kendaraannya pada kecepatan yang diinginkannya

sedangkan pada saat kondisi kerapatan macet (jam density), kendaraan tidak dapat

bergerak sama sekali atau kondisi kecepatan sangat kecil. Hubungan antara arus

dan kerapatan diperoleh dari substitusi U s= ( VD ) ke persamaan (2.5) didapat :


Uf
U s=U f − ( )
Dj
D

V Uf
D
=U f −
Dj( )
D

Uf 2
V =D . U f − ( )
Dj
D (2.6)

V
Hubungan antara arus dan kecepatan diperoleh dari substitusi D= ( )
Us
ke

persamaan (2.5) didapat :

30
Uf
U s=U f − ( )
Dj
D

Uf V
U s=U f − ( )
Dj Us

Dj
V =U s . D j− ( )
Uf
Us
2
(2.7)

Harga arus maksimum dapat dicari dengan menurunkan persamaan (2.6) terhadap

kerapatan (D) dan nilai arus maksimum terjadi pada saat nilai kerapatan

maksimum yakni pada saat nilai turunan pertama (diferensial ke-1) tersebut sama

dengan nol.

Uf 2
V =D . U f − ( )
Dj
D

∂V Uf
∂D
=U f −2 D m
Dj ( )
Uf
0=U f −2 D m ( )
Dj

Dj
Dm = (2.8)
2

Nilai Dm disubstitusikan ke dalam persamaan (2.6) dengan kondisi V berubah

menjadi Vm dan D menjadi Dm , diperoleh :

Uf 2
V =D . U f − ( )
Dj
D

Uf
V m =D m .U f − ( )D
Dj m
2

31
Dj U D 2
V m=
2 f
( )
. U − f 2j
Dj 2

2 Dj. U f U f . D j
V m=
4
−( 4 )
D j.Uf
V m= (2.9)
4

dimana :

Vm = arus maksimum (smp/jam)

Dm = kerapatan pada saat arus maksimum (smp/km)

Bentuk umum hubungan antara arus-kecepatan, arus-kerapatan dan kecepatan-

kerapatan dapat dipresentasikan pada Gambar 2.7.

Gambar 2.20 Hubungan Antara Kecepatan, Arus dan Kerapatan Model


Greenshields
Sumber: Traffic Flow Theory, 2000

Selanjutnya hubungan antara ketiga variabel kecepatan, volume dan

kerapatan digambarkan pada gambar ini menunjukkan bentuk umum hubungan

antara arus dengan kecepatan, arus dengan kerapatan dan kecepatan dengan

kerapatan. Hubungan antara kecepatan dengan kerapatan adalah monoton ke

32
bawah yang artinya apabila kerapatan naik, maka kecepatan akan turun. Arus

menjadi nol ketika kerapatan sangat tinggi sehingga tidak memungkinkan

kendaraan untuk bergerak lagi. Ketika kerapatan nilainya nol, maka tidak terdapat

kendaraan di jalan sehingga arus juga nol. Antara kedua nilai-nilai ekstrim

tersebut dikembangkan hubungan antara kedua parameter tersebut.

Gambar 2.20 menunjukkan beberapa titik penting, yaitu tingkat volume

nol terjadi pada dua kondisi berbeda. Pertama, jika tidak ada kendaraan di

fasilitas, kerapatan adalah nol dan tingkat arus adalah nol. Secara teoritis,

kecepatan pada saat kondisi ini ditentukan oleh pengemudi pertama (diasumsikan

pada nilai yang tinggi). Kecepatan ini dinyatakan dalam Ūf. Kedua, jika kerapatan

menjadi begitu tinggi sehingga semua kendaraan harus berhenti, kecepatan adalah

nol dan tingkat arus adalah nol. Karena tidak ada pergerakan dan kendaraan tidak

dapat melintas pada suatu titik di potongan jalan. Kerapatan dimana semua

kendaraan berhenti disebut kerapatan macet dinyatakan sebagai D j. Di antara

kedua ekstrim tersebut, dinamika arus lalu lintas menghasilkan pengaruh

maksimum. Dengan meningkatnya arus dari nol, kerapatan juga meningkat karena

lebih banyak kendaraan di jalan. Jika hal ini terjadi, kecepatan menurun karena

interaksi antar kendaraan. Penurunan ini diabaikan pada kerapatan dan arus

rendah dan sedang. Dengan meningkatnya kerapatan, kurva ini menganjurkan

bahwa kecepatan menurun cukup berarti sebelum kapasitas dicapai. Apabila

kerapatan naik dari nol, maka arus juga naik. Namun apabila kerapatan terus naik

akan dicapai suatu titik dimana akan menyebabkan penurunan kecepatan dan arus.

Titik maksimum ini dinamakan kapasitas.

33
2.8 BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN

2.8.1 KETENTUAN TEKNIS BIAYA VARIABEL

Ketentuan teknis di dalam pemodelan perhitungan biaya operasional

kendaraan adalah sebagai berikut :

1. Biaya konsumsi bahan bakar

a. Kecepatan Rata-Rata Lalu Lintas

Data kecepatan lalu lintas dapat diperoleh dengan melakukan pengukuran

langsung dengan metode “moving car observed” dan selanjutnya

dilakukan perhitungan kecepatan rata-rata ruang. Apabila data kecepatan

lalu lintas tidak tersedia maka kecepatan dapat dihitung dengan Manual

Kapasitas Jalan Indonesia.

b. Percepatan Rata-Rata

Percepatan suatu ruas jalan dapat dihitung dengan menggunakan rumus

berikut:

AR = 0.0128 x ( vc ) (2.10)

Dimana :

AR = percepatan rata rata;

V = volume lalu lintas (smp/jam);

34
c = kapasitas jalan (smp/jam);

c. Simpangan Baku Percepatan

Simpangan baku percepatan lalu lintas dalam suatu ruas jalan dapat

dihitung dengan rumus berikut:

v
SA = SAmax (1.04/(1+e (a 0 +a 1)∗( c )) (2.11)

Dimana:

SA = Simpangan baku percepatan (m/s2);

Samax = Simpangan baku percepatan maksimum = 0.75 (m/s2) (tipikal

a0 = 5.140 dan a1 = -8.264)

d. Tanjakan dan Turunan

Tanjakan rata-rata ruas jalan dapat dihitung berdasarkan data alinemen

vertikal dengan rumus berikut:

RR =
∑ Rj (m/km) (2.12)
i=1
Li

Turunan rata-rata ruas jalan dapat dihitung berdasarkan data alinemen

vertikal dengan rumus berikut:

n
FR =∑ F (m/km) .(2.13)
i=1

Apabila data pengukuran tanjakan dan turunan tidak tersedia dapat

digunakan nilai tipikal (default) pada Tabel 2.3 berikut ini:

35
Tabel 2.3. Alinyemen vertikal direkomendasikan pada medan jalan.
Kondisi Medan Tanjakan Rata-Rata Turunan Rata-Rata

[1] [2] [3]

Datar 2.5 -2.5

Bukit 12.5 -12.5

Pegunungan 22.5 -22.5

e. Biay
Sumber: Pedoman Biaya Operasional Kendaraan, 2005

e. Konsumsi Bahan Bakar Minyak

BiBBMj = KBBMi x HBBMj (2.14)

Dimana:

BiBBMj = Biaya konsumsi bahan bakar minyak untuk

` kendaran dalam rupiah

KBBMi = Konsumsi bahan bakar minyak untuk jenis

kendaraan i, dalam liter/km;

HBBMj = Harga bahan bakar jenis BBMj, dalam

rupiah/liter;

I = Jenis kendaraan sedan (SD), utility (UT), bus

kecil (BK), bus besar (BB), truk ringan (TR),

truk sedang (TS), atau truk berat (TB);

J = Jenis bahan bakar minyak solar (SLR), dan

36
premium (PRM).

f. Konsumsi Bahan Bakar Minyak (KBBMi)


Konsumsi bahan bakar minyak dengan masing-masing kendaraan dapat

dihitung dengan rumus 2.15 sedangkan Nilai konstanta dan koefisien-

koefisien parameter model konsumsi BBM dapat dilihat pada Tabel 2.4

di bawah ini:

β1
KBBMi = (α + ( ) + (β2 x V 2R) + (β3 x RR) + (β4 x FR) + (β5 x F 2R) + (β6 x
V

DTR) + (β7 x AR) + (β8 x SA) + (β9 x BK) + (AR x β10 x BK) +

(SAR x β11 x BK)) /1000 (2.15)

Dimana:

α =Konstanta

β1 ... β12 =Koefisien-koefisien parameter

VR =Kecepatan rata-rata

RR =Tanjakan rata-rata

FR =Turunan rata-rata

DTR =Derajat tikungan rata-rata

AR =Percepatan rata-rata

SA =Simpangan baku percepatan

BK =Berat Kendaraan

37
Tabel 2.4. Nilai konstanta dan koefisien - koefisien paramater model konsumsi
BBM

Sumber: Pedoman Biaya Operasional Kendaraan, 2005

2. Biaya Konsumsi Oli

a. Biaya Konsumsi Oli

BOi = KOi x Hoj (2.16)

Dimana :

BOi = Biaya konsumsi oli untuk jenis kendaraan i, (Rp./km);

KOi = Konsumsi oli untuk jenis kendaraan i (liter/km);

Hoi = Harga oli untuk jenis oli j (Rp./liter);

i = Jenis kendaraan;

j = Jenis oli .

b. Konsumsi Oli

38
KOi = OHKi + OHOi x KBBM (2.17)

Dimana:

OHKi = Oli hilang akibat kontaminasi (liter/km);

OHOi = Oli akibat operasi (liter/km); dan

KBBMi = Konsumsi bahan bakar (liter/km).

Kehilangan oli akibat kontaminasi dihitung sebagai berikut:

OHKi = KAPOi/JPO (2.18)

Dimana:

KAPOi = Kapasitas oli (liter);

JPOi = Jarak penggantian oli (km).

Nilai tipikal (default) persamaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.5

berikut ini:

Tabel 2.5 Nilai tipikal JPOi, KPOi, dan OHOi yang direkomendasi

39
Su
Jenis kendaraan JPOi (km) KAPOi (liter ) OHOi (liter)
mb er:
[1] [2] [3] [4]

Sedan 2000 3.5 2.8 x 10-6

Utility 2000 3.5 2.8 x 10-6

Bus Kecil 2000 6 2.1 x 10-6

Bus Besar 2000 12 2.1 x 10-6

Truk Ringan 2000 6 2.1 x 10-6

Truk Sedang 2000 12 2.1 x 10-6

Truk Berat 2000 24 1.1 x 10-6

Pedoman Biaya Operasional Kendaraan, 2005

3. Biaya konsumsi suku cadang

a. Kerataan

Data kekasaran permukaan jalan dapat diperoleh dari hasil pengukuran

dengan menggunakan alat pengukur kerataan permukaan jalan dengan

satuan hasil pengukuran meter per kilometer (IRI)

b. Harga Kendaraan Baru

Harga kendaraan dihitung sebagai harga rata-rata suatu jenis kendaraan

tertentu. Survei harga dapat dilakukan melalui survei instansional seperti

asosiasi perusahaan kendaraan bermotor.

c. Biaya Konsumsi Suku Cadang

Bpi = Pi x HKBi/1000000 (2.19)

40
Dimana:

Bpi = Biaya Konsumsi Suku Cadang untuk jenis kendaraan i,

(Rp/km);

HKBi = Harga kendaraan baru rata-rata untuk jenis kendaraan i, (Rp);

P = Nilai relatif biaya suku cadang terhadap harga kendaraan baru

jenis i;

i = Jenis kendaraan

d. Nilai relatif biaya suku cadang terhadap harga kendaraan baru (P)

Nilai reatif biaya suku cadang terhadap harga kendaraan baru atau

konsumsi suku cadang untuk suatu jenis kendaraan i, dapat dihitung

dengan rumus 2.20 dengan nilai tipikal pada Tabel 2.6 di bawah ini:
2
γ
KJTi
Pi = (φ + γ1 x IRI) (
100000 ) (2.20)

Dimana:

Pi = Konsumsi suku cadang kendaraan jenis i, perjuta kilometer;

φ = Konstanta (Tabel 2.11);

γ1 & γ2 = Koefisien-koefisien parameter (Tabel 2.12);

IRI = Kekasaran jalan, dalam m/km;

KJTi = Kumulatif jarak tempuh kendaraan jenis i(km) dan

I = Jenis kendaraan

41
Tabel 2.6: Nilai tipikal φ, γ1dan γ2

Koefisien Parameter
Jenis kendaraan
Φ γ1 γ2

Sedan -0.69 0.42 0.10

Utility -0.69 0.42 0.10

Bus Kecil -0.73 0.43 0.10

Bus Besar -0.15 0.13 0.10

Truk Ringan -0.64 0.27 0.20

Truk Sedang -1.26 0.46 0.10

Truk Berat -0.86 0.32 0.40


Sumber: Pedoman Biaya Operasional Kendaraan, 2005

4. Biaya Upah Tenaga Pemeliharaan (BUi)

BUi = JPi x UTP/1000 (2.21)

Dimana :

Bui = Biaya upah perbaikan kendaraan (Rp./km);

JPi = Jumlah jam pemeliharaan (jam/1000 km);

UTP = Upah tenaga kerja (Rupiah/jam)

a. Kebutuhan jam pemeliharaan (JPi)

JPi = a0 x P1a1 (2.22)

Dimana :

JPi = Jumlah jam pemeliharaan (jam/1000km);

Pi = Konstanta suku cadang kendaraan jenis i;

a0,a1 = Konstanta

42
Nilai tipikal (default) untuk model parameter persamaan jumlah jam

pemeliharaan seperti pada Tabel 2.7 di bawah ini:

Tabel 2.7: Nilai tipikal a0 dan a1

No Jenis Kendaraan a0 a1

[1] [2] [3] [4]

1 Sedan 77.14 0.547

2 Utility 77.14 0.547

3 Bus Kecil 242.03 0.519

4 Bus Besar 293.44 0.517

5 Truk Ringan 242.03 0.519

6 Truk Sedang 242.03 0.517

7 Truk Berat 301.46 0.519


Sumber: Pedoman Biaya Operasional Kendaraan, 2005

5. Biaya Konsumsi Ban

Apabila data pengukuran tanjakan dan turunan tidak tersedia dapat

digunakan nilai tipikal seperti Tabel 2.8 di bawah ini.

Tabel 2.8: Nilai tipikal tanjakan dan turunan pada berbagai medan jalan
No Kondisi Medan TT (%)

1 Datar 5

2 Bukit 25

3 Pegunungan 45
Sumber: Pedoman Biaya Operasional Kendaraan, 2005

43
Apabila data pengukuran derajat tikungan untuk suatu ruas jalan tidak

tersedia dapat digunakan nilai tipikal seperti Tabel 2.9 di bawah ini:

Tabel 2.9: Nilai tipikal derajat tikungan pada berbagai medan jalan

Derajat Tikungan
No Kondisi Medan
( 0/km)

1 Datar 15

2 Bukit 115

3 Pegunungan 200
Sumber: Pedoman Biaya Operasional Kendaraan, 2005

a. Biaya Konsumsi Ban (Bbi)

BBi = KBi x HBj/1000 (2.23)

Dimana :

BBi = Biaya konsumsi ban untuk jenis kendaraan i, (Rp/km);

KBj = Konsumsi ban untuk jenis kendaraan i, (EBB/1000 km);

HBj = Harga ban baru jenis i, (Rp/ban baru)

i = Jenis kendaraan dan

j = Jenis ban

b. Konsumsi Ban (KBi)

KBi = χ + δ1 x IRI + δ2 x TTR + δ3 + DTR (2.24)

Dimana :

44
χ = Konstanta

δ1.. δ3 = Koefisien-koefisien parameter

TTR = Tanjakan dan turunan rata-rata

DTR = Derajat tikungan rata-rata

Tabel 2.10: Nilai tipikal χ, δ1 , δ2, dan δ3


IRI TTR DTR
Jenis kendaraan Χ
δ1 δ2 δ3

[1] [2] [3] [4] [5]

Sedan -0.01471 0.01489 - -

Utility 0.01905 0.01489 - -

Bus Kecil -0.02400 0.02500 0.003500 0.000670

Bus Besar 0.10153 - 0.000963 0.000244

Truk Ringan 0.02400 0.02500 0.003500 0.000670

Truk Sedang 0.095835 - 0.001738 0.000184

Truk Berat 0.158350 - 0.002560 0.000280

45
Sumber: Pedoman Biaya Operasional Kendaraan, 2005

6. Biaya Ti Biaya Tidak Tetap Besaran BOK (BBT)

Biaya tidak tetap dapat dihitung dengan menjumlahkan biaya konsumsi

bahan bakar, biaya konsumsi oli, biaya konsumsi suku cadang, biaya

upah pemeliharaan, dan biaya konsumsi ban seperti berikut:

BBT =BiBBMj + BOi + Bpi + BUi + Bbi (2.15)

Dimana :

BTT = Besaran biaya tidak tetap (Rp/km);

BiBBMj = Biaya konsumsi bahan bakar minyak (Rp/km);

BOi = Biaya konsumsi (Rp/km);

Bpi = Biaya konsumsi suku cadang (Rp/km);

Bui = Biaya upah tenaga pemeliharaan (Rp/km); dan

BBi = Biaya konsumsi ban (Rp/km)

46

Anda mungkin juga menyukai