LANDASAN TEORI
kendaraan bermotor pada satu sisi sedangkan pada sisi lain terdapat arus kereta
perlintasan dengan jadwal tertentu atau dapat dikatakan tertentu walaupun sering
sekali tidak tepat waktu sedangkan kendaraan yang melewati persimpangan tidak
terjadwal sehingga arus kendaraan dapat melintasi perlintasan kapan saja. Dari
segi akselerasi dan sistem pengereman diperoleh kendaraan bermotor lebih unggul
(percepatan atau perlambatan) cenderung lebih singkat dari pada kereta api begitu
waktu pengereman dan jarak pengereman yang lebih pendek dari kereta api.
Dengan demikianlah terpolalah perlintasan kereta api dengan jalan raya menganut
sistem prioritas untuk kereta api dimana arus kendaraan harus berhenti dahulu
ketika kereta api melewati perlintasan. Hal ini sesuai dengan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Kereta Api
5
2.2 PERATURAN PERLINTASAN SEBIDANG
Teknis Perlintasan Sebidang Antara Jalan Raya dengan Jalan Kereta Api yang
a. Ketentuan Umum
utama.
4. Drainase jalan.
b. Ketentuan Teknis
bebas).
6
2.2.1 Persyaratan Perlintasan Sebidang
Perlintasan sebidang antara jalan dengan jalur kereta api terdiri dari 2
jenis yaitu:
pintu otomatis dan pintu tidak otomatis. Pintu tidak otomatis terdiri dari 2
a. Selang waktu antara kereta api satu dengan kereta api berikutnya
``menit.
b`.Jarak perlintasan yang satu dengan yang lainnya pada satu jalur kereta api
km
d. Tidak terletak pada lengkungan jalan kereta api atau tikungan jalan.
bermotor.
7
2.2.2 Penentuan Perlintasan Sebidang Jalan Raya dengan Jalan Rel
sebagai berikut :
2. Volume lalu lintas harian rata-rata (LHR) sebanyak 1.000 sampai dengan
3. Hasil perkalian antara volume lalu lintas harian rata-rata (LHR) dengan
frekuensi kereta per hari dan volume harian lalu lintas rata-rata yang
menunjukkan area perlintasan sebidang baik itu tanpa pintu, dengan pintu
8
Gambar 2.I Grafik area perlintasan sebidang berdasarkan Frekuensi Kereta per
Hari dan Volume Harian Lalu Lintas Rata-rata
Sumber: SK Dirjen 770, 2005
Tidak semua ruas jalan raya apabila memotong rel kereta api dapat
dijadikan perlintasan sebidang. Berikut ini persyaratan ruas jalan yang dapat
dibuat perlintasan sebidang antara jalan raya dengan jalur kereta api:
4. Tingkat kelandaian kurang dari 5 (lima) persen dari titik terluar jalan rel.
9
Gambar 2.2 Kemiringan jalan pada perlintasan jalan dengan jalur kereta api
Sumber: SK Dirjen 770, 2005
Pada perlintasan sebidang antara jalan rel dan jalan raya harus tersedia
jarak pandangan yang memadai bagi kedua belah pihak, terutama bagi pengendara
10
Daerah pandang segitiga harus bebas dari benda-benda penghalang
sebesar 90° dan bila tidak memungkinkan sudut perpotongan harus lebih besar
dari pada 30°. Kalau akan membuat perlintasan baru, jarak antara perlintasan baru
dengan yang sudah ada tidak boleh kurang dari 800 meter. Penjelasan dapat
Gambar 2.3 Perlintasan Sebidang antara Jalan Rel dan Jalan Raya
Sumber : SK Dirjen 770, 2005
Perlintasan sebidang antara jalan raya dengan jalur kereta api memiliki
prasarana yang wajib dilengkapi berupa rambu dan marka lalu lintas serta lampu
isyarat dan pintu perlintasan. Rambu perlintasan berfungsi sebagai alat peringatan
dan larangan, marka berfungsi sebaga tanda yang mengarahkan lalu lintas dan
11
2.3.1 Rambu Peringatan pada Perlintasan Sebidang
peringatan bahaya atau tempat berbahaya pada jalan di depan pemakai jalan.
dengan jalur kereta api dimana jalur kereta api dilengkapi dengan pintu
perlintasan.
Gambar 2.4 Contoh Perlintasan berpintu pada jalan dua lajur dua arah dengan
jalur tunggal kereta api
Sumber: SK Dirjen 770, 2005
dengan jalur kereta api dimana jalur kereta api tidak dilengkapi dengan pintu
perlintasan.
12
Gambar 2.5 Contoh Perlintasan tanpa pintu pada jalan dua lajur dua arah
dengan jalur tunggal kereta api
Sumber: SK Dirjen 770, 2005
13
Gambar 2.7 Rambu peringatan jarak
Sumber: SK Dirjen 770, 2005
perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pemakai jalan. Rambu larangan terdiri
dari:
14
1. Rambu larangan berjalan terus berupa tanda ”stop” yang berarti wajib
pada perlintasan sebidang jalan dengan kereta api jalur tunggal yang
Gambar 2.10 Rambu larangan berjalan terus pada persilangan sebidang lintasan
kereta api jalur tunggal
Sumber: SK Dirjen 770, 2005
15
3. Rambu larangan berjalan terus berupa tanda ”double cross” dipasang
pada perlintasan sebidang jalan dengan kereta api jalur ganda yang
Gambar 2.11 Rambu larangan berjalan terus pada persilangan sebidang lintasan
kereta api jalur ganda
Sumber: SK Dirjen 770, 2005
Gambar 2.12 Rambu larangan berbalik arah bagi kenderaan bermotor maupun
tidak bermotor
Sumber: SK Dirjen 770, 2005
16
5. Rambu larangan berupa kata-kata yang menyatakan agar pengemudi
berhenti sebentar untuk memastikan tidak ada kereta api yang melintas
Marka Jalan adalah tanda yang berada di permukaan jalan atau di atas
permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang berbentuk garis
mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu lintas.
Perlintasan sebidang antara jalan raya dengan jalur kereta api wajib dilengkapi
melintasi garis tersebut dengan ukuran lebar 0,12 meter dan tinggi 0,03
17
meter.
api, dengan ukuran lebar secara keseluruhan 2,4 meter dan tinggi 6 meter
serta ukuran huruf yang bertuliskan “KA” tinggi 1,5 meter dan lebar 0,60
meter.
sebidang.
Isyarat Lampu Lalu Lintas adalah isyarat lampu lalu lintas satu warna
terdiri dari satu lampu menyala berkedip atau dua lampu yang menyala bergantian
18
antara jalan raya dengan jalur kereta api wajib dilengkapi perlengkapan jalan yang
1. Isyarat lampu satu warna berwarna merah yang menyala berkedip atau
2. Isyarat suara atau tanda panah pada lampu yang menunjukkan arah
2. Daftar semboyan.
19
6. Daftar perjalanan kereta api sesuai Grafik Perjalanan Kereta Api
(GAPEKA).
9. Pintu dengan persyaratan kuat dan ringan, anti karat serta mudah dilihat
dilengkapi dengan rambu,marka, isyarat suara dan lampu lalu lintas satu warna
yang berwarna merah berkedip atau dua lampu satu warna yang berwarna merah
menyala bergantian. Isyarat lampu lalu lintas satu warna pada ketentuan diatas,
1. Terdiri dari satu lampu yang menyala berkedip atau dua lampu yang
menyala bergantian.
berhenti .
4. Dapat dilengkapi dengan isyarat suara atau tanda panah pada lampu yang
30 sentimeter.
20
Gambar 2.16 Desain Pintu Perlintasan Kereta Api
Sumber: SK Dirjen 770, 2005
pita kejut pada perlintasan sebidang yang dilengkapi pintu dan tidak dilengkapi
membentuk suatu sistem yang terdiri dari jalan, manusia, dan kendaraan. Untuk
kenyataan sehari hari hal ini tidak pernah terjadi, akibatnya sistem lalu lintas jalan
ketidaksesuaian antar ketiga komponen, atau antar satu komponen dan lingkungan
dimana sistem beroperasi. Ada tiga karakteristik primer dalam teori arus lalu
lintas yang saling terkait, secara makroskopik dikenal dengan arus (flow),
21
kecepatan (speed), dan kerapatan (density), dimana ketiga variabel ini
kendaraan.
Arus lalu lintas (flow) adalah jumlah kendaraan yang melintasi satu titik
pengamatan pada penggal jalan tertentu pada periode waktu tertentu, diukur dalam
satuan kendaraan per satuan waktu. Sedangkan volume adalah jumlah kendaraan
yang melintasi suatu ruas jalan pada periode waktu tertentu, diukur dalam satuan
kendaraan per satuan waktu. Volume biasanya dihitung dalam kendaraan/hari atau
kendaraan/jam. Volume dapat juga dinyatakan dalam periode waktu yang lain.
menjadi :
selama 24 jam dalam kurun waktu 365 hari, dengan demikian total kendaraan
b. Average Daily Traffic (AAD), Yakni volume yang diukur selama 24 jam
penuh dalam periode waktu tertentu yang dibagi dari banyaknya hari tersebut.
Marga tentang Manual Kapasitas Jalan Indonesia (Dirjen Bina Marga, 1997),
perhitungan arus lalu lintas dilakukan persatuan jam untuk satu arah atau lebih
22
periode, misalnya didasarkan pada kondisi arus lalu lintas rencana jam puncak
pagi, siang dan sore. Variasi yang terjadi selama satu jam dinyatakan dalam faktor
jam puncak (Peak Hour Factor / PHF), yaitu merupakan perbandingan antara
volume arus lalu lintas jam puncak dengan 4 kali rate of flow /15 menit volume
arus lalu lintas tertinggi pada jam yang sama (jam puncak).
lintas Wc(m)
≤6 >6
2.7.2 Kecepatan
Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh
kendaraan dibagi waktu tempuh. Menurut MKJI (1997) Kecepatan dibagi menjadi
2 jenis :
23
1. Kecepatan bergerak (running speed)
Adalah kecepatan kendaraan rata-rata pada suatu jalur pada saat
kendaraan bergerak dan didapat dengan membagi panjang jalur dibagi dengan
lama waktu kendaraan bergerak menempuh jalur tersebut.
2. Kecepatan perjalanan ( journey speed)
Adalah kecepatan efektif kendaraan yang sedang dalam perjalanan antara
dua tempat, dan merupakan jarak antara dua tempat dibagi dengan lama waktu
bagi kendaraan untuk menyelesaikan perjalanan antara dua tempat tersebut,
dengan lama waktu ini mencakup setiap waktu berhenti yang ditimbulkan oleh
hambatan (penundaan) lalu lintas. Kecepatan dapat didefinisikan dengan
persamaan 2.1 sebagai berikut :
V=s/t (2.1)
Di mana :
v = Kecepatan (km/jam)
s = Jarak (Km)
t = Waktu (detik)
menurut waktu dan besarnya lalu lintas. Ada 2 (dua) hal penting yang perlu
dari seluruh kendaraan yang melewati suatu titik dari jalan selama periode
Di mana :
24
L = panjang penggal jalan (m).
panjang jalan atau lajur, secara umum diekspresikan dalam vehicle per mile (vpm)
atau vehicle per mile per lane (vpmpl). Kerapatan sulit diukur secara langsung di
V = Ūs ∗ D
V
Sehingga D= (2.3)
Us
dimana :
V = volume (kend/jam)
D = kerapatan (kend/km)
Aliran lalu lintas pada suatu ruas jalan raya terdapat 3 (tiga) variabel
utama yang digunakan untuk mengetahui karakteristik arus lalu lintas, yaitu :
25
1. Volume (flow), yaitu jumlah kendaraan yang melewati suatu titik tinjau
tertentu pada suatu ruas jalan per satuan waktu tertentu.
2. Kecepatan (speed), yaitu jarak yang dapat ditempuh suatu kendaraan
pada ruas jalan per satuan waktu.
3. Kepadatan (density), yaitu jumlah kendaraan per satuan panjang jalan
tertentu.
Variabel-variabel tersebut memiliki hubungan antara satu dengan
lainnya. Hubungan antara volume, kecepatan dan kepadatan dapat digambarkan
secara grafis dengan menggunakan persamaan matermatis
26
2.7.6 Hubungan antara Kecepatan (v) dan Kepadatan (D)
27
2.7.8 Tundaan
Tundaan berdasarkan Peraturan Direktorat Jendral Bina Marga tentang
Manual Kapasitas Jalan Indonesia (Bina Marga, 1997) merupakan waktu tempuh
tambahan yang diperlukan untuk melalui simpang apabila dibandingkan lintasan
tanpa melalui suatu simpang. Tundaan terdiri dari tundaan lalu lintas dan tundaan
geometri. Tundaan Lalu Lintas adalah waktu menunggu yang disebabkan oleh
interaksi lalu lintas dengan gerakan lalu lintas yang bertentangan. Beberapa
definisi tentang tundaan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Stopped delay adalah waktu saat kendaraan berada dalam kondisi
stationer akibat adanya aktivitas pada persimpangan.
2. Time in queue delay adalah waktu sejak kendaraan pertama berhenti
sampai kendaraan tersebut keluar dari antrian. Pada persimpangan, waktu
kendaraan tersebut dari antrian dihitung saat kendaraan melewati stop line.
Suatu prosedur input dan output dengan stopped delay (Ds) yang dapat dihitung
Di mana :
2.7.9 Antrian
Jumlah antrian dalam Direktorat Jendral Bina Marga tentang Manual
Kapasitas Jalan Indonesia ( Bina Marga,1997) didefinisikan sebagai jumlah
kendaraan yang antri dalam suatu pendekat samping dan dinyatakan dalam
28
kendaraan atau satuan mobil penumpang. Sedangkan panjang antrian
didefinisikan sebagai panjang antrian kendaraan dalam suatu pendekat dan
dinyatakan dalam satuan meter. Gerakan kendaraan yang berada dalam antrian
akan dikontrol oleh gerakan yang didepannya atau kendaraan tersebut dihentikan
oleh komponen lain dari sistem lalu lintas.
Terdapat dua aturan dalam antrian, yaitu first in first out (FIFO) dan last
in first out (LIFO). Dalam kondisi analisis pengaruh penutupan pintu perlintasan
kereta api ini digunakan aturan antrian yang pertama, yaitu first in first out hal ini
disebabkan penyesuaian dengan kenyataan di lapangan dan kondisi pendekat
lintasan. Dalam melakukan pengukuran panjang antrian, didalamnya harus
meliputi pencacahan dari jumlah kendaraan yang berada dalam sistem antrian
pada suatu waktu tertentu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan perhitungan fisik
kendaraan atau dengan memberi tanda (placing mark along the rood length) pada
jalan, sehingga mengindikasikan bahwa jumlah kendaraan yang berada dalam
antrian akan dinyatakan dalam satuan panjang. Alternatif lain adalah dengan
menggunakan video camera untuk merekam kondisi antrian yang terjadi.
Model ini adalah model yang paling awal tercatat dalam usaha
mengamati perilaku lalu lintas. Greenshields mengadakan studi pada jalur jalan di
luar kota Ohio, dimana kondisi lalu lintas memenuhi syarat karena tanpa
antara model linier dengan keadaan data di lapangan. Hubungan linier kecepatan
dan kerapatan ini menjadi hubungan yang paling populer dalam tinjauan
29
sederhana sehingga mudah diterapkan. Model ini dapat dijabarkan sebagai
berikut:
Uf
U s=U f − ( )
Dj
D (2.5)
dimana :
D = kerapatan
Pada saat kecepatan merupakan kecepatan arus bebas (free flow speed),
sedangkan pada saat kondisi kerapatan macet (jam density), kendaraan tidak dapat
bergerak sama sekali atau kondisi kecepatan sangat kecil. Hubungan antara arus
V Uf
D
=U f −
Dj( )
D
Uf 2
V =D . U f − ( )
Dj
D (2.6)
V
Hubungan antara arus dan kecepatan diperoleh dari substitusi D= ( )
Us
ke
30
Uf
U s=U f − ( )
Dj
D
Uf V
U s=U f − ( )
Dj Us
Dj
V =U s . D j− ( )
Uf
Us
2
(2.7)
Harga arus maksimum dapat dicari dengan menurunkan persamaan (2.6) terhadap
kerapatan (D) dan nilai arus maksimum terjadi pada saat nilai kerapatan
maksimum yakni pada saat nilai turunan pertama (diferensial ke-1) tersebut sama
dengan nol.
Uf 2
V =D . U f − ( )
Dj
D
∂V Uf
∂D
=U f −2 D m
Dj ( )
Uf
0=U f −2 D m ( )
Dj
Dj
Dm = (2.8)
2
Uf 2
V =D . U f − ( )
Dj
D
Uf
V m =D m .U f − ( )D
Dj m
2
31
Dj U D 2
V m=
2 f
( )
. U − f 2j
Dj 2
2 Dj. U f U f . D j
V m=
4
−( 4 )
D j.Uf
V m= (2.9)
4
dimana :
antara arus dengan kecepatan, arus dengan kerapatan dan kecepatan dengan
32
bawah yang artinya apabila kerapatan naik, maka kecepatan akan turun. Arus
kendaraan untuk bergerak lagi. Ketika kerapatan nilainya nol, maka tidak terdapat
kendaraan di jalan sehingga arus juga nol. Antara kedua nilai-nilai ekstrim
nol terjadi pada dua kondisi berbeda. Pertama, jika tidak ada kendaraan di
fasilitas, kerapatan adalah nol dan tingkat arus adalah nol. Secara teoritis,
kecepatan pada saat kondisi ini ditentukan oleh pengemudi pertama (diasumsikan
pada nilai yang tinggi). Kecepatan ini dinyatakan dalam Ūf. Kedua, jika kerapatan
menjadi begitu tinggi sehingga semua kendaraan harus berhenti, kecepatan adalah
nol dan tingkat arus adalah nol. Karena tidak ada pergerakan dan kendaraan tidak
dapat melintas pada suatu titik di potongan jalan. Kerapatan dimana semua
maksimum. Dengan meningkatnya arus dari nol, kerapatan juga meningkat karena
lebih banyak kendaraan di jalan. Jika hal ini terjadi, kecepatan menurun karena
interaksi antar kendaraan. Penurunan ini diabaikan pada kerapatan dan arus
kerapatan naik dari nol, maka arus juga naik. Namun apabila kerapatan terus naik
akan dicapai suatu titik dimana akan menyebabkan penurunan kecepatan dan arus.
33
2.8 BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN
lalu lintas tidak tersedia maka kecepatan dapat dihitung dengan Manual
b. Percepatan Rata-Rata
berikut:
AR = 0.0128 x ( vc ) (2.10)
Dimana :
34
c = kapasitas jalan (smp/jam);
Simpangan baku percepatan lalu lintas dalam suatu ruas jalan dapat
v
SA = SAmax (1.04/(1+e (a 0 +a 1)∗( c )) (2.11)
Dimana:
RR =
∑ Rj (m/km) (2.12)
i=1
Li
n
FR =∑ F (m/km) .(2.13)
i=1
35
Tabel 2.3. Alinyemen vertikal direkomendasikan pada medan jalan.
Kondisi Medan Tanjakan Rata-Rata Turunan Rata-Rata
e. Biay
Sumber: Pedoman Biaya Operasional Kendaraan, 2005
Dimana:
rupiah/liter;
36
premium (PRM).
koefisien parameter model konsumsi BBM dapat dilihat pada Tabel 2.4
di bawah ini:
β1
KBBMi = (α + ( ) + (β2 x V 2R) + (β3 x RR) + (β4 x FR) + (β5 x F 2R) + (β6 x
V
DTR) + (β7 x AR) + (β8 x SA) + (β9 x BK) + (AR x β10 x BK) +
Dimana:
α =Konstanta
VR =Kecepatan rata-rata
RR =Tanjakan rata-rata
FR =Turunan rata-rata
AR =Percepatan rata-rata
BK =Berat Kendaraan
37
Tabel 2.4. Nilai konstanta dan koefisien - koefisien paramater model konsumsi
BBM
Dimana :
i = Jenis kendaraan;
j = Jenis oli .
b. Konsumsi Oli
38
KOi = OHKi + OHOi x KBBM (2.17)
Dimana:
Dimana:
Nilai tipikal (default) persamaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.5
berikut ini:
Tabel 2.5 Nilai tipikal JPOi, KPOi, dan OHOi yang direkomendasi
39
Su
Jenis kendaraan JPOi (km) KAPOi (liter ) OHOi (liter)
mb er:
[1] [2] [3] [4]
a. Kerataan
40
Dimana:
(Rp/km);
jenis i;
i = Jenis kendaraan
d. Nilai relatif biaya suku cadang terhadap harga kendaraan baru (P)
Nilai reatif biaya suku cadang terhadap harga kendaraan baru atau
dengan rumus 2.20 dengan nilai tipikal pada Tabel 2.6 di bawah ini:
2
γ
KJTi
Pi = (φ + γ1 x IRI) (
100000 ) (2.20)
Dimana:
I = Jenis kendaraan
41
Tabel 2.6: Nilai tipikal φ, γ1dan γ2
Koefisien Parameter
Jenis kendaraan
Φ γ1 γ2
Dimana :
Dimana :
a0,a1 = Konstanta
42
Nilai tipikal (default) untuk model parameter persamaan jumlah jam
No Jenis Kendaraan a0 a1
Tabel 2.8: Nilai tipikal tanjakan dan turunan pada berbagai medan jalan
No Kondisi Medan TT (%)
1 Datar 5
2 Bukit 25
3 Pegunungan 45
Sumber: Pedoman Biaya Operasional Kendaraan, 2005
43
Apabila data pengukuran derajat tikungan untuk suatu ruas jalan tidak
tersedia dapat digunakan nilai tipikal seperti Tabel 2.9 di bawah ini:
Tabel 2.9: Nilai tipikal derajat tikungan pada berbagai medan jalan
Derajat Tikungan
No Kondisi Medan
( 0/km)
1 Datar 15
2 Bukit 115
3 Pegunungan 200
Sumber: Pedoman Biaya Operasional Kendaraan, 2005
Dimana :
j = Jenis ban
Dimana :
44
χ = Konstanta
45
Sumber: Pedoman Biaya Operasional Kendaraan, 2005
bahan bakar, biaya konsumsi oli, biaya konsumsi suku cadang, biaya
Dimana :
46