Anda di halaman 1dari 41

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SIMPANG

Simpang merupakan titik simpul dari jaringan jalan yang mempunyai

peranan penting dalam memperlancar transportasi. Selain itu simpang juga

merupakan titik temu antar lintasan-lintasan pergerakan kendaraan yang

berlawanan arah, dimana ruang dan waktu digunakan secara bersamaan yang juga

dapat menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Menurut Manual Kapasitas Jalan

Indonesia, simpang merupakan sebagai daerah umum dimana dua jalan atau lebih

bergabung atau bersimpang, termasuk jalan dan tepi jalan untuk pergerakan lalu

lintas di dalamnya. Karena persimpangan harus dimanfaatkan bersama-sama oleh

setiap orang yang ingin menggunakannya, maka persimpangan tersebut harus

dirancang dengan hati-hati, dengan memperhatikan efisiensi, keselamatan,

kecepatan, biaya operasi dan kapasitas.

Tujuan pembuatan persimpangan adalah mengurangi potensi konflik di

antara kendaraan (termasuk pejalan kaki) dan sekaligus menyediakan kenyamanan

maksimum dan kemudahan pergerakan bagi kendaraan atau dengan kata lain

untuk mengatasi konflik-konflik potensial antara kendaraan bermotor, pejalan

kaki, sepeda dan fasilitas angkutan lainnya agar pada saat melewati persimpangan

didapatkan tingkat kemudahan dan kenyamanan.

6
Pada persimpangan terdapat 4 jenis pergerakan arus lalu lintas yang

dapat menimbulkan konflik, yaitu:

1. Berpotongan (crossing), dimana dua arus berpotongan langsung.

2. Bergabung (merging), dimana dua arus bergabung.

3. Berpisah (diverging), dimana dua arus berpisah.

4. Bersilangan (weaving), dimana dua arus saling bersilangan.

Menurut Morlok (1998), jenis simpang berdasarkan cara pengaturannya

dapat dikelompokkan menjadi dua jenis persimpangan, yaitu:

1. Persimpangan tak bersinyal (unsignalized intersection), yaitu simpang yang

tidak memakai sinyal lalu lintas. Pada simpang ini pemakai jalan harus

memutuskan sendiri apakah mereka cukup aman untuk melewati simpang

atau harus berhenti dahulu sebelum melewati simpang tersebut.

2. Simpang bersinyal (signalized intersection), yaitu pemakai jalan dapat

melewati simpang sesuai dengan pengoperasian sinyal lalu lintas. Jadi

pemakai jalan hanya boleh lewat pada saat sinyal lalu lintas menunjukkan

warna hijau pada lengan simpangnya.

2.2 PENGENDALIAN PERSIMPANGAN

Tujuan pengendalian persimpangan bertujuan untuk memanfaatkan

sepenuhnya kapasitas persimpangan, mengurangi dan menghindari terjadinya

kecelakaan dengan mengurangi jumlah konflik serta melindungi jalan utama dari

gangguan sehingga hierarki jalan tetap terjamin. Terdapat paling tidak enam cara

7
utama mengendalikan lalu lintas persimpangan, bergantung pada jenis

persimpangan dan volume lalu lintas pada tiap aliran kendaraan.

Berdasarkan urutan tingkat pengendalian, dari kecil ke tinggi, di

persimpangan, keenamnya adalah: tanpa kendali, kanalisasi, rambu pengendali

kecepatan atau rambu henti, bundaran dan lampu lalu lintas. Manual on Uniform

Traffic Comtrol Decives (FHWA,2000) memberikan petunjuk mengenai

penggunaan jenis pengendalian persimpangan, dalam bentuk ketentuan.

2.2.1 Rambu Henti

Rambu berhenti harus ditempatkan pada suatu persimpangan pada

kondisi berikut:

1. Persimpangan antara suatu jalan yang relatif kurang penting dengan jalan

utama, dimana penerapan aturan daerah milik jalan yang normal bisa

berbahaya.

2. Persimpangan antara jalan-jalan luar kota dan perkotaan dengan jalan raya

3. Jalan yang memasuki suatu jalan atau jalan raya tembus

4. Persimpangan tanpa lampu lalu lintas di suatu daerah yang menggunakan

lampu lalu lintas

5. Persimpangan tanpa lampu lalu lintas dimana kombinasi antara kecepatan

tinggi, pandangan terbatas, dan banyaknya kecelakaan serius

mengindikasikan adanya kebutuhan akan pengendalian oleh rambu berhenti

8
2.2.2 Rambu Pengendalian Kecepatan

Rambu ini umumnya ditempatkan:

1. Pada suatu jalan minor di titik masuk menuju suatu persimpangan ketika

perlu memberikan hak jalan ke jalan utama, namun di mana kondisi berhenti

tidak diperlukan setiap saat dan dimana kecepatan datang yang aman di

jalan minor melebihi 10 mil per-jam.

2. Pada pintu masuk ke jalan ekspres (expressway), di mana lajur khusus untuk

percepatan tidak ada

3. Dimana terdapat suatu lajur belok-kanan yang terpisah atau dikanalisasi,

namun tanpa adanya lajur percepatan yang memadai

4. Di semua persimpangan, dimana masalah lalu lintas dapat ditanggulangi

dengan mudah dengan memasang rambu pengatur kecepatan

5. Di suatu persimpangan dengan jalan raya yang terbagi, dimana rambu

berhenti terletak di pintu masuk menuju jalan yang pertama, dan

pengendalian selanjutnya diperlukan pada pintu masuk menuju jalan yang

kedua. Lebar median antara masing-masing jalan harus melebihi 30 feet.

2.2.3 Kanalisasi di Persimpangan (Channelization)

Kanalisasi adalah proses pemisahan atau pengaturan terhadap

aliran kendaraan yang saling konflik ke dalam rute-rute jalan yang jelas

dengan menempatkan beton pemisah atau rambu perkerasan untuk

menciptakan pergerakan yang aman dan teratur bagi kendaraan dan

pejalan kaki. Kanalisasi yang benar dapat meningkatkan kapasitas,

9
menyempurnakan keamanan. Memberikan kenyamanan penuh dan juga

menaikkan kepercayaan dari pengemudi. Kanalisasi sering kali digunakan

bersama dengan rambu berhenti atau rambu pengatur kecepatan atau pada

persimpangan dengan lampu lalu lintas, sedangkan perputaran tidak.

Umumnya dalam kasus perputaran, lalu lintas yang masuk mengikuti arah

lalu lintas yang ada disitu.

2.2.4 Bundaran (Rotary) dan Perputaran (Roundabout)

Bundaran dan perputaran adalah simpang kanalisasi yang terdiri

dari sebuah lingkaran pusar yang dikelilingi oleh jalan satu-arah.

Perbedaan mendasar antara bundaran dan perputaran adalah bahwa

bundaran umumnya menggunakan lampu lalu lintas. Sedangkan

perputaran tidak. Umumnya, dalam kasus perputaran, lalu lintas yang

masuk mengikuti arah lalu lintas yang ada di situ.

Perputaran umumnya mempunyai tingkat keselamatan yang baik dan

kendaraan tidak harus berhenti saat volume lalu lintas rendah. Perputaran yang

didesain dengan baik seharusnya dapat membelokkan kendaraan yang melalui

suatu persimpangan dengan mengunakan pulau pusat yang cukup besar, pulau di

dekat persimpangan yang desainnya layak dan meliukkan alinyemen keluar dan

alinyemen masuknya.

2.2.5 Persimpangan Tanpa Rambu

10
Apabila sebuah persimpangan tidak memiliki peranti pengaturan lalu

linta, pengemudi kendaraan yang menuju persimpangan tersebut harus dapat

mengatur kecepatan yang diperlukan sebelum mencapai persimpangan. Waktu

yang diperlukan untuk memperlambat kendaraan adalah waktu persepsi-reaksi

pengemudi dan dapat diasumsikan sebesar 2,0 detik. Selain itu, pengemudi harus

memulai menginjak rem pada jarak tertentu dari persimpangan. Jarak yang

dimaksudkan, dimana pengemudi dapat melihat kendaraan lain datang mendekat

di jalur persimpangan. Jarak yang dimaksudkan, di mana pengemudi dapat

melihat kendaraan lain datang mendekat di jalur persimpangan, adalah jarak yang

ditempuh selama 2,0 detik untuk persepsi dan reaksi, ditambah 1,0 detik lagi

untuk memulai meninjak rem atau untuk mempercepat laju hingga mencapai

kecepatan yang diinginkan.

2.2.6 Peralatan Lampu Lalu Lintas

Satu metode yang paling penting dan efektif untuk mengatur lalu lintas di

persimpangan adalah dengan menggunakan lampu lalu-lintas. Lampu lalu lintas

adalah sebuah alat elektrik (dengan sistem pengaturan waktu) yang memberikan

hak jalan pada satu arus lalu-lintas atau lebih sehingga aliran lalu lintas ini bisa

melewati persimpangan dengan aman dan efisien. Lampu lalu lintas sesuai untuk

mengurangi:

1. Penundaan berlebihan pada rambu berhenti dan rambu pengendali kecepatan

2. Masalah yang timbul akibat tikungan jalan

3. Tabrakan sudut dan sisi

11
4. Kecelakaan pejalan kaki

Instalasi lampu lalu lintas terdiri dari tampilan-tampilan warna lampu

berikut mekanisme pengendaliannya. Instalasi ini juga dapat meliputi berbagai

peralatan pendeteksi kendaraan atau beberapa bentuk peralatan lainnya yang dapat

diaktifkan sesuai kebutuhan (seperti tombol tekan untuk pejalan kaki yang hendak

menyeberang jalan).

Warna yang ditampilkan lampu lalu lintas ketika menyala ada beberapa,

dimana masing-masing mengendalikan satu aliran lalu lintas atau lebih yang tiba

di arah yang sama. Kepala lampu lalu lintas terdiri dari satu muka lampu lalu litas

atau lebih, yang dapat ditempatkan disebuah tiang atau digantung pada kabel.

Warna yang menyala pada lampu lalu lintas dibedakan dengna warna, bentuk, dan

kontinuitasnya. Ada tiga warna yang digunakan: (1) hijau, untuk memberikan hak

jalan kepada satu atau kombinasi aliran lalu lintas, (2) merah, untuk melarang

pergerakan atau mengharuskan untuk berhenti, (3) kuning, untuk mengatur

pemindahan hak jalan dari sekelompok aliran lalu lintas kepada kelompok lainnya

atau untuk memberikan peringatan. Apabila terdapat lampu lalu lintas khusus

untuk pejalan kaki, biasanya berbentuk pesan tulisan atau logo yang berpendar.

Nyala lampu lalu lintas bisa konstan atau berkedip-kedip.

Pengendalian lampu lalu lintas adalah peranti elektrimekanis atau

elektronis yang mengatur panjang dan urutan nyala lampu di persimpangan.

Pengendalian yang waktunya sudah diset terlebih dahulu beroperasi dengan lama

waktu yang tetap yang dialokasikan untuk pergerakan lalu lintas tertentu dalam

urutan yang tetap, penetapan waktu dilakukan berdasarkan pengamatan pola arus

12
dipersimpangan tersebut. Pengendalian sesuai lalu lintas dibuat untuk menerima

informasi mengenai pola arus lalu lintas dari berbagai alat pengukur dalam

interval waktu yang telah diatur sebelumnya. Informasi ini digunakan untuk

memilih satu dari beberapa skema waktu yang disimpan di dalam memori alat

pengendali.

2.3 KONFLIK LALU LINTAS

Suatu persimpangan jalan yang umum dengan jalur tunggal dan jalan

keluar ditunjukkan pada Gambar 2.1 dari diagram dapat diketahui tempat-tempat

yang sering terjadi konflik dan tabrakan kendaraan. Jumlah konflik yang terjadi

setiap jamnya pada masing-masing pertemuan jalan dapat langsung diketahui

dengan cara mengukur volume aliran untuk seluruh gerakan kendaraan. Masing-

masing titik berkemungkinan menjadi tempat terjadinya kecelakaan dan tingkat

keparahan kecelakaannya berkaitan dengan kecepatan relatif suatu kendaraan.

Apabila ada pejalan kaki yang menyeberang jalan di pertemuan jalan tersebut,

konflik langsung kedaraan dan pejalan kaki akan meningkatkan frekuensinya

sekali lagi tergantung pada jumlah dan arah aliran kendaraan dan pejalan kaki.

Pada saat pejalan kaki menyeberang jalur pendekatan, 2,4 titik konflik

kendaraan/pejalan kaki terjadi pada pertemuan jalan tersebut, dengan

mengabaikan gerakan diagonal yang dilakukan oleh pejalan kaki.

Terdapat 4 macam konflik lalu lintas yang dapat terjadi antara lain:

1. Konflik Primer (Divegen Conflic)

Yaitu titik pada lintasan dimana mulai memisahkan menjadi dua lintasan

13
2. Konflik Sekunder (Mergin Conflic)

Yaitu titik pertemuan dua lintasan dari dua arah yang berlainan menjadi satu

lintasan yang sama.

3. Arus kendaraan (Though Flow Conflic)

Yaitu perpotongan dua lintasan lurus yang saling tegak lurus.

4. Arus pejalan kaki (Turning Flow Conflic)

Yaitu titik perpotongan antara lintasan lurus dengan lintasan membelok dan

yang saling membelok.

Gambar 2.1 Konflik-Konflik Utama dan Kedua pada Simpang Bersinyal

dengan Empat Lengan

Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

2.4 SISTEM OPERASI LAMPU LALU LINTAS

Dalam pengoprasian sinyal lampu lalu lintas dapat dikategorikan kepada

jenis perlengkapan yang digunakan, yaitu:

14
2.4.1 Operasi Waktu Sinyal Tetap (Fixed Time Signal Operation)

Panjang siklus, fase hijau dan perubahan interval diatur menurut suatu

jadwal tertentu. Panjang siklus dan fase adalah tetap selama interval tertentu,

sehingga tipe ini merupakan bentuk sederhana. Pada keadaan tertentu tipe ini

tidak efisien dibandingkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada volume

arus lalu lintas. Sehingga untuk kebutuhan pengendalian pada waktu-waktu

tertentu sistem ini harus diprogram untuk situasi berbeda dalam satu hari.

2.4.2 Operasional Waktu Sinyal Separuh Nyata (Semi Actuated Operation)

Tipe pengoprasian ini bisa dipasang pada persimpangan yang

mempunyai tingkat arus lalu lintas berbeda. Sebuah alat deteksi dipasang pada

jalan minor untuk mengetahui kedatangan kedaraan dari jalan tersebut, dan diatur

sedemikian rupa sehingga jalan mayor selalu mendapat sinyal lampu hijau.

2.4.3 Operasional Waktu Sinyal Nyata (Full Actuated Operation)

Pada operasional waktu sinyal dengan tipe ini, pada tiap lengan

persimpangan diberikan detektor. Dengan memberikan batasan maksimum dan

minimum waktu hijau untuk setiap fase pergerakan. Operasional tersebut

memungkinkan adanya satu fase yang terlewati bila tidak ada kendaraan yang

terlewat atau terdeteksi. Panjang siklus akan berubah-ubah sesuai dengan lalu

lintas yang dilayani. Tipe seperti ini baik untuk pengoprasian simpang yang

terisolasi dan tidak dikoordinasikan dengan simpang yang lainnya.

15
Keuntungan yang dapat diperoleh dengan pengoprasian waktu sinyal

tetap (fixed timed operation) adalah:

1. Waktu mulai (start) dan lama interval yang tetap, sehingga memudahkan

untuk mengkonfirmasikannya dengan lampu lalu lintas yang berdekatan.

2. Tidak dipengaruhi kondisi arus lalu lintas pada suatu waktu tertentu.

3. Lebih dapat diterima pada kawasan dengan volume arus pejalan kaki yang

tetap dan besar.

4. Biaya instansi yang lebih murah dan sederhana serta perawatan yang lebih

murah.

5. Pengemudi dapat memperkirakan fase.

Keuntungan pemakaian lampu lalu lintas dengan waktu tidak

tetap (actuated operation) adalah:

1. Efisiensi persimpangan maksimum karena lama tiap fase disesuaikan

dengan volume pergerakan yang melewati persimpangan.

2. Dapat menyediakan fasilitas berhenti (stop) dan jalan (go) secara menerus

tanpa penundaan yang berarti.

3. Secara umum menurunkan tundaan pada persimpangan terisolasi.

2.5 DASAR OPERASIONAL SINYAL LAMPU LALU LINTAS

Untuk dapat memahami cara pengaturan lampu lalu lintas waktu

tetap, perlu dijelaskan pengertian beberapa istilah yang di gunakan. Istilah

tersebut akan dijelaskan berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia

(1997) berikut ini:

16
1. Fase (i)

Suatu bagian dari siklus-sinyal dengan lampu lalu lintas disediakan bagi

kombinasi tertentu dari gerakan lalu lintas (i = indeks untuk nomor fase)

2. Waktu siklus (c)

Waktu untuk urutan lengkap dari indikasi sinyal.

3. Waktu hijau (g)

Waktu pada suatu fase untuk kendali lalu lintas aktuasi kendaraan.

4. Waktu hijau maksimum (gmax)

Waktu hijau maksimum yang diijinkan dalam suatu fase untuk kendali lalu

lintas aktuasi kendaraan.

5. Waktu hijau minimum (gmin)

Waktu hijau minimum yang diperlukan.

6. Waktu Merah Semua (ALL RED)

Waktu dimana sinyal merah menyala bersamaan dalam pendekat-pendekat

yang dilayani oleh dua fase sinyal yang berurutan.

7. Waktu kuning (AMBER)

Waktu di mana sinyal merah menyala bersamaan dalam pendekat-pendekat

yang dilayani oleh dua fase sinyal yang berurutan.

8. Antar Hijau (IG)

Periode kuning+merah semua antara dua fase sinyal yang berurutan

9. Waktu Hilang (LTI)

17
Jumlah semua periode antar hijau dalam siklus yang lengkap. Waktu hilang

dapat juga diperoleh dari beda antara waktu siklus dengan jumlah waktu

hijau dalam semua fase yang berurutan.

2.6 KINERJA SIMPANG BERSINYAL

Unsur terpenting didalam mengevaluasi kinerja simpang lampu

lalu lintas, kapasitas dan tingkat pelayanan, sehingga untuk menjaga agar

kinerja simpang dapat berjalan dengan baik, kapasitas dan tingkat

pelayanan perlu dipertimbangkan dalam mengevaluasi operasi simpang

dengan lampu lalu lintas. Ukuran dari kinerja simpang dapat ditentukan

berdasarkan panjang antrian, jumlah kendaraan terhenti dan tundaan.

2.6.1 Prosedur Perhitungan Kinerja Simpang Bersinyal

2.6.1.1 Data Masukan (Formulir SIG-I)

Adapun data-data masukan yang diperlukan untuk merencanakan lampu

lalu lintas adalah sebagai berikut:

1. Data umum seperti tanggal, lokasi simpang (Kota/Kabupaten), nama

simpang, perihal (fase), periode (misal jam puncak pagi-sore)

2. Ukuran kota

3. Fase dan waktu sinyal

4. Kondisi geometrik

5. Kode pendekat

6. Tipe lingkungan jalan

18
7. Tingkat hambatan samping

8. Median

9. Kelandaian

10. Belok kiri langsung

11. Jarak kendaraan parkir

12. Lebar pendekat

19
2.6.1.2 Menentukan Kondisi Arus Lalu Lintas (Formulir SIG-II)

Kondisi arus lalu lintas yang dianalisa menurut MKJI 1997 adalah semua

jenis kendaraan yang melewati persimpangan termasuk juga untuk belok kiri

langsung (LTOR).

Tabel 2.1 Nilai emp Untuk Jenis Kendaraan Berdasarkan Pendekat

Emp untuk tipe pendekatan


Jenis Kendaraan
Terlindungi Terlawan
Kendaraan Ringan (LV) 1,0 1,0
Kendaraan Berat (HV) 1,3 1,3
Sepeda Motor (MC) 0,2 0,4
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

Untuk menentukan rasio kendaraan PLT,PRT dan rasio PUM digunakan persamaan

(2.1)-(2.3) berikut:

PLT = ......................................................................... (2.1)

PRT = ......................................................................... (2.2)

PUM = .......................................................................................... (2.3)

Keterangan:

PLT = rasio kendaraan bermotor yang belok kiri

PRT = rasio kendaraan bermotor yang belok kanan

PUM = rasio kendaraan tak bermotor

QUM = arus kendaraan tak bermotor (kend/jam)

QMV = arus kendaraan bermotor (kend/jam)

20
2.6.1.3 Menentukan Waktu Antar Hijau dan Waktu Hilang

Menentukan waktu merah semua yang diperlukan untuk pengosongan

pada setiap akhir fase dan hasil waktu hijau (IG) per fase.

Menentukan waktu hilang (LTI) sebagai jumlah dari waktu hijau per

siklus, dan masukkan hasilnya ke dalam bagian bawah Kolom 4 pada Formulir

SIG-IV. Sedangkan untuk menentukan antar waktu hijau dan waktu hilang adalah

ditentukan dengan tabel di bawah ini:

Tabel 2.2 Nilai Normal Waktu Antar Hijau

Lebar Jalan Nilai Normal Waktu


Ukuran Simpang
Rata-Rata Antara Hijau
Kecil 6-9 m 4 detik/fase
Sedang 10-14 m 5 detik/fase
Besar ≥ 15 m ≥6 detik/fase
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

Waktu merah semua yang diperlukan untuk pengosongan pada akhir

seriap fase harus memberi kesempatan kendaraan terakhir (melewati gasir henti

pada akhir sinyal kuning) dan meninggalkan titik konflik sebelum kendaraan yang

pertama datang dari fase berikutnya (melewati garis henti pada awal sinyal hijau).

Jadi, yang dimaksud dari waktu merah semua (all read) adalah fungsi dari

kecepatan dan jarak dari setiap kendaraan yang berangkat dan datang dari garis

henti sampai ke titik konflik, dan panjang dari kendaraan yang berangkat.

21
Gambar 2.2 Titik Konflik Kritis dan Jarak Untuk Keberangkatan dan Kedatangan
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

Untuk menentukan waktu merah semua, digunakan rumus (2.4):

Merah semua Ai = .................................................. (2.4)

Keterangan:

LEV, LAV = Jarak dari garis henti ke titik konflik masing-masing untuk

kendaraan yang berangkat dan yang datang (m)

IEV = Panjang kendaraan yang berangkat (m)

VEV, VAV = Kecepatan masing-masing untuk kendaraan yang

berangkat dan yang datang (m/det)

Nilai-nilai yang dipilih untuk VEV, VAV, dan IEV tergantung dari

komposisi lalu-lintas dan kondisi kecepatan pada lokasi. Nilai-nilai

sementara berikut dapat dipilih dengan ketiadaan aturan di Indonesia akan

22
hal ini.

Kecepatan kendaraan yang datang VAV : 10 m/det (kend. bermotor).

Kecepatan kendaraan yang berangkat VEV : 10 m/det (kend. bermotor).

3 m/det (kend. tak bermotor

misalnya sepeda).

1,2 m/det (pejalan kaki).

Panjang kendaraan yang berangkat IEV : 5 m (LV atau HV).

2 m (MC atau UM).

Apabila periode merah-semua untuk masing-masing akhir fase telah

ditetapkan, waktu hilang (LTI) untuk simpang dapat dihitung sebagai jumlah dari

waktu-waktu antar hijau dengan menggunakan persamaan (2.5) berikut:

LTI = ................................... (2.5)

Panjang waktu kuning pada sinyal lalu lintas perkotaan di indonesia

biasanya adalah 3,0 detik.

2.6.1.4 Penentuan Waktu Sinyal

1. Tipe pendekat terbagi menjadi tipe pendekat terlidung (P) dan tipe pendekat

terlawang (0), pada permasalahan simpang di Cibinong City Mall digunakan

tipe pendekat terlawan (0).

2. Lebar pendekat efektif (We) ditentukan berdasarkan informasi tentang lebar

pendekat (WA), lebar masuk (WMASUK) dan lebar keluar (WKELUAR) dari

Formulir SIG-I (sketsa dan Kolom 8-11) dan rasio lalu lintas berbelok dari

formulir SIG-IV Kolom 4-6. Dalam hal ini simpang Cibinong City Mall

23
jenis pendekat selatan dan barat yaitu pendekat dengan belok kiri langsung

(LTOR), sedangkan pendekat utara tidak memiliki belok kiri(LT)/ belok kiri

lagsung (LTOR).

Perhitungan lebar pendekat efektif ( W e) untuk pendekat dengan belok kiri

langsung. Lebar efektif (WE) dapat dihitung untuk pendekat dengan pulau

lalulintas, penentuan lebar masuk (WMASUK) sebagaimana ditunjukkan pada

bagian kiri dari gambar 2.3 atau untuk pendekat tanpa pulau lalu lintas yang

ditunjukkan pada bagian kanan dari gambar 2.3. Pada keadaan terakhir

WMASUK = WA- WLTOR.

Gambar 2.3 Pendekat dengan dan Tanpa Pulau Lalu Lintas


Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

a. Jika WLTOR≥2m : dalam hal ini dianggap bahwa kendaraan LTOR dapat

mendahului antrian kendaraan lurus dan belok kanan dalam pendekat

selama sinyal merah.

24
Langkah 1: keluarkan lalu lintas belok kiri langsung Q LTOR dari

perhitungan selanjutnya pada Formulir SIG-IV (yaitu Q=QST+QRT)

Tentukan lebar pendekat efektif dengan menggunakan persamaan (2.6)

sebagai berikut:

We = ................................................................ (2.6)

Langkah 2: Periksa lebar keluar (hanya untuk pendekat tipe P)

Jika , We sebaiknya diberi nilai baru sama

denganWKELUAR dan analisa penenuntuan waktu sinyal untuk pendekat

ini dilakukan hanya untuk bagian lalu lintas lurus saja (yaitu Q=Q ST

pada formulir SIG-IV kolom 18).

b. Jika WLTOR<2m : dalam hal ini dianggap bahwa kendaraan LTOR tidak

dapat mendahului antrian kendaraan lainnya dalam pendekat selama

sinyal merah.

Langkah 1: sertakan QLTOR pada perhitungan selanjutnya. Adapun

rumus yang digunakan pada perhitungan We dapat dilihat

pada persamaan (2.7)

We = ............................................... (2.7)

Langkah 2: Periksa lebar keluar (hanya untuk pendekat tipe P)

Jika We sebaiknya diberi nilai baru yang

sama dengan W KELUAR dan analisa penenuntuan waktu sinyal untuk

25
pendekat ini dilakukan hanya untuk bagian lalu lintas lurus saja (yaitu

Q=QST pada formulir SIG-IV kolom 18).

3. Arus jenuh adalah arus yang akan diperoleh seandainya terdapat antrian

kendaraan yang kontinu dan seandainya kendaraan diberi waktu hijau

100%. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), bahwa arus jenuh

(S) dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian dari arus jenuh dasar (S0) yaitu

arus jenuh pada keadaan standar,dengan faktor penyesuaian (F) untuk

penyimpanan dari kondisi sebenarnya.

Nilai arus jenuh dapat dinyatakan dengan menggunakan persamaan (2.8)

sebagai berikut:

S = ........................................................ (2.8)

di mana:

S = Arus jenuh (smp/waktu hijau efektif)

S0 = Arus jenuh dasar (smp/waktu hijau efektif)

FCS = Faktor koreksi arus jenuh akibat ukuran kota (jumlah penduduk)

FSF = Faktor koreksi arus jenuh akibat adanya gangguan samping

FG = Faktor koreksi arus jenuh akibat kelandaian jalan

FP = Faktor koreksi arus jenuh akibat adanya kegiatan perpakiran

dekat

lengan persimpangan

FLT = Faktor koreksi arus jenuh akibat adanya pergerakan belok kiri

FRT = Faktor koreksi arus jenuh akibat adanya pergerakan belok kanan

26
Besar setiap faktor koreksi arus jenuh sangat tergantung pada tipe

persimpangan. Penjelasan lebih rinci mengenai nilai setiap faktor koreksi

arus jenuh bida ditemukan dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997).

Untuk pendekat tipe P (arus terlindung) untuk pendekatan terlindungi arus

jenuh dasar ditentukan sebagai fungsi lebar efektif pendekatan (We) dengan

menggunakan persamaan (2.9) sebagai berikut:

S0 = smp/jam ..................................................................... (2.9)

Gambar 2.4 Arus Jenuh Dasar untuk Pendekat Tipe P.


Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

Untuk pendekat tipe 0 (arus berangkat terlawan)

So ditentukan dari gambar 2.5 (untuk pendekat tanpa lajur belok kanan

terpisah) dan dari gambar 2.6 (untuk pendekat dengan belok kanan terpisah)

sebagai fungsi dari We, QRT dan QRTO.

27
Gunakan gambar-gambar tersebut untuk medapatkan nilai arus jenuh pada

keadaan di mana lebar pendekat lebih besar dan lebih kecil daripada W,

sesungguhnya dan hitung hasilnya dengan interpolasi. Adapun saran

sehubungan dengan penanganan keadaan yang mempunyai arus belok

kanan lebih besar dari pada yang terdapat dalam diagram.

Jika gerakan belok kanan lebih besar dari 250 smp/jam, fase sinyal

terlindung harus dipertimbangkan, artinya rencana fase sinyal harus diganti.

Lajur belok kanan tidak terpisah.

- Jika QRTO > 250 smp/jam

QRT<250: 1. Tentukan Sprov pada QRTO = 250

2. Tentukan S sesungguhnya sebagai

........................ (2.10)

QRT<250: 1. Tentukan Sprov pada QRTO = 250

2. Tentukan S sesungguhnya sebagai

............... (2.11)

- Jika QRTO < 250 smp/jam dan QRT > 250 smp/jam: Tentukan S seperti

pada QRT = 250

Lajur belok kanan terpisah.

- Jika QRTO > 250 smp/jam

QRT<250:1. Tentukan S dari gambar 2.5 dengan extrapolasi.

QRT>250:1. Tentukan Sprov pada QRTO dan QRT = 250

- Jika QRTO < 250 smp/jam dan QRT > 250 smp/jam: Tentukan S dari

gambar 2.5 dengan extrapolasi.

28
Gambar 2.5 Untuk Pendekat-Pendekat Tipe 0 Tanpa Lajur Belok Kanan Terpisah
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

29
Gambar 2.6 Untuk Pendekat-Pendekat Tipe 0 dengan Lajur Belok Kanan Terpisah
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

4. Faktor Penyesuaian

a. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS)

Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), faktor penyesuaian

ukuran kota ditentukan berdasarkan jumlah penduduk kota (juta) yang

akan diteliti.

30
Tabel 2.3 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS)

Penduduk kota (Juta Jiwa) Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS)


>3,0 1,05
1,0-3,0 1,00
0,5-1,0 0,94
0,1-0,5 0,83
<0,1 0,82
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

b. Faktor Penyesuaian Hambatan Samping (FSF)

Hambatan samping merupakan interaksi antara lalu lintas dengan

kegiatan yang terjadi di samping jalan yang mengakibatkan adanya

pengurangan terhadap arus jenuh didalam pendekat.

Tabel 2.4 Faktor Penyesuaian Untuk Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping

dan Kendaran Tak Bermotor (FSF)

Lingkungan Hambatan Rasio kendaraan tak bermotor


Tipe Fase
jalan samping 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25
Terlawan 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70
Tinggi
Terlindungi 0,93 0,91 0,88 0,87 0,85 0,81
Komersial Terlawan 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,71
Sedang
(COM) Terlindungi 0,94 0,92 0,89 0,88 0,86 0,82
Terlawan 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,72
Rendah
Terlindungi 0,95 0,93 0,90 0,89 0,87 0,83
Permukima Terlawan 0,96 0,91 0,86 0,81 0,78 0,72
n Tinggi Terlindungi 0,96 0,94 0,92 0,99 0,86 0,84
Terlawan 0,97 0,92 0,87 0,82 0,79 0,73
Sedang Terlindungi 0,97 0,95 0,93 0,90 0,87 0,85
Terlawan 0,98 0,93 0,88 0,83 0,80 0,74
Rendah Terlindungi 0,98 0,96 0,94 0,91 0,88 0,86

31
Tabel 2.4 Faktor Penyesuaian Untuk Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping

dan Kendaran tak bermotor (FSF)

Rasio kendaraan tak bermotor


Lingkunga Hambatan
Tipe Fase 0,0 0,0 0,1 0,1 0,2 0,
n jalan samping
0 5 0 5 0 25
Akses Tinggi/ Terlawan 1,0 0,9 0,9 0,8 0,8 0,7
terbatas Sedang/ Terlindun 0 5 0 5 0 5
(RA) Rendah g 1,0 0,9 0,9 0,9 0,9 0,8
0 8 5 3 0 8
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

c. Faktor Penyesuaian Kelandaian Jalan (FG)

Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), faktor penyesuaian

kelandaian ditentukan dari Gambar 2.5 sebagai fungsi dari kelandaian

jalan (GRAD) yang tercatat.

Gambar 2.7 Faktor Penyesuaian untuk Kelandaian (FG)


Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

d.

32
d. Faktor Penyesuaian Parkir (Fp)

Faktor penyesuaian parkir (Fp) dapat juga dihitung dari persamaan

(2.12) berikut, mencakup pengaruh panjang waktu hijau:

Fp= ........................................ (2.12)

di mana:

Lp = Jarak antara garis henti dan kendaraan yang di parkir pertama

(m)

atau panjang dari lajur pendekat)

WA = Lebar pendetak (m)

G = Waktu hijau pada pendekat (nilai normal 26 detik)

Gambar 2.8 Faktor Penyesuaian untuk Pengaruh Parkir dan Lajur Belok Kiri yang
Pendek (Fp)
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

33
e. Faktor Penyesuaian Gerakan Belok Kanan (FRT)

Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), faktor penyesuaian

belok kanan (FRT) ditentukan sebagai fungsi dari rasio kendaraan belok

kanan PRT. Dalam menentukan faktor penyesuaian gerakan belok kanan

ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu hanya untuk

pendekatan tipe P, tanpa median, jalan dua arah, lebar efektif ditentukan

oleh lebar masuk. Faktor Penyesuaian Gerakan Belok Kanan (FRT) dapat

di tentukan dengan persamaan (2.13) berikut ini:

FRT = ................................................................... (2.13)

di mana:

FRT = faktor penyesuaian belok kanan

PRT = rasio belok kanan

Faktor penyesuaian belok kanan juga dapat diperoleh nilainya

menggunakan gambar 2.9

34
Gambar 2.9. Faktor Penyesuaian Gerakan Belok Kanan (FRT)
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

f. Faktor penyesuaian belok kiri (FLT)

Faktor penyesuaian belok kiri (FLT) ditentukan sebagai fungsi dari rasio

belok kiri PLT. Faktor penyesuaian belok kiri (F LT) ini hanya untuk

pendekatan tipe P tanpa LTOR, dan lebar efektif nya ditentukan oleh

lebar masuk. Adapun rumus yang digunakan untuk perhitungan Faktor

penyesuaian belok kiri (FLT) dengan menggunakan persamaan (2.14)

FLT = ...................................................................... (2.14)

di mana:

FLT = faktor penyesuaian belok kiri

PLT = rasio belok kiri

Faktor penyesuaian belok kiri juga dapat diperoleh nilainya

menggunakan Gambar 2.9.

Gambar 2.10 Faktor Penyesuaian Gerakan Belok Kiri (FLT)


Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

35
5. Nilai arus jenuh yang disesuaikan

Nilai arus jenuh dapat dinyatakan dengan persamaan (2.15) berikut:

S = ......................................................... (2.15)

di mana:

S = Arus jenuh (smp/waktu hijau efektif)

S0 = Arus jenuh dasar (smp/waktu hijau efektif)

FCS = Faktor koreksi arus jenuh akibat ukuran kota (jumlah penduduk)

FSF = Faktor koreksi arus jenuh akibat adanya gangguan samping

FG = Faktor koreksi arus jenuh akibat kelandaian jalan

FP = Faktor koreksi arus jenuh akibat adanya kegiatan perpakiran

dekat

lengan persimpangan

FLT = Faktor koreksi arus jenuh akibat adanya pergerakan belok kiri

FRT = Faktor koreksi arus jenuh akibat adanya pergerakan belok kanan

6. Rasio arus (FR)

Arus lalu lintas masing-masing pendekat (Q) dari Formulir SIG-II Kolom

13 (arus terlindung) atau kolom 14 (arus terlawan) ke dalam kolom 18 pada

Formulir SIG-IV.

Perhatikan:

a. Jika LTOR harus dikeluarkan dari analisa (lihat langkah C-2, perihal 1-

a)hanya gerakan-gerakan lurus dan belok kanan saja yang dimasukkan

dalam nilai Q untuk diisikan kedalam Kolom 18.

36
b. Jika We = W KELUAR (lihat langkah C-2, perihal 2) hanya gerakan lurus

saja yang dimasukkan dalam nilai Q kedalam Kolom 18.

c. Jika suatu pendekat mempunyai sinyal hijau dalam dua fase, yang satu

untuk arus terlawan (0) dan yang lainnya arus terlindung (P), gabungan

arus lalu lintas sebaiknya dihitung sebagai smp rata-rata berbobot untuk

kondisi terlawan dan terlindung dengan cara yang sama seperti pada

perhitungan arus jenuh sebagaimana diuraikan dalam Langkah C-4

diatas. Hasilnya dimasukkan kedalam baris untuk fase gabungan

tersebut.

- Hitung Rasio Arus (FR) masing-masing pendekat dan masukkan

hasilnya dalam Kolom 19. Adapun rumus yang digunakan untuk

menghitung Rasio Arus (FR) dengan menggunakan persamaan

(2.16)

FR = Q/S....................................................................... (2.16)

- Beri tanda rasio arus kritis (FR crit) (=tertinggi) pada masing-masing

fase dengan melingkarinya pada Kolom 19, dan masukkan hasilnya

ke dalam kotak pada bagian terbawah Kolom 19. Rasio arus simpang

(IFR) dapat di hitung dengan menggunakan persamaan (2.17)

IFR = ............................................................ (2.17)

- Hitung Rasio Fase (PR) masing-masing fase sebagai rasio antara

FRcrit dan IFR, dan masukkan hasilnya pada Kolom 20. Rumus yang

digunakan untuk perhitungan Rasio Fase (PR) dengan menggunakan

persamaan (2.18)

37
PR = FRcrit/IFR ........................................................... (2.18)

Waktu siklus dan Waktu hijau (det)

38
a. Waktu siklus sebelum penyesuaian

Waktu siklus sebelum penyesuaian Volume lalu lintas mempengaruhi

panjang waktu siklus pada fixed time operation. Panjang waktu siklus

akan

mempengaruhi tundaan kendaraan rata-rata yang melewati simpang.

Untuk menentukan waktu siklus sebelum penyesuaian dapat

menggunakan persamaan (2.19) sebagai berikut:

Cua = ........................................................ (2.19)

di mana:

Cua = waktu siklus sebelum penyesuaian sinyal (det)

LTI = waktu hilang total per siklus (det)

IFR = Rasio arus simpang

Jika waktu siklus tersebut lebih kecil dari nilai ini maka ada risiko serius

akan terjadinya lewat jenuh pada simpang tersebut. Waktu siklus yang

terlalu panjang akan menyebabkan meningkatnya tundaan rata-rat. Jika

nilai mendekati atau lebih dari 1 maka simpang tersebut

adalah lewat jenuh dan rumus tersebut akan menghasilkan nilai waktu

siklus yang sangat tinggi atau negatif.

Waktu siklus sebelum penyesuaian juga dapat diperoleh dari gambar

2.10.

39
Gambar 2.11 Penentuan Waktu Siklus Sebelum Penyesuaian
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

Tabel 2.5 dibawah ini memberikan waktu siklus yang disarankan untuk

keadaan yang berbeda.

Tabel 2.5 Waktu Siklus yang Layak

Waktu siklus yang


Tipe pengaturan
layak (det)
Pengaturan dua-fase 40-80
Pengaturan tiga-fase 50-100
Pengaturan empat-fase 80-130
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

b. Waktu hijau

Pada umumnya pembagian waktu hijau pada kinerja suatu simpang

bersinyal lebih peka terhadap kesalahan dari pada panjangnya waktu

siklus. Waktu hijau untuk masing-masing fase dapat dihitung dengan

persamaan (2.20) sebagai berikut:

gi = .................................................................. (2.20)

di mana:

gi = tampilan waktu hijau pada fase i (detik)

40
cua = waktu siklus sebelum penyesuaian (detik)

LTI = waktu hilang total per siklus

PRi = rasio fase

Waktu hijau yang lebih pendek dari 10 detik harus dihindari, karena

dapat mengakibatkan pelanggaran lampu merah yang berlebihan dan

kesulitan bagi pejalan kaki untuk menyeberang jalan.

c. Waktu siklus yang disesuaikan

Hitung waktu siklus yang disesuaikan (c) berdasar pada hijau yang

diperoleh dan telah dibulatkan dan waktu hilang (LTI). Adapun rumus

yang digunakan untuk perhitungan dapat dilihat pada persamaan (2.21).

c = .......................................................................... (2.21)

di mana:

c = waktu siklus yang disesuaikan (c)

7. Kapasitas (det)

Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), perhitungan kapasitas

dapat dibuat dengan pemisahan jalur tiap pendekat, pada satu lengan dapat

terdiri dari satu atau lebih pendekat, misal dibagi menjadi dua atau lebih sub

pendekat. Hal ini diterapkan jika gerakan belok kanan mempunyai fase

berbeda dari lalu lintas yang lurus atau dapat juga dengan merubah fisik

jalan yaitu dengan membagi pendekat dengan pulau lalu lintas

(canalization). Kapasitas (C) dari suatu pendekat simpang bersinyal dapat

pada persamaan (2.22) sebagai berikut:

41
C = .......................................................................................... ( 2.22)

dimana:

C = kapasitas pendekat (smp/jam)

S = arus jenuh (smp/ jam hijau)

g = waktu hijau (detik)

c = waktu siklus

Penentuan Kapasitas pada jalan perkotaan menggunakan persamaan

dibawah ini:

C = ....................................................... ( 2.23)

dimana:

C = Kapasitas (smp/jam)

Co = Kapasitas dasar (smp/jam)

FCW = Faktor penyesuaian lebar jalan

FCSP = Faktor penyesuaian pemisah arah (hanya untuk jalan tak terbagi)

FCSF = Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kereb

FCCS = Faktor penyesuaian kota

8. Derajat Kejenuhan (DS)

Derajat kejenuhan diperoleh dari persamaan (2.24):

DS = ........................................................................ (2.24)

Di mana:

DS = Derajat kejenuhan

Q = Arus lalu lintas (smp/jam)

42
C = Kapasitas (smp/jam)

10. Keperluan perubahan

Jika nilai derajat kejenuhan (DS) lebih tinggi dari 0,75,ini berarti bahwa

simpang tersebut mendekati lewat jenuh, yang akan menyebabkan antrian

panjang pada kondisi lalu lintas puncak. Untuk menambah kapasitas

simpang, perlu tindakan-tindakan diantaranya, pelarangan gerakan belok

kanan, perubahan fase sinyal, penambahan lebar pendekat.

2.6.1.5 Perilaku Lalu Lintas

Tingkat Pelayanan (Level of Service)

US HCM (1994), perilaku lalu lintas diwakili oleh tingkat pelayanan

(LOS) yaitu ukuran kualitatif yang menerangkan kondisi operasional arus lalu

lintas dan penilaiannya oleh pemakaian jalan, pada umumnya dinyatakan dalam

kecepatan, waktu tempuh, kebebasan bergerak, interupsi lalu lintas, keenakan,

kenyamanan, dan keselamatan). Menurut Warpani (2002), tingkat pelayanan

adalah ukuran kecepatan laju kendaraan yang dikaitkan dengna kondisi dan

kapasitas jalan. Ada beberapa aspek penting lainnya yang dapat mempengaruhi

tingkat pelayanan jalan yaitu kenyamanan, keamanan, keterandalan, dan biaya

perjalanan (tarif bahan bakar) (Morlok,1991).

Menurut Tamin (2002), terdapat dua buah definisi tentang tingkat

pelayanan suatu ruas jalan yang perlu dipahami.

1. Tingkat pelayanan (tergantung-arus)

43
Hal ini berkaitan dengan kecepatan operasi atau fasilitas jalan, yang

tergantung pada perbandingan antara arus terhadap kapasitas. Oleh karena itu,

tingkat pelayanan pada suatu jalan tergantung pada arus lalu lintas. Definisi ini

digunakan oleh Highway Capacity Manual, diilustrasikan dengan gambar yang

mempunyai enam buah tingkat pelayanan, yaitu:

a. Tingkat pelayanan A : arus bebas

b. Tingkat pelayanan B : arus stabil (untuk merancang jalan antar kota)

c. Tingkat pelayanan C : arus stabil (untuk merancang jalan perkotaan)

d. Tingkat pelayanan D: arus mulai tidak stabil

e. Tingkat pelayanan E : arus tidak stabil (tersendat-sendat)

f. Tingkat pelayanan F : arus terlambat (terhenti, antrian, macet)

Tabel 2.6 Tingkat Pelayanan

Tingkat Pelayanan Tundaan (det/kendaraan)

A ≤ 5,0

B 5,1-15

C 15,1-25

D 25,1-40

E 40,1-60

F 60

Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia,1997

2.7 REFERENSI PENELITIAN

Beberapa penelitian sebelumnya tentang simpang bersinyal yang

menjadi referensi yaitu:

44
1. Analisis Kinerja Simpang Bersinyal (A.A.N. Jaya Wikrama, 2011).

Simpang Jalan Teuku Umar Barat yang terletak di kawasan Denpasar Barat

memiliki volume lalu lintas tinggi karena merupakan gerbang dari dan menuju

Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Permasalahan pada simpang berupa

lamanya tundaan dan seringnya terjadi kecelakaan. Tujuan penelitian ini adalah

untuk menganalisis kinerja simpang Jalan Teuku Umar Barat-Jalan Gunung Salak

yang ada saat ini dan memberikan alternatif pemecahan masalah yang tepat pada

simpang tersebut. Terdapat 3 alternatif perbaikan yang digunakan dalam

penelitian yaitu alternatif 1- pengaturn ulang lampu lalu lintas dengan multi

program, alternatif 2- kombinasi pelebaran geometrik simpang dengan resetting

multi program, dan alternatif 3- resetting dengan mengalihkan pergerakan di kaki

Selatan. Indikator dalam menilai kinerja simpang dilihat dari tundaan simpang.

Dari 3 alternatif yang dicobakan, maka alternatif 2 merupakan alternatif terbaik.

2. Analisis Kapasitas Dan Tingkat Kinerja Simpang Bersinyal Pada Simpang

Palima (Arief Budiman, Dwi E.Intari, dan Lestari Sianturi, 2016)

Simpang Palima adalah simpang dengan empat lengan yang dilengkapi

dengan sinyal lampu lalu lintas. Simpang yang terletak di kota Serang, Banten ini

menghubungkan antara Jalan Raya Serang-Pandeglang, Jalan Raya Palka, dan

Jalan Syekh Moh. Albantani. Permasalahan pada persimpangan ini yaitu adanya

perkantoran dan Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten sehingga

menimbulkan arus lalu lintas yang cukup padat. Sehingga di persimpangan

tersebut salah satu ruas jalannya yaitu Jalan Raya Pandeglang rencananya akan

dibuat jalur alternatif yang menghubungkan Jalan Raya Pandeglang sampai

45
dengan Jalan Raya Petir, fungsi jalur alternatif ini untuk mengurangi kepadatan

jalan simpang Palima yang bukan hanya dipadati kendaraan pribadi dan

kendaraan umum saja tetapi juga dipadati oleh kendaraan-kendaraan besar.

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kapasitas dan tingkat kinerja

simpang bersinyal di Simpang Palima, mengetahui bagaimana alternatif

pemecahan masalah pada kinerja Simpang Palima. Terdapat 6 alternatif yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu alternatif 1- melakukan koordinasi lampu

hijau, alternatif 2- melakukan perubahan fase, alternatif 3- melakukan pengaturan

ulang sinyal, alternatif 4- melakukan perubahan lebar geometrik, alternatif 5-

melakukan perubahan lebar geometrik dan perubahan fase, dan alternatid 6-

dengan melakukan perubahan lebar geometrik dan pengaturan ulang sinyal. Dari

hasil perhitungan alternatif dan perbaikan yang paling efektif untuk diterapkan

pada jangka pendek yaitu alternatif 1 dan untuk jangka panjang yaitu alternatif 5

yaitu dengan melakukan Perubahan Lebar Geometrik dan Perubahan Fase.

46

Anda mungkin juga menyukai