Anda di halaman 1dari 2

Saksi Mahkota

Saksi Mahkota adalah saksi yang merupakan tersangka/terdakwa dalam


satu perkara yang sama, namun berkas perkara terpisah. Dengan kata lain,
Saksi Mahkota merupakan terdakwa di persidangan lain, yang
memberkedudukan sebagai saksi pada kasus yang sama. Pada dasarnya
penggunaan termin Saksi Mahkota dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia belum diatur, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), maupun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Istilah Saksi Mahkota justru dapat ditemukan dalam praktik Hukum Acara
Pidana, yang salah satunya bersumber dari Putusan Mahkamah Agung RI
No. 1986 K/Pid/1989 tertanggal 21 Maret 1990. Dalam kasus tersebut,
dikarenakan adanya kesulitan untuk mencari saksi untuk dijadikan alat
bukti, maka munculah suatu termin Saksi Mahkota yang merupakan
kesaksian dari tersangka/terdakwa dalam kasus yang sama, namun berkas
perkara yang terpisah. Berikut penjelasannya:
Berdasarkan Pasal 142 KUHAP, dinyatakan sebagai berikut: 

“Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa
tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk
dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap
masing-masing terdakwa secara terpisah.”

Ketentuan tersebut mengatur tentang pemisahan perkara (splitsing) oleh


Jaksa Penuntut Umum. Dalam praktiknya, splitsing dilakukan untuk
memenuhi alat bukti dalam suatu persidangan apabila terdapat kesulitan
untuk mengumpulkan alat bukti. Splitsing menyebabkan beberapa
tersangka dapat diubah statusnya sebagai saksi dalam perkara lain.
Apabila berkas tidak dipisahkan antara satu tersangka dengan lainnya,
kedudukan mereka dalam persidangan akanlah sama, yakni sebagai
terdakwa yang pada dasarnya oleh hukum diberikan hak untuk membela
diri.
Sedangkan, apabila dilakukan splitsing, tersangka satu dapat dijadikan
saksi dalam perkara tersangka lainnya, dan begitu juga sebaliknya.
Sehingga, saksi yang merupakan tersangka dalam persidangan lain ini,
dapat memberikan keterangan dibawah sumpah yang akan memaksa saksi
tersebut untuk mengutarakan yang sebenar-benarnya. Hal ini disebabkan
kedudukanya sebagai saksi yang disumpah, apabila tidak memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya, dapat diancam dengan pidana atas
sumpah palsu.

Justice Collaborator
Justice Collaborator adalah kesediaan yang merupakan inisiatif dari salah
satu pelaku tindak pidana tertentu (yang bukan pelaku utama) untuk
mengakui kejahatan dan membantu pengungkapan suatu tindak pidana
tertentu dengan cara memberikan keterangan sebagai saksi. Termin Justice
Collaborator dapat ditemui dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4
Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower)
dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara
Tindak Pidana Tertentu (“SEMA 4/2011”). Dalam Angka 9 SEMA
4/2011 disebutkan bahwa pedoman untuk menentukan seseorang sebagai
saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) adalah yang
bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu yang
dimaksud dalam SEMA 4/2011 (tindak pidana korupsi, terorisme, tindak
pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang dan
tindak pidana lainnya yang terorganisir dan menimbulkan ancaman
terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat).
Adapun syarat-syarat lain agar seorang pelaku tindak pidana tertentu dapat
ditentukan sebagai Justice Collaborator adalah:

1.    Mengakui kejahatan yang dilakukannya;


2.    Bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut;
3.    Memberikan keterangan saksi dalam proses peradilan.

Keuntungan menjadi Justice Collaborator sesuai Pasal 10A Undang-Undang


Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 13 Tahun 2006, Justice Collaborator
dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan
penghargaan atas kesaksian yang diberikan, yang mana salah satunya
adalah keringanan hukuman.

Anda mungkin juga menyukai