Materi Tun PDF
Materi Tun PDF
MODUL
HUKUM TATA USAHA NEGARA
MATERIIL
DISUSUN OLEH :
TIM PENYUSUN MODUL
BADAN DIKLAT KEJAKSAAN R.I.
BAB I PENDAHULUAN
i
B. TOLAK UKUR PENGGUNAAN FREIS- ERMESSEN .............................. 27
A. PERLUASAN KOMPETENSI...................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apa yang dimaksud dengan hukum TUN materiil? Indroharto, SH memberikan definisi:
Hukum TUN materiil dapat digambarkan sebagai norma-norma hukum yang sangat
perlu diperhatikan oleh para badan atau jabatan TUN di dalam hubungannya
dengan warga masyarakat pada waktu melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya.
Norma-norma hukum TUN material itu merupakan norma-norma hukum yang
menentukan apa yang wajib, apa yang boleh serta apa yang justru dilarang
dilakukan oleh para badan atau jabatan TUN di dalam pelaksanaan tugas
pemerintahannya sehari-hari. (Indroharto: 2002, 30).
Bahwa dengan demikian hukum TUN materiil mengandung norma-norma hukum yang
menjadi landasan bagi badan atau pejabat TUN di dalam melaksanakan tugasnya. Badan
atau pejabat TUN wajib melaksanakan tugas berdasarkan apa yang sudah ditentukan dan
sebaliknya menghindari apa-apa yang dilarang. Pelanggaran terhadap ketentuan hukum
TUN materiil oleh badan/pejabat TUN dapat berakibat digugatnya badan/pejabat TUN.
Salah satu tugas dan fungsi dari JAM DATUN adalah mewakili negara dan pemerintah
dalam hal ini badan atau pejabat tata usaha negara di dalam dan di luar pengadilan tata
usaha negara dalam rangka menjaga kewibawaan negara/pemerintah sebagaimana
ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38
Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI sebagaimana diubah dengan
Perpres Nomor 29 Tahun 2016 yang dilaksanakan oleh Direktorat Tata Usaha Negara
pada JAM DATUN, Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara cq Kepala Seksi Tata Usaha
Negara untuk tingkat Kejaksaan Tinggi dan Kepala Seksi DATUN untuk tingkat
Kejaksaan Negeri.
Untuk mempersiapkan jaksa-jaksa (pengacara negara) yang akan mewakili badan atau
pejabat tata usaha negara di dalam Pengadilan TUN agar dapat menangani perkara
dengan baik maka dalam diklat ini peserta diklat diberikan materi mengenai hukum
TUN materil yang dapat membekali peserta diklat dengan pengetahuan dan kemampuan
dasar yang berkenaan dengan penyelenggaraan kekuasaan negara, hubungan antara
warga negara dengan administrasi negara (penguasa negara), sumber hukum, materi dan
objek hukum administrasi negara, sumber wewenang dan perbuatan administrasi negara,
yang sebagiannya tertuang di dalam modul hukum TUN materiil ini.
Dengan mempelajari modul ini peserta diklat diharapkan dapat memahami hukum TUN
materiil sebagai pedoman dalam menangani perkara TUN di Peradilan TUN.
D. Indikator Keberhasilan
Dengan memahami hukum TUN materiil peserta diklat diharapkan mampu
menyelesaikan sengketa TUN baik secara preventif maupun represif.
a. Wajib dilakukan.
Melaksanakan tugas-tugas pemerintahan berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang
baik.
b. Apa yang boleh dilakukan, yaitu deskresi/descretion, freis-Ermessen,
c. Apa yang dilarang dilakukan
1. Perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad)
2. Perbuatan melawan undang-undang (onwetmatige overheidsdaad)
3. Perbuatan yang tidak tepat (onjuist)
4. Perbuatan yang tidak bermanfaat (ondoelmatig)
5. Perbuatan menyalahgunaan wewenang (detournementdu pouvoir)
6. Perbuatan sewenang-wenang (willekeur)
Norma HAN tidak tertulis masih menjadi bahan diskusiantara para ahli Hukum Tata
Administrasi Negara, namun yang jelas norma HAN tidak tertulis itu pada dasarnya adalah
Badan atau Pejabat TUN dalam melaksanakan tugas-tugasnya harus tetap memperhatikan asas-
asas umum pemerintahanyang baik yang meliputi:
a. Asas kepastian hukum
b. Asas keseimbangan
c. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan pangreh
d. Asas bertindak cermat
e. Asas motivasi untuk setiap keputusan
f. Asas jangan mencampuradukan kewenangan
g. Asas permainan layak
Bagan 3
Pengertian dasar TUN, hanya diatur secara sumir dalam UU No. 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara jo UU No. 9 Tahun 2004 , yaitu dalam pasal 1 sampai dengan
pasal 3.
Hukum TUN Materiil | 5
Pasal 1 ayat (1) UU N0 5 tahun l986j0 UU No 9 Tahun2004 mengatakan “Administrasi
Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan di pusat maupun di daerah”. Dari ketentuan pasal ini dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Tata Usaha Negara sama dengan Administrasi Negara, oleh karena itu Undang-Undang No.
5 Tahun 1986 disebutjuga UU Peradilan Administrasi Negara (yang telah diubah dengan UU
No. 9 tahun 2004)
2. Tata Usaha Negara atau Administrasi Negara adalah fungsi atau tugas untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negara;
3. Hukum Tata Usaha Negara Material atau Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan
aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan (negara),
atau dengan singkat dapat disebut dengan hukum pemerintahan (negara).
Hukum Administrasi Negara, adalah keseluruhan dari peraturan dan ketentuan publik,
ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam mengatur administrasi atau tata usaha negara
yang dipercayakan pada lembaga-lembaga atau badan pemerintah.
Pengertian lain tentang Hukum Administrasi Negara(HAN) adalah keseluruhan unsur
administrasi negara yang meliputi struktur kelembagaan negara (perlengkapan negara,HAN
Heteronom/In Abstracto, dalam keadaan diam), sedangkan proses penyelenggaraan negara
termasuk proses penciptaan hukumnya, sehingga negara dapat berfungsi dalam menjalankan
tugas pemerintahan umum dan pembangunan secara tertib dan berkeadilan, dalam mewujudkan
tujuan berbangsa dan bernegara, baik dalam konteks nasional maupun Internasional (HAN
Otonom. HAN Inconcreto, dalam keadaan bergerak).
Pada awalnya yaitu sebelum abad ke 19 Hukum Administrasi Negara, masih merupakan
bagian dari hukum publik yang dikenal sebagai Hukum Tata Negara (HTN) (dalam arti luas)
yang mana dalam HTN itu ada HTN dan HAN.
HTN dalam arti luas adalah keseluruhan kaidah dan norma-norma hukum yang
mengatur bagaimanakah suatu negara harus dibentuk, diatur, diselenggarakan, termasuk badan-
badan pemerintahan, lembaga-lembaga negara, juga peradilannya.
Sesudah abad ke 19 Hukum Administrasi Negara terpisah dari HTN, pemisahan ini
disebabkan adanya pengaruh:
1. Renaissance atau disebut dengan kebangkitan kembali/bangun kembali yang timbul pada
Waktu itu (abad 15, dan17) yang merubah cara berpikir abad pertengahan ke jaman modern
Hukum TUN Materiil | 6
dengan segala gejala yang timbul, yang membawa perubahan besar pada ilmu pengetahuan
dan kesenian.
2. Dari pengaruh berpikir modern ini timbul pikiran-pikiran mengenai negara hukum modern
atau Welfare State padaakhir abad ke 19 dimana pemerintah ikut campur dalam segala
lapangan kehidupan masyarakat bangsa atau yang menyangkut kesejahteraan rakyat.
Akibatnya banyak dibuat perundang-undangan sosial (Sociale Wetgeving) yang makin lama
makin banyak, yang akibatnya pada pembentukan Hukum Administrasi yang banyak. (Dapat
diperhatikan, kita sudah kena peraturan sejak lahir sampai dengan mati, sejak akte kelahiran
lahir sampai dengan surat kematian)
Kedua pengaruh inilah yang menjadikan HAN dewasa dan melepaskan diri dari Hukum
Tata Negara. (Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, 1990).
Hukum Administrasi Negara di Indonesia, tumbuh dan berkembang dengan cepat disebabkan
antara lain:
1. Pertumbuhan penduduk yang pesat, telah mencapai lebih 210 juta jiwa;
2. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diterapkan dalam bidang industri
(otomotif, makanan danminuman, obat-obatan)
3. Situasi krisis ekonomi (moneter), Krisis ekonomi: seringkali terjadi persediaan barang
kebutuhan pokok yang berfluktuasi (beras, gula, minyak goreng, BBM, DOC yang rendah
harganya, harga pupuk atau semen yang melambung) dan dapat terjadi fluktuasi suku bunga
bank, nilai tukar uang dll.
4. Bencana alam: berkaitan dengan lingkungan hidup, banjir, pencemaran lingkungan, kemarau
panjang, gempa bumi, tsunami, angin puyuh dll.
5. Perubahan sikap masyarakat terhadap fungsi negara. Keinginan masyarakat dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat, bantuan terhadap fakir miskin, pemeliharaan
kesehatan rakyat, perbaikan pemukiman, dan penyediaan air bersih.
Pada hakekatnya pertumbuhan Hukum Administrasi Negara berkaitan erat dengan
peranan negara yangberlandaskan pada tipe negara dan tujuan dari negara yang
bersangkutan.
Dalam era pembangunan yang melanda dunia saat ini, negara berperan sebagai agen
pembangunan atau “agen of development” yang mempercepat perkembangan HAN dengan
pesat.
Perkembangan HAN sebagai pabrik hukum negara, akan melindungi para warga
masyarakat, apakah ia sebagai warga masyarakat biasa atau sebagai pengusaha. Sebagai
konsekwensi logisnya, maka harus dibentuk Peradilan Administrasi / Peradilan Tata Usaha
sebagai kelengkapan usaha pemerintah dalam melindungi masyarakatnya.
Ilmu Hukum
Hk Publik Hk Privat
HTN Hk Hk Hk
Arti Luas Pidana Perdata Dagang
HTN HTUN
Sesudah Abad 19
Ilmu Hukum
Hk Publik Hk Privat
HTN Hk HAN Hk Hk
Pidana Perdata Dagang
Material Formal
Indonesia sejak tahun 1986 telah memiliki PeradilanTata Usaha Negara berdasar
Undang-Undang No. 5 Tahun1986 yang telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai Peradilan Administrasi yang berdiri sendiri lepas dari
peradilan umum, Peradilan ini khusus untuk mengadili perkara administrasi (dual system
ofcourt).
Pasal 10 ayat (l) Undang-Undang No. 4 Tahun2004 Tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing
Hukum TUN Materiil | 8
mempunyai lingkungan wewenang mengadili perkara-perkara tertentu, dan meliputi Badan-
badan peradilan/pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Peradilan Tata Usaha Negara, bersama-sama denganPeradilan Agama dan Peradilan
Militer merupakan peradilan khusus mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai
golongan tertentu.Sedangkan Pengadilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya,
baik mengenai perkara pidana, maupun perkara perdata. Keempat lingkungan peradilan
tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Hukum Administrasi Negara, sebagai suatu hukum, mempunyai sumber hukum yang
dijadikan pedoman dalam menyusun aturan-aturan yang akan dibuat, demikian juga ia
mempunyai materi-materi yang terbagi dalam bidang-bidang administrasi, dan mempunyai
Objek sebagai hal yangharus diperhatikan pejabat Administrasi Negara/Tata Usaha Negara
dalam menjalankan tugasnya.
Setiap negara modern, mengatakan bahwa sumber hukum administrasi negara adalah
setiap dokumen atau sesuatuyang oleh negara diakui sebagai sumber sah dari hukum positif
Sumber utama dari hukum modern ialah Undang-UndangDasar (Konstitusi)/Undang-Undang
dan setiap KeputusanPemerintah yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah yang
mempunyai kekuatan sebagai undang-undang, artinya secar amateri dan formalitas memenuhi
syarat sebagai peraturan yangtidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar / Undang-
Undang yang lebih tinggi, bersifat umum, bersifat impersonal (tidak mengenal orang/tidak
membeda-bedakan orang) dan imperatif (mempunyai kekuatan memaksa).
1. Hukum Tertulis
Setiap peraturan perundangan yang mengatur tentang wewenang Badan atau Pejabat TUN
untuk melakukan tindakan-tindakan hukum TUN dan yang mengatur tentang kemungkinan
untuk menggugat tindakan TUN yang bersangkutan.
a. Peraturan perundangan TUN yang bersifat umum yang berisi ketentuan yang mengatur
tentang bentuk dan isi tindakan hukum TUN serta hubungan-hubungan hukum yang
dilahirkan pada umumnya.
b. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, yang memberikan wewenang
kepada Badan dan Jabatan TUN untuk melakukan tindakan-tindakan hukum TUN dalam
mengurus dan mengatur suatu bidang kehidupan dalam masyarakat.
2. Hukum Tidak Tertulis Atau Hukum Kebiasaan yang diakuidan dilaksanakan masyarakat
hukum adat (usance) Sumber hukum ini berkembang dalam teori hukum dan yurisprudensi
pemerintahan maupun peradilan.
Contoh hukum tak tertulis : Tiga Tungku Sajarangan, Dalihan Na Tolu, Hak-hak Tanah
secara Adat/Hak Ulayat
Hukum TUN Materiil | 10
Selain sumber hukum tertulis dan tidak tertulis ada yang mengemukakan dua sumber
HAN, sebagai berikut:
Ada dua sumber HAN yaitu:
1. HAN Heteronom (Inabstracto) yang meliputi:
a. Konstitusi/UUD
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
c. Perjanjian/Traktat Internasional
d. Yurisprudensi
HAN heteronom seringkali disebut sebagai hukum yang mengatur negara dalam keadaan
diam. Artinya hukum inimengatur seluk beluk administrasi negara sebagai hukum yang
imperatif (wajib ditaati oleh pejabat Tata Usaha Negara, karena ia merupakan hukum diatas
administrasi negara), pembentukan Iembaga-lembaga negara dengan segala tugas pokok dan
fungsinya.
Indonesia menetapkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara, sebagai falsafah negara, inilah
yang disebut sebagai HAN Heteronom.
Dalam menyusun materi HANN dibagi menjadi beberapa bidang yang masing-rnasing
bidang, dapat terdiri dari berbagai peraturan yang merupakan hukum bagi masing-masing
bidang. Bidang-bidang tersebut:
Dasar atau prinsip dari Administrasi Negara, dan Syarat yuridis yang harus dipenuhi
organisasi administrasi:
1. Asas dan syarat hukum yang harus dipenuhi dalam menjalankan kegiatan.
2. Sarana dan sumber daya yang secara sah dapat dipergunakan oleh administrasi negara dan
cara serta syarat hukum yang harus dipenuhi agar penggunaannya sah.
A. Sumber Wewenang
Kewenangan (authority gezag) adalah kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari
legislatif (diberi olehundang-undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif Administratif. Di dalam
kewenangan terhadap wewenang-wewenang (rechtsbevoegdheden).
Wewenang (competence, bevoegheid) adalah kekuasaan untuk melakukan tindakan
hukum publik, misalnya wewenang menandatangani/menerbitkan surat-surat izin dari seorang
pejabat atas nama Menteri, sedangkan kewenangan tetap berada di tangan Menteri.
Administrasi Negara dalam menjalankan pemerintahan diberi wewenang tertentu dalam
hal perbuatan pemerintahan tertentu.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 9 Tahun 2004 memberikan rumusan “berdasarkan
aturan perundang-undangan yang berlaku”.
Selain mengandung makna untuk keabsahan (dasar legalitas) dari setiap perbuatan
pemerintaan, yang dilakukan oleh para Badan / Pejabat TUN, yang menunjukkan bahwa hanya
peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang menjadi sumber hukum yang
memberikan wewenang pemerintahan yang dimiliki Badan atau Pejabat TUN.
Kemungkinan Badan atau Pejabat TUN untuk memperoleh Wewenang pemerintahan
dapat terjadi karena:
1) Atribusi: kewenangan yang diberikan oleh pembuat undang-undang itu sendiri kepada
organ pemerintah yang sudah ada maupun yang baru sama sekali. Atribusi mengandung
pemberian wewenang.
Pembuat undang-undang/legislator yang memberikan atribusi wewenang pemerintah
dibedakan:
1) Yang berkedudukan sebagai original legislator
MPR sebagai pembuat konstitusi/UUD dan DPR bersama-sama Pemerintah sebagai
pembuat undang-undang, DPRD dan Pemda sebagai pembuat Perda.
Misalnya:
l. Pasal 5 ayat (l) Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden
untuk membuat Undang-Undang dengan persetujuan DPR.
2. Kewenangan Direktur Jenderal HAKI Departemen Hukum dan HAM dalam
memberikan Hak Merek kepada seseorang / badan swasta. Kewenangan ini diperoleh
berdasarkan pasal 7 Undang-Undang Nol5 Tahun 2001 Tentang Merek.
2. Delegasi yaitu kewenangan tersebut diperoleh dari organ pemerintah yang lain, yang
memiliki kewenangan tersebut berdasarkan undang-undang. Delegasi mengandung suatu
pelimpahan Wewenang, yaitu apa yang semula menjadi kewenangan organ pemerintah lain,
dilimpahkan kepada organ pemerintah lainnya (misalnya Pemda). Dalam delegasi terjadi
perubahan distribusi Wewenang.Delegasi selalu didahului oleh adanya kewenangan
atribusi. Dalam hal ini penting diperhatikan bahwa pada waktu Badan atau Pejabat TUN
mengeluarkan suatu keputusan yang berisi suatu pendelegasian Wewenang, apakah
berdasarkan suatu wewenang pemerintah atributif yang sah atau tidak. Dari sini dapat
diambil kesimpulan hanya pendelegasian yang sah saja yang dapat memberikan
kemungkinan Badan atau Pejabat TUN mengeluarkan suatu keputusan TUN yang sah.
Pada kenyataannya ada wewenang yang didelegasikan mungkin mengandung suatu
kekurangan, misalnya:
Wewenang tersebut memang tidak dapat didelegasikan;
Delegasi memang dimungkinkan, tetapi tidak pernah diberikan;
Delegasi memang dimungkinkan tapi tidak dilakukan dengan Cara yang tepat.
3. Mandat, dalam hal suatu organ pemerintahan yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan tindakan pemerintahan, yang dalam kenyataannya ia tidak dapat melakukan
sendiri, maka organ tersebut dapat menyerahkan kepada pejabat bawahannya untuk atas
namanya melakukan tindakan itu. (atau dikenal dengan dekonsentrasi).
Misalnya :
1. Antara Jaksa Agung dengan para Jaksa Agung Muda, dimana Jaksa Agung (mandans)
menugaskan Jaksa Agung Muda Pidum, JAM Pidsus, JAM Datun, JAM Bin untuk dan
atas nama Jaksa Agung melakukan suatu tindakan hukum tertentu Serta mengeluarkan
keputusan-keputusan Tata Usaha Negara tertentu.
2. Antara Kepala LAN dengan Sekretaris Utama dan para Deputinya, dimana Kepala LAN
(mandans) menugaskan Sekretaris Utama dan Deputinya untuk dan atas nama Kepala
LAN melakukan tindakan hukum tertentu serta mengeluarkan keputusan-keputusan Tata
Usaha Negara.
Administrasi Negara dalam arti luas adalah administrasi pemerintahan yang meliputi
lembaga-lembaga negara dan jabatan negara. Sedangkan administrasi negara dalam arti sempit
adalah administrasi pemerintahan yang hanya meliputi lembaga eksekutif beserta birokrasinya.
Ada juga yang mengatakan bahwa Administrasi Negara dalam arti luas adalah kegiatan
kerjasama seluruh Aparat Pemerintah (proses kenegaraan) berdasarkan garis-garis besar, atas
kesepakatan yang telah ditetapkan, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Administrasi (Belanda) dalam arti luas meliputi pemerintahan, dalam arti sempit
meliputi ketata-usahaan (Surat menyurat, kearsipan).
1. Perbuatan hukum bukan hukum/non juridis, yaitu perbuatan pemerintah yang tidak
berakibat hukum atau perbuatan pemerintah yang didasarkan pada fakta-fakta (Feitelijke
handeling), misalnya perbuatan pemerintah dalam peresmian gedung pemerintah,
pembukaan jembatan dan jalan raya, peresmian pabrik PMA/PMDN, menerima surat
kepercayaan Duta Besar Negara sahabat, Gubernur DKI Jakarta membuka PRJ), perbuatan
ini bersifat seremonial, yang tidak menimbulkan akibat hukum.
2. Perbuatan Yuridis (berdasar hukum, rechts handeling), yaitu perbuatan pemerintah yang
mengakibatkan hukum.(ini yang penting bagi pemerintah)
Yaitu perbuatan yang diadakan oleh alat-alat kelengkapan negara atau pemerintah menurut
suatu wewenang istimewa yang diberi nama beschikking atau disebut penetapan
(beschikking handeling).
Dikatakan sepihak karena dilakukan atau tidaknya suatu tindakan yang memiliki kekuatan
hukum tersebut, pada akhirnya tergantung kepada kehendak sepihak dari Badan atau Jabatan
TUN yang memiliki Wewenang pemerintahan untuk berbuat demikian.
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau pemerintah didalam
mengadakan hubungan hukum dengan subjek hukum lainnya.
PERBUATAN ADMINISTRASI
NEGARA
W.F. Prins dalam bukunya Inleiding in het Administratief van Indonesia mengatakan
sebagai berikut:
“Ketetapan ialah tindakan pemerintah yang sepihak dalam pemerintahan, dilakukan oleh alat
perlengkapan Negara berdasarkan kewenangannya yang khusus ".
Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa ketetapan itu mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut:
Ketetapan tidak hanya dibuat oleh organ eksekutif saja akan tetapi juga dapat dibuat oleh
organ legislatif dan judikatif:
b. Organ Judikatif: ketetapan tentang Wali anak, Wali hakim, atau akhli Waris
Ketetapan yang menimbulkan hak dan kewajiban. Dalam ketetapan ini ada formalitas-
formalitasnya yaitu:
a. dalam hal penolakan sebagian dari permohonan (ketetapan negatif), harus diberikan
alasan-alasannya.
b. dalam hal mengadakan ketetapan yang bersifat umum diperlukan adanya pengumuman
(publicatie)
Misalnya: Pengumuman dalam Berita Negara tentang route Kopaja S-68, route maskapai
penerbangan Kartika/ Garuda/ Lion Air.
Ketetapan yang dikeluarkan oleh organ pemerintah tidak hanya oleh eksekutif akan tetapi
juga oleh organ judikatif dan legislatif karena kewenangannya.
Misalnya : Keppres yang menetapkan Sdr ABC sebagai Duta Besar Luar Biasa di suatu
negara sahabat.
Misalnya: Presiden melakukan pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum
(Misalnya: pelebaran jalan, mendirikan fasum/fasos) (onteigeningen algemene nutte).
(Perpres No 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum yang diubah dengan Perpres 65 tahun 2006).
Pada ketetapan ini maka kehendak dari pemerintahditempatkan pada titik sentral dan
merupakan unsur primer, sedangkan orang yang bersangkutan merupakan unsur sekundair
1. Bestuurhandeling
(tindakan pemerintah)
a. penolakan
2. Rechtshandeling b. befsifat umum
(tindakan hukum) c. 218 KUHP
d. memberi akibat hukum
Ketetapan
Penjelasan Pasal 53 ayat (2) angka 2 Undang-Undang N0 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara menyatakan “dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak
berwenang”.
a. Onbevoegdheid ratione materile; yaitu tidak berwenang karena materi keputusan dibuat oleh
organ atau badan atau pejabat lain, yang materi muatannya bukan merupakan bagian dari
kewenangannya (menyangkut kompetensi absolut). Keputusan yang seperti ini adalah batal
(nietig atau Vemientigbaar) atau batal demi hukum (ex-tunc). Akibat hukum yang
ditimbulkan tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada.
b. Onbevoegdheid ratione loci, keputusan yang dibuat oleh organ / badan / pejabat yang tidak
berwenang karena diluar kewenangan lingkup Wilayah haknya (resort). Akibatnya
keputusan ini batal menurut hukum. Hal ini menyangkut kompetensi relatif.
c. Onbevoegdheid ratione temporis, artinya tidak berwenang karena telah lewat waktu yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan yang menjadi dasarnya dan harus menurut
prosedur pembuatannya (rechtmatige).
a. Prosedur dan cara pembuatannya, harus diikuti, kalau tidak maka keputusan dinyatakan
batal.
b. Bentuk keputusan dapat dibedakan antara keputusan tertulis dengan keputusan lisan
(mondeling). Biasanya keputusan tertulis dibuat untuk hal-hal yang penting, dan
keputusan mondeling dibuat untuk hal-hal yang sederhana, tidak penting, dan mendesak.
Penipuan (bedrog)
Hukum TUN Materiil | 20
Paksaan (dwang) atau sogokan (omkoping)
Kesesatan (dwaling) atau kekeliruan / khilaf.
d. Isi dan tujuannya harus sesuai dengan Isi dan Tujuan Peraturan dasarnya (doelmatige).
Adakalanya suatu keputusan / ketetapan dinyatakan tidak sah, keputusan yang tidak sah
(niet recht gelding beschikking) itu dapat berupa:
Keputusan yang batal (nietig), afrinya bagi hukum, akibat dikeluarkannya keputusan itu
dianggap tidak pernah ada.
Keputusan yang batal demi hukum (nietig van rechtwage) tidak sah, ex-tune, artinya bagi
hukum akibat dari dikeluarkannya ketetapan tersebut, untuk sebagian atau seluruhnya
dianggap tidak ada, tanpa diperlukan adanya keputusan Hakim atau Badan atau Pejabat TUN
yang mempunyai wewenang untuk menyatakan batalnya ketetapan yang dimaksud.
Keputusan yang batal mutlak (Absolut nietig), yaitu bagi hukum akibat dikeluarkannya
ketetapan itu dianggap tidak pernah ada.
Keputusan yang batal nisbi (Relatiefnietig), yaitu apabila keputusan hanya dapat dituntut
oleh orang tertentu saja.
Keputusan yang dapat dibatalkan (Vemietigbaar), artinya bagi hukum akibat dikeluarkannya
ketetapan tersebut dianggap masih ada atau sah sampai saat dibatalkannya oleh Hakim atau
Badan atau Pejabat TUN yang mempunyai wewenang menyatakan pembatalan.
Tidak semua tindakan Administrasi Negara dapat dikategorikan sebagai tindakan TUN.
Pasal 2 UU 5/1986 jo UU No 9 tahun 2004 beserta penjelasannya menentukan beberapa
tindakan Administrasi Negara yang bukan tindakan TUN yaitu:
4. Kep TUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP atau KUHAP atau peraturan
perundangan yang bersifat pidana;
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil
pemilihan umum.
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
(Pasal 7 ayat (1) UU N0 10 Tahun 2004)
Keputusan adalah istilah Belanda artinya “besluit” yaitu pernyataan kehendak instansi
pembuat undang-undang.
Besluit dapat berarti Regeling yaitu keputusan yang bersifat mengatur, sedangkan
besluit yang berarti Beschiking yaitu keputusan yang bersifat menetapkan.
D. Macam-Macam Ketetapan
1. Ketetapan Positif: yaitu ketetapan yang menimbulkan hak dan kewajiban. Ketetapan ini
dibagi dalam lima kategori yaitu:
2. Ketetapan Negatif: ketetapan yang membuat reaksi atas suatu permintaan / permohonan atau
usul dan yang dapat merupakan:
Izin (vergunning). Adalah penetapan yang merupakan dispensasi dari suatu larangan.
Biasanya peraturannya berbunyi “Dilarang tanpa izin mendirikan bangunan”.
Misalnya: lzin Mendirikan Bangunan
Lisensi: adalah ijin untuk melakukan sesuatu yang bersifat komersiil Serta
mendatangkan keuntungan ataulaba. Lebih tepat digunakan dalam hal menjalankan suatu
perusahaan dengan leluasa, sehingga tidak ada gangguan lainnya termasuk Pemerintah
sendiri.
Misalnya: SIUP, SITU, HO, WDP, Izin bagi perusahaan yang memproduksi barang
dengan merk tertentu, membuat perusahaan eksport / import
Konsensi : Penetapan Administrasi Negara yang secara yuridis sangat kompleks karena
merupakan seperangkat dispensasi-dispensasi, izin-izin, lisensi-lisensi, disertai dengan
pemberian semacam Wewenang pemerintah.(Prajudi Atmosudirjo hal 98)
Diberikan kepada pihak swasta/perusahaan yang cukup besar, balk dalam arti modal, tenaga
kerja, lahan atau wilayah usaha, memperoleh delegasi dari Pemerintah untuk melakukan
sebagian pekerjaan atau tugas yang seharusnya dilaksanakan pemerintah.
Konsensi tidak mudah diberikan karena banyak mengandung bahaya antara lain:
penyelundupan, perusakan bumi dan kekayaan alam, dan kadang-kadang merugikan
masyarakat setempat yang bersangkutan.
Misalnya: Kewajiban membayar fiskal luar negeri bagi mereka yang akan mengadakan
perjalanan ke luar negeri,
b. Ketetapan negatif
Yaitu ketetapan yang mempunyai kekuatan hukum yang berlangsung lama atau sebentar.
Misalnya undang-undang yang mengatur masalah tertentu (UUPA, UU PT, UU Merk,UU
Hak Cipta, UU Paten, UU Gangguan)
Yaitu ketetapan yang mengakibatkan perubahan sesaat, setelah dikeluarkan yang kemudian
selesai, misalnya ketetapan mengenai pembahan suatu undang-undang.
KEBEBASAN BERTINDAK
Pasal 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo No. 9 Tahun 2004 menentukan bahwa
badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, Badan atau Pejabat negara
yang melaksanakan rumusan pemerintahan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Namun pada kenyataannya, tidak semua kasus posisi dalam masyarakat telah diatur
oleh peraturan perundang-undangan, karena luasnya urusan pemerintahan, dan bahwa setiap
peraturan perundang-undangan tidak akan mungkin dapat memperhitungkan urusan
pemerintahan yang akan datang.
Istilah freies - Ermessen berasal dari bahasa Jerman. Kata freies adalah derifatif dari frei
dan freie yang artinya bebas, merdeka, tidak terikat, lepas dan orang bebas. Sedangkan kata
Ermessen mengandung arti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan
dan keputusan (AdolfHeuken, Kamus Jerman - Indonesia, Gramedia, Jakarta1987).
Dari rumusan kamus tersebut, maka secara etimologikata freies - Ermessen mempunyai
arti “orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas
mengambil keputusan”.
Selain istilah freies - Ermessen, ada kata yang sepadan dengan itu yaitu “pouvoir
discretionaire” yang mempunyai arti: menurut kebijaksanaan dan sebagai kata sifat yang berarti
menurut Wewenang dan kekuasaan.
Dengan demikian kebebasan bertindak dapat dirumuskan sebagai kebebasan dari badan
atau pejabat TUN yang dimungkinkan oleh hukum dan yang dapat dipertanggungjawabkan
Kebebasan bertindak itu sendiri sesungguhnya merupakan conditio sine quanon yang
diberikan kepada Badan atau Pejabat TUN dalam melaksanakan urusan pemerintahan.
Kebebasan bertindak, bukan kebebasan tanpa dasar hukum, tetapi kebebasan yang
rnasih tetap atas dasar hokum atau yang dimungkinkan oleh hukum.
2) Tidak melanggar hak dan kewajiban asasi Warga masyarakat (negara), serta
1) Peraturan kebijaksanaan dibuat oleh badan atau Pejabat TUN saja, sedangkan peraturan
perundang-undangan dibuat oleh Badan pembuat peraturan Perundang-undangan, misalnya
UU dibuat oleh DPR bersama-sama dengan Presiden, PP dibuat oleh Presiden, Perda
dibuat oleh DPRD dengan Pemda.
2) Dasar pembuatan peraturan kebijaksanaan adalah kebebasan bertindak atau freies
Ermessen yang dipunyai Badan atau Modul Hukum Administrasi Negara Pejabat TUN,
sedangkan peraturan perundang-undangan adalah wewenang untuk membuat peraturan
perundang-undangan.
3) Peraturan Kebijaksanaan tidak mempunyai tata urut perundang-undangan
Terdapat suatu urusan pemerintahan yang belum diatur oleh suatu peraturan perundang-
undangan, akan tetapi urusan pemerintahan tersebut perlu segera diatur demi kelancaran
pelaksanaan urusan pemerintahan dan Badan atau Pejabat TUN.
Terdapat suatu urusan pemerintahan yang sudah diaturoleh peraturan perundang-
undangan, tetapi peraturan perundang-undangan yang mengurus pemerintahan tidak jelas
atau masih memerlukan penjabaran lebih lanjut mengenai prosedur teknis yang harus
dilalui.
Di dalam UU Peradilan TUN diatur bahwa untuk menyelesaikan Sengketa TUN dapat
dilakukan dengan 2 macam cara yaitu :
1. Melalui Upaya Administrasi (vide Pasal 48 jo. Pasal 51 ayat 3 UU Peradilan TUN)
2. Melalui Gugatan (vide Pasal 1 angka 11 jo. Pasal 53 UU Peradilan TUN)
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan
Sengketa TUN oleh seseorang atau Badan Hukum Perdata apabila ia tidak puas terhadap
suatu Keputusan Tata Usaha Negara dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh
atau berdasarkan peraturan perundang-undanqan untuk menyelesaikan secara
administratif Sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka Sengketa Tata Usaha
Negara tersebut.”
1. Banding Administratif
Banding Administratif adalah upaya admisistratif dimana penyelesaiannya dilakukan
instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan.
Contoh :
2. Keberatan
Keberatan adalah upaya admisistratif dimana penyelesaiannya dilakukan sendiri oleh
Hukum TUN Materiil | 30
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu.
Apakah terhadap suatu Keputusan TUN terbuka atau tidak terbuka kemungkinan untuk
ditempuh suatu Upaya Administrasi dapat dilihat dari ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan TUN yang
bersangkutan.
Apabila seluruh prosedur dan kesempatan upaya administratif telah ditempuh dan pihak
yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, maka barulah persoalannya dapat
digugat dan diajukan ke Pengadilan.
Dari Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) beserta penjelasan Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) UU
Peradilan TUN jo Romawi IV angka 2 SEMA Nomor 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Apakah suatu Sengketa TUN dapat diselesaikan melalui upaya administratif atau
tidak, tergantung pada peraturan perundang-undangan yang sebagai dasar menerbikan
Keputusan TUN tersebut.
2. lstilah upaya admlnistratif ada dalam UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU NO 9 Tahun 2004,
sedangkan undang-undang serta peraturan perundang-undangan lain memakai istilah
yang berbeda. Untuk membedakan apakah suatu sengketa harus diselesaikan melalui
banding administratif atau keberatan adalah dilihat dari cara pejabat atau instansi yang
berwenang menyelesaikan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Apabila diselesaikan oleh instansi atasan pejabat yang mengeluarkan Keputusan TUN
tersebut atau instansi yang lainnya dari badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan
Keputusan TUN, maka penyelesaian tersebut disebut dengan Banding Administratif.
b. Apabila diselesaikan oleh instansi atau pejabat yang mengeluarkan Keputusan TUN
tersebut, maka penyelesaian tersebut disebut dengan Keberatan.
Adanya ketentuan Pasal 48 UU Peradilan TUN bagi para pihak yang bersengketa
merupakan prosedural yang penting karena berkaitan dengan kompetensi atau wewenang
mangadili sehingga perlu diketahui secara jelas badan-badan atau lembaga-lembaga yang
berfungsi sebagai badan pemeriksa upaya administratif. Pemahaman maksud Pasal 48
berguna pula untuk menghindari kekeliruan yang bersifat prosedural ataupun keliru
memasukkan gugatan ke Pengadilan TUN.
Sisi positif lembaga upaya administratif adalah menilai lengkap suatu keputusan baik dari
aspek rechtmatigheid maupun aspek doelmatigheid.
1. Pencari keadilan akan kehilangan satu tingkatan atau kesempatan memperoleh saluran
Peradilan (murni), sehingga kehilangan kesempatan memperoleh sarana untuk
mencari keadilan atau terlepas satu bentuk perlindungan hukum untuknya.
2. Pihak Tergugat di Pengadilan Tinggi TUN bukanlah merupakan Badan/Pejabat TUN
yang menerbitkan Keputusan, melainkan Atasan atau Badan lain yang telah memeriksa
banding adminisratif, hal tersebut merugikan Badan/Pejabat TUN pembuat Keputusan
TUN karena kepentingannya tidak dapat diwakili dalam pemeriksaan di Pengadilan
Tinggi TUN.
Apabila di dalam ketentuan perudang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk
penyelesaian Sengketa TUN tersebut melalui upaya administrasif, maka seseorang atau Badan
Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan tersebut dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan TUN.
3. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Pengujian tentang ada atau tidaknya
penyalah gunaan wewenang dalam penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara; (Pasal 21
UU AP)
4. Kompetensi Peratun untuk mengadili/mengabulkan tuntutan ganti rugi, tanpa pembatasan
jumlah tertentu.
5. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negata Tingkat Pertama untuk mengadili gugatan
pasca Upaya Administratif .
6. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara untuk memutuskan terhadap obyek sengketa
fiktif positif; (Pasal 53 UU AP.)
1. Penetapan tertulis.
2. Diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata usaha Negara
3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara,
4. Bersifat konkrit,
Hukum TUN Materiil | 34
5. Individual dan
6. Final
Dari pemaknaan tersebut, maka kompetensi Peradilan TUN menurut UU Peratun adalah
lebih sempit dibandingkan dengan kompetensi Peradilan TUN menurut UU
Administrasi Pemerintahan.
Ketentuan Pasal 75 ayat (1) jo. Pasal 76 ayat (3) jis. Pasal 1 angka 8, UU AP tersebut,
telah memperluas kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebelumnya berdasarakan UU Peratun obyek sengketa TUN hanya terbatas pada
keputusan TUN (dalam bentuk tertulis) dan Keputusan Negatif Fiktif saja. Dengan
berlakunya UU AP maka Tindakan Administrasi Pemerintahan/Tindakan
faktual administrasi Pemerintahan juga termasuk dalam kompetensi Peradilan Tata
Usaha Negara.
Ad.3. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Pengujian tentang ada atau tidaknya
unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Pejabat pemerintahan; ( Pasal 21 UU
AP).
Sebagaimana diuraikan bahwa ketentuan pasal 75 ayat (1) jo. Pasal 76 ayat (3) jis. Pasal
1 angka 8, UU AP, telah memberikan perluasan kompetensi Peradilan Tata Usaha
Negara.
Perluasan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, khususnya menyangkut obyek
Tindakan Administrasi Pemerintahan/Tindakan faktual administrasi Pemerintahan,
membawa konskwensi logis terhadap besaran tuntutan ganti rugi di Peradilan Tata
Usaha Negara.
Sebelumnya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 Tentang Ganti
Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Pradilan Tata Usaha Negara menentukan
ganti rugi dibatasi minimum Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu Rupiah)
dan maksimal Rp 5.000.000 (Lima Juta Rupiah)14.
Ad.5. Kewenangan Peradilan TUN tingkat pertama, mengadili gugatan pasca upaya
administratif (administratief beroep).
Pasal 75 UU AP mengatur, :
Ayat 1:
Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat
mengajukan Upaya Administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat
yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
Ayat 2:
Upaya administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
1. Keberatan; dan
2. Banding.
Ad.6. Kompetensi Peradilan TUN untuk memutuskan terhadap obyek Keputusan Fiktif
Positif. (Pasal 53 UU AP).
Hukum TUN Materiil | 38
Pasal 53 UU AP, mengatur :
Ayat 2:
Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan
diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
Ayat 3:
Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksd pada ayat (2), Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum
Ayat 4:
Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk memperoleh putusan
penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Ayat 5:
Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.
Ketentuan pasal 53 ayat (3) tersebut diatas dikenal dengan istilah Keputusan fiktif
positif yaitu Keputusan dengan anggapan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan telah
menerbitkan keputusan yang bersifat mengabulkan permohonan, dikarenakan tidak
ditanggapinya permohonan yang diajukan oleh pemohon sampai dengan batas waktu
yang ditentukan atau apabila tidak ditentukan telah lewat 10 (sepuluh hari) kerja setelah
permohonan yang sudah lengkap diterima sebagaimana dimaksud pada Pasal 53 ayat
(2).
Dengan diundangkan dan berlakunya UU AP, maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
(seorang pejabat atau badan administrasi negara atau organ pemerintahan) dapat mengajukan
permohonan (Gugatan) ke Pengadilan untuk menilai ada atau tidak adanya unsur
penyalahgunaan wewenang atas terbitnya suatu putusan Badan atau Pejabat Pemerintahan.
(1) Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan.
Pasal ini menunjunjukkan arti yang cukup luas tentang definisi KTUN, yakni hanya
menggunakan 3 kriteria saja, yakni berupa ketetapan tertulis, dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Pemerintahan dan ketetapan tersebut dalam rangka penyelenggaraan
Pemerintahan. Dibanding definisi KTUN yang diatur dalam UU Peratun pasal 1 ayat
9 yang berbunyi Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata. Pada UU Peratun pasal 1 ayat 9 tersebut kriteria KTUN lebih sempit, yakni
penetapan tertulis itu harus bersifat konkret, individual dan final serta menimbulkan
akibat hukum.
Ketiga, ada beberapa kriteria KTUN yang diatur dalam UU Peratun mengalami
perluasan dan menjadi penting yakni:
1. Penetapan tertulis. Penetapan tertulis tidak sekedar tindakan formal dalam bentuk
tulisan, namun sebuah penetapan juga harus dimaknai dalam bentuk tindakan
faktual, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Artinya pejabat tata usaha negara
dapat dikatakan telah mengeluarkan sebuah penetapan tidak hanya sekedar dilihat
dari adanya tindakan hukum (recht handelingen) dalam bentuknya terbitnya sebuah
beschikking akan tetapi penetepan juga dimaknai dalam bentuk dan atau tindakan
faktual (feitelijke handelingen). Secara teoritis feitelijke handelingen selama ini
dipahami bukan bagian dari tindakan hukum pemerintah namun merupakan
tindakan faktual/nyata yang dilakukan tanpa atau memiliki dasar hukum.
Masuknya Tindakan Faktual sebagai bagian dari KTUN sebagai obyek gugatan
dalam sengketa TUN merupakan bagian yang tak terpisahkan dari adanya
ketentuan tentang Diskresi yang diatur dalam pasal 22 sampai dengan pasal 32 UU
AP tersebut.
Sebelumnya dalam pasal 1 ayat 9 disebutkan Diskresi adalah Keputusan dan/atau
Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk
mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan
dalam hal peraturan perundang- undangan yang memberikan pilihan, tidak
mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
UU AP memberikan ruang bgai pejabat TUN untuk menerbitkan diskresi.
Untuk menguji menguji produk pejabat TUN berupa diskresi tersebut diatur dalam
ketentuan pasal 31 disebutkan:
(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dibatalkan.
Dalam kontek pembatalan diskresi inilah kemudian PTUN berwenang untuk
mememeriksa, menguji, mengadili dan memutuskan.
4. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat. Klausul ini menambah makna
baru dari Individual dalam kriteria sebuah KTUN dan memperluas peluang legal
standing warga masyarakat atau kelompok dalam mengajukan gugatan di PTUN.
Menurut Pasal 1 ayat 15 UU AP Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan
hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan. Secara teks
nampak tidak ada perubahan baru antara definisi Warga Masyarakat sebagaimana
diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan dengan kriteria KTUN sebagaimana
diatur dalam UU No 51 tahun 2009 yakni keduanya menggunakan istilah ”
seseorang atau badan hukum perdata”. Namun hilangnya redaksi ”Individual” baik
dalam pasal 1 ayat 7 dan pasal 87 menunjukkan bahwa semangat KTUN yang
dikehendaki oleh UU AP bukan semata-mata KTUN yang menunjukkan relasi
sempit antara negara dengan privat seorang warga negara. UU AP memberikan
kandungan makna yang lebih jauh bahwa meskipun KTUN itu secara teks terkait
pada Individu tertentu, namun tetap KTUN itu secara universal berlaku bagi Warga
Masyarakat secara keseluruhan.
Dalam konteks pengujian KTUN di PTUN, maka pemaknaan KTUN sebagai
sebuah keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat sangat relevan dengan asas
yang berlaku terhadap pemberlakuan putusan PTUN yakni asas erga omnes yakni
sebuah asas yang menegaskan bahwa putusan Peradilan Administrasi bersifat
mengikat secara publik tidak hanya dengan pihak-pihak yang terkait langsung
dengan sebuah perkara atau KTUN. Salah satu konsekuensi logis dari penerapan
asas erga omnes terhadap pemberlakuan putusan PTUN adalah kriteria KTUN yang
dapat digugat adalah Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum
sebagaimana disebutkan di atas. Dengan posisi dan makna berpotensi menimbulkan
akibat hukum, maka pihak yang berpeluang menggugat sebuah KTUN tidak hanya
individu tertentu yang terkait langsung dengan sebuah KTUN, namun publik secara
luas yang berpotensi mengalami akibat hukum terhadap terbitnya sebuah KTUN
juga berpeluang untuk mengajukan gugatan ke PTUN.
1. Agus M. Mazwan Sosrokusumo, S.H. Freies - Ermessen, Sebuah Type Tindak Hukum di
Bidang Hukum Tata. Pemerintahan, Fakultas Hukum Universitas Jember 1993.
2. H. Amrah Muslimin, S.H. Prof. Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang
Administrasi dan Hukum Administrasi, Penerbit Alumni, Bandung, 1985.
3. Indroharto, S.H. Usaha Memahanii Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Buku I, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993.
4. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Penerbit
dan Balai Buku Ichtiar Jakarta 1985
5. Utrecht, S.H. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat, Universitas Padjadjaran, Februari 1960.
6. Kuntjoro Purbopranoto, S.H. Prof Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara.
7. M. Nata Saputra, S.H. Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta.
8. Muchsan, S.H. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Penerbit Liberty
Yogyakarta, 1982.
9. Philipus M. Hadjon et al, Pengantar Hukum Adrninistrasi Indonesia (Introduction to the
Indonesian AdministrativeLaw), Gajah mada University Press, 1994.
10. Philipus M. Hadjon, D, S.H. Pemerintah Menurut Hukum et-en Rechtmatig Bestuur,
Yuridika Surabaya, 1993.
11. Prajudi Atmosudirdjo, Prof. Mr, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Ghalia Indonesia,
1981.
12. SF Marbun - Moh Achfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Penerbit UII
Press, Yogyakarta,1987.
13. SF Marbun dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Penerbit UII
Press, Yogyakarta,2001.
14. Syachran Basah, S.H. CN, Prof DR, Perlindungan Hukum terhadap Sikap Tindak
Administrasi Negara, Orasi Ilmiah, Penerbit Alumni 1992, Bandung
15. Soegianto Tjakranegara, S.H. R, Hukum Tata Usaha dan Birokrasi Negara, Penerbit
Rineka Cipta, 1992.
16. W.F. Prins Mr - R. Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, 1978
17. Y.W. Sunindha, S.H., Dra Ninik Widiyanti, Administrasi Negara dan Peradilan
Administrasi, Penerbit Rineka Cipta,1990
18. Soehardjo, Ss, S.H. Prof, Hukum Administrasi Negara, Pokok Pengertian Serta
Pengembangannya di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1991.
19. Victor Situmorang, S.H. Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bina Aksara, 1988.