Anda di halaman 1dari 101

Kriteria Dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung Dalam

Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat

Sekolah Ilmu Dan Teknologi Hayati ITB

2012
KATA PENGANTAR

P rovinsi Hijau (Green Province) Jawa Barat adalah kebijakan Pemprov


Jabar dalam pengelolaan lingkungan hidup yang dinyatakan Perda Jawa
Barat No 2 tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Provinsi Jawa Barat tahun 2008-2013. Dalam rangka perwujudan Provinsi
hijau tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mentargetkan pencapaian
kawasan lindung sebesar 45 persen dari luas daratan Jawa Barat. Strategi
pencapaian luas kawasan lindung tersebut dilakukan atas dasar pencapaian
luas (kuantitas) dan peningkatan kualitas dari kawasan lindung.
Pencapaian target kawasan lindung sangat dipengaruhi oleh kinerja
pengelolaan kawasan lindung yang dilakukan oleh instansi yang
berwenang. Kewenangan pengelolaan kawasan lindung ada yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota dan
kewenangan perorangan (private). Untuk dapat mengukur kinerja
pengelolaan kawasan lindung diperlukan kriteria dan indikator. Indikator
yang baik harus bersifat spesifik ( Specific), terukur (Measurable), dapat
diterima ata diaplikasikan (Achievable), dapat dipertanggungjawabkan
(Responsibility), serta dapat dilacak ulang (treasureable).
Buku Kriteria dan Indikator ini menyajikan kriteria, indikator, dan verifier
kinerja pengelolaan kawasan lindung. Sistem penilaian ( assesment) yang
dikembangkan adalah bersifat mandatory untuk mendorong dan membina
para pihak yang mengelola kawasan lindung. Kriteria dan indikator ini tidak
bersifat kaku (rigid), oleh karena itu bisa dirubah dan disesuaikan dengan
paradigma terbaru. Semoga Buku Kriteria dan Indikator yang telah disusun
ini dapat mendorong pencapaian target kawasan lindung di Provinsi Jawa
Barat.

Bandung, Oktober 2012

PENYUSUN

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. iii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... iv

I. PENDAHULUAN ....................................................................... I-1


1.1. Latar Belakang .................................................................... I-1
1.2. Maksud dan Tujuan ............................................................. I-4
1.3. Sasaran .............................................................................. I-4
1.4. Sistematika Penulisan .......................................................... I-5
1.5. Daftar Istilah Penting ........................................................... I-5

II. PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DALAM RANGKA


PERWUJUDAN GREEN PROVINCE ........................................ II-1
2.1. Landasan Hukum ................................................................ II-1
2.2. Konsep Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province .................................................. II-8
2.3. Tipologi Kawasan Lindung Jawa Barat .................................... II-13

III. METODE PENENTUAN KRITERIA DAN INDIKATOR ............... III-1


3.1. Kerangka Penentuan Prinsip, Kriteria, Indikator dan Verifier .... III-1
3.2. Tahapan Penetapan Kriteria dan Indikator ............................ III-4

IV. KRITERIA DAN INDIKATOR PENGELOLAAN KAWASAN


LINDUNG JAWA BARAT .......................................................... IV-1
4.1. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Biofisik ..................... IV-1
4.2. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Kebijakan ................. IV-7
4.3. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Sosial ........................ IV-13
4.4. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Ekonomi .................. IV-19

V. PENUTUP ................................................................................... V-1

REFERENSI ....................................................................................... VI-1

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2-1 Kriteria penetapan tipe kawasan lindung Jawa Barat ........ II-14
Tabel 2-2 Sebaran Lokasi Tipe Kawasan Lindung di Setiap
Kabupaten/Kota di Jawa Barat ........................................ II-16
Tabel 2-3 Luas tipe kawasan lindung di setiap kabupaten/kota di
Jawa Barat .................................................................... II-8
Tabel 2-4 Kegiatan Penataan Kawasan Lindung dalam
Meningkatkan Fungsi Lindung ....................................... II-24
Tabel 2-5 Kriteria untuk Memilih Kriteria dan Indikator Kinerja
Pengelolaan Kawasan Lindung ...................................... II-29
Tabel 3-1 Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator .... III-6
Tabel 3-2 Penjelasan Setiap Kriteria dan Indikator ........................ III-6
Tabel 3-3 Jenis Data, Sumber Data, Metode Verifikasi dan
Instrumen Verifikasi Setiap Indikator ............................. III-6

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2-1 Konsep Pengelolaan Kawasan Lindung ............................ II-10


Gambar 2-2 Alur Pengelolaan Kawasan Lindung .............................. II-12
Gambar 2-3 Peta Sebaran Kawasan Lindung Provinsi Jawa Barat......... II-16
Gambar 3-1 Dimensi pengembangan kriteria dan indikator
pengelolaan kawasan lindung ......................................... III-2
Gambar 3-2 Metode penetapan prinsip, kriteria , indikator dan verifier
pegelolaan kawasan lindung ........................................... III-4
Gambar 4-1 Jumlah prinsip, kriteria, indikator dan verifier yang
ditetapkan ..................................................................... IV-1

iv
DAFTAR LAMPIRAN

Tabel 1. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator


Aspek Biofisik ............................................................ L-1
Tabel 2. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator
Aspek Kebijakan ...................................................... L-8
Tabel 3. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator
Aspek Sosial ............................................................. L-19
Tabel 4. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator
Aspek Ekonomi ......................................................... L-24

v
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

P embangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi orientasi


pembangunan negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia sejak
diperkenalkan dalam World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia)
yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP),
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN),
dan World WideFund for Nature (WWF) pada 1980. Pada dasarnya,
pembangunan berkelanjutan merupakan integrasi tiga pilar, yakni : ekonomi,
lingkungan dan sosial yang dapat dicapai melalui pengembangan dua strategi
utama, yakni : strategi pertumbuhan hijau (Green Growth Strategies) dan
ekonomi hijau (Green Economy). Sehingga kedua strategi tersebut menjadi
fokus dalam mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Secara internasional, belum terdapat kesepakatan tentang
pengertian strategi pertumbuhan hijau ataupun ekonomi hijau tersebut. Namun,
Pemerintah Indonesia secara sukarela berkomitmen untuk menurunkan emisi
gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan sebesar 41% jika
mendapat bantuan internasional pada tahun 2020 untuk bidang BAU ( business
as usual). Hal tersebut dinyatakan pada pertemuan G-20 di Pittsburgh,
Pensylvania, Amerika Serikat tanggal 25 September 2009. Untuk memenuhi
komitmen tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No 61
tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
(RAN-GRK). Pada pasal 6 Perpres tersebut mengharuskan Gubernur
menyususun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-
GRK). Implementasi RAN/RAD-GRK diprioritaskan kepada bidang berbasis lahan,
khususnya kehutanan dan pertanian. Pada tahun 2000 sektor berbasis lahan
menyumbang emisi GRK sekitar 65% dari emisi nasional. Emisi tersebut berasal
dari perubahan penggunaan lahan dan kehutanan ( Land Use Change and
Forestry/LUCF) sebesar 47%, kegiatan pertanian (5%) dan kebakaran lahan
gambut 13 %.
Pesatnya laju pembangunan di wilayah Jawa Barat telah memberikan dampak
negatif terhadap menurunnya kualitas lingkungan hidup, sehingga berdampak
merugikan terhadap masyarakat. Dampak negatif terhadap kualitas lingkungan,
antara lain : berkurangnya sumberdaya alam, meningkatnya pencemaran dan
memacu perubahan iklim secara global (global warming). Pertumbuhan sektor

I-1
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

industri telah memacu peningkatan pembuangan limbah dari Bahan Berbahaya


dan Beracun (B3) yang merusak lingkungan. Pertumbuhan industri kendaraan
bermotor telah berkontribusi terhadap pencemaran udara yang diakibatkan dari
gas buang kendaraan, meningkatkan suhu udara, meningkatkan konsumsi BBM,
serta menimbulkan masalah sosial antara lain kemacetan lalu lintas.
Pemerintah Jawa Barat berkeinginan untuk menjadi provinsi hijau (Green
Province) dengan menerapkan strategi pembangunan hijau. Komitmen
Pemerintah Provinsi Jawa Barat ini dituangkan dalam dokumen RPJMD Provinsi
Jabar tahun 2008-2013, pada kebijakan bidang lingkungan point 6b berbunyi:
“meningkatkan fungsi dan luas kawasan lindung dalam rangka mewujudkan
provinsi yang hijau (Green Province) didukung upaya menciptakan provinsi
yang bersih (Clean Province)”. Kata Green Province juga muncul dalam
dokumen RKPD Jabar tahun 2011 (Pergub no. 29 tahun 2010) pada Rencana
Program Tematik tujuan umum ke-8 dengan sasaran : “meningkatnya fungsi dan
luas kawasan lindung dan pengendalian luasan lahan kritis” . Kegiatan
tematiknya adalah Konservasi dan rehabilitasi kawasan hulu DAS prioritas
(Cimanuk, Citarum, Ciliwung dan Citanduy) dan kawasan pesisir serta pulau kecil
melalui Jabar Green Province. Kebijakan tersebut diperkuat dengan arahan
Gubernur Jawa Barat dalam beberapa pernyataan ( statement) antara lain: (1)
“Pemerintah provinsi Jabar menargetkan pada tahun 2025 mendatang menjadi
Green Province. Salah satu indikatornya dengan menjadikan 45 persen luas
wilayah di Jabar menjadi kawasan lindung ...” (Pidato Gubernur Ahmad
Heryawan yang disampaikan pada seminar 'Peluang dan Tantangan penerapan
Clean Development Mechanism di Jawa Barat', di ITB, Senin 19/1/2009); (2) “
Untuk menjadi Green Province sedikitnya Jawa Barat harus memiliki 45 persen
kawasan lindung ...” (Pidato Gubernur Ahmad Heryawan pada Green Festival di
Monumen Perjuangan, Jalan Dipatiukur, Jum’at 25/11/2011).
Hal penting yang harus diperhatikan dalam mewujudkan green province Jawa
Barat adalah kejelasan definisi Green Province dimaksud oleh Pemerintah dan
masyarakat Jawa Barat. Oleh karena itu, perlu didefinisikan prasyarat dan
kebutuhan operasionalisasi dan kuantifikasi green province yang diinginkan.
Demikian juga, filosofi dan sistem nilai disamping konsep dan hubungannya
kedalam kebijakan Provinsi Jawa Barat harus dibuat secara eksplisit. Di pihak
lain, kearifan lokal dan politik yang melandasi harus dibuat dan tetap di bawah
payung pembangunan berkelanjutan. Dalam memberikan arahan yang jelas dan
capaian yang diinginkan, diperlukan kriteria yang dapat menunjukan derajat
strategis dan kebijakan yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.
Salah satu indikator Green Province Jawa Barat adalah pencapaian kawasan
lindung sebesar 45 persen. Pengelolaan kawasan lindung Jawa Barat telah
diatur dalam Perda Jawa Barat no 2 tahun 2006 tentang Kawasan Lindung dan

I-2
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

Perda Jawa Barat no 22 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Jawa Barat. Pada Perda no 22 tahun 2010 disebutkan bahwa target
pencapaian 45 persen kawasan lindung di Jawa Barat diharapkan pada tahun
2018.
Strategi pencapaian luas kawasan lindung 45 persen di Jawa Barat, dilakukan
atas dasar pencapaian luas/kuantitas dan peningkatan kualitas dari kawasan
lindung. Pecapaian luas kawasan lindung ditempuh, melalui : (a). peningkatan
fungsi kawasan lindung di dalam dan di luar kawasan hutan; (b). pemulihan
kembali secara bertahap kawasan lindung yang telah berubah fungsi; (c).
pengalihan fungsi secara bertahap kawasan hutan cadangan dan hutan produksi
terbatas menjadi hutan lindung; (d) pembatasan pengembangan prasarana
wilayah di sekitar kawasan lindung untuk menghindari tumbuhnya kegiatan
perkotaan yang mendorong alih fungsi kawasan lindung; (f). penetapan luas
kawasan hutan minimal 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS). Sementara
itu, peningkatan kualitas kawasan lindung dilakukan, melalui : (a). optimalisasi
pendayagunaan kawasan lindung hutan dan non hutan melalui jasa lingkungan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (b). pengendalian pemanfaatan
sumberdaya alam dan sumberdaya buatan pada kawasan lindung; (c).
pencegahan kerusakan lingkungan akibat kegiatan budidaya; (d). rehabilitasi
lahan kritis di kawasan lindung; dan (e). penyusunan arahan insentif dan
disinsentif serta pengenaan sanksi dalam hal alih fungsi dan/atau penerbitan izin
pembangunan dan/atau kegiatan di kawasan lindung.

Kriteria dan indikator pengelolaan kawasan lindung merupakan alat


pengendalian (controling tools) untuk mengontrol pencapaian target kawasan
lindung baik secara kuantitas maupun kualitas. Kriteria dan indikator tersebut
harus merujuk kepada kebijakan pengelolaan kawasan lindung (Perda Jabar no 2
tahun 2006) dan kebijakan tata ruang provinsi Jabar (Perda Jabar no 22 tahun
2010). Penetapan kriteria indikator pengelolaan kawasan lindung tidak terlepas
dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustained development) yang teridir
dari aspek kebijakan, sosial, ekonomi dan biofisik. Dalam konsep pembangunan
berkelanjutan, tujuan utama pengelolaan kawasan lindung adalah terpenuhinya
syarat kondisi biofisik kawasan lindung yang mampu memberikan fungsi lindung
bagi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, indikator yang sesuai dipakai dalam
aspek biofisik adalah indikator luaran (ouput). Namun demikian, disadari bahwa
keberadaan kawasan lindung secara fisik dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat
di sekitarnya, yang menggantungkan kebutuhan hidupnya dari kawasan lindung.
Keberadaan kawasan lindung sangat diharapkan oleh masyarakat dapat
meningkatkan perekonomian mereka. Oleh karena itu diperlukan aspek
kebijakan yang mengatur bagaimana pemanfaatan kawasan lindung dari aspek
ekonomi yang tidak memberikan dampak buruk bagi kondisi fisik kawasan
lindung. Kebijakan juga diperlukan untuk mengatur interaksi masyarakat dengan

I-3
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

keberadaan kawasan lindung, agar segala aktivitas masyarakat dapat diarahkan


untuk mendorong perwujudan kualitas biofisik kawasan lindung yang baik serta
partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan lindung semakin
meningkat.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud kegiatan Penyusunan Kriteria Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung


dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat adalah menyediakan alat
(tools) untuk monitoring dan evaluasi pengelolaan kawasan lindung di Jawa
Barat dalam rangka mewujudkan Jawa Barat sebagai provinsi hijau ( Green
Province). Tujuan penyusunan kriteria dan indikator adalah :
a. Membuat alat ukur kinerja pengelolaan kawasan lindung di Jawa Barat
yang terdiri dari serangkaian kriteria dan indikator yang SMART
(Specific/scientific, Measurable, Achievable, Resources Availability,
Treasurable) serta mudah diaplikasikan di lapangan.
b. Memberi acuan standar nilai dalam pencapaian kinerja pengelolaan
kawasan lindung di Jawa Barat dalam rangka perwujudan Green Province.

1.3. Sasaran

Sasaran pengguna buku kriteria dan indikator ini adalah para pihak ( stakeholder)
baik pemerintah daerah kabupaten/kota, provinsi maupun pemerintah pusat
yang terkait dalam pengelolaan kawasan lindung Jawa Barat.

1.4. Sistematika Penulisan

Buku Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka


Perwujudan Green Province Jawa Barat ini disusun dalam empat bagian penting.
Bagian pertama adalah Pendahuluan yang berisi latar belakang, maksud dan
tujuan, sasaran pengguna, sistematika penulisan dan daftar istilah yang
digunakan. Bagian kedua adalah Dasar Pemikiran yang berisi landasan hukum
dan konsep pengelolaan kawasan lindung. Bagian ketiga adalah Metode
Penentuan Kriteria yang berisi penjelasan pengertian prinsip, kriteria, indikator

I-4
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

dan verifier; konsep penetapan kriteria dan indikator serta metode


penetapannya. Bagian keempat adalah Penjelasan Kriteria dan Indikator pada
masing-masing aspek, yaitu : aspek biofisik, kebijakan, sosial dan ekonomi.

1.5. Daftar Istilah Penting

Beberapa peristilahan penting yang digunakan dalam Buku Kriteria dan


Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green
Province Jawa Barat ini adalah :
1. Prinsip adalah suatu aturan atau kebenaran fundamental yang mendasari
pola berpikir atau bertindak.
2. Kriteria adalah ukuran yang digunakan untuk mengetahui/menilai apakah
kemajuan yang dicapai dapat memenuhi prinsip.

3. Indikator adalah variabel atau komponen dari sistem pengelolaan yang


mencerminkan atau mengindikasikan situasi atau kondisi yang diperlukan
oleh kriteria.

4. Verifier adalah data atau informasi yang dapat menambah kejelasan dan
memudahkan penilaian terhadap suatu indikator.

5. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota di Jawa Barat.


6. Instansi Terkait adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten/Kota, instansi
vertikal dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

7. Pengelolaan Kawasan Lindung adalah upaya penetapan, pelestarian


dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung.

8. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi


utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber
daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa,
guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.

9. Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan


suatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi
menampung air hujan, menyimpan dan mengalirkannya ke danau atau ke
laut secara alami, yang batasnya di darat merupakan pemisah topografi,
sedangkan di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan.

I-5
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

10. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata
air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan
memelihara kesuburan tanah.
11. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai
hutan tetap.

12. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya.
13. Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-
pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada
tanah negara maupun tanah hak yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh
pejabat yang berwenang.
14. Kawasan Berfungsi Lindung di Luar Kawasan Hutan Lindung
adalah kawasan yang memiliki nilai perlindungan terhadap daerah di
bawahanya, yang tidak selalu harus berupa hutan.
15. Kawasan Resapan Air adalah daerah bercurah hujan tinggi, berstruktur
tanah yang mudah meresapkan air dan mempunyai geomorfologi yang
mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran.
16. Sempadan Pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
pantai.
17. Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai,
termasuk pada sungai buatan/kanal/saluran/irigasi primer yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
sungai.
18. Kawasan Sekitar Waduk dan Situ adalah kawasan tertentu di
sekeliling waduk dan situ yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi waduk dan situ.
19. Kawasan Sekitar Mata Air adalah kawasan di sekeliling mata air yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
mata air.
20. Tanah Timbul adalah daratan yang terbentuk secara alami maupun
buatan karena proses pengendapan di sungai, danau, pantai dan/atau
lahan timbul, serta penguasaan tanahnya dikuasai negara.

I-6
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

21. Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya
mempunyai kekhasan tumbuhan satwa dan ekosistemnya atau ekosistem
tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara
alami.
22. Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri
khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk
kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

23. Suaka Alam Laut dan Perairan Lainnya adalah daerah yang mewakili
ekosistem khas di lautan maupun perairan lainnya, yang merupakan
habitat alami yang memberikan tempat maupun perlindungan bagi
perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang ada.
24. Kawasan Hutan Payau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan
habitat alami hutan payau atau jenis tanaman lain yang berfungsi
memberikan perlindungan kepada keanekaragaman hayati pantai dan
lautan.
25. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk
tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata dan rekreasi.

26. Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan
koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli
dan atau bukan jenis asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata
dan rekreasi.
27. Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan
utama untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam.

28. Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah adalah kawasan suaka alam


dan pelestarian alam yang diperuntukkan bagi pengembangan dan
pelestarian pemanfaatan plasma nutfah tertentu.
29. Taman Buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat
wisata berburu.
30. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan adalah kawasan
yang merupakan lokasi tinggalan budaya manusia dan benda alam yang
mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan
beserta lingkungannya yang diperlukan bagi pelestarian, pengembangan
dan pemanfaatan.

I-7
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

31. Kawasan Konservasi Lingkungan Geologi adalah lahan yang


mempunyai ciri geologi unik/khas, langka dan atau mempunyai fungsi
ekologis yang berguna bagi kehidupan dan menunjang pembangunan
berkelanjutan dan atau mempunyai nilai ilmiah tinggi untuk pendidikan.
32. Kawasan Rawan Bencana Gunung Berapi adalah kawasan yang
sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana akibat letusan gunung
berapi.

33. Kawasan Rawan Gempa Bumi adalah kawasan yang pernah terjadi
dan diidentifikasi mempunyai potensi terancam bahaya gempa bumi baik
gempa bumi tektonik maupun vulkanik.
34. Kawasan Rawan Gerakan Tanah adalah kawasan yang berdasarkan
kondisi geologi dan geografi dinyatakan rawan longsor atau kawasan yang
mengalami kejadian longsor dengan frekuensi cukup tinggi.

35. Kawasan Rawan Banjir adalah daratan yang berbentuk flat, cekungan
yang sering atau berpotensi menerima aliran air permukaan yang relatif
tinggi dan tidak dapat ditampung oleh drainase atau sungai, sehingga
melimpah ke kanan dan ke kiri serta menimbulkan masalah yang
merugikan manusia.

36. Masyarakat Adat adalah masyarakat asli yang telah secara turun
temurun tinggal dan melaksanakan pola hidup khas setempat, yang taat
berpegang teguh kepada norma-norma adat yang ada dan berlaku
membumi, dan mempunyai lembaga adat yang merupakan suatu
kesatuan sistem pengambilan keputusan.

I-8
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

BAB II
PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DALAM
RANGKA PERWUJUDAN GREEN PROVINCE

2.1. Landasan Hukum

2.1.1. Undang–Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Undang-undang No. 26 tahun 2007 menyebutkan Penataan Ruang


adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata
ruangnya. Undang-undang ini juga menjelaskan pengertian
perencanaan tata ruang sebagai suatu proses untuk menentukan
(penyusunan dan penetapan) “Struktur Ruang” yaitu susunan pusat-
pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang
berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang
secara hirarkis memiliki hubungan fungsional, dan “Pola Ruang” yaitu
distribusi pola ruang dalam suatu wilayah yang meliputi ruang untuk
fungsi lindung dan ruang untuk fungsi budidaya. Pengertian pemafaatan
ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang
sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksaan
program. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk
mewujudkan tertib tata ruang melalui penetapan peraturan zonasi,
perizinan terkait pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif.

Penataan ruang secara prinsip harus didasarkan pada karakteristik, daya


dukung, dan daya tampung lingkungan. Sehingga dapat dicapai
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan subsistemnya. Mengacu
pada Pasal (17) ayat (3) bahwa Rencana Pola Ruang meliputi
peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Menurut ayat (4)
peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya meliputi peruntukan
ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi,
pertahanan, dan keamanan. Kemudian pada ayat (5) disebutkan dalam
rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling
sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.

II-1
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

Dalam tahap pemanfaatan ruang, harus dapat memberikan dukungan


terhadap kepentingan pertimbangan optimasi pengelolaan sumberdaya
alam dan buatan. Kepentingan pertimbangan optimasi pengelolaan
sumberdaya alam dan buatan lebih diarahkan untuk tujuan peningkatan
ekonomi wilayah dengan menata kegiatan yang terspesialisasikan,
terkonsentrasi, dan terlokalisasi dalam pengelolaan pemanfaatan ruang
dalam sistem wilayah. Sehingga akan memberikan keuntungan ekonomi
dan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan wilayah.
Tahapan selanjutnya dalam proses penataan ruang adalah pengendalian
pemanfaatan ruang yang dilakukan melalui cara pemberian izin
pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan
sanksi (pasal 35). Perizinan pemanfaatan ruang dimaksud sebagai upaya
penertiban pemanfaatan ruang. Setiap pelaksanaan pembangunan harus
diupayakan agar sesuai dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan
ruang diatur dan diterbitkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang
dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenakan
sanksi administratif, sanksi pidana penjara, atau sanksi pidana denda.

Pemberian insentif dalam pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai


upaya memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan
dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan masyarakat maupun
oleh pemerintah daerah. Bentuk insentif tersebut, antara lain dapat
berupa keringanan pajak, pembangunan prasarana dan sarana
(infrastruktur), pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perizinan,
dan pemberian penghargaan. Disinsentif dimaksudkan sebagai
perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, dan atau
mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang,
yang antara lain dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi,
pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan
kompensasi dan finalti.

Berdasarkan uraian Undang–undang No. 26 Tahun 2007, maka Kriteria


Indikator terkait ketersediaan rencana tata ruang yang mengacu pada
undang–undang dan peraturan lainnya merupakan kriteria dan indikator
prasyarat bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kota/Kabupaten dalam menjamin kawasan lindung. Pemerintah
Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten
harus menjamin keberadaan dan meningkatkan fungsinya dalam menuju
Green Province.

II-2
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

2.1.2. Peraturan Daerah Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2010


Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat
Tahun 2009-2029

Peraturan Daerah No. 22 tahun 2010 telah ditetapkan pengertian,


strategi dan tipe Kawasan Lindung. Dalam Perda tersebut kawasan
lindung diartikan sebagai kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya
alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa, guna
kepentingan pembangunan berkelanjutan.
Selanjutnya, pada Perda RTRWP Jawa Barat tahun 2010 tersebut juga
telah ditetapkan kebijakan pengembangan kawasan lindung yang terdiri
dari dua kebijakan, yakni : pertama pencapaian luas kawasan lindung
sebesar 45% dan kedua menjaga dan meningkatkan kualitas kawasan
lindung. Strategi-strategi pencapaian luas kawasan lindung sebagai
berikut :

a. Peningkatan fungsi kawasan lindung di dalam dan di luar kawasan


hutan;

b. Pemulihan secara bertahap kawasan lindung yang telah berubah


fungsi;
c. Pengalihan fungsi secara bertahap kawasan hutan cadangan dan
hutan produksi terbatas menjadi hutan lindung;

d. Pembatasan pengembangan prasarana wilayah di sekitar kawasan


lindung untuk menghindari tumbuhnya kegiatan perkotaan yang
mendorong alih fungsi kawasan lindung; dan
e. Penetapan luas kawasan hutan minimal 30% dari luas Daerah Aliran
Sungai (DAS).

2.1.3. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 9 tentang Rencana


Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat
Tahun 2005–2025

RPJPD Provinsi Jawa Barat Tahun 2005 – 2025 menuangkan terkait


pengelolaan kawasan lindung adalah Misi Ketiga : “Mewujudkan
Lingkungan Hidup yang Asri dan Lestari”, yaitu : mengelola sumberdaya
alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan, menjaga fungsi dan

II-3
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

daya dukung, serta menjaga pemanfaatan ruang yang serasi antara


kawasan lindung dan kawasan budidaya, dan antara kawasan perkotaan
dan kawasan perdesaan.
Adapun sasaran mewujudkan pembangunan di bidang lingkungan hidup
dan lestari, meliputi :
a. Meningkatnya keseimbangan antara jumlah penduduk terhadap
daya dukung dan daya tampung lingkungan;

b. Terkendalinya pertumbuhan penduduk secara alamiah maupun


penduduk migrasi;

c. Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berperilaku ramah


lingkungan;
d. Terkendalinya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup
yang efektif, efisien dan bernilai tambah.

Perwujudan lingkungan hidup yang asri dan lestari ditujukan untuk


meningkatkan kualitas hidup manusia dan menjamin tersedianya sumber
daya berkelanjutan bagi pembangunan.

Adapun langkah-langkah strategis yang dilakukan sebagai berikut :


1. Penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan
sinergisitas implementasi di seluruh sektor dan wilayah menjadi
prasyarat utama dalam pelaksanaan berbagai kegiatan
pembangunan.
2. Pengendalian pertumbuhan penduduk dan persebaran diarahkan
untuk menjaga daya tampung suatu wilayah dalam suatu kesatuan
ruang.
3. Peningkatan kesadaran masyarakat untuk berperilaku ramah
lingkungan melalui peningkatan pendidikan lingkungan sejak dini,
sosialisasi, komunikasi dan informasi lingkungan, serta
memperkenalkan berbagai kearifan lokal kepada seluruh lapisan
masyarakat.
4. Penataaan ruang diarahkan untuk mewujudkan penataan ruang
yang berkelanjutan, mendukung daya saing daerah, dan
berkeadilan, serasi, serta mampu mewadahi perkembangan wilayah
dan aktivitas perekonomian dengan tetap menjaga keseimbangan
daya dukung dan daya tampung lingkungan.

5. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup diarahkan


untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas pengelolaan,
memantapkan kepranataan, menguatkan sistem informasi

II-4
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

sumberdaya alam dan lingkungan, mengoptimalkan penggunaan


teknologi ramah lingkungan, serta menguatkan kelembagaan
pengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup, terutama
pengelola sumber daya air, sumber daya pesisir dan laut serta
kawasan lindung.
6. Upaya penanganan bencana ke depan lebih diarahkan pada
pengurangan resiko bencana dan adaptasi terhadap perubahan
iklim. Pengurangan resiko bencana diarahkan kepada pencegahan
lebih dini, mitigasi, dan peningkatan kesiapsiagaan, untuk
meminimalkan tingkat kerusakan, kerugian ekonomi, bahkan korban
jiwa.
7. Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan diarahkan
pada upaya peningkatan peran masyarakat dalam melakukan
pencegahan serta kontrol terhadap pencemaran dan kerusakan
lingkungan.
8. Pemulihan kualitas lingkungan diarahkan kepada upaya rehabilitasi
lahan kritis, baik melalui sistem vegetasi maupun sipil teknis,
reklamasi lahan pasca maupun bekas penambangan, penataan
daerah resiko tinggi bencana (gerakan tanah, tsunami, dan banjir),
penataan kawasan kumuh perkotaan, pemulihan kualitas ekosistem
kawasan lindung, perlindungan atau pemulihan daerah resapan air,
pemulihan kualitas sumberdaya air permukaan, air tanah, dan
pesisir.
9. Pelestarian fungsi kawasan lindung diarahkan pada pemulihan
kondisi dan peningkatan fungsi kawasan lindung untuk menjaga
keseimbangan ekosistem kawasan, kestabilan iklim baik mikro
maupun makro, manfaat ekologis dan menjaga sumber daya
ekonomi kawasan.

2.1.4. Peraturan Daerah no 2 tahun 2009 tentang RPJMD Provinsi


Jawa Barat tahun 2008-2013

Munculnya istilah Green Province pertama kali pada RPJMD Provinsi


Jawa Barat tahun 2008–2013 yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah
No. 25 Tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan Daerah No. 2 Tahun
2009 tentang RPJMD Provinsi Jawa Barat tahun 2008–2013.
Istilah Green Province tercantum pada BAB IV (Strategi
Pembangunan), sub bab 4.1. (Kebijakan Pembangunan), pada Misi 4:

II-5
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

(Meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk


pembangunan berkelanjutan), kebijakan bidang lingkungan hidup butir
6c (Meningkatkan fungsi dan luas kawasan lindung dalam rangka
mewujudkan Green Province didukung upaya menciptakan provinsi
yang bersih Clean Province).
Kebijakan bidang lingkungan hidup tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Meningkatkan upaya pemulihan dan konservasi sumberdaya air,


udara, hutan dan lahan;
b. Mengurangi resiko bencana;

c. Meningkatkan fungsi dan luas kawasan lindung dalam rangka


mewujudkan Green Province didukung upaya menciptakan provinsi
Clean Province.
Sedangkan program bidang lingkungan hidup terkait dengan kawasan
lindung yang diamanatkan dalam Perda tersebut meliputi :
1. Program Pengelolaan Kawasan Lindung, dengan sasaran :
a. Terlaksananya penataan dan perbaikan fungsi kawasan lindung;

b. Meningkatnya pengamanan dan perlindungan kawasan lindung;


c. Berkembangnya kawasan lindung baru;
d. Meningkatnya kemitraan dan pemberdayaan masyarakat sekitar
kawasan lindung.
2. Program Pengelolaan Ekosistem Pesisir dan Laut, dengan sasaran :
a. Terlaksananya rehabilitasi mangrove dan terumbu karang di
Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa Barat;
b. Meningkatnya vegetasi pelindung pantai di kawasan wisata
pantai utara dan selatan Jawa Barat;

c. Tersedianya pranata pengelolaan pesisir, laut, dan pulau kecil,


melalui penyusunan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Laut.
Indikator kinerja pencapaian luas kawasan lindung terhadap luas Jawa
Barat meningkat 27% (pada tahun 2007); 30-31% (pada midterm); 34-
35% (pada tahun 2013). Sedangkan kebijakan bidang kehutanan adalah
meningkatkan pengamanan dan pencegahan kerusakan kawasan hutan.
Kebijakan tersebut direalisasikan melalui Program Pengelolaan Kawasan
Lindung, dengan sasaran meningkatnya peran serta masyarakat desa
hutan dalam pengamanan kawasan hutan dan hutan kota sebagai ruang
terbuka hijau. Sosok Jabar pada tahun 2013 menurut bidang kehutanan
adalah Terciptanya kawasan konservasi dan kawasan lindung dari

II-6
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

berbagai gangguan pengrusakan hutan, sesuai dengan perencanaan tata


ruang kehutanan.
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa dalam RPJMD Provinsi
Jawa Barat tahun 2008-2013 telah ditetapkan bahwa salah satu upaya
dalam pencapaian Green Province Jawa Barat melalui pencapaian luas
kawasan lindung dan telah ditetapkan pula indikator kinerja pencapaian
luas kawasan lindung terhadap luas Jawa Barat mulai tahun 2007
sampai 2012. Dengan demikian, secara landasan hukum arah
pencapaian Green Province ditekankan melalui pencapaian luas
kawasan lindung, yang diharapkan dapat direalisasikan pada tahun
2013.

2.1.5. Peraturan Ggubernur Jawa Barat No. 29 tahun 2010 tentang


RKPD provinsi Jabar tahun 2011

Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Barat Tahun


2011 adalah pelaksanaan tahun ketiga dari periode kepemimpinan
Kepala Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008–2013, dan sekaligus
merupakan penjabaran dari skema Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008–2013,
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Tahun 2005–
2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2011. Penyusunan RKPD
ditujukan sebagai upaya mewujudkan perencanaan pembangunan
daerah yang sinergis antara perencanaan pembangunan nasional
dengan provinsi dan kabupaten/kota maupun dengan provinsi yang
berbatasan.
Arah kebijakan RKPD Tahun 2011 terdiri dari dua belas kebijakan. Pada
arah Kebijakan Kedelapan, yakni : Kebijakan pembangunan yang
berkaitan dengan Peningkatan Kualitas Lingkungan dan
Penanganan Bencana diarahkan pada : (1) merehabilitasi lahan kritis
secara massal, terutama di hulu DAS prioritas; (2) mewujudkan tata
ruang untuk pembangunan berkelanjutan sebagai realisasi Jabar Green
Province; (3) meningkatkan kualitas mitigasi bencana dan
penanggulangan korban bencana secara akurat; (4) meningkatkan
pengelolaan dan pemrosesan sampah terpadu regional.
Berdasarkan RKPD provinsi Jawa Barat tahun 2011, khususnya terkait
dengan kebijakan pembangunan dalam peningkatan kualitas lingkungan
dan penanganan bencana telah secara konsisten dimuat dan selalu

II-7
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

mendapatkan dukungan APBD. Hal tersebut ditunjukkan pada tahun


anggaran 2011 bagi peningkatan kualitas lingkungan dan penanganan
bencana telah dialokasikan dana sebesar Rp. 1,321 trilyun.

2.2. Konsep Pengelolaan Kawasan Lindung dalam


Rangka Perwujudan Green Province

Green Province merupakan bagian dari pertumbuhan hijau dan ekonomi hijau
pada skala regional (provinsi). Pertumbuhan hijau dan ekonomi hijau
merupakan dua strategi dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan.
Strategi pertumbuhan hijau (Green Growth Strategies) digaungkan oleh
Organization Cooperation and Development (OECD) yang berpusat di Paris,
yakni organisasi negara-negara maju yang pertumbuhan ekonominya sudah
sangat tinggi. Kemudian United Nations Environmental Programme (UNEP) juga
meluncurkan suatu strategi yang disebut ekonomi hijau ( Green Economy).
Kedua strategi tersebut meskipun berbeda memiliki makna/arti yang sama yakni
sebagai langkah untuk mencapai pembangunan berkelanjutan ( sustainable
development) dengan menfokuskan pilar ekonomi yang mengintegrasikan pilar
lingkungan sekaligus pilar sosial. Namun demikian, secara internasional sampai
saat sekarang belum ada kesepakatan mengenai pengertian dari strategi Green
Economy atau Green Growth.
Indonesia mengartikan Green Economy sebagai suatu proses transformasi dalam
pembangunan ekonomi dan investasi ke arah pembangunan berkelanjutan,
bertujuan untuk merubah paradigma pembangunan. Sehingga ketiga pilar
pembangunan berkelanjutan yaitu lingkungan hidup, ekonomi dan sosial dapat
saling mendukung. Sebagai bentuk komitmennya Indonesia menyanggupi untuk
menurunkan emisi GRK menjadi 41% ke dalam strategi Green Economy
Indonesia.
Dalam mewujudkan Green Economy tersebut peranan Pemerintah Daerah
menjadi penting. Salah satu bentuk peran pemerintah provinsi diwujudkan
dalam Green Province. Dengan demikian, Green Province dapat diartikan sebagai
penerapan pembangunan berkelanjutan di seluruh kabupaten dan kota di
wilayahnya dengan menjaga lingkungan hidup sekaligus memanfaatkan
sumberdaya alam secara bertanggungjawab.
Dukungan perwujudan sebagai Green Province, Pemerintah Provinsi Jawa
Barat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) telah
mengalokasikan ruang kawasan lindung (KL) sebesar 45% dari luas wilayah total

II-8
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

daratan Jawa Barat (total luas daratan Jawa Barat 3.709.528,44 ha). Hal ini
didukung oleh kebijakan-kebijakan seperti Perda Jabar No. 2/2006 (tentang
Kawasan Lindung), Perda Jabar No 22/2010 (tentang RTRWP) dan Perda no.
2/2009 (RPJM Jabar 2008-2013).
Secara konseptual, perwujudan Green Province dapat dicapai melalui langkah-
langkah berikut :

1. Penyiapan Green Resources, merupakan landasan (akar) dalam


mewujudkan green province yaitu green culture, green coverage, land and
water conservation, green research dan recycle material.
2. Pemastian landasan pelaksanaan pembangunan berbasis Green
Development yakni pembangunan yang ramah lingkungan meliputi
sustainable development based spatial, green building, sustainable forest
management, sustainable farming, dan penerapan environmental friendly
technology.
3. Memastikan proses pembangunan menggunakan Green Process yakni
proses pembangunan yang menghasilkan dampak minimal pada
lingkungan dan sosial yakni safe operation, efficiency production and
waste reduction, energy and water saving, dan environmental control.
4. Mengendalikan bahwa semua produk yang diproduksi dan beredar di Jawa
Barat adalah Green Product yakni berbagai produksi yang dihasilkan
memiliki tingkat keamanan dan menjamin kelestarian lingkungan yakni
preservation endangered wildlife and biodiversity, save for human, green
waste, dan environment friendly product.
Mengacu pada tahap dalam memastikan pelaksanaan pembangunan berbasis
Green Development adalah pembangunan berbasis pada perencanaan ruang.
Pembangunan harus mendukung kegiatan sosial ekonomi dan struktur ruang
yang melindungi proses pembangunan. Perlindungan pembangunan dilakukan
dengan mengalokasikan ruang sesuai fungsinya antara kawasan budidaya dan
kawasan lindung. Peranan Kawasan Lindung dalam perwujuan Green Province
Jawa Barat menjadi penting, karena beberapa hal berikut :
1. Pendistribusian pola ruang sebagai kawasan berfungsi lindung sebesar
45% dari luas daratan, sebagai penunjang pelaksanaan pembangunan
pengembangan sosial dan ekonomi di Jawa Barat secara optimal;
2. Kawasan berfungsi lindung merupakan ruang untuk mewujudkan Green
Province dalam aspek ketercapaian penutupan lahan serta konservasi
tanah dan air, sebagai salah satu tulang punggung dalam penurunan
emisi GRK;

II-9
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

3. Keberadaan Kawasan Lindung dan Kualitas Kawasan Lindung merupakan


awal dari peta jalan (road map) dalam perwujudan Green Province.

Pengelolaan Kawasan Lindung yang baik adalah pengelolaan kawasan lindung


yang menjamin tidak terjadinya perubahan fungsi kawasan lindung, kepastian
keberadaan lokasi kawasan lindung, pemanfaatan kawasan lindung secara lestari
dan upaya perlindungan serta peningkatan fungsi kawasan lindung. Tahapan
pengelolaan kawasan yang menunjang hal tersebut meliputi tahapan : (1)
Penataan Kawasan Lindung, (2) Pengelolaan Kawasan Lindung, (3) Perlindungan
dan Peningkatan Fungsi Kawasan lindung.
(1) Penataan Kawasan Lindung
Penataan Kawasan Lindung dimasudkan sebagai kegiatan rancang bangun
unit pengelolaan kawasan lindung. Mencakup pengelompokkan
sumberdaya hutan sesuai dengan tipenya dan potensi yang terkandung di
dalamnya dengan tujuan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat secara lestari.

(2) Pengelolaan Kawasan Lindung


Prinsip dasar pengelolaan kawasan lindung ditujukan untuk meningkatkan
manfaat kawasan lindung secara lestari. Tiga pilar pengelolaan kawasan
lindung lestari yakni lingkungan, sosial dan ekonomi, sebagai bentuk
pengelolaan dalam meningkatkan fungsi kawasan lindung yang dapat
menunjang kehidupan manusia. Secara konseptual, kerangka dasar
pengelolaan kawasan lindung seperti Gambar 2-1.

Nilai Etika/Budaya

Variabilitas sosial

Pengelolaan
Kawasan
Lindung

Variabilitas Ekonomi

Kualitas Lingkungan
Kebijakan Lingkungan

Gambar 2-1. Konsep Pengelolaan Kawasan Lindung

II-10
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

Terjaminnya variabilitas ekologi, variabilitas ekonomi dan kualitas


lingkungan akan berdampak terhadap terjaminnya kelestarian kawasan
lindung yang dikelola. Kebijakan yang mendukung pengelolaan kawasan
lindung akan sangat mendukung tercapainya kelestarian kawasan lindung.
Di sisi lain, aspek nilai etika/budaya juga sangat berpengaruh dalam sistem
pengelolaan kawasan lindung. Masyarakat dengan nilai etika/budaya yang
baik, akan berakibat pada terjaganya kawasan lindung. Dengan demikian,
kelestarian kawasan lindung akan terjamin.
(3) Perlindungan dan peningkatan fungsi kawasan lindung

Dalam beberapa hal, Kawasan Lindung sering dijadikan sebagai areal


cadangan untuk kegiatan budidaya yang menyebabkan kawasan lindung
mengalami tekanan terhadap pengurangan luasan maupun fungsi kawasan.
Oleh karena itu, kegiatan perlindungan di kawasan lindung menjadi penting.
Perlindungan di kawasan lindung ditujukan dalam rangka melindungi
kawasan tersebut dari konversi lahan, perambahan kawasan, kebakaran,
penebangan liar serta penambangan liar. Kegiatan-kegiatan tersebut
diprediksi dapat mengganggu fungsi pokok kawasan lindung dan
keanekaragaman hayati.

Mengacu pada landasan hukum dan prinsip pengelolaan kawasan lindung, dalam
mewujudkan capaian luas kawasan lindung dapat dilakukan melalui intervensi
sebagai berikut :

1. Dukungan RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota dalam memberi


kepastian sebaran dan luas kawasan lindung;
2. Dukungan arah kebijakan jangka panjang maupun jangka menengah di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota pro perlindungan kawasan lindung
yang mendukung arah kebijakan pengelolaan kawasan lindung;
3. Dukungan program dan kegiatan dalam meningkatkan kondisi dan fungsi
kawasan lindung;
4. Kegiatan Sosial di tataran masyarakat yang mendukung keberadaan dan
kondisi kawasan lindung;
5. Kegiatan ekonomi yang mampu meningkatkan manfaat kawasan lindung
dalam menunjang kesejahteraan masyarakat.

Dengan arah intervensi tersebut diharapkan pencapaian luas kawasan lindung


akan mendukung ke arah tercapainya Green Province Jawa Barat (Gambar 2-
2).

II-11
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

RPJMD
PROVINSI JAWA
BARAT

RTRW PROPINSI KEGIATAN


RKPD PROVINSI PROGRAM dan KEGIATAN
LEVEL JAWA BARAT EKONOMI
JABAR KEGIATAN SOSIAL
PROVINSI 2009 - 2029

KEPASTIAN ARAH KEBIJAKAN PENINGKATAN


MENINGKATKAN MENDUKUNG PENCAPAIAN
SEBARAN PENGELOLAAN
KONDISI DAN KEBERADAAN KEMANFAATAN LUAS
DAN LUAS KL KL
FUNGSI KL DAN KONDISI KL KL KAWASAN
LINDUNG

LEVEL KEGIATAN
RTRW RKPD KAB/KOTA PROGRAM dan KEGIATAN
KABUPATE EKONOMI
KABUPATEN/ KOTA DI JABAR KEGIATAN SOSIAL
N/KOTA DI JAWA BARAT

MENUJU
GREEN
PROVINCE
RPJMD
KABUPATEN/
KOTA JAWA
BARAT Gambar 2-2. Alur Pengelolaan Kawasan Lindung

II-12
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

2.3. Tipologi Kawasan Lindung Jawa Barat

Menurut Perda Jabar no 22 tahun 2010, tipe kawasan lindung di Jawa Barat
dikelompokkan ke dalam beberapa tipe (tipologi), yaitu :
a. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya,
meliputi :

1. Kawasan hutan lindung;


2. Kawasan resapan air;

b. Kawasan perlindungan setempat, meliputi :

1. Sempadan pantai;
2. Sempadan sungai;
3. Kawasan sekitar waduk dan danau/situ;
4. Kawasan sekitar mata air;
5. RTH di Kawasan Perkotaan;
c. Kawasan suaka alam, meliputi :

1. Kawasan cagar alam;


2. Kawasan suaka margasatwa;
3. Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya;
4. Kawasan mangrove;
d. Kawasan pelestarian alam, meliputi :

1. Taman nasional;
2. Taman hutan raya;
3. Taman wisata alam;
e. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;

f. Kawasan rawan bencana alam, meliputi :


1. Kawasan rawan tanah longsor;
2. Kawasan rawan gelombang pasang;
3. Kawasan rawan banjir;
g. Kawasan lindung geologi, meliputi :

1. Kawasan cagar alam geologi dan kawasan kars;


2. Kawasan rawan bencana alam geologi;
3. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah;

h. Taman buru;
i. Kawasan perlindungan plasma nutfah eks-situ;

II-13
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

j. Terumbu karang;
k. Kawasan koridor bagi satwa atau biota laut yang dilindungi; dan
l. Kawasan yang sesuai untuk hutan lindung.

Penentapan tipologi kawasan lindung tersebut berdasarkan kriteria yang diatur


dalam Peraturan Daerah no 2 tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung. Perda tersebut saat ini tengah direvisi. Kriteria penentuan tipe kawasan
lindung Jawa Barat disajikan pada Tabel 2-1.

Tabel 2-1. Kriteria penetapan tipe kawasan lindung Jawa Barat

No. Jenis Kawasan Lindung Kriteria


1. Perlindungan Kawasan di Bawahnya
a. Hutan Lindung Skor ≥175, lereng ≥ 40%, ketinggian 2000 mdpl, tanah
sangat peka erosi (lereng 15%), resapan air, perlindungan
pantai.
b. Kawasan berfungsi Skor 125-175, curah hujan >1000 mm/th, lereng 15%,
lindung non hutan ketinggian 1000-2000 mdpl.
c. Kawasan resapan air Curah hujan >1000 mm/th, pasir halus min 1/16 mm,
kecepatan air 1 m/hr, kedalaman muka air tanah >10 m,
lereng <15%, kedudukan muka air dangkal > tinggi dari
muka air dalam.
2. Kawasan Perlindungan Setempat
a. Sempadan pantai Sekurang-kurangnya 100 m dari titik pasang tertinggi ke
arah darat.
b. Sempadan sungai >5 m sungai bertanggul di pedesaan, >3 m dari tanggul
sungai perkotaan, >10 m dari tepi sungai tidak bertanggul
diperkotaan dan kedalaman tidak lebih besar 3m, >15 m
dari tepi sungai tidak bertanggul di perkotaan dan
kedalaman 3-20 m, >30 m dari tepi sungai tidak
bertanggul di perkotaan dan kedalaman tidak lebih besar
20 m, >100 m dari tepi sungai, garis sempadan sungai
tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan adalah tepi
bahu jalan yang bersangkutan.
c. Kawasan sekitar waduk > 50 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
dan situ
d. Kawasan sekitar mata air > 200 m radius dari sekitar mata air.
e. Tanah timbul Sedimentasi di sungai dan atau pesisir pantai.
3. Kawasan Suaka Alam
a. Cagar Alam - Keanekaragaman flora dan fauna serta tipe ekosistem.
- Memiliki kondisi alam baik dan asli, ciri khas potensi,
komunitas ekosistem langka.
b. Suaka Margasatwa Habitat satwa dengan populasi tinggi, satwa langka perlu
dikonservasi, tempat hidup satwa migran tertentu.
c. Suaka Alam Laut dan Perairan laut dan darat, pesisir, sungai gugusan karang

II-14
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

No. Jenis Kawasan Lindung Kriteria


Perairan-nya dan atol yang memiliki khas keragaman dan ekosistem.
d. Kawasan Hutan Payau >130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi
dan terendah.
4. Kawasan Pelestarian Alam
a. Taman Nasional Mempunyai luas untuk proses ekologis, khas dan unik
tumbuhan dan satwa dan gejala alam, ekosistem utuh,
terbagi beberapa zona.
b. Taman Hutan Raya Mempunyai tumbuhan dan satwa asli/bukan asli,
keindahan alam dan gejala alam, dan koleksi tumbuhan
dan satwa.
c. Taman Wisata Alam Mempunyai daya tarik alam, kondisi lingkungan
mendukung pengembangan wisata alam.
5. Taman Buru Areal cukup dan lapangan tidak membahayakan, terdapat
satwa buru yang dapat dikembangbiakan.
6. Kawasan Pelestarian Plasma Plasma nutfah yang belum ada di kawasan konservasi,
Nutfah tempat kehidupan satwa baru dengan areal cukup luas
dan lapangan tidak membahayakan.
7. Kawasan Cagar Budaya dan Memiliki nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan dan
Ilmu Pengetahuan kebudayaan sekurang-kurangnya berumur 50 tahun,
benda alam yang dianggap penting untuk sejarah, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan.
8. Kawasan Konservasi Geologi
a. Kawasan Cagar Alam Memiliki wujud dan ciri geologi unik, langka dan khas.
Geologi
b. Kawasan Kars Batuan karbonat memperlihatkan bentang alam kars.
9. Kawasan Rawan Bencana Alam
a. Kawasan rawan bencana Kawasan dengan tingkat kerawanan tinggi dari pusat
gunung api letusan gunung api.
b. Kawasan rawan gempa Kawasan yang mempunyai sejarah kegempaan yang
merusak; dilalui oleh patahan aktif; catatan kegempaan
dengan kekuatan (magnitudo) lebih besar dari 6 pada
Skala Richter; potensi terjadi pembuburan tanah
(Liquifaction).
c. Kawasan rawan gerakan Kawasan dengan kerentanan gerakan tanah.
tanah
d. Kawasan rawan banjir Daerah dengan ketinggian 0-25mdpl, kemiringan di bawah
5%, sedimentasi tinggi > 20.000 m3/th.
10 Hutan Kota Luas >2.500 M2 dan sekurang-kurangnya 10% dari luas
wilayah.

Tipe kawasan lindung yang terdapat di wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat


bervariasi, ada yang memiliki beberapa tipologi kawasan lindung ada juga yang
hanya memiliki satu tipologi kawasan lindung. Kabupaten pada umumnya
memiliki tipologi kawasan lindung yang lebih bervariasi dibandingka dengan
wilayah kota. Sebaran tipe kawasan lindung di Jawa Barat dapat dilihat pada
Gambar 2-3 dan Tabel 2-2.

II-15
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

Gambar 2-3. Peta Sebaran Kawasan Lindung Provinsi Jawa Barat (RTRW Jabar,
2010)

Tabel 2-2. Sebaran Lokasi Tipe Kawasan Lindung di Setiap Kabupaten/Kota


di Jawa Barat

No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi

1. Perlindungan Kawasan di Bawahnya

a. Hutan Lindung Hutan lindung yang terletak di Kesatuan Pemangkuan Hutan


(KPH):
1) Bogor
2) Sukabumi
3) Cianjur
4) Purwakarta
5) Bandung Utara
6) Bandung Selatan
7) Garut
8) Tasikmalaya
9) Ciamis

II-16
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi

10) Sumedang
11) Majalengka
12) Indramayu
13) Kuningan

b. Kawasan berfungsi Kawasan berfungsi lindung di luar kawasan hutan lindung,


lindung non hutan tersebar di Kabupaten/Kota

c. Kawasan resapan air Kawasan resapan air, tersebar di Kabupaten/Kota

2. Kawasan Perlindungan Setempat

d. Sempadan pantai 1) Kabupaten Bekasi


2) Kabupaten Karawang
3) Kabupaten Sukabumi
4) Kabupaten Cianjur
5) Kabupaten Subang
6) Kabupaten Garut
7) Kabupaten Tasikmalaya
8) Kabupaten Ciamis
9) Kabupaten Cirebon
10) Kota Cirebon
11) Kabupaten Indramayu

f. Sempadan sungai Terletak di seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS)

g. Kawasan sekitar waduk a) Waduk Darma, terletak di Kabupaten Kuningan


dan Situ
b) Waduk Saguling, terletak di Kabupaten Bandung
c) Waduk Cirata, terletak di Kabupaten Bandung, Cianjur
dan Purwakarta
d) Waduk Jatiluhur, terletak di Kabupaten Purwakarta
e) Waduk Situpatok dan Waduk Sedong, terletak di
Kabupaten Cirebon
f) Waduk Cipancuh dan Waduk Situ Bolang, terletak di
Kabupaten Indramayu
g) Lain-lain waduk yang tersebar di Kabupaten/Kota
h) Situ, tersebar di Kabupaten/Kota

h. Kawasan sekitar mata Kawasan sekitar mata air, tersebar di Kabupaten/Kota


air

i. Tanah Timbul Tanah timbul, tersebar di Kabupaten/Kota

II-17
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi

3. Kawasan Suaka Alam

a. Cagar Alam 1) Cagar Alam Arca Domas dan Cagar Alam Yan Lapa,
terletak di Kabupaten Bogor
2) Cagar Alam Talaga Warna, terletak di Kabupaten Bogor
dan Cianjur
3) Cagar Alam Cadas Malang, Cagar Alam Bojong Lorang
Jayanti dan Cagar Alam Takokak, terletak di Kabupaten
Cianjur
4) Cagar Alam Gunung Simpang, terletak di Kabupaten
Cianjur dan Bandung
5) Cagar Alam Telaga Patengan, Cagar Alam Gunung
Malabar, Cagar Alam Cigenteng Cipanji I/II, Cagar
Alam Yung Hun dan Cagar Alam Gunung Tilu, terletak
di Kabupaten Bandung
6) Cagar Alam Papandayan (Perluasan) dan Cagar Alam
Kawah Kamojang, terletak di Kabupaten Bandung dan
Garut
7) Cagar Alam Tangkubanperahu, terletak di Kabupaten
Bandung dan Subang
8) Cagar Alam Talagabodas dan Cagar Alam Leuweung
Sancang, terletak di Kabupaten Garut
9) Cagar Alam Sukawayana, Cagar Alam Cibanteng, Cagar
Alam Tangkuban Perahu (Palabuhanratu), Cagar Alam
Pelabuhan Ratu dan Cagar Alam Dungus Iwul, terletak
di Kabupaten Sukabumi
10) Cagar Alam Burangrang, terletak di Kabupaten
Purwakarta
11) Cagar Alam Gunung Jagat, terletak di Kabupaten
Sumedang
12) Cagar Alam Pananjung Pangandaran dan Cagar Alam
Panjalu/Koordera, terletak di Kabupaten Ciamis
13) Lain-lain cagar alam, tersebar di Kabupaten/Kota

b. Suaka Margasatwa Suaka margasatwa, yaitu:


1) Suaka Margasatwa Cikepuh, terletak di Kabupaten
Sukabumi
2) Suaka Margasatwa Gunung Sawal, terletak di
Kabupaten Ciamis
3) Suaka Margasatwa Sindangkerta, terletak di Kabupaten
Tasikmalaya
4) Lain-lain suaka margasatwa, tersebar di
Kabupaten/Kota

c. Suaka Alam Laut dan 1) Suaka Alam Laut Leuweung Sancang, terletak di
perairannya Kabupaten Garut

II-18
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi

2) Suaka Alam Laut Pangandaran, terletak di Kabupaten


Ciamis
3) Suaka Alam Laut Pulau Biawak, terletak di Kabupaten
Indramayu
4) Suaka Alam Cipatujah, terletak di Kabupaten
Tasikmalaya
5) Suaka Alam Ujung Genteng, terletak di Kabupaten
Sukabumi
6) Lain-lain suaka alam laut, tersebar di Kabupaten/Kota

d. Kawasan Hutan Payau 1) Muara Gembong, terletak di Kabupaten Bekasi


2) Tegalurung, Mayangan dan Pangarengan, terletak di
Kabupaten Subang
3) Tanjung Sedari, terletak di Kabupaten Karawang
4) Eretan, Kandanghaur, Losarang, Cantigi, Pasekan,
Indramayu, Balongan dan Krangkeng, terletak di
Kabupaten Indramayu
5) Lain-lain kawasan hutan payau, tersebar di
Kabupaten/Kota

4. Kawasan Pelestarian Alam

a. Taman Nasional 1) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, terletak di


Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur dan
Kabupaten Bogor
2) Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, terletak di
Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur dan
Kabupaten Bogor
3) Taman Nasional Gunung Ciremai, terletak di Kabupaten
Kuningan dan Kabupaten Majalengka
4) Lain-lain taman nasional, tersebar di Kabupaten/Kota

b. Taman Hutan Raya 1) Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda, terletak di Kota
Bandung dan Kabupaten Bandung
2) Taman Hutan Raya Pancoran Mas, terletak di Kota
Depok
3) Taman Hutan Raya Kuningan, terletak di Kabupaten
Kuningan
4) Taman Hutan Raya Gunung Palasari dan Taman Hutan
Raya Gunung Kunci, terletak di Kabupaten Sumedang
5) Lain-lain taman hutan raya, tersebar di
Kabupaten/Kota

c. Taman Wisata Alam 1) Taman Wisata Alam Talaga Warna, Taman Wisata
Alam Gunung Salak Endah, Taman Wisata Alam
Gunung Pancar, Taman Wisata Alam Cilember, Taman
Wisata Alam Curug Luhur dan Taman Wisata Alam

II-19
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi

Gunung Nangka, terletak di Kabupaten Bogor


2) Taman Wisata Alam Sukawayana, terletak di
Kabupaten Sukabumi
3) Taman Wisata Alam Jember, terletak di Kabupaten
Cianjur
4) Taman Wisata Alam Telaga Patengan dan Taman
Wisata Alam Cimanggu, terletak di Kabupaten
Bandung
5) Taman Wisata Alam Tangkubanperahu, terletak di
Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang
6) Taman Wisata Alam Kawah Kamojang, terletak di
Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut
7) Taman Wisata Alam Papandayan, Taman Wisata Alam
Talagabodas dan Taman Wisata Alam Gunung Guntur,
terletak di Kabupaten Garut
8) Taman Wisata Alam Gunung Tampomas dan Taman
Wisata Alam Gunung Lingga, terletak di Kabupaten
Sumedang
9) Taman Wisata Alam Linggarjati, terletak di Kabupaten
Kuningan
10) Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran, terletak
di Kabupaten Ciamis
11) Taman Wisata Alam Gunung Galunggung, terletak di
Kabupaten Tasikmalaya
12) Taman Wisata Alam Gunung Parang dan Taman
Wisata Alam Cibungur, terletak di Kabupaten
Purwakarta
13) Lain-lain taman wisata alam, tersebar di
Kabupaten/Kota

5. Taman Buru Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, terletak di


Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut dan
Kabupaten Sumedang

6. Kawasan Pelestarian Plasma a. Muara Gembong, terletak di Kabupaten Bekasi


Nutfah
b. Kebun Raya Bogor, terletak di Kota Bogor
c. Taman Safari Indonesia, Taman Buah Cileungsi dan
Gunung Salak Endah, terletak di Kabupaten Bogor
d. Taman Bunga Nusantara dan Kebun Raya Cibodas,
terletak di Kabupaten Cianjur
e. Pantai Pangumbahan dan Perairan Sukawayana,
terletak di Kabupaten Sukabumi
f. Jatiluhur/Sanggabuana, terletak di Kabupaten
Purwakarta
g. Kawah Putih dan Gunung Patuha, terletak di

II-20
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi

Kabupaten Bandung
h. Kebun Binatang Bandung, terletak di Kota Bandung
i. Cimapag/Rancabuaya dan Arboretum Cibeureum,
terletak di Kabupaten Garut
j. Gunung Cakrabuana, Sirah Cimunjul dan Gunung
Galunggung, terletak di Kabupaten Tasikmalaya
k. Majingklak, Karangkamulyan, Cipanjalu dan Cukang
Taneuh, terletak di Kabupaten Ciamis
l. Kebun Raya Kuningan, terletak di Kabupaten Kuningan
m. Lain-lain kawasan perlindungan plasma nutfah,
tersebar di Kabupaten/Kota

7. Kawasan Cagar Budaya dan a. Istana Bogor, Batu Tulis, Makam Mbah Dalem, Museum
Ilmu Pengetahuan Zoologi dan Vihara Budha Sena, terletak di Kota Bogor
b. Batu Tulis Ciaruteun dan Gua Gudawang, terletak di
Kabupaten Bogor
c. Istana Cipanas, Situs Megalitik Gunung Padang dan
Makam Dalem Cikundul, terletak di Kabupaten Cianjur
d. Makam Sunan Gunungjati, terletak di Kabupaten
Cirebon
e. Gua Sunyaragi, Keraton Kasepuhan, Kanoman dan
Kacirebonan, terletak di Kota Cirebon
f. Museum Linggarjati dan Situs Budaya Cipari, terletak di
Kabupaten Kuningan
g. Kampung Naga, terletak di Kabupaten Tasikmalaya
h. Cadas Pangeran, Desa Adat Rancakalong, Museum
Geusan Ulun, Makam Cut Nyak Dien dan Makam
Dayeuh Luhur, terletak di Kabupaten Sumedang
i. Candi Cangkuang dan Kampung Dukuh, terletak di
Kabupaten Garut
j. Ciung Wanara Karang Kamulyan, Kampung Kuta dan
Astana Gede Kawali, terletak di Kabupaten Ciamis
k. Gedung Sate, Gedung Pakuan, Gedung Landraad dan
Gedung Merdeka, terletak di Kota Bandung
l. Observatorium Bosscha, Situs Bojongmenje dan Situs
Gua Pawon, terletak di Kabupaten Bandung
m. Museum Perjuangan Rengasdengklok, Tugu Proklamasi
Rengasdengklok, Kawasan Percandian Batujaya dan
Cibuaya, Situs Candi Jiwa dan Situs Makam Pulo Batu
Wadas, terletak di Kabupaten Karawang
n. Kampung Adat Cipta Gelar, terletak di Kabupaten
Sukabumi
o. Lain-lain kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan,
tersebar di Kabupaten/Kota

II-21
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi

8. Kawasan Konservasi Geologi

a. Kawasan Cagar Alam 1) Cagar Alam Geologi Gua Pawon, terletak di Kabupaten
Geologi Bandung
2) Cagar Alam Geologi Ciletuh, terletak di Kabupaten
Sukabumi

b. Kawasan Kars 1) Citatah-Tagog Apu, terletak di Kabupaten Bandung


2) Ciseeng, Gunung Kembar, Gunung Batu dan Ciampea,
terletak di Kabupaten Bogor
3) Bumiayu, terletak di Kabupaten Sukabumi

9. Kawasan Rawan Bencana Alam

a. Kawasan rawan bencana a) Kawasan Gunung Salak, terletak di Kabupaten Bogor


gunung api dan Kabupaten Sukabumi
b) Kawasan Gunung Gede Pangrango, terletak di
Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten
Sukabumi
c) Kawasan Gunung Halimun, terletak di Kabupaten
Bogor dan Kabupaten Sukabumi
d) Kawasan Gunung Tangkubanparahu, terletak di
Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang
e) Kawasan Gunung Papandayan, terletak di Kabupaten
Garut dan Kabupaten Bandung
f) Kawasan Gunung Galunggung, terletak di Kabupaten
Tasikmalaya dan Kabupaten Garut
g) Kawasan Gunung Guntur, terletak di Kabupaten Garut;
h) Kawasan Gunung Ciremai, terletak di Kabupaten
Kuningan dan Kabupaten Majalengka

b. Kawasan rawan gempa 1) Kabupaten Ciamis


2) Kabupaten Cianjur
3) Kabupaten Garut
4) Kabupaten Majalengka
5) Kabupaten Sumedang
6) Kabupaten Bogor
7) Kabupaten Sukabumi
8) Kota Sukabumi
9) Kabupaten Subang
10) Kabupaten Purwakarta
11) Kabupaten Kuningan

c. Kawasan rawan gerakan 1) Kabupaten Bogor

II-22
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

No. Jenis Kawasan Lindung Lokasi

tanah 2) Kabupaten Cianjur


3) Kabupaten Sukabumi
4) Kabupaten Purwakarta
5) Kabupaten Subang
6) Kabupaten Bandung
7) Kabupaten Sumedang
8) Kabupaten Garut
9) Kabupaten Tasikmalaya
10) Kabupaten Ciamis
11) Kabupaten Majalengka
12) Kabupaten Kuningan

d. Kawasan rawan banjir Kawasan rawan banjir, tersebar di Kabupaten/Kota

10 Hutan Kota a. Hutan Kota Babakan Karet, terletak di Kabupaten


Cianjur
b. Lain-lain hutan kota, tersebar di Kabupaten/Kota

Sumber: RTRW Provinsi Jawa Barat (2010).

Selain tipologinya, luas kawasan lindung di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat


juga bervariasi, ada yang luas dan ada pula yang sempit. Kabupaten Garut
memiliki luas kawasan lindung paling luas, yakni seluas 309.001, 28 ha. Luas
masing-masing tipologi kawasan lindung pada setiap kabupaten/kota di Jawa
Barat disajikan pada Tabel 2-3.

Proses penilaian kinerja harus memperhatikan aspek keadilan (fairness). Bobot


nilai tinggi akan diberikan jika energi (upaya/pengorbanan) yang dilakukan
dalam pengelolaan kawasan lindung juga tinggi, begitupun sebaliknya. Salah
satu yang dapat dijadikan penentuan bobot nlilai kinerja tersebut adalah tipologi
kawasan lindung. Dalam buku ini, tipologi kawasan lindung ditentukan pada
setiap indikator berdasarkan beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja
pengelolaan kawasan lindung pada indikator yang bersangkutan. Faktor-faktor
yang dimaksud bisa bersifat beban, penghambat atau pendukung dalam upaya
pencapaian kinerja. Beberapa faktor yang dapat dipertimangkan dalam
penentuan tipologi kawasan lindung antara lain: luas dan jenis kawasan lindung,
indeks Fiskal APBD , jumlah penduduk, angka kemiskinan, indeks pembangunan
manusia (IPM), dan sebagainya. Interaksi dan korelasi yang bersifat posistif

II-23
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

sangat diharapkan terjadi antar faktor faktor tersebut diatas dengan kondisi dan
pngelolaan kawasan lindung.
Berdasarkan luas dan jenis kawasan lindung, maka tipologi kabupaten yang ada
di Jawa Barat dapat dikelompokan menjadi kabupaten dengan kawasan lindung
yang besar, sedang dan kecil. Kabupaten yang memiliki kawasan lindung yang
besar akan memerlukan kinerja dan sumberdaya yang cukup besar untuk
mengelola dan melestarikan kawasan lindung. Berbeda halnya dengan
kabupaten yang memiliki kawasan lindung yang relatif kecil yang hanya
memerlukan upaya, kinerja dan sumberdaya yang relatif kecil.

Tipologi kabupaten berdasarkan luas kawasan lindung mempengaruhi


pencapaian kinerja suatu indikator tertentu yang berbeda dengan indikator
yang tidak dipengaruhi oleh luas kawasan lindung. Akan tetapi semua indikator
sangat dipengaruhi oleh faktor faktor tertentu sesua dengan bidangnya. Oleh
karena itu pemahaman tentang faktor yang mempengaruhi kinerja suatu
indikator harus dikaji menjadi suatu tipologi yang menjadi pertimbangan dalam
penilaian suatu indikator terutama dalam penentuan bobot indikator pada
kabupaten tertentu.

II-24
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat

Tabel 2-3. Luas tipe kawasan lindung di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat
KAWASAN LINDUNG KAWASAN BUDI DAYA Persentase
LUAS
Luas KL
WILAYAH
NO KAB/KOTA Hutan Non Hutan Total KL Jumlah luas terhadap
Kab/kota
total KL
(ha) (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) (%)
1 KAB. BANDUNG 176,565.27 52,843.86 29.93 53,373.68 30.23 106,217.53 60.16 2,201.33 1.25 6.42
2 KAB. BANDUNG BARAT 130,617.28 21,705.42 16.62 42,689.68 32.68 64,395.09 49.30 15,469.00 11.84 3.89
3 KAB. BEKASI 128,127.40 11,449.87 8.94 3,548.65 2.77 14,998.52 11.71 - - 0.91
4 KAB. BOGOR 298,015.40 43,478.12 14.59 67,967.89 22.81 111,446.02 37.40 39,685.95 13.32 6.74
5 KAB. CIAMIS 281,412.60 5,725.67 2.03 112,487.05 39.97 118,212.72 42.01 30,738.66 10.92 7.14
6 KAB. CIANJUR 358,684.80 51,238.93 14.29 163,984.46 45.72 215,223.40 60.00 41,841.56 11.67 13.01
7 KAB. CIREBON 105,604.20 7.17 0.01 1,412.53 1.34 1,419.70 1.34 4,388.81 4.16 0.09
8 KAB. GARUT 309,001.30 93,270.69 30.18 153,202.38 49.58 246,473.06 79.76 11,949.95 3.87 14.90
9 KAB.INDRAMAYU 207,182.30 5,595.04 2.70 644.26 0.31 6,239.30 3.01 30,895.88 14.91 0.38
10 KAB. KARAWANG 191,209.30 8,601.42 4.50 15,217.16 7.96 23,818.58 12.46 13,435.27 7.03 1.44
11 KAB. KUNINGAN 122,289.30 9,572.31 7.83 51,970.98 42.50 61,543.28 50.33 25,241.90 20.64 3.72
12 KAB. MAJALENGKA 131,904.80 10,144.55 7.69 35,266.04 26.74 45,410.58 34.43 17,957.04 13.61 2.74
13 KAB. PURWAKARTA 96,845.12 2,561.36 2.64 37,148.54 38.36 39,709.90 41.00 18,296.13 18.89 2.40
14 KAB. SUBANG 215,644.30 12,644.13 5.86 35,986.51 16.69 48,630.64 22.55 13,654.09 6.33 2.94
15 KAB. SUKABUMI 417,701.30 50,062.31 11.99 227,682.21 54.51 277,744.52 66.49 57,302.04 13.72 16.79
16 KAB. SUMEDANG 156,061.70 18,528.39 11.87 71,782.72 46.00 90,311.11 57.87 28,205.67 18.07 5.46
17 KAB. TASIKMALAYA 267,522.40 17,138.76 6.41 156,351.64 58.44 173,490.40 64.85 31,165.40 11.65 10.48
18 KOTA BANDUNG 16,440.12 0.98 0.01 164.04 1.00 165.02 .00 - - 0.01
19 KOTA BANJAR 9,793.34 - - - - - - 1,153.79 11.78 -
20 KOTA BEKASI 0,159.01 - - - - - - - - -
21 KOTA BOGOR 10,981.58 - - 234.50 2.14 234.50 2.14 - - 0.01
22 KOTA CIMAHI 4,468.39 - - - - - - - - -
23 KOTA CIREBON 3,329.72 - - - - - - - - -
24 KOTA DEPOK 18,973.00 7.00 0.04 - - 7.00 0.04 - - 0.00
25 KOTA SUKABUMI 5,301.05 - - 1,236.70 23.33 1,236.70 23.33 445.55 8.40 0.07
26 KOTA TASIKMALAYA 21,101.42 1,188.38 5.63 6,581.29 31.19 7,769.66 36.82 261.05 1.24 0.47
3,704,936.4 1,654,697.2
JUMLAH 415,764.34 11.22 1,238,932.90 33.44 44.66 384,289.07 10.37 100.00
0 4
SUMBER : RTRWP Jabar tahun 2010

II-25
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

BAB III
METODE PENENTUAN
KRITERIA DAN INDIKATOR

3.1. Kerangka Penentuan Prinsip, Kriteria, Indikator


dan Verifier

T ercapainya kawasan lindung sebesar 45% dari luas total daratan Jawa Barat
merupakan tujuan utama pogram Green Province Jawa Barat. Tujuan lainnya
adalah tumbuhnya budaya hijau (Green culture) di masyarakat Jawa Barat yang
mendorong kesadaran tinggi dalam melestarikan lingkungan hijau di wilayah
Jawa Barat. Perwujudan hijau secara fisik ( Green based on land coverage) pada
kawasan lindung merupakan unsur utama menuju tercapainya Green Province
Jawa Barat. Namun demikian, hijau secara fisik sulit dicapai tanpa adanya
budaya/kultur baru cinta lingkungan yang dimiliki masyarakat Jawa Barat.

Aktivitas ekonomi dalam pemanfaatan kawasan lindung atau sumberdaya alam


seringkali mengorbankan kepentingan eksosistemnya. Sehingga menurunkan
daya dukung sumberdaya alam. Demikian pula, kegiatan sosial, norma dan
budaya masyarakat dalam berinteraksi dengan kawasan lindung turut
berpengaruh dalam upaya pelestarian kawasan lindung. Oleh karena itu,
kegiatan ekonomi, dan sosial dalam interaksi dengan pemanfaatan biofisik
kawasan lindung perlu didukung dengan serangkaian kebijakan dari pemerintah
agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi kawasan lindung.
Dalam hal ini, aspek kebijakan menjadi payung atau prasyarat yang harus
dipenuhi agar tujuan pengelolaan kawasan lindung dapat tercapai dengan baik.

Dalam rangka mengukur tercapainya tujuan pengelolaan kawasan lindung, perlu


dibuat kriteria dan indikator yang tepat. Kriteria dan indikator yang tepat, yaitu
kriteria indikator yang memiliki sifat terukur, sederhana atau mudah
diaplikasikan di lapangan, murah, serta mudah ditelusuri ulang. Kritera dan
indikator yang akan dikembangkan dalam pengelolaan kawasan lindung Jawa
Barat meliputi empat aspek, yaitu : aspek kebijakan, biofisik, ekonomi dan

III-1
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

sosial. Tipe indikator yang dikembangkan adalah kombinasi indikator input,


output dan outcome.
Kriteria dan indikator yang ditetapkan disusun secara dua dimensi, yaitu dimensi
vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal terdiri dari komponen Prinsip, Kriteria,
Indikator dan Verifier, sedangkan dimensi horizontal terdiri dari komponen
kebijakan, biofisik, ekonomi dan sosial (Gambar 3-1). Prinsip adalah suatu
aturan atau kebenaran fundamental yang mendasari pola berpikir atau
bertindak. Kriteria adalah standar yang digunakan untuk mengetahui/menilai
apakah kemajuan yang dicapai dapat memenuhi prinsip. Indikator adalah
variabel atau komponen dari sistem pengelolaan yang mencerminkan atau
mengindikasikan situasi atau kondisi yang diperlukan oleh kriteria. Verifier
adalah data atau informasi yang dapat menambah kejelasan dan memudahkan
penilaian terhadap suatu indikator. Secara keseluruhan hirarki pada Gambar 3-
1 menggambarkan hubungan yang erat dan utuh antara tujuan (Prinsip) pada
tingkat atas dengan Kriteria dan Indikator sampai ke tingkat terbawah yaitu
Verifier (Penguji). Kerangka kerja ini harus memenuhi logika dasar agar tetap
terjalin utuh.

Prinsip Perencanaan, impelementasi dan pengendalian


(tujuan)

Kriteria

Indikator

Verifier
(penguji)

Kebijakan Biofisik ekonomi sosial

Gambar 3-1. Dimensi pengembangan kriteria dan indikator pengelolaan


kawasan lindung

III-2
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

Prinsip (tujuan) umum pengelolaan kawasan lindung Jawa Barat adalah


tercapainya luas kawasan lindung sebesar 45% dari total luas daratan Jawa
Barat serta terpeliharanya kualitas kawasan lindung yang mampu memberikan
fungsi perlindungan lingkungan hidup secara optimal bagi kenyamanan dan
kesejahteraan masyarakat Jawa Barat (Perda Jawa Barat No. 22 tahun 2012).
Prinsip tersebut diberlakukan sebagai kerangka kerja utama untuk mewujudkan
langkah-langkah menuju pengelolaan kawasan lindung lestari, melalui
penyusunan dan pengembangan kriteria, indikator, dan verifier. Prinsip umum
tersebut dijabarkan lebih lanjut pada setiap aspek pengelolaan meliputi aspek
kebijakan, bofisik, sosial dan ekonomi.

Kriteria dapat dipandang sebagai prinsip tingkat kedua yang menambah arti
pada prinsip dan membuatnya menjadi berfungsi atau lebih operasional. Kriteria
dapat memiliki satu atau lebih indikator dimana informasi yang disediakan oleh
indikator dapat diintegrasikan dan cara penilaian dapat ditafsirkan menjadi
semakin jelas. Verifier (pengukur) ini memberikan rincian spesifik yang
menunjukkan atau mencerminkan keadaan suatu indikator yang diinginkan.
Keterangan yang disebutkan dalam verifier ini memberikan arti tambahan,
presisi dan juga kondisi spesifik lokasi suatu indikator tertentu.

Kriteria dan indikator yang akan ditetapkan harus memenuhi kaidah SMART
(specific, measurable, achievable, responsibility, treasureable)
1. Spesipik (Specific)
Kriteria yang dibuat harus bersifat spesipik sesuai dengan objek yang akan
dinilai (assessment).
2. Terukur (Measurable)
Kriteria dan indikator yang dikembangkan harus dapat terukur dan
terstandarisasi.
3. Dapat diterima/dipahami (Achievable)

Kriteria dan indikator yang akan dikembangkan harus dapt diterima dan
mudah dipahami serta mudah diaplikasikan di lapanan
4. Responsibility (responsibility)
Kriteria dan indikator yang dikembangkan harus dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya baik secara saintifik maupun
operasional

5. Dapat ditelusuri ulang (treasureable)

Kriteria dan indikator yang digunakan dalam penilaian dapat ditelusuri


ulang, untuk mengecek validitas datanya.

III-3
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

3.2. Tahapan Penetapan Kriteria dan Indikator

Secara garis besar, tahapan penentuan kriteria dan indikator meliputi (1)
Identifikasi potensi dan masalah, kebijakan, isu strategis, stakeholder dan tujuan
pengelolaan kawasan lindung; (2) Gap analysis; (3) Penentuan prinsip, kriteria,
indikator dan verifier; (4) Pengujian validasi kriteria dan indikator di lapangan,
serta evaluasi ulang validitas kriteria dan indikator. Metode penetapan prinsip,
kriteria, indikator dan verifier secara diagramatik disajikan pada Gambar 3-2.

Identifikasi potensi, masalah, kebijakan,


stake holder, isu strategis dan tujuan
(prinsip), pengelolaan kawasan lindung Jawa
Barat

Gap analysis
Kondisi faktual dengan kondisi
yang ideal (diharapkan)
 Aspek kebijakan
 Biofisik
 Sosek
 Ekonomi
Penentuan Prinsip, Kriteria, Indikator
dan Verifier (PKIV) pengelolaan
kawasan lindung secara empirik dan
saintifik

Re- Pengujian PKIV saintifik dan


Evaluasi
empirik di lapangan
&
koreksi
PKIV
PKIV
Y Operasional
Uji
Validitas PKIV (SMART)
OK ?

Gambar 3-2. Metode penetapan prinsip, kriteria, indikator dan verifier


pegelolaan kawasan lindung

III-4
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

3.2.1. Identifikasi potensi, masalah, kebijakan, stakeholder, isu


strategis dan tujuan pengelolaan kawasan lindung
Identifikasi potensi dan permasalahan kawasan lindung perlu
diketahui untuk memahami segala permasalahan dan potensi yang
bisa dikembangkan dalam pengelolaan kawasan lindung secara
lestari. Selain itu, analisis stakeholder (para pihak) dan kebijakan
yang mengatur pemanfaatan kawasan lindung perlu dilakukan untuk
mengetahui arah pengembangan pengelolaan kawasan lindung.

3.2.2. Gap analysis


Gap analysis dilakukan terhadap kondisi faktual (eksisting) dengan
kondisi ideal yang diharapkan. Gap analysis dapat dijadikan dasar
untuk menentukan standar (syarat) kecukupan yang harus dipenuhi
pada salah satu aspek dalam pengelolaan kawasan lindung. Gap
analysis dilakukan secara spasial (keruangan).

3.2.3. Penentuan Prinsip, Kriteria, Indikator dan Verifier


pengelolaan kawasan lindung secara empirik dan
saintifik

Setelah mempelajari pemasalahan, isu startegis, kebijakan dan gap


analysis maka dapat disusun prinsip, kriteria, indikator dan verifier
yang bersifat saintifik dan empirik. Untuk mempermudah
penyusunan kriteria dan indikator dibuatkan tabel panduan yang
mencakup: aspek penilaian, prinsip, kriteria, indikator, verifier, bobot
penilaian (Tabel 3-1). Penjelasan kriteria, argumentasi pentingnya
kriteria, penjelasan indikator dan argumentasi pentingnya indikator
(Tabel 3-2) serta jenis data dan sumber data, metode verifikasi dan
instrumen verifikasi.

III-5
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

Tabel 3-1. Kriteria, indikator, verifier dan kematangan indikator

Bobot Penilaian
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
(kematangan indikator)

Tabel 3-2. Penjelasan setiap kriteria dan indikator

Argumentasi Argumentasi
Penjelasan Penjelasan
No Kriteria Pentingnya Indikator pentingnya
Kriteria Indikator
Kriteria Indikator

Tabel 3-3. Jenis data, sumber data, metode verifikasi dan instrumen verifikasi
setiap indikator

JENIS SUMBER METODE INSTRUMEN


INDIKATOR VERIFIER
DATA DATA VERIFIKASI VERIFIKASI

3.2.4. Pengujian Kriteria dan Indikator di Lapangan


Kriteria dan indikator yang telah disusun dan dirumuskan tidak
langsung ditetapkan dan dipergunakan sebagai alat evaluasi baku.
Kriteria dan indikator tersebut harus diuji terlebih dahulu dengan
proses validasi dan verifikasi di lapangan. Pengujian kriteria dan
indikator dilakukan untuk mengetahui tingkat penerapan indikator dan
verifier di lapangan.

Pengujian pertama yang akan dilakukan adalah uji coba alat/model


evaluasi yang telah dirumuskan dengan cara mencocokkan dengan

III-6
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

kondisi riil di lapangan (validasi empirik). Selain itu model/alat evaluasi


tersebut dipergunakan untuk melakukan evaluasi berdasarkan sampel
data kondisi riil yang ada (validasi operasional). Pengujian ini
dilakukan dengan melibatkan unsur pengguna/pemanfaat program
kawasan lindung, terutama dari unsur pemerintah daerah. Pengujian
juga dilakukan dengan cara mengkonfirmasikan model/alat evaluasi
dan indikator tersebut kepada pihak yang berkepentingan
(stakeholders) terhadap terwujudnya kawasan lindung lestari.
Pengujian direncanakan dilakukan dengan menggunakan beberapa
sampel wilayah di tingkat kabupaten/kota yang berada dalam lingkup
Provinsi Jawa Barat. Dimana alat evaluasi tersebut diterapkan pada
beberapa instansi terkait dan kalangan masyarakat.

Diharapkan dari hasil pengujian dapat diperoleh kriteria dan indikator


yang bisa menjadi alat evaluasi yang cukup representatif dan efektif.
Namun bersifat sederhara, realistik dan operasional/implementif untuk
mengukur target pencapaian kawasan lindung di suatu wilayah
tertentu.

3.2.5. Penetapan Kriteria dan Indikator Skala Operasional

Kriteria dan indikator operasional ditetapkan setelah dilakukan uji coba


di lapangan. Validitas kriteria dan indikator dapat ditempuh melalui
forum diskusi/pembahasan. Pada forum tersebut dilakukan
pembahasan secara mendalam atas usulan-usulan perbaikan (korektif)
kriteria dan indikator yang sulit ditetapkan di lapagan. Diharapkan dari
forum diskusi/pembahasan diperoleh saran-saran masukan dan
rekomendasi bagi penyempurnaan lebih lanjut. Sehingga
menghasilkan kriteria dan indikator yang cukup valid dan bersifat
operasional untuk digunakan di lapangan.

3.2.6. Re-Evaluasi Kriteria dan Indikator


Kriteria dan indikator kawasan lindung yang telah ditetapkan bukan
bersifat kaku (rigid), tetapi dapat mengalami perubahan terus-
menerus sesuai dengan perkembangan kondisi dan kasus yang
ditemui di lapangan saat dilakukan penilaian. Perbaikan, dapat
dilakukan dalam periode waktu yang konstan seperti setiap setahun
sekali atau dalam kurun waktu yang diperlukan tanpa ditentukan
sebelumnya. Melalui tahapan proses tersebut diharapkan kriteria dan

III-7
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

indikator menjadi lebih relevan, reliable dan applicable sehingga


memiliki reevansi yang tinggi terhadap kondisi serta mengikuti waktu.

III-8
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

BAB IV
KRITERIA DAN INDIKATOR
PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG
JAWA BARAT

K riteria dan indikator pengelolaan kawasan lindung Jawa Barat setelah diuji di
lapangan ditetapkan sebanyak empat prinsip, 19 kriteria, 40 indikator dan 93
verifier (Tabel 4-1) . Kriteria Indikator yang disusun meliputi aspek aspek yaitu
aspek biofisik, kebijakan, sosial dan ekonomi. Indikator biofisik lebih bersifat
indikator output, sedangkan indikator kebijakan pada umumnya bersifat input.
Indikator ekonomi bersifat ouput dan outcome.

Tabel 4-1. Jumlah prinsip, kriteria, indikator dan verifier yang ditetapkan
Aspek Prinsip Kriteria Indikator Verifier

Biofisik 1 4 13 28

Kebijakan 1 6 11 29
Sosial 1 3 8 24
Ekonomi 1 6 8 12
Jumlah 4 19 40 93

4.1. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Biofisik

A spek biofisik menjadi landasan dalam penilaian kawasan lindung karena


kawasan lindung sangat erat hubungannya dengan kondisi biofisik. Kondisi

IV-1
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

biofisik, yaitu : kondisi fisik lahan beserta vegetasinya yang mendukung dalam
peranan kawasan lindung di suatu wilayah. Dimana kawasan lindung adalah :
suatu wilayah dengan keadaan sumberdaya alam air, flora dan fauna seperti
hutan lindung, hutan suaka, hutan wisata, daerah sekitar sumber mata air, alur
sungai, dan kawasan lindung lainnya sebagimana diatur Kepres 32 Tahun 1990.
Terdapat tiga kriteria biofisik yang menjadi dasar pertimbangan dalam
penentuan suatu wilayah sebagai kawasan lindung, yaitu faktor kelerengan
lapangan, faktor jenis tanah menurut kepekaan terhadap erosi, dan faktor rata-
rata intensitas hujan harian. Selain itu, dalam wilayah kawasan lindung yang
berfungsi sebagai tata air, banjir dan erosi sangat mementingkan keberadaan
vegetasi dengan kondisi yang optimum di suatu wilayah.
Berdasarkan luas, secara fisik Provinsi Jawa Barat telah menetapkan kawasan
lindung di provinsi pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 tahun 2006
ditetapkan seluas 45%. Untuk mewujudkan rencana pencapaian kawasan
lindung tentunya terdapat kendala-kendala yang dihadapi. Dengan menetapkan
prinsip, kriteria, indikator pada aspek biofisik ini diharapkan dapat menjadi alat
monitoring terhadap kondisi kawasan lindung di wilayah Provinsi Jawa Barat.

4.1.1. Prinsip Aspek Biofisik

Prinsip (tujuan) pengelolaan kawasan lindung dilihat dari aspek biofisik adalah :
Terciptanya kondisi biofisik kawasan lindung yang semakin baik sesuai dengan
tipologinya, meliputi luas dan kejelasan, kesesuaian peruntukan atau fungsinya,
kualitas fisik, serta upaya pelestariannya. menurut tipologi kawasan lindung.

4.1.2. Kriteria dan Indikator Aspek Biofisik


Pada aspek biofisik dari satu prinsip yang menjadi landasan diurai ke dalam
empat kriteria dan 13 indikator, yaitu sebagai berikut :
1) Luas dan kejelasan kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan luar
kawasan, terdiri atas 2 indikator.
2) Kesesuaian peruntukkan dan fungsi kawasan lindung, terdiri atas 1
indikator.
3) Kualitas kawasan lindung pada seluruh tipe kawasan lindung, terdiri atas 6
indikator.

4) Upaya-upaya pelestarian kawasan lindung, terdiri atas 4 indikator.

Uraian detail masing-masing kriteria dan indikator sebagi berikut :

IV-2
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

1) Luas dan kejelasan kawasan lindung, baik kawasan lindung dalam


kawasan dan di luar kawasan.
Kriteria ini menunjukkan luas dan letak masing–masing tipe kawasan
lindung dalam suatu wilayah administratif, yang sudah ditandai batasnya
secara jelas baik di dalam peta maupun di lapangan. Kriteria ini menjadi
penting, karena untuk mendukung fungsi optimal dari suatu kawasan
lindung memerlukan luas yang optimum sehingga luas dan kejelasan batas
kawasan lindung penting untuk kepastian kawasan lindung dimaksud.
Kriteria ini mencakup dua indikator, sebagai berikut:

a. Penataan batas kawasan lindung pada kawasan hutan negara .


Setiap jenis kawasan lindung harus memiliki tata batas yang jelas. Tata
batas merupakan pemisah antara kawasan lindung dalam kawasan dengan
luar kawasan. Indikator ini bertujuan agar terjadi penataan batas kawasan
yang jelas untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dengan kawasan
lain. Hal ini penting karena kawasan lindung pada dasarnya memiliki tata
kelola khusus yang berbeda dengan kawasan lainnya. Penataan kawasan
hutan negara relatif jelas karena sudah ada aturan yang jelas.
b. Penandaan batas kawasan lindung di luar kawasan
Pada umumnya penadaan batas di luar kawasan hutan masih jarang dan
relatif sulit untuk dilakukan, apalagi pada tanah milik. Namun demikian
kejelasan kawasan lindung pada kawsan di luar hutan negara sangat
penting untuk memberikan insentif dan dis-insentif yang berkeadilan.
Kejelasan batas-batas kawasan lindung pada lahan milik juga penting untuk
mencegah terjadinya konflik tenurial dan konflik sosial.

2) Kesesuaian peruntukkan dan fungsi kawasan lindung.

Kriteria ini dimasukkan sebagai standar penilaian kawasan lindung untuk


mengetahui kesesuaian penggunaan lahan dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) dan atau zona kelas kemampuan lahan dan yang ada di
Kawasan lindung. Kepentingan kriteria ini dapat mengetahui
permasalahan penggunaan lahan di kawasan lindung. Aspek
pengendalian kawasan lindung tergambar dari kesesuaian penggunaan
lahan di kawasan lindung.
Kriteria ini mencakup satu indikator yaitu :Kesesuaian peruntukan kawasan
lindung.
Indikator kesesuaian peruntukan lahan di kawasan lindung untuk
mengetahui kesesuaian penggunaan lahan dengan rencana tata ruang

IV-3
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

wilayah (RTRW) dan atau zona kelas kemampuan lahan dan yang ada di
Kawasan lindung.
Indikator kesesuaian peruntukan dan fungsi kawasan lindung untuk
mengetahui permasalahan dari penggunaan lahan di kawasan lindung.
Aspek pengendalian kawasan lindung tergambar dari kesesuaian
penggunaan lahan di kawasan lindung.

3) Kualitas kawasan lindung pada seluruh tipe kawasan lindung.


Kualitas kawasan lindung sangat terkait dengan fungsi kawasan lindung.
Semakin baik kualitas kawasan lindung, maka fungsi lindung akan semakin
terpenuhi. Fungsi kawasan lindung akan terpenuhi jika total area kawasan
berfungsi dengan baik. Kualitas kawasan lindung menjadi gambaran dari
fungsi kawasan lindung. Kualitas kawasan lindung dapat digambarkan
dengan tingkat penutupan vegetasinya yang mencakup keseluruhan
kawasan lindung atau yang dibandingkan dengan luas area.
Mencakup enam indikator yaitu :

a. Penutupan vegetasi di kawasan lindung Tipe I (Sempadan pantai;


Sempadan sungai; Kawasan sekitar waduk/danau; Kawasan sekitar mata
air; Kawasan mangrove Taman nasional;Tahura; Taman Wisata Alam;
Kawasan rawan tanah longsor; Kawasan rawan gelombang pasang;
Kawasan rawan banjir; Kawasan yang sesuai untuk hutan lindung).
Kualitas kawasan lindung dapat digambarkan dengan kualitas penutupan
vegetasi. Kawasan lindung tipe I merupakan kawasan lindung yang
difungsikan untuk menghindari bahaya, seperti : erosi, longsor dan
banjir. Fungsi lainnya adalah sebagai kawasan resapan air. Adanya
fungsi ganda dari kawasan lindung tipe satu yang mempunyai fungsi
ganda ini mengharuskan kawasan lindung ini harus berada dalam
keadaan kualitas yang lebih baik yang diwujudkan dengan tingkat
penutupan vegetasi yang rapat pada keselurahan areal kawasan
lindung tipe I ini terutama dalam menghindarkan bahaya yang timbul
akibat rendahnya tingkat/kualitas penutupan vegetasi.

b. Penutupan vegetasi di kawasan lindung dg Tipe II (Kawasan resapan air;


RTH; Kawasan yang memberi perlindungan air tanah; KPN eks-situ;
Kawasan koridor bagi satwa).
Kawasan ini dari segi kondisi fisik alaminya tidak memberikan bahaya
longsor, banjir atau bahaya lainnya. Namun fungsi yang dikedepankan

IV-4
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

adalah fungsi manfaat yang ingin diperoleh seperti respan air, dan
keanekaragaman hayati. Untuk memperoleh manfaat dari kawasan
lindung tipe II maka diperlukan tingkat penutupan vegetasi dengan
tingkat penutupan yang optimal, yaitu minimal tingkat penutupan
vegetasi dengan kerapatan sedang (diperkirakan sekitar diatas 40%
karapatan tajuk pohonnya).

c. Keberadaan RTH di kawasan perkotaan atau kawasan budidaya yang


berfungsi lindung
Bagi Kabupaten atau kota yang tidak memiliki kawasan lindung, maka
keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi sangat penting. RTH di
kawasan perkotaan memberikan perlindungan terhadap polusi udara dan
fungsi hiroorologis serta fungsi sosial. Luas RTH minimal 30% dari luas
daratan di wilayah kota.
d. Debit air sungai yang dipengaruhi oleh kawasan lindung.
Debit air sungai menggambarkan fungsi hidroorologis kawasan lindung
dan merupakan output dari proses yang terjadi pada kawasan lindung.
Baik buruknya kawasan lindung dapat digambarkan dari kualitas debit
air sungai. Debit air sungai menjadi indikator kualitas kawasan dan
signal peringatan bagi bahaya yang terjadi akibat buruknya kawasan
lindung.

e. Keanekaragaman jenis pohon pada kawasan lindung di luar kawasan


atau non hutan
Keanekaragaman jenis pohon menggambarkan jumlah jenis pohon di
kawasan lindung. Keanekaragaman pohon merupakan keanekaragaman
kunci yang mendukung bagi keanekaragaman satwa, dan spesies non
pohon. Keanekaragaman hayati dalam kawasan lindung menjadi
gambaran ketahanan ekosistem dalam kawasan lindung, serta upaya
konservasi sumberdaya hayati di kawasan lindung.

f. Pengelolaan keanekaragaman hayati di Kawasan Lindung


Indikator ini menunjukkan upaya-upaya yang dilakukan dalam menjaga
dan meningkatkan keanekaragaman hayati secara terencana dan
terkendali. Keanekaragaman hayati bersifat dinamis apabila tidak
dilakukan penanganan secara baik maka keanekaragaman hayati bisa

IV-5
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

menurun. Penurunan keanekaragaman hayati dapat menurunkan


kualitas kawasan lindung.

4) Upaya-upaya pelestarian kawasan lindung.


Upaya yang dilakukan oleh pengelola dalam menangani, menjaga dan
meningkatkan fungsi kawasan lindung. Keberadaan kawasan lindung dalam
keadaan kritis yang masih belum tertangani masih cukup tinggi. Disamping
itu, ancamanpun cukup tinggi pula, sehingga upaya pelestarian kawasan
lindung harus terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya pelestarian kawasan
lindung dapat mencakup tiga indikator, yaitu :
a. Aktivitas penanaman, pemeliharaaan, perlindungan dan pengamanan
pada kawasan lindung.
Indikator ini merupakan upaya pokok dalam pelestarian kawasan lindung
untuk menjaga kelangsungan dan kelestarian suatu kawasan lindung.
b. Pengurangan lahan kritis pada berbagai tipe kawasan lindung.
Lahan kritis adalah lahan di kawasan lindung yang tidak berfungsi
lindung, dan berpotensi memberikan dampak buruk/ bahaya serta tidak
memberikan manfaat yang optimal. Saat ini luas kritis masih cukup
tinggi dan menjadi fokus utama untuk dikurangi.

c. Ketersediaan bibit untuk mendukung upaya penanaman di kawasan


lindung
Jaminan pengadaan bibit merupakan penunjang utama dalam
pelestarian kawasan lindung. Pengadaan bibit adalah faktor penting
dalam menunjang kelestarian kawasan lindung dan menjadi titik kritis
dalam penanganan kawasan lindung. Kawasan lindung yang telah
ditanami dengan tegakan pohon memerlukan regenerasi dari bibit
alami maupun buatan.
d. Perlindungan terhadap spesies flora dan fauna jarang, langka dan
terancam punah serta flora dan atau fauna yang merupakan kekhasan
wilayah setempat di kawasan lindung.
Perlindungan terhadap spesies flora dan fauna jarang, langka dan
terancam punah serta flora dan atau fauna yang merupakan kekhasan
wilayah setempat di kawasan lindung non hutan
Secara lengkap, kriteria dan indikator aspek biofisik disajikan pada Lampiran
Tabel 1

IV-6
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

4.2. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Kebijakan

Kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy dikaitkan dengan keputusan


pemerintah, untuk mengarahkan masyarakat dalam melakukan aktivitas yang
diharapkan, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Dalam
mengarahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas sosial dan ekonomi dalam
mewujudkan kesejahteraannya. Hal pertama yang harus diatur adalah
ruang/wilayahnya. Kebijakan dimaksud adalah kebijakan tentang penataan
ruang dengan tujuan mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional sesuai dengan (Pasal 3 UU No.26/2007):

a. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan


buatan;
b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan

c. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif


terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Salah satu yang diatur dalam penataan ruang adalah Pola Ruang yakni distribusi
peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk
fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya dalam wujud
Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya yang dituangkan dalam Rencana Tata
Ruang. Hasil proses penataan ruang adalah Rencana Tata Ruang yang
dituangkan dalam Peta Rencana Tata Ruang (RTRW) Nasional, Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Sebaran dan luas kawasan lindung dan kawasan budidaya
sesuai dengan daya dukung dan daya tampungnya, akan terlihat dari rencana
tata ruang tersebut.

Pengaturan pola ruang yang sesuai dengan ketentuan tersebut, diharapkan


aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat akan aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan. Aktivitas masyarakat sebagaimana tersebut, peran Kawasan
Lindung menjadi penting karena memiliki fungsi utamanya adalah melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber
daya buatan. Komitmen pemerintah mengenai keberadaan dan luasan kawasan
lindung diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah, Rencana Program dan
Kegiatan serta dukungan APBD dalam kepastian proses-proses pembangunan
yang menjamin kawasan lindung, upaya perlindungan dan pelestarian serta
pengaturan pemanfaatan kawasan lindung secara lestari.

IV-7
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

Berdasarkan hal tersebut, maka Aspek Kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan


Kawasan Lindung merupakan indikasi tentang komitmennya untuk menjamin
keberadaan dan luasan kawasan lindung. Sehingga fungsi utama kawasan
lindung menjadi maksimal. Dari aspek Kebijakan tersebut, fokus assessment
akan dilihat dari Prinsip, Kriteria dan Indikator serta Verifier yang memastikan
bahwa arahan aktivitas menjamin keberadaan dan luasan kawasan lindung.

4.2.1. Prinsip Aspek Kebijakan


Prinsip pengelolaan kawasan lindung ditinjau dari aspek kebijakan adalah
Dukungan kebijakan dalam menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di
masyarakat, menjamin kepastian kawasan lindung, serta upaya perlindungan,
pemanfaatan dan peningkatan fungsi kawasan lindung termasuk cagar budaya
dan ilmu pengetahuan.

Kebijakan merupakan dasar untuk mengarahkan aktivitas kegiatan ekonomi dan


sosial dalam pengelolaan kawasan lindung adalah kebijakan menumbuh
kembangkan budaya hijau dan kebijakan tata ruang, agar:

a. Terwujudnya perilaku (life style) masyarakat yang mendukung pengelolaan


kawasan lindung;
b. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;

c. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan


sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
d. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang
Prinsip ini mendorong Pemerintah Provinsi/Kabupaten untuk memiliki aturan
yang dapat mengarahkan masyarakat dan proses pembangunan dalam hal
berikut:

a. Menumbuhkembangkan budaya hijau di masyarakat sebagai modal sosial


(social capital) dalam mendukung keberadaan kawasan lindung melalui
kebiasaan menanam pohon di kalangan masyarakat dan menanamkan
prinsip pengelolaan kawasan lindung di kalangan generasi melalui
pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah atau
Peraturan lainnya.
b. Menjamin keberadaan dan sebaran kawasan lindung sesuai dengan aturan
di atasnya, memberikan akses pembangunan ekonomi tidak di lakukan di
kawasan lindung sehingga keberadaan (lokasi) dan luasan kawasan lindung
secara lestari dan fungsi utamanya untuk perlindungan lingkungan dalam
mendukung kehidupan masyarakat yang aman, nyaman dan berkelanjutan.

IV-8
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

c. Menjamin bahwa akan dilakukan perlindungan dan pelestarian kawasan


lindung dari segala tekanan baik dari manusia, alam maupun tekanan
pembangunan.
d. Menjamin bahwa upaya pemanfaatan Kawasan Lindung dalam bentuk
manfaat jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu tidak mengganggu
fungsi utamanya dan keuntungannya dikembalikan kepada upaya
perlindungan dan pelestarian kawasan lindung.

e. Menjamin bahwa dampak lingkungan terhadap kesehatan berbasis


lingkungan dan tingkat produktivitas pertanian, peternakan dan perikanan
menjadi tanggungjawab Pemerintah
f. memastikan bahwa Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kota memiliki
aturan yang dapat mengarahkan masyarakat dan proses pembangunan
dalam menjamin keberadaan dan kelestarian benda cagar budaya sehingga
bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menggali kearifan
lokal sebagai modal pembangunan

Cagar budaya adalah kegiatan untuk menjaga atau melakukan konservasi


terhadap benda-benda alam atau buatan manusia yang dianggap memiliki nilai
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di Indonesia, benda
cagar budaya harus berumur sekurang-kurangnya 50 tahun (UU No.5 tahun
1992). Benda cagar budaya tidak hanya penting bagi disiplin ilmu arkeologi,
tetapi terdapat berbagai disiplin ilmu yang dapat melakukan analisis
terhadapnya. Antropologi misalnya dapat melihat kaitan antara benda cagar
budaya dengan kebudayaan sekarang.

4.2.2. Kriteria Aspek Kebijakan

Kriteria atau standard yang menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi dan


Kabupaten/Kota memiliki aturan dalam menjamin untuk menumbuh
kembangkan budaya hijau di masyarakat, menjamin kepastian Kawasan
Lindung, serta upaya perlindungan, pemanfaatan dan peningkatan fungsi
kawasan lindung, adalah sebagai berikut.

1. Kejelasan kebijakan untuk meningkatkan budaya menanam


pohon.

Kejelasan kebijakan untuk meningkatkan budaya menanam pohon


merupakan standard yang dapat menjamin bahwa terdapat aturan

IV-9
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

dalam mencitakan iklim/kondisi yang mampu menumbuh-kembangkan


budaya hijau di masyarakat sehingga terjadi peningkatan modal sosial
sebagai modal dasar dalam mendukung keberadaan dan luasan kawasan
lindung sehingga fungsi kawasan lindung menjadi optimal dan lestari.
Assessment yang dilakukan dalam Kriteria ini adalah melalui kajian
terhadap keberadaan dan substansi kebijakan yang menjamin kondisi di
atas.

2. Kebijakan yang menjamin kepastian kawasan lindung dalam


RTRW Kabupaten/Kota.
Kebijakan tentang Penataan Ruang merupakan standard utama dalam
memastikan keberadaan dan sebaran Kawasan Lindung di setiap
kabupaten/kota. Keberadaan RTRW Kabupaten/Kota merupakan indikasi
bahwa arah pembangunan yang akan dilakukan telah menjamin
terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan; terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia;
dan terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Assessment yang dilakukan dalam Kriteria ini adalah melalui kajian


tentang keberadaan dan substansi kebijakan yang menjamin pemastian
kawasan lindung telah teralokasikan sesuai dengan proporsi di setiap
kabupaten/kota.

3. Kebijakan yang mendukung upaya perlindungan kawasan


lindung
Secara kewenangan Kawasan Lindung dibedakan atas Kawasan Lindung
yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Standard kebijakan dalam pengeloaan
kawasan lindung adalah keberadaan kebijakan untuk melakukan upaya
perlindungan kawasan lindung yang enjadi tanggungjawabnya dan
mendukung upaya Pemerintah Pusat dalam melakukanupaya
perlindungan kawasan lindung yang menjadi tanggngjawabnya.
Assessment yang dilakukan terhadap keterpenuhan standard ini adalah
melalui kajian terhadap keberadaan kebijakan untuk melakukan upaya
perlindungan dan mendukung upaya yang dilakukan Pemerintah Pusat
dalam melakukan perlidungan kawasan lindung yang menjadi
tanggungjawabnya.

IV-10
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

4. Kejelasan kebijakan mekanisme pengaturan pemanfaatan


kawasan lindung secara lestari yang menjadi tanggung-
jawabnya dan mendukung upaya pemanfaatan kawasan
lindung secara lestari yang menjadi tanggung-jawab pusat/
provinsi.
Kawasan Lindung dapat dimanfaatkan secara terbatas yang tidak
mengganggu fungsi utamanya dalam bentuk pemanfaatan kawasan
lindung, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan non
kayu. Standard keterpenuhan aspek kebijakan adalah adanya
pengaturan pemanfaatan kawasan lindung secara lestari sehingga
menjamin bahwa pemanfaatan kawasan lindung menggunakan prinsip-
prinsip kelestarian di Kawasan Lindung yang menjadi tanggungjawabnya
dan mendukung upaya yang dilakukan untuk pemanfaatan Kawasan
Lindung yang menjadi tanggungjawab Pusat.
Assesment yang dilakukan terhadap keterpenuhan standard ini adalah
melalui kajian pedoman, SOP maupun aturan lainnya dalam
pemanfaatan Kawasan Lindung yang tidak bertentangan dengan
peraturan di atasnya.

5. Kejelasan kebijakan dalam menjaga dan meningkatkan fungsi


kawasan lindung di kawasan lindung yang menjadi tanggung-
jawabnya dan mendukung upaya menjaga dan meningkatkan
fungsi kawasan lindung di kawasan lindung yang menjadi
tanggung-jawab pusat/provinsi.
Dalam mewujudkan kondisi Kawasan Lindung dalam menjamin fungsi
utamanya dapat berangsung, maka diperlukan untuk melindung,
menjaga dan meningkatkan kualitas penutupan lahan di Kawasan
Lindung. Keterpenuhan terhadap standard dari aspek ini menjadi
penting dalam menjamin keberlangsungan fungsi kawasan lindung
secara optimal.
Assessment yang dilakukan adalah melalui kajian tentang berbagai
peraturan yang menjamin upaya perlindungan dan peningkatan fungsi
kawasan lindung.

6. Kejelasan kebijakan dalam melindungi dan melestarikan cagar


budaya dan ilmu pengetahuan baik berupa gedung/monumen
(heritage) maupun budaya asli lokal (local native culture) dan
lingkungannya.

IV-11
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

Kejelasan kebijakan dalam pengelolaan Cagar budaya ditujukan untuk


menjaga atau melakukan konservasi terhadap benda-benda alam atau
buatan manusia yang dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Dalam konteks ini didalamnya perlu
melindungi komunitas dan lingkungannya. Oleh karena itu keterpenuhan
terhadap standard dariaspek ini menjadi penting dalam menjamim
keberlanjutan Cagar Alam.

Assessment yang dilakukan adalah melalui kajian tentang berbagai


peraturan yang menjamin Cagar Alam secara lestari untuk meningkatkan
kemanfaatan bagi ilmu pengetahuan dan pelestarian budaya.

4.2.3. Indikator Aspek Kebijakan

Terdapat 11 indikator pada aspek kebijakan, yaitu:

1. Ketersediaan Kebijakan, program dan alokasi dana dalam


menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di masyarakat.
2. Ketersediaan kebijakan kurikulum pendidikan lingkungan hidup di tingkat
TK, SD, SMP dan SMA/SMK.
3. RTRW Kab/Kota telah memenuhi legal aspek.
4. Ketersediaan program dan alokasi APBD dalam penataan batas kawasan
lindung hutan dan penandaan batas kawasan lindung non hutan.
5. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota yang melindungi kawasan
lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya
perlindungan yang menjadi tanggungjawab provinsi/ pusat.
6. Ketersediaan Program dan alokasi APBD dalam perlindungan kawasan
lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya
perlindungan kawasan lindung yang menjadi tanggung jawab
pusat/provinsi.
7. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Izin Pemanfaatan
Kawasan Lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan memfasilitasi
masyarakat untuk memperoleh Izin Pemanfaatan di Zona Pemanfaatan
Hutan Pelestarian Alam dari Pemerintah Pusat yang menjadi
tanggungjawab pusat.
8. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tekait pengaturan pola dan
budidaya tanaman di kawasan lindung lahan milik.
9. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang menjaga dan
meningkatkanfungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan
mendukung upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung
yang dilakukan Pemerintah Pusat/Provinsi.

IV-12
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

10. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang perlindungan dan


pelestarian monumen/gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau
sejarah.
11. Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang perlindungan dan
pelestarian komunitas budaya asli lokal, kesenian asli dan lingkungan yang
mendukungnya.

Secara lengkap, kriteria dan indikator aspek kebijakan disajikan pada Lampiran
Tabel 2.

4.3. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Sosial

Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi


kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi pemenuhan generasi yang akan
datang. Dalam operasionalnya tidak terlepas dari ketiga ranah yaitu ranah
ekonomi, lingkungan dan social atau triple bottom line. Indikator pembangunan
dalam dimensi sosial sangat menentukan keberhasilan pembangunan secara
keseluruhan. Beberapa hal yang terkait dengan permasalahan-permasalahan
pada dimensi sosial seperti, demokrasi dan good governance, partisipasi
masyarakat, empowerment (pemberdayaan), hak asasi manusia, keadilan,
kesinambungan lingkungan, kesetaraan gender, dan lain-lain. Komponen-
komponen ini menjadi indikator yang dapat menciptakan kondisi untuk mencapai
tujuan pembangunan sesungguhnya, yaitu kesejahteraan masyarakat dan
keadilan sosial.
Pembangunan sosial sebagai bagian dari pembangunan nasional telah
memperoleh pengakuan yang luas. Terbukti dengan diselenggarakannya
Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Sosial (World Summit on
Social Development) di Copenhagen, Denmark tanggal 6-12 Maret 1995 yang
lalu. Pada konferensi tersebut dibahas tiga isu utama yang sedang melanda
dunia yaitu kemiskinan, penciptaan dan perluasan lapangan kerja dan
penumbuhan gerakan solidaritas sosial nasional.
Oleh sebab itu untuk dapat memperbaiki kesejahteraan sosial masyarakat
melalui pembangunan khususnya pembangunan sosial maka perlu
dilakukan tidak hanya membangun untuk kepentingan organisasi dan
masyarakat secara massal tetap juga memperhatikan kepentingan individu,
keluarga dan kelompok dalam masyarakat. Perspektif mikro menekankan
kepada pembangunan individual, keluarga, kelompok dan terkadang termasuk

IV-13
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

juga organisasi. Program-program pembangunan harus diarahkan kepada


penguatan individu, keluarga dan kelompok agar mereka dapat memperoleh
kesejahteraan (well-being) sebagai modal sosial dalam pembangunan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Bain dan Hick yang dipetik Krishna dan
Shradder (2000) yang mengatakan bahwa modal sosial mempunyai dua
dimensi. Dimensi yang pertama yaitu dimensi kognitif, berkaitan nilai
dan kepercayaan, solidaritas dan resiprositas yang mendorong ke arah
terciptanya kerjasama dalam masyarakat guna mencapai tujuan bersama.
Setiap kelompok etnik memiliki dimensi kognitif atau kadang disebut juga
sebagai dimensi budaya sekalipun dalam kadar yang berbeda. Kekayaan
nilai-nilai budaya sebagai modal sosial memungkinkan terpeliharanya
hubungan yang harmonis, baik sesama warga masyarakat secara internal
maupun dengan orang-orang dari kelompok suku/etnisitas yang berbeda.

Dimensi modal sosial yang kedua yaitu dimensi struktural, yang berupa
susunan, ruang lingkup organisasi dan lembaga-lembaga masyarakat pada
tingkat lokal, yang mewadahi dan mendorong terjadinya kegiatan-kegiatan
kolektif yang bermanfaat bagi warga masyarakat. Oleh sebab itu untuk
mencapai kemajuan dalam pembangunan terlebih dalam pembangunan sosial
maka pembentukan invididu-individu yang tangguh dari segi mental dan
kejiwaan, keluarga yang kukuh dan kelompok sosial yang kuat merupakan
fondasi dasar dalam pembangunan. Individu, keluarga dan kelompok
sosial sedemikian mempunyai kemandirian dan daya tahan dari pengaruh
dan situasi perubahan di luar mereka. Kemandirian dan ketahanan ini
memungkinkan mereka terhindar dari masalah-masalah sosial seperti
maladjustment, keruntuhan rumah tangga, dan konflik sosial antara
kelompok dalam masyarakat. Situasi harmoni sedemikian memberi peluang
kepada setiap orang untuk membangun diri mereka mencapai tingkat
pendidikan tertinggi, memperoleh derajat kesehatan yang tinggi dan mencapai
kesejahteraan ekonomi yang memadai.
Dalam operasionalnya pembangunan hutan berkelanjutan harus mengikuti
konsep pembangunan berkelanjutan tersebut di atas. Pembangunan hutan
dalam konteks pengelolaan kawasan lindung harus memberikan manfaat
secara sosial dan ekonomi berkaitan dengan bagaimana sebuah kawasan
atau ekosistem dapat diidentifikasi dan kemudian dilindungi karena mutlak
keberadaannya untuk memenuhi kebutuhan dasar sebuah komunitas yang
dinamis.
Dengan masuknya masyarakat dan berbagai pihak lainnya dalam pengelolaan
hutan, maka membawa implikasi bagaimana membangun pengelolaan hutan
khususnya kawasan lindung secara lestari yang mempertimbangkan aspek
sosial, ekonomi dan ekologi. Hasil Konferensi Helsingki merumuskan 6 kriteria

IV-14
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

manajemen perhutanan sosial yang berkelanjutan yaitu a). mempertahan dan


meningkatkan sumberdaya hutan dan kontribusinya terhadap siklus karbon; b).
mempertahankan kesehatan hutan dan vitalitasnya; c). mempertahankan
meningkatkan fungsi produktif dari hutan; d). memelihara, mengkonservasi dan
meningkatkan diversifikasi biologi dalam ekosistem hutan; e). memelihara dan
meningkatkan fungsi protektif dalam menajemen hutan; f.) dan memelihara
fungsi sosial ekonomi dan fungsi lainnya dari hutan (Wolfslehner et al. 2005).

Dalam pengelolaan sumberdaya hutan khususnya di Jawa Barat yang telah


ditetapkan minimal 45% kawasan lindung, h a r u s m e m p e r h a t i k a n
dampak-dampak langsung pada sumber kehidupan masyarakat lokal sering
terabaikan hingga bahkan hilang sama sekali. Hal ini dapat menyebabkan
konflik antara kepentingan unit pengelolaan dan masyarakat tidak
bisa dihindari. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan harus
mengacu konsep dalam paradigm pembangunan dengan tujuan pembangunan
milinium (milinium development goals/MDG) yang telah menjadi kesepakatan
masyarakat internasional, termasuk masyarakat Indonesia, disebutkan bahwa
tujuan pembangunan social adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat,
meningkatnya kualitas kehidupan serta tercukupinya kebutuhan dasar. Untuk
mewujudkan tujuan tersebut diperlukan pendekatan pembangunan berkeadilan
dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan.
Kaitannya dengan keterlibatan masyarakat dalam konteks pembangunan
kehutanan yang berkelanjutan, menurut Keraf dalam Siahaan (2007) bahwa
terdapat lima prinsip, yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Prinsip Pemerataan dan Keadilan Sosial adalah semua orang dan kelompok
masyarakat memperoleh peluang yang sama untuk ikut dalam proses
pembangunan dan kegiatan pembangunan;

2. Prinsip Demokrasi adalah pembangunan dilaksanakan atas kehendak rakyat,


kepentingan rakyat dan untuk kesejahtaraan rakyat. Dengan kata lain adalah
partisipasi rakyat diperlukan dalam merencanakan dan merumuskan
kegiatan atau agenda pembangunan;
3. Prinsip Pendekatan Integral adalah pembangunan berkelanjutan
mengedepankan integralisasi antara pengelolaan sumberdaya manusia
dengan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam lainnya;
4. Prinsip Perspektif Hari Esok adalah mengelola dengan cara yang arif
sumberdaya alam dan lingkungan untuk kepentingan ganerasi sekarang dan
akan datang;
5. Prinsip Menuntut dan Menghargai Keanekaragaman Hayati.

IV-15
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

Kemudian filosofi bahwa pemerintah terlibat dalam pengelolaan hutan


berkembang dari teori etika lingkungan (Antroposentris) dengan implikasinya
bahwa sumberdaya alam dan lingkungan disediakan untuk kepentingan manusia
untuk memenuhi kebutuhannya. Pemerintah memiliki kepentingan terhadap
sumberdaya alam dan lingkungan adalah menjalankan amanah Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 33 yaitu mengelola sumberdaya alam untuk kesejahteraan
rakyat.

Dengan demikian, maka kepentingan pemerintah dalam pengelolaan hutan


adalah melindungi kepentingan nasional untuk kesejahteraan masyarakat. Peluso
(2006) dalam Maring (2010) menyatakan kepentingan negara dalam
pengelolaan sumberdaya hutan adalah mewujudkan kekuasaannya atas
sumberdaya hutan melalui cara menguasai hutan, spesies, tenaga kerja dan
aspek ideologis. Dengan demikian pengelolaan kawasan lindung di Jawa Barat
ini harus dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dalam kerangka
melindungi kepentingan nasional untuk kesejahteraan masyarakat.
Untuk dapat menjamin keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan
lindung tidak terlepas dari aspek kelembagaan. Aspek kelembagaan merupakan
salah satu hal terpenting dalam pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan lindung. Ada beberapa hal dalam aspek kelembagaan pemberdayaan
masyarakat ini yakni: pertama, peran dan sinergitas diantara para pihak
(stakeholder), baik sinergitas antar sektor maupun antar tingkat pemerintahan;
kedua, akses masyarakat terhadap sumber daya kawasan dan dalam proses
pengambilan keputusan; ketiga, social capital (kepercayaan, kebersamaan,
partisipasi, jejaring) masyarakat yang diberdayakan; keempat, posisi tawar
masyarakat dalam kemitraan pengelolaan sumber daya hutan.

Berdasarkan hal tersebut, maka Aspek Sosial dalam konteks pengelolaan


Kawasan Lindung merupakan indikasi tentang dukungan masyarakat terhadap
keberadaan kawasan lindung agar dapat berfungsi secara optimal. Dari aspek
social tersebut, fokus assessment akan dilihat dari Prinsip, Kriteria dan Indikator
serta Verifier yang memastikan bahwa arahan aktivitas social dapat menjamin
keberadaan dan luasan kawasan lindung.

4.2.1. Prinsip Aspek Sosial


Prinsip adalah suatu kebenaran atau hukum yang mendasari pola berpikir atau
bertindak yang melandasi pola hubungan yang harmonis antara masyarakat
dengan kawasan lindung untuk menjamin kualitas kawasan lindung baik
keberadaan dan luasannya agar dapat berfungsi secara optimal. Memperhatikan
tipe dan sebaran kawasan lindung di Jawa Barat, maka Prinsip sosial terkait
dengan pengelolaan kawasan lindung adalah : Pengakuan dan keterjaminan

IV-16
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

manfaat social dan kelembagaan bagi masyarakat adat/setempat. Dalam


assessment terhadap Prinsip dimaksud adalah memastikan bahwa masyarakat
memiliki kelembagaan yang dapat mengarahkan dan meningkatkan keterlibatan
secara aktif masyarakat dalam proses pembangunan dengan memanfaatkan
modal sosial (social capital) untuk mendukung keberadaan kawasan lindung
melalui internalisasi budaya pada praktek-praktek masyarakat yang diwujudkan
dalam kearifan local dan kearifan tradisional pelestarian kawasan lindung.

4.2.2. Kriteria Aspek Sosial

Kriteria dari Aspek Sosial adalah suatu standar yang digunakan untuk menilai
dukungan masyarakat dalam bentuk kelembagaan dan keterlibatan masyarakat
untuk menjamin keberadaan dan luasan kawasan lindung sesuai dengan
Prinsipnya.

Kriteria atau standard yang menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi dan


Kabupaten/Kota memiliki skema yang menjamin keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan kawasan lindung, adalah sebagai berikut.

1. Kejelasan yuridiksi kawasan masyarakat hukum adat/masyara-


kat setempat dengan kawasan lindung.
Kejelasan yuridiksi kawasan masyarakat hukum adat/masyarakat setempat
dengan kawasan lindung merupakan standar yang menjamin kawasan
masyarakat hukum adat/masyarakat setempat dengan kawasan lindung
terdapat tanda-tanda batas yang jelas yang sebagai bukti pengakuan atas
keberadaan masyarakat adat/masyarakat setempat. Kejelasan batas ini
untuk menjamin kepastian kawasan lindung sehingga dapat dikelola
secara lestari.

Assessment yang dilakukan dalam Kriteria ini adalah melalui kajian


terhadap yuridiksi kawasan masyarakat hukum adat/masyarakat setempat
dengan kawasan lindung.

2. Kejelasan organisasi masyarakat dan aturan mainnya dalam


pengelolaan kawasan lindung bersama.
Kejelasan organisasi masyarakat dan aturan mainnya dalam pengelolaan
kawasan lindung bersama merupakan standar yang dapat menjamin
bahwa keberadaan organisasi masyarakat sebagai kumpulan individu
dalam masyarakat memiliki kepedulian dan memiliki komitmen yang kuat
dalam pengelolaan kawasan lindung bersama sehingga dapat dicapai
pengelolaan kawasan lindung secara berkelanjutan.

IV-17
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

Assessment yang dilakukan dalam Kriteria ini adalah melalui kajian


terhadap organisasi masyarakat dan aturan mainnya dalam pengelolaan
kawasan lindung bersama.

3. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung.


Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung merupakan
standar yang dapat menjamin bahwa pengelolaan kawasan lindung secara
berkelanjutan dapat terwujud dengan keterlibatan masyarakat dalam
setiap tahap kegiatan pengelolaan kawasan lindung.

Assessment yang dilakukan dalam Kriteria ini adalah melalui kajian


terhadap Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung.

4.2.3. Indikator Aspek Sosial

Indikator adalah variabel atau komponen dari ekosistem Kawasan Lindung atau
sistem pengelolaan yang digunakan untuk menyimpulkan status suatu kriteria.
Terdapat delapan indikator dalam aspek sosial yaitu:
1. Batas-batas yang jelas antara kawasan masyarakat hukum adat/masyarakat
setempat dengan kawasan lindung
2. Mekanisme resolusi konflik penguasaan lahan yang efektif
3. Ketersediaan organisasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung

4. Keseimbangan hak dan kewajiban stakeholder dalam pemanfaatan kawasan


lindung

5. Ketersediaan tata cara pemanfaatan kawasan lindung


6. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan KL

7. Praktek pelestarian kawasan lindung secara tradisional di lahan adat


8. Praktek budaya lokal dalam pelestarian kawasan lindung

Adapun Indikator dari masing-masing kriteria dapat dilihat pada Lampiran Tabel
3.

IV-18
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

4.4. Penjelasan Kriteria dan Indikator Aspek Ekonomi

Tantangan besar yang dihadapi Provinsi Jawa Barat sampai tahun 2025 adalah
memulihkan dan menguatkan kembali daya dukung lingkungan dalam
pelaksanaan pembangunan. Bersamaan dengan itu keterlibatan masyarakat
untuk melakukan berbagai penguatan bagi terwujudnya perilaku dan budaya
ramah lingkungana, serta sadar resiko bencana perlu terus
ditumbuhkembangkan. Pengelolaan dan pelestarian kawasan lindung dengan
prinsip keberlanjutan menjadi tumpuan bagi upaya peningkatan kualitas
lingkungan hidup dimasa depan, karena penerapan prinsip–prinsip
pembangunan berkelanjutan dan sinergitas implementasi di seluruh sektor dan
wilayah menjadi prasyarat dalam pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan.
Pembiayaan penataan jasa lingkungan merupakan aspek penting yang selama ini
sulit dilaksanakan karena terkait kerjasama dan komitmen antar pihak atau antar
daerah. Penerapan prinsip yang mencemari dan merusak harus membayar, pola
pembagian peran hulu-hilir atau pusat–daerah, bagi hasil pajak untuk
lingkungan, dana lingkungan, serta pola pembiayaan pemeliharaaan lingkungan
harus mulai dilakukan.
Usaha pelestarian fungsi kawasan lindung, yaitu fungsi lingkungan, sosial dan
ekonomi, diarahkan pada pemulihan kondisi dan peningkatan fungsi kawasan
lindung untuk menjaga keseimbangan ekosistem kawasan, kestabilan iklim baik
mikro maupun makro, manfaat ekologis dan menjaga sumber daya ekonomi
kawasan. Dalam kaitan pengurangan resiko bencana alam, kawasan lindung
bermanfaat besar guna mencegah atau mengurangi besaran serta dampak
akibat bencana alam, seperti banjir, longsor, dan tsunami, sedangkan potensi
yang dapat dimanfaatkan secara ekonomi yaitu dari sisi manfaat jasa lingkungan
nilai tambah keanekaragaman hayati, dan sumberdaya air. Mengingat besarnya
peran dan fungsi yang diharapkan dari kawasan lindung di Jawa Barat, maka
dalam setiap pemanfaatannya harus dalam kaidah-kaidah konservasi.

4.4.1. Prinsip Aspek Ekonomi


Dalam konteks perwujudan kawasan lindung menuju Jawa Barat sebagai
Provinsi Hijau (Green Province), Prinsip aspek ekonomi diperlakukan sebagai
kerangka kerja primer untuk mendukung terwujudnya kawasan lindung dengan
pendekatan sustainable development. Prinsip ini menjadi dasar dalam menyusun
dan mengembangkan kriteria, indikator dan pengukur. Prinsip dapat juga
dianggap sebagai kearifan manusia. Kearifan di sini didefinisikan sebagai
pertambahan pengetahuan seseorang atau suatu kelompok yang dihasilkan oleh

IV-19
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

kemampuan dalam mengambil kesimpulan setelah mereka memiliki tingkat


pemahaman yang mamadai tentang suatu bidang pengetahuan. Oleh karena itu
kearifan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan.
Memperhatikan Visi, Misi dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (2000-
2025) dan Jangka Menengah (2008-2013) Jawa Barat, maka Prinsip Aspek
Ekonomi terkait dengan Kawasan Lindung adalah : Pemanfaatan kawasan
lindung secara ekonomi berupa jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati
secara berkelanjutan.

Dalam Assessment prinsip aspek ekonomi ini, mencoba untuk mengukur secara
kuantitatif/pendekatan moneter potensi-potensi ekonomi yang dimiliki kawasan
lindung dengan tetap memperhatikan daya dukung dan daya tampung kawasan.
Jasa wisata alam dan wisata budaya serta multiplier efeknya merupakan
manfaat yang bisa diperoleh dari pengelolaan kawasan lindung, dengan
karakteristik yang dimiliki yang harus menekankan fungsi konservasi maka
pemanfaatan jasa wisata alam dan multiplier efeknya harus berbasis daya
tampung dan daya dukung kawasan, sehingga kelestarian jasa lingkungan dari
kawasan lindung dapat terpelihara.

4.4.2. Kriteria Aspek Ekonomi


Kriteria kawasan lindung bidang ekonomi dalam rangka menuju Jawa Barat
sebagai Provinsi Hijau (Green Province), diturunkan dari manfaat ekonomi yang
bisa diperoleh dari kawasan lindung sebagaimana tercantum dalam arah
pembangunan RPJMD 2008-2013 Jawa Barat. Pengukuran manfaat ekonomi
dari kawasan lindung, dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran
besarnya manfaat yang bisa diperoleh dari kawasan lindung secara terukur,
yang pada akhirnya akan memberikan pesan/bahasa yang mudah dipahami
kepada masyarakat, sehingga tumbuh motivasi yang kuat untuk terus menjaga
kelestariannya. Adapun kriteria kinerja pengelolaan kawasan lindung
berdasarkan aspek ekonomi terdapat sebanyak enam kriteria yaitu :
1. Nilai ekonomi dari berbagai macam dampak akibat perubahan iklim mikro.
Jasa wisata alam dan wisata budaya serta multiplier efeknya merupakan
manfaat yang bisa diperoleh dari pengelolaan kawasan lindung, dengan
karakteristik yang dimiliki yang harus menekankan fungsi konservasi maka
pemanfaatan jasa wisata alam dan multiplier efeknya harus berbasis daya
tampung dan daya dukung kawasan, sehingga kelestarian jasa lingkungan
dari kawasan lindung dapat terpelihara.

IV-20
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

2. Nilai ekonomi dari berbagai macam dampak akibat perubahan iklim mikro.
Perubahan cuaca yang tidak menentu memberikan dampak negatif, yaitu
semakin berkembangnya penyakit-penyakit berbasis lingkungan, penurunan
produktivitas sektor perikanan & pertanian. Merujuk teori yang
dikemukakan oleh Hendrik L. Blum, bahwa pengaruh kondisi lingkungan
terhadap kesehatan manusia mencapai 40%. Sehingga terwujudnya
kawasan lindung dengan kualitas maupun kuantitas yang baik, maka akibat
buruk yang ditimbulkan akibat perubahan iklim yang tidak terkendali dapat
diatasi.

3. Terpeliharanya fungsi pengaturan tata air kawasan lindung secara


berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan/ konsumsi air masyarakat.
Sumberdaya air merupakan kebutuhan dasar manusia dan mahluk hidup
lainnya, sehingga keberadaan dan kesinambungan ketersediaannya sangat
dibutuhkan. Dengan salah satu fungsinya sebagai pengatur tata air, maka
kawasan lindung mempunyai peran sangat penting dalam menjaga dan
mewujudkan keberlangsungan kehidupan di muka bumi ini. Hal ini
membuktikan bahwa kawasan lindung memiliki nilai dan peran yang sangat
penting dalam menjaga keberlangsungan kehidupan seluruh mahluk hidup,
sehingga wajib untuk memelihara dan menjaga kelestariannya.

4. Nilai manfaat kawasan lindung dalam mengurangi besaran serta dampak


dari bencana longsor, banjir dan tsunami
Erosi dan banjir salah satunya diakibatkan oleh deras dan besarnya
limpasan air permukaan, hal ini terjadi karena tidak adanya kawasan yang
dapat menyerap dan mengurangi kecepatan air untuk akhirnya tersimpaan
dalam tanah, kawasan lindung dengan pepohonanya diharapkan dapat
menanggulangi bencana alam tersebut, juga bencana tsunami dengan
penanaman hutan mangrove diharapkan dapat mengurangi besaran dan
dampak dari bencana. Sehingga kawasan lindung harus terpelihara dan
terjaga kelestariannya, agar fungsinya sebagai penyeimbang ekosisitem
alam dapat terjamin.

5. Pemanfaatan keanekaragaman hayati melalui kegiatan budidaya


Jawa Barat mempunyai potensi yang besar dan variatif dalam menghasilkan
produk-produk sumberdaya hayati, kondisi ini didukung oleh kondisi
agroekosistem yang cocok untuk pengembangan komoditas pertanian
dalam arti luas (tanaman pangan, ternak, ikan dan hutan). Saat ini Jawa
Barat merupakan produsen untuk 40 jenis komoditas agribisnis di
Indonesia. Sehingga dengan mengembangkan nilai tambah

IV-21
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

keanekaragaman hayati akan menambah nilai ekonomi total dari


keberadaan kawasan lindung, sehingga terbangunnya kawasan lindung
yang terjaga kelestariannya akan terwujud

6. Kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan lindung.

Kondisi umum masyarakat sekitar kawasan hutan umumnya miskin, dengan


ditumbuhkembangkannya kegiatan ekonomi yang disesuaikan dengan daya
dukung, daya tampung dan karakteristik kawasan diharapkan tingkat
kesejahteraan masyarakat dari tahun ke tahun berikutnya bisa meningkat.

4.4.3. Indikator Aspek Ekonomi

Indikator kinerja pengelolaan kawasan lindung yang ditetapkan sebanyak


delapan indikator yaitu:

1. Pendapatan yang diperoleh pemerintah dari pengelolaan dan pemanfaatan


objek wisata alam dan wisata budaya dengan tidak merusak fungsinya
sebagai kawasan lindung
2. Peluang kerja dan peluang usaha di sekitar objek wisata alam dan wisata
budaya/zona pemanfaatan di kawasan lindung
3. Terukur secara ekonomi nilai kawasan lindung sebagai pencipta kestabilan
iklim mikro, dengan mengukur biaya penanganan dampaknya (outcome)
terhadap kesehatan masyarakat dan pengadaan gerakan penanaman
pohon secara massal
4. Penurunan tingkat produktivitas sektor pertanian dan sektor perikanan
akibat kondisi kawasan lindung yang buruk
5. Perubahan biaya untuk konsumsi yang harus dikeluarkan oleh PDAM dan
industry
6. Terukurnya nilai manfaat kawasan lindung sebagai pencegah dan
mengurangi besaran bencana dengan mengukur tingkat kerugian baik
moril maupun material akibat terjadinya longsor, banjir dan tsunami
7. Jumlah produksi dari jenis-jenis yang telah dibudidayakan yang bersumber
dari kawasan lindung
8. Jumlah masyarakat di dalam dan sekitar kawasan lindung yang memiliki
pendapatan di atas US$ 1 (PPP) / hari

Secara lengkap, kriteria dan indikator aspek ekonomi disajikan pada Lampiran
Tabel 4.

IV-22
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

PENUTUP

K riteria dan Indikator Kinerja Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka


Perwujudan Green Province Jawa Barat disusun sebagai pedoman dalam tata
kelola kawasan lindung di Jawa Barat untuk mencapai kuantitas dan kualitas
kawasan lindung yang diinginkan. Pencapaian kuantitas (luasan) dan kualitas
kawasan lindung yang baik merupakan salah satu indikator perwujudan Provinsi
Hijau (Green Province) Jawa Barat. Kriteria dan indikator ini disusun dengan
melibatkan proses partisipasi aktif para pihak terutama SKPD yang terkait
dengan pengelolaan kawasan lindung melalui proses FGD. Kriteria dan indikator
yang disusun bersifat saintifik dan implementatif (operasional) dengan
memperhatikan prinsip SMART (Specific, Measurable, Achievable, Responsibility,
Treasureable) sehingga tercipta kriteria yang sederhana, terukur dan mudah
dilaksanakan di lapangan serta dapat ditelusuri ulang.

Kriteria dan indikator ini bersifat mandatory, dari pemerintah provinsi ke


pemerintah kabupaten/kota, bertujuan untuk pembinaan dan monev program
pengelolaan kawasan lindung. Kriteria dan indkator yang disusun tidak bersifat
rigid, yang berarti dapat disesuaikan dengan kondisi permasalahan di lapangan
dan dapat dikoreksi atau disesuaikan dengan hasil kajian di lapangan.
Kriteria dan indikator yang telah disusun ini diharapkan dapat dijadikan acuan
dalam mengevaluasi dan memonitoring kebijakan-kebijakan Pemerintah Jawa
Barat dalam mencapai kawasan lindung sebesar 45%. Kriteria dan indikator
sebagai tools untuk mengukur kualitas kawasan lindung di Jawa Barat. Secara
indikatif luas kawasan lindung yang sudah ditetapkan provinsi Jabar, di atas peta
sudah mencapai 45%, namun secara kualitas fungsinya tidak semua lokasi
kawasan lindung terkelola dengan baik.
Kriteria dan indikator ini sangat perlu untuk mencapai pengelolaan kawasan
lindung yang berkelanjutan. SITH Institut Teknologi Bandung telah berusaha
keras untuk menyusun kriteria dan indikator tersebut. Maka dalam kesempatan
ini, SITH menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang terlibat, terutama kepada pihak Pemerintah Provinsi Jawa
Barat, khususnya Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat yang telah memberikan
kesempatan dalam penyusunan kriteria dan indikator ini. Semoga dengan
hadirnya kriteria dan indikator ini, kinerja pengelolaan kawasan lindung dapat
lebih ditingkatkan ke arah yang lebih baik.

V-1
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

REFERENSI

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Laporan Perkembangan


Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia 2007.
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
Bappenas. 2010. Rancangan Strategi Nasional REDD+. UN-REDD Programme
Indonesia. Jakarta.
Forest Stewardship Council. 2005. Principle Criteria and Indicators of Good
Forest Management in Poland. Union of Assocciation “Working Group
FSC-Poland”. Poland.
Gordon, M., Hickey and JL. Innes. 2005. Scientific Review and Gap Analysis of
Sustainable Forest Management Criteria and Indicators Initiatives.
Forest Research Extension Partnership. British Columbia.
Hearne, RR. 2006. Criteria and Indicators for Effective Water Management
Institutions. Departement of Agribusiness and Applied Economics
North Dakota State University. USA.
High Conservation Value Forest (HCVF). 2009. Toolkit for Malaysia : A national
guide for identifying, managing and monitoring High Conservation
Value Forests. First Edition. WWF. Malaysia.
Kartikasari, A. 1999. Acuan Genrik Kriteria dan Indikator CIFOR. Center for
International Forestry Research (CIFOR). Jakarta. Indonesia.
Kementerian Kehutanan RI. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia No. P. 68/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard an
Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan
Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.
Jakarta.
Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah
Aliran Sungai. Dirjen RLPS. Jakarta.
Krishna, A., and E. Shradder. 2000. Cross-cultural measures of social capital: A
tool and results from India And Panama. Washington, D.C.: World
Bank.

Maring P. 2010. Bagaimana Kekuasaan Bekerja di Balik Konflik, Perlawanan, dan


Kolaborasi? Lembaga Pengkajian Antropolgi Kekuasaan Indonesia.
Jakarta.

Peluso, N. L. 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat, (edisi Indonesia). Kophalindo.


Jakarta.

VI-1
Buku I : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawasan Lindung dalam Rangka
Perwujudan Green Province Jawa Barat

Purwanto, E, R. Pamekas dan H. Syamaun. 2008. Pengendalian Pembangunan


Lingkungan dan Konservasi di NAD-NIAS dalam Rangka Perwujudan
Kebijakan “Green Province”. Pusat Pengendalian Lingkungan dan
Konservasi. Kedeputian Operasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
(BRR) NAD-Nias. Leung Bata. Banda Aceh.
Rodenburg, C, T. Baycan-Levent, E. van Leeuwen and P. Nijkamp. 2001. Urban
Economic Indicators for Green Development in Cities. Vrije Universiteit
Amsterdam, The Netherlands.
Siahaan, NHT., 2007. Hutan Lingkungan dan Paradigma Pembangunan.
Pancuran Alam. Jakarta.
Stork, NE., TJB. Boyle, V. Dale, H. Eeley, B. Finegan, M. Lawes, N. Manokaran,
R. Prabhu and J. Soberon. 1997. Criteria and Indicators for Assessing
the Sustainability of Forest Management: Conservation of Biodiversity.
Center for International Forestry Research. Jakarta. Indonesia.
Undang-undang RI. 2007. Undang-undang nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. Jakarta.
Wolfslehner, B.; Vacik, H. and Lexer, M.J. (2005) Application of the Analytic
Network Process in multi-criteria analysis of sustainable forest
management. Forest Ecology and Management 207, 157-170.

VI-2
LAMPIRAN

Tabel 1. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator Aspek Biofisik

Bobot Penilaian (kematangan


PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

Terciptanya F.1. Luas dan F.1.1. Penataan batas kawasan 1. Kelengkapan dokumen Baik (3)
kondisi biofisik kejelasan lindung pada kawasan tata batas (berita acara
kawasan lindung kawasan lindung hutan negara tata batas) untuk kawasan Penataan batas kawasan lindung pada hutan
yang semakin baik di dalam kawasan lindung hutan negara sudah mencapai 75% atau lebih
sesuai dengan hutan dan luar dengan posisi yang tepat dan dalam kondisi
tipologinya, kawasan 2. Posisi tata batas baik didukung oleh dokumen tata batas yang
meliputi luas dan (pal/patok) kawasan lengkap dan sah.
kejelasan, lindung di lapangan
kesesuaian
Sedang (2)
peruntukan atau
fungsinya, kualitas
fisik, serta upaya Penataan batas kawasan lindung hutan
3. Kondisi tata batas kawasan negara sudah mencapai 50%-75% dengan
pelestariannya.
lindung posisi yang tepat dan dalam kondisi baik
menurut tipologi
kawasan lindung. didukung oleh dokumen tata batas yang
4. Prosentase penataan batas lengkap dan sah.

Buruk (1)

Penataan batas kawasan lindung hutan


negara kurang dari 50% atau tidak ada
dokumen yang mendukung.

L-1
Bobot Penilaian (kematangan
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)


F.1.2. Penandaan batas kawasan 1. Kelengkapan dokumen Baik (3)
lindung di luar kawasan penandaan batas untuk Penandaan batas kawasan lindung di luar
kawasan lindung non kawasan sudah mencapai 50% atau lebih
hutan dengan posisi yang tepat dan dalam kondisi
2. Posisi tanda batas baik didukung oleh dokumen tanda batas
(pal/patok/plang/pagar) yang lengkap.
kawasan lindung di
lapangan Sedang (2)
3. Kondisi tanda batas Penandaan batas kawasan lindung di luar
kawasan lindung kawasan sudah mencapai 30%-50% dengan
4. Prosentase penandaan posisi yang tepat dan dalam kondisi baik
batas didukung oleh dokumen tanda batas yang
lengkap.

Buruk (1)
Penandaan batas kawasan di luar kawasan
hutan kurang dari 30% atau tidak ada
dokumen yang mendukung.
F.2. Kesesuaian F.2.1. Kesesuaian peruntukan 1. Indeks Kesesuaian Baik (3)
peruntukan dan kawasan lindung Kawasan Lindung (IKKL) IKKL > 75%
fungsi kawasan IKKL = LPS/Luas Kawasan
lindung Lindung Sedang (2)
LPS : Luas penggunaan IKKL 40% - 75%
lahan (land use) yang
sesuai di kawasan Buruk (1)
lindung IKKL < 40%

L-2
Bobot Penilaian (kematangan
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)


F.3. Kualitas kawasan F.3.1. Penutupan vegetasi pada 1. Persentase luas areal Baik (3)
lindung pada kawasan lindung Tipe I bervegetasi rapat >75% dari luas areal lindung tersebut
seluruh tipe (Hutan Lindung, Sempadan terhadap luas kawasan bertutupan vegetasi rapat .
kawasan lindung pantai; Sempadan sungai; lindung tipe 1
Kawasan sekitar Sedang (2)
waduk/danau; Kawasan (Ket.: vegetasi rapat 50%-75% dari luas areal lindung tersebut
Cagar Alam, Kawasan adalah tingkat penutupan bertutupan vegetasi rapat
Suaka Margasatwa, tajuk >70%)
Kawasan mangrove; Buruk (1)
Taman nasional; Tahura; <50% dari luas areal lindung tersebut
Taman Wisata Alam; bertutupan vegetasi rapat
Taman Buru; Kawasan
Cagar Alam geologi dan
kars; Kawasan Rawan
Tanah Longsor; Kawasan
Rawan Gelombang pasang;
Kawasan rawan banjir;
Kawasan yang sesuai
untuk hutan lindung)

F.3.2. Penutupan vegetasi pada 1. Persentase luas areal Buruk (1)


kawasan lindung Tipe II bervegetasi sedang <50% dari luas areal lindung tersebut
(Kawasan resapan air; terhadap luas kawasan bertutupan vegetasi sedang.
Kawasan sekitar mata air; lindung tipe 2
Kawasan yang memberi Sedang (2)
perlindungan air tanah; (Ket.: vegetasi rapat 50%-75% dari luas areal lindung tersebut
Konservasi Plasma Nutfah adalah tingkat penutupan bertutupan vegetasi sedang .
eksitu; Kawasan koridor tajuk 40% - 70%)
bagi satwa; RTH) Baik (3)
>75% dari luas areal lindung tersebut
bertutupan vegetasi sedang.

L-3
Bobot Penilaian (kematangan
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

F.3.3. Keberadaan RTH di 1. Rasio Tutupan kawasan RTH Baik


kawasan perkotaan atau
kawasan budidaya yang >30 % dari RTH tersebut bertutupan
berfungsi lindung vegetasi sedang
2. Luas Ruang terbuka hijau
Sedang
>30 % kawasan budidaya berupa RTH dan
10 – 30 % diantaranya berpenutupan sedang
Buruk
Areal RTH kurang dari 30 %

F.3.4. Debit air sungai yang 1. Debit sungai (KRS) Baik (3)
dipengaruhi oleh kawasan Debit sungai rata–rata KRS < 50
lindung. Koefisien Regim Sungai
(KRS) = Q maks/Q min Sedang (2)
Debit sungai rata–rata KRS < 50 atau Debit
sungai rata–rata KRS 50 – 120

Buruk (1)
Debit sungai rata-rata KRS > 120

F.3.5. Keanekaragaman jenis 1. Jumlah jenis (spesies) Baik


pohon pada kawasan pohon dewasa per ha pada Jumlah pohon dewasa lebih dari 35 spesies
lindung di luar kawasan kawasan lindung di luar
atau non hutan kawasan atau non hutan Sedang
Jumlah pohon dewasa lebih dari 5- 35
spesies

Buruk
Jumlah pohon dewasa kurang dari 5 spesies

L-4
Bobot Penilaian (kematangan
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)


F.3.6. Pengelolaan 1. Rencana pengelolaan Baik (3)
keanekaragaman hayati keanekaragaman hayati Terdapat perencanaan pengelolaan
pada seluruh tipe kawasan (dokumen) keanekaragaman hayati di kawasan lindung,
lindung rencana tersebutdi implementasikan dengan
2. Implementasi (pelaksanaan baik dan terdapat dokumen hasil pengelolaan
pengelolaan keanekaragaman hayati
keanekaragaman hayati)
Sedang (2)
3. Hasil implementasi Terdapat perencanaan pengelolaan
(pencapaian hasil keanekaragaman hayati dan
pengelolaan kawasan diimplementasikan di lapangan dengan baik
lindung)
Buruk (1)
Terdapat perencanaan pengelolaan
keanekaragaman hayati tetapi tidak
diimplementasikan di lapangan

F.4. Upaya-upaya F.4.1. Aktifitas penanaman, 1. Tersedianya perangkat Baik (3)


pelestarian pemeliharaan, perencanaan yang Memiliki perencanaan, dan terdapat
kawasan lindung perlindungan, dan mendukung pelestarian implementasi penanaman, pemeliharaan,
pengamanan pada perlindungan/pengamanan sesuai target
kawasan lindung
kawasan lindung

2. Implementasi kegiatan Sedang (2)


penanaman Memiliki perencanaan, dan implementasi
penanaman, pemeliharaan,
3. Implementasi kegiatan perlindungan/pengamanan tidak sesuai
pemeliharaan target

Buruk (1)
4. Implementasi kegiatan Tidak memiliki perencanaan, dan tidak ada
perlindungan/pengamanan implementasi penanaman, pemeliharaan,
perlindungan/pengamanan

L-5
Bobot Penilaian (kematangan
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

F. 4.2. Pengurangan lahan kritis 1. Rasio luas lahan kritis saat Baik (3)
pada berbagai tipe ini dengan kondisi 3 tahun Luas lahan kritis berkurang minimal 10%
kawasan lindung sebelumnya (data 3 tahunterakhir)

2. Luas hasil kegiatan Sedang (2)


penanaman (rehabilitasi) Luas lahan kritis tetap sampai 10%
lahan kritis
Buruk (1)
Luas lahan kritis bertambah

F.4.3. Ketersediaan bibit untuk 1. Keberadaan persemaian Baik (3)


mendukung upaya permanen atau non Kebutuhan bibit dapat dipenuhi dari
penanaman di kawasan permanen tempat persemaian permanen atau non permanen
lindung. yang berada di wilayahnya sendiri dengan
memproduksi bibit
jumlah mencukupi dan kualitas yang baik.
berkualitas
Sedang (2)
2. Kemampuan menyediakan Kebutuhan bibit dapat dipenuhi sebagian dari
atau mensuplai bibit yang persemaian permanen atau non permanen
berkualitas dalam jumlah yang berada di wilayahnya sendiri dengan
yang memadai jumlah mencukupi kebutuhan dengan
kualitas sedang.
Buruk (1)
Kebutuhan bibit sebagian besar dipenuhi dari
persemaian permanen atau non permanen di
luar wilayahnya dan atau jumlah bibit tidak
memenuhi serta kualitasnya jelek.

L-6
Bobot Penilaian (kematangan
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER indikator)

Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)


F.4.4. Perlindungan terhadap 1. Kegiatan inventarisasi dan Baik
spesies flora dan fauna monitoring Inventarisasi dan monitoring dilakukan
jarang, langka dan secara kontinyu dan terdata, serta untuk
terancam punah serta 2. Perlindungan terhadap flora dan fauna jarang, langka dan terancam
flora dan atau fauna spesies flora dan fauna punah serta flora dan atau fauna yang
yang merupakan merupakan kekhasan wilayah setempat di
kekhasan wilayah kawasan lindung.
setempat di kawasan
lindung Sedang
Inventarisasi dan monitoring dilakukan
secara kontinyu dan terdata, tetapi untuk
flora dan fauna jarang, langka dan terancam
punah serta flora dan atau fauna yang
merupakan kekhasan wilayah setempat di
kawasan lindung.

Buruk
Inventarisasi dan monitoring dilakukan
secara insidental

L-7
Tabel 2. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator Aspek Kebijakan

Bobot Penilaian (kematangan indikator)


PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

Dukungan kebijakan K.1. Kejelasan K.1.1. Kebijakan, program dan 1. Adanya kebijakan berupa Baik (3)
dalam kebijakan untuk alokasi dana dalam Peraturan Daerah
menumbuhkembangkan meningkatkan menumbuhkembangkan Kabupaten/Kota atau Terdapat Peraturan Daerah Kabupaten/Kota,
budaya menanam budaya budaya menanam pohon Keputusan Bupati atau atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati
pohon di masyarakat, menanam di masyarakat Instruksi Bupati atau atau bentuk kebijakan lain dalam
menjamin kepastian pohon bentuk kebijakan lain menumbuhkembangkan budaya menanam
kawasan lindung, serta untuk pohon di masyarakat; dengan dukungan
upaya perlindungan, menumbuhkembangkan program dan alokasi APBD setiap tahun
pemanfaatan dan budaya menanam pohon memenuhi
peningkatan fungsi di masyarakat
kawasan lindung
termasuk cagar budaya Sedang (2)
dan ilmu pengetahuan 2. Terdapat program Terdapat Peraturan Kabupaten/Kota, atau
tahunan yang Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau
mendorong tumbuhnya bentuk kebijakan lain dalam menumbuh
budaya menanam kembangkan budaya menanam pohon di
pohon masyarakat, tetapi dukungan program dan
alokasi APBD tidak memenuhi
3. Terdapat alokasi dana
dalam APBD untuk
melaksanakan program Buruk (1)
dalam mendorong
Tidak terdapat Peraturan Kabupaten/Kota, atau
tumbuhnya budaya
Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati dalam
menanam pohon
menumbuhkembangkan budaya menanam
pohon di masyarakat

L-8
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

K.1.2. Ketersediaan kebijakan 1. Adanya kebijakan berupa Baik (3)


kurikulum pendidikan Perda Kab/Kota atau
lingkungan hidup di Keputusan Bupati atau Terdapat Peraturan Kabupaten/Kota atau
tingkat TK, SD, SMP dan Instruksi Bupati atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau
SMA/SMK bentuk kebijakan lain bentuk kebijakan lain tentang kurikulum
tentang kurikulum pendidikan lingkungan hidup di TK, SD, SMP dan
pendidikan lingkungan SMA/SMK; dengan dukungan program dan
hidup di tingkat TK, SD, alokasi APBD setiap tahun
SMP dan SMA/SMK

Sedang (2)
2. Terdapat program yang Terdapat Peraturan Kabupaten/Kota atau
mendukung kurikulum Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau
pendidikan lingkungan bentuk kebijakan lain tentang kurikulum
hidup di tingkat TK, SD, pendidikan lingkungan hidup di TK, SD, SMP dan
SMP dan SMA/SMK SMA/SMK; tetapi dukungan program dan alokasi
APBD tidak setiap tahun

3. Terdapat alokasi dana


dalam APBD untuk Buruk (1)
melaksanakan dan
mengembangkan Tidak terdapat Peraturan Kabupaten/Kota atau
kurikulum pendidikan Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau
lingkungan hidup di bentuk kebijakan lain tentang kurikulum
tingkat TK, SD, SMP dan pendidikan lingkungan hidup di TK, SD, SMP dan
SMA/SMK SMA/SMK

L-9
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)

K.2. Kebijakan yang K.2.1. RTRW Kab/Kota telah 1. Persetujuan RTRW Baik (3)
menjamin memenuhi legal aspek Kabupaten/ Kota oleh
kepastian provinsi RTRW Kabupaten/Kota telah mendapatkan
kawasan persetujuan provinsi Jawa Barat dan telah
lindung dalam ditetapkan dengan Perda Kab/Kota
RTRW 2. Penetapan RTRW
Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota
dengan Peraturan Sedang (2)
Daerah Kabupaten/ RTRW Kabupaten/ Kota telah mendapatkan
Kota persetujuan provinsi Jawa Barat tetapi belum
ditetapkan dengan Perda Kab/Kota

Buruk (1)
RTRW Kabupaten/ Kota belum mendapatkan
persetujuan provinsi Jawa Barat dan atau belum
ditetapkan dengan Perda Kab/Kota

L-10
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
K.2.2. Ketersediaan program 1. Terdapat program Baik (3)
dan alokasi APBD dalam penataan batas, Terdapat program penataan batas dan
penataan batas kawasan penandaan batas serta penandaan batas di kawasan lindung yang
lindung hutan dan sosialisasi batas kawasan menjadi tanggungjawabnya dan mendukung
penandaan batas lindung dengan program penataan batas dan penandaan batas
kawasan lindung di luar penggunaan lahan di kawasan lindung yang menjadi
kawasan lainnya yang menjadi tanggungjawab provinsi/pusat serta telah
tanggungjawab Pemda dilakukan sosialisasi dengan dukungan APBD
Kabupten/Kotadan yang memadai
program-program yang
mendukung penataan Sedang (2)
batas yang menjadi Terdapat program penataan batas dan
tanggung jawab penandaan batas di kawasan lindung yang
pusat/provinsi menjadi tanggungjawabnya dan mendukung
program penataan batas dan penandaan batas
2. Terdapat alokasi APBD di kawasan lindung yang menjadi
dalam mendukung tanggungjawab provinsi/pusat serta telah
program penataan batas, dilakukan sosialisasi tetapi dukungan APBD
penandaan batas dan kurang memadai
kegiatan sosialisasi batas
kawasan lindung Buruk (1)
Tidak terdapat program penataan batas,
penandaan batas maupun sosialisasi batas
kawasan lindung

L-11
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
K.3. Kebijakan yang K.3.1 Ketersediaan Peraturan 1. Terdapat Peraturan Baik (3)
mendukung Daerah Kabupaten/ Kota Daerah Kabupaten/Kota Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau
upaya atau Keputusan Bupati atau Keputusan Bupati Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain
perlindungan atau Instruksi Bupati atau atau Instruksi Bupati mengenai perlindungan kawasan lindung di
kawasan bentuk kebijakan lain atau bentuk kebijakan kawasan hutan negara dan Perda atau
lindung yang melindungi kawasan lain tentang Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau
lindung yang menjadi perlindungan kawasan bentuk kebijakan lain yang mencegah konversi
tanggungjawabnya dan lindung di kawasan kawasan lindung di lahan milik menjadi kawasan
mendukung upaya hutan negara dari budidaya
perlindungan yang perambahan kawasan,
menjadi tanggungjawab kebakaran dan pencurian Sedang (2)
provinsi/ pusat hasil hutan baik di Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau
kawasan lindung yang Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain
menjadi mengenai perlindungan kawasan lindung di
tanggungjawabnya kawasan hutan negara atau Perda atau
maupun di kawasan Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau
lindung yang menjadi bentuk kebijakan lain pelarangan konversi
tanggungjawab provinsi/ kawasan lindung di lahan milik menjadi kawasan
pusat budidaya

2. Terdapat Peraturan Buruk (1)


Daerah tentang Tidak terdapat Perda atau Keputusan Bupati
pelarangan konversi atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain
kawasan lindung mengenai perlindungan kawasan lindung di
menjadi kawasan kawasan hutan negara maupun perda
budidaya di lahan milik pelarangan konversi kawasan lindung di lahan
(privat) milik menjadi kawasan budidaya

L-12
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
K.3.2. Ketersediaan Program dan 1. Terdapat Program Baik (3)
alokasi APBD dalam Pemda Kabupaten/Kota Terdapat program terkait pengamanan dan
perlindungan kawasan mengenai pengamanan perlindungan kawasan lindung di hutan negara
lindung yang menjadi dan perlindungan dari perambahan kawasan, kebakaran dan
tanggungjawabnya dan kawasan lindung di pencurian hasil hutan dan pemberian insentif
mendukung upaya hutan negara dari dan disinsentif dalam mencegah konversi lahan
perlindungan kawasan perambahan kawasan, kawasan lindung di lahan miiik (privat) menjadi
lindung yang menjadi kebakaran dan pencurian kawasan budidaya dengan dukungan APBD yang
tanggung jawab hasil hutan dan memadai
pusat/provinsi pemberian insentif dan
disinsentif dalam Sedang (2)
mencegah konversi Terdapat program terkait pengamanan dan
lahan kawasan lindung perlindungan kawasan lindung di hutan negara
di lahan milik (privat) dari perambahan kawasan, kebakaran dan
menjadi kawasan pencurian hasil hutan dan pemberian insentif
budidaya dan disinsentif dalam mencegah konversi lahan
kawasan lindung di lahan miiik (privat) menjadi
2. Terdapat alokasi APBD kawasan budidaya tetapi dukungan APBD
dalam mendukung kurang memadai
program pengamanan
dan perlindungan Buruk (1)
kawasan lindung dan Tidak terdapat program terkait pengamanan dan
pemberian insentif perlindungan kawasan lindung di hutan negara
dalam pencegahan dari perambahan kawasan, kebakaran dan
konversi kawasan pencurian hasil hutan dan pemberian insentif
lindung menjadi dan disinsentif dalam mencegah konversi lahan
kawasan budidaya di kawasan lindung di lahan miiik (privat) menjadi
lahan milik kawasan budidaya

K.4. Kebijakan K.4.1. Ketersediaan Peraturan 1. Terdapat Peraturan Baik (3)


mengenai Daerah atau Keputusan Daerah atau Keputusan Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan
mekanisme Bupati atau Instruksi Bupati atau Instruksi Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk
pengaturan Bupati atau bentuk Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut
pemanfaatan kebijakan lain kebijakan lain pengaturan dan perizinan pemanfaatan kawasan

L-13
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
kawasan Kabupaten/Kota tentang Kabupaten/Kota tentang lindung berupa kawasan, hasil hutan non kayu
lindung secara Izin Pemanfaatan Izin Pemanfaatan maupun jasa lingkungan secara lestari sesuai
lestari yang Kawasan Lindung yang Kawasan, Pemanfaatan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau
menjadi menjadi Jasa Lingkungan serta Peraturan Menteri serta ditunjang keberadaan
tanggungjawab tanggungjawabnya dan Pemungutan dan pedoman teknis dan kegiatan sosialisasi yang
nya dan memfasilitasi masyarakat Pemanfaatan Hasil memadai
mendukung untuk memperoleh Izin Hutan Non Kayu Dari
upaya Pemanfaatan di Zona Hutan Lindung dan Zona Sedang (2)
pemanfaatan Pemanfaatan Hutan Pemanfaatan Hutan Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan
kawasan Pelestarian Alam dari Pelestarian Alam Secara Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk
lindung secara Pemerintah Pusat yang Lestari telah mengacu kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut
lestari yang menjadi tanggungjawab pada peraturan dan pengaturan dan perizinan pemanfaatan kawasan
menjadi pusat perundang-undangan di lindung berupa kawasan, hasil hutan non kayu
tanggungjawab atasnya maupun jasa lingkungan secara lestari sesuai
pusat/ provinsi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau
2. Terdapat Petunjuk Peraturan Menteri, tetapi belum dilengkapi oleh
Teknis Tentang Perizinan keberadaan pedoman teknis dan kegiatan
Pemanfaatan Kawasan, sosialisasi yang kurang memadai
Jasa Lingkungan serta
Pemungutan dan Buruk (1)
Pemanfaatan Hasil Tidak terdapat Peraturan Daerah atau
Hutan Non Kayu dari Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau
hutan lindung, dan zona bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota
pemanfaatan di hutan menyangkut pengaturan dan perizinan
suaka alam mengacu pemanfaatan kawasan lindung berupa kawasan,
peraturan dan hasil hutan non kayu maupun jasa lingkungan
perundang-undangan di secara lestari atau tidak sesuai Undang-Undang,
atasnya Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri

3. Terdapat kegiatan
sosialisasi perizinan
pemanfaatan kawasan
lindung berupa kawasan,
hasil hutan non kayu

L-14
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
maupun jasa lingkungan
berdasarkan Peraturan
dan Perundang-
undangan di atasnya

K.4.2. Ketersediaan Peraturan 1. Terdapat Peraturan Baik (3)


Daerah atau Keputusan Daerah atau Keputusan Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan
Bupati atau Instruksi Bupati atau Instruksi Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk
Bupati atau bentuk Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut
kebijakan lain kebijakan lain pengaturan pola tanam di kawasan lindung
Kabupaten/Kota tekait Kabupaten/Kota lahan milik (privat) dan mekanisme pemberian
pengaturan pola dan menyangkut insentif/disinsentif serta pemberian sanksi
budidaya tanaman di pengaturan pola dan dengan dukungan APBD yang memadai
kawasan lindung lahan budidaya tanaman di
milik (privat) kawasan lindung lahan Sedang (2)
milik (privat) Terdapat Peraturan Daerah atau Keputusan
Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk
2. Terdapat mekanisme kebijakan lain Kabupaten/Kota menyangkut
pemberian insentif/ pengaturan pola tanam di kawasan lindung
disinsentif dan lahan milik (privat) dan mekanisme pemberian
pemberian sanksi insentif/disinsentif serta pemberian sanksi tetapi
dalam mendorong dukungan APBD kurang memadai
upaya konservasi di
kawasan lindung lahan Buruk (1)
milik (privat) Tidak terdapat Peraturan Daerah atau
Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau
3. Terdapat alokasi dana bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota
APBD kabupaten/ kota menyangkut pengaturan pola tanam di kawasan
untuk mendukung lindung lahan milik (privat), dan mekanisme
pengawasan pola pemberian insentif/disinsentif disinsentif serta
tanam dan pemberian pemberian sanksi
insentif di kawasan
lindung lahan milik
(privat)

L-15
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
K.5. Kejelasan K.5.1 Ketersediaan Peraturan 1. Terdapat Peraturan Baik (3)
kebijakan dalam Daerah atau Keputusan Daerah atau Keputusan Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau
menjaga dan Bupati atau Instruksi Bupati atau Instruksi Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain
meningkatkan Bupati atau bentuk Bupati atau bentuk terkait upaya menjaga dan meningkatkan fungsi
fungsi kawasan kebijakan lain kebijakan lain terkait kawasan lindung yang menjadi tanggung
lindung yang Kabupaten/Kota tentang dengan upaya menjaga jawabnya dan mendukung upaya menjaga dan
menjadi menjaga dan dan meningkatkan fungsi meningkatkan fungsi kawasan lindung yang
tanggungjawab meningkatkanfungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawab pusat/provinsi serta
nya dan kawasan lindung yang menjadi didukung program daerah terkait reklamasi,
mendukung menjadi tanggungjawabnya dan restorasi, rehabilitasi lahan dan hutan dan APBD
upaya menjaga tanggungjawabnya dan mendukung upaya yang memadai
dan meningkat- mendukung upaya menjaga dan
kan fungsi menjaga dan meningkatkan fungsi Sedang (2)
kawasan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang di Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau
lindung yang kawasan lindung yang lakukan pemerintah Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain
menjadi dilakukan Pemerintah pusat/ provinsi terkait upaya menjaga dan meningkatkan fungsi
tanggungjawab Pusat/Provinsi kawasan lindung yang menjadi tanggung
pusat/ provinsi 2. Terdapat program jawabnya dan mendukung upaya menjaga dan
reklamasi, restorasi, meningkatkan fungsi kawasan lindung yang
rehabilitasi lahan dan menjadi tanggungjawab pusat/provinsi, tetapi
hutan dalam menjaga kurang didukung program daerah terkait
dan meningkatan fungsi rekalamasi, restorasi, rehabilitasi lahan dan
kawasan lindung yang hutan dan APBD yang memadai
menjadi
tangungjawabnya dan Buruk (1)
mendukung Tidak terdapat Perda atau Keputusan Bupati
dalammenjaga dan atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain
meningkatkan fungsi terkait upaya menjaga dan meningkatkan fungsi
kawasan lindung yang kawasan lindung di kawasan lindung yang
menjadi tanggungjawab menjadi tanggung jawabnya serta tidak
provinsi/pusat mendukung upayamenjaga dan meningkatan
fungsi kawasan lindung yang menjadi
3. Tersedia anggaran APBD tanggungjawab pusat/provinsi
untuk melaksanakan

L-16
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
program reklamasi,
restorasi, rehabilitasi
lahan dan hutan dalam
menjaga dan
meningkatkan fungsi
kawasan lindung yang
menjadi
tangungjawabnya dan
mendukung upaya
menjaga dan
meningkatkan fungsi
kawasan lindung yang
menjadi tanggungjawab
provinsi/pusat
K.6 Kejelasan K.6.1 Ketersediaan Peraturan 1. Terdapat Peraturan Baik (3)
kebijakan Daerah atau Keputusan Daerah atau Keputusan Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau
dalam Bupati atau Instruksi Bupati atau Instruksi Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain
melindungi dan Bupati atau bentuk Bupati atau bentuk terkait perlindungan dan pelestarian
melestarikan kebijakan lain kebijakan lain tentang monumen/gedung yang memiliki nilai warisan
cagar budaya Kabupaten/Kota perlindungan dan budaya dan atau sejarah, dengan dukungan
dan ilmu tentang perlindungan pelestarian monumen/ program dan APBD yang memadai
pengetahuan dan pelestarian gedung yang memiliki
baik berupa monumen/gedung yang nilai warisan budaya dan Sedang (2)
gedung/ memiliki nilai warisan atau sejarah Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau
monumen budaya dan atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain
(heritage) sejarah 2. Terdapat program dalam terkait perlindungan dan pelestarian
maupun upaya perlindungan dan monumen/gedung yang memiliki nilai warisan
budaya asli pelestarian monumen/ budaya dan atau sejarah tetapi dukungan
lokal (local gedung yang memiliki program dan APBD kurang memadai
native culture) nilai warisan budaya dan
dan atau sejarah Buruk (1)
lingkungannya Tidak terdapat Perda atau Keputusan Bupati
3. Tersedia anggaran APBD atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain
untuk melaksanakan terkait perlindungan dan pelestarian

L-17
Bobot Penilaian (kematangan indikator)
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
program perlindungan monumen/gedung yang memiliki nilai warisan
dan pelestarian budaya dan atau sejarah
monumen/gedung yang
memiliki nilai warisan
budaya dan atau sejarah

K.6.2. Ketersediaan Peraturan 1. Terdapat Peraturan Baik (3)


Daerah Kabupaten/Kota Daerah atau Keputusan Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau
tentang perlindungan Bupati atau Instruksi Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain
dan pelestarian Bupati atau bentuk terkait perlindungan dan pelestarian komunitas
komunitas budaya asli kebijakan lain tentang budaya asli, atau kesenian asli beserta
lokal, kesenian asli dan perlindungan dan lingkungannya, dengan dukungan program dan
lingkungan yang pelestarian komunitas APBD yang memadai
mendukungnya budaya asli, dan atau
komunitas kesenian asli Sedang (2)
dan lingkungan yang Terdapat Perda atau Keputusan Bupati atau
mendukungnya Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain
terkait perlindungan dan pelestarian komunitas
2. Terdapat program budaya asli, atau kesenian asli beserta
perlindungan dan lingkungannya tetapi dukungan program dan
pelestarian komunitas APBD kurang memadai
budaya asli, atau
berkesenian asli dan Buruk (1)
lingkungan yang Tidak terdapat Perda atau Keputusan Bupati
mendukungnya atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain
terkait perlindungan dan pelestarian komunitas
3. Tersedia anggaran APBD budaya asli, atau kesenian asli beserta
untuk melaksanakan lingkungannya
Program perlindungan
dan pelestarian
komunitas budaya asli,
komunitas kesenian asli
dan lingkungan yang
mendukungnya

L-18
Tabel 3. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator Aspek Sosial

Kematangan Indikator (Bobot Penilaian)


Prinsip Kriteria Indikator Verifier
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
Pengakuan dan S.1.Kejelasan S.1.1. Batas-batas 1. Pengakuan batas-batas Baik (3)
keterjaminan yuridiksi yang jelas kawasan lindung oleh Batas-batas kawasan lindung diakui oleh masyarakat
manfaat sosial, kawasan antara masyarakat hukum hukum adat/masyarakat setempat, dilakukan penetapan
dan masyarakat batas pada KL di dalam kawasan dan penandaan batas
kawasan adat/masyarakat setempat
kelembagaan hukum adat pada KL di luar kawasan secara partisipatif dan
bagi masyarakat /masyarakat masyarakat 2. Kesepakatan masyarakat terdokumentasi dengan baik di atas 75%.
adat/setempat setempat hukum dalam penetapan batas
dengan adat/masyarak kawasan lindung dilakukan Sedang (2)
kawasan at setempat secara partisipatif Batas-batas kawasan lindung yang diakui oleh
lindung dengan 3. Terdapat dokumen masyarakat hokum adat/masyarakat setempat dan
kawasan kesepakatan tata batas dilakukan penetapan batas pada KL di dalam kawasan dan
kawasan masyarakat okum penandaan batas pada KL di luar kawasan secara
lindung
adat/masyarakat setempat partisipatif antara 50-75%
dengan KL
Buruk (1)
Batas-batas kawasan lindung yang diakui oleh
masyarakat hokum adat/masyarakat setempat dan
dilakukan penetapan batas pada KL di dalam kawasan dan
penandaan batas pada KL di luar kawasan secara
partisipatif kurang dari 50%

S.1.2. Mekanisme 1. Terdapat kesepakatan tertulis Baik (3)


resolusi atas mekanisme penyelesaian Terdapat kesepakatan tertulis para pihak atas
konflik konflik lahan mekanisme penyelesaian konflik lahan serta efektif dalam
penguasaan penyelesaian konflik lahan sebanyak di atas 75%
2. Terdapat tanggung jawab
lahan yang kawasan lindung pangkuan desa
efektif yang jelas para pihak dalam
penyelesaian konflik lahan Sedang (2)
yang telah disepakati Terdapat kesepakatan tertulis para pihak atas
3. Terdapat sanksi dalam mekanisme penyelesaian konflik lahan tetapi kurang
pelaksanaan kesepakatan efektif dalam penyelesaian konflik lahan sebanyak 50-
75% kawasan lindung pangkuan desa

L-19
Kematangan Indikator (Bobot Penilaian)
Prinsip Kriteria Indikator Verifier
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
atas penyelesaian konflik
lahan Buruk (1)
Terdapat kesepakatan tertulis para pihak atas mekanisme
penyelesaian konflik lahan kurang dari 50% kawasan
lindung pangkuan desa
S.2. Kejelasan S.2.1. Ketersediaan 1. Terdapat organisasi Baik (3)
organisasi organisasi masyarakat yang mengelola Terdapat organisasi masyarakat yang mengelola
masyarakat masyarakat atau bekerjasama dalam kawasan lindung di dalam kawasan hutan maupun
dan aturan organisasi masyarakat yang bekerjasama dalam
dalam pengelolaan kawasan lindung
mainnya pengelolaan kawasan lindung dan kelengkapannya serta
dalam pengelolaan 2. Terdapat rincian tugas pokok perjanjian kerjasama pengelolaan kawasan lindung
pengelolaan kawasan dan fungsi yang jelas dalam bersama sebanyak di atas 75% kawasan lindung
kawasan lindung organisasi masyarakat yang pangkuan desa
lindung mengelola atau bekerjasama
bersama dalam pengelolaan kawasan Sedang (2)
lindung Terdapat organisasi masyarakat yang mengelola
kawasan lindung di dalam kawasan hutan atau
3. Terdapat perjanjian
bekerjasama dalam pengelolaan kawasan lindung dan
kerjasama pengelolaan kelengkapannya namun belum terdapat perjanjian
kawasan lindung antara kerjasama pengelolaan kawasan lindung antara organisasi
organisasi masyarakat dalam masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung bersama
pengelolaan kawasan lindung pemangku kawasan lindung sebanyak 50-75% kawasan
bersama pemangku kawasan lindung pangkuan desa
lindung
Buruk (1)
Tidak terdapat organisasi masyarakat yang mengelola
kawasan lindung di luar kawasan hutan maupun
organisasi masyarakat yang bekerjasama dalam
pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan
dan kelengkapannya sebanyak kurang dari 50% kawasan
lindung pangkuan desa

S.2.2. Keseimbangan 1. Terdapat uraian kesepakatan Baik (3)


hak dan hak dan kewajiban dalam Terdapat uraian kesepakatan tentang hak dan kewajiban,

L-20
Kematangan Indikator (Bobot Penilaian)
Prinsip Kriteria Indikator Verifier
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
kewajiban pengelolaan KL di dalam aturan mekanisme insentif dan disinsentif pengelolaan
stakeholder kawasan hutan kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan di luar
dalam 2. Adanya aturan mekanisme kawasan hutan dan diimplementasikan dengan baik oleh
para pihak dalam pemanfaatan kawasan lindung
pemanfaatan insentif dan disinsentif yang
kawasan jelas dalam pengaturan hak Sedang (2)
lindung dan kewajiban pengelolaan Terdapat uraian kesepakatan tentang hak dan kewajiban,
KL di dalam kawasan hutan aturan mekanisme insentif dan disinsentif pengelolaan
3. Adanya pemahaman dan kawasan lindung di dalam kawasan hutan atau di luar
ketaatan terhadap hak dan kawasn hutan namun belum diimplementasikan dengan
kewajiban stakeholder dalam baik oleh para pihak dalam pemanfaatan kawasan
lindung
pemanfaatan kawasan
lindung di dalam kawasan Buruk (1)
hutan Tidak terdapat uraian kesepakatan tentang hak dan
kewajiban, aturan mekanisme insentif dan disinsentif
pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan
maupun di luar kawasan hutan

S.2.3. Ketersediaan 1. Pemanfaatan KL terdefinisi Baik (3)


tata cara dan dipahami dengan jelas Terdapat kejelasan akses dan distribusi dalam
2. Akses dan distribusi yang pemanfaatan oleh stakeholder baik kawasan lindung di
pemanfaatan dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan,
jelas dalam pemanfaatan KL
kawasan dipahami dengan baik oleh stakeholder pada tingkat local
oleh stakeholder serta terdapat kompensasi atas hilangngnya peluang/
lindung
3. Penetapan kompensasi atas kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan kawasan
hilangnya peluang/ lindung
kesempatan masyarakat
dalam memanfaatkan KL Sedang (2)
Terdapat kejelasan akses dalam pemanfaatan kawasan
lindung di dalam kawasan hutan atau di luar kawasan
hutan dan kurang dipahami namun distribusi nya belum
adil dirasakan oleh stakeholder pada tingkat local

L-21
Kematangan Indikator (Bobot Penilaian)
Prinsip Kriteria Indikator Verifier
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
Buruk (1)
Tidak terdapat kejelasan akses dan distribusi dalam
pemanfaatan oleh stakeholder baik kawasan lindung di
dalam hutan maupun di luar kawasan hutan pada tingkat
local
S.3. Partisipasi S.3.1. Keterlibatan 1. Keterlibatan masyarakat Baik (3)
masyarakat masyarakat dalam perencanaan Masyarakat terlibat dalam perencanaan dan pengambilan
dalam dalam pengelolaan KL keputusan serta memberikan kontribusi dalam
pengelolaan pengelolaan kawasan lindung baik di dalam kawasan
pengelolaan KL 2. Kontribusi masyarakat dalam
kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan
lindung pengelolaan KL
3. Keterlibatan masyarakat Sedang (2)
dalam pengambilan Masyarakat terlibat dalam perencanaan dan pengambilan
keputusan pengelolaan KL keputusan namun tidak memberikan kontribusi dalam
pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung di dalam
kawasan hutan atau di luar kawasan hutan

Buruk (1)
Masyarakat tidak terlibat dalam perencanaan dan
pengambilan keputusan dalam pengelolaan kawasan
lindung di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan
hutan

S.3.2. Praktek 1. Teridentifikasinya kearifan Buruk (1)


pelestarian masyarakat adat dalam Tidak terdapat institusi adat dalam pelestarian kawasan
kawasan melestarikan KL secara lindung di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan
lindung hutan
tradisional
secara
2. Terdapat institusi adat dalam Sedang (2)
tradisional di
lahan adat pengelolaan KL Terdapat institusi adat dalam pelestarian kawasan lindung
3. Terpeliharanya cara-cara di dalam kawasan hutan atau di luar kawasan hutan
pelestarian KL secara namun cara cara pelestarian kawasan lindung secara
tradisional tradisional kurang terpelihara dengan baik

L-22
Kematangan Indikator (Bobot Penilaian)
Prinsip Kriteria Indikator Verifier
Baik (3) Sedang (2) Buruk (1)
Baik (3)
Terdapat institusi adat dalam pelestarian kawasan lindung
di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan
dan cara cara pelestarian kawasan lindung secara
tradisional terpelihara dan terdokumentasi dengan baik
S.3.3. Praktek budaya 1. Teridentifikasinya kearifan Baik (3)
lokal dalam masyarakat lokal dalam Terdapat kearifan masyarakat dan institusi lokal dalam
pelestarian melestarikan kawasan melestarikan kawasan lindung di dalam kawasan hutan
dan di luar kawasan hutan serta cara cara pelestarian
kawasan lindung
kawasan lindung dalam komunitas lokal terpelihara dan
lindung 2. Terdapat institusi lokal dalam terdokumentasi dengan baik
pelestarian kawasan lindung
3. Terpeliharanya cara-cara Sedang (2)
pelestarian kawasan lindung Terdapat kearifan masyarakat dan institusi lokal dalam
dalam komunitas lokal mengelola kawasan lindung di dalam kawasan hutan atau
di luar kawasan hutan namun cara cara pelestarian
kawasan lindung dalam komunitas lokal kurang terpelihara
dengan baik

Buruk (1)
Tidak terdapat kearifan masyarakat dan institusi lokal
dalam melestarikan kawasan lindung di dalam kawasan
hutan maupun di luar kawasan hutan

L-23
Tabel 4. Kriteria, Indikator, Verifier dan Kematangan Indikator Aspek Ekonomi
BOBOT PENILAIAN (Kematangan Indikator)
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Buruk (1) Sedang (2) Baik (3)
Pemanfaatan E.1 Pengembangan E.1.1 Pendapatan yang 1. Pendapatan yang BAIK (3)
kawasan lindung manfaat jasa wisata diperoleh pemerintah diperoleh dari Proporsi antara pendapatan dan biaya
secara ekonomi alam dan wisata dari pengelolaan dan pemanfaatan objek pemeliharaan menggambarkan diperolehnya
berupa jasa budaya di kawasan pemanfaatan objek wisata alam serta keuntungan juga dapat terpenuhinya semua
lingkungan dan lindung berbasis wisata alam dan wisata budaya kebutuhan biaya untuk menjaga kelestariannya.
keanekaragaman daya tampung & wisata budaya
hayati secara daya dukung dengan tidak merusak 2. Biaya operasional SEDANG (2)
berkelanjutan kawasan fungsinya sebagai yang Proporsi antara pendapatan dan biaya
kawasan lindung digunakan untuk pemeliharaan menggambarkan dapat
pemeliharaan terpenuhinya semua kebutuhan biaya untuk
kelestarian kawasan menjaga kelestariannya.
wisata alam dan
wisata budaya BURUK (1)
Pemanfaatan kawasan lindung sebagai wisata
alam dan wisata budaya menyebabkan kerusakan
E.1.2 Peluang kerja dan 1. Jumlah lapangan BAIK (3)
peluang usaha di usaha yang tercipta Meningkatnya peluang kerja dan peluang usaha
sekitar objek wisata dan terkoordinir . di sekitar objek wisata alam dan wisata
alam dan wisata budaya/zona pemanfaatan dan tidak melebihi
budaya/zona 2. Jumlah tenaga kerja kapasitas daya dukung kawasan.
pemanfaatan di yang terserap dari
kawasan lindung kegiatan pengelolaan SEDANG (2)
dan pengusahaan Menurunnya peluang kerja dan peluang usaha di
wisata alam dan sekitar objek wisata alam dan wisata
wisata budaya budaya/zona pemanfaatan dan tidak melebihi
kapasitas daya dukung kawasan.

BURUK (1)
Meningkatnya peluang kerja dan peluang usaha
di sekitar objek wisata alam dan wisata
budaya/zona pemanfaatan namun melebihi
kapasitas daya dukung kawasan.
E.2 Nilai ekonomi dari E.2.1 Terukur secara 1. Nilai ekonomi kawasan BAIK (3)

L-24
BOBOT PENILAIAN (Kematangan Indikator)
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Buruk (1) Sedang (2) Baik (3)
berbagai macam ekonomi nilai lindung sebagai Nilai ekonomi kawasan lindung sebagai pencipta
dampak akibat kawasan lindung pencipta kestabilan kestabilan iklim mikro tinggi, yang digambarkan
perubahan iklim sebagai pencipta iklim mikro, yang dengan besaran alokasi anggaran pemerintah
mikro kestabilan iklim mikro, digambarkan dengan untuk penanganan kesehatan masyarakat
dengan mengukur besaran alokasi berbasis lingkungan (seperti ISPA, DBD, Kaligata)
biaya penanganan anggaran pemerintah dan gerakan penanaman pohon secara massal
dampaknya (outcome) untuk penanganan yang cenderung menurun.
terhadap kesehatan kesehatan masyarakat
masyarakat dan berbasis lingkungan SEDANG (2)
pengadaan gerakan (ISPA, DBD, Kaligata) Nilai ekonomi kawasan lindung sebagai pencipta
penanaman pohon kestabilan iklim mikro sedang, yang digambarkan
secara massal 2. Alokasi anggaran dengan besaran alokasi anggaran pemerintah
pelaksanaan gerakan untuk penanganan kesehatan masyarakat
penanaman pohon berbasis lingkungan (seperti ISPA, DBD, Kaligata)
secara massal dan gerakan penanaman pohon secara massal
yang tetap.

BURUK (1)
Nilai ekonomi kawasan lindung sebagai pencipta
kestabilan iklim mikro menurun, yang
digambarkan dengan besaran alokasi anggaran
pemerintah untuk penanganan kesehatan
masyarakat berbasis lingkungan (seperti ISPA,
DBD, Kaligata) dan gerakan penanaman pohon
secara massal yang meningkat.
E..2.2 Penurunan tingkat 1. Nilai ekonomi BAIK (3)
produktivitas sektor kawasan lindung Nilai kawasan lindung secara ekonomi meningkat,
pertanian dan sektor sebagai pencipta digambarkan dengan besaran alokasi anggaran
perikanan akibat kestabilan iklim penanganan menurunnya tingkat produktivitas
kondisi kawasan mikro, digambarkan sektor pertanian dan perikanan akibat perubahan
lindung yang buruk dengan besaran ikilm yang cenderung menurun
alokasi anggaran
untuk penanganan SEDANG (2)
menurunnya tingkat Nilai kawasan lindung secara ekonomi tetap,
produktivitas sektor digambarkan dengan besaran alokasi anggaran

L-25
BOBOT PENILAIAN (Kematangan Indikator)
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Buruk (1) Sedang (2) Baik (3)
pertanian penanganan menurunnya tingkat produktivitas
2. Nilai ekonomi sektor pertanian dan perikanan akibat perubahan
kawasan lindung ikilm yang cenderung tetap
sebagai pencipta
kestabilan iklim, BURUK (1)
digambarkan dengan Nilai kawasan lindung secara ekonomi buruk,
besaran alokasi digambarkan dengan besaran alokasi anggaran
anggaran untuk penanganan menurunnya tingkat produktivitas
penanganan sektor pertanian dan perikanan akibat perubahan
menurunnya tingkat ikilm yang cenderung meningkat
produktivitas sektor
perikanan
E.3 Terpeliharanya E.3.1 Perubahan biaya 1. Biaya yang harus BAIK (3)
fungsi pengaturan untuk konsumsi yang dikeluarkan PDAM Biaya yang harus dikeluarkan PDAM dan Industri
tata air kawasan harus dikeluarkan dan Industri yang yang ditentukan berdasarkan harga kontans/riil
lindung secara oleh PDAM dan ditentukan menurun
berkesinam -bungan industri berdasarkan harga
untuk memenuhi kontans/riil selama SEDANG (2)
kebutuhan/ tiga tahun Biaya yang harus dikeluarkan PDAM dan Industri
konsumsi air kebelakang yang ditentukan berdasarkan harga kontans/riil
masyarakat menurun

BURUK (1)
Biaya yang harus dikeluarkan PDAM dan Industri
yang ditentukan berdasarkan harga kontans/riil
menurun
E.4 Nilai manfaat E.4.1 Terukurnya nilai 1. Nilai manfaat BAIK (3)
kawasan lindung manfaat kawasan kawasan lindung Alokasi anggaran untuk penanganan terjadinya
dalam mengurangi lindung sebagai sebagai pencegah bencana longsor, banjir dan tsunami dalam APBD
besaran serta pencegah dan jumlahnya menurun
longsor/banjir/tsuna
dampak dari mengurangi besaran
bencana longsor, bencana dengan mi yang digambarkan
SEDANG (2)
banjir dan tsunami mengukur tingkat dengan besaran
Alokasi anggaran untuk penanganan terjadinya
kerugian baik moril alokasi anggaran di bencana longsor, banjir dan tsunami dalam APBD
maupun material APBD untuk jumlahnya tetap
akibat terjadinya

L-26
BOBOT PENILAIAN (Kematangan Indikator)
PRINSIP KRITERIA INDIKATOR VERIFIER
Buruk (1) Sedang (2) Baik (3)
longsor, banjir dan penanganan bencana BURUK (1)
tsunami akibat terjadinya Alokasi anggaran untuk penanganan terjadinya
longsor/banjir/tsuna bencana longsor, banjir dan tsunami dalam APBD
mi pada tiga tahun jumlahnya meningkat
kebelakang
E.5 Pemanfaatan E.5.1 Jumlah produksi dari 1. Jumlah produksi dari BAIK (3)
keanekaragaman jenis-jenis yang telah jenis-jenis yang telah Jumlah produksi dari jenis-jeins yang telah
hayati melalui dibudidayakan yang dibudidayakan yang dibudidayakan yang bersumber dari kawasan
kegiatan budidaya bersumber dari bersumber dari lindung meningkat
kawasan lindung kawasan lindung
selama tiga tahun SEDANG (2)
Jumlah produksi dari jenis-jeins yang telah
dibudidayakan yang bersumber dari kawasan
lindung tetap

BURUK (1)
Jumlah produksi dari jenis-jeins yang telah
dibudidayakan yang bersumber dari kawasan
lindung menurun
E.6 Kesejahteraan E.6.1 Jumlah masyarakat di 1. Jumlah masyarakat di BAIK (3)
masyarakat sekitar dalam dan sekitar dalam dan sekitar Jumlah masyarakat yang memiliki pendapatan di
kawasan lindung kawasan lindung yang kawasan lindung atas US$ 1 (PPP) / hari cenderung meningkat
memiliki pendapatan yang memiliki
di atas US$ 1 (PPP) pendapatan SEDANG (2)
/ hari di atas US$ 1 (PPP) / Jumlah masyarakat yang memiliki pendapatan di
hari pada tiga tahun atas US$ 1 (PPP) / hari cenderung tetap
kebelakang
BURUK (1)
Jumlah masyarakat yang memiliki pendapatan di
atas US$ 1 (PPP) / hari cenderung menurun

L-27
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
Jalan Ganesha 10 Bandung 40132
Telp. +6222 251 1575, 2500258, Fax. +6222 2534107
E-mail : sith@itb.ac.id

Anda mungkin juga menyukai