Anda di halaman 1dari 43

TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

TEORI BISNIS INTERNASIONAL

   Saat ini banyak perusahan yang melakukan bisnis luar negeri yakni melakukan
kegiatan atau operasi lintas batas negara. Hal ini dikarenakan perusahaan-
perusahaan ini ingin mendapatkan skala ekonomi yang baik dimana ia mampu
memproduksi barang dalam jumlah besar dan murah meskipun sumber daya alam
yang mereka diliki tidak mendukung produksinya. Dari sini dapat dilihat bahwa
dalam melakuka bisnis internasional tidak hanya berdagang di negara lain namun
terdapat teori yang mendasari perusahaan mengembangkan sayapnya keluar.
Teori bisnis internasional ini yang akan digunakan untuk memahami strategi
pembangunan ekonomi suatu negara sehingga perusahaan dapat dengan mudah
menentukan prosuk yang dipasarkan. Serta mereka mampu mengantsipasi
perubahan strategi pemerintah.

Dalam buku “International Bussines: Tantangan Persaingan Global” karya DA.


Ball, et al (2005) disebutkan bahwa teori perdagangan telah banyak
bermunculan, secara klasik terdapat 4 teori yakni teori merkantilis  yang
menganggap penitngnya kesejahteraan sebuah negara unntuk mengakumulasikan
persediaan logam berharga serta kontrol negara sangat kuat. Dan logam sebagai
ukuran kemakmuran. Merkantilis sendiri dalam era modern saat ini dikenal
dengan nasionalisme ekonomi (DA. Ball, et al 2005,141) dimana kebijakan
didasarkan pada negara. teori ini pernah diterapkan oleh Jepang dimana menurut
Amerika pasarnya sulit ditembus dengan alasan ingin melindungi budaya mereka.
Dan perancis yang menasionalisasi industri kunci dan bank-bank prnting di
perancis.

Teori selanjutnya diutarakan oleh Adam Smith yang dikenal dengan keunggulan
absolut dimana kemampuan sebuah bangsa untuk memproduksi  suatu barang
lebih banyak dengan jumlah pendapatan yang sama dengan negara lain namun
Sehingga masing – masing negara melakukan spesialisasi (DA. Ball, et al ,2005:
141). Teori selanjutnya yang mengikuti berupa teori keunggulan komparativ di
tahun 1817 yang menjelaskan dimana sebuah bangsa tentunya memiliki kelemahan
dan keunggulan sehingga negara akan berupaya memproduksi barang dengan
kelemahan absolut yang sedikit. Kemudian teori faktor endowment  oleh
Heckscher-Ohlin yang berisi bahwa spesialisasi yang dilakukan dalam produksi
diakibatkan oleh faktor sumber daya alam yang berbeda.contohnya ialah Belanda
dan China dimana China lebih konsentrasi pada barang yang padat tenaga kerja
sedangkan Belanda mengandalkan padat modalnya. Teori yang dikeluarkan oleh
Heckscher-Ohlin dikritik oleh Leontif Paradox dimana ia mengambil contoh
Amerika Serikat yang juga padat modal namun ia juga meningkatkan eksport
barang-barang tenaga terdidik (DA. Ball, et al ,2005: 147).

Dalam memahai bisnis Interansional seharusnya tidak hanya perlu menentukan


spesialisasi yang menguntungkan saja tapi perlu memperhatikan selera konsumen
agar barang yang dipasarkan dapat laku dengan baik. Perusahaan yang telah
melakukan bisnis Interansional tidak jarang mengeluarkan produk baru namun
terdapat tahapan untuk mencapai konsumen yakni dengan produsen harus
memapu mencari cara yang lebih baik guna memuaskan konsumen. Bila
inovatornya ialah erusahaan multinasional maka akan mengirim ke cabangnya di
luar negeri sehingga dimulailah produksi luar negeri. Kemudian memperhatian
persaingan luar negeri dalam psaar eksport serta persaingan import di home
country.

Setelah teori klasik tersebut muncul dan diterapkan dalam dunia bisnis dalam
perkembangannya memunculkan teori baru yang lebih spesifik dalam menjalankan
perilaku bisnis internasional yakni skala ekonomi dan kurva pengalaman yakni
perusahaan cnderung memproduksi dalam skala besar untuk menurunkan biaya
produksi per unit sehingga tercapai efisiensi waktu dan tenaga. Adanya
pemikiran untuk menurunkan biaya produksi per unit sendiri berdasarkan pada
kurva pengalaman (DA. Ball, et al ,2005: 151) yakni dengan mempelajari cara-cara
memproduksi secara efisien. hal inilah yang dianut oleh China yang memungkinkan
Industri sebagai produsen biaya rendah meskipun tidak memiliki faktor produksi
yang mumpuni. Selanjutnya teori penggerak pertama (First Movers Theory)
yang menyatakan bahwa perusahaan yang menerobos pertama dalam pasar akan
segera mendominasi. Contohnya ialah KFC di Indonesia yang menggandeng
beberapa band atau musisi di Indonesia untuk meningkatkan penjualannya yakni
yang membeli barang KFC akan mendapatkan VCD dari band atau musisi.

Teori selanjutnya berasal dari Swedia Stefan Linder dengan teori Linder 
mengenai permintaan yang tumpang tindih bila milik Ohlin menitik beratkan pada
faktor produksi serta selera konsumen juga mempengaruhi laku tidaknya produk
maka selera konsumen sendiri dipengaruhi oleh tingkat pendapatan konsumen.
Dan dari sini tingkat pendapatan menentukan jenis produk ang diminati. Teori
Linder mengambil kesimpulan bahwa perdagangan interansional akan menjadi
lebih besar bila kedua atau lebi negar memiliki pendapatan sama. Dengan
permintaan yang sama maka terjadi permintaan tumpang tindih. Teori ini sangat
berbeda dengan teori komparative yang mana arah barang diperdagangkan masih
belum jelas namun teori Linder dapat ke arah mana saja asal tingkat
pendapatannya sama.
Teori yang terakhir ialah Keunggulan Kompetitif Bangsa-Bangsa dari M. Porter
yang mengedepankan cara perusahaan lokal untuk mampu bersaing dan memiliki
keunggulan komparatif (DA. Ball, et al ,2005: 153) yakni (1) kondisi permintaan
dimana awalnya produk dikenalkan dalam negeri kemudian di promosikan keluar,
(2) kondisi faktor produksi, Porter membedakan dengan teori Heckscher – Ohlin
ialah Porter melihat ketersediaan sumber daya yang menipis sehingga muncullah
faktor lanjutan yakni faktor pendidikan,pelabuhan bebas dan sistem komunnikasi
yang maju. (3) industri terait dan pemasok dan jasa dukungan industri.contohnya
ialah perusahaan ban di Amerika yang mendominasi pasar dunia kemudian banyak
perusahaan lain yang memasok mulai dari bahan kimia, karet sintetik, dan pabrik
pemroses karet. Dan (4) strategi, struktur dan persaingan perusahaan. Porter
menyatakan bahwa perusahaan yang sulit bersaing secara domestik maka ia akan
meningkatkan efisiensinya untuk lebih kompetitif.

Bila dihubungkan dengan perdagangan keseluruhan teori diatas tentuya bersifat


mempermudah perdagangan dan meningkatkan keuntungan. Setelah perusahaan 
memiliki tempat di pelanggan global maka akan banyak investor yang ingin
berkontribusi karena dianggap menguntungkan investor. Dari sini negara sebagai
pemilik teritori untuk perusahan tentunya mampu megambil keuntungan melalui
pajak yang telah disetujui melalui kontrak dan kebutuhan masyarakat terpenuhi
dari produk tersebut. Maka teori yang menjelaskan mengenai bisnis internasional
penulis asumsikan cenderung mengunakan pendekatan kebutuhan manusia karena
manusialah yang menjadi konsumen dari seluruh jenis produk yang ditawaran di
pasar internasional. Pendekatan kebutuhan manusia sendiri mendefinisikan
pembangunan ekonomi sebagai pengurangan kemiskinan dan pengangguran serta
peningkatan pendapatan (DA. Ball, et al ,2005: 175).

Dunia bisnis memang tidak jauh dari investasi karena bisnis menggunakan
investasi asing sebagai modal untuk berkembang. Dalam buku “ International
Bussines:the challenge of global Competition” dijelaskan beberapa teori tentang
investasi yang pertama ialah Teori keunggulan monopolistik dari Stephen Hymer
(1960) dimana investasi langsung dari luar negeri akan beroperasi bila  industri
memilii keunggulan yang tidak dimiliki industri lokal seperti keunggulan skala
ekonomi, keunggulan teknologi atau pengetahuan pemasaran dan manajemen.
Investasi terjadi karena ketidaksempurnaan pasar produk dan faktor produksi.
pasar produk dan faktor produksi diuangkapkan oleh Cave yang merevisi milik
Hymer dimana pengetahuan unggul memungkinkan yang melakukan investasi untuk
memproduksi produk yang disukai oleh konsumen dan berbeda dengan produk
lokal. Dan ia menambahkan bahwa perusahaan yang menanamkan modalnya keluar
merupakan perusahaan yang memiliki inovasi dan penelitian produk dan usaha
pemsaran yang kuat.
Teori mengenai investasi selanjutnya berupa  daur Hidup produk Internasional
yakni perusahaan harus menanamkan modalnya ketika produknya telah di
tawarkan dengan produk lain yang sama.hal ini dilakukan guna meningkatkan nilai
produk atau perusahaan mampu membuat produk ydengan inovasi baru. Kemudian
teori ikut sang pemimpin (Follow The Leader Theory) (DA. Ball, et al ,2005: 179.
Teori ini menjelaskan dimana para pesaing melakukan investasi untuk menghindari
kehilangan pasar atau konsumen ketika investor pertama melakukan produksi
lokal. Terdapat pula teori investasi silang dimana kedua perusahaan saling
menanamkan investasi seperti yang dilakukan Amerika dan Eropa. Teori
internalisasi yaknni melakuka investasi kedalam atau lebih baik menggunakannya
untuk produksi sendiri dari pada menjualnya keluar. Yang terakhir ialah teori
yang hampir mirip dengan milik Hymer yakni teor ekleti produkni internasional
dari dunning. Teori ini menyebutkan bahwa perusahaan yang melakukan investasi
harus memiliki keunggulan berupa  (1) kepemilikan yang khas, (2) internalisasi
atau mengedapankan keunggulan sendiri dari pada menggunakan lisensi asing, (3)
kekhasan lokasi (DA. Ball, et al ,2005: 180).

Disamping terdapat teori tentang perdagangan dan investasi juga terdapat teori
pembangunan yang berhubungan dengan kedua teori sebelumnya. Melihat teori
comparative dari David Ricardo dapat dilihat melalui spesialisasi dapat
menjadikan produk efisien sehingga pertumbuhan ekonomi negara
bertambah.selin tiu juga terdapat teori pembangunan yang behubungan dengan
bisnis internasional dimana melalui bisnis luar negeri maka suatu negara akan
terpengaruh dalam pertumbuhannya. (1) masyarakat tradisional yang dicirikan
dengan mayoritas bertani tradisional serta produktifitas rendah, (2) pra kondisi
lepas landas yang dilihat melallui adanya investasi  yang diakibatkan revolusi
industri. (3) Tinggal landas yang dicirikan dengan pertumbuhan ekonomi dinamis.
Seperti di Jerman pada akhir abad 17 dengan terus terjadinya revousi industri.
(4) masyarakat menuju kedewasaan dengan tanda jumlah investasi 40-60% yang
disertai dengan teknolgi baru.dan (5) era konsumsi tinggi dimana masyarakat
dapat dikatakan hidup makmur. Dari kelima teori diatas penulis berasumsi bahwa
Indonesia berada pada kondisi pra lepas landas yang dapat dilihat dari masih
menggunakan tradisional dan industri yang terus dibangun akbat investasi asing.

Dari uraian diatas dapat daimbil kesimpulan bahwa teori dalam bisnis
internasonal merupakan hal penting yang dijadikan dasar untuk berperilaku dan
menentukan tanggapan terhadap segala perubahan dalam berbisnis. Teori
perdagangan interansional sendiri diawali dari teori merkantilis yang
mengedepankan kontrol pada negara sehingga negaralah yang melakukan aksi
tawar-menawar dengan negara lain, selanjutnya teori keungguln absolut milik
Adam Smith, Teoi keunggulan Komparatif, teori Endowment, Paradax Leontif
yang melengkapi teori faktor endowment, namun teori tersebut dianggap kurang
sesuai oleh ebberapa ahli ekonomi dalam penerapannya sehingga muncullah teori-
teori lain yang menurut penulis teori diatas bukan hadir untuk mengkritik teori
sebelumnya namun bersifat mengisi kekurangan dari teori sebelumnya. Seperti
teori komparatif dan teori Linder dimana  perusahaan perlu melakukan
spesialisasi dengan negara yang tingkat pendapatanya sama sehingga produk
menjadi efisien dan efektif.

6.2 Model Heckscher-Ohlin dan Teori-teori Perdagangan

Teori heckscher-ohlin yang sampai sekarang masih diakui sebagai salah satu teori
fundamental dalam ilmu ekonomi internasional. Asumsi pertamannya adalah menlonggarkan
teori perdagangan yang dipelajari di bab sebelumnya. Yakni bahwa didunia ini hanya ada dua
Negara, dua komoditi, dan dua factor produksi – agar kita memperluas pembahasan dengan
mencakup lebih dari dua Negara, lebih dua komoditi dan lebih dari dua factor produksi.
Asumsi kedua dari teori ini yakni kedua Negara memiliki tingkat teknologi produksi yang
sama – sebenarnya memang harus dilakukan mengingat asumsi itu sendiri, sama halnya
dengan asumsi pertama, kurang logis karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Tingkat
teknologi yang dimiliki dan digunakan oleh masing-masing Negara berbeda-beda. Namun
teknologi itu sendiri dapat dianggap sebagai salah satu jenis factor produksi sehingga
perdagangan yang didasarkan pada variasi tingkat teknologi antarnegara masih dapat
dianggap tercakup. Asumsi ketiga, yakni bahwa komoditi X merupakan sebuah komoditi
padat L atau padat tenaga kerja, sedangkan Y adalah komoditi padat K atau padat modal
mengisyaratkan bahwa perubahan intensitas factor dalam masing-masing komoditi tidak
memungkinkan. Asumsi keempat bahwa skala hasil senatiasa konstan. Padahal, dalam
kenyataannya perdagangan internasional antara lain terjadi atas skala hasil yang meningkat.
Namun konsep skala hasil yang meningkat itu dapat dipandang sebagai aspek komplementer
atau penunjang bagi teori hackscher-ohlin. Asumsi kelima dalam model ini adalah adanya
spesialisasi yang tidak menyeluruh dimasing-masing Negara. Seandainya saja perdagangan
dapat menyempurnakan spesialisasi produksi di salah satu Negara, maka dengan sendirinya
harga-harga relative komoditi di kedua Negara tersebut akan sama, namun harga factor
produksi akan tetap berbeda. Asumsi keenam mengenai keseragaman selera agaknya akan
sulit dibuktikan secara empiris. Dalam kenyataannya selera tentu saja bervariasi sehingga dari
sebuah Negara kita dapat menemukan begitu banyak selera tergantung pada kesediaan fisik
factor-faktor produksi yang selanjutnya juga dapat dikemukakan untuk menjelaskan
berbedanya harga relative komoditi antarnegara yang menjadi landasan berlangsungnya
perdagangan antar Negara. Asumsi ketujuh mengenai persaingan sempurna di semua pasar
produk dan pasar factor produksi nampaknya lebih sulit dilakukan. Dalam kenyataannya
sekitar separuh dari seluruh transaksi perdagangan manufaktur di antara Negara-negara
industry maju didasarkan pada diferensiasi produk dan skala ekomonis. Selajutnya asumsi
kedelapan mengenai ketiadaan mobilitas factor produksi internasional masih dapat kita
lakukan tanpa menggangu keberlakuan atau keabsahan model ini. Jika adanya mobilitas
factor produksi internasional, meskipun tidak sempurna, maka volume perdagangan yang
dibutuhkan untuk menyamakan harga-harga komoditi dan factor produksi di semua Negara
akan lebih kecil. Artinya denga relative sedikit hubungan perdagangan, proses penyamaan
harga komoditi dan factor produksi antar satu Negara dengan Negara lain sudah dapat
berlangsung. Sedangkan asumsi kesembilan, yakni mengenai ketiadaaan biaya transportasi
dan hambatan-hambatan arus perdagangan dalam bentuk apa pun memang harus ditinggalkan
karena sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dalam prakteknya, adanya biaya
transportasi dan berbagai bentuk hambatan/restriksi itu telah terbukti telah menyusutkan
volume perdagangan internasional dan memperkecil keuntungan-keuntungan yang akan
dibuahkan. Penghapusan asumsi ini hanya akan sedikit memodifikasi teorema heckscher-
ohlin tanpa meruntuhkan keberlakuannya. Dan asumsi kesepuluh, yakni dengan menganggap
segenap sumber daya yang tersedia tidak terkerahkan secara penuh, sehingga pemanfaatan
keunggulan komparatif tidak sesempurna yang digambarkan oleh teori tersebut. Pelonggaran
asumsi kesebelas yakni mengatakan bahwa perdagangan internasional senatiasa berjalan
seimbang (artinya masing-masing Negara akan mengekspor sebanyak impornya) akan
membawa kita pada kenyataan bahwa suatu Negara selalu menghadapi kemungkinan
mengalami deficit perdagangan. Bahkan ada kalanya suatu Negara mengimpor komoditi yang
keunggulan komparatifnya lebih ia kuasai.
Sebagai rangkuman kita dapat menyimpulkan bahwa asumsi pelonggaran tersebut adalah
sebagian besar asumsi dasar teori heckscher-ohlin hanya dimodifikasi tanpa menganggu
keberlakuanya. Jika ingin memahami terjadinya perdagangan internasional yang didasarkan
pada selisih perubahan atau kemajuan teknologi yang terjadi dari waktu ke waktu di berbagai
Negara, maka kita harus mencari teori perdagangan yang baru karena teori ini tidak dapat
menjelaskannya. Ada 2 alasan utama mengapa Negara-negara melakukan spesialisasi
produksi dan terlibat dalam perdagangan internasional. Alasan pertama, Negara-negara itu
berbeda-beda satu sama lain, baik sumber daya yang masing-masing mereka punya maupun
dalam tingkat penguasaan teknologi dan mereka berspesialisasi dalam rangka memproduksi
sesuatu dengan cara yang lebih baik. Alasan kedua, untuk menggapai skala ekonomis, atau
prinsip hasil yang meningkat yang memungkinkan setiap Negara untuk meraih keuntungan
melalui spesialisasi dalam produksi atas pada beberapa barang dan jasa saja.

6.3 Skala Ekonomis dan Perdagangan Internasional


            
Salah satu asumsi model Hecksher-Ohlin menyatakan bahwa kedua komoditi diproduksikan
atas dasar skala hasil yang konstan di kedua negara. Perdagangan di antara dua negara yang
faktor – faktor produksinya maupun komoditi andalannya yang identik tidak akan dapat
dijelaskan melalui model Heckscher-Ohlin.
Dalam bab terdahulu, model–model keunggulan atau keunggulan komparatif yang telah
disajikan senantiasa didasarkan pada asumsi atau prinsip “skala hasil yang konstan”. Artinya,
kita dapat mengasumsikan bahwa jika input untuk suatu industri di lipatduakan, maka output
industri tersebut juga akan berlipat dua. Namun dalam kenyataannya, banyak industri atau
sektor ekonomi yang beroperasi atas dasar skala ekonomis, sehingga semakin besar skala
produksinya, akan semakin besar pula produktivitasnya. Sebagai contoh sederhana, untuk
memproduksi 10 unit produk, missalnya diperlukan 15 jam kerja, sedangkan untuk
memproduksi 25 unit diperlukan 30 jam kerja. Adanya skala ekonomis dapat dilihat dari
kenyataan bahwa dengan melipatduakan input tenaga kerja dari 15 menjadi 30 jam kerja
menyebabkan output industri tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat, yakni dari 10
menjadi 25 unit. Dalam kenyataannya, dengan pelipatan input, output dapat meningkat
dengan kelipatan 2,5. Demikian pula halnya, keberadaan skala ekonomis itu dapat dilihat
dengan mengamati rata-rata jumlah tenaga kerja yang dikerahkan untuk menghasilkan setiap
unit output : jika output yang ada hanya 5 unit, maka rata-rata kebutuhan input tenaga kerja
adalah 2 jam, sedangkan apabila outputnya 25 unit, maka kebutuhan rata-rata akan input
tenaga kerjanya pun segera turun menjadi 1,2 jam. Dari contoh tersebut dapat dilihat
mengapa skala ekonomis mampu memberikan ransangan tersendiri bagi berlangsungnya
hubungan-hubungan internasional.
            Perdagangan memungkinkan setiap negara untuk menghasilkan dan memperoleh
variasi barang yang terbatas serta meraih keunggulan skala ekonomis tanpa mengorbankan
keragaman konsumsinya. Perdagangan internasional akan meningkatkan keragaman barang
yang tersedia.
            Peradagangan yang saling menguntungkan bisa terus meningkat berkat bekerjanya
prinsip skala ekonomis. Setiap negara mengkhususkan diri dalam memprokduksi barang
barang tentu saja, yang memungkinkannya memproduksi barang -  barang tersebut lebih
efisien daripada jika negara yang bersangkutan memproduksi sendiri segalanya,
perekonomian yang melakukan spesialisasi produksi ini selanjutnya berdagang satu sama lain
agar dapat menkonsumsi seluruh jenis barang.
            Pada dasarnya skala ekonomis atau pun skala hasil yang meningkat menandakan
bahwa input yang dibutuhkan per unit produksi semakin kecil denagn semakin banyaknya
output yang di produksi.
            Untuk menganalisis dampak skala ekonomis terhadap struktur pasar, kita memang
mebutuhkan kejelasan tentang peningkatan produksi seperti apa yang diperlukan untuk
menurunkan biaya rata rata. Skala ekonomis eksternal (external economies of scale) akan
tercipta apabila jumlah biaya per unit sudah tergantung pada besarnya industri, tidak perlu
besarnya satu perusahaan.
            Selanjutnya skala ekonomis internal (internal economies of scale) muncul jika biaya
per unit tergantung pada  besarnya satu perusahaan, sehingga hal itu tidak perlu dikaitkan
dengan besarnya industri yang bersangkutan. Perbedaan antara skala ekonomis eksternal dan
skala ekonomis internalakan dapat dilukiskan dengan contoh hipotesis sebagai berikut.
            Suatu industri yang pada awalnya yang hanya terdiri dari 10 perusahaan, yang masing
masing menghasilkan 100 unit output. Kini pertimbangkan dua kasus. Pertama, katakanlah
ukuran industri tersebut, karena sesuatu dan lain sebab, berlipat dua, sehingga kini terdapat
20 perusahaan, yang masing-masing akan menghasilkan 100 unit output.
            Pada sisi lain, misalkan output dari industri yang bersangkutan tidak berubah, tetapi
jumlah perusahaan susut separuh, sehingga setiap perusahaan akan menghasilkan 200 unit
output. Jika dalam kasus in efisiensi mengalami peningkatan, maka terdapat skala ekonomis
internal; suatu perusahaan lebih efisien jika outputnya lebih banyak.
            Skala ekonomis eksternal dan internal tersebut masing - masing menimbulkan
implikasi-implikasi berbeda terhadap struktur industri. Suatu industri dimana skala
ekonomisnya sepenuhnya bersifat eksternal biasanya akan terdiri dari perusahaan kecil, dan
strukturnya akan berkembang menjadi persaingan sempurna. Sebaliknya, jika skala ekonomis
internal memberikan perusahaan- perusahaan berukuran besar suatu keunggulan biaya atas
perusahaan - perusahaan kecil, maka hal ini pada akhirnya dapat menciptakan struktur pasar
persaingan tidak sempurna.
            Penelitian-penelitian yang terbaru mengenai peranan skala ekonomis dalam
perdagangan internasional ternyata  menemukan dua alasan yaitu pertama, skala ekonomis
internal lebih mudah di identifikasikan dalam praktek dibandingkan dengan skala ekonomi
eksternal. Alasan kedua, penelitian tersebut kebanyakan memusatkan perhatiannya pada skala
ekonomis internal adalah, karena perkembangan perdagangan internal yang timbul dari
model-model perdagangan dengan skala ekonomis internal yang banyak dikembangkan
akhir-akhir ini lebih sederhana dan mudah di pahami apabila dibandingkan dengan
perkembangan yang muncul dari model-model yang bertumpu pada skala ekonomis
eksternal.
            Konsep skala hasil meningkat mengacu pada situasi produksi dimana output
bertambah lebih proporsional ketimbang peningkatan input atau fakto-faktor produksinya.
Artinya, seandainya semua input di lipatdua kan, maka output akan bertambah lebih dua kali
lipat. Demikian pula jika semua input di tambah hingga tiga kali lipat dari pada sebelumnya,
maka outputnyapun akan bertambah lebih tiga kali lipat. Skala hasil yang meningkat ini dapat
terjadi karena operasi yang lebih besar cenderung meningkatkan pembagian kerja dan
spesialisasi sehingga setiap unit faktor produksi akan membuahkan hasil yang lebih besar.

Penjelasan gambar 6-1


            Ada beberapa aspek dari analisis mengenai gambar 6-1 yang harus dijelaskan lebih
jauh. Pertama, tidak ada faktor penyebab yang pasti untuk mendorong kedua negara itu
berspesialisasi dalam produksi komoditi X maupun komoditi Y. Kedua, meskipun dikatakan
identik, kedua negara tersebut tidak mungkin sama persis dalam semua aspek ekonominya.
Ketiga, jika skala ekonomis itu terdapat pada berbagai tingkatan output, maka satu atau
beberapa perusahaan di masing-masing negara lambat laun akan dapat menguasai seluruh
pasar bagi produk tertentu sehingga menjurus pada terciptanya monopoli atau oligopoli.
            Jadi, skala ekonomis atau skala hasil yang meningkat tersebut merupakan sesuatu
yang bersifat internal dalam perusahaan.
            Konsep lain yang cukup penting dan berkaitan dengan skala ekonomis adalah
hipotesis yang dikemukakan oleh Linder pada tahun 1961, yang pada intinya menyatakan
bahwa suatu negara mengekspor produk produk manufaktur yang di dukung oleh pasar
domestik yang cukup besar. Menurut hipotesis  “ kemiripan prefensi ”atau dapat pula disebut
sebagai hipotesis“ permintaan yang tumpang tindih “ tersebut,  perkembangan manufaktur
cenderung terjadi di kalangan negara-negara yang selera dan tingkat pendapatannya setara.
6.4     Konsep Persaingan Tidak Sempuma dan Perdagangan Intemasional.
Pada bagian pembahasan ini kita akan menelaah hubungan yang sangat penting antara
persaingan tidak Sempurna dan perdagangan internasional. Dalam sebuah perekonomian atau
pasar persaingan sempurna, perusahan-perusahaan yang ada tidak bisa mempengaruhi harga
(price-taker). Artinya penjual barang harus selalu menerima kenyataan bahwa mereka dapat
menjual sebanyak mungkin yang mereka kehendaki asalkan berdasarkan pada harga yang
berlaku, dan mereka sama sekali tidak dapat mempengaruhi harga yang mereka terima atas
produk yang mereka jual.  Akan tetapi, jika hanya sedikit sekali perusahaan yang
menghasilkan suatu barang, maka masalahnya pun menjadi sangat berbeda. Pada Perusahaan
monopolis biasanya menghadapi kurva permintaan yang bentuknya melengkung ke bawah
dari kiri atas ke kanan bawah. Bentuk kurva permintaan demikian menunjukkan bahwa
perusahaan tersebut bisa menghasilkan lebih banyak output hanya jika harganya turun.
Seperti yang telah kita ketahui dari teori dasar mikroekonomi, pada kurva permintaan adalah
kurva pendapatan atau kurva penerimaan marjinal (marginal revenue). Pendapatan marjinal
adalah pendapatan tambahan yang diperoleh dari penjualan satu unit tambahan. Pendapatan
marjinal bagi perusahaan monopolis selalu lebih rendah dari harga  seluruh unit (jadi tidak
hanya unit tambahannya saja). Karena itu bagi sebuah perusahaan  monopolis, kurva
penerimaan marjinalnya selalu terletak di bawah kurva permintaan.  Seandainya bentuk
kurvanya sangat datar, maka perusahaan monopolis tersebut akan dapat menjual satu unit
tambahan dengan hanya menurunkan harga sedikit saja, dan banyak, sehingga pendapatan
marjinal akan mendekati harga per unit. Di sisi lain, jika kurva permintaan berbentuk sangat
curam, maka untuk menjual satu unit tambahan, perusahaan itu harus mengadakan penurunan
harga secara tajam sehingga menyebabkan pendapatan marjinal semakin lebih rendah dari
harga. Tingkat output yang memaksimumkan keuntungan perusahaan monopolis tercapai
ketika pendapatan marjinal (pendapatan yang diperoleh dari penjualan satu unit tambahan)
sama dengan biaya marjinal (biaya ekstra yang diperlukan untuk memproduksi satu unit
output tambahan tersebut). Secara grafis, hal tersebut merupakan titik perpotongan antara
kurva biayamarjinal atau MC dan dengan kurva penerimaan marjinal atau MR. Harga yang
diminta perusahaan pada suatu tingkat output tertentu yakni yang menjamin tercapainya
keuntungan maksimum biasanya lebih besar dari biaya rata-rata. Seandainya harga lebih
besar daripada biaya rata-rata, maka perusahaan monopolis tersebut akan memperoleh
sejumlah keuntungan monopolis (monopolistic profits). Adanya keuntungan monopoli jarang
sekali terbebas dari aneka bentuk tentangan atau kecaman. Suatu perusahaan yang
memperoleh keuntungan tinggi biasanya menciptakan sejumlah pesaing yang akan terus
menentangnya. Karena itu keadaan monopoli murni jarang dijumpai dalam kenyataan.
Struktur pasar yang lazim ditemui di berbagai sektor industri yang dicirikan oleh skala
ekonomis internal adalah struktur oligopoli: yakni keberadaan beberapa perusahaan dominan,
masing-masing dari mereka cukup besar untuk mempengaruhi harga akan tetapi tidak ada
satu pun yang mampu meraih status sebagai monopolis yang tidak memiliki saingan ! sama
sekali. Dalam model-model persaingan monopolistik (monopolistic competition) kita
bertumpu  pada dua asumsi di seputar persoalan saling ketergantungan (interdependensi).
Asumsi yang pertama, setiap perusahaan dianggap mampu membedakan produknya dari
produk-produk saingannya. Artinya, para konsumen tidak akan langsung berbondong-
bondong membeli produk produk perusahaan lain hanya karena sedikit selisih harga. Adanya
perbedaan dan penganekaragaman produk (product differentiation) satu jenis produk dibuat
sedemikian rupa sehingga masing-masing merek nampak unik dan berbeda dari yang lain- ini
menjamin bahwa setiap perusahaan memiliki monopoli dalam produk khas di dalam suatu
industri, atau punya pasar sendiri, sehingga mereka agak terisolasi dari tekanan persaingan.
Sedangkan asumsi yang kedua, setiap perusahaan menganggap harga yang ditetapkan oleh
para pesaingnya sebagai sesuatu yang tetap (given) -artinya ia mengabaikan dampak dari
harga yang ditetapkannya terhadap harga perusahaan-perusahaan yang lain. Dengan
demikian, model persaingan monopolistik ini mengasumsikan bahwa meskipun setiap
perusahaan dalam prakteknya menghadapi tekanan persaingan dari perusahaan-perusahaan
yang lain, namun ia cenderung bertindak sebagaunana layaknya sebuah perusahaan
monopolis -karena itulah model ini disebut, sebagai model persaingan “monopolistik”. Akan
tetapi sebelum kita dapat menelaah kaitannya dengan perdagangan, kita perlu
mengembangkan suatu model dasar dari persaingan monopolistik. Untuk itu mari kita
bayangkan suatu industri yang dihuni oleh beberapa perusahaan yang saling bersaing.
Perusahaan-perusahaan ini menghasilkan produk-produk yang berbeda artinya, barang barang
yang tidak persis sama, namun bisa merupakan pengganti (substitusi) satu sama lain. Karena
itu setiap perusahaan sampai batas tertentu merupakan monopolis dalam artian ia merupakan
satu-satunya perusahaan yang menghasilkan jenis barang tertentu. Tetapi permintaan untuk
barang tersebut juga ditentukan oleh jumlah produk lain yang mirip yang tersedia di pasar
dan oleh harga barang-barang yang dihasilkan perusahaan-perusahaan lain di sektor industri
yang sama. Semakin banyak perusahaan yang ada, akan semakin tajam persaingan di antara
perusahaan-perusahaan tersebut, sehingga sebagai akibatnya mereka menetapkan harga yang
lebih rendah lagi. Model persaingan monopolistik juga mampu menangkap elemen-elemen
pokok tertentu dari suatu pasar yang mengandung skala ekonomi dan karenanya merupakan
pasar persaingan tidak sempurna. Namun, hanya sedikit industri yang tergambarkan dengan
baik oleh persaingan monopolistik; sedangkan kebanyakan struktur pasar yang ada di dalam
kenyataan adalah struktur oligopoli dengan sejumlah kecil perusahaan saja yang secara aktif
terlibat dalam persaingan monopolistik. Dalam struktur yang sesungguhnya, anggapan bahwa
masing-masing perusahaan itu akan berperilaku seolah-olah ia merupakan monopolis tulen,
mungkin tak berlaku lagi. Sebaliknya mereka biasanya sadar sepenuhnya bahwasanya
tindakan-tindakan mereka akan mempengaruhi tindakan-tindakan perusahaan lain, dan
mereka akan senantiasa memperhitungkan kemungkinan dan risiko interdependensi ini. Ada
dua perilaku penting yang acapkali muncul dalam keadaan oligopoli yang seringkali tidak
diperhitungkan dalam model persaingan sempurna. Pertama adalah perilaku persekongkolan
(collusive behavior). Setiap perusahaan senantiasa mungkin tergoda (dan kenyataannya
memang sering terjadi) untuk menetapkan harga lebih tinggi daripada tingkat harga yang bisa
menjamin keuntungan maksimum, sebagai bagian dari suatu kesepakatan bahwa perusahaan-
perusahaan lain akan bertindak serupa; karena setiap keuntungan perusahaan akan lebih
tinggi jika pesaing-pesaingnya menetapkan harga tinggi, kesepakatan demikian dapat
meningkatkan keuntungan semua perusahaan (atas beban konsumen) secara sekaligus.
Perilaku penentuan harga dengan kesepakatan seperti ini bisa diatur melalui kesepakatan
terang-terangan (dilarang di Amerika Serikat), atau dengan strategi yang dikoordinasikan
secara sembunyi¬sembunyi, seperti rekayasa agar satu perusahaan tertentu bertindak sebagai
pemandu harga bagi sektor industri yang bersangkutan secara keseluruhan. Perusahaan
perusahaan oligopolistik juga menempuh perilaku “strategis” yakni, mereka bisa melakukan
sesuatu yang tampaknya mengurangi keuntungan, akan tetapi sebetulnya dimaksudkan
mempengaruhi perilaku pesaing-pesaing sedemikian rupa persis seperti yang diinginkannya,
sehingga akan memberinya keuntungan lebih besar dalam jangka panjang. Sebagai contoh,
suatu perusahaan mungkin membangun kapasitas tambahan, bukan untuk meningkatkan
produksi, melainkan sekedar untuk menghalangi masuknya perusahaan perusahaan baru yang
berpotensi untuk menjadi saingan ke dalam sektor industri oligopolistik itu. Selalu
terbukanya kemungkinan bagi adanya tindakan persekongkolan maupun rekayasa “strategis”
di antara perusahaan-perusahaan oligopolistik ini membuat analisis mengenai oligopoli
menjadi tambah rumit.
6.4a     Perdagangan Berdasarkan Diferensiasi Produk
Hampir semua perekonomian modern di berbagai negara tidak lagi menghasilkan produk-
produk homogen, melainkan aneka produk yang satu sama lain sangat bervariasi. Bahkan
untuk satu jenis produk pun variasi tetap dapat dilakukan. Pada dasarya ada empat hal
terpenting yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pola perdagangan ini, yakni sebagai
berikut: 1) Perdagangan antar-industri lebih didasarkan pada keunggulan komparatif. Pola
perdagangan antar-industri itu adalah sebagai berikut: Negara yang kaya akan modal
merupakan pengekspor barang-barang manufaktur yang memang bersifat padat modal dan
pengimpor neo makanan yang padat karya. Itu berarti keunggulan komparatif menempati
kedudukan yang sangat penting dalam jenis perdagangan ini. Inilah sesungguhnya yang
menjadi intisari teori perdagangan Heckscher-Ohlin. 2) Sedangkan hubungan perdagangan
intra-industri ternyata tidak terlalu didasarkan pada konsep keunggulan / keunggulan
komparatif. Walaupun negara-negara yang berdagang memiliki nisbah atau rasio modal
tenaga kerja keseluruhan yang sama, perusahaan¬perusahaan mereka akan tetap
menghasilkan produk-produk yang berbeda, (Ian permintaaan konsumen akan produk produk
yang dibuat di luar negeri akan tetap ada sehingga selalu menimbulkan perdagangan intra-
industri. Adalah skala ekonomis yang menyebabkan setiap negara tidak memproduksi semua
jenis produk sendirian; dengan demikian skala ekonomis dapat merupakan sumber
perdagangan internasional yang independen, khususnya bagi hubungan perdagangan intra-
industri. 3) Pola perdagangan intra-industri itu sendiri tidak dapat diduga sebelumnya. Kita
sama  sekali belum dapat menyebutkan secara pasti negara mana yang menghasilkan barang
manufaktur jenis apa di dalam sektor manufaktur, dikarenakan model ini tidak dapat
menerangkan kepada kita mengenai hal tersebut. Yang kita ketahui hanyalah bahwa negara-
negara tersebut akan sama-sama memproduksi produk-produk manufaktur, hanya saja
masing-masing produk sengaja dibuat nampak berbeda. Karena unsur-unsur sejarah dan
peristiwa yang bersifat kebetulan acapkali menentukan arah dan pola perdagangan yang
berlangsung, maka unsur ketidaktentuan pola perdagangan merupakan karakteristik yang
penting bagi perdagangan intra-industri. 4) Arti penting relatif perdagangan intra-industri dan
perdagangan antar-industri bergantung pada seberapa jauh kesamaan kelimpahan faktor
produksi di negara-negara yang terlibat dalam perdagangan itu sendiri.
Pada dasarnya perdagangan intra-industri tersebut bertolak dari motif untuk meraih
keuntungan yang bersumber dari skala ekonomis produksi. Maksudnya, persaingan
internasional mendorong setiap perusahaan atau pabrik untuk membatasi model atau tipe
produknya agar ia dapat mengerahkan segenap sumber dayanya demi menghasilkan beberapa
jenis produk saja namun dengan kualitas terbaik dan harga yang bersaing. Sementara itu
kebutuhan konsumen atas gaya atau model yang lain akan diimpor dari negara lain.
Hubungan perdagangan intra-industri ini akan menguntungkan konsumen karena terciptanya
lebih banyak pilihan dengan kualitas yang lebih baik, sedangkan harganya pun akan menjadi
lebih murah berkat meningkatnya skala ekonomis produksi. Dari waktu ke waktu, negara-
negara industri maju tersebut semakin banyak memiliki kesamaan  dalam tingkat teknologi
produksi, serta dalam kepemilikan modal dan tingkat kualitas para pekerjanya. Karena
negara-negara yang mendominasi perdagangan dunia itu semakin mirip dalam penguasaan
teknologi dan kepemilikan sumber-sumber daya, maka keunggulan komparatif di dalam suatu
sektor industri menjadi tidak begitu jelas (untuk negara mana), dan oleh karena itulah
kegiatan perdagangan internasional di antara sesama negara industri mau lebih banyak : yang
terwujud berupa pertukaran du a arah di dalam industri-industri yang sama -mungkin dalam
banyak aspek, hal ini dipacu oleh usaha pencapaian skala ekonomis ketimbang spesialisasi
antar-industri yang bertumpu pada keunggulan komparatif. Akan tetapi atas dasar fakta apa
kegiatan perdagangan intra-industri itu dapat mengubah kesimpulan-kesimpulan yang telah
kita peroleh sebelumnya? Pertama-tama, terciptanya hubungan perdagangan intra-industri
menghasilkan keuntungan-keuntungan tambahan dari perdagangan internasional, yang
nilainya lebih besar daripada yang dapat dihasilkan oleh perdagangan yang didasarkan pada
keunggulan komparatif. Hal ini dikarenakan kegiatan perdagangan intra-industri tersebut
mampu menciptakan pasar yang lebih besar. Sebagaimana yang telah kita pelajari, dengan
melibatkan diri dalam hubungan perdagangan intra-industri, maka suatu negara secara
serentak dapat mengurangi jenis-jenis produk yang dihasilkannya dan meningkatkan
keanekaragaman barang yang tersedia bagi konsumen domestik. Dengan memproduksi lebih
sedikit ragam barang, masing-masing negara dapat  memproduksi setiap barang dengan skala
yang lebih besar, dengan produktivitas yang lebih tinggi dan dengan biaya produksi yang
lebih rendah. Pada saat yang sama, konsumen juga beruntung karena barang yang tersedia
lebih beragam dan lebih murah. Konsumen domestik akan menjumpai bahwa perdagangan
intra-industri bisa memperluas pilihan-pilihan mereka, meningkatkan kualitas produk, dan
juga menurunkan harga. Dalam analisis kita terdahulu mengenai distribusi keuntungan
perdagangan, ada nuansa pesimisme terhadap kemungkinan bahwa setiap orang akan
memperoleh keuntungan dari berlangsungnya perdagangan internasional. Dalam model-
model yang telah kita bahas sebelumnya, dampak-dampak perdagangan terjadi melalui
perubahan harga-harga relatif, dan berbagai perubahan pada harga-harga relatif ini
berpengaruh sangat kuat terhadap distribusi pendapatan. Hal ini memang akan terjadi apabila:
1) Negara-negara yang berdagang sedikit banyak mempunyai kesamaan faktor-faktor
produksi sehingga kadar perdagangan antar-industri di antara mereka akan berkurang, dan
digantikan oleh perdagangan intra-industri.2) Skala ekonomis dan diferensiasi produk
menjadi faktor penting, sehingga keuntungan, dari skala yang membesar dart semakin
banyaknya pilihan terhitung besar. Dalam keadaan demikian, dampak perdagangan
intemasional terhadap distribusi pendapatan akan menjadi lebih kecil dan akan banyak
keuntungan tambahan yang dibuahkan oleh adanya; perdagangan intra-industri. Walaupun
berpengaruh pada distribusi pendapatan, namun hasil perdagangan tersebut begitu besar
sehingga akan membuat semua orang akan tetap memperoleh keuntungan (walaupun besar-
kecilnya keuntungan untuk setiap orang berbeda- beda. Ada beberapa pertimbangan penting
yang harus dikemukakan berkenaan dengan model-model perdagangan intra-industri yang
dikembangkan oleh sejumlah ekonom terkemuka Helpman, Krugman, Lancaster, dan
beberapa tokoh lainya sejak tahun 1979. Pertama, perdagangan dalam model Heckscher-
Ohlin didasarkan pada keunggulan komparatif atau perbedaan dalam kelimpahan faktor
produksi (tenaga kerja, modal, sumber daya alam, dan teknologi produksi) di antara negara-
negara yang terlibat dalam hubungan  dagang itu. Akan tetapi dalam prakteknya,
perdagangan intra-industri itu lebih didasarkan pada diferensiasi produk dan skala ekonomis.
jadi, kalau volume perdagangan yang didasarkan ada keunggulan komparatif akan lebih besar
seandainya perbedaan dalam kelimpahan faktor  di antara negara-negara yang terlibat di
dalamnya lebih besar, maka transaksi perdagangan intra-industri itu akan meningkat jika
ukuran perekonomian dan praporsi faktor produksi yang ada (di kalangan negara negara
industri) lebih mirip satu sama lain. Di sini kita melihat satu hal yang kontras. Elemen-
elemen yang cenderung membatasi perdagangan biasa (antar-industri), ternyata justru
mendorong perdagangan intra-industri. Kedua, semakin banyak produk-produk yang
terdiferensiasi berkat meningkatnya akal, ekonomis, maka harga-harga relatif sebelum
terjadinya perdagangan tidak akurat lagi dalam memprediksikan pola perdagangan yang akan
terjadi. Secara spesifik, sebuah negara besar  akan dapat memproduksi suatu komoditi dengan
biaya yang lebih murah dibandingkan negara lain yang lebih kecil (dalam kondisi tanpa
perdagangan) karena negara besar tersebut merniliki A skala ekonomis yang lebih besar pula.
Namun setelah perdagangan itu terjadi, setiap negara dapat memanfaatkan peluang
peningkatan skala ekonomis yang sama besarnya (karena semua pasar melebur menjadi satu)
sehingga negara yang kecil itu pun bisa saja melakukan produksi  secara lebih efisien
sehingga ia mampu menjual produk dengan harga lebih murah ketimbang negara besar yang
menjadi mitra dagangnya. Ketiga, tidak seperti model Heckscher-Ohlin yang
memprediksikan bahwa perdaganganq akan menurunkan tingkat hasil bagi faktor produksi
yang langka, maka berlangsungnya perdagangan intra-industri yang didasarkan pada
peningkatan skala ekonomis itu dapat meningkatkan pendapatan atau harga semua faktor
produksi yang terkait. Hal ini nampaknya dapat menjelaskan mengapa pembentukan Uni
Eropa dan proses liberalisasi perdagangan internasional yang berlangsung secara besar-
besaran sejak Perang Dunia kedua, khususnya dalam produk-produk manufaktur itu, tidak
memperoleh hambatan yang berarti dari kelompok I kelompok kepentingan/politik yang ada
di masing-masing negara. Hal tersebut rnengisyaratkan bahwa perdagangan intra-industri
memang dapat meningkatkan pendapatan bagi semua pemilik faktor produksi, sehingga tidak
perlu ada pihak yang harus merasa dirugikan. Sebaliknya, liberalisasi perdagangan antar-
industri yang biasanya berlangsung antara negara maju dan negara berkembang, banyak
mendapat tentangan, khususnya dari serikat-serikat buruh terorganisir di negara-negara maju
yang merasa khawatir bahwa peningkatan perdagangan antar-industri tersebut akan
merugikan mereka (menurunkan tingkat upah, atau melenyapkan lapangan kerja). Secara
teoritis hal itu memang dapat dibuktikan. Peningkatan perdagangan antar-industri, khususnya
dalam produk-produk manufaktur, cenderung menurunkan tingkato upah bagi para pekerja
yang ada di negara-negara maju. Jika perdagangan itu terus diliberalisasikan, maka bukan
hanya para pekerja itu saja yang kehilangan pekerjaan, namun sektor-sektor industri tertentu
di negara maju tidak akan dapat bersaing dengan produk imporf dari negara berkembang
sehingga mereka pun terancam bangkrut. Yang terakhir, perdagangan intra-industri
nampaknya berkaitan erat dengan lonjakan perdagangan internasional untuk suku cadang dan
aneka komponen dari sebuah produk Artinya, yang diperdagangkan bukan produk yang siap
pakai, melainkan elemen-elemen atau komponennya yang harus dirakit atau diolah lebih
lanjut sehingga menghasilkan produk jadi yang siap pakai. Kecenderungan itu juga
bersesuaian dengan meningkatnya peran perusahaan- perusahaan multinasional. Perusahaan
internasional seperti itu biasanya mengadakan kegiatan-kegiatan produksi tidak di satu
tempat saja. Mereka membuat komponen tertentu di suatu negara, sedangkan komponen lain
ia buat di negara-negara lain. Semua ini dilakukan. Dalam rangka meminimalkan biaya
produksi. Sebagai contoh, mesin untuk mobil-mobil Ford Fiestas dibuat di Inggris, sistem
transmisinya dibuat di Perancis, komponen-komponen penunjangnya di buat di Spanyol, dan
semuanya akan dirakit di Jerman. Hal yang sama juga terjadi dalam kamera-kamera buatan
Jerman yang acapkali dirakit di Singapura atau negara lain yang tenaga kerja yang lebih
murah. Pemanfaatan keunggulan komparatif di banyak negara secara sekaligus seperti itu
dalam rangka meminimalkan total biaya produksi dapat pula dipandang sebagai perluasan
dari model dasar Heckscher-Ohlin terhadap kondisi-kondisi produksi moderen. Pola produksi
dan perdagangan seperti itu juga memunculkan sejumlah besar lapangan kerja di negara-
negara berkembang. Kesimpulan sementara yang dapat kita tarik di sini adalah bahwa faktor
penyebab utama bagi berlangsungnya perdagangan antar - industri adalah keunggulan
komparatif, sedangkan perdagangan intra - industri lebih bertumpu pada skala ekonomis yang
ditunjang oleh diferensiasi produk. Kedua jenis perdagangan ini berlangsung dalam waktu
bersamaan. Semakin berlainan kelimpahan faktor produksi (seperti antara negara berkembang
dan negara maju) antara dua negara yang berdagang, akan semakin penting konsep
keunggulan komparatif bagi mereka dan akan semakin besar pula volume perdagangan antar-
industri yang terjadi di antaranya. Di lain pihak, semakin mirip kelimpahan faktor di antara
negara-negara yang terlibat perdagangan, maka akan semakin penting konsep peningkatan
skala ekonomis dan diferensiasi produk bagi mereka, mengingat sebagian besar perdagangan
yang akan terjadi di negara-negara tersebut so adalah perdagangan intra-industri. Kesimpulan
ini nampaknya didukung dengan kenyataan yang ada. Sebagian besar perdagangan di antara
sesama negara maju ternyata adalah perdagangan intra-industri. Meskipun demikian, hal
tersebut tidak berarti bahwa konsep keunggulan komparatif tidak relevan untuk memahami
berlangsungnya perdagangan intra-industri. Sebagaimana dikemukakan oleh Lancaster dari
penelitiannya (1980), sekalipun perdagangan yang berlangsung di antara negara-negara
tertentu adalah perdagangan intra-industri, industri, hal itu tetap berpijak pada keunggulan
jkeunggulan komparatif. Oleh sebab itu, mungkin akan lebih tepat jika kita mengatakan kalau
perdagangan antar-industri mencerminkan keunggulan komparatif alamiah di antara negara-
negara yang terlibat di dalamnya, sedangkan perdagangan intra-industri lebih didasarkan
pada keunggulan komparatif buatan (sesuatu yang dicapai melalui upaya atau rekayasa
manusia secara sengaja).

6.4b     Perhitungan Atas Perdagangan Intra-Industri.

Pada dasamya, besar kecilnya atau tingkatan atau volume perdagangan intra-industri
dapat diukur atau dihitung berdasarkan indeks perdagangan intra-industri (intra-industry trade
index) yang diberi simbol T. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut: T = 1 - X dan M
masing-masing melambangkan nilai ekspor dan impor dari suatu industri atau kelompok
komoditi tertentu, sedangkan garis-garis vertikal pada pembilang di dalam Rumus (6-1)
menunjukkan bahwa nilai-nilai yang “dipagarinya” adalah angka-angka absolut (senantiasa
positif). Nilai T atau indeks perdagangan intra-industri itu sendiri bervariasi; yakni dari 0
hingga 1. T akan sama dengan 0 apabila sebuah negara hanya mengekspor atau hanya
mengimpor suatu produk (artinya dia tidak terlibat dalam perdagangan intra-industri yang
bersifat dua arah itu). Di lain pihak jika ekspor dan impornya sama besar, maka untuk Negara
itu T = 1 (perdagangan intra-industri yang dilangsungkannya mencapai tingkatan
maksimal). Namun ternyata ada kelemahan serius dalam penggunaan indeks T untuk
mengukur tingkatan perdagangan intra-industri. Nilai-nilai T yang muncul acapkali lebih dari
satu, dan satu sama lain berbeda sehingga kita sulit menentukan mana T yang paling tepat.
Hasill perhitungannya juga mudah berubah kalau kita sedikit saja menggeser cakupan
industri atau kelompok produk yang menjadi objek perhitungan. Secara lebih spesifik bisa
dikatakan bahwa semakin luas cakupan dari suatu sektor industri, maka akan semakin besar
nilai T. Alasannya adalah, semakin luas cakupan sektor industri tersebut, maka akan semakin
besar kemungkinan negara yang bersangkutan akan mengekspor produk-produk
terdiferensiasi dalam varietas atau jenis yang lebih banyak. Oleh sebab itu, penggunaan
indeks T harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mengakibatkan salah tafsir. Di satu sisi
indikator tersebut memang dapat sangat berguna dalam mengukur jangkauan atau tingkatan
perdagangan intra-industri yang dilakukan oleh masing-masing negara industri maju serta
jangkauan dari sektor-sektor industrinya yangi terlibat, dan cukup bisa diandalkan pula guna
menaksir berbagai perubahan dalam perdagangan intra-industri tersebut untuk sektor industri
yang sama dari waktu ke waktu. Di sisi lain, kita harus konsisten dalam menentukan cakupan
suatu sektor industri agar nilai-nilai T yang muncul memiliki cakupan yang sama, sehingga
hasil-hasil perhitungannya dapat saling diperbandingkan.
6.4c Model Formal Perdagangan Intra-Industri
Gambar 6-2 berikut ini menyajikan sebuah model formal mengenai perdagangan
intra-industri. Dalam gambar tersebut, D melambangkan kurva permintaan yang dihadapi
oleh sebuah perusahaan penjual produk-produk yang terdiferensiasi. Karena banyak
perusahaan lain yang menjual produk-produk yang mirip, maka kurva permintaan yang
dihadapi oleh perusahaan tersebut bersifat cukup elastis (kemiringan atau kecondongan D
relatif kecil).  Itu berarti, perubahan harga yang kecil saja, sudah dapat menimbulkan
perubahan yang besar dalam volume penjualan perusahaan tersebut. Bentuk atau organisasi
pasar yang memiliki banyak perusahaan yang semuanya menjual berbagai produk yang mirip
satu sama lain (semuanya terdiferensiasi) dan akses keluar masuk perusahaan-perusahaan
baru ke dalam sektor atau pasar tersebut tidak terlampau sulit, biasa disebut sebagai pasar
atau ekonomi persaingan monopolistik (monopolistic cotltpetition nutrket/econonty). Karena
setiap perusahaan yang ada di Opasar itu harus menurunkan harga untuk semua unit
komoditinya apabila ia ingin meningkatkan penjualan, maka kurva pendapatan marginal
perusahaan tersebut (MR) lebih rendah ketimbang kurva permintaannya (D), sehingga MR
lebih kecil dari P. Sebagai contoh, D memperlihatkan bahwa perusahaan itu dapat menjual
produknya sebanyak dua unit berdasarkan P = 4,50 dolar sehingga ia akan mendapatkan
total .pendapatan sebanyak 9 dolar. Atau, ia bisa menjual tiga unit namun atas dasar harga P
= 4 dolar sehingga total pemasukan yang diperolehnya adalah 112 dolar. Dengan demikian,
perubahan dalam total pendapatan atau MR = 3 dolar, mengiringi perubahan harga untuk unit
ketiga dari komoditi yang dijual itu,. yakni P = 4 dolar.

D adalah kurva pemintaan untuk produk yang dijual oleh sebuah perusahaan,
sedangkan MR adalah kurva pendapatan marginalnya. D mengarah ke bawah karena produk
itu terdiferensiasi. Sebagai akibatnya MR lebih kecil daripada P. Tingkat output yang terbaik,
atau yang paling menguntungkan, bagi perusahaan yang bersifat kompetitif monopolistik
tersebut adalah tiga unit, dan hal itu dilambangkan oleh titik E, di mana MR sama dengan
MC. Pada output atau Q = 3, maka harga yang ber{aku adalah P = AC = 14 (titik A) dan pada
titik tersebut perusahaan tadi mengalami titik impas jumlah yang diperolehnya persis sama
dengan jumlah yang telah dikeluarkannya sebagai biaya-biaya produksi dan investasi. AC
adalah kurva biaya rata-rata bagi perusahaan tersebut. AC ini mengarah ke bawah karena
berlakunya prinsip skala ekonomis (economics of scale).
6.5 Perdagangan yang Didasarkan pada Perbedaan Teknologi Dinamis dan Sintesis
Teori-teori Perdagangan.

Terlepas dari perbadaan-perbedaan dalam ketersediaan relatif aneka sumber daya atau factor
produksi seperti tenaga kerja , modal dan sumber daya alam ( yang sangat di tekankan
oleh teori Heckscher-Ohlin ) serta adanya skala ekonomis dan difrensiasi produk, perubahan-
perubahan dinamis dalam teknologi jaga dapat menjadi factor pendorong tersendiri dalam
memunculkan perdagangan internasional.

6.5a Model Kesenjangan Teknologi dan Model Siklus Produk


Model kesenjangan teknologi ( technological gap model ) untuk pertama kalinya
dikembangkan oleh Posner pada tahun 1961. Menurut teori ini, sejumlah besar perdagangan
di antara Negara-negara industri maju ternyata di dasarkan pada munculnya produk-produk
baru oleh proses-proses produksi ( teknologi ) yang baru. Adanya proses produksi dan produk
baru itulah yang sering kali memberikan kedudukan monopoli yang bersifat sementara bagi
perusahaan-perusahaan atau negara tertentu di pasaran internasional. Kedudukan monopoli
sementara ( temporary monopoly ) itu sendiri di dasarkan pada hak paten atau hak cipta yang
memberi keistimewaan bagi pemiliknya untuk memanfaatkan apa yang di lindungi oleh hak
paten itu secara ekslusif.
Namun model ini pun di liputi kelemahan yakni ia tidak dapat menjelaskan berapa besar
kecilnya kesenjangan teknologi atau sebab-sebabnya. Di samping itu,model tersebut juga
tidak mengungkapkan alas an munculnya kesenjangan teknologi itu sendiri atau latar
belakang proses pengerjaran teknologi oleh pihak, produsen, atau negara-negara tertentu yang
semula tertinggal.
Kelemahan-kelemahan itu selanjutnya memunculkan suatu genelisasi dan pengembangan
lanjutan atas model kesenjangan teknologi yang selanjutnya terkenal dengan nama model
siklus produk ( product cycle ). Model ini untuk pertama kalinya di rumuskan oleh
Raymond Vernon pada tahun 1966. Menurut model ini, pada tahap awal penciptaan sebuah
produk dan pengenalan ke pasar, biasa prose produksinya mensyaratkan tenaga kerja
terampil.
Vernon juga mengemukan bahwa produk-produk yang bernilai tinggi dan menghemat tenaga
kerja cenderung akan di pilih sebagai produk andalan ekspor di negara-negara industri yang
kaya. Hal itu dikarenakan:
1.      Peluang terbesar untuk menciptakan produk-produk seperti itu memang ada di Negara-
negara indutri maju yang banyak memiliuki faktor produksi modal yang merupakan input
utama bagi produk-produk bernilai tinggi.
2.      Pengembangan produk-produk baru seperti itu membutuhkan kemiripan pasar atau
kesesuaian pasar ( proximity ), sehingga dapat diharapkan munculnya umpan balik dari
konsumen dalam rangka proses modifikasi dan menyempurnakan produk yang bersangkutan.
3.      Kebutuhan akan pelayanan dalam proses pengenalan dan kegiatan-kegiatan purna jual
memang paling dimungkinkan di Negara-negara maju tadi. Kalau model kesenjangan
teknologi menekankan pada perbedaan waktu dalam proses peniruan atau imitasi, maka
model siklus produk lebih menekankan pada pentingnya proses standarisasi. Namun kedua
model ini sama-sama berpendapat bahwa Negara-negara industri yang paling maju cenderung
mengekspor aneka produk non standar yang mengandung tekonologi paling maju, dan di lain
pihak akan mengimpor produk-produk standar yang diproduksi bias secara masal dan
kandungan teknologinya lebih kecil ( ini akan dibuat di negara berkembang ).

6.5b Ilustrasi Model Siklus Produk


Model siklus produk dapat divisualisasikan dalam 5 tahapan:
Pada tahap I ( rentang waktu OA ), sebuah produk baru mulai diperkenalkan dan baru
dikonsumsi oleh penduduk di negara asal inovasinya ( negara penemu ).
Kemudian pada tahap II ( rentang waktu AB ), proses produksinya disempurnakan di Negara
asal inovasi guna meningkatkan output dalam rangka memenuhi lonjakan permintaan di pasar
domestic dan luar negeri. Pada tahap III ( BC ), produk itu menjadi standar dan sudah dibuat
secara masal, sehingga Negara peniru mulai dapat memproduksinya untuk keperluan
konsumsi domestik.
Pada tahap IV ( CD ), Negara peniru mulai dapat menjual produk itu ke pasar internasional
dengan harga yang lebih murah.
Kemudian pada tahap V ( titik D ), output produk baru di Negara asal inovasi mulai turun,
sedangkan output di negara-negara peniru justru bertambah. Sejak saat itu keuntungan
komparatif dari produk tersebut berpindah tangan dari negara penemu ke negara peniru.

6.5c Sintesis Teori-teori Perdagangan


Kesimpulan – kesimpulan yang dapat kita tarik berkenaan dengan relevansi empiris atas
teori-teori perdagangan yang telah kita bicarakan di atas, adalah sebagai berikut :
1.      Sebagian besar perdagangan antara Negara maju dan berkembang adalh perdagangan antar
industri yang didasarkan pada variasi atau perbedaan kelimpahan factor ( termasuk pula
teknologi ), sebagaimana dipostulasikan atau dirumuskan oleh teori Heckscher-Ohlin.
2.      Perdagangan antara sesame Negara industry maju semakain lama semakin banyak yang
berupa perdagangan intra-industri yang didasarkan pada skala ekonomis dan diferensiasi
produk, sebagaimana yang dirumuskan oleh teori-teori perdagangan yang baru.

Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa teori Heckscher-Ohlin dan teori-teori
perdagangan yang baru itu sesungguhnya bersifat komplementer atau saling mendukung
dalam menjelaskan perdagangan internasional. Kesimpulan di atas membawa kita pada
kesimpulan berikutnya, yakni semakin berbeda kelimpahan faktor antara negara-negara yang
terlibat dalam perdagangan, maka semakin besar kemungkinan, bahwa mayoritas
perdagangan itu merupakan perdagangan antar industri. Demikian pula sebaliknya, semakin
mirip kelimpahan faktor di antara negara-negara yang terlibat dalam perdagangan maka
semakin besar kemungkinan bahwa itu merupakan perdagangan intra-industri.
Jelaslah pula bahwa pemakaian masing-masing model industry itu harus dibedakan kasus
perkasus. Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui kapan masing –
masing model atau teori tersebut dapat diterapkan. Yakni :
1.      Model kelimpahan faktor Heckscher-Ohlin harus diterapkan demi menjelaskan
berlangsungnya perdagangan untuk komoditi primer, bahan – bahan mentah, aneka produk
pertanian dan berbagi produk manufaktur yang bersifat padat karya pada umumnya.
2.      Teori-teori baru mengenai perdagangan yang didasarkan pada skala ekonomis dan
diferensiasi produk harus dikedepankan untuk menjelaskan berlangsungnya perdagangan
intra-industri yang biasanya meliputi aneka produk manufaktur padat modal dan berteknologi
tinggi. Meskipun kita masih memerlukan pengujian empiris yang lebih banyak untuk
membakukan generalisasi ini, secara umum kita sudah dapat menggunakan untuk memahami
berbagai kasus perdagangan antar negara.

6.6     Biaya Transportasi, Standar Lingkungan, dan Perdagangan Internasional

Biaya transportasi ternyata memberikan pengaruh langsung yang sangat besar terhadap
perdagangan internasional, yakni dengan meningkatkan harga atau komoditi yang
diperdagangkan, baik itu bagi negara pengekspor maupun bagi negara pengimpor. Disamping
itu, biaya transportasi juga memberikan pengaruh tidak langsung terhadap lokasi
penyelenggaraan produksi dan pusat-pusat industri secara internasional.

6.6a Biaya Transportasi dan Komoditi-komoditi yang Tidak Diperdagangkan


Biaya transportasi meliputi ongkos pengapalan, biaya bongkar muat di pelabuhan,
premi asuransi, serta aneka pungutan pada saat komoditi yang diperdagangkan itu disimpan
di suatu tempat sementara (transit). Jadi, kita menggunakan istilah biaya transportasi untuk
mencakup semua jenis biaya pemindahan barang dari suatu tempat atau negara ke negara atau
tempat lain. Perdagangan internasional juga bisa dibatasi oleh rasio atau nisbah berat produk
terhadap nilai yang terlalu tinggi, seperti semen (artinya, produk yang bersangkutan
sedemikian berat sehingga biaya transportasinya sangat mahal bila dibandingkan dengan
nilainya sendiri). Itu sebabnya selama memang masing memungkinkan suatu negara biasa
memproduksi semen sendiri ketimbang mengimpornya, sekalipun semen dapat diproduksi
lebih murah di luar negeri). Banyak barang yang tidak diperdagangkan secara internasional
karena tiadanya keunggulan efisien biaya operasional yang kuat dalam produksinya, atau
karena biaya pengangkutannya yang terlampau mahal. Pada prinsipnya, suatu barang yang
homogen akan diperdagangkan secara internasional hanya apabila selisih harga untuk barang
tersebut di kedua negara lebih besar daripada biaya transportasi barang tersebut dari suatu
negara ke negara yang lain. Adanya biaya transportasi itulah yang memunculkan sejumlah
barang dan jasa yang tidak (menguntungkan kalau) diperdagangkan.
Secara umum harga komoditi-komoditi yang tidak diperdagangkan secara
internasional itu ditentukan oleh kondisi-kondisi permintaan dan penawaran domestik.
Ada dua cara untuk menganalisis biaya transportasi :

1. Analisis keseimbangan umum, yang menggunakan kurva batas-batas kemungkinan


produksi atau kurva tawar-menawar suatu negara dan menyatakan biaya transportasi
tersebut dalam satuan harga relatif komoditi.
2. Analisis keseimbangan parsial, menganalisis biaya transportasi dalam satuan
absolute (berupa jumlah uang).
Satu hal penting adalah pengertian istilah keseimbangan umum dan parsial dalam konteks ini
sedikit berbeda dengan yang telah kita gunakan pada bagian-bagian pembahasan lainnya.
Selain itu kita juga memakai asumsi tambahan. Asumsi-asumsi yang dipergunakan di sini
adalah kurs antara dua mata uang dari negara-negara yang mengadakan perdagangan
senantiasa konstan, tingkat pendapatan dari kedua belah pihak juga senantiasa konstan,
demikian pula dengan indikator-indikator ekonomi lainnya kecuali tingkat konsumsi,
produksi, dan perdagangan dari komoditi yang dipertukarkan anatara kedua negara tersebut.

6.6b Biaya Transportasi dan Lokasi Industri


Biaya transportasi juga memperngaruhi arus perdagangan internasional secara tidak
langsung, yakni melalui pengaruh yang ditimbulkannya terhadap pemilihan lokasi produksi
dan pusat-pusat kegiatan industri. Secara umum, jenis industri bial dikaitkan dengan
penentuan lokasinya bisa digolongkan menjadi tiga, yakni :
1)      Industri yang berorientasi pada sumber daya (resource oriented industries).
2)      Industri yang berorientasi pasar (market oriented industries).
3)      Industri yang bersifat lincah (footloose industries).
Secara umum, industri footloose cenderung berada pada tempat-tempat yang menyediakan
berbagai input yang memungkinkan dilakukannya penghematan biaya manufaktur secara
maksimal.

6.6c Standar Lingkungan Hidup, Lokasi Industri, dan Perdagangan Internasional


Lokasi industri dan pola perdagangan internasional juga dipengaruhi oleh aneka standar
lingkungan hidup yang kini kian banyak. Standar lingkungan mengacu pada tingkat
persyaratan tertentu yang harus dipenuhi dalam mengelola pencemaran udara, polusi air,
polusi thermal (panas) dan berbagai polusi lainnya yang bersumber dari limbah. Dalam
kenyataannya, karena selama ini cara-cara yang paling murah dalam menjalankan kegiatan-
kegiatan produksi, konsumsi, atau pembuangan limbahnya, memang cenderung merusak atau
setidaknya membahayakan kelestarian lingkungan hidup.
Para ahli ilmu ekonomi lingkungan (environmental economist) sejak lama telah
menyarankan digunakannya mekanisme pasar untuk mebatasi praktek-praktek polusi atau
pencemaran lingkungan secara efisien.
Industri-industri pembakit pencemaran lingkungan itu biasanya merupakan industri
yang banyak menyerap sumber daya alam atau tenaga kerja, dank arena itu industri-industri
tersebut cocok dengan kebutuhan pada tahap awal pembangunan ekonomi yang tengah
dihadapi oleh sebagian besar negara berkembang. Dalam kenyataannya seiring dengan
kemajuan suatu negara, pencemaran lingkunga biasanya kian dapat ditekan karena kegiatan
produksi pada umumnya semakin mampu dalam melangsungkan proses atau aktivitas
produksi yang bersih dan bebas polusi.
MAKALAH TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menjadikan

bumi beserta isinya dengan begitu sempurna dserta hidayah – Nya, sehingga Penulis dapat

menyelesaikan dengan mempersembahkan sebuah makalah yang berjudul

“PERKEMBANGAN TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL” untuk memenuhi

tugas mata kuliah ILMU EKONOMI DASAR. Ucapan terima kasih dan rasa hormat Penulis

kepada semua pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan penyusunan

makalah ini.Akhir kata, Penulis sampaikan bahwa tiada makalah yang sempurna tanpa uluran

tangan pemerhatinya. Oleh karena itu, kritik serta saran sangat Penulis harapkan dari

pembaca sekalian yang bersifat membangun, agar demi lebih baiknya kinerja kami yang akan

mendatang. Semoga makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan

informasi yang bermanfaat bagi semua pihak.

Makassar, 12 Oktober 2012

                                                                                                                 JUKRIADI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................1
A.      Latar Belakang............................................................................................1
B.      Pembatasan masalah...................................................................................2
C.      Rumusan masalah.......................................................................................2
D.     Tujuan..........................................................................................................2
E.      Manfaat.......................................................................................................2
BAB II LANDASAN TEORI......................................................................4
Teori perdagangan internasional..................................................................4
a.      Teori klasik..................................................................................................4
1.      Merkantilis...................................................................................................4
2.      Adam smith.................................................................................................5
b.      Teori modern...............................................................................................6
1.      John Stuart Mill dan David Ricardo............................................................7
2.      Teori Heckscher-Ohlin (H-O).....................................................................11
1.1  Produk Domestik Bruto (PDB)....................................................................14
1.2  PDB Atas Harga Berlaku dan Harga Konstan.............................................15
1.3  Teori Konsumsi............................................................................................15
1.4  Teori Pajak...................................................................................................16
BAB III PENUTUP.....................................................................................19
A.      Kesimpulan.................................................................................................19
B.      Saran...........................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Teori perdagangan internasional adalah teori yang menjelaskan arah dan komposisi
perdagangan antar negara serta bagaimana efeknya terhadap perekonomian suatu negara. 
Disamping itu, teori perdagangan internasional juga dapat menunjukkan adanya keuntungan
yang timbul dari adanya keuntungan perdagangan (gain from trade). Teori yang menjelaskan
tentang perdagangan internasional  pada dasarnya dibagi atas tiga kelompok besar, yaitu:
teori praklasik merkantilis, Teori Klasik, dan  teori modern.
Negara-negara yang melakukan perdagangan internasional  antara lain disebabkan
dua alasan berikut. Pertama, negara-negara yang berdagang karena berbeda satu sama lain
(berbeda dalam kepemilikan sumber daya, baik dalam jenis maupun kualitasnya),  setiap
negara dapat memperoleh keuntungan dari perbedaan mereka melalui pengaturan dimana
setiap pihak melakukan sesuatu dengan relatif lebih baik. Kedua, negara-negara berdagang
satu sama lain dengan tujuan mencapai skala ekonomi (economies of scale) dalam
produksinya.  Maksudnya, Jika  setiap negara  hanya menghasilkan sejumlah barang tertentu
maka mereka dapat menghasilkan  barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan
karenanya lebih efisien dibandingkan mereka menghasilkan segala jenis barang.
Secara lengkap perkembangan teori perdagangan internasional adalah sebagai berikut :
1.      Teori pra-klasik merkantilisme
2.      Teori klasik
a)      Keuntungan   absolut  (absolute  advantage) oleh   Adam Smith
b)      Keuntungan  relatif  (comparative advantage)  oleh  John Stuart Mill
c)      Biaya relatif (comparative cost) oleh David Ricardo

3.      .   Teori Modern


a)      Faktor proporsi  oleh Hecksher-Ohlin
b)      Kesamaan harga faktor produksi (factor price equalizati-on) oleh Paul Samuelson
c)      Permintaan dan penawaran (teori parsial).

Dari penjelasan tersebut maka kami akan mengkaji lebih dalam perkembangan teori
perdagangan internasional yang penulis buat dalam format makalah.
B.     Pembatasan Masalah
Agar tidak terjadi kesalah pahaman maka pembahasan masalah, kami membatasi dan
menetapkan objeknya yaitu hanya mengenai tentang perkembangan teori perdagangan
internasional mulai dari teori merkantilis, teori klasik sampai dengan teori modern.
( heckscher-ohlin )
C.        Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, kami merangkum beberapa rumusan
masalah yang diangkat antara lain :
         Siapa sajakah yang mencetuskan beberapa teori mengenai perdagangan internasional?
         Bagaimanakah perkembangan teori perdagangan ?
         Bagaimanakah pendapat para ahli mengenai perdagangan internasional ?
D.        Tujuan Penulisan
Penulisan makalah yang mengenai tentang perkembangan teori perdagangan
internasional memiliki beberapa tujuan diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Membekali mahasiswa dalam mengetahui teori-teori yang dicetuskan oleh beberapa tokoh
mengenai teori perdagangan internasional
2.      Untuk mengetahui perkembangan teori perdagangan internasional
3.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh pencetus teori perdagangan internasional
4.      Untuk mengetahui aspek-aspek apa sajakah yang dibahas dalam setiap teori yang
dikemukakan oleh para ahli.
E.     Manfaat Penulisan
1.      Memberikan wawasan kepada mahasiswa mengenai perkembangan teori internasional
2.      Memberikan referensi tambahan bagi mahasiswa selain literature yang dipakai dalam
mengajar.
3.      Memberikan pengkajian yang lebih signifikan mengenai teori perdagangan internasional.
BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Teori Perdagangan Internasional


Perdagangan Internasional dapat diartikan sebagai transaksi dagang antara subyek
ekonomi negara yang satu dengan subyek ekonomi negara yang lain, baik mengenai barang
ataupun jasa-jasa. Adapun subyek ekonomi yang dimaksud adalah penduduk yang terdiri dari
warga negara biasa, perusahaan ekspor, perusahaan impor, perusahaan industri, perusahaan
negara ataupun departemen pemerintah yang dapat dilihat dari neraca perdagangan (Sobri,
2000).
Perdagangan atau pertukaran dapat diartikan sebagai proses tukar menukar yang
didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak. Masing-masing pihak harus
mempunyai kebebasan untuk menentukan untung rugi dari pertukaran tersebut, dari sudut
kepentingan masing-masing dan kemudian menetukan apakah ia mau melakukan pertukaran
atau tidak (Boediono, 2000). Pada dasarnya ada dua teori yang menerangkan tentang
timbulnya perdagangan internasional.
a.      Teori Klasik
1.      Merkantilis
Para penganut merkantilisme berpendapat bahwa satu-satunya cara bagi suatu
negara untuk menjadi kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin
ekspor dan sedikit mungkin impor. Surplus ekspor yang dihasilkannya selanjutnya
akan dibentuk dalam aliran emas lantakan, atau logam-logam mulia, khususnya emas dan
perak. Semakin banyak emas dan perak yang dimiliki oleh suatu negara maka semakin kaya
dan kuatlah negara tersebut. Dengan demikian, pemerintah harus menggunakan seluruh
kekuatannya untuk mendorong ekspor, dan mengurangi serta membatasi impor (khususnya
impor barang-barang mewah). Namun, oleh karena setiap negara tidak secara simultan dapat
menghasilkan surplus ekspor, juga karena jumlah emas dan perak adalah tetap pada satu saat
tertentu, maka sebuah Negara hanya dapat memperoleh keuntungan dengan mengorbankan
negara lain.
Keinginan para merkantilis untuk mengakumulasi logam mulia ini sebetulnya cukup
rasional, jika mengingat bahwa tujuan utama kaum merkantilis adalah untuk memperoleh
sebanyak mungkin kekuasaan dan kekuatan negara. Dengan memiliki banyak emas dan
kekuasaan maka akan dapat mempertahankan angkatan bersenjata yang lebih besar dan lebih
baik sehingga dapat melakukan konsolidasi kekuatan di negaranya; peningkatan angkatan
bersenjata dan angkatan laut juga memungkinkan sebuah negara untuk menaklukkan lebih
banyak koloni. Selain itu, semakin banyak emas berarti semakin banyak uang dalam sirkulasi
dan semakin besar aktivitas bisnis.
Selanjutnya, dengan mendorong ekspor dan mengurangi impor, pemerintah akan
dapat mendorong output dan kesempatan kerja nasional.
2.      Adam Smith
Adam Smith berpendapat bahwa sumber tunggal pendapatan adalah produksi
hasil tenaga kerja serta sumber daya ekonomi. Dalam hal ini Adam Smith sependapat dengan
doktrin merkantilis yang menyatakan bahwa kekayaan suatu negara dicapai dari surplus
ekspor. Kekayaan akan bertambah sesuai dengan skill, serta efisiensi dengan tenaga kerja
yang digunakan dan sesuai dengan persentase penduduk yang melakukan pekerjaan tersebut.
Menurut Smith suatu negara akan mengekspor barang tertentu karena negara tersebut bisa
menghasilkan barang dengan biaya yang secara mutlak lebih murah dari pada negara lain,
yaitu karena memiliki keunggulan mutlak dalam produksi barang tersebut. Adapun
keunggulan mutlak menurut Adam Smith merupakan kemampuan suatu negara untuk
menghasilkan suatu barang dan jasa per unit dengan menggunakan sumber daya yang lebih
sedikit dibanding kemampuan negara-negara lain.
Teori Absolute Advantage lebih mendasarkan pada besaran/variabel riil bukan
moneter sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (pure theory) perdagangan
internasional. Murni dalam arti bahwa teori ini memusatkan perhatiannya pada variabel riil
seperti misalnya nilai suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan
untuk menghasilkan barang. Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin tinggi
nilai barang tersebut (Labor Theory of value).
Teori Absolute Advantage Adam Smith yang sederhana menggunakan teori
nilai tenaga kerja. Teori nilai kerja ini bersifat sangat sederhana sebab menggunakan
anggapan bahwa tenaga kerja itu sifatnya homogeny serta merupakan satu-satunya faktor
produksi. Dalam kenyataannya tenaga kerja itu tidak homogen, faktor produksi tidak hanya
satu dan mobilitas tenaga kerja tidak bebas, dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut:
Misalnya hanya ada dua negara, Amerika dan Inggris memiliki faktor produksi tenaga kerja
yang homogen menghasilkan dua barang yakni gandum dan pakaian. Untuk menghasilkan 1
unit gandum dan pakaian Amerika membutuhkan 8 unit tenaga kerja dan 4 unit tenaga kerja.
Di Inggris setiap unit gandum dan pakaian masing-masing membutuhkan tenaga kerja
sebanyak 10 unit dan 2 unit.
Tabel 1.1 Banya knya Tenaga Kerja yang Diperlukan untuk Menghasilkan
per UnitProduksi Amerika Inggris
Produksi Amerika Inggris
Gandum 8 10
Pakaian 4 2

Sumber: Salvatore (2006).


Dari tabel di atas nampak bahwa Amerika lebih efisien dalam memproduksi
gandum sedang Inggris dalam produksi pakaian. 1 unit gandum diperlukan 10 unit
tenaga kerja di Inggris sedang di Amerika hanya 8 unit (10 > 8). 1 unit pakaian
di Amerika memerlukan 4 unit tenaga kerja sedang di Inggris hanya 2 unit. Keadaan
demikian ini dapat dikatakan bahwa Amerika memiliki absolute advantage pada produksi
gandum dan Inggris memiliki absolute advantage pada produksi pakaian.
Dikatakan absolute advantage karena masing-masing negara dapat menghasilkan satu macam
barang dengan biaya yang secara absolut lebih rendah dari negara lain. Kelebihan dari teori
absolute advantage yaitu terjadinya perdagangan bebas antara dua negara yang saling
memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor dan impor hal ini
meningkatkan kemakmuran negara. Kelemahannya yaitu apabila hanya satu negara yang
memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak
ada keuntungan.
b.      Teori Modern
1.      John Stuart Mill dan David Ricardo
Teori J.S.Mill menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan
kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan
mengimpor barang yang dimiliki comparative disadvantage (suatu barang yang dapat
dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri
memakan ongkos yang besar). Teori ini menyatakan bahwa nilai suatu barang ditentukan
oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut. Contoh:
Produksi 10 orang dalam 1 minggu
Produksi Amerika Inggris
Gandum 6 bakul 2 bakul
Pakaian 10 yard 6 yard

Sumber: Salvatore (2006).


Menurut teori ini perdagangan antara Amerika dengan Inggris tidak akan
timbul karena absolute advantage untuk produksi gandum dan pakaian ada pada
Amerika semua. Tetapi yang penting bukan absolute advantagenya tetapi
comparative Advantagenya. Besarnya comparative advantage untuk Amerika, dalam
produksi gandum 6 bakul dibanding 2 bakul dari Inggris atau = 3 : 1. Dalam produksi pakaian
10 yard dibanding 6 yard dari Inggris atau 5/3 : 1. Di sini Amerika memiliki comparative
advantage pada produksi gandum yakni 3 : 1 lebih besar dari 5/3 : 1.
Untuk Inggris, dalam produksi gandum 2 bakul dibanding 6 bakul dari
Amerika atau 1/3 : 1. Dalam produksi pakaian 6 yard dari Amerika Serikat atau =
3/5: 1. Comparative advantage ada pada produksi pakaian yakni 3/5 : 1 lebih besar dari 1/3 :
1. Oleh karena itu perdagangan akan timbul antara Amerika dengan Inggris, dengan
spesialisasi gandum untuk Amerika dan menukarkan sebagian gandumnya dengan pakaian
dari Inggris. Dasar nilai pertukaran (term of trade) ditentukan dengan batas-batas nilai tukar
masing-masing barang di dalam negeri.
Kelebihan untuk teori comparative advantage ini adalah dapat menerangkan
berapa nilai tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran di mana kedua hal ini
tidak dapat diterangkan oleh teori absolute advantage. David Ricardo (1772-1823) seorang
tokoh aliran klasik menyatakan bahwa nilai penukaran ada jikalau barang tersebut memiliki
nilai kegunaan. Dengan demikian sesuatu barang dapat ditukarkan bilamana barang tersebut
dapat digunakan. Seseorang akan membuat sesuatu barang, karena barang itu memiliki nilai
guna yang dibutuhkan oleh orang. Selanjutnya David Ricardo juga membuat perbedaan
antara barang yang dapat dibuat dan atau diperbanyak sesuai dengan kemauan orang, di lain
pihak ada barang yang sifatnya terbatas ataupun barang monopoli (misalnya lukisan dari
pelukis ternama, barang kuno, hasil buah anggur yang hanya tumbuh di lereng gunung
tertentu dan sebagainya). Dalam hal ini untuk barang yang sifatnya terbatas tersebut nilainya
sangat subyektif dan relatif sesuai dengan kerelaan membayar dari para calon pembeli.
Sedangkan untuk barang yang dapat ditambah produksinya sesuai dengan keinginan maka
nilai penukarannya berdasarkan atas pengorbanan yang diperlukan. David Ricardo
mengemukakan bahwa berbagai kesulitan yang timbul dari ajaran nilai kerja:
  Perlu diperhatikan adanya kualitas kerja, ada kualitas kerja terdidik dan tidakterdidik, kualitas
kerja keahlian dan lain sebagainya. Aliran yang klasik dalam hal ini tidak memperhitungkan
jam kerja yang dipergunakan untuk pembuatan barang, tetapi jumlah jam kerja yang biasa
dan semestinya diperlukan untuk memproduksi barang. Dari situ maka Carey kemudian
mengganti ajaran nilai kerja dengan .teori biaya reproduksi
  Kesulitan yang terdapat dalam nilai kerja itu bahwa selain kerja masih banyak lagi jasa
produktif yang ikut membantu pembuatan barang itu, harus dihindarkan. Selanjutnya David
Ricardo menyatakan bahwa perbandingan antara kerja dan modal yang dipergunakan dalam
produksi boleh dikatakan tetap besarnya dan hanya sedikit sekali perubahan.

Atas dasar nilai kerja, dibedakan di samping .harga alami. (natural price) ada pula .harga
pasaran. (market price). Menurut aliran klasik (Adam Smith) .harga alami. akan terjadi
bilamana masing-masing warga masyarakat memperoleh kebebasan pilihannya untuk
membuat sesuatu produk tertentu yang menurutnya lebih menguntungkan dan
menukarkannya bilamana dinilai baik olehnya. Hal ini sejalan dengan pandangan kaum
physiokrat. Istilah .harga alami. (natural price) yang dikemukakan Smith adalah sama dengan
istilah Cantillon .valeur intrinsique. (nilai intrinsik), Turgot .valeur fondamental. (harga
pokok), Say .prix reel. (harga real), Ricardo primery/natural/necessary price. (harga pokok)
dan Cairnes .normal price. (harga normal). .Harga pasaran. dapat berbeda dengan .harga
alami. di mana akan menyesuaikan dengan keadaan penawaran dan permintaan atas barang
yang bersangkutan. Demikian pula atas dasar pertimbangan tertentu, adanya peraturan
pemerintah yang dapat menghalangi penyesuaian harga alami dengan harga pasaran. Tetapi
bagaimanapun, harga alami akan menjadi acuan (pedoman) atas penetapan harga
pasaran.Teori perdagangan internasional diketengahkan oleh David Ricardo yang mulai
dengan anggapan bahwa lalu lintas pertukaran internasional hanya berlaku antara dua negara
yang diantara mereka tidak ada tembok pabean, serta kedua Negara tersebut hanya beredar
uang emas. Ricardo memanfaatkan hukum pemasaran bersama-sama dengan teori kuantitas
uang untuk mengembangkan teori perdagangan internasional. Walaupun suatu negara
memiliki keunggulan absolut, akan tetapi apabila dilakukan perdagangan tetap akan
menguntungkan bagi kedua negara yang melakukan perdagangan. Teori perdagangan telah
mengubah dunia menuju globalisasi dengan lebih cepat. Kalau dahulu negara yang memiliki
keunggulan absolut enggan untuk melakukan perdagangan, berkat .law of comparative costs.
dari Ricardo, Inggris mulai kembali membuka perdagangannya dengan negara lain.
Pemikiran kaum klasik telah mendorong diadakannya perjanjian perdagangan bebas antara
beberapa negara. Teori comparative advantage telah berkembang menjadi dynamic
comparative advantage yang menyatakan bahwa keunggulan komparatif dapat diciptakan.
Oleh karena itu penguasaan teknologi dan kerja keras menjadi faktor keberhasilan suatu
negara. Bagi negara yang menguasai teknologi akan semakin diuntungkan dengan adanya
perdagangan bebas ini, sedangkan negara yang hanya mengandalkan kepada kekayaan alam
akan kalah dalam persaingan internasional.
a.      Cost Comparative Advantage (Labor efficiency)
Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu Negara akan memperoleh
manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor
barang di mana Negara tersebut dapat berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor
barang di mana negara tersebut berproduksi relative kurang/tidak efisien. Berdasarkan
contoh hipotesis di bawah ini maka dapat dikatakan bahwa teori comparative advantage dari
David Ricardo adalah cost comparative advantage.
Data Hipotesis Cost Comparative
Produksi 1 kg gula 1 m kain
Indonesia 3 hari kerja 4 hari kerja
China 6 hari kerja 5 hari kerja
Sumber: Salvatore (2006).
Indonesia memiliki keunggulan absolut dibanding Cina untuk kedua produk
diatas, maka tetap dapat terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan
kedua negara melalui spesialisasi jika negara-negara tersebut memiliki cost
comparative advantage atau labor efficiency. Berdasarkan perbandingan Cost Comparative
Advantage Efficiency, dapat dilihat bahwa tenaga kerja Indonesia lebih efisien dibandingkan
tenaga kerja Cina dalam produksi 1 Kg gula (atau hari kerja) daripada produksi 1 meter kain
(hari bekerja) hal ini akan mendorong Indonesia melakukan spesialisasi produksi dan ekspor
gula. Sebaliknya tenaga kerja Cina ternyata lebih efisien dibandingkan tenaga kerja Indonesia
dalam produksi 1 m kain (hari kerja) daripada produksi 1 Kg gula (hari kerja) hal ini
mendorong cina melakukan spesialisasi produksi dan ekspor kain.
a.       Production Comperative Advantage (Labor productifity)
Suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika
melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut
dapat berproduksi relatif lebih produktif serta mengimpor barang di mana negara
tersebut berproduksi relatif kurang/tidak produktif. Walaupun Indonesia memiliki
keunggulan absolut dibandingkan Cina untuk kedua produk, sebetulnya perdagangan
internasional akan tetap dapat terjadi dan menguntungkan keduanya melalui spesialisasi di
masing-masing negara yang memiliki labor productivity. Kelemahan teori klasik
Comparative Advantage tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi
produksi antara dua negara. Sedangkan kelebihannya adalah perdagangan internasional antara
dua negara tetap dapat terjadi walaupun hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut
asalkan masing-masing dari Negara tersebut memiliki perbedaan dalam Cost Comparative
Advantage atau Production Comparative Advantage. Teori ini mencoba melihat kuntungan
atau kerugian dalam perbandingan relatif. Teori ini berlandaskan pada asumsi:
Labor Theory of Value, yaitu bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh jumlah
tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang tersebut, di mana nilai barang
yang ditukar seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk
memproduksinya.
2.      Teori Heckscher-Ohlin (H-O)
Teori Heckscher-Ohlin (H-O) menjelaskan beberapa pola perdagangan dengan baik, negara-
negara cenderung untuk mengekspor barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang
relatif melimpah secara intensif. Menurut
Heckscher-Ohlin, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain
disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam
teknologi dan keunggulan faktor produksi. Basis dari keunggulan komparatif adalah:
a.       Faktor endowment, yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi di dalam suatu negara.
b.      Faktor intensity, yaitu teknologi yang digunakan di dalam proses produksi, apakah labor
intensity atau capital intensity.
Teori modern Heckescher-Ohlin atau teori H-O menggunakan dua kurva pertama adalah
kurva isocost yaitu kurva yang menggambarkan total biaya produksi yang sama. Dan kurva
isoquant yaitu kurva yang menggambarkan total kuantitas
produk yang sama. Menurut teori ekonomi mikro kurva isocost akan bersinggungan dengan
kurva isoquant pada suatu titik optimal. Jadi dengan biaya tertentu akan diperoleh produk
yang maksimal atau dengan biaya minimal akan diperoleh sejumlah produk tertentu. Analisis
hipotesis H-O dikatakan berikut:
a.       Harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau
proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara.
b.      Comparative Advantage dari suatu jenis produk yang dimiliki masing-masing negara akan
ditentukan oleh struktur dan proporsi faktor produksi yang dimilikinya.
c.       Masing-masing negara akan cenderung melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor
barang tertentu karena negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif banyak dan
murah untuk memproduksinya.
d.      Sebaliknya masing-masing negara akan mengimpor barang-barang tertentu karena negara
tersebut memilki faktor produksi yang relatif sedikit dan mahal untuk memproduksinya.
e.       Kelemahan dari teori H-O yaitu jika jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki
masing-masing negara relatif sama maka harga barang yang sejenis akan sama pula sehingga
perdagangan internasional tidak akan terjadi.
Teori Perdagangan Internasional modern dimulai ketika ekonom Swedia yaitu
Eli Hecskher (1919) dan Bertil Ohlin (1933) mengemukakan penjelasan mengenai
perdagangan internasional yang belum mampu dijelaskan dalam teori keunggulan
komparatif. Sebelum masuk ke dalam pembahasan teori H-O, tulisan ini sedikit akan
mengemukakan kelemahan teori klasik yang mendorong munculnya teori H-O. Teori Klasik
Comparative advantage menjelaskan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi karena
adanya perbedaan dalam productivity of labor (faktor produksi yang secara eksplisit
dinyatakan) antarnegara (Salvatore, 2006). Namun teori ini tidak memberikan penjelasan
mengenai penyebab perbedaan produktivitas tersebut. Teori H-O kemudian mencoba
memberikan penjelasan mengenai penyebab terjadinya perbedaan produktivitas tersebut.
Teori H-O menyatakan penyebab perbedaan produktivitas karena adanya jumlah atau
proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment factors) oleh masing-masing negara,
sehingga selanjutnya menyebabkan terjadinya perbedaan harga barang yang dihasilkan. Oleh
karena itu teori modern H-O ini dikenal sebagai .The Proportional Factor Theory..
Selanjutnya negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah dalam
memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi untuk kemudian mengekspor
barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara
tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya.
Hipotesis Teori H-O
Sebelum melakukan kritik terhadap teori H-O, di bawah ini akan
dikemukakan hipotesis yang telah dihasilkan oleh Teori H-O, antara lain:
1.      Produksi barang ekspor di tiap negara naik, sedangkan produksi barang impor di tiap negara
turun.
2.      Harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau proporsi faktor
produksi yang dimiliki masing-masing negara.
3.      Harga labor di kedua negara cenderung sama, harga barang A di kedua Negara cenderung
sama demikian pula harga barang B di kedua negara cenderumg sama.
4.      Perdagangan akan terjadi antara negara yang kaya Kapital dengan Negara yang kaya Labor.
5.      Masing-masing negara akan cenderung melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor
barang tertentu karena negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif banyak dan
murah untuk melakukan produksi. Sehingga Negara yang kaya kapital maka ekspornya padat
kapital dan impornya padat karya, sedangkan negara kaya labor ekspornya padat karya dan
impornya padat kapital.
Kelemahan Asumsi Teori H-O
Untuk lebih memahami kelemahan teori H-O dalam menjelaskan perdagangan
internasional akan dikemukan beberapa asumsi yang kurang valid:
a.       Asumsi bahwa kedua negara menggunakan teknologi yang sama dalam
memproduksi adalah tidak valid. Fakta yang ada di lapangan negara sering menggunakan
teknologi yang berbeda.
b.      Asumsi persaingan sempurna dalam semua pasar produk dan faktor produksi lebih menjadi
masalah. Hal ini karena sebagian besar perdagangan adalah produk negara industri yang
bertumpu pada diferensiasi produk dan skala ekonomi yang belum bisa dijelaskan dengan
model faktor endowment H-O.
c.       Asumsi tidak ada mobilitas faktor internasional. Adanya mobilitas factor secara
internasional mampu mensubstitusikan perdagangan internasional yang menghasilkan
kesamaan relatif harga produk dan faktor antarnegara. Maknanya adalah hal ini merupakan
modifikasi H-O tetapi tidak mengurangi validitas model H-O.
d.      Asumsi spesialisasi penuh suatu negara dalam memproduksi suatu komoditi jika melakukan
perdagangan tidak sepenuhnya berlaku karena banyak Negara yang masih memproduksi
komoditi yang sebagian besar adalah dari impor.
1.1  Produk Domestik Bruto (PDB)
PDB diyakini sebagai indikator ekonomi terbaik dalam menilai perkembangan
ekonomi suatu negara. Perhitungan pendapatan nasional ini mempunyai ukuran
makro utama tentang kondisi suatu negara. Pada umumnya perbandingan kondisi
antar negara dapat dilihat dari pendapatan nasionalnya sebagai gambaran, Bank
Dunia menentukan apakah suatu negara berada dalam kelompok negara maju atau
berkembang melalui pengelompokan besarnya PDB, dan PDB suatu negara sama
dengan total pengeluaran atas barang dan jasa dalam perekonomian (Herlambang,
2001).
Menurut Samuelson (2002), PDB adalah jumlah output total yang dihasilkan
dalam batas wilayah suatu negara dalam satu tahun. PDB mengukur nilai barang dan jasa
yang di produksi di wilayah suatu negara tanpa membedakan kewarganegaraan pada suatu
periode waktu tertentu. Dengan demikian warga negara yang bekerja di negara lain,
pendapatannya tidak dimasukkan ke dalam PDB. Sebagai gambaran PDB Indonesia baik oleh
warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing (WNA) yang ada di Indonesia
tetapi tidak diikuti sertakan produk WNI di luar negeri (Herlambang, 2001). Sukirno (2002)
mendefinisikan PDB sebagai nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang diproduksi oleh
faktor-faktor produksi milik warga negara tersebut dan warga negara asing. Sedangkan
Wijaya (1997) menyatakan bahwa PDB adalah nilai uang berdasarkan harga pasar dari semua
barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi oleh suatu perekonomian dalam suatu periode
waktu tertentu biasanya satu tahun. Secara umum PDB dapat diartikan sebagai nilai akhir
barang-barang dan jasa yang diproduksi di dalam suatu negara selama periode tertentu
(biasanya satu tahun).
1.2 PDB Atas Harga Berlaku dan Harga Konstan
Pendapatan nasional dapat dihitung berdasarkan dua harga yang telah ditetapkan pasar.
1)      PDB Harga Berlaku. Pendapatan nasional pada harga berlaku adalah nilai barang-barang dan
jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam periode tertentu menurut/berdasarkan harga
yang berlaku pada periode tersebut.
2)      PDB Harga Konstan. Pendapatan nasional pada harga konstan adalah nilai barang-barang
dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam periode tertentu, berdasarkan harga yang
berlaku pada suatu tahun tertentu yang dipakai dasar untuk dipergunakan seterusnya dalam
menilai barang-barang dan jasa yang dihasilkan pada periode/tahun berikutnya. Pendapatan
nasional pada harga konstan = Pendapatan Nasional riil. Menurut Mulyono dalam Hanton
(2002),
1.3 Teori Konsumsi
Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah
tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan
tersebut. Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan
mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi
untuk digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang
konsumsi (Dumairy, 2004).
Dalam teorinya Keynes mengandalkan analisis statistik, dan juga membuat
dugaan-dugaan tentang konsumsi berdasarkan introspeksi dan observasi kasual.
Pertama dan terpenting, Keynes menduga bahwa kecenderungan mengkonsumsi
marginal (marginal propensity to consume) jumlah yang dikonsumsi dalam setiap
tambahan pendapatan adalah antara nol dan satu. Kecenderungan mengkonsumsi
marginal merupakan rekomendasi kebijakan Keynes untuk menurunkan pengangguran yang
kian meluas. Kekuatan kebijakan fiskal, untuk mempengaruhi
perekonomian seperti ditunjukkan oleh pengganda kebijakan fiskal muncul dari
umpan balik antara pendapatan dan konsumsi. Kedua, Keynes menyatakan bahwa rasio
konsumsi terhadap pendapatan, yang disebut kecenderungan mengkonsumsi rata-rata
(avarage prospensity to consume), turun ketika pendapatan naik. Ia percaya bahwa tabungan
adalah kemewahan, sehingga ia barharap orang kaya menabung dalam proporsi yang lebih
tinggi dari pendapatan mereka ketimbang si miskin. Ketiga, Keynes berpendapat bahwa
pendapatan merupakan determinan
konsumsi yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peranan penting. Keynes
menyatakan bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori.
Kesimpulannya bahwa pengaruh jangka pendek dari tingkat bunga terhadap
pengeluaran individu dari pendapatannya bersifat sekunder dan relatif tidak penting.
Berdasarkan tiga dugaan ini, persamaan konsumsi Keynes sering ditulis sebagai
berikut (Mankiw, 2003):
C = a + bY, a > 0, 0 < b < 1 ................................................................ (2.1)
Keterangan:
C = konsumsi
Y = pendapatan disposebel
a = konstanta
b = kecenderungan mengkonsumsi marginal
1.4 Teori Pajak
Teori klasik tentang sistem perpajakan yang baik dimulai sejak Adam Smith
dalam bukunya .The Wealth of Nations. (Waluyo, 2006) yang menyatakan bahwa
penungutan pajak hendaknya didasarkan pada:
a.      Equality
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang
harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan
manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang
untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang diminta.
b.      Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu,
wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang
terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.
c.       Convenience
Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat
yang tidak menyulitkan wajib pajak sebagai contoh pada saat wajib pajak
memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut pay as you earn.
d.      Economy
Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban bagi wajib pajak
diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul wajib pajak. Azas
keadilan dalam sistem perpajakan telah banyak didiskusikan secara luas, dan hal ini
merupakan bagian terpenting dalam mengevaluasi setiap pengajuan dalam pembuatan
kebijakan perpajakan. Musgrave Laksana (2001) memberikan pandangan yang adil tentang
distribusi beban pajak, beban administrasi dan pengaruh insentif pajak terhadap penerimaan
pajak. Diantara keempat azas di atas, Musgrave juga menekankan pada tiga azas lainnya
yaitu: azas netralitas (neutrality), azas perbaikan (reformation), dan azas kestabilan dan
pertumbuhan (growth and stability).
Di negara-negara yang sedang berkembang sebagian besar penerimaan pajaknya berasal dari
pajak langsung dan pajak tak langsung. Menurut Nafziger (1990) dalam Yuzrat and
Makhfatih (Nasution, 2003) menyebutkan bahwa proporsi
PDB terhadap pajak langsung pada negara sedang berkembang lebih rendah daripada pajak
langsung dari negara-negara maju. Hal ini dikarenakan pada negara-negara yang sedang
berkembang lebih rendah golongan berpenghasilan tingginya. Dalam perkembangannya akan
terjadi proses pergeseran dari dominasi pajak tidak langsung menjadi pajak langsung sesuai
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi diiringi dengan peningkatan pendapatan
perkapita penduduknya. Dalam jangka panjang peranan pajak langsung akan semakin penting
seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat dan ditunjang pula dengan
teknologi canggih menuju era globalisasi. Selain berfungsi sebagai pemerataan karena
struktur tarifnya bersifat progresif, perkembangan hubungan internasional yang semakin maju
kearah liberal dan global mengharuskan pemerintah untuk menurunkan tarif impornya dalam
rangka peningkatan daya saing ekonomi domestic di ekonomi dunia. Konsekuensinya
penerimaan pajak tidak langsung akan menjadi turun. Alternatifnya adalah memobilisasi
penerimaan pajak yang bertumpu pada pajak langsung seperti pajak penghasilan.
BAB III

KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
Berdasarkan paparan diatas,maka kami dapat menyimpulkan bahwa:
1.      Dalam perjalanannya pemikiran Adam Smith maupun David Ricardo sedikit banyak
mempegaruhi teori perekonomian dunia. Teori Komparatif Ricardo bisa dikatakan menjadi
sebuah titik awal ekspansi perusahaan-perusahaan untuk melakukan transaksi maupun
perdagangan dengan dunia di luar negara asalnya. Jika dilihat dari perspektif hubungan
internasional, semakin maraknya Multinational Corporations (MNCs) maupun Transnational
Corporations (TNCs) berkembang di dunia ini, yang di dalam ilmu hubungan internasional
merupakan sebuah kajian dalam diskurus Transnasionalisme sedikit banyak juga bisa
dikatakan terpengaruh oleh pemikiran Ricardo maupun Smith.
2.      Model Adam Smith ini memfokuskan pada keuntungan mutlak yang menyatakan bahwa
suatu negara akan memperoleh keuntungan mutlak dikarenakan negara tersebut mampu
memproduksi barang dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan negara lain. Menurut
teori ini jika harga barang dengan jenis sama tidak memiliki perbedaan di berbagai negara
maka tidak ada alasan untuk melakukan perdagangan internasional.
3.      Model Ricardian memfokuskan pada kelebihan komparatif dan mungkin merupakan konsep
paling penting dalam teori pedagangan internasional. Dalam Sebuah model Ricardian, negara
mengkhususkan dalam memproduksi apa yang mereka paling baik produksi. Tidak seperti
model lainnya, rangka kerja model ini memprediksi dimana negara-negara akan menjadi
spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas. Juga, model
Ricardian tidak secara langsung memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari
buruh dan modal dalam negara.
4.      Model Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan dasar kelebihan
komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih rumit model ini tidak
membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun, dari sebuah titik pandangan teoritis
model tersebut tidak memberikan solusi yang elegan dengan memakai mekanisme harga
neoklasikal kedalam teori perdagangan internasional.
Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh perbedaan
dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau negara-negara akan mengekspor
barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan
mengimpor barang yang akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif.
Masalah empiris dengan model H-o, dikenal sebagai Pradoks Leotief, yang dibuka dalam uji
empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung
untuk mengekspor barang buruh intensif dibanding memiliki kecukupan modal dan
sebagainya.
B.     Saran
Sebaiknya teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli diterapkan sebagai fundamen
agar ekonomi Indonesia bias membaik. Pengelolaan dan tata cara serta penerapannya harus di
aplikasikan kedalam system prekonomian Indonesia sehingga teori-teori ini tidak menjadi
sekedar teori, akan tetapi dapat dipahami dan diterapkan secara maksimal mengingat
ekonomi RI masih lemah.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Yanuar Ikbar, M.A, Ekonomi Politik Internasional 1 : Konsep dan Teori, Refika

Aditama, Bandung, 2006, hal. 41 bid, hal. 41

Lia Amalia, Ekonomi Internasional, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007, hal. 10

Ir. Sahibul Munir, SE, M.Si, Pengantar Ekonomi Makro, Jakarta, Pusat Pengembangan Bahan

Ajar Universitas Mercu Buana (UMB), 2008, hal. 1

http://murtiningsih.blog.uns.ac.id/2009/10/07/teori-perdagangan-internasional/

http://www.scribd.com/doc/46099191/Perkembangan-Perdagangan-Bilateral

http://trionoakhmadmunib.blogspot.com/2011/02/teori-perdagangan-internasional-smith.html

Anda mungkin juga menyukai