Anda di halaman 1dari 5

2.

Pertusis ( 4A )
Etiologi : infeksi bakteri Bordetella pertussis
Gejala : batuk ringan, bersin-bersin, hidung berair atau tersumbat, mata merah dan berair,
atau demam ringan, Wajah tampak memerah atau keunguan saat batuk, Muncul bunyi
“whoop” saat tarikan napas panjang sebelum batuk-batuk, Muntah setelah batuk, Merasa
sangat lelah setelah batuk, Kesulitan mengambil napas. Jika terjadi pada bayi, tidak batuk,
apnea , sianosis.
Epidemiologi : bayi yang belum pernah diberi imunisasi
Patomekanisme : B.pertussis menular via droplet di udara yang tersebar melalui batuk.
Gerbang masuk dari organisme adalah infeksi saluran pernapasan mukosa saluran atas.
Setelah terhirup, B. pertussis kemudian menempel pada sel epitel (sel mukosa superfisial)
dan nasofaring dengan mengeluarkan beberapa macam protein adesin seperti filamentous
hemagglutinin (FHA). Di tempat ini bakteri tersebut kemudian akan bermultiplikasi dan
memproduksi berbagai toksin untuk merusak sel-sel lokal.
Pemeriksaan Penunjang : kultur bakteri, tes darah, pemeriksaan x-ray, PCR, serologi asai
Diagnosis Banding : bronkiolitis, pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis, serta
adanya benda asing.
Terapi : antibiotik dengan eritromisisn (50 mg/kgBB/hari) atau ampisilin (100
mg/kgBB/hari), maksimum 2gram perhari diberikan selama 14 untuk mencegah relaps.

11. Pseudo-croop acute epiglotitis (3A)

Etiologi :  infeksi bakteri. Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae tipe


B (Hib) merupakan jenis bakteri yang paling sering memicu peradangan pada epiglotis.
Gejala : Demam, Sakit tenggorokan, Sulit menelan, Ngorok, Suara serak, Ngeces, Sesak
napas, rewel dan uring-uringan, cenderung lebih suka duduk tegak dengan tubuh condong
ke depan , Posisi ini dapat memudahkan penderita untuk bernapas.
Epidemiologi : bisa terjadi pada usia berapa pun, paling sering dialami oleh anak-anak
berusia 2-5 tahun. Selain anak-anak, orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah,
misalnya penderita HIV/AIDS atau kanker, juga rentan terkena epiglotitis.
Patomekanisme : Biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri. Infeksi ini akan menyebabkan
edema dan peradangan epiglotis dan jaringan sekitarnya, jalan nafas menjadi tersumbat
akibat pembengkakan epiglotis. Terjadi gangguan dan obstruksi jalan nafas. Anak-anak
dengan luka bakar terutama karena akibat air panas juga harus diamati dengan hati.
Pemeriksaan Penunjang :
- Tes darah, untuk melihat tanda-tanda infeksi.
- Teropong epiglotis dengan nasoendoskopi, untuk melihat kondisi epiglotis.
- Biopsi epiglotis, yaitu pengambilan dan pemeriksaan sampel jaringan epiglotis untuk
melihat adanya infeksi bakteri dan perubahan pada jaringan.
- pemeriksaan Rontgen dada atau leher, serta CT scan atau MRI,

Diagnosis Banding : Diphtheria, Trakeitis bakteri,


Terapi : Terapi inhalasi , Epinephrin , Kortikosteroid (Deksametason diberikan dengan dosis
0,6 mg/kgBB per oral/intramuskular sebanyak satu kali, dan dapat dihitung dalam 6 – 24
jam. prednison atau prednisolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB )

21. Bronkitis Akut ( 4A )

Etiologi : Bronkitis akut karena virus dan bakteri biasanya dikaitkan dengan Mycoplasma
pneumoniae, Bordetella pertussis, atau Corynebacterium diphtheriae.
Gejala : Rasa sesak di dada, Batuk berdahak, Warna dahak bisa bening atau kuning,
Mengi, yaitu muncul bungi ‘ngik’ di tiap tarikan napas, Sakit tenggorokan, Demam
yang disertai menggigil, Pegal-pegal.
Epidemiologi : biasa terjadi pada anak berusia di atas 5 tahun atau remaja.
Patomekanisme : infeksi saluran pernapasan atas, infeksi dan inflamasi dapat menjalar
sampai ke trakea, bronkus, dan bronkiolus. Sel-sel dari jaringan bronkial akan teriritasi dan
membran mukosa menjadi hiperemis dan edema. Hal ini menyebabkan fungsi mukosiliar
akan terganggu. Akibatnya, saluran udara menjadi tersumbat oleh debris dan iritasi akan
semakin memberat. Tubuh akan merespon dengan melakukan sekresi mukus yang berlebih
(hipersekresi mukus). Adanya refleks batuk membantu eliminasi mukus dari saluran napas.
Pemeriksaan Penunjang :

 Pemeriksaan kadar oksigen dalam darah.

 Pemeriksaan fungsi paru dengan spirometer

 Rontgen paru
 Tes darah

 Pemeriksaan sampel dahak

Diagnosis Banding : pneumonia, TB paru, empysema, asma


Terapi : Antitusif , Expectoran, Beta2 agonis , Herbal

29. Multi Drug Resistance (MDR) TB ( 2 )


Etiologi : kasus tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis resisten
minimal terhadap rifampisin dan isoniazid secara bersamaan, dengan atau tanpa obat
antituberkulosis (OAT) lini I yang lain.
Gejala : Gejala Utama: batuk berdahak. (> 2 Minggu), Gejala Tambahan: dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak napas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun,
berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat pada malam hari.
Epidemiologi : Secara global diperkirakan terdapat 630.000 kasus multidrug resistant
tuberculosis (MDR-TB). Kasus MDR TB dari tahun ke tahun diperkirakan akan terus
meningkat. Selama tahun 2011 kasus MDR TB di Indonesia dilaporkan bahwa sejumlah
260 kasus, diperkirakan pada tahun 2013 akan terdeteksi 1.800 kasus. World Health
Organization (WHO) pada tahun 2010, melaporkan untuk kasus MDR-TB Indonesia
berada di urutan ke-8.
Patomekanisme : MDR TB disebabkan oleh organisme yang resisten terhadap obat anti
tuberkulosis yang paling efektif, yaitu isoniazid dan rifampisin. MDR TB merupakan hasil
dari infeksi dari organisme yang sudah resisten terhadap obat atau timbul saat pasien sedang
terapi, namun terhenti. Fluorokuinolon merupakan golongan paling kuat di antara obat-obat
lini kedua untuk terapi MDR-TB. Pasien MDR-TB yang disertai resistensi terhadap
golongan fluorokuinolon memiliki manifestasi klinik yang lebih serius dibandingkan
dengan yang tidak. Penyakit ini lebih susah diterapi, dan lebih berisiko untuk menjadi
XDR-TB, dan memungkinkan resistensi terhadap obat-obat lini kedua yang lain.
Pemeriksaan Penunjang :
- TB resisten obat didiagnosis berdasarkan uji kepekaan M. tuberculosis, baik secara
metode konvensional dengan media padat atau cair maupun metode cepat (rapid test).
- Suspek TB resisten obat diambil dahaknya dua kali salah satunya dahak pagi hari untuk
keperluan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M. tuberculosis.
Diagnosis Banding :
- Extensive drug resistance TB (XDR TB)
- Total drug resistance TB (TDR TB)

Terapi : Pasien mulai diberikan rejimen sesuai standar terdiri atas 5 atau 6 jenis obat. Obat
dan dosis yang digunakan pada rejimen terapi dipaparkan pada Obat anti-TB yang diberikan
kanamisin (Km), levofloxacin (Lfx), etionamid (Eto), etambutol (E) jika masih sensitif,
pirazinamid (Z), cycloserin (Cs), diberikan juga vitamin B3. Injeksi diberikan selama 5 hari
(Senin-Jumat) dan terapi oral diberikan setiap hari (Senin-Minggu).

38. Infark Paru ( 1 )


PENYEBAB : Etiologi infark paru paling banyak adalah emboli paru, 30% emboli paru akan
menyebabkan infark paru.
GEJALAH : nyeri pluritik, hemoptosos, sesak napas mendadak, takipneu, atelektasis.
EPID : Epidemiologi infark paru secara umum lebih banyak dibahas berdasarkan etiologinya
yaitu emboli paru, atau penyakit primer lain yang menyertai. Hingga saat ini belum ada
penelitian yang menerangkan secara epidemiologis khusus mengenai infark paru.
PATOMEKANISME : Patofisiologi infark paru timbul akibat gangguan fisiologis suplai
darah ke paru-paru. Parenkim paru menerima suplai oksigen dari 3 sumber utama, yaitu arteri
pulmonal yang mengandung darah dengan oksigen rendah, sirkulasi bronchial yang
mengandung darah teroksigenasi, dan difusi oksigen langsung berasal dari alveoli. Gangguan
sirkulasi pada ketiga sumber ini dapat menyebabkan infark dan nekrosis jaringan secara
bertahap. Gangguan dari sebagian atau keseluruhan suplai darah ke paru disebabkan adanya
emboli, yang menyumbat pembuluh darah, mengurangi aliran darah pada bagian distal, dan
menyebabkan infark paru.
PEMERIKSAAN PENUNJANG : foto rontgen torax, pemeriksaan laboratorium
DD : pneumonia, sumbatan bronkus oleh lendir pekat, tuberkulosis paru dengan efusi plura,
karsinoma paru.
TERAPI : Penatalaksanaan infark paru meliputi manajemen suportif dan pemberian terapi
medikamentosa. Kedua prinsip terapi ini dilakukan sesuai kondisi pasien dan penyakit primer
yang menjadi risiko pasien mengalami infark paru.
Medikamentosa
Pemberian obat pada kasus infark paru adalah obat antikoagulan untuk mencegah perluasan
bekuan darah, dan obat trombolisis yang diberikan pada pasien dengan gagal jantung paru
massif

Anda mungkin juga menyukai