Anda di halaman 1dari 4

2.

ANATOMI SISTEM SARAF OTONOM

Sistem saraf otonom adalah bagian sistem saraf perifer yang mengatur kelenjar dan organ
internal, seperti kandung kemih, perut, dan jantung (Hernanta,2013). Sistem saraf otonom
terdiri atas saraf-saraf motoris yang menuju otot jantung, otot polos, dan kelenjar (Arisworo
& Yusa, 2006). Sistem saraf ini tidak dipengaruhi oleh kesadaran. Artinya, kerja saraf ini
sesuai dengan kehendak kita. Serabut-serabut afrennya membawa masukan dari organ-organ
viseral (berkaitan dengan pengaturan denyut jantung, diaeter pembuluh darah, pernapasan,
pencernaan makanan, rasa lapar, mual, pembuangan, dan sebagainya). Saraf eferen motorik
SSO mempersarafi otot polos, otot jantung, dan kelenjar-kelenjar viseral. SSO berkaitan
dengan pengaturan fungsi viseral dan interaksinya dengan lingkungan dalam (Muttaqin).

Ganglia kolateral. Visera abdominopelvis menerima inervasi simpatis melalui serabut


paraganglionik yang menerobos rantai simpatis tanpa sinaps. Serabut ini dimulai pada
neruron-neuron paraganglionik di segmen bawah torakal dan segmen atas lumbal. Serabut ini
menjalar pada dinding rongga dada dan abdomen serta mengatur secara otonom keadaan di
dalam rongga dada dan abdomen.

Medula adrenal. Medula adrenal ini dimodifikasi oleh ganglion simpatetik. Sinaps serabut
paranglionik pada sel-sel neuroendokrin berfungsi untuk melepaskan neurotransmiter
epinefrin dan neuroeprinefin ke dalam sirkulasi umum.

Secara anatomis neuron simpatis terletak di ruas tulang torakal dan lumbal yaitu pada
susunan saraf medula spinalis; akson-aksonnya disebut dengan serabut paraganglion, muncul
melalui jalan pada semua akar saraf anterior dari ruas tulang leher (Servikal) kedelapan atau
tulang torakal pertama menuju ruas tulang lumbal kedua dan ketiga (Muttaqin). Jarak dari
medula ke serabut-serabut saraf memiliki perbedaan, hal ini dikarenakan adanya perbedaan
hubungan setiap rantai. Komposisi serabut-serabut ini terdiri atas 22 mata rantai ganglia,
yang meluas ke seluruh lajur sepanjang spinal dan kedua sisi tubuh tulang belakang.

Beberapa dari sejumlah besar sinaps-sinpas bertemu dengan sel-sel saraf dalam rantai.
Rantai-rantai lain yang melintas tanpa membuat hubungan atau kehilangan penghubung akan
bergabung dengan ganglia besar “prevertebral” dalam toraks, abdomen, dan pelvis atau satu
ganglia “terminal” di sekitar organ seperti kandung kemih atau rektum, serabut saraf
postganglion yang berasal dari rantai simpatis bergabung kembali dengan saraf spinal yang
menuju ekstremitas, pembuluh-pembuluh darah, kelenjar keringat dan jaringa otot polos
dalam kulit. Serabut-serabut postganglion dari pleksus prevetebral (misalnya pleksus jantung,
paru-paru, splanknik, dan pelvis) tersusun di dalam kepala dan leher toraks, abdomen, dan
pervis, seterusnya akan berhubungan dengan serabut-serabut dari bagian parasimpatis di
dalam pleksus. Kelenjar adrenal, ginal, hati, limpa, lambung, dan duodenum (usus 12 jari)
ada di bawah kontrol pleksus siliaka yang terbesar umumnya diketahui sebagai pleksus solar.

Sistem saraf otonom terdiri atas dua bagian, yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis. Sebagian besar jaringan organ-organ di bawah kontrol otonom adalah
morepinefrin dan mediator impuls parasimpatis adalah asetilkolin. Kedua zat kimia ini
memiliki pengaruh yang berlawanan, sehingga menghasilkan suatu sistem pengaturan yang
baik (Furqonita, 2007).

a. Sistem Saraf Simpatis.

Sistem saraf simpatis berupa sel-sel yang terdapat pada sepanjang tulang
belakang sebelah depan yang dimulai dari ruas-ruas tulang leher hingga tulang ekor.
Sistem saraf simpatis tersusun atas 25 pasang simpul saraf. Dari setiap simpul saraf
keluar serabut-serabut saraf yang menuju organ tubuh seperti menuju jantung dan
pembuluh darah.

Fungsi unik sistem saraf otonom simpatis adalah sistem ini yang siap siaga
untuk membantu dalam porses kedaruratan. Di bawah keadaan stress baik yang
disebabkan oleh fisik maupun emosional dapat menyebabkan peningkatan yang cepat
pada impuls simpatis. Tubuh mempersiapkan untuk respon “fight or flight” jika
terdapat ancaraman.

Sebagai akibatnya, bronkiolus berdilatasi untuk memudahkan pertukaran gas,


kontraksi jantung yang kuat dan cepat, dilatasi arteri menuju jantung dan otot-otot
volunter yang membawa banyak darah ke jantung; konstruksi pembuluh darah perifer
yang membuat kulit pada kaki menjadi dingin tetapi memirau (shunting) darah ke
organ esensial yang aktif; dilatasi pupil, hati mengeluarkan glukosa untuk energi
cepat; peristaltik makin lambat; rambut berdiri; dan peningkatan keringat. Pelepasan
simpatis yang meningkat cepat sama seperti tubuh diberikan suntikan adrenalin,
sehingga stasiun sistem persarafan adrenergik kadang-kadang digunakan jika
menunjukkan kondisi seperti pada sitem persarafan simpatis.

b. Sistem saraf Parasimpatis.


Sistem saraf parasimpatis merupakan jaringan yang berhubungan dengan
simpul saraf yang tersebar di seluruh tubuh. Serabut saraf pada sistem saraf
parasimpatis menuju ke alat-alat tubuh yang bekerja di bawah pengaruh sistem saraf
simpatis. Cara kerja sistem saraf simpatis yaitu bersifat antagonis dengancara kerja
sistem saraf simpatis.

Fungsi sistem parasimpatis adalah sebagai pengontrol dominan untuk


kebanyakan efektor visual dalam waktu lama. Selama keadaan diam, kondisi tanpa
stres, impuls dari serabut-serabut parasimpatis (kolonergik) menonjol. Serabut-serabut
sistem parasimpatis terletak di dua area, satu pada batang otak, dan yang lainnya pada
segmen spinal di bawah L2. Oleh karena lokasi serabut-serabut tersebut, saraf
parasimpatis menghubungkan area torokolumbal dari sistem saraf autonom.
Parasimpatis kranial muncul dari otak tengah dan medula oblongata.

Serabut pada sel-sel otak tengah berjalan dengan saraf okolumotorius ketiga
menuju ganglia siliaris, yang memiliki serabut postganglion yang berhubungan
dengan sistem simpatis lain yang mengontrol bagian posisi yang berlawanan dengan
mempertahankan keseimbangan antara keduanya pada satu waktu.

Arisworo & Yusa. 2006. Ilmu Pengetahuan Alam. (Online),

(https://books.google.co.id/books?id=-
uQaDf0X93IC&pg=PA57&dq=sistem+saraf+otonom&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEw
jY6NXVu-LrAhWYlEsFHS7eADAQ6AEwAnoECAMQAg#v=onepage&q=sistem
%20saraf%20otonom&f=false), diakses pada 12 September 2020.

Furqonita, Deswaty. 2007. Seri IPA BIOLOGI SMP Kelas IX. Penerbit: Quadra. (Online),

(https://books.google.co.id/books?
id=jZqQh9UHAnMC&pg=PA62&dq=sistem+saraf+otonom&hl=id&sa=X&ved=2ah
UKEwjtrbKZveLrAhVScCsKHSCfD-
g4ChDoATAAegQIBhAC#v=onepage&q=sistem%20saraf%20otonom&f=false),
diakses pada 12 September 2020.

Hernanta, Iyan. 2013. Ilmu Kedokteran Lengkap Tentang Neurosains. Jogjakarta: D-

MEDIKA.
Muttaqin, Arif. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan gangguan sistem persarafan.

Penerbit: SalembaMedika. (Online), (https://books.google.co.id/books?


id=LhzANK2oLfoC&pg=PA17&dq=sistem+saraf+otonom&hl=id&sa=X&ved=2ahU
KEwjFm8OnveLrAhWaXCsKHQaBDyY4ChDoATAHegQIBxAC#v=onepage&q=si
stem%20saraf%20otonom&f=false), diakses pada 12 September 2020.

Anda mungkin juga menyukai