Anda di halaman 1dari 41

REFERENSI ARTIKEL

GAMBARAN RADIOLOGI PADA PASIEN COVID-19

Oleh:

Winda Atika Sari G991902060


Yemima Tita Yunantyo G991902061
Zahra Dzakiyatin Nisa G991902062
Frederick Johan Purnomo G992003057
Aryo Bimanto G992003018

Pembimbing:
Dr. Widiastuti, dr., Sp.Rad (K)

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS
MARET/RSUD Dr.MOEWARDI SURAKARTA
2020
HALAMAN PERSETUJUAN

Naskah untuk referensi artikel – Gambaran Radiologi pada Pasien COVID-19 –


ini telah disetujui untuk dipresentasikan pada
Tanggal 27 Bulan Mei 2020

PEMBIMBING
Pembimbing: Tanda tangan
Dr. Widiastuti, dr., Sp.Rad (K)

.................................

i
LEMBAR PENGESAHAN

TELAH DIPRESENTASIKAN REFERAT DENGAN JUDUL:

GAMBARAN RADIOLOGI PADA


PASIEN COVID-19

Oleh:

Winda Atika Sari G991902060


Yemima Tita Yunantyo G991902061
Zahra Dzakiyatin Nisa G991902062
Frederick Johan Purnomo G992003057
Aryo Bimanto G992003018

Pembimbing:
Dr. Widiastuti, dr., Sp.Rad (K)

Pada hari/tanggal: Rabu, 27 Mei 2020


Melalui Daring dengan Aplikasi Zoom

Mengetahui:

PEMBIMBING

Dr. Widiastuti, dr., Sp.Rad (K)


NIP. 19561120 198311 2 001

DAFTAR ISI

ii
1. Halaman Persetujuan.................................................................................i
2. Lembar pengesahan...................................................................................ii
3. Daftar isi....................................................................................................iii
4. BAB I: Pendahuluan..............................................................................1
5. BAB II: Tinjauan Pustaka......................................................................3
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)
A. Definisi..........................................................................................3
B. Etiologi..........................................................................................3
C. Epidemiologi.................................................................................5
D. Patofisiologi...................................................................................5
E. Manifestasi klinis...........................................................................11
F. Gambaran Radiologi......................................................................12
G. Tatalaksana....................................................................................23
H. Pencegahan....................................................................................28
I. Diskusi...........................................................................................31
6. BAB III: Kesimpulan dan Saran ...........................................................34
A. Kesimpulan....................................................................................34
B. Saran..............................................................................................34
7. Daftar Pustaka............................................................................................35

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan


kasus pneumonia yang etiologinya tidak diketahui di Kota Wuhan, Provinsi
Hubei, Cina. Pada 7 Januari 2020, Cina mengidentifikasi pneumonia yang tidak
diketahui etiologinya tersebut sebagai jenis baru coronavirus (novel coronavirus,
2019-nCoV) (DirjenP2P, 2020). Sumber penularan kasus ini masih belum
diketahui pasti, tetapi kasus pertama dikaitkan dengan pasar ikan di Wuhan.
Tanggal 18 Desember hingga 29 Desember 2019, terdapat lima pasien yang
dirawat dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). World Health
Organization memberi nama virus baru tersebut sebagai Severe acute respiratory
syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dan nama penyakitnya sebagai
Coronavirus disease 2019 (COVID-19) (DirjenP2P, 2020)
Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar virus yang menyebabkan
penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis
coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan
gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan Severe
Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV). Penelitian menyebutkan bahwa
SARS-CoV ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS-
CoV dari unta ke manusia. Beberapa coronavirus yang dikenal beredar pada
hewan namun belum terbukti menginfeksi manusia (Susilo et al., 2020)
Penambahan jumlah kasus 2019-nCoV berlangsung cukup cepat dan sudah
terjadi penyebaran ke luar wilayah Wuhan dan negara lain. Kasus infeksi COVID-
19 pertama kali terjadi pada bulan Desember 2019, dimana dilaporkan terdapat 5
pasien yang dirawat di rumah sakit dikarenakan infeksi saluran nafas akut dan
dilaporkan 1 kasus kematian dari 5 pasien yang dirawat pada saat itu. Pada Januari
2020, angka kasus meningkat dan didapatkan kurang dari 50% pasien memiliki
penyakit penyerta seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler. Saat
ini ada sebanyak 65 negara lebih terinfeksi virus corona. Berdasarkan data sampai
Maret 2020, angka mortalitas di seluruh dunia mecapai 2,3% (Yuliana, 2020)

1
Manifestasi klinis biasanya muncul dalam 2 hari hingga 14 hari setelah
paparan. Tanda dan gejala umum infeksi coronavirus antara lain gejala gangguan
pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Pada kasus yang berat
dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan
bahkan kematian. Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan sebagian besar
adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas, dan hasil
rontgen menunjukkan infiltrat. pneumonia luas di kedua paru-paru. Mortalitas
penyakit bergantung pada usia serta kondisi imun pasien. Gejala klinis yang
seringkali muncul adalah demam, batuk, dan kelelahan (Yuliana, 2020)
Dalam proses diagnosis dan penatalaksanaan pasien COVID-19 gambaran
radiologis CT scan imaging, terutama pada bagian thorax atau lapang dada,
memiliki peranan penting. Proses ini tidak memerlukan waktu yang lama,
sehingga dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding penyakit ini secara
lebih cepat walaupun kepastian diagnosis infeksi COVID-19. Pemeriksaan CT
Scan dalam penegakkan diagnosis harus disertai dengan hasil pemeriksaan
laboratorium RT-PCR sebagai gold standart diagnosis. CT Scan imaging juga
dapat digunakan dalam tahap follow up perkembangan pasien COVID-19.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
CORONAVIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)

A. Definisi
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit infeksius jenis
baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Penyakit ini
merupakan wabah baru yang menjadi masalah utama dan menjadi ancaman
yang signifikan dan mendesak bagi kesehatan global.
Penyakit ini pertama kali ditemukan pada akhir 2019 dimana terdapat
beberapa kasus pneumonia yang tidak diketahui penyebabnya di Wuhan,
Provinsi Hubei, China. Pneumonia menyebar dengan cepat ke provinsi lain di
Cina dan luar negeri. Pada 7 Januari 2020, sebuah coronavirus baru
diidentifikasi dalam sampel usap tenggorokan dari satu pasien oleh Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tiongkok (CDC), dan kemudian
dinamai 2019nCoV oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pada 11
Februari 2020, Komite Internasional tentang Taksonomi Virus mengganti
nama virus tersebut menjadi Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Dan WHO mengumumkan penyakit epidemi
yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 sebagai penyakit coronavirus 2019
(COVID-19) (Ge et al., 2020).

B. Etiologi
The International Committee on Taxonomy of Viruses menyebutkan
bahwa penyebab COVID-19 adalah Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) . Coronavirus adalah virus dengan rantai
tunggal RNA, tidak bersegmen, memiliki selubung, yang dapat
menimbulkan penyakit bervariasi yang dari mulai common cold sampai yang
mematikan. Kata “corona” berasal dari bahasa Latin yang berarti “crown”
atau “halo”. Hal ini merujuk kepada gambaran virus tersebut di bawah
penglihatan dengan mikroskop elektron. Virus ini termasuk kedalam genus
Betacoronavirus, subfamili Orthocoronavirinae, famili Coronaviridae, ordo

3
Nidovirales. Virus ini juga masih satu genus dengan SARS-CoV dan MERS-
CoV yang pernah mewabah dalam beberapa tahun terakhir (Cascella et al.,
2020).

Gambar 1. SARS-CoV-2.
Sumber: CDC’s Public Health Image Library

Virus corona bersifat zoonosis (ditularkan dari hewan ke manusia). Secara


teoritis, jika terdapat kontak atau konsumsi antara manusia dengan reservoir,
maka manusia akan terinfeksi, namun sulit untuk terjadi penularan antara
manusia ke manusia seperti wabah SARS sebelumnya. Awalnya wabah
COVID-19 dilaporkan sebagai penularan dari manusia ke manusia yang
terbatas, dan sumber yang terkontaminasi berasal dari hewan liar yang
terinfeksi atau sakit di pasar. Tetapi, semakin banyak bukti yang dilaporkan
diantara keluarga pasien yang mengonfirmasi kemungkinan penularan dari
manusia ke manusia. Terdapat 3 rute transmisi dari COVID-19 diantaranya :
1) Transmisi droplet, 2) Transmisi kontak, dan 3) transmisi aerosol. Selain itu,
terdapat kemungkinan rute transmisi melalui fecal semenjak ditemukannya
SARS-CoV-2 pada feses pasien terkonfirmasi positif yang memliki keluhan
pencernaan.

C. Epidemiologi

4
Dalam studi awal, 49-66% pasien memiliki riwayat kontak dengan pasar
makanan laut Huanan, di mana berbagai jenis hewan liar dijual, termasuk
unggas, kelelawar, dan marmut . Saat ini berspekulasi bahwa wabah COVID-
19 di Wuhan dikaitkan dengan hewan liar. Menurut WHO, sampel yang
diambil dari pasar makanan laut Huanan diuji positif SARS-CoV-2, tetapi
hewan-hewan tertentu yang terkait dengan virus belum diidentifikasi.
Berdasarkan bukti sebelumnya, kelelawar, host lebih dari 30 coronavirus,
mungkin merupakan asal dari COVID-19. Kelelawar adalah reservoir alami
SARS-CoV dan MERS-CoV, dan menyebar ke manusia melalui musang
kelapa dan unta dromedaris (Ge et al., 2020).
Penularan adalah faktor penting dari epidemi. Usia rata-rata pasien yang
dilaporkan berkisar antara 41 hingga 57 tahun. Laki-laki merupakan mayoritas
pasien dengan proporsi 50-75%. Sekitar 25,2-50,5% pasien yang terinfeksi
SARS-CoV-2 memiliki satu atau lebih underlying disease termasuk
hipertensi, diabetes, penyakit paru obstruktif kronis, penyakit kardiovaskular,
dan keganasan. Periode inkubasi rata-rata COVID-19 dari pajanan hingga
awal penyakit adalah 3,0 hari dalam kelompok 1099 kasus dan 4,0 hari dalam
kelompok 62 kasus. Pasien tanpa riwayat kontak pasar makanan laut Huanan
dan infeksi staf medis mengindikasikan penularan dari manusia ke manusia
terutama melalui droplet dari batuk atau bersin atau kontak langsung. Selain
itu, beberapa penelitian melaporkan jalur fecal-oral mungkin juga menjadi
cara potensial untuk penularan SARS-CoV-2, dan SARS-CoV-2 juga diisolasi
dari urin pasien pada pasien baru tetapi masih belum jelas apakah penularan
dari manusia ke manusia dapat dilakukan oleh rute-rute tersebut (Ge et al.,
2020).

D. Patofisiologi
Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan
tidak bersegmen, sering pleimorfik dengan diameter sekitar 50-200m.
Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae.
Coronaviridae dibagi dua subkeluarga dibedakan berdasarkan serotipe dan
karakteristik genom. Terdapat empat genus yaitu alpha coronavirus, beta

5
coronavirus, delta coronavirus dan gamma coronavirus. 2Struktur coronavirus
membentuk struktur seperti kubus dengan protein S berlokasi di permukaan
virus. Protein S atau spike protein merupakan salah satu protein antigen utama
virus dan merupakan struktur utama untuk penulisan gen. Protein S ini
berperan dalam penempelan dan masuknya virus kedalam sel host (interaksi
protein S dengan reseptornya di sel inang) (Huang et al., 2020; Wang Z, Qiang
W, Ke H, 2020; Fehr Ar dan Perlman S, 2015)..

Gambar 2. Struktur Coronavirus (Korsman et al., 2012)

Coronavirus bersifat sensitif terhadap panas dan secara efektif dapat


diinaktifkan oleh desinfektan mengandung klorin, pelarut lipid dengan suhu
56℃ selama 30 menit, eter, alkohol, asam perioksiasetat, detergen non-ionik,
formalin, oxidizing agent dan kloroform. Klorheksidin tidak efektif dalam
menonaktifkan virus (Wang Z, Qiang W, Ke H, 2020; Korsman et al., 2012).
Patofisiologi dan mekanisme virulensi CoVs berhubungan dengan fungsi
nsps dan protein struktural virus tersebut. Riset menemukan bahwa komponen
nsps yang terdapat pada virus dapat menghambat inisiasi respon imun
penderita. Diantara seluruh struktural protein, selubung virus CoVs memiliki
pengaruh yang besar terhadap kemampuan virulensi virus tersebut. Selain itu,
glikoprotein spike (S) yang terdiri atas subunit S1 dan S2 dapat menjadi
penghubung antara selubung virus dengan reseptor yang dimiliki penderita.

6
Reseptor spike terdiri dari 40% asam amino. (Huang et al; 2020) Kebanyakan
Coronavirus menginfeksi hewan dan bersirkulasi di hewan. Coronavirus
menyebabkan sejumlah besar penyakit pada hewan dan kemampuannya
menyebabkan penyakit berat pada hewan seperti babi, sapi, kuda, kucing dan
ayam. Coronavirus disebut dengan virus zoonotik yaitu virus yang
ditransmisikan dari hewan ke manusia. Banyak hewan liar yang dapat
membawa patogen dan bertindak sebagai vektor untuk penyakit menular
tertentu (Guan, Y. et al., 2003; Ken,B. et al., 2005). Kelelawar, tikus bambu,
unta dan musang merupakan host yang biasa ditemukan untuk Coronavirus.
Coronavirus pada kelelawar merupakan sumber utama untuk kejadian severe
acute respiratory syndrome (SARS) dan Middle East respiratory syndrome
(MERS) Guan, Y. et al., 2003; Ken,B. et al., 2005; Li, W. et al., 2005).
Namun pada kasus SARS, saat itu host intermediet (masked palm civet atau
luwak) justru ditemukan terlebih dahulu dan awalnya disangka sebagai host
alamiah. Barulah pada penelitian lebih lanjut ditemukan bahwa luwak
hanyalah sebagai host intermediet dan kelelawar tapal kuda (horseshoe bars)
sebagai host alamiahnya (Zhidong et al., 2020; Tu, C. et al., 2004).
Secara umum, alur Coronavirus dari hewan ke manusia dan dari manusia
ke manusia melalui transmisi kontak, transmisi droplet, rute feses dan oral.5
Berdasarkan penemuan, terdapat tujuh tipe Coronavirus yang dapat
menginfeksi manusia saat ini yaitu dua alphacoronavirus (229E dan NL63)
dan empat betacoronavirus, yakni OC43, HKU1, Middle East respiratory
syndrome-associated coronavirus (MERS-CoV), dan severe acute respiratory
syndrome-associated coronavirus (SARSCoV). Yang ketujuh adalah
Coronavirus tipe baru yang menjadi penyebab kejadian luar biasa di Wuhan,
yakni Novel Coronavirus 2019 (2019-nCoV). Isolat 229E dan OC43
ditemukan sekitar 50 tahun yang lalu. NL63 dan HKU1 diidentifikasi
mengikuti kejadian luar biasa SARS. NL63 dikaitkan dengan penyakit akut
laringotrakeitis (croup) (Huang et al., 2020; CDCP, 2020).
Dalam bank gen internasional seperti GenBank, peneliti telah menerbitkan
beberapa jenis gen SARS-CoV-2. Pemetaan gen dapat memungkinkan para

7
peneliti untuk melacak pohon filogenetik virus serta penemuan strainvirus
yang berbeda berdasarkanmutasi yang terjadi. Secara khusus, terdapat
perbedaan antara urutan gen pada SARS-CoV-2 dengan SARS-CoV.
Berdasarkan penilaian segmen heliks transmembran dalam ORF1ab yang
dikodekan sebagai nsp2 dan nsp3, ditemukan bahwa posisi 723 menyajikan
serin bukan residu glisin, sementara posisi 1010 ditempati oleh prolin bukan
isoleusin. Proses mutasi virus adalah kunci untuk menjelaskan potensi relaps
penyakit (Huang et al., 2020). Berdasarkan penemuan, terdapat tujuh tipe
Coronavirus yang dapat menginfeksi manusia saat ini yaitu dua
alphacoronavirus (229E dan NL63) dan empat betacoronavirus, yakni OC43,
HKU1, Middle East respiratory syndrome-associated coronavirus (MERS-
CoV), dan severe acute respiratory syndrome-associated coronavirus
(SARSCoV). Yang ketujuh adalah Coronavirus tipe baru yang menjadi
penyebab kejadian luar biasa di Wuhan, yakni Novel Coronavirus 2019 (2019-
nCoV). Isolat 229E dan OC43 ditemukan sekitar 50 tahun yang lalu. NL63
dan HKU1 diidentifikasi mengikuti kejadian luar biasa SARS. NL63 dikaitkan
dengan penyakit akut laringotrakeitis (croup) (CDCP, 2020).

Gambar 3. Ilustrasi transmisi Coronavirus (AFP, 2020).

8
Riset diperlukan untuk menilai karakteristik struktural dari SARS-CoV-2
yang nantinya dapat menggambarkan mekanisme patogenesis virus.
Dibandingkan dengan kasus SARS, COVID-19 menunjukan pengaruh yang
lebih sedikit pada organ ekstra paru. Infeksi SARS-CoV-2 dapat menimbulkan
reaksi imun berlebih pada tubuh penderita, yang seringkali disebut sebagai
badai sitokin, dan proses ini dapat mengakibatkan kerusakan jaringan.
Interleukin 6 (IL-6) berperan besar dalam mekanisme ini. Aktivasi leukosit
yang bekerja disebagian besar sel dan jaringan dapat meningkatkan produksi
IL-6. Hal ini dapat meningkatkan proses diferensiasi limfosit B, meningkatkan
perkembangan beberapa sel, namun diwaktu yang sama menghambat
perkembangan beberapa jenis sel. Proses ini juga dapat menstimulasi produksi
protein fase akut, berperan dalam proses termoregulasi tubuh, fungsi sistem
saraf pusat, dan regulasi sistem tulang. Walaupun mekanisme IL-6 bersifat
pro-inflammatory, IL-6 juga dapat memberikan efekanti-
inflammatory.Produksi IL-6 meningkat pada penyakit-penyakit dengan reaksi
inflamasi seperti infeksi, penyakit autoimun, penyakit kardiovaskuler, dan
pada beberapa kasus kanker. IL-6 juga terlibat dalam proses patogenesis
cytokine release syndrome (CRS) yang merupakan proses inflamasi sistemik
akut, disertai dengan demam dan disfungsi berbagai jenis sistem organ.
Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya. Virus
tidak bisa hidup tanpa sel host. Berikut siklus dari Coronavirus setelah
menemukan sel host sesuai tropismenya. Pertama, penempelan dan masuk
virus ke sel host diperantarai oleh Protein S yang ada dipermukaan virus.5
Protein S penentu utama dalam menginfeksi spesies host-nya serta penentu
tropisnya.5 Pada studi SARS-CoV protein S berikatan dengan reseptor di sel
host yaitu enzim ACE-2 (angiotensinconverting enzyme 2). ACE-2 dapat
ditemukan pada mukosa oral dan nasal, nasofaring, paru, lambung, usus halus,
usus besar, kulit, timus, sumsum tulang, limpa, hati, ginjal, otak, sel epitel
alveolar paru, sel enterosit usus halus, sel endotel arteri vena, dan sel otot
polos (I Hamming et al, 2004). Setelah berhasil masuk selanjutnya translasi
replikasi gen dari RNA genom virus. Selanjutnya replikasi dan transkripsi

9
dimana sintesis virus RNA melalui translasi dan perakitan dari kompleks
replikasi virus. Tahap selanjutnya adalah perakitan dan rilis virus.12 Berikut
gambar siklus hidup virus (gambar 3). Setelah terjadi transmisi, virus masuk
ke saluran napas atas kemudian bereplikasi di sel epitel saluran napas atas
(melakukan siklus hidupnya). Setelah itu menyebar ke saluran napas bawah.
Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus dari saluran napas dan virus dapat
berlanjut meluruh beberapa waktu di sel gastrointestinal setelah penyembuhan.
Masa inkubasi virus sampai muncul penyakit sekitar 3-7 hari (Wang Z, Qiang
W, Ke H, 2020; Korsman et al., 2012).

Gambar 4. Siklus hidup Coronavirus (SARS) (Du L. et al., 2009)

Studi terbaru menunjukkan peningkatan sitokin proinflamasi di serum


seperti IL1B, IL6, IL12, IFNγ, IP10, dan MCP1 dikaitkan dengan inflamasi di

10
paru dan kerusakan luas di jaringan paru-paru pada pasien dengan SARS.
Pada infeksi MERS-CoV dilaporkan menginduksi peningkatan konsentrasi
sitokin proinflamasi seperti IFNγ, TNFα, IL15, dan IL17. Patofisiologi dari
tingginya patogenitas yang tidak biasa dari SARS-CoV atau MERS-CoV
sampai saat ini belum sepenuhnya dipahami (Huang et al, 2020).

E. Manifestasi Klinis
Infeksi COVID-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang atau berat.
Gejala klinis utama yang muncul yaitu demam (suhu >380C), batuk dan
kesulitan bernapas. Selain itu dapat disertai dengan sesak memberat, fatigue,
mialgia, gejala gastrointestinal seperti diare dan gejala saluran napas lain.
Setengah dari pasien timbul sesak dalam satu minggu. Pada kasus berat
perburukan secara cepat dan progresif, seperti ARDS, syok septik, asidosis
metabolik yang sulit dikoreksi dan perdarahan atau disfungsi sistem koagulasi
dalam beberapa hari. Pada beberapa pasien, gejala yang muncul ringan,
bahkan tidak disertai dengan demam. Kebanyakan pasien memiliki prognosis
baik, dengan sebagian kecil dalam kondisi kritis bahkan meninggal. Berikut
sindrom klinis yang dapat muncul jika terinfeksi (WHO, 2020 dan PDPI,
2020).

Tabel 1. Sindrom klinis berkaitan dengan infeksi nCoV


Pada pemeriksaan labortarium darah kebanyakan pasien menunjukkan
kadar leukosit yang normal, dan lymphopenia. Hanya sedikit pasien

11
mengalami leukositosis dan peningkatan prokalsitonin. Beberapa pasien
menunjukkan abnormalitas fungsi ginjal dan hati ditandai dengan peningkatan
Alanine aminotransferase (ALT), Aspartate aminotransferase (AST) dan
creatinine.
Pasien dengan gejala ringan dilaporkan sembuh setelah 1 minggu
sementara kasus parah dilaporkan mengalami kegagalan pernapasan progresif
karena kerusakan alveolar dari virus, yang dapat menyebabkan kematian.
Kasus yang mengakibatkan kematian terutama adalah pasien paruh baya dan
lanjut usia dengan penyakit yang sudah ada sebelumnya (tumor, sirosis,
hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes, dan penyakit Parkinson). Pada
pedoman kasus Covid-19 disebutkan gejala berikut berupa: demam,
penurunan limfosit dan sel darah putih, infiltrat paru baru pada radiografi
dada, dan tidak ada perbaikan dalam gejala setelah 3 hari pengobatan
antibiotik.
Untuk pasien dengan dugaan terinfeksi, terdapat prosedur yang telah
dianjurkan untuk mendiganosis Covid-19 yaitu melakukan tes real-time
reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR) untuk mendeteksi
asam nukleat positif SARS-CoV-2 dalam dahak, swab tenggorokan dan
sekresi saluran pernapasan bagian bawah.

F. Gambaran Radiologi
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan
radiologi: foto toraks, CT-scan toraks, USG toraks. Pada pencitraan dapat
menunjukkan: opasitas bilateral, konsolidasi subsegmental, lobar atau kolaps
paru atau nodul, tampilan groundglass. Pada stage awal, terlihat bayangan
multiple plak kecil dengan perubahan intertisial yang jelas menunjukkan di
perifer paru dan kemudian berkembang menjadi bayangan multiple ground-
glass dan infiltrate di kedua paru. Pada kasus berat, dapat ditemukan
konsolidasi paru bahkan “white-lung” dan efusi pleura (jarang) (Huang et al.,
2020; Wang Z, Qiang W, Ke H, 2020).

12
Pencitraan awal dengan radiografi dada (CXR) dan computed tomography
(CT) mungkin normal pada COVID-19. Tingkat keparahan penyakit dan
waktu pencitraan tampaknya berdampak pada tingkat pencitraan awal. Pada
penyakit yang tidak parah, hingga 18% pasien memiliki CXR atau CT awal
normal, tetapi hanya 3% pada penyakit parah. CT normal ditemukan pada
56% pasien yang dipindai dalam 2 hari onset gejala, sedangkan pemindaian
normal diamati hanya pada 9% pasien jika dicitrakan 3-5 hari dan 4% jika
dicitrakan 6-12 hari dari gejala.

Radiografi Polos
Meskipun kurang sensitif dibandingkan CT scan dada, radiografi dada
biasanya merupakan modalitas pencitraan lini pertama yang digunakan untuk
pasien yang diduga COVID-19. Untuk memudahkan dekontaminasi,
penggunaan unit radiografi portabel lebih disukai.
Radiografi toraks mungkin normal pada awal penyakit atau penyakit
yang bersifat ringan. Dari pasien dengan COVID-19 yang membutuhkan
rawat inap, 69% memiliki radiografi dada abnormal pada saat awal masuk,
dan 80% memiliki kelainan radiografi selama rawat inap. Temuan paling
variatif terjadi sekitar 10-12 hari setelah onset gejala.
Temuan yang paling sering adalah kekeruhan ruang udara, yang
digambarkan sebagai konsolidasi atau ground glass opacity (GGO).
Distribusi paling sering adalah bilateral, periferal, dan zona yang lebih rendah
dominan. Berbeda dengan kelainan parenkim, efusi pleura jarang terjadi.

13
Gambar 5. Gambaran radiografi dada dari pneumonia COVID-19.
Radiorgafi dada aterorposterior menujukkan konsolidasi perifer multifocal di
paru-paru bilateral, kecuali untuk zona paru-paru kiri atas. (Yoon, Soon Ho et
al., 2020).

Gambar 6. Rontgen dada anteroposterior menunjukkan ground glass


orpacity yang tidak merata di paru-paru kanan atas dan bawah dan
konsolidasi di hemithoraks sinistra bagian tengah dan bawah. Beberapa
granuloma yang terkalsifikasi secara kebetulan ditemukan di paru-paru kiri
atas (Yoon, Soon Ho et al., 2020).

14
Gambar 7. Radiografi dada anteroposterior menunjukkan konsolidasi
nodular tunggal (panah) di paru-paru kiri bawah
(Yoon, Soon Ho et al., 2020).

CT Scan
Temuan utama pada CT pada orang dewasa telah dilaporkan :

a. Ground Glass Opacity (GGO): bilateral, subpleural, peripheral


Ground glass opacity (GGO) adalah temuan paling umum pada
infeksi COVID-19. GGO biasanya multifokal, bilateral dan perifer.
Namun, pada fase awal penyakit, GGO dapat hadir sebagai lesi unifokal
dan paling sering terletak di lobus inferior paru kanan.

Gambar 8. Ground Glass Opacity (GGO)

15
b. Crazy Paving appearance (GGO dan penebalan septum intra- / intra-
lobular)
Kadang-kadang ada garis interlobular dan intralobular menebal
dalam kombinasi dengan GGO.Ini disebut Crazy Paving.Diyakini bahwa
pola ini terlihat pada tahap lanjut.
Gambar 9. Crazy Paving appearance

c. Bronkiektasis Traksi
Temuan lain yang umum pada area ground glass adalah traksi
bronchiectasis.
Gambar 10. Bronkiektasis Traksi

16
d. Dilatasi Vaskuler
Temuan khas pada area ground glass adalah dilatasi vasa darah
(tanda panah).

Gambar 11. Dilatasi Vaskuler

e. Subpleural bands dan Architectural distortion


Pada beberapa kasus terdapat architectural distortion dengan
pembentukan subpleural bands.

17
Gambar 12. Subpleural bands dan Architectural distortion

Terdapat empat tahap gambaran CT yang menggambarkan perkembangan


penyakit COVID-19 pada pasien yaitu :
a. Tahap awal (0-4 hari): CT normal atau GGO saja hingga setengah dari
pasien memiliki CT scan normal dalam dua hari setelah onset gejala
b. Tahap progresif (5-8 hari): peningkatan GGO dan Crazy paving
appearance
c. Tahap puncak (9-13 hari): konsolidasi
d. Tahap penyerapan (> 14 hari): dengan peningkatan dalam perjalanan
penyakit, "garis fibrosa" muncul dan kelainan sembuh pada satu bulan
dan setelahnya.

Radiological Society of North America (RSNA) telah merilis pernyataan


konsensus yang didukung oleh Society of Thoracic Radiology dan American
College of Radiology (ACR) yang mengklasifikasikan penampilan CT scan
COVID-19 menjadi empat kategori untuk bahasa pelaporan standar :
1. Penampilan khas / typical appearance
a) Perifer, bilateral, GGO +/- garis konsolidasi atau terlihat intralobular
(pola "crazy paving")
b) GGO multifokal dengan morfologi bulat +/- konsolidasi atau garis
intralobular yang terlihat (pola "Crazy Paving")
c) Tanda halo terbalik atau temuan lain dari pneumonia pengorganisasian
2. Penampilan tak tentu / indeterminate appearance
a) Tidak adanya temuan CT yang khas
b) GGO multifokal, difus, perihilar, atau unilateral tidak memiliki
distribusi tertentu dan tidak bulat atau non-periferal
c) Beberapa GGO yang sangat kecil dengan distribusi non-bulat dan non-
periferal
3. Penampilan atipikal / atypical appearance

18
a) tidak adanya fitur khas atau tidak pasti dan keberadaan lobar terisolasi
atau konsolidasi segmental tanpa GGO
b) nodul kecil diskrit (mis. sentrilobular, tree-in-bud)
c) kavitasi paru-paru
d) penebalan septum interlobular lebih halus dengan efusi pleura
4. Negatif untuk pneumonia: tidak ada fitur CT untuk menyarankan
pneumonia, khususnya, tidak ada GGO dan konsolidasi.

19
Gambar 13. Gambaran CT Scan Toraks pasien pneumonia COVID-19
di Wuhan, Tiongkok (Huang et al., 2020).

20
(A) CT Toraks Transversal, laki-laki 40 tahun, menunjukkan multiple lobular
bilateral dan area subsegmental konsolidasi hari ke-15 setelah onset gejala.
(B) CT Toraks transversal, wanita 53 tahun, opasitas ground-glass bilateral dan
area subsegmental konsolidasi, hari ke-8 setelah onset gejala.
(C) Dan bilateral ground-glass opacity setelah 12 hari onset gejala.

KASUS

Kasus 1: Seorang perempuan berusia 59 tahun dari Rumah Sakit Sichuan


dengan gejala demam menggigil. Pasien tidak memiliki riwayat kontak
dengan orang yang sakit di keluarga, tetapi pasien 5 hari sebelum muncul
gejala memiliki riwayat perjalanan dari London, Inggris menuju Chengdu,
Tiongkok. Radiografi dada (gambar kiri) menunjukkan opasitas infrahilar
ruang paru kanan. Pada CT Scan (gambar kanan atas) menunjukkan tanda
Ground Glass Opacity (GGO) perifer pada lobus bawah paru kanan, pada CT
Scan 2 hari berikutnya (gambar kanan bawah) menujukkan progresi dari GGO
yang disertai curvilinier lines subpleural.

21
Kasus 2: Seorang wanita usia 65 tahun dengan riwayat perjalanan ke Wuhan.
Pasien kemudian mengalami gejala demam dan batuk 5 hari setelah
melakukan perjalanan dari Wuhan ke Shenzen, Tiongkok. Pasien menjalani
pemeriksaan CT scan toraks 7 hari pasca onset gejala. Gambaran CT coronal
dan axial (A & B) menunjukkan campuran ground glass opacity dan
konsolidasi pada bagian perifer paru (tanda panah merah), tanpa adanya efusi
pleura, yang menjadi penampakan khas pada pasien yang terkonfirmasi
terinfeksi COVID-19.

22
Kasus 3: CT scan follow-up pasien yang tidak pernah melakukan perjalanan
ke Wuhan, Tiongkok. Namun, pernah mengalami kontak dengan pasien yang
positif terinfeksi COVID-19. Potongan aksial pada saat masuk rumah sakit
menunjukkan GGO pada lobus bawah paru kiri (gambar A), tetapi tidak
terdapat kelainan pada lobus atas (gambar C). Selanjutnya, 3 hari kemudian
dilakukan pemeriksaan CT scan ulang, menunjukkan peningkatan gambaran
GGO yang disertai konsolidasi perifer (reversed hallo) (gambar B) dan
gambaran GGO baru pada lobus atas paru kanan (gambar D).

G. Tatalaksana
Tatalaksana COVID-19 dibedakan berdasarkan tingkat keparahan
penyakit. Pasien asimptomatik, atau pasien dengan infeksi presimptomatik
wajib untuk melakukan isolasi mandiri, pasien dapat menyudahi isolasi
mandiri tujuh hari setelah tes SARS-CoV-2 pertama yang menunjukkan hasil
positif (NIH, 2020).
Pasien yang menunjukkan manifestasi klinis ringan (demam, batuk, nyeri
tenggorokan, malaise, sakit kepala, nyeri otot, tidak ada tanda dan gejala

23
pneumonia viral, dan hipoksia) tidak membutuhkan rawat inap, pasien dapat
melakukan perawatan diri sendiri di rumah dengan telemedicine.
Pasien dengan gejala moderate (terdapat penyakit pada saluran pernapasan
bagian bawah dengan saturasi >93%) harus dirawat di rumah sakit dengan
observasi ketat. Apabila muncul gejala pneumonia bakterial atau sepsis
berikan antibiotik empiris untuk CAP (Community-Acquired Pneumonia),
dilakukan evaluasi ulang setiap hari, dan apabila tidak terbukti adanya infeksi
bakteri antibiotik dapat dikurangi atau dihentikan (NIH, 2020).
Beberapa pasien COVID-19 dengan gejala berat (SpO2 ≤ 93%, RR > 30
kali, PaO2/FiO2 <300 atau infiltrat paru > 50%) memerlukan perawatan di
ruang khusus rumah sakit. Perawatan yang diperlukan meliputi manajemen
suportif terhadap komplikasi dari COVID-19: pneumonia, ARDS (Acute
Respiratory Distress Syndrome), syok sepsis, kardiomiopati, aritmia, AKI
(Acute Kidney Injury), serta komplikasi yang timbul akibat rawat inap yang
lama meliputi infeksi sekunder, tromboemboli, perdarahan gastrointestinal,
serta miopati/polineiropati (CDC, 2020). Pasien diberikan oksigenasi
menggunakan nasal kanul atau high-flow oksigen. Apabila muncul gejala
pneumonia bakterial atau sepsis berikan antibiotik empiris untuk CAP
(Community-Acquired Pneumonia), dilakukan evaluasi ulang setiap hari, dan
apabila tidak terbukti adanya infeksi bakteri antibiotik dapat dikurangi atau
dihentikan (NIH, 2020).
Albumin direkomendasikan untuk resusitasi pasien COVID-19 dengan
syok. Apabila pasien membutuhkan terapi suportif untuk hemodinamik dapat
digunakan norepinephrine (dopamin), dapat ditambahkan vasopressin lain
(sampai 0.03 U/menit) atau epinephrine untuk meningkatkan MAP (Mean
Arterial Pressure). Dobutamin diberikan pada pasien dengan disfungsi
kardiak serta hipoperfusi. Pasien COVID-19 dengan acute hypoxemic
respiratory failure direkomendasikan pemberian terapi oksigen
menggunakan high-flow nasal cannula (HFNC) oxygen melalui ventilasi
tekanan positif noninvasif (NIPPV). Bagi pasien yang terkena ARDS serta

24
pasien dengan ventilasi mekanis direkomendasikan digunakan ventilasi
dengan volume tidal rendah (4-8 ml/kg).
Pada pasien dengan ventilasi mekanik yang mengalami ARDS berat, serta
hipoksemia selain dilakukan optimalisasi ventilator direkomendasikan
pemberian terapi inhalasi vasodilator, apabila tidak ada perbaikan makan
dapat dihentikan bertahap.
Pada pasien pediatri manifestasi yang muncul biasanya lebih ringan
dibandingkan dengan orang dewasa. Infant (anak berusia kurang dari 12
bulan) berisiko lebih tinggi bermanifestasi klinis parah dibandingkan anak
yang lebih tua (CDC, 2020).
Semua neonatus yang terlahir dari ibu terkonfirmasi COVID-19 atau
tersuspek COVID-19 akan disuspek COVID-19 hingga hasil pemeriksaan
keluar. Infant dengan suspek COVID-19 harus diisolasi dari neonatus lain
yang sehat (CDC, 2020). Isolasi bagi bayi yang lahir dari ibu COVID-19
dapat dilakukan melalui beberapa mekanisme seperti penyediaan ruangan
yang terpisah, menerapkan physical distancing ≥ 6 kaki antara ibu dan bayi,
ibu diwajibkan menggunakan masker dan selalu menerapkan hand hygine
sebelum kontak dengan bayi, masker kain tidak boleh digunakan pada anak
berusia kurang dari 2 tahun (CDC, 2020).
Tatalaksana Pasien di Rumah Sakit Rujukan
1. Terapi Suportif Dini dan Pemantauan
a. Berikan terapi suplementasi oksigen segera pada pasien ISPA
berat dan distress pernapasan, hipoksemia, atau syok.
- Terapi oksigen dimulai dengan pemberian 5 L/menit dengan
nasal kanul dan titrasi untuk mencapai target SpO2 ≥90%
pada anak dan orang dewasa yang tidak hamil serta SpO2 ≥
92%-95% pada pasien hamil.
- Pada anak dengan tanda kegawatdaruratan (obstruksi napas
atau apneu, distres pernapasan berat, sianosis sentral, syok,
koma, atau kejang) harus diberikan terapi oksigen selama
resusitasi untuk mencapai target SpO2 ≥94%;

25
- Semua pasien dengan ISPA berat dipantau menggunakan
pulse oksimetri dan sistem oksigen harus berfungsi dengan
baik, dan semua alat-alat untuk menghantarkan oksigen (nasal
kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong
reservoir) harus digunakan sekali pakai.
- Terapkan kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat untuk
menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka
sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) yang
terkontaminasi dalam pengawasan atau terbukti 2019-nCoV.
b. Gunakan manajemen cairan konservatif pada pasien dengan ISPA
berat tanpa syok. Pasien dengan ISPA berat harus hati-hati dalam
pemberian cairan intravena, karena resusitasi cairan yang agresif
dapat memperburuk oksigenasi, terutama dalam kondisi
keterbatasan ketersediaan ventilasi mekanik.
c. Pemberian antibiotik empirik berdasarkan kemungkinan etiologi.
Pada kasus sepsis (termasuk dalam pengawasan 2019-nCoV)
berikan antibiotik empirik yang tepat secepatnya dalam waktu 1
jam. Pengobatan antibiotik empirik berdasarkan diagnosis klinis
(pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial atau sepsis),
epidemiologi dan peta kuman, serta pedoman pengobatan. Terapi
empirik harus di de-ekskalasi apabila sudah didapatkan hasil
pemeriksaan mikrobiologis dan penilaian klinis.
d. Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin untuk
pengobatan pneumonia karena virus atau ARDS di luar uji klinis
kecuali terdapat alasan lain. Penggunaan jangka panjang sistemik
kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan efek samping yang
serius pada pasien dengan ISPA berat/SARI, termasuk infeksi
oportunistik, nekrosis avaskular, infeksi baru bakteri dan replikasi
virus mungkin berkepanjangan. Oleh karena itu, kortikosteroid
harus dihindari kecuali diindikasikan untuk alasan lain.

26
e. Lakukan pemantauan ketat pasien dengan gejala klinis yang
mengalami perburukan seperti gagal napas, sepsis dan lakukan
intervensi perawatan suportif secepat mungkin.
f. Pahami pasien yang memiliki komorbid untuk menyesuaikan
pengobatan dan penilaian prognosisnya. Perlu menentukan terapi
mana yang harus dilanjutkan dan terapi mana yang harus
dihentikan sementara. Berkomunikasi secara proaktif dengan
pasien dan keluarga dengan memberikan dukungan dan informasi
prognostik.
g. Tatalaksana pada pasien hamil, dilakukan terapi suportif dan
penyesuaian dengan fisiologi kehamilan.
h. Medikamentosa
Hingga saat ini, belum ada obat yang terbukti aman dan efektif
dalam tatalaksana COVID-19. Belum cukup data yang dapat
digunaka untuk merekomendasikan atau menyangkal penggunaan
antivirus atau terapi imunomodulasi pada pasien COVID-19
dengan gejala ringan, sedang, maupun berat. pre-exposure
prophylaxis (PrEP) tidak direkomendasikan dalam tatalaksana
SARS-CoV 2, hingga saat ini uji klinis mengenali agen PEP
menggunakan hydroxychloroquine, chloroquine, atau
lopinavir/ritonavir masih dalam tahap penelitian (NIH, 2020).
- Kortikosteroid
Direkomendasikan penggunaan rutin kortikosteroid sistemik
untuk pasien dengan ventilasi mekanik tanpa ARDS.
Kortikosteroid yang digunakan ialah hidrokortison IV 200
mg/hari diberikan sebagai infus atau dalam dosis intermiten.
Pada pasien dengan ventilasi mekanik dan ARDS,
penggunaan kortikosteroid masih dalam tahap penelitian.
Pada pasien dengan syok refrakter direkomendasikan
pemberian kortikosteroid low-dose

27
- Remdesivir
Antiviral ini digunakan dalam tatalaksana pasien COVID-19
dengan gejala berat (SpO2 ≤ 94%, pasien yang memerlukan
terapi suplemental oksigen, menggunakan ventilasi mekanik,
atau oksigenasi ekstrakorporeal)
- Chloroquine/Hydroxychloroquine
Tidak direkomendasikan penggunaan high-dose
chloroquine (600 mg dua kali sehari selama sepuluh hari)
karena memiliki toksisitas yang tinggi dibandingkan dosis
rendah (450 mg dua kali sehari selama satu hari dilanjutkan
450 mg satu kali sehari selama 4 hari)
- Immune-Based Therapy
Penggunaan IVIG yang tidak spesifik untuk COVID-19 tidak
direkomendasikan. Penggunaan IL-1 inhibitor (anakinra), IL-
6 inhibitor (sarilumab, siltuximab, tocilizumab) masih dalam
tahap penelitian. Tidak direkomendasikan penggunaan
imunomodulator lain seperti interferon (data mengenai
efikasi dan toksisitas pada SARS dan MERS kurang baik)
serta janus kinase inhibitor karena memiliki efek
imunosupresif yang luas.
Persalinan darurat dan terminasi kehamilan menjadi
tantangan dan perlu kehati-hatian serta mempertimbangkan
beberapa faktor seperti usia kehamilan, kondisi ibu dan janin.
Perlu dikonsultasikan ke dokter kandungan, dokter anak dan
konsultan intensive care.

H. Pencegahan
Saat ini tidak ada vaksin untuk mencegah infeksi 2019-nCoV. Cara terbaik
untuk mencegah infeksi adalah menghindari terkena virus ini. Namun,
sebagai pengingat, CDC selalu merekomendasikan tindakan pencegahan

28
setiap hari untuk membantu mencegah penyebaran virus pernapasan,
termasuk:
1. Hindari kontak dekat dengan orang yang sakit.
2. Hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut Anda dengan tangan yang
tidak dicuci.
3. Tetap di rumah saat Anda sakit.
4. Tutupi batuk atau bersin dengan tisu, lalu buang tisu ke tempat sampah.
5. Bersihkan dan desinfeksi benda dan permukaan yang sering disentuh
menggunakan semprotan pembersih rumah biasa.
6. Ikuti rekomendasi CDC untuk menggunakan sungkup muka.

Facemask harus digunakan oleh orang-orang yang menunjukkan gejala


coronavirus novel 2019, untuk melindungi orang lain dari risiko terinfeksi.
Penggunaan sungkup muka juga penting untuk petugas kesehatan dan orang
yang merawat seseorang dalam pengaturan yang dekat (di rumah atau di
fasilitas perawatan kesehatan).
Sering-seringlah mencuci tangan dengan sabun dan air selama 20 detik,
terutama setelah pergi ke kamar mandi; sebelum makan; dan setelah meniup
hidung, batuk, atau bersin. Jika sabun dan air tidak tersedia, gunakan
pembersih tangan berbasis alkohol dengan setidaknya 60% alkohol. Selalu
cuci tangan dengan sabun dan air jika tangan tampak kotor.
Secara umum, tidak ada pilihan pengobatan untuk virus penyakit yang
terjadi secara tiba-tiba. Sejalan dengan pengetahuan ini, saat ini tidak ada
vaksin atau pengobatan yang efektif mencegah infeksi COVID-19. Molekul
sedang diuji untuk COVID-19 in-vitro dan SARS-CoV berbasis manusia dan
Uji coba MERS-Cov. Studi mengevaluasi kegiatan antivirus interferon tipe I
dan II telah dilaporkan, interferon-beta (IFNb), sebagai interferon yang paling
manjur, mengurangi replikasi MERS-CoV in-vitro. Menurut laporan kasus
MERSCoV manusia dari Korea Selatan, penggunaan kombinasi Lopinavir /
Ritonavir (LPV / RTV) (obat anti-HIV) ), interferon pegilasi dan ribavirin
memberikan keberhasilan pembersihan virus. Untuk tujuan ini, kontrol acak

29
trial (MIRACLE Trial), yang bertujuan untuk menentukan apakah LPV /
RTV-IFNb meningkatkan hasil klinis pada pasien MERS-CoV, dimulai pada
tahun 2016 dan 76 pasien terdaftar.  Meskipun merupakan obat antivirus lain,
remdesivir digunakan di Australia kasus pertama yang dilaporkan dari
Amerika Serikat, Tampaknya berhasil, studi terkontrol dengan lebih banyak
kasus diperlukan. Penelitian in-vitro menunjukkan bahwa transkripsi RNA
virus dihentikan dengan remdesivir pada tahap awal. Ada publikasi yang
menunjukkan bahwa remdesivir memiliki aktivitas antivirus yang kuat dalam
kultur sel epitel SARS-CoV, MERS-CoV dan CoV kelelawar zoonosis
terkait.
Banyak langkah yang harus diambil, seperti publikasi informasi epidemi
yang tepat waktu untuk menghilangkan sumbernya infeksi, diagnosis dini,
pelaporan, isolasi, perawatan suportif dan untuk menghindari kepanikan yang
tidak perlu. CDC mengingatkan langkah-langkah dasar seperti mencuci
tangan, menggunakan larutan disinfektan, menghindari kontak dengan pasien
secara berurutan untuk mencegah penyebaran virus oleh tetesan. Pencegahan
tindakan termasuk penyediaan rantai pasokan obat-obatan, peralatan
pelindung pribadi, dan persediaan rumah sakit harus dibuat dalam waktu
singkat untuk perlindungan Orang-orang Cina dan kesehatan global, terutama
di tempat-tempat dengan port perjalanan dekat ke pelabuhan Cina utama.
Berdasarkan pengalaman epidemi SARS-CoV 2003, pemerintah Cina
mengambil banyak langkah efektif termasuk menutup transportasi umum,
mengurangi migrasi dan mempromosikan perlindungan pribadi dengan
topeng di Wuhan dan lainnya provinsi. Oleh karena itu, ada kasus yang
dilaporkan dari personel rumah sakit yang terinfeksi, staf layanan kesehatan
harus diberitahu mengambil tindakan perlindungan pribadi seperti
penggunaan sarung tangan, masker mata dan masker N95 selama
pemeriksaan pasien dengan dugaan riwayat kontak COVID-19 atau bepergian
ke Cina.

30
I. Diskusi
Penelitian mengenai COVID-19 masih terus dikembangkan mengingat
penyakit ini masih terus berkembang hingga saat ini. Masih banyak sekali
pertanyaan yang dapat diajukan, karena virus ini merupakan temuan strain
baru. Penemuan-penemuan baru mengenai virus ini, proses diagnosis
penyakit yang masih banyak dipertanyakan kebenarannya, serta prosedur
tatalaksana yang belum pasti menjadi suatu pro dan kontra yang hingga saat
ini masih didiskusikan dimana-mana. Ada beberapa hal yang dapat dibahas
seperti :
1. Penemuan dan studi mengenai COVID-19
Ketika penyakit ini pertama kali muncul sekitar 5 bulan lalu, tidak
ada informasi apapun mengenai virus ini dikarenakan virus ini merupakan
sebuah strain baru yang tidak pernah menginfeksi manusia sebelumnya.
Namun, seiring dengan berkembangnya pandemi ini, pada saat ini kita
sudah dapat mengakses begitu banyak studi mengenai penyakit ini. Saat
ini, seluruh jurnal kesehatan mengenai COVID-19 dapat diakses secara
bebas oleh siapapun. Lebih dari 200 clinical trials dilakukan, yang
difokuskan pada prosedur diagnosis yang lebih pasti, tatalaksana antiviral
bagi penyakit ini, serta vaksin COVID-19.
Hanya dalam kurang lebih 100 hari sejak kasus penyakit ini
ditemukan, terdapat beberapa hal yang ditemukan seperti : identitas virus,
sekuens genom virus, transmisi penyakit, protein pada selubung virus,
bahkan telah ditemukan reseptor yang berpengaruh pada sel host. Banyak
penelitian mengenai penyakit ini yang secara cepat dirilis di berbagi situs
jurnal, bahkan sudah berada diangka ribuan. Sebagian studi dinilai
tergesa-gesa, bahkan kualitas riset yang dilakukan perlu dipertanyakan.
Terlalu banyak percobaan yang dilakukan terhadap penyakit ini
dikarenakan banyak sekali peneliti yang ingin menemukan hal baru
mengenai COVID-19 secepat mungkin. Hal ini memungkinkan terjadinya
penurunan kualitas hasil penelitian dan dapat berdampak pada interpretasi
yang merugikan bagi tatalaksana klinis pasien. Seringkali, penemuan

31
yang beragam mengenai penyakit ini bahkan sulit untuk dibandingkan
dan dihubungkan satu sama lain.
2. Proses diagnosis COVID-19
Kepastian protokol diagnosis COVID-19 sangat diperlukan saat ini
untuk mengatasi perkembangan penyakit yang ternilai cepat, sebab salah
satu cara untuk menekan kurva persebaran penyakit adalah dengan
melakukan secara cepat. Cara ini terbukti efektif digunakan di Korea
Selatan, dimana proses diagnosis massal yang dilakukan secara cepat
dalam skala besar dapat segera menekan proses penyebaran penyakit,
dikarenakan mereka yang positif terinfeksi dapat segera mendapatkan
tatalaksana maupun melakukan isolasi mandiri. Pemeriksaan diagnosis
secara cepat dalam jumlah besar dinilai lebih efektif untuk memberikan
gambaran angka peningkatan kasus infeksi, sembuh, serta kematian
dengan angka yang lebih dapat menggambarkan kondisi kesehatan publik
sesungguhnya.
Terdapat beberapa tes diagnosis yang tersedia hingga saat ini.
Pemeriksaan dilakukan berdasarkan dua cara, yaitu pemeriksaan RT-PCR
yang dilakukan untuk mencari keberadaan RNA virus dalam sampel
pasien dan rapid testing yang lebih terfokus pada penemuan respon
antibodi pasien pada serum darah yang dimiliki oleh pasien. Beberapa
antibodi dinilai cukup kuat untuk mengatasi infeksi virus, sedangkan
beberapa antibodi yang tidak cukup kuat akan berikatan dengan bagian
tertentu dari virus tanpa memberikan perlindungan bagi tubuh.
Pemeriksaan RT-PCR dinilai sangat spesifik dan sensitif bagi kasus baru,
namun tidak dapat menilai apakah seseorang pernah terinfeksi SARS-
CoV-2 sebelumnya, sehingga proses kontak dan penyebaran penyakit
tidak dapat dinilai secara pasti menggunakan pemeriksaan ini. Proses RT-
PCR memerlukan laboratorium yang memadai, dikarenakan keterbatasan
jumlah lab tersebut, pemberitahuan hasil dari pemeriksaan ini cenderung
memerlukan waktu bukan karena proses pemeriksaannya, namun proses
distribusi dan banyaknya antrian sampel yang harus diperiksa. Berbeda

32
dengan pemeriksaan RT-PCR, rapid test dinilai lebih cepat dalam
memberikan hasil pemeriksaan. Namun, kelemahan dari pemeriksaan ini
adalah ketidakmampuannya mendiagnosis kasus infeksi baru dikarenakan
antibodi terhadap virus ini seringkali baru dapat ditemukan setelah
minggu kedua sebab tubuh memerlukan waktu untuk menghasilkan
antibodi bagi suatu infeksi. Pemeriksaan ini sangat optimal untuk menilai
siapa sajakah yang pernah terinfeksi virus, dengan melihat keberadaan
antibodi tertentu, sebab keberadaan antibodi akan bertahan lebih lama
dalam tubuh kita dibadingkan keberadaan virus itu sendiri.
Kondisi imun tubuh dan proses biologis yang berbeda antara tiap
manusia juga dianggap sebagai salah satu hal penting yang dapat
mempengaruhi hasil diagnosis. Hal ini tampak pada gambaran
manifestasi klinis penyakit yang beragam pada tiap pasien, bahkan
beberapa orang tidak merasakan gejala apapun walaupun ia positif
terinfeksi SARS-Cov-2. Hingga saat ini, WHO masih menyarankan RT-
PCR sebagai gold standard diagnosis COVID-19. Pemeriksaan ini dinilai
memiliki kemungkinan kesalahan yang lebih minim dibandingkan
pemeriksaan antibodi pada rapid testing. Namun, perlunya keberadaan
lab yang memadai untuk melakukan pemeriksaan RT-PCR membuat
proses diagnosis berjalan lambat dan memerlukan biaya yang lebih besar.
3. Tatalaksana COVID-19
Saat ini belum ada vaksin maupun perawatan khusus yang
ditujukan untuk COVID-19. Penelitian mengenai tatalaksana yang
direkomendasikan pun masih terus dilakukan terutama untuk kasus ibu
hamil. WHO telah merilis guiline pada awal terjadinya Pandemi, dimana
tatalaksana sementara berfokus pada pengobatan gejala klinis pasien serta
pencegahan komplikasi. PDPDI, PERKI, PAPID, PERDATIN dan IDAI
juga telah mengeluarkan protokol tatalaksana COVID-19 yang secara
garis besar dikelompokkan menjadi : 1) Pasien terkonfirmasi COVID-19,
2) Pasien yang belum terkonfirmasi COVID-19, 3) Pasien COVID-19
dengan komorbid dam 4) Pasien COVID-19 pada anak dan neonatus.

33
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Coronavirus disease 2019 (COVID-19) disebabkan oleh Severe acute
respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang merupakan
penyakit infeksius yang ditularkan melalui transmiri airborne dengan
manifestasi pneumonia like symptom berupa batuk kering, demam, nyeri
otot dan gejala pneumonia lainnya.
2. Pemeriksaan cepat yang dapat digunakan untuk diagnosis cepat COVID-
19 menggunakan CT Scan Thorax tetapi harus disertai dengan
pemeriksaan lam RT-PCR sebagai gold standard.
3. Belum ditemukan tatalaksana antiviral spsifik COVID-19, sehingga
tatalaksana yang dilakukan berdasarkan keluhan klinis dari pasien dan
pemutusan rantai transmisi dengan protokol pencegahan infeksi serta
isolasi dari pasien.

B. Saran
1. Dilakukannya screening menyeluruh berdasarkan riwayat pasien yang
berisiko terpapar COVID-19, lalu dilakukan pemeriksaan CT-Scan untuk
langkah isolasi awal dan menggunakan RT-PCR sebagai gold standar
diagnosis COVID-19.
2. Menerapkan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) saat berada di
fasilitas kesehatan terutama unit gawat darurat.
3. Peningkatan kesadaran dan penegasan atas rekomendasi standar untuk
mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan secara teratur,
menerapkan etika batuk dan bersin, memasak daging dan telur sampai
matang, serta hindari kontak dekat dengan siapa pun yang menunjukkan
gejala penyakit pernapasan seperti batuk dan bersin.

34
DAFTAR PUSTAKA

AFP, Institute Pasteur. 2020. How deadly coronavirus is transmitted from animals
to humans. [Homepage on The Internet]. cited Jan 28th 2020. Available
on: https://ewn.co.za/2020/01/23/how-thedeadly-coronavirus-is-
transmitted-from-animals-to-humans.

Cascella, M. et al. (2020). Features, Evaluation and Treatment Coronavirus


(COVID-19). In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing.

CDC. (2020). Interim Clinical Guidance for Management of Patients with


Confirmed Coronavirus Disease (COVID-19).
https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/hcp/clinical-guidance-
management-patients.html-Diakses pada Mei 2020.

CDC. (2020). Evaluation and Management Considerations for Neonates At Risk


for COVID-19. https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-
ncov/hcp/caring-for-newborns.html-Diakses pada Mei 2020.

Centers for Disease Control and Prevention. 2020. Human Coronavirus types.
Cited Feb 13rd 2020. Available on:
https://www.cdc.gov/coronavirus/types.html (Jan 10th 2020).

COVID-19 Treatment Guidelines Panel. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)


Treatment Guidelines. National Institutes of Health.
https://www.covid19treatmentguidelines.nih.gov/-Diakses pada Mei 2020.

DirjenP2P (2020) ‘Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi Novel


Coronavirus (2019-nCoV)’, pp. 0–77.

Du L, He Y, Zhou Y, Liu S, Zheng B-J, Jiang S. 2009. The spike protein of SARS-
CoV — a target for vaccine and therapeutic development.Nature Reviews
Microbiology. 7:.p 226–36.

Fehr AR, Perlman S. 2015. Coronavirus: An Overview of Their Replication and


Pathogenesis. Methods Mol Biol ; 1282: 1– 23.

Food and Drug Administration. Emergency Use Authorization - COVID-19


Therapeutics. 2020. Available at: https://www.fda.gov/emergency-
preparedness-and-response/mcm-legal-regulatory-and-policy-
framework/emergency-use-authorization#covidtherapeutics. Diakses pada
Mei 2020.

Ge, H., Wang, X., Yuan, X., Xiao, G., Wang, C., Deng, T. & Xiao, X. (2020). The
epidemiology and clinical information about COVID-19. European

35
Journal of Clinical Microbiology & Infectious Diseases, 1.

Guan, Y. et al. 2003. Isolation and characterization of viruses related to the SARS
coronavirus from animals in southern China. Science 302, 276–278.

Huang M, Tang T, Pang P, et al. Treating COVID-19 with chloroquine. J Mol


Cell Biol. 2020.

Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Zang Li, Fan G, etc. 2020. Clinical
features of patients infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan,
China. The Lancet. 24 jan.

I Hamming, W Timens, ML Bulthuis, AT Lely, G Navis, Goor VH. 2004. Tissue


distribution of ACE2 protein, the functional receptor for SARS
coronavirus. A first step in understanding SARS pathogenesis.J Pathol.
Jun;203(2):631-7.

Kan, B. et al. 2005. Molecular evolution analysis and geographic investigation of


severe acute respiratory syndrome coronaviruslike virus in palm civets at
an animal market and on farms. J. Virol.79, 11892–11900.

Korsman SNJ, van Zyl GU, Nutt L, Andersson MI, Presier W. 2012. Viroloy.
Chins: Churchill Livingston Elsevier.

Li, W. et al. 2005. Bats are natural reservoirs of SARS-like coronaviruses.


Science 310, 676–679.

Liu J, Cao R, Xu M, et al. Hydroxychloroquine, a less toxic derivative of


chloroquine, is effective in inhibiting SARS-CoV-2 infection in vitro. Cell
Discov. 2020;6:16.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2020. Panduan Praktik Klinis: Pneumonia


2019-nCoV. PDPI: Jakarta; 2020.

Susilo, A. et al. (2020) ‘Coronavirus Disease 2019 : Tinjauan Literatur Terkini


Coronavirus Disease 2019 : Review of Current Literatures’, 7(1), pp. 45–
67.

The Straits Times. 2020. China reports first death in Wuhan pneumonia outbreak
[Homepage on The Internet]. Cited Jan 28th 2020. Available on:
https://www.straitstimes.com/asia/east-asia/chinareports-first-death-in-
wuhan-pneumonia-outbreak.

Tu, C. et al. 2004. Antibodies to SARS coronavirus in civets. Emerg. Infect. Dis.
10, 2244–2248.

Wang Z, Qiang W, Ke H. 2020. A Handbook of 2019-nCoV Pneumonia Control


and Prevention. Hubei Science and Technologi Press. China

36
World Health Organization.2020. Clinical management of severe acute
respiratory infection when novel coronavirus (2019-nCoV) infection is
suspected. interim guidance. [Serial on The Internet]. Cited Jan 30th 2020.
Available on: https://www.who.int/publications-detail/clinical-
management-ofsevere-acute-respiratory-infection-when-novel-
coronavirus- (ncov)-infection-is-suspected.

Yuliana (2020) ‘Wellness and healthy magazine’, 2(February), pp. 187–192.

Zhidong Cao et al., Jan. 29, 2020. Estimating the effective reproduction number of
the 2019- nCoV in China. Ref.

37

Anda mungkin juga menyukai