Anda di halaman 1dari 4

SISTEM UQUBAT KHILAFAH:

MEMECAH KEJAHATAN DALAM LAPAS NEGARA SEKULER


Oleh: Ryang Adisty Farahsita

Kejahatan di dalam Lapas Indonesia

Idealnya hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan mampu menekan angka kejahatan dalam
negara dan membuat efek jera kepada pelakunya. Namun di negeri ini yang terjadi justru sebaliknya.
Lembaga pemasyarakatan (lapas) justru menjadi tempat terjadinya kejahatan baru. Desember 2019
lalu, Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN), Arman Depari mengungkap
narapidana di 44 lembaga pemasyarakatan (lapas) mengendalikan peredaran narkoba di Indonesia.
Hal ini menguatkan pernyataan Kepala BNN Komjen Heru Winarko yang menyatakan bahwa
mayoritas narkoba atau 80-90% masih dikendalikan dari lembaga pemasyarakatan. Heru menyebut
ada beberapa lapas yang dinilai marak transaksi narkobanya seperti Tanjung Gusta Medan, Cirebon
dan lapas Tangerang di Banten. Bahkan disebutkan bahwa para pengedar lebih nyaman dan leluasa
beroperasi serta bertransaksi di lapas.

Narkoba tak hanya menjadi satu-satunya masalah di lapas. Ahmad Taufik, seorang wartawan Tempo
yang pernah 21 bulan berpindah-pindah dari lapas Salemba, Cipinang, Cirebon, dan Cijoho
menuliskan fakta adanya bisnis seks yang ditemukan di lapas dalam bukunya Penjara, the Untold
Stories. Bisnis seks dalam lapas ini bahkan tersistem dan melibatkan para petugas terkait di lapas.
Para narapidana yang memiliki uang bisa bebas memesan dan bertransaksi dengan PSK di penjara.
Mei 2015 lalu bahkan terungkap bahwa gembong besar prostutisi online yang tertangkap di Bali
adalah narapidana di Lapas Kelas IIA Kerobokan, Denpasar.

Video penelusuran tim detik.com pada mantan narapidana yang diunggah pada Juli 2019 lalu juga
mengungkap fakta mencengangkan bahwa banyak para narapidana yang terpaksa menjadi gay
dibalik jeruji besi karena kebutuhan. Salah satu responden menyatakan bahwa praktek homoseksual
terjadi antara para narapidana karena kebutuhan dan keadaan. Napi yang terjerat narkoba, tidak
puas terhadap makanan di penjara yang dianggap tidak layak, serta napi yang menginginkan
kebebasan lebih misalkan memiliki handphone, rokok, sel yang tidak padat, kasur dan fasilitas lain
bisa dimanfaatkan oleh napi penyuka sesama jenis yang memiliki uang lebih untuk dijadikan
pasangan seksual dengan imbalan beberapa fasilitas tersebut termasuk narkoba. Faktor lain yang
menyuburkan praktek homoseksual di penjara adalah kapasitas penjara diluar batas sebagaimana
yang dinyatakan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat, Liberti
Sitinjak. Bagaimana tidak, berita yang diturunkan tanggal 15 Januari 2020 mengungkapkan
pernyataan Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Banten, Imam Suyudi bahwa lapas di Banten
yang hanya memiliki kapasitas 5.500 orang telah dihuni 11.600 narapidana.

Dengan kondisi lapas yang demikian, tak berlebihan jika dikatakan bahwa lapas bak mata rantai
setan yang dapat menjebak pelaku kejahatan terjerumus pada praktek kejahatan lain yang lebih keji
serta menjadi ancaman yang lebih besar bagi masyarakat ketika telah bebas. Hal ini menunjukkan
gagalnya sistem sanksi di Indonesia untuk memberikan efek jera dan mencegah kejahatan. Hal ini
diperburuk pula oleh keadaan sistemik yang mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan.
Keadaan sistemik yang dimaksudkan adalah gagalnya negara menjawab masalah kemiskinan,
minimnya lapangan kerja, tidak meratanya pendidikan, banyaknya media yang merusak pola pikir dan
tingkah laku, rusaknya sistem sosial, dll.

Realitas hukuman pidana di Indonesia

Indonesia menganut sistem peradilan yang sekular yaitu meyakini hukum harus berasal dari akal
manusia. Dalam hukuman pidana ada beberapa jenis hukuman pidana, yaitu hukuman pokok dan
hukuman tambahan. Hukuman-hukuman pokok meliputi hukuman mati, hukuman penjara, hukuman
kurungan, hukuman denda, dan hukuman tutupan.

Sedangkan hukuman-hukuman tambahan, yaitu : pencabutan beberapa hak-hak tertentu,


perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim.

Terkait hukuman mati dapat diterapkan pada kasus makar terhadap presiden, membujuk negara
asing berperang, menyerahkan kekuasaan, menganjurkan huru-hara, makar pada negara sahabat,
pembunuhan berencana, curat curas dengan kematian, pembajakan laut,dengan akibat kematian,
kekerasan dalam pesawat dengan akibat kematian.

Hukuman-hukuman yang telah ditetapkan tersebut masih bisa berubah dengan mekanisme banding,
kasasi, dan peninjauan kembali. Kejahatan yang marak terjadi di masyarakat justru adalah kejahatan
yang memiliki konsekuensi hukum penjara dalam kurun waktu tertentu. Belum lagi masalah sistemik
yang belum terselesaikan juga memicu berulangnya kejahatan oleh mantan narapidana sehingga
jumlah napi residivis tidak sedikit di negeri ini. Inilah yang menjadikan penjara semakin padat
penghuninya dengan berbagai macam potensi kejahatannya.

Sistem Uqubat Khilafah

Allah telah menetapkan serangkaian aturan (hukum) untuk mengatur kehidupan manusia di dunia.
Orang yang melanggarnya di hadapan Allah dinilai berdosa dan telah melakukan kemaksiatan dan
baginya ada sanksi di akhirat atau di dunia. Dengan demikian semua kemaksiatan merupakan
tindakan kriminal yang layak mendapat sanksi.

Pelaksanaan sanksi (‘uqûbât) di dunia adalah tanggungjawab imam (khalifah) atau yang ditunjuk
mewakilinya. Jadi, negaralah yang melaksanakannya. Sanksi di dunia berfungsi sebagai pencegah
(zawâjir) dan penebus dosa (jawâbir), yakni mencegah orang-orang untuk melakukan tindakan dosa
dan kriminal sekaligus menggugurkan sanksi di akhirat bagi pelaku criminal yang telah dikenai snksi
di dunia. Demikian sabda Nabi saw., sebagaimana dituturkan oleh Ubadah bin Shamit ketika
menuturkan ihwal teks Baiat Aqabah I, yang di antaranya menyebutkan:

«ُ‫»و َمنْ أَصَ ابَ مِنْ َذلِكَ َش ْي ًئا َفع ُْوقِبَ ِب ِه َفه َُو َك َّفارَ ةٌ لَ ُه َو َمنْ أَصَ ابَ مِنْ َذلِكَ َش ْي ًئا َفسَ َترَ هُ هللاُ عَ لَ ْي ِه إِنْ َشا َء غَ َّفرَ لَ ُه َو إِنْ َشا َء عَ َّذ َبه‬
َ
Siapa di antara kalian yang memenuhinya maka pahalanya di sisi Allah. Siapa yang melanggarnya,
lalu diberi sanksi, maka itu sebagai penebus dosa baginya. Siapa yang melanggarnya namun
(kesalahan itu) ditutupi oleh Allah, jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuninya; jika Ia
menghendaki, Dia akan mengadzabnya. (HR al-Bukhari).

Hukuman/sanksi yang dijatuhkan oleh negara atas pelaku dosa dan kejahatan merupakan metode
praktis (tharîqah ‘amaliyah) untuk melaksanakan perintah dan larangan Allah. Perbuatan-perbuatan
yang akan dijatuhkan hukuman oleh syariat itu sendiri ada tiga, yaitu: (1) Meninggalkan kewajiban,
seperti shalat dan jihad; (2) Melakukan keharaman, seperti minum khamar dan mencaci Rasul saw.;
(3) Melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti lalu-lintas dan izin mendirikan bangunan.

Bentuk Hukuman dalam Islam


Jenis-jenis hukuman dalam Islam ada empat, yakni: (1) hudûd; (2) jinâyat; (3) ta‘zîr; (3) mukhâlafat.

Hudûd
Secara bahasa, hudûd berarti sesuatu yang membatasi di antara dua hal.
Secara syar‘î, hudûd bermakna sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan (kadarnya)
oleh syariat dan menjadi hak Allah. Di sebut hudûd karena umumnya mencegah pelakunya dari
kemaksiatan serupa. Sebutan hudud dikhususkan bagi sanksi kejahatan yang didalamnya terdapat
hak Allah. Hudûd hanya dijatuhkan atas tindak kejahatan berikut:
(1) zina (pelaku dirajam [jika muhshan/telah menikah] atau cambuk 100 kali [jika ghayr
muhshan/belum menikah]);
(2) homoseksual/liwâth (pelaku dibunuh);
(3) qadzaf/menuduh berzina tanpa didukung 4 orang saksi (pelaku dicambuk 80 kali);
(4) minum khamar (pelaku dicambuk 40/80 kali);
(5) murtad yang tidak mau kembali masuk Islam (pelaku dibunuh);
(6) membegal/hirâbah (pelaku dibunuh jika hanya membunuh dan tidak merampas; dibunuh dan
disalib jika membunuh dan merampas harta; dipotong tangan dan kaki secara bersilang jika hanya
merampas harta dan tidak membunuh; dibuang jika hanya meresahkan masyarakat.
(7) memberontak terhadap Negara/bughât (pelaku diperangi dengan perang yang bersifat edukatif,
yakni agar pelakunya kembali taat pada Negara, bukan untuk dihancurkan.
(8) Mencuri (pelaku dipotong tangannya hingga pergelangan tangan jika memang telah memenuhi
syaratuntuk dipotong).

Jinâyât
Jinâyât adalah penganiayaan atau penyerangan atas badan yang mewajibkan
adanya qishâsh (balasan setimpal) atau diyât (denda). Penganiayaan di sini mencakup penganiayaan
terhadap jiwa dan anggota tubuh. Jenis-jenisnya adalah:
(1) Pembunuhan/penganiayaan yang berakhir dengan pembunuhan;
(2) Penganiayaan tanpa berakhir dengan pembunuhan.

Qishâsh diberlakukan jika tindakan penganiayaan dilakukan dengan sengaja, sementara denda


(diyât) diberlakukan jika penganiayaan dilakukan tidak dengan sengaja atau jika tindakan itu
kemudian dimaafkan korban. Qishâsh ataupun diyât tidak diberlakukan jika korban membebaskan
pelakunya dengan rela/tidak menuntutnya.

Ta‘zîr
Ta’zîr secara bahasa bermakna pencegahan (al-man‘u). Secara istilah ta’zîr adalah
hukuman edukatif (ta‘dîb) dengan maksud menakut-nakuti (tankîf). Sedangkan
secara syar‘î, ta’zîr bermakna sanksi yang yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak
ada had dan kafârat. Dalilnya adalah perbuatan Rasul saw.
Kasus ta‘zîr secara umum terbagi menjadi: (1) pelanggaran terhadap kehormatan; (2) pelanggaran
terhadap kemuliaan; (3) perbuatan yang merusak akal; (4) pelanggaran terhadap harta; (5) gangguan
keamanan; (6) subversi; (7) pelanggaran yang berhubungan dengan agama.
Sanksi ta‘zîr dapat berupa: (1) hukuman mati; (2) cambuk yang tidak boleh lebih dari 10 kali; (3)
penjara; (4) pengasingan; (5) pemboikotan; (6) salib; (7) ganti rugi (ghuramah); (8) peyitaan harta; (9)
mengubah bentuk barang; (10) ancaman yang nyata; (11) nasihat dan peringatan; (12) pencabutan
sebagain hak kekayaan (hurmân); (13) pencelaan (tawbîkh); (14) pewartaan (tasyhîr).
Bentuk sanksi ta‘zîr hanya terbatas pada bentuk-bentuk tersebut. Khalifah atau yang mewakilinya
yaitu qâdhî (hakim) diberikan hak oleh syariat untuk memilih di antara bentuk-bentuk sanksi tersebut
dan menentukan kadarnya; ia tidak boleh menjatuhkan sanksi di luar itu.

Mukhâlafât
Mukhalafat adalah pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan negara. Syariat telah
memberikan hak kepada Khalifah untuk memerintah dan melarang warganya, menetapkan
pelanggaran terhadapnya sebagai kemaksiatan, serta menjatuhkan sanksi atas para pelanggarnya.

Peradilan dalam Negara Islam


Peradilan dalam Negara Islam ada tiga macam. Masing-masing berhubungan dengan:
1. Qâdhî (biasa), yaitu hakim yang mengurusi penyelesaian perkara sengketa di tengah
masyarakat dalam hal muamalat (transaksi yang dilakukan antar dua orang/pihak)
dan ‘uqûbât (sanksi hukum). Semua proses pengadilan hanya sah jika dilakukan di majelis
(ruang) pengadilan dan harus ada pihak penuntut dan yang dituntut.
2. Qâdhî Hisbah/Muhtasib, yaitu hakim yang mengurusi perkara penyimpangan yang bisa
membahayakan hak jamaah. Dalam menjalankan tugasnya ia didampingi oleh beberapa
polisi untuk untuk melaksanakan perintah dan menjalankan keputusannya seketika itu juga.
Pengadilan hisbah ini tidak memerlukan ruang sidang pengadilan, tidak perlu penuntut dan
yang dituntut, melainkan semata karena ada hak umum yang telah dilanggar.
3. Qâdhi Mazhâlim, adalah hakim yang diangkat untuk menyelesaikan setiap tindak
kezaliman yang merugikan negara atau kezaliman yang dilakukan oleh negara (penguasa,
aparat, dan pegawai negara) terhadap individu warga negara.

Sistem Putusan
Pengadilan dalam Islam hanya diputuskan oleh seorang qâdhî(hakim). Sekalipun demikian,
dalam sidang ia boleh didampingi oleh satu atau lebih hakim lain yang hanya berhak
memberi masukan, sementara keputusan tetap berada di tangan hakim ketua sesuai
dengan hasil ijtihadnya. Putusan ini merupakan hukum syariat atas kasus tersebut. Ia tidak
bisa dibatalkan oleh siapapun kecuali jika bertentangan dengan nash-nash yang qath‘î atau
dengan hukum yang diadopsi oleh Khalifah. Karena itu, dalam sistem pidana Islam tidak ada
istilah pengadilan banding ataupun kasasi.
Dalam menjatuhkan vonis yang dijadikan sebagai bukti secara syar‘î adalah: pengakuan,
sumpah, kesaksian, dan dokumen-dokumen tertulis yang meyakinkan. Selain itu tidak bisa
dijadikan bukti secara syar‘î dan tidak bisa dijadikan dasar putusan oleh hakim.

Pengampunan (Abolisi) dalam Islam


Untuk kejahatan yang termasuk hudud tidak ada pengampunan secara mutlak. Ini
didasarkan pada banyaknya hadis yang berbicara tentang masalah ini.
Sedangkan dalam masalah jinâyât, hak pengampunan (pemaafan) hanya berada di tangan
korban atau ahli waris korban, tidak di tangan hakim ataupun Khalifah. Pengampunan dalam
masalah jinâyât telah disebutkan dalam al-Quran (QS al-Baqarah [2]: 178; QS asy-Syura []:
40.

Sedangkan ta‘zîr, penetapan sanksinya diserahkan kepada Khalifah atau qâdhi (sebagai


wakil Khalifah). Khalifah berhak (bukan wajib) memberikan sanksi ataupun pengampunan.
Adapun mukhâlafât sama seperti ta‘zîr dalam hal pemaafan. Tidak ada perbedaan di antara
keduanya.

Penutup
Sistem uqubat dalam Islam tentu diimbangi dengan penerapan hukum Islam yang kaafah
dalam naungan Daulah Khilafah. Penerapan hukum Islam yang menyeluruh inilah yang
akan mencegah masyarakat melakukan kejahatan karena faktor-faktor pemicunya
dihilangkan. Sistem politik yang sehat, pengaturan ekonomi yang adil, pendistribusian
kebutuhan primer yang merata per individu masyarakat, pengendalian media massa,
kuatnya sistem keamanan, ketaqwaan individu, kontrol masyarakat yang baik dll akan
bersinergi dengan sistem uqubat membentuk masyarakat yang menjauhi
kemaksiatan/kejahatan.

Wallahua'lam bi a showab.

Sumber:

https://m.cnnindonesia.com/nasional/20191211160744-12-456079/bnn-napi-di-44-lapas-terindikasi-
kontrol-peredaran-narkoba

https://m.detik.com/news/berita/d-4711385/bnn-90-narkoba-dikendalikan-di-lapas-paling-banyak-di-
tanjung-gusta.

https://youtu.be/-94H3e_DSvA (video penelusuran tim detikcom)

https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/07/11/membandingkan-sistem-peradilan-dalam-negara-
khilafah-dan-negara-sekular/

https://m.liputan6.com/news/read/2235353/napi-di-bali-kendalikan-bisnis-prostitusi-dari-lapas

https://metro.tempo.co/amp/366684/mantan-napi-bicara-prostitusi-di-rutan-salemba

al-Maliki , Abdurrahman. Ad-Daur, Ahmad. 2011. Sistem sanksi dan hukum pembuktian dalam
islam. Bogor : PTI

Anda mungkin juga menyukai