Anda di halaman 1dari 3

Rindu Karena Jarak

Ini bukan pasal detak jantung yang berbunyi


Hingga waktunya tiba, ia pasti berhenti
Ini bukan tentang napas yang berhembus
Hingga pada akhirnya, ia berujung hangus
Ini pasal jarak
Yang saat bertambah, ia bisa menyulut kerinduan
Sumbu memori telah siap berkobar
Korek perasaan bersedia membakar
Tinggal menunggu sang tuan yang masih bersabar
Ini pasal kebersamaan
Titik pusat dimana ada pertemuan para insan
Melanglang buana, menembus hutan
Mengarungi lautan, mendaki perbukitan
Menyingkirkan adanya perbedaan
Ini pasal waktu
Yang dikata pencuri, padahal sebelumnya telah memberi
Salah manusia, yang selalu melewatkan segalanya
Berpisah bilang rindu
Bertemu seakan lupa siapa itu
Dasar, mulut manis penuh tipu
Kebersamaan yang telah tercipta menjadi hampa
Mau dikata lupa tak punya kuasa
Jarak yang membentang jadi alasan kita
Entah apa yang memicu pengkhiatannya
Akhirnya tak peduli keberadaan rasa
Mengabaikan hadirnya peka
Melalaikan pentingnya cinta
Melupakan kebersamaan yang pernah ada
Seakan tak pernah bersua
Lagi – lagi sslah manusia, berpikir tanpa hati
Bahkan otak sudah setengah mati
Memilih buta, dan mengabaikan segalanya
Berlari dari kenyataan yang ada
Dulu selalu bersama
Melempar semua canda dan tawa
Berjalan beriringan dan berdampingan
Di masa semua masih sempurna
Semua masih saling berkaitan tangan
Kini merasa kehilangan meski tak ada pengakuan
Jarak yang ada kian memisahkan dan menjauhkan
Semua dijadikan alasan ketidakmampuan
Padahal tak mungkin membaca buku tanpa ada jarak tercipta
Kadang kita mengabaikan pandangan lain
Karena semua ada maknanya
Jarak yang memisahkan sekalipun
Tak mungkin tuhan menciptakannya begitu saja
Dibalik jarak, ada kenangan
Dibalik penghindaran, ada kerinduan
Dibalik semua ini, ada yang disisipkan
Asal kita mau menerima dengan lapang
Rangkul semua meski tercipta jarak
Karena jarak mampu menciptakan hal yang lebih jelas

Namaku Tsabita izzatul haya. Orang memanggilku Tsabita atau Taza. Lahir di Bekasi, 29
september 2004. Kini aku tinggal di Demak dan duduk di bangku kelas 1 SMAIT Ibnu Abbas,
Klaten. Sekolahku bersistem boarding school. Disana aku mengikuti ekstrakurikuler jurnalistik.
Aku mulai belajar menulis nonfiksi saat duduk di kelas 1 SMP. Sebelumnya aku hanya bisa
menulis cerita karangan anak kecil. Aku pernah menulis opini dan dimuat di majalah sekolah.
Hanya sebatas itu. Aku belum bisa lebih berani. Mungkin kedepannya. Jika sedang kesal, aku
terbiasa menulis perasaanku lewat tulisan semacam puisi, tapi aku menyebutnya monolog.
Kadang itu sudah menyelesaikan permasalahanku dan melegakan. Kata ibuku, tak ada sejarah
dalam keluarga yang hobi menulis sepertiku. Sekian, terimakasih.

Anda mungkin juga menyukai