Anda di halaman 1dari 9

TUGAS KESEHATAN OLAHRAGA

DISUSUN OLEH :
DARTI KAMALA FITRI (19334023)
Tk II A
DI BIMBING OLEH :
SANDRA DEWI, S.PD,M.Kes

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGRI PADANG
A. Definisi Kecemasan dan Stres

Kecemasan adalah suatu pengalaman perasaan yang menyakitkan yang ditimbulkan oleh
ketegangan-ketegangan dalam alat-alat intern dari tubuh. Ketegangan-ketegangan ini adalah
akibat dari dorongan-dorongan dari dalam atau dari luar dan dikuasai oleh susunan urat syaraf
yang otonom, misalnya kalau seorang menghadapi keadaan yang berbahaya hatinya berdenyut
lebih cepat, ia bernafas lebih pesat, mulutnya menjadi kering dan tapak tangannya berkeringat
(Calvin. S, 1890 : 83) Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, ia memperingatkan
adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk
mengatasi ancaman (Kaplan, 1997 : 3).

Stress adalah proses dimana seorang individu merasa menerima tekanan dan meresponnya
dengan serangkaian perubahan-perubahan fisik dan psikis termasuk meningkatkan arousal dan
merasakan cemas. Jadi, stress mempunyai dimensi yang lebih luas dibandingkan arousal dan
anxiety. Kita merasakan stres ketika berhadapan dengan tuntutan yang sulit untuk kita penuhi
dan akan berdampak serius jika tidak dilaksanakan.

Lazarus dan Launier (1978) mengemukakan tahapan-tahapan proses stress sebagai berikut :

■ Stage of Alarm

Individu mengidendentifikasi suatu stimulus yang membahayakan. Hal ini akan meningkatkan
kesiapsiagaan dan orientasinyapun terarah kepada stimulus tersebut.

■ Stage of Appraisals

Individu mulai melakukan penilaian terhadap stimulus yang mengenainya. Penilaian ini
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman individu tersebut.

■ Stage of Searching for a Coping Strategy


Konsep ‘coping’ diartikan sebagai usaha-usaha untuk mengelola tuntutan-tuntutan lingkungan
dan tuntutan int internal serta mengelolah konflik antara berbagai tuntutan tersebut. Tingkat
kekacauan yang dibangkitkan oleh satu stresor (sumber stress) akan menurun jika individu
memiliki antisipasi tentang cara mengelola atau menghadapi stresor tersebut, yaitu dengan
menerapkan strategi ‘coping’ yang tepat. Strategi yang akan digunakan ini dipengaruhi oleh
pengalaman atau informasi yang dimiliki individu serta konteks situasi dimana stress tersebut
berlangsung.

■ Stage of The Stress Response

Pada tahap ini individu mengalami kekacauan emosional yang akut, seperti sedih, cemas, marah,
dan panik. Mekanisme pertahanan diri yang digunakan menjadi tidak adekuat, fungsi-fungsi
kognisi menjadi kurang terorganisasikan dengan baik, dan pola-pola neuroendokrin serta sistem
syaraf otonom bekerja terlalu aktif. Reaksi-reaksi seperti ini timbul akibat adanya pengaktifan
yang tidak adekuat dan reaksi-reaksi untuk menghadapi stress yang berkepanjangan. Dampak
dari keadaan ini adalah bahwa individu mengalami disorganisasi dan kelelahan baik mental
maupun fisik.

Jenis kecemasan ditijau dari bagaimanaterjadinya kecemasan :

Kecemasan yang terkondisionir adalah kecemasan yang merupakan hasil dari ”kondisioning”
dari pengalaman masa lalu.

Kecemasan karena kekurangan keterampilan (instrumental defisit) misalnya kecemasan yang


terjadi pada orang yang pemalu, terhambat dalam pergaulan, yang semakin ia menghindari
pergaulan semakin ia menjadi pemalu.

Kecemasan karena pernyataan diri yang menimbulkan kecemasan misalnya yang disebabkan
oleh proses berfikir yang terus-menerus berlangsung dimana terjadi evaluasi yang negatif
terhadap diri sendiri.
Kecemasan karena tindakan yang dilakukannya sendiri misalnya oleh karena pekerjaan yang
dipilihnya terlalu berat atau karena ia mengambil tanggung jawab yang terlalu berat.

Kecemasan yang dikaenakan lingkungan fisik atau sosial yang gawat contonya kareana orang
tua yan gterlalu kejam erhadap anaknya. Tuntutan pelatih yang tidak realistis bagi kemampuan
atlet.

Faktor-faktor Kecemasan dan Stres dalam Olahraga

Faktor-fator yang menyebabkan terjadinya ketegangan dalam lapangan

Faktor instrinsik terjadi karena kurangnya kesiapan mental individu dalam menghadapi suatu
pertandingan. Hal ini menyebabkan tidak tercapainya performance maksimal atlet, mental yang
tegar, sama halnya dengan teknik dan fisik, akan didapat melalui pelatihan yang terencana,
teratur dan sistematis Dalam membina aspek psikis atau mental atlet, pertama-tama perlu
disadari bahwa setiap atlet harus dipandang sebagai individu yang satu berbeda dengan yang
lainnya, untuk membantu mengenal profil setiap atlel dapat dilakukan pemeriksaan psikologis
(psikotest) dengan bantuan psikometri. Profil psikologi atlet biasanya beruapa gambaran
kepribadian secara umum, potensi intelektual, dan fungsi daya pikirnya yang dihubungkan
dengan olah raga.

Faktor ekstrinsik terjadi karena adanya ketegangan mental yang timbul dari lawan bertanding
maupun provokasi supporter lawan, apabila mental bertanding atlet itu baik maka berbagai
macam provokasi dari siapapun tidak akan berpengaruh terhadap performanya, akan tetapi
apabila mental bertanding atlet itu buruk maka performa terbaiknya tidak akan muncul, sehingga
merugikan diri sendiri, tim, dan clubnya

Cara Mengatasi Kecemasan dan Stres


Cara-cara menanggulangi ketegangan dan kecemasan, khususnya dalam menghadapi
pertandingan:

Mengidentifiksikan dan temukan sumber utama dan permasalahan yang menimbulkan


kecemasan dan keteganganMelakukan latian simulasi, yaitu latian dibawah kondisi seperti dalam
pertandingan sesungguhnya, misalnya sparing partner dihadapan supporter baik lawan maupun
kawan.

Mengusahakan untuk mengingat, memikirkan dan merasakan kembali saat-saat ketika mencapai
penampilan yang paling baik atau mengesankan.

Melakukan latian relaksasi progesif, yaitu melakukan peregangan atau pengendoran otot-otot
tertentu secara sistematis dalam waktu tertentu.

Melakukan latihan otogenic, yaitu bentuk latihan relaksasi yang sistematis memikrkan dan
merasakan bagian-bagian tubuh menjadi hangat dan berat. Melakukan latihan pernafasan dengan
bernafas melalui mulut dan hidung secara sadar bernafas dengan mengunakan diafragma.
Mengalihkan perhatian misalnya mendengarkan musik atau berkomunikasi dengan kawan.

Menggunakan ”model training method” dengan mengatur situasi komeptitif sedimikian rupa
sehingga sama dengan keadaan aktual dari situasi pertandingan, dengan maksud agar ia terbiasa
menghadapi bermacam-macam stres. tres sifatnya universiality, yaitu umum semua orang sama
dapat merasakannya, tetapi cara pengungkapannya yang berbeda atau diversity. Sesuai dengan
karakteristik individu, maka responnya berbeda- beda untuk setiap orang. Seseorang yang
mengalami stres dapat mengalami perubahan-perubahan yang terjadi.

Gejala Stres

Cary Cooper dan Alison Straw mengemukakan gejala stres dapat berupa tanda-tanda berikut ini :
Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan tenggorokan kering, tangan lembab, merasa panas, otot-
otot tegang, pencernaanterganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat
dan gelisah.

Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas, sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, gelisah,
gagal, tidak menarik, kehilangan semangat, susah konsentrasi, dan sebagainya.

Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati yang berlebihan, menjadi lekas panik, kurang
percaya diri, penjengkel.
Menurut Braham, gejala stres dapat berupa tanda-tanda,sebagai berikut :

Fisik, yaitu sulit tidur atau tidak dapat tidur teratur, sakit kepala, sulit buang air besar, adanya
gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal-gatal.

Emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung, terlalu sensitif,gelisah dan cemas, suasana
hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis.

Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit berkonsentrasi, suka
melamun, pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja

Interpersonal, yaitu acuh, kurang percaya kepada orang lain, sering mengingkari janji, suka
mencari kesalahan orang lain, menutup diri, mudah menyalahkan orang lain.

Hardjana (1994) mengemukakan bahwa terdapat kriteria-kriteria gejala-gejala stress, antara lain

Gejala fisikal:

Sakit kepala, pusing, pening. tidur tidak teratur, insomania atau susah tidur, bangun terlalu awal,
sakit punggung, terutama bagian bawah ,mencret-mencret dan radang usus besar, sulit buang air
besar, sembelit. gatal – gatal pada kulit. urat-urat tegang terutama leher dan bahu, keringat
berlebih, terganggu pencernaan atau bisulan, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, berubah
selera makan, lelah atau kehilangan daya energy, bertambah banyak melakukan kekeliruan dan
kesalahan dalam kerja dan hidup.

Gejala Emosional

Gelisah dan cemas, sedih, depresi, mudah menangis, merasa jiwa dan hati atau mood berubah-
ubah dengan cepat, mudah panas dan marah, gugup, rasa harga diri menurun dan merasa tidak
aman, rasa harga diri menurun dan merasa tidak aman, marah-marah, gampang menyerang
orang dan bersikap bermusuhan, emosi mengering kehabisan sumber dayamental (burn out).

Gejala Kognitf

Susah berkonsentrasi dan memusatkan pikiran, sulit mengambil keputusan, mudah terlupa,
pikiran kacau, daya ingat menurun, melamun secara berlebihan, pikiran dipenuhi oleh satu
pikiran saja, kehilangan rasa humor yang sehat, produktifitas atau prestasi kerja menurun, mutu
kerja yang rendah.

Gejala Interpersonal

Kehilangan kepercayaan terhadap orang lain., mudah mempermasalahkan orang lain., mudah
membatalkan janji atau tidak memenuhi perjanjian, suka mencari – cari kesalahan orang lain atau
menyerang orang dengan kata-kata, mengambil sikap terlalu membentengi dan mempertahankan
diri, membiarkan orang lain.

Maka olahragawan yang ulung harus memiliki kondisi fisik dan fisiologis yang tangguh, tetapi
lebih lebih diperlukan metalitas yang tabah untuk mampu memperlihatkan keungulan fisiknya,
dalam (Soebroto. 1978:163). Menurut Husdarta (2011:2). Mengemukakan bahwa “Olahraga
sebagai perilaku gerak manusia untuk mengekspresikan “body and mind” secara harmonis, untuk
itu olahraga sebagai aktivitaas yang memunculkan tingkah laku, tentunya tidak dapat disegregasi
dari aspek-aspek psikhis yang mendasarinya”. Profil adalah keadaan atau potensi dan gambaran
penampilan yang ada dalam diri seseorang. Keadaan dan gambaran seseorang dalam berpikir
dengan cepat dan tepat dengan meningkatkan setiap aktivitas yang dikerjakan, faktor ini
dianggap penting sehingga sangat menentukan seseorang dalam berprestasi.
Stress adalah sebuah kondisi berkepanjangan akibat evaluasi/penilaian berkelanjutan antara
harapan, pengalaman pribadi, dan tekanan yang dialami oleh seseorang. Para atlet, pelatih, dan
siapapun yang terlibat dalam olahraga juga dapat mengalami stress karena keterlibatannya dalam
olahraga.

Dalam olahraga, efek dari stress dapat dibagi dua, yaitu:

1) Efek kognitif: efeknya secara kognitif/pikiran, seperti: khawatir, kepikiran (sampai nggak bisa
tidur), takut akan hasil yang buruk, dan juga kecemasan berlebihan (a.k.a: mengkhawatirkan
sesuatu yang belum terjadi).

2) Efek (psiko)somatis: efek yang terlihat dari segi fisiologi, semisal naiknya detak jantung, sakit
perut, BAK berlebihan hingga diare, sulit tidur, gangguan nafas, badan gemetaran, atau
kekakuan pada oto-otot.

Lalu apa yang menyebabkan stress? Stressor (istilah untuk sumber stress) dalam olahraga juga
bisa dikelompokkan ke dalam dua hal:

1) Stressor kompetitif, yaitu penyebab stress yang berkaitan dengan kompetisi/perlombaan yang
dialami atlet; pada umumnya berhubungan dengan penampilan, kemampuan, tafsiran (yang
berlebihan) terhadap kemampuan lawan atau kemampuan diri sendiri, ekspektasi yang
berlebihan, situasi pertandingan yang menimbulkan stress, dan sebagainya.

2) Stressor organisasional atau stressor situasional: yaitu stressor yang berkaitan dengan
organisasi dimana atlet terlibat; antara lain: tekanan dari lingkungan sosial atlet, semisal dari
keluarga/orang tua, tim pelatih/manajer/ofisial, pengurus atau organisasi olahraga, panitia
pertandingan, komponen pendukung pertandingan (contoh: akomodasi/transportasi), sponsor,
media, fans/supporter, dan sebagainya.

Meskipun stressor ini dikelompokkan menjadi dua, berbagai situasi dalam pertandingan bisa
menyumbang kombinasi antara stress kompetitif dan organisasional. Interpretasi terhadap
stressor ini juga sangat erat berkaitan dengan faktor-faktor personal dalam diri atlet, seperti
kepribadian atlet, pengalaman hidup, gaya hidup, ketegaran mental/resiliensi, dan “coping style”,
yang akan kita bahas beberapa paragraf kemudian.

Penelitian juga menyebutkan, elite-athlete terpapar pada stressor organisasional daripada yang
berkaitan dengan kompetisi. Sedangkan, pada beginner-athlete/pemula, stressor-nya lebih
banyak bersifat kompetitif daripada organisasional. Secara naif, perbedaan stress pada
beginner/pemula dengan pada bisa kita pahami seperti memanjat sebuah tebing yang tinggi. Atlet
pemula bergulat dengan perasaan “Jangan takut sama ketinggian, aku harus percaya diri, yang
penting usaha dulu manjat sampai atas, yak, aku akan semangat!” (pasang pose ala Rock Lee),
sementara elite-athlete berjuang dengan “Hoooiii, aku memanjat semakin tinggi, ternyata
anginnya semakin kencang nih, cuacanya berawan pula, kabut juga mulai muncul…!”

Lalu, bagaimana cara mengatasi stress pada atlet? Ada mekanisme penyesuaian diri yang disebut
dengan “Coping”. Coping ini melibatkan strategi manajemen pikiran, emosi, dan perilaku untuk
menurunkan efek merugikan dari stress. Bahkan, dapat meregulasi stress menjadi berefek positif
bagi atlet. Karena, stress pada dasarnya menjadi sinyal tanda bahaya, sehingga atlet mampu lebih
waspada, lebih berhati-hati dalam mengatur strategi dan perilakunya, dan mengambil antisipasi
yang tepat. Syaratnya, atlet harus menguasai “coping” yang tepat. Coping ini juga ada beberapa
macam:

1) Problem-focused coping: yaitu menganalisa penyebab masalah/stressor dan kemudian


mengambil langkah-langkah untuk menganalisanya. Semisal, seorang atlet yang sering gelisah
karena ditonton orang banyak, kemudian ia berdiskusi dengan psikolog olahraga untuk
menganalisa masalahnya, dan melakukan beberapa latihan imajeri untuk mengeliminasi efek
stressor penonton. Semisal, dia menerapkan latihan imajeri “penonton adalah botol, penonton
adalah botol…” (note: anda bisa membuat latihan imajeri yang lebih baique).

2) Emotion-focus coping: yaitu mengatasi stress dengan mencari dukungan emosional yang
suportif untuk menurunkan efek merugikan dari stress. Pada umumnya, dukungan emosional ini
dapat berasal dari pelatih, pasangan, orangtua/keluarga, atau teman. Semisal, seorang atlet yang
menelepon keluarganya untuk curhat akan tekanan-tekanan pertandingan yang dialaminya
(Namun, tentu saja adalah sebuah keputusan yang sangat salah kalau mencari emotional support
yang berpotensi menimbulkan stress lebih besar, semisal menelepon dia yang bukan milik
anda… )

3) Avoidance coping: yaitu menarik diri dari penyebab stress, atau menghindari penyebab stress.
Semisal, Siti, seorang atlet silat, mengetahui kalau penyebab stress-nya ketika bertanding adalah
ditonton orang banyak, maka setiap ia bertanding, ia cenderung bersiap di tempat yang jauh dari
keramaian dan berdiam diri. Mungkin banyak yang salah sangka mengira Siti takut dengan
menyendiri jauh dari arena, tapi sesungguhnya itu adalah caranya untuk menenangkan diri.

4) Distraction-oriented stimuli: Yaitu mengalihkan stressor ke kegiatan lain agar stressor tidak
berkelanjutan menganggu persapan mentalnya; semisal, bermain game, ngopi, menonton film,
mendengarkan musik, bercanda dengan pelatih dan sebagainya. Namun dalam mengguakan
coping style ini, haruslah berhati-hati jangan sampai justru stimuli selingan itu malah berakibat
buruk; semisal, bermain game sampai larut malam hingga paginya bangun tidak-bugar-dan-
muncul-mata-panda.

Anda mungkin juga menyukai