Anda di halaman 1dari 53

BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas

Nama : Ny. Sri Hartati


Umur : 39 Tahun
Alamat : Krajan Barat Rt 003 Rw 001 Desa Amansan Rengasdenklok
Pendidikan : -
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No rekam medis : 00574588
Tanggal Masuk : 31 Januari 2015

II. Anamnesis

Anamnesis dilakukan dengan cara auto anamnesis pada pasien pada hari Senin, 2 Februari
2015 pukul 11.00 di bangsal Cikampek RSUD Karawang.
A. Keluhan utama
- Sesak napas sejak 1 hari SMRS dan semakin memberat

B. Keluhan Tambahan
- Batuk berdahak warna tampak sedikit kehijauan
- Mual
- Perut terasa panas

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Os datang ke IGD Karawang pada tanggal 31 Januari 2015 pukul 16.30 dengan
keluhan sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Sesak dirasakan
terasa semakin berat namun sedikit berkurang jika Os beristirahat. Selain sesak nafas, Os
juga mengeluhkan batuk yang dirasakan sudah cukup lama dialaminya. Batuk berdahak
dengan warna sedikit kehijauan. Os mengatakan ia memang sering mengalami batuk
dalam waktu yang lama dan terkadang berkeringat pada malam hari. Os juga sering

1
merasa mual sejak 5 hari yang lalu tanpa disertai muntah dan Os juga mengeluhkan
perutnya terasa panas. Menurut Os belakangan ini nafsu makannya memang sedikit
berkurang tapi Os tidak merasakan terdapatnya penurunan berat badan. Os mengatakan
BAB dan BAK lancar tanpa ada disertai keluhan. Os menambahkan kalau saat ini ia
dalam pengobatan rutin TB selama 6 bulan.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Sebelumnya Os mengaku pernah mengikuti pengobatan TB sebanyak 1x pada 1


tahun yang lalu dengan minum obat selama 6 bulan rutin hingga tuntas. Os menyangkal
bahwa keluarga memiliki keluhan yang serupa dengannya. Os tidak memiliki riwayat
hipertensi dan diabetes.

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada dikeluarga yang memiliki penyakit yang sama dengan Os.

III. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 2 Februari 2015.


Hasilnya adalah sebagai berikut :
I. Keadaan Umum
a. Kesan sakit : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. BB : 42Kg
d. Tinggi badan : 155 Cm
e. Kesan gizi : Kurang
II. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 100/60 mmHg
b. Frek. Nadi : 100x/ menit
c. Frek. Napas : 28x/menit
d. Suhu : 37,3 C

2
III. Kepala :
Normocepahli, rambut hitam, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut
IV. Mata :
Konjungtiva anemis (+ / +) , sklera ikterik (- / -)
V. Telinga
Normotia, nyeri tarik (- / -) , nyeri tekan tragus (- / -),
sekret (- / -)
VI. Hidung
Deviasi septum (-), sekret (- / -), pasase udara (+ / +), krepitasi (-)
VII. Tenggorok
Oral hygiene baik, normoglossia, arcus faring simteris, tonsil T1/T1, kripta
tidak melebar
VIII. Leher :
KGB dan tiroid tidak teraba membesar. JVP : 5 + 2 cm
IX. Thorax
a. Cor
i. Inspeksi :
Ictus cordis tidak tampak
ii. Palpasi :
Ictus cordis teraba di ICS V medial garis midklavikularis
kiri
iii. Perkusi :
Batas kanan : ICS III garis sternalis kanan
Batas kiri : ICS V garis midaxilaris kiri
Batas atas : ICS II parasternal
iv. Auskultasi :
S1 S2 reguler. Murmur (-). Gallop (-)
b. Pulmo
i. Inspeksi :
Gerak dinding dada simetris (+/+)
ii. Palpasi :

3
Vocal fremitus dinding dada kiri menurun
iii. Perkusi :
Sonor pada lapang paru kanan dan pekak pada paru kiri bagian
basal
iv. Auskultasi :
Suara nafas vesikuler (+/+), ronki (+/+), wheezing (-/-), suara
nafas paru kiri menurun
X. Abdomen
i. Inspeksi :
Bentuk datar, gerak nafas simetris, tidak buncit, dan tidak terdapat
efloresensi yang bermakna. Smiling umbilicus (-). Shagging of the
flanks (-)
ii. Palpasi :
Supel, nyeri tekan (-), pembesaran hepar, lien (-), massa (-).
iii. Perkusi :
Timpani di 4 kuadran abdomen. Shifting dulness (-)
iv. Auskutasi :
Bising usus (+) sebanyak 3x/menit.
XI. Ekstermitas

Pitting Oedem Akral Hangat


_ _ + +

_ _ + +

4
IV. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah 31 Januari 2015

Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan

Hemoglobin 6.4 g/dL 13 – 18 ▼

Leukosit 13.55/uL 3.800 – 10.600 ▲

Trombosit 431.000/uL 150.000 – 450.000 normal

Hematokrit 20.8 % 40 – 52 ▼

Gula darah sewaktu 102 mg/dL <140 normal

Ureum 17.3 mg/dL 15 – 50 normal

Creatinin 0,51 mg/dL 0,5 - 0,9 normal

Pemeriksaan Rontgen Thorax

V. Diagnosis Kerja

5
Diagnosis kerja pada kasus ini adalah Hidropneumothorax sinistra e.c TB paru.
Anemia e.c Penyakit Kronis

VI. Diagnosis Banding


Diagnosis banding pada kasus ini adalah :
 Tb paru + Pneumonia
 Abses Paru

VII. Penatalaksanaan
Terapi yang diberikan adalah :
 O2 3-4 lpm
 Infus KaEn 3B + etapilin 1 amp / 8jam
 Ambroxol 3x1
 Ceftriaxone 2x1 gr
 ATP dancos 3x1 tab
 M. prednisolon 3x125 mg
 Transfusi PRC 3 labu

VIII. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

IX. Follow Up

6
2 Februari 2015
S : Os mengeluh sesak nafas (+), batuk berdahak sedikit kehijauan (+)
O :
TD 110/60 mmHg S 37.3˚C
N 120 x/menit RR 28 x/menit

Status generalis :
CA - / - , SI - / -
BJ 1,2 reguler, mur-mur (-), gallop (-), JVP : 5+2 cm
Sn. Vesikuler +/+ melemah pada basal paru kiri, Rh +/+, Wh -/-
Abdomen : Supel, datar, pernafasan simetris pada 4 kuadran. BU (+), nyeri tekan (-), bising usus
(+) normal.
Pitting oedem Akral Hangat
+ +
- -
+ +
- -

A : Hidropneumothorax sinistra + Tb paru


Anemia e.c Penyakit kronis
P :
 Infus KaeN 3B + etapilin 1 amp
 Ceftriaxone 1x2 gr
 ATP Dancos 3x1 tab
 Ambroxol 3x 30 mg
 Metilprednisolon 3x125 mg
 Transfusi PCR 3 labu
 OAT
 Curcuma

3 Februari 2015
S : Os mengeluh batuk berdahak sedikit kehijauan (+)
O :
TD 120/80 mmHg S 36.5˚C
N 84 x/menit RR 20 x/menit

Status generalis :
CA - / - , SI - / -
BJ 1,2 reguler, mur-mur (-), gallop (-), JVP : 5+2 cm

7
Sn. Vesikuler +/+ melemah pada basal paru kiri, Rh +/+, Wh -/-
Abdomen : Supel, datar, pernafasan simetris pada 4 kuadran. BU (+), nyeri tekan (-), bising usus
(+) normal.
Pitting oedem Akral Hangat + +
- -
+ +
- -

Pemeriksaan laboratorium darah 3 Februari 2015

Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan

Hemoglobin 10.5 12-16 ▼

Hematokrit 32 35-47 ▼

A : Hidropneumothorax sinistra + Tb paru


P :
 Infus KaeN 3B +
 Ceftriaxone 1x2 gr
 ATP Dancos 3x1 tab
 Ambroxol 3x 30 mg
 Metilprednisolon 3x125 mg
 Transfusi PCR 3 labu
 OAT
 Curcuma

4 Februari 2015
S : Os mengeluh batuk berdahak sedikit kehijauan (+) namun sudah mulai
berkurang
O :
TD 110/70 mmHg S 36.7˚C
N 92 x/menit RR 20 x/menit

Status generalis :
CA - / - , SI - / -
BJ 1,2 reguler, mur-mur (-), gallop (-), JVP : 5+2 cm
Sn. Vesikuler +/+ melemah pada basal paru kiri, Rh +/+, Wh -/-

8
Abdomen : Supel, datar, pernafasan simetris pada 4 kuadran. BU (+), nyeri tekan (-), bising usus
(+) normal.
Pitting oedem Akral Hangat
- - + +

- - + +

A : Hidropneumothorax sinistra + Tb paru


P :
 Infus KaeN 3B +
 Ceftriaxone 1x2 gr
 ATP Dancos 3x1 tab
 Ambroxol 3x 30 mg
 Metilprednisolon 3x125 mg
 Transfusi PCR 3 labu
 OAT
 Curcuma

4 Februari 2015
OS sudah dipulangkan

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

9
3.1 Efusi Pleura

3.1.1 Anatomi dan Fisiologi Pleura

Pleura adalah membran tipis yang melapisi diluar paru dan didalam rongga dada yang
terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseral dan pleura parietal. Pleura viseral menempel di paru,
bronkus dan fisura mayor, sedangkan pleura parietal melekat di dinding dada bagian dalam dan
mediastinum. Kedua lapisan ini dipisahkan oleh rongga kedap udara yang berisi cairan lubrikan.
Kedua lapisan pleura bersatu didaerah hilus dan mengadakan penetrasi dengan cabang utama
bronkus , arteri dan vena bronkialis, serabut saraf dan pembuluh limfe. Secara histologis, kedua
lapisan ini terdiri dari sel mesotelial, jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah
bening. 5

Pleura normal memiliki permukaan licin, mengkilap, dan semitransparan. Luas


permukaan pleura visceral sekitar 4000 cm2 pada laki-laki dewasa dengan berat badan 70 kg.
Pleura parietal terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pleura kostalis yang berbatasan dengan iga
dan otot-otot intercostal, pleura diafragmatik, pleura servikal sepanjang 2-3 cm menyusur
sepertiga medial klavikula di belakang otot-otot sternokleidomastoideus, dan pleura mediastinal
yang membungkus organ-organ mediastinum.5

10
Eliminasi akumulasi cairan pleura terutama diatur oleh sistem limfatik sistemik di pleura
parietal. Cairan masuk ke dalam rongga pleura melalui arteriol interkostalis pleura parietal
melewati mesotel dan kembali ke sirkulasi melalui stoma pada pleura parietal yang terbuka
langsung menuju sistem limfatik.5
Pleura berperan dalam sistem pernapasan melalui tekanan pleura yang ditimbulkan oleh
rongga pleura. Tekanan pleura bersama dengan tekanan jalan napas akan menimbulkan tekanan
transpulmoner yang selanjutnya akan mempengaruhi pengembangan paru dalam proses
respirasi.6
Rongga pleura terisi cairan dari pembuluh kapiler pleura, ruang interstisial paru, saluran
limfatik intratoraks, pembuluh kapiler intratoraks, dan rongga peritoneum. Jumlah cairan pleura
bergantung pada mekanisme gaya Starling (laju filtrasi kapiler di pleura parietal) dan sistem
penyaliran limfatik melalui stoma di pleura parietal. Senyawa-senyawa protein, sel-sel, dan zat-
zat partikulat dieliminasi dari rongga pleura melalui penyaliran limfatik ini.

3.1.2. Definisi
Efusi pleura adalah akumulasi cairan abnormal atau penimbunan cairan yang berlebihan
didalam rongga pleura baik transudat maupun eksudat.

3.1.3 Epidemiologi
Estimasi prevalensi efusi pleura ada;ah 320 kasus per 100.000 orang di negara-negara
industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi penyakit yang mendasarinya. Secara
umum, kejadian efusi pleura sama antara laki-laki dan perempuan. Namun, penyebab tertentu
memiliki kecenderungan seks.Sekitar dua per tiga efusi pleura ganas terjadi pada
perempuan.Efusi pleura ganas berhubungan secara signifikan dengan keganasan payudara dan
ginekologi.Efusi pleura yang terkait dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi
pada wanita dibanding pria.1

3.1.4 Etiologi dan Faktor Resiko6


 Gagal jantung kongestif

11
 Sirosis hatizs
 Sindrom nefrotik
 Dialisis peritoneum
 Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan
 Perikarditis konstriktiva
 Keganasan
 Atelektasis paru
 Pneumotoraks.
 TB paru

3.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung dari keseimbangan antara cairan dan
protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal, cairan pleura dibentuk secara lambat
sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan
osmotik plasma dan jaringan interstitial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk
kedalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar paru. Efusi
pleura dapat berupa transudat atau eksudat.6
Proses penumpukan cairan dapat disebabkan oleh peradangan. Bila proses radang oleh
kuman piogenik akan terbentuk pus / nanah, sehingga terjadi empiema / piotoraks. Bila proses ini
mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks. Efusi cairan yang
berupa transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid
osmotik menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi
reabsorpi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada :6
1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3. Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura
4. Menurunnya tekanan intrapleura

Penyebabnynya karena penyakit lain bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif,
sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan,
perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan pneumotoraks. Efusi eksudat terjadi

12
bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura
meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran
cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Sebab lain
seperti parapneumonia, parasit, jamur, pneumonia atipik, keganasan paru, proses imunologik
seperti pleuritis lupus, pleuritis reumatoid, sarkoidosis, radang sebab lain seperti pankreatitis,
asbestosis, pleuritis uremia dan akibat radiasi.6

3.1.6 Klasifikasi 6
1. Transudat

– (filtrasi plasma yang mengalir menembus dinding kapiler yang utuh) terjadi jika
faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan reabsorpsi cairan pleural
terganggu à ketidakseimbangan tekanan hidrostatik atau onkotik.

– Biasanya hal ini terdapat pada:

• Meningkatnya tekanan kapiler sistemik

• Meningkatnya tekanan kapiler pulmonal

• Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura

• Menurunnya tekanan intra pleura

• Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:

– Gagal jantung kiri (terbanyak)  Sindrom nefrotik

– Obstruksi vena cava superior

– Asites pada sirosis hati

• Eksudat

– merupakan cairan pleura yang terbentuk melalui membran kapiler yang


permeable abnormal dan berisi protein transudat à akibat inflamasi oleh produk
bakteri atautumor yang mengenai permukaan pleural.

– Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:

13
– infeksi (tuberkulosis, pneumonia) tumor pada pleura,infark paru, karsinoma
bronkogenik radiasi, penyakit dan jaringan ikat/kolagen/ SLE (Sistemic Lupus
Eritematosis).

• Hidrotoraks dan pleuritis eksudativa terjadi karena infeksi

• Rongga pleura berisi darah à hemotoraks

• Rongga pleura berisi cairan limfe à kilotoraks

• Rongga pleura berisi pus/nanah à empiema/piotoraks

• Rongga pleura berisi udara à pneumotoraks

3.1.7 Manifestasi klinis 1,7


Gejala
 Sesak napas
 Batuk
 Nyeri dada, nyeri pleuritik biasanya mendahului efusi jika penyakit pleura
Tanda
 Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena
 Ruang interkostal menonjol (efusi yang berat)

3.1.8. Diagnosis
Anamnesis1,7
 Sesak napas
 Batuk
 Nyeri dada, nyeri pleuritik biasanya mendahului efusi jika penyakit pleura
Perlu ditanyakan faktor resiko dan gejala dari etiologi penyakit, seperti gejala-gejala pada :
 Gagal jantung kongestif
 Sirosis hati
 Sindrom nefrotik
 Dialisis peritoneum
 Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan
 Perikarditis konstriktiva
14
 Keganasan
 Atelektasis paru
 Pneumotoraks.
 TB paru

Pemeriksaan fisik1,7
Pada pemeriksaan fisik paru, dapat didapatkan :
 Inspeksi : pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena. Ruang
interkostal menonjol (efusi pleura berat)
 Palpasi : fremitus vocal dan raba berkurang pada bagian yang terkena.
 Perkusi : perkusi meredup di atas efusi pleura
 Auskultasi : suara napas berkurang di atas efusi pleura

Pemeriksaan Penunjang
Foto Thoraks (X-Ray)
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti
kurva dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada bagian medial. Bila permukaannya
horizontal dari lateral ke medial pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang dapat berasal
dari luar atau dalam paru-paru sendiri. Terkadang sulit membedakan antara bayangan cairan
bebas dalam pleura dengan adhesi karena radang (pleuritis). Perlu pemeriksaan foto dada dengan
posisi lateral dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi. Cairan dalam pleura juga
dapat tidak membentuk kurva karena terperangkap atau terlokalisasi. Keadaan ini sering terdapat
pada daerah bawah paru yang berbatasan dengan permukaan atas diafragma. Cairan ini
dinamakan efusi subpulmonik.
Cairan dalam pleura kadang-kadang menumpuk mengelilingi lobus paru (biasanya lobus
bawah) dan terlihat dalam foto sebagai bayangan konsolidasi parenkim lobus, dapat juga
mengumpul di daerah paramediastinal dan terlihat dalam foto sebagai fisura interlobaris, bisa
juga terdapat secara parallel dengan sisi jantung sehingga terlihat sebagai kardiomegali. Cairan
seperti empiema dapat juga terlokalisasi, gambaran seperti bayangan dengan densitas keras di
atas diafragma, keadaan ini sulit dibedakan dengan tumor paru. Hal lain yang dapat terlihat dari
foto dada pada efusi pleura adalah terdorongnya mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan
cairan. Disamping itu, gambaran foto dada dapat juga menerangkan asal mula terjadinya efusi

15
pleura yakni bila terdapat jantung yang membesar, adanya massa tumor, adanya densitas
parenkim yang lebih keras pada pneumonia atau abses paru.6

Torakosentesis

16
Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana untuk diagnostik maupun
terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi duduk. Aspirasi
dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan memakai jarum
abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000- 1500 cc
pada sekali aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang daripada satu kali aspirasi
sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut. Edema paru
dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum
diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intrapleura yang tinggi dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler yang abnormal. 6

Berikut ini adalah aspek-aspek yang dinilai dalam menegakkan diagnosis cairan pleura:
Warna cairan . biasanya cairan pleura berwarna agak kekuning-kuningan ( serous-santokrom).
Bila agak kemerah-merahan, dapat terjadi trauma, infark paru, keganasan dan adanya kebocoran
aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan agak purulen, ini menunjukkan adanya empiema. Bila
merah kecoklatan, ini menunjukkan adanya abses karena amuba.6
Biokimia. Secara biokimia, efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat.
Transudat Eksudat
Kadar protein dalam efusi (g/dl) <3 >3
Kadar protein dalam efusi <0.5 >0.5
Kadar protein dalam serum
Kadar LDH dalam efusi (I.U) <200 >200
Kadar LDH dalam efusi <0.6 >0.6
Kadar LDH dalam serum
Berat jenis cairan efusi <1.016 >1.016
Rivalta Negatif positif

Sitologi . pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura sangat penting untuk diagnostik penyakit
pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel tertentu.
o Sel neutrofil : menunjukkan adanya infeksi akut
o Sel limfosit : menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa atau limfoma
maligna

17
o Sel mesotel : bila jumlahnya meningkat , ini menunjukkan adanya infark paru. Biasanya
juga ditemukan banyak sel eritrosit
o Sel mesotel maligna : pada mesotelioma
o Sel-sel besar dengan banyak inti: pada artritis reumatoid
o Sel L.E : pada lupus eritematosus sistemik
o Sel maligna : pada tumor paru / metastasis

Bakteriologi. Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung


mikroorganisme, apalagi bilacairannya purulen (menunjukkan empiema). Efusi yang purulen
dapat mengandung kuman-kuman yang aerob atau anaerob. 6
Biopsi pleura. Pemeriksaan histopatologi satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat
menunjukkan 50 – 75 % diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura. Bila
ternyata hasil biopsi pertama tidak memuaskan, dapat dilakukan beberapa biopsi ulangan.
Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hematotoraks, penyebaran infeksi atau tumor pada
dinding dada. 6

gambar pleural effusion7

3.1.9 Tatalaksana
Tatalaksana

18
Tatalaksana pada efusi leura bertujuan untuk menghilangkan gejala nyeri dan sesak yang
dirasakan pasien, mengobati penyakit dasar, mencegah fibrosis pleura, dan mencegah
kekambuhan.8
a) Aspirasi cairan pleura
Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana untuk diagnostik
maupun terapeutik.Berikut ini cara melakukan torakosentesis :
 Pasien dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau
diletakkan di atas bantal. Jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat
dilakukan dalam posisi tidur terlentang.
 Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di
daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di
bawah batas suara sonor dan redup.
 Setelah dilakukan anestesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan
jarum ukuran besar, misalnya nomor 18.
 Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000- 1500 cc pada
sekali aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang daripada satu
kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi)
atau edema paru akut. Edema paru dapat terjadi karena paru-paru
mengembang terlalu cepat.8

Komplikasi torakosintesis adalah sebagai berikut:


- Pneumotoraks (paling sering udara masuk melalui jarum).
- Hemotoraks (karena trauma pada pembuluh darah interkostalis)
- Emboli udara (jarang terjadi)
- Laserasi pleura viseralis, tapi biasanya dapat sembuh sendiri dengan cepat. Bila
laserasinya cukup dalam, dapat menyebabkan udara dari alveoli masuk ke vena
pulmonalis, sehingga terjadi emboli udara.Untuk mencegah emboli ini terjadi
emboli pulmoner atau emboli sistemik, pasien dibaringkan pada sisi kiri
dibagian bawah, posisi kepala lebih rendah daripada leher, sehingga udara
tersebut dapat terperangkap diatrium kanan.

19
Cairan pleura dapat dikeluarkan dengan jalan aspirasi berulang atau dengan pemasangan
selang toraks yang dihubungkan dengan Water Seal Drainage (WSD).Cairan yang dikeluarkan
pada setiap pengambilan sebaiknya tidak lebih dari 1000 ml untuk mencegah terjadinya edema
paru akibat pengembangan paru secara mendadak. Selain itu, pengeluaran cairan dalam jumlah
besar secara tiba-tiba dapat menimbulkan refleks vagal, berupa batuk-batuk, bradikardi, aritmi
yang berat, dan hipotensi.9
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks dihubungkan dengan
WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat namun aman dan sempurna. Pemasangan
WSD dapat dilakukan sebagai berikut:
 Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya diruang sela iga 7, 8 atau 9 linea
aksilaris media atauruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikularis
 Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar kurang
lebih 2 cm sampai subkutis
 Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang
 Jaringan subkutis dibebaskan dengan klem sampai menemukan pleura parietalis
 Selang dan trokar dimasukkan kedalam rongga pleura dan kemudian trokar ditarik
 Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks
 Setelah posisi benar, selang dijepit dengan klem dan luka kulit dijahit dengan serta
dibebat dengan kassa dan plester
 Selang dihubungkan dengan dengan botol penampung cairan pleura
 Ujung selang sebaiknya diletakkan dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm,
agar udara dari luar tidak dapat masuk kedalam rongga pleura

WSD perlu diawasi setiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada selang, maka
cairan mungkin sudah habis dan jaringan paru sudah mengembang.Untuk memastikan hal ini,
dapat dilakukan pembuatan foto toraks.Selang toraks dapat dicabut jika prosuksi cairan kurang
dari 100 ml dan jaringan paru telah mengembang, ditandai dengan terdengarnya kembali suara
napas dan terlihat pengembangan paru pada foto toraks. Selang dicabut pada waktu ekspirasi
maksimum.9
Indikasi pemasangan WSD:
- Hemotoraks, efusi pleura

20
- Pneumotoraks > 25 %
- Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk
- Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator

Kontraindikasi pemasangan WSD:


- Infeksi pada tempat pemasangan
- Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol

b) Pleurodesis

Tujuan utama tindakan ini adalah melekatkan pleura viseral dengan pleura parietalis, dengan
jalan memasukkan suatu bahan kimia atau kuman ke dalam rongga pleura sehingga terjadi
keadaan pleuritis obliteratif.Pleurodesis merupakan penanganan terpilih pada efusi
keganasan.Bahan kimia yang lazim digunakan adalah sitostatika seperti kedtiotepa, bleomisin,
nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adriamisin dan doksorubisin.Setelah cairan efusi dapat
dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat sitostatika (misalnya tiotepa 45 mg) diberikan dengan
selang waktu 710 hari; pemberian obat tidak perlu disertai pemasangan WSD. Setelah 13 hari,
jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura sehingga
mencegah penimbunan kembali cairan didalam rongga tersebut. Obat lain yang murah dan
mudah didapatkan adalah tetrasiklin.
Pada pemberian obat ini, WSD harus dipasang dan paru sudah dalam keadaan
mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan kedalam 3050 ml larutan garam faal, kemudian
dimasukkan kedalam rongga pleura melalui selang toraks, ditambah dengan larutan garam faal,
kemudian ditambah dengan larutan garam faal 1030 ml untuk membilas selang serta 10 ml
lidokain 2% untuk mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan oleh obat ini. Analgesik narkotik
yang diberikan 11.5 jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna juga untuk mengurangi rasa
nyeri tersebut. Selang toraks diklem selama sekitar 6 jam dan posisi penderita diubah-ubah agar
penyebaran tetrasiklin merata diseluruh bagian rongga pleura. Apabila dalam waktu 24-48 jam
cairan tidak keluar lagi, selang toraks dapat dicabut.10

c) Pembedahan

21
Pleurektomi jarang dikerjakan pada efusi pleura keganasan, oleh karena efusi pleura
keganasan pada umumnya merupakan stadium lanjut dari suatu keganasan dan pembedahan
menimbulkan resiko yang besar. Bentuk operasi yang lain adalah ligasi duktus toraksikus dan
pintas pleuroperitonium, kedua pembedahan ini terutama dilakukan pada efusi pleura keganasan
akibat limfoma atau keganasan lain pada kelenjar limfe hilus dan mediastinum, dimana cairan
pleura tetap terbentuk setelah dilakukan pleurodesis.10

3.1.10 Prognosis

Prognosis efusi pleura bervariasi tergantung pada penyakit yang mendasari.Morbiditas


dan mortalitas pada pasien efusi pleura berhubungan langsung dengan etiologi, stadium penyakit,
dan hasil pemeriksaan biokimia cairan pleura.Pasien dengan efusi pleura maligna biasanya
memiliki prognosis yang buruk.10

3.2 TB Paru

22
3.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis).11

3.2.2 Etiologi dan Epidemiologi


Tuberkulosis di Indonesia merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat,
dimana jumlah penderita TB di Indonesia merupakan urutan ke-3 terbanyak di dunia setelah
India dan China.Indonesia menyumbang sekitar 10% dari seluruh kejadian TB di dunia. Pada
tahun 2004, diperkirakan terdapat 539.000 kasus baru dengan angka kematian 101.000 orang.11
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, penyakit system
pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit system sirkulasi, dan TB
merupakan penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi.12
Sekitar sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi kuman TB. Selain itu,
diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kasus kematian akibat TB terjadi di negara berkembang.
Saat ini, tingginya angka kejadian HIV/AIDS di dunia meningkatkan angka kejadian TB
secara signifikan. Di samping itu, masalah resistensi kuman terhadap obat (multidrug
resistance / MDR) menjadi masalah berat dalam menanggulangi dan menurunkan angka kejadian
TB di dunia.11

3.2.3 Klasifikasi
a) pembagian secara patologis :6
 Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis)
 Tuberkulosis post primer (adult tuberculosis)
b) pembagian secara aktivitas radiologis. Tuberkulosis paru aktif, non aktif, dan quiescent
(bentuk aktif yang mulai menyembuh).6
c) pembagian secara radiologis (luas lesi)
 Tuberculosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrate non kavitas pada satu paru
maupun kedua paru tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
 Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm.
jumlah infiltrate bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya
kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.

23
 Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrate dan kavitas yang melebihi keadaan pada
moderately advanced tuberculosis.

Pada tahun 1974, American Thoracic Society memberikan klasifikasi6


 Kategori 0 : tidak pernah terpajan, tidak terinfeksi, riwayat kontak negative, tes
tuberculin negative.
 Kategori I : terpajan tuberculosis tetapi tidak terbukti ada infeksi. Riwayat kontak positif,
tes tuberculin negative.
 Kategori II : terinfeksi tuberculosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin positif, radiologis
dan sputum negative.
 Kategori III : terinfeksi tuberculosis dan sakit.

Klasifikasi yang banyak digunakan di Indonesia adalah :6


 Tuberculosis paru
 Bekas tuberculosis paru
 Tuberculosis paru tersangka, yang terbagi dalam : a) TB paru tersangka yang diobati.
Sputum BTA negative tetapi tanda lain postif. B) TB paru tersangka yang tidak diobati.
Sputum BTA negative dan tanda lain meragukan.

Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan termasuk TB paru aktif atau
bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan : 1) status bakteriologi, 2) Mikroskopis
sputum BTA (langsung), 3) biakan sputum BTA, 4) status radiologis, 5) status kemoterapi,
riwayat pengobatan dengan obat anti tuberculosis.6
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni :6
Kategori I :
 Kasus baru dengan sputum positif
 Kasus baru dengan bentuk TB berat
Kategori II :
 Kasus kambuh
 Kasus gagal dengan sputum BTA positif

24
Kategori III :
 Kasus BTA negative dengan kelainan paru yang tidak luas
 Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I
Kategori IV : TB kronik.

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:13


1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan
atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan
pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra
paru aktif.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:13


1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB
paru BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

25
c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.13
1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”),
dan atau keadaan umum pasien buruk.
2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan
alat kelamin.
Catatan:
• Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
• Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat
sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya13


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien,
yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.

26
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
6) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.

TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default
maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik,
bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

3.2.4 Patogenesis
Kuman M.tuberculosis dapat masuk melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan
luka terbuka pada kulit. Infeksi TB sering terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet
yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. TB
adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas diperantarai sel. Sel efektor adalah
makrofag dan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsif. Tipe imunitas ini biasanya
lokal melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya.
Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas selular (lambat).1
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit
yang terdiri dari satu sampai tiga basil, gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di
saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada
dalam ruang alveolus, biasanya dibagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah,
basil tuberkel ini membangkitkan reaksi inflamasi. Leukosit polimorfonuklear terdapat pada
tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah
hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi dan timbul pneumonia akut. Pneumonia seluler ini akan sembuh dengan sendirinya

27
sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit
atau berkembang biak di dalam sel.1
Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya
membutuhkan waktu 10-20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang
relative padat dan seperti keju yang disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis
kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast
menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk
jaringan parut kolagenosa yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi
tuberkel.1
Lesi primer paru disebut fokus Ghon dan kumpulan dari kelenjar getah bening regional
yang terserang dan lesi primer disebut kompleks Ghon. Kompleks Ghon yang mengalami
perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang menjalani pemeriksaan radiogram rutin.
Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan yaitu bahan cair lepas ke
dalam bronkus yang berhubungan dan menimbulkan kavitas. Bahan tubercular yang dilepaskan
dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkial. Walaupun tanpa
pengobatan, kavitas yang kecil dapat menutup dan meninggalkan jaringan parut fibrosis. Bila
peradangan mereda, lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut. Penyakit
dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar
getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah yang kecil yang terkadang dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini disebut sebagai penyebaran
limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu
fenomena akut yang biasanya menyebabkan TB milier, ini terjadi jika fokus nekrotik merusak
pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskular dan tersebar ke
organ-organ tubuh.1

3.2.5 Patofisiologi
Tuberkulosis Primer
Penularan TB Paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi
droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas

28
selama 1-2 jam tergantung pada ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan
kelembaban. Dalam suasana yang lembab dan gelap, kuman dapat bertahan berhari-hari sampai
berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada
saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5
mikrometer. Kuman akan direspon pertama kali oleh neutrofil, kemudian oleh makrofag.
Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan
trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.6
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag.
Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh yang lain. Kuman yang bersarang di jaringan paru
akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer
atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar
sampai ke pleura, maka dapat terjadi efusi pleura. Kuman dapat pula masuk melalui saluran
pencernaan, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri
masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk
ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis local)
dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer
limfangitis local dengan limfadenitis regional disebut kompleks primer (Ranke). Semua proses
ini membutuhkan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya akan menjadi :6
 Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang paling sering terjadi.
 Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis fibrotic, kalsifikasi di hilus,
keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >5 mm dan sekitar 10%
diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dorman.
 Berkomplikasi dan menyebar secara : a) perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya,
b) secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Kuman
dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, c) secara
limfogen, ke organ tubuh lain, d) secara hematogen, ke organ lain.
Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang dorman pada tuberculosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa (Tuberkulosis sekunder). Mayoritas
reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti

29
malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberculosis sekunder ini
dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apical-posterior lobus
superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hilus paru.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang
ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia
Langhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan jaringan ikat. TB sekunder juga dapat berasal
dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua. Tergantung dari jumlah kuman,
virulensi, dan imunitas pasien, sarang dini ini menjadi :6
 Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
 Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan sebukan jaringan
fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang
dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat
sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lunak membentuk
jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini
mula-mula berdinding tipis, lama-lama semakin menebal karena infiltrasi jaringan
fibrosis dalam jumlah besar sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya
perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim
yang diproduksi oleh makrofag dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya.
Bentuk perkijuan lain adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi
dan usia lanjut.
Kavitas dapat : a) meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas
ini masuk dalam peredaran darah arteri maka akan terjadi TB milier. Dapat juga masuk ke paru
sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus menjadi TB usus. Sarang ini
selanjutnya mengikuti perjalanan seperti sudah dijelaskan. Bisa juga terjadi TB endobronkial dan
TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura, b) memadat atau membungkus diri sehingga
menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur atau menyembuh atau dapat kembali
aktif menjadi cair dan jadi kavitas lagi.6
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang : 1) sarang yang sudah sembuh. Sarang
tipe ini tidak butuh pengobatan lagi. 2) sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini butuh
pengobatan yang lengkap dan sempurna, 3) sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang
bentuk ini akan sembuh spontan, tetapi sebaiknya diberikan pengobatan sempurna.6

30
3.2.6 Manifestasi Klinis 6,13
Penderita TB akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk berdahak
kronis, demam subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak napas, nyeri dada, dan
penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat menurunkan produktivitas penderita bahkan
kematian. Adapun gejala utama penderita TB yaitu batuk terus-menerus dan berdahak selama
dua sampai tiga minggu atau lebih. Selain itu, gejala yang sering dijumpai yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun
tanpa kegiatan, dan demam meriang lebih dari satu bulan.

3.2.7 Diagnosis 6,13


Infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis bisa menimbulkan efek lokal di bagian tubuh
mana pun atau efek sistemik infeksi kronis.
Anamnesis. Dalam melakukan anamnesis pada pasien TB, diperlukan indeks kecurigaan
yang tinggi terutama pada pasien dengan imunosupresi atau dari daerah endernisnya. Orang yang
terkena TB dpat mengalami banyak gejala, baik gejala local maupun sistemik.
Berikut adalah gejala – gejala yang sering didapatkan dari anamnesis pada penderita TB.
Gejala lokal:
 Batuk
 sesak napas
 hemoptisis
 limfadenopati
 ruam (rnisalnya lupus vulgaris)
 kelainan rontgen toraks
 gangguan GI.

Efek sistemik:
 Demam,
 keringat malam
 anoreksia

31
 penurunan berat badan

Riwayat penyakit dahulu . Pada pasien yang kita curigai menderita TB, pertanyaan –
pertanyaan berikut harus disertakan pada anamnesis riwayat penyakit dulu.
 Pernahkah pasien berkontak dengan pasien TB?

 Apakah pasien mengalarni imunosupresi (kortikosteroid/HIV)?

 Apakah pasien pernah menjalani pemeriksaan rontgen toraks dengan hasil abnormal?
 Adakah riwayat vaksinasi BeG atau tes Mantoux? Adakah riwayat diagnosis TB?

Obat-obatan
Pertanyaan mengenai obat- obatan juga perlu ditanyakan.
 Pemahkah pasien menjalani terapi TB?
 Jika ya, obat apa yang digunakan, berapa lama terapinya
 Bagaimana kepatuhan pasien mengikuti terapi, dan apakah dilakukan pengawasan terapi?

Riwayat keluarga dan sosial


 Adakah riwayat TB di keluarga atau lingkungan sosial?
 Tanyakan konsumsi alkohol, penggunaan obat intravena?
 Riwayat bepergian ke luar negeri.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien sering ditemukan konjunktiva mata
atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (Subfebris), badan kurus atau berat badan
menurun.
Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada
kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang
penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena
hantaran getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai seeara palpasi, perkusi
dan auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan
pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru.

32
Bila dieurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan
auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah,
kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi
vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara
hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan
retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum
atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas
yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah
paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti
terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan tanda-tanda kor
pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift,
right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang
meningkat, hepatomegali, asites, dan edema.
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat
agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan
suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan
didapatkannya kelainan radiologi ada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan
lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih dibandingkan pemeriksaan
sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-
anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal di atas diagnosis dapat diperoleh melalui
pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau
segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di
daerah hilus menyerupai rumor paru (misalnya pada tuberkulosis endobronkial).
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran

33
radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi
sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi
ini dikenal sebagai tuberkuloma.
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis, Lama-lama
dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-
garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.
Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada
sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.
Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya
tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru sdalah penebalan
pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru efusi pleura/empiema), bayangan hitam
radio-Iusen di pinggir paru pleura pneumotoraks).
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus (pada
tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis- garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas (non
sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.
Tuberkulosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, terutama gambaran
radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest imitator. Gambaran infiltrasi dan
tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus atau
karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Di samping itu
perlu diingat juga faktor kesalahan dalam membaca foto. Faktor kesalahan ini dapat mencapai
25%. Oleh sebab itu untuk diagnostik radiologi sering dilakukan juga foto lateral, top lordotik,
oblik, tomografi dan foto dengan proyeksi densitas keras.
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya aktivitas
penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit yang sudah non-aktif,
sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berupa fibrotik, kalsifikasi, kavitas, schwarte,
sering dijumpai pada orang-orang yang sudah tua.
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah bronkografi, yakni untuk
melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberkulosis, Pemeriksaan ini
umumnya dilakukan bila pasien akan menjalani pembedahan paru.
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak dipakai di

34
rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT Scan). Pemeriksaan ini lebih
superior dibanding radiologis biasa. Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan
dapat dibuat transversal.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance Imaging (MRI),
Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat mengevaluasi proses-proses dekat apeks
paru, tulang belakang, perbatasan dada-perut, Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan
koronal.

Pemeriksaan laboratorium
Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang meragukan,
hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan
didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah
lirnfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai
sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah
mulai turun ke arah normal lagi.
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga: 1). Anemia ringan dengan gambaran
normokrom dan normositer; 2). Gama globulin meningkat; 3). Kadar natrium darah menurun,
Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik, Pemeriksaan serologis yang pernah
dipakai adalah reaksi Takahashi.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak. Kriteria
positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. Pemeriksaan ini juga kurang mendapat
perhatian karena angka-angka positif palsu dan negatif palsunya masih besar.
Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga dipakai yakni Peroksidase
Anti Peroksida (pAP-TB) yang oleh beberapa peneliti mendapatkan nilai sensitivitas dan
spesifisitasnya cukup tinggi (85-95%), tetapi beberapa peneliti lain meragukannya karena
mendapatkan angka-angka yang lebih rendah. Sungguhpun begitu PAPTB ini masih dapat
dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila digunakan sebagai sarana tunggal untuk diagnosis TB,
Prinsip dasar uji PAP-TB ini adalah menentukan adanya antibodi IgG yang spesifik terhadap
antigen M.tuberculosis. Sebagai antigen dipakai polimer sitoplasma M. tuberculin var bovis
BCG yang dihancurkan secara ultrasonik dan dipisahkan secara ultrasentrifus. Hasil uji PAP-TB

35
dinyatakan patologis bila pada titer 1: 10.000 didapatkan hasil uji PAP-TB positif. Hasil positif
palsu kadangkadang masih didapatkan pada pasien reumatik, kehamilan dan masa 3 bulan
revaksinasi BCG.
Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama cara dan nilainya dengan uji PAP-TB
adalah uji Mycodol. Di sini dipakai antigen LAM (Lipoarabinomannan) yang dilekatkan pada
suatu alat berbentuk sisir plastik. Sisir ini dicelupkan ke dalam serum pasien. Antibodi spesifik
anti LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan warna pada sisir yang intensitasnya
sesuai dengan jumlah antibodi.

Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis
tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan
evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga
dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat
sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini
dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak + 2
liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan mernberikan tambahan obat-obat
mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila
masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkos-kopi diambil dengan brushing atau
bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat
dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit
mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar rnungkin. .
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman
baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga
sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar. Diperkirakan di Indonesia terdapat 50%
pasien BTA positif tetapi kurnan tersebut tidak ditemukan dalam sputum mereka,
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman
BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam I mL sputum.
Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiarn Hok yang merupakan
modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.
Cara perncriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah :

36
 Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa.
 Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan khusus)
 Pemeriksaan dengan biakan (kultur).
 Pemeriksaan terhadap resistensi obat.
Pemeriksaan dengan mikroskop fluoresens dengan sinar ultra violet walaupun
sensitivitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena pewarnaan yang dipakai (aurarnin-rho-
damin) dicurigai bersifat karsinogenik.
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 mmggu penanaman sputum dalam medium
biakan, koloni kuman tuberkuiosis mulai tampak. Bila setelah 8 minggu penanaman koloni tidak
juga tampak, biakan dinyatakan negatif. Medium biakan yang sering dipakai yaitu Lowenstein
Jensen, Kudoh atau Ogawa.
Saat ini sudah dikembangkan pemeriksa-an biakan sputum BTAdengan cara Bactec
(Bactec 400 Radiometric System), di mana kurnan sudah dapat dideteksi dalam 7-10 hari. Di
samping itu dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat dideteksi 0 A kuman TB
dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi Mituberculosae yang tidak tumbuh pada sediaan
biakan. Dari hasil biakan biasanya dilaku kan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan
idenrifikasi kuman.
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman BTA (positif),
tetapi pada biakan hasilnya negatif. lni terjadi pad a fenomen dead bacilli atau non culturable
bacilli yang disebabkan kcampuhan panduan obat antituberkulosis jangka pendek yang cepat
mcmatikan kuman BTA dalam waktu pendek.
Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan, bahan-bahan
selain sputum dapatjuga diambil dari bilasan bronkus, jaringan paru, pleura, cairan pleura, cairan
lambung, jaringan kelenjar, eairan serebrospinal, urin, dan tinja.

3.2.8 Tatalaksana 6,14

37
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.

A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)


Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
· INH
-Rifampisin
· Pirazinamid
· Streptomisin
· Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
· Kanamisin
· Amikasin
· Kuinolon
· Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam klavulanat
· Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
o Kapreomisin
o Sikloserino
o PAS (dulu tersedia)
o Derivat rifampisin dan INH
o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

Kemasan :
- Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin, pirazinamid dan
etambutol.
- Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.

38
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO.
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan
untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB
primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti
terlihat pada tabel 3.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi

39
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis
terapi dan non toksik.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek
samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu
menanganinya.

B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a) TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau 2 RHZE/ 6HE atau 2 RHZE / 4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk:
- TB paru BTA (+), kasus baru
- TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi
lesi luas (termasuk luluh paru)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji
resistensi
b) TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau : 6 RHE atau 2 RHZE/ 4R3H3
c) TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai
dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat
RHE selama 5 bulan.

40
d) TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6
bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin,
etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat
diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak
terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan. Dapat pula
dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal. Sebaiknya kasus
gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru.
e) TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria sebagai berikut :
 Berobat > 4 bulan
i. BTA saat ini negatif
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT
dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut
untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga
kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan
dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama.
ii. BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan
jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
 Berobat < 4 bulan
i. Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
ii. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan
diteruskan. Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi
terhadap OAT.

f) TB Paru kasus kronik

41
Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.
Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 4
macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon,
betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan. Jika tidak mampu dapat
diberikan INH seumur hidup. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan
kemungkinan penyembuhan. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis
paru.

C. EFEK SAMPING OAT


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan.

42
1. Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.

2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis
ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan.
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus.
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini
terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah
menghilang.
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna
merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus
diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.

3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi
dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi
kulit yang lain.

43
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman,
buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut
tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari
atau 30 mg/kgBB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal
dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak
karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.

5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan
peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien
dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga
mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila
obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka
kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit
kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi)
seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah
suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat
menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil sebab dapat
merusak syaraf pendengaran janin.

D. PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK


Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu
pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan.

44
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan
(pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk
penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan
lain.

2. Pasien rawat inap


Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah masif
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi
rawat.

E. TERAPI PEMBEDAHAN
lndikasi operasi :
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif

45
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap.

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)


· Bronkoskopi
· Punksi pleura
· Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)

F. EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta
evaluasi keteraturan berobat.
a) Evaluasi klinik
 Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya
setiap 1 bulan
 Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
 Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.
b) Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
 Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
 Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik :
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
 Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
c) Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
- Pada akhir pengobatan

46
d) Evaluasi efek samping secara klinik
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap.
Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah ,
serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan. Asam
urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila
menggunakan etambutol (bila ada keluhan). Pasien yang mendapat streptomisin harus
diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan). Pada anak dan dewasa
muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah
evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai
terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya
dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.
e) Evalusi keteraturan berobat
Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya
obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai
penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada
pasien, keluarga dan lingkungannya. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan
timbulnya masalah resistensi.

Kriteria Sembuh
- BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan
telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
- Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
- Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang
dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan
24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12,
24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).

Tujuan pengobatan

47
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap
OAT.

Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT
= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas menelan Obat (PMO).
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu fase intensif dan fase lanjutan.
Tahap Awal (Intensif)
- Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi ecara langsung
untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

48
- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
Tahap Lanjutan
- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama.
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


 Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia:
o Kategori 1: 2 (HRZE) / 4(HR)3
o Kategori 2: 2 (HRZE)S/ (HRZE)/ 5(HR)3E3
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR
 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan
dalam bentuk OAT kombipak.
 Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien.
 Paket kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniazid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi
pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntuntungan dalam pengobatan TB:

49
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan
mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana
dan meningkatkan kepatuhan pasien.

1. KATEGORI 1 (2HRZE/4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien baru TB paru BTA (+)
- Pasien TB paru BTA (-), foto toraks (+)
- Pasien TB ekstra paru

50
3 .OAT Sisipan (RHZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang
diberikan selama sebulan (28 hari). 2

3.2.9 Komplikasi
Komplikasi dibagi atas kompilkasi dini dan lanjut:14
 Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, poncen’t atrhopathy
 Komplikasi lanjut: SOPT, fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, Ca paru, ARDS.

51
3.2.10 Prognosis
Prognosis TB paru tergantung dari derajat berat, kepatuhan pasien, sensitivitas bakteri,gizi,
status imun, dan komorbiditas.14

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, SA. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6. Jakarta :
EGC;2005.)
2. Ahmad, Zen. 2002. Tuberkulosis Paru. Dalam : Hadi H, Rasyid A, Ahmad Z, Anwar J.
Naskah Lengkap Workshop Pulmonology Pertemuan Ilmiah Tahunan IV Ilmu Penyakit
Dalam, Sumbagsel. Lembaga Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI, hlm: 95-119.
3. Herryanto, dkk. 2004. Riwayat Pengobatan Penderita TB Paru Meninggal di Kabupaten
Bandung. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 3 No 1. hlm:1-6.
4. Light RW, et al. Pleural Disease, 5th Ed. Ch.1, Anatomy of the Pleura. Tennessee :
Lippincott Williams & Wilkins, 2007
5. Light RW, et al. Pleural Disease, 5th Ed. Ch.2, Physiology of the Pleural Space.
Tennessee : Lippincott Williams & Wilkins, 2007
6. Halim, Hadi. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam : Sudoyo, Aru W Dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Hal 2329 - 2336. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2009
7. Carolyn J. Hildreth,et.al. Pleural Effusion. The Journal of the American Medical
Association. JAMA, January 21, 2009—Vol 301, No. 3
8. Halim, Hadi. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam : Sudoyo, Aru W Dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Hal 2329 - 2336. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2009
9. Kasper, Braunwald, Et Al. Harrison’s Principles Of Internal Medicine Vol II. 16 th Ed.
2005. Mcgraw-Hill: New York
10. Steven A. Sahn. The Pathophysiology of Pleural Effusions. Department of
Medicine,Division of Pulmonary and Critical Care Medicine, Medical University of
South Carolina, Charleston, South Carolina 29425
11. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, edisi 2. Jakarta : DepartemeN
Kesehatan RI, 2007
12. Konsensus Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia
13. PDPI. 2002. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta.
14. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta. Departemen
Kesehatan RI. 2011.

53

Anda mungkin juga menyukai