Anda di halaman 1dari 126

9

Periode Kanak-kanak Awal (2-6 tahun)

M anak dimulai setelah masa bayi yang penuh ketergan-

tungan', yaitu dari usia sekitar dua tahun hingga usia 12

tahun. Masa anak dibagi menjadi dua periode (Hurlock,

1980), yaitu:

1. Masa anak awal, berlangsung dari usia 2-6 tahun.

2. Masa anak akhir, berlangsung dari usia 6-12 tahun

A. CIRI DAN TUGAS PERKEMBANGAN KANAK-KANAK AWAL

1. Ciri Umum (Hurlock, 1980)

Jmumnya orangtua menganggap masa ini sebagai usia berma-

salah atau usia sulit karena pada masa ini sering terjadi masalah peri-

laku sebagai akibat karena anak sedang dalam proses perkembangan

kepribadian yang unik dan menuntut kebebasan, yang pada umumnya

masih kurang berhasil. Juga anak sering kali bersikap bandel, keras

kepala, tidak menurut, melawan, dan marah tanpa alasan. Sering juga

dianggap sebagai usia bermain karena anak senang menghabiskan se-

bagian besar waktunya untuk bermain.

Para pendidik menyebut masa ini sebagai usia prasekolah kare-

na merupakan saat anak mengikuti taman indria atau taman kanak-

kanak dan masa persiapan untuk memulai pendidikan formal di kelas

satu sekolah dasar


Psikolog sering menyebut sebagai usia prakelompok karena anak-

anak mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan untuk

penyesuaian diri saat masuk sekolah dasar. Disebut juga sebagai usia

menjelajah dan usia bertanya karena anak-anak ingin mengetahui

keadaan lingkungannya, dan dalam upaya menjelajahi lingkungannya

ini mereka banyak bertanya. Pada masa ini, anak-anak juga senang

meniru pembicaraan dan tindakan orang lain sehingga disebut usia

meniru. Anak juga lebih menunjukkan kreativitasnya dalam bermain

dibandingkan masa-masa lain dalam kehidupan sehingga disebut usia

kreatif.

2. Tugas Perkembangan Kanak-kanak Awal

Menurut Havighurst (dalam Mokns dkk., 2001), tugas-tugas per-

kembangan pada masa kanak-kanak awal. yaitu:

a. Mencapai stabilitas fisiologis.

b. Belajar berbicara/berbahasa.

C. Belajar mengatur dan mengurangi gerak gerik tubuh yang tidak

perlu.

d. Belajar mengenal perbedaan dan aturan-aturan jenis kelamin de-

ngan ciri-cirinya.

e. Membentuk konsep-konsep sederhana mengenai realitas sosial

dan realitas fisik.

f. Belajar tentang benar-salah, perkembangan kata hati (hati nurani).

Dengan memahami tugas-tugas perkembangan ini diharapkan

lingkungan (terutama orangtua dan orang-orang dewasa di sekeliling-


nya) melakukan intervensi untuk mengarahkan dan membantu anak

mencapai tugas perkembangan sesuai dengan usianya. Hendaknya

lingkungan tidak mengharapkan anak harus mencapai kemampuan

yang melebihi dari tugas perkembangannya, karena harapan yang ti

dak sesuai dengan tugas perkembangannya merupakan bahaya poten-

sial, yaitu dapat menghambat proses perkembangan anak.

B. PERKEMBANGAN FISIK

Pada masa kanak-kanak awal, pertumbuhan fisiknya tidak secepat

masa bayi atau sebelumnya, tetapi ada banyak kemampuan fisik yang

makin berkembang baik pada masa ini terutama dari segi kualitasnya.

Ada kemajuan dalam perkembangan otot, sistem sarat, dan koordi-

nasi motoriknya sehingga anak dapat melakukan berbagai kegiatan

yang lebih tinggi tingkatannya, yang selanjutnya akan meningkatkan

kemampuan kognitif, sosial, dan emosinya. Pola pertumbuhan berva-

riasi pada setiap anak karena ada berbagai faktor yang memengaruhi,

antara lain faktor bawaan, kurangnya hormon pertumbuhan, gizi bu-

ruk, infeksi kronis, dan gangguan emosional. Namun seiring dengan

kemajuan dalam dunia kedokteran, sebenarnya berbagai hambatan ini

masih dapat diatasi dengan baik sehingga pertumbuhan berikutnya

dimungkinkan berlangsung dengan baik juga.

Berikut ini dijelaskan perkembangan fisik pada masa anak awal

secara lebih terperinci (Hurlock, 1980; Monks dkk., 2001; Papalia

dkk., 2002; Santrock, 2007).


1. Tinggi dan Berat Badan

Bila pertumbuhan bayi pada tahun pertama sangat cepat, maka

pada tahun kedua mulai agak melambat. Pertambahan tinggi pada

masa ini rata-rata 2, 5 inci setiap tahun dan berat badan bertambah

5-7 pon per tahun; dan anak perempuan sedikit lebih pendek dan

lebih ringan daripada anak laki-laki. Tinggi badan seseorang sa-

ngat tergantung pada asal usul etnis/ras, faktor gizi dan kesehatan,

jenis kelamin, dan perbedaan individual. Belum ada statistik per-

tumbuhan tinggi dan berat anak-anak Indonesia. Menurut Papa

lia dkk. (2002), tinggi badan pada masa anak-anak awal bertam-

bah sekitar 2-3 inci dan beratnya bertambah 4-6 pon setiap tahun.

Menurut Monks dkk. (2007), pada usia enam tahun keseimbangan

badan anak relatif telah berkembang dengan baik. Anak makin dapat

menjaga keseimbangan badannya, misalnya senang berjalan di atas

dinding atau pagar. Juga penguasaan badannya lebih baik seperti

membongkok, melakukan macam-macam latihan senam dan aktivi-

tas olah raga. Demikian pula telah berkembang baik koordinasi antara

mata dan tangan visio-motorik yang dibutuhkan untuk membidik,

menyepak, melempar, dan menangkap.

2. Proporsi Tubuh

Selama masa ini, tubuh anak akan mengalami perubahan. Secara

perlahan tubuhnya menjadi lebih langsing dan kaki serta tangannya

mulai memanjang. Pada awal masa ini ukuran kepalanya masih tetap

besar jika dibandingkan tubuhnya, namun pada akhir masa ini ukur-
an kepalanya tidak lagi terlalu besar. Penampilan seperti bayi mulai

menghilang. Lemak di tubuhnya mulai berkurang sehingga pada akhir

masa usia prasekolah ini tubuh anak akan tampil lebih ramping

Proporsi badan dan jaringan urat daging dapat dikatakan tetap

sampai kurang lebih tahun kelima. Sekitar tahun kelima ini, mulai-

lah masa yang oleh Zeller disebut sebagai Gestaltwandel, yang berarti

bahwa anak yang semula mempunyai kepala yang relatif besar dan

anggota badan yang pendek akan mulai memiliki proporsi badan yang

seimbang. Anggota-anggota badannya menjadi lebih panjang, perut

nya mengecil, dan kepalanya dibandingkan dengan bagian badan yang

lain telah tampak mendapatkan proporsi yang normal (Monks dkk.,

2001).

3. Perkembangan Motorik

Anak-anak usia 2-6 tahun mengalami kemajuan pesat dalam kete-

rampilan motorik, baik keterampilan motorik kasar yang melibatkan

otot-otot besar, seperti berlari, melompat, memanjat (walking. hop

ping jumping), dan keterampilan motorik halus sebagai hasil koor-

dinasi otot-otot kecil dengan mata dan tangan seperti menggambar,

menggunting dan menempelkan kertas. Menurut Santrock (1995;

2007) perkembangan keterampilan motorik kasar dan halus pada

masa kanak-kanak awal adalah sebagai berikut:

a. Keterampilan Motorik Kasar (Gross Motoric Skills)

Pada usia kira-kira 2,5-3 tahun, anak mulai dapat melompat de-
ngan kedua kakinya, yang sebelumnya tidak bisa dilakukan karena

berkaitan dengan kematangan otot-ototnya. Juga anak sudah dapat

berlari ke sana kemari, tetapi belum mampu berhenti dengan tiba-tiba

atau membalik. Aktivitas-aktivitas ini merupakan sumber kebanggaan

bagi anak. Sekitar usia empat tahun sudah menguasai cara berjalan

orang dewasa dan sudah dapat lari, berhenti dan berputar membalik.

Kemampuan berlari anak seperti orang dewasa dan berlari dalam akti-

vitas permainan, dapat dilakukan pada sekitar usia 5-6 tahun. Pada

usia empat tahun ini anak juga sudah mampu berdiri di atas satu kaki

dan menangkap bola yang dilemparkan kepadanya. Bila saat usia tiga

tahun dapat melompat dengan jarak sejauh 15-24 inci (38-60 cm),

maka saat usia empat tahun dapat melompat sejauh 24-33 inci (60-83

cm). Usia sekitar lima tahun, makin menyukai kegiatan petualangan

misalnya memanjat dengan tangkas, berlari dan melompat, dan me

nyenangi aktivitas balapan dengan teman-temannya atau orangtuanya.

Masa kanak-kanak awal merupakan masa di mana anak-anak

senang bergerak. Saat terjaga hampir seluruh waktunya digunakan

untuk bergerak, seperti berlari, memanjat, melompat, melempar, me-

naiki tangga, menggantung, menggambar, dan lain lain. Dari seluruh

rentang kehidupan, kegiatan bergerak yang paling banyak atau tinggi

frekuensinya adalah pada usia tiga tahun. Mereka tampak gelisah (ba-

nyak bergerak) saat menonton televisi, saat sedang di meja makan,

bahkan ketika tidur pun mereka bergerak-gerak. Saat usia tiga tahun

ini anak-anak sangat menikmati gerakan-gerakannya, seperti meloncat

dan berlari ke sana kemari, hanya demi kesenangan murni melakukan


aktivitas tersebut dan sebagai sumber kebanggaan. Pada usia empat

tahun, anak-anak masih senang melakukan aktivitas yang sama, tetapi

mereka menjadi lebih suka berpetualang. Aktivitas dilakukan secara

lebih tangkas dan menunjukkan kemampuan atletisnya. Dengan akti-

vitas yang tinggi, anak-anak di usia prasekolah ini perlu melakukan

olahraga yang sesuai dengan usianya, menari, dan aktivitas lain yang

positif dan bermanfaat. Olahraga yang sesuai merupakan ajang bagi

anak-anak untuk belajar berkompetisi, meningkatkan harga diri, serta

mengembangkan hubungan dan persahabatan dengan teman sebaya.

Saat usia sekitar lima tahun, anak makin menyukai jenis kegiatan pe-

tualangan serta makin percaya diri dan berani melakukan adegan yang

menakutkan, seperti memanjat tinggi, berlari cepat, dan menyukai

racing (balapan) bersama dengan teman sebayanya.

b. Keterampilan Motorik Halus (Fine Motoric Skills)

Dibandingkan dengan pada masa bayi, keterampilan motorik

halus pada masa anak awal ini sudah meningkat. Pada usia tiga tahun

telah mampu memegang benda berukuran kecil di antara ibu jari dan

telunjuk, walaupun masih agak kaku. Juga sudah dapat membangun

menara dari balok-balok meski belum dalam posisi tegak lurus. Bila

memasang potongan gambar dari permainan puzzle, gerakannya ma

sih kasar dan sering kali memaksakan potongan gambar walau kurang

pas/cocok dengan tempatnya. Pada usia empat tahun, koordinasi mo

torik halusnya sudah mengalami kemajuan dan gerakannya sudah

lebih tepat, bahkan cenderung ingin sempurna dalam melakukan se-


suatu, misalnya dalam menyusun balok-balok, sehingga mereka suka

membongkar lagi balok-balok yang sudah disusun sebelumnya. Saat

usia lima tahun koordinasi motorik anak makin sempurna. Tangan,

lengan, dan jarinya semua bergerak bersama di bawah perintah mata.

Bila menyusun balok-balok, anak tidak lagi membuat menara secara

sederhana, yaitu dengan menyusun/menumpuk balok secara lurus

saja, tetapi anak ingin membangun sesuatu yang lebih lengkap/kom

pleks, seperti rumah atau gedung dengan menaranya. Pada usia enam

tahun, anak sudah dapat mengikat tali sepatunya, menggunakan mar

tillpukul besi, mengelem kertas, dan merapikan bajunya sebagai aki-

bat proses myelinisasi yang meningkat di sistem saraf pusat. Myelin-

isasi merupakan proses menutupi akson dengan selaput myelin, yang

beretek pada meningkatnya kecepatan berjalannya intornmasi dari satu

neuron ke neuron lainnya.

C. Perbedaan Jenis Kelamin dan Keterampilan Motorik

Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbedaan kemampu-

an motorik pada anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki

umumnya lebih unggul dalam keterampilan yang berkaitan dengan

throwing dan striking, sedangkan anak perempuan pada keterampilan

seperti skipping, galloping, dan hopping (Amri, 2010).

4. Perkembangan Otak

Walaupun tidak sepesat masa bayi, otak terus bertumbuh pada

masa kanak-kanak awal. Saat berusia tiga tahun, ukuran otaknya


sudah tiga perempat orang dewasa, dan pada usia lima tahun sudah

mencapai 9/10 ukuran otak orang dewasa. Dibandingkan bagian tu

buh yang lain, otak dan kepala bertumbuh lebih pesat. Bagian atas tu-

buh seperti kepala, mata, dan otak bertumbuh lebih pesat dari pada

bagian bawah. Pada usia lima tahun, saat otak anak telah mencapai

90 persen berat otak orang dewasa, maka berat badan total anak usia

5 tahun hanya sekitar sepertiga dari beratnya pada saat anak menca-

pai usia dewasa. Meningkatnya kematangan otak yang disertai dengan

kesempatan untuk memperoleh stimulasi/pengalaman dari luar, akan

memberikan sumbangan yang luar biasa terhadap perkembangan ke-

mampuan kognitif anak.

5. Gizi Seimbang pada Masa Kanak-kanak Awal

Pemberian gizi seimbang pada anak-anak sangat penting dilaku-

kan untuk mendukung perkembangannya secara optimal. Sejak janin

di dalam kandungan, makanan bergizi merupakan hal yang penting

diberikan karena pertumbuhan fisik yang baik sangat tergantung pada

gizi makanannya. Demikian juga di masa kanak-kanak awal, walau-

pun biasanya nafsu makan anak berkurang, faktor gizi dalam makanan

harus diperhatikan. Pada masa ini yang penting adalah menumbuh-

kan kebiasaan makan berbagai macam makanan yang bergizi karena

akan memengaruhi pertumbuhan rangka/tulang, bentuk tubuh, per

tumbuhan otak, dan kerentanan terhadap penyakit.

Kebiasaan makan anak sangat dipengaruhi oleh kebudayaan se-

tempat dan gaya hidup keluarga. Adapun pemilihan jenis makanan

untuk anak (dan seluruh keluarga) biasanya ditentukan oleh ibu. Jika
ibunya tidak menyukai buah-buahan, akan cenderung jarang me-

nyiapkan buah-buahan di rumah sehingga anak juga tidak terbiasa

makan buah. Hal ini perlu diperhatikan terutama oleh para ibu, bahwa

pengaturan menu bervariasí dan bergizi yang seimbang sangat diper

lukan anak untuk pertumbuhan yang sehat dan optimal.

Kecenderungan pada orang awam yang menyatakan bahwa anak-

anak yang berbadan gemuk adalah anak yang kecukupan gizi dan

sehat, saat ini harus dibuang. Kegemukan merupakan problem yang

serius pada masa kanak-kanak awal. Kegemukan akan menyulitkan

anak untuk bergerak, padahal pada umumnya anak-anak di usia ini

senang bergerak. Santrock (1995) menyatakan bahwa kegemukan

dapat dicegah bila orang tua memberi dan memilih makanan untuk

anak-anaknya tidak berdasar "makanan sebagai bukti kasih sayang

atau hadiah atas perilaku baik, tetapi lebih didasarkan pada "makanan

sebagai suatu cara untuk memenuhi kebutuhan tubuh dan gizi me-

reka:"

Gizi yang baik berhubungan erat dengan kesehatan anak. Menu-

rut Grant (Papalia dkk., 2002), satu dari setiap tiga kematian di dunia

ialah kematian anak di bawah usia lima tahun. Setiap minggu lebih

dari seperempat juta anak meninggal dunia di negara-negara berkem-

bang karena infeksi dan kekurangan gizi. Oleh karena itu, perhatian

terhadap kesehatan anak harus ditingkatkan selain dengan pemberian

makanan bergizi seimbang juga orangtua perlu membatasi jarak kela-

hiran, merawat kehamilan dengan baik, memberi ASI (minimal sam

pai dengan usia 6 bulan), pemberian imunisasi lengkap sesuai dengan


usianya, memberi makanan khusus selama dan setelah sakit, dan me-

meriksakan berat badan anak secara teratur.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gizi yang baik dan seim-

bang berefek positif bagi seluruh aspek perkembangan anak. Studi lon-

gitudinal oleh Liu dkk. (Santrock, 2007) tahun 2003 pada anak Ameri-

ka yang kurang gizi di usia tiga tahun, menunjukkan kecenderungan

perilaku yang lebih agresif dan hiperaktif saat anak berusia delapan

tahun, memiliki masalah eksternal yang lebih banyak di usia 1l tahun,

dan menunjukkan perilaku motorik yang berlebihan di usia 17 tahun.

Oleh karena itu, saat ini penting diperhatikan pola makan yang se-

hat dan pemberian makanan bergizi seimbang pada anak, karena apa

yang dimakan anak akan memengaruhi kesehatan fisik dan perkem-

bangan psikisnya. Sering kali pemberian makanan sebenarnya cukup

bahkan berlebih tetapi tidak memenuhi gizi yang seimbang. Seperti

problem kebiasaan makan yang buruk dan kelebihan berat badan pada

anak-anak di Amerika Serikat saat ini yang penyebabnya adalah ke-

biasaan makan cepat, makan berlebihan, dan makan makanan cepat

saji yang penuh lemak. Dari pengamatan, hal ini juga banyak terjadi

pada anak-anak Indonesia yang makin banyak memiliki kebiasaan

makan makanan cepat saji, berlemak, banyak duduk, menonton

televisi atau membuka komputer, dan melakukan sedikit olahraga.

Demikian pula kegemukan (obesitas) pada anak-anak yang lebih be-

sar, meningkatkan risiko anak mengalami masalah medis dan psikolo-

gis, antara lain masalah paru-paru, sakit pinggang, diabetes, tekanan

darah tinggi dan tingkat kolesterol dalam darah meningkat, harga diri
rendah, depresi, serta cenderung menjadi korban dan pelaku bulying

(Santrock, 2007).

6. Pertumbuhan Gigi

Pada usia sekitar 2-2,5 tahun anak telah mempunyai 20 gigi susu,

dan rata-rata anak usia enam tahun mempunyai gigi tetap 1-2 buah.

Pertumbuhan gigi dan perawatannya juga perlu diperhatikan, karena

gigi mempunyai efek psikologis. Gigi yang bertumbuh dengan baik

dan terawat dapat memengaruhi kepribadian diri yang baik pada anak

dan sebaliknya gigi yang pertumbuhannya tidak baik akan memenga-

ruhi penampilan dan dapat membuat anak menjadi minder. Pada usia

tiga tahun biasanya gigi susu sudah lengkap sehingga memungkinkan

anak untuk mengunyah makanannya dengan baik, oleh karena itu

anak perlu diperkenalkan pada berbagai macam makanan padat. Pada

usia 6-7 tahun, gigi tetap mulai muncul menggantikan gigi susu secara

bergantian.

Dewasa ini sedang menjadi tren yaitu perawatan gigi untuk esteti-

ka, misalnya dengan pemasangan kawat gigi, pemutihan, dan bentuk

bentuk perawatan lainnya dengan tujuan untuk merapikan gigi yang

pertumbuhannya tidak teratur, terutama pada remaja. Tetapi karena

biayanya yang mahal, tentu lebih baik merawat gigi sejak anak-anak,

bahkan seharusnya dimulai dari sejak awal, yaitu kesehatan prima bagi

ibu yang akan hamil dan gizi seimbang pada ibu hamil. Anak perlu

dibiasakan menggosok giginya secara teratur dan benar serta meme

riksakan gigi pada dokter gigi minimal enam bulan sekali agar bila
ada penyakit gigi dan/atau pertumbuhan gigi yang tidak teratur dapat

Segera diatasi.

Makna Psikologis Gigi

Makin lama orang makin menyadari bahwa gigi tidak hanya di-

perhatikan kesehatannya saja, misalnya agar gigi tidak berlubang, ti

dak linu, dan tidak mempunyai plak. Kini penting juga diperhatikan

yang berkaitan dengan keindahan dan kerapian gigi, misalnya apakah

bentuknya tonggos, jarang-jarang letaknya, tidak beraturan, dan lain

lain. Hurlock (1980) menyatakan bahwa kemungkinan besar gigi juga

memengaruhi perilaku anak dalam beberapa aspek, yaitu:

a. Berpengaruh terhadap emosi, terutama saat gigi akan tumbuh,

pergantian dari gigi susu ke gigi tetap, dan bila ada gangguan/pe-

nyakit gigi.

b. Berpengaruh terhadap penampilan. Pertumbuhan gigi yang ti-

dak baik dapat memengaruhi penampilan, terutama memengaruhi

saat anak menjelang remaja karena sudah menyadari pentingnya

penampilan diri. Gigi yang letaknya tidak teratur dapat membuat

remaja menjadi malu atau minder.

C. Berpengaruh terhadap pengucapan kata. Pengucapan kata-kata

yang tidak jelas/tidak benar yang terjadi pada anak-anak biasanya

karena disebabkan ompongnya gigi karena saat gigi susu tanggal,

gigi tetap belum muncul. Pengucapan demikian bila berlangsung

lama akan menetap dan dapat menjadí kebiasaan, yang dapat me-

nyebabkan anak diejek oleh teman-temannya dan dapat meme-


ngaruhi munculnya rasa malu atau rendah diri.

C. PERKEMBANGAN KOGNITIF

Pada usia ini, cara berpikir anak ditandai dengan kreativitas, be

bas, dan penuh imaginasi/daya khayal. Hal ini tampak pada gambar-

gambar yang dibuat, misal: menggambar langit dengan warna hijau,

pohon warna ungu, dan mobil berjalan di atas awan. Perkembangan

kognitif dapat ditinjau melalui beberapa teori. Sebelum membahas

tentang perkembangan kognitif pada periode kanak-kanak awal akan

dipaparkan terlebih dahulu teori perkembangan kognitif dari Piaget.

1. Perkembangan Kognitif Menurut Piaget

Salah satu teori perkembangan kognitif yang terkenal yaitu dari

Jean Piaget (1896-1980). Piaget membagi menjadi empat tahap yang

masing-masing memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Stadium/tahap sensori-motorik (0-2 tahun), karakteristiknya:

1) Inteligensi tampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai res-

pons stimulasi sensorik.

2) Awalnya refleks, kemudian ada diferensiasi yang jelas antara

subjek dan objek.

3) Terjadinya permanensi objek.

4) Ada proses desentrasi.

b. Stadium/tahap pra operasional (2-7 tahun):

1) Penguasaan bahasa yang sistematis.

2) Permainan simbolis.
3) Imitasi (tidak langsung).

4) Bayangan dalam mental.

5) Berpikir egosentris.

6) Centralized (memusat).

7) Irreversible (tidak dapat dibalik).

8) Terarah statis.

c. Stadium/tahap operasional konkret (7-11 tahun}:

1) Egosentris berkurang.

2) Desentrasi bertambah.

3) Reversibilitas.

4) Aktivitas logis (tetapi konkret).

5) Seriasi (mengatur secara serial).

6) Klasifikasi.

7) Konservasi.

d. Stadium/tahap operasonal formal (11 tahun ke atas):

1) Hipotesis deduktif.

2) Akomodatif dan fleksibel

3) Berpikir proposisional.

4) Berpikir kombinatoris.

2. Perkembangan Kognitif Masa Kanak-kanak Awal (2-7 Tahun)

Berikut ini adalah gambaran perkembangan kognitif pada masa

kanak-kanak awal, ditinjau dari beberapa teori.

a. Teori Piaget
Berdasarkan tahap perkembangan kognitif Piaget, maka pada

masa kanak-kanak awal ini ada pada tahap pra-operasional. Disebut

tahap pra-operasional karena pada masa ini anak belum siap untuk

terlibat dalam operation atau manipulasi mental yang mensyaratkan

pemikiran logis.

Menurut Piaget, pada tahap ini pemikiran anak makin kompleks

dan mampu menggunakan pemikiran simbolis. Pada berpikir sim-

bolis, anak mengembangkan kemampuan untuk membayangkan se

cara mental suatu objek yang tidak ada. Kemampuan untuk berpikir

simbolis semacam itu disebut fungsi simbolis. Anak-anak prasekolah

menunjukkan fungsi simbolis melalui imitasi tertunda (defjered imi

tation), bermain sandiwara (pretend play), dan kemampuan menggu-

nakan sistem simbol (kata) untuk komunikasi (Papalia dkk., 2008).

Demikian juga dijelaskan Monks dkk. (2001), tahap pra-operasional

dimulai dengan penguasaan bahasa yang sistematis, permainan sim

bolis, imitasi (tertunda/tidak langsung), dan bayangan dalam mental.

Semua proses ini menunjukkan bahwa anak sudah mampu melakukan

tingkah laku simbolis. Anak tidak lagi bereaksi begitu saja terhadap

stimulus-stimulus, melainkan sudah tampak adanya suatu aktivitas

internal.

Piaget membagi perkembangan kognitif tahap pra-operasional ini

menjadi dua bagian, yaitu:

1) Umur 2-4 tahun, dicirikan oleh perkembangan pemikiran simbo

lis, yaitu berupa gambaran dan bahasa ucapan.

2) Umur 4-7 tahun, dicirikan oleh pemikiran intuitif.


Ciri pemikiran yang lain adalah masih egosentris. Egosentrisme

adalah suatu ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektit

dirinya dengan perspektif orang lain. Percakapan telepon berikut ini

antara Mary yang berusia empat tahun di rumah dengan ayahnya di

kantor, menunjukkan pemikiran egosentris Mary (Santrock, 1995).

Ayah Mary, ibumu ada?

Mary =(mengangguk sambil diam)

Ayah = Mary, bisa ayah bicara dengan ibu?

Mary (mengangguk)

Pemikir yang tidak egosentris tentu akan menjawab secara verbal.

Tetapi, Mary yang masih egosentris berpikir menurut pandangannya

sendiri. Dia menganggap ayahnya dapat melihatnya memberi angguk-

an kepala yang berarti "ya.

Menurut Wadsworth (Suparno, 2001), bila seorang anak bertemu

dengan pandangan yang berlawanan, ia berpikir bahwa orang lainlah

yang salah, sedangkan pikirannya sendiri yang benar. Ini tidak berarti

bahwa seorang anak memang menginginkan menjadi egosentris, kare-

na ia sendiri tidak tahu bahwa pikirannya egosentris. Egosentrisme ini

menjadi bagian perkembangan anak yang menandakan bahwa ada

kekurangan diferensiasi (pembedaan) dalam pemikirannya. la belum

dapat membedakan pemikirannya sendiri dan pemikiran orang lain.

Bentuk pemikiran pra-operasional yang lain adalah animisme,


yaitu keyakinan bahwa objek yang tidak bergerak mempunyai "ke-

hidupan" dan dapat bertindak. Contohnya, anak memperlihatkan ani

misme dengan berkata: "Pohon itu mendorong daunnya dan daunnya

jatuh" (Santrock, 1995).

Pada usia 4-7 tahun, anak masuk dalam tahap pemikiran intui-

tif, yaitu anak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin tahu

jawaban atas semua pertanyaan. Anak mengatakan mengetahui sesu-

atu, tetapi mengetahuinya tanpa menggunakan pemikiran rasional

(lebih bersifat intuitif daripada logis). Menurut Elkind (Santrock,

1995), karakteristik lain anak-anak pada tahap pra-operasional ialah

tahun cenderung mengatakan nama angka (satu sampai enam) tetapi

tidak mengatakan berapa jumlah keseluruhan barang tersebut (enam).

Dengan kata lain, anak pada usia tersebut tampaknya belum mema-

hami prinsip ordinalitas atau mereka mungkin mengalami kesulitan

untuk mengaplikasikan atau menginterpretasikannya.

Pada usia lima tahun, sebagian besar anak dapat menghitung ang-

ka hingga 20 atau bahkan lebih dan mengetahui ukuran relatif angka 1

sampai 10 serta dapat melakukan penambahan dan pengurangan digit

tunggal. Secara intuitif, anak-anak memikirkan strategi untuk melaku-

kan penambahan dan pengurangan dengan menghitung mengguna

kan jari-jarinya atau dengan menggunakan objek lain seperti lidi atau

benda-benda lain.

b. Teori Pemrosesan Informasi

Tidak seperti Piaget yang mempelajari tahap-tahap perkembangan


kognitif yang dilalui oleh anak-anak, teori pemrosesan informasi me-

ninjau dari segi proses-proses kognitif yang berkaitan dengan:

1) Perhatian

Kemampuan anak untuk memusatkan perhatian berubah secara

signifikan selama tahun-tahun prasekolah. Bila sebelum usia dua ta-

hun anak sangat mudah beralih dari satu kegiatan ke kegiatan lain,

maka-anak prasekolah sudah mampu memusatkan perhatian dan pi-

kirannya dalam rentang waktu yang agak panjang pada suatu kegiatan,

misalnya saat bermain balok-balok kecil (permainan lego), bermain

boneka, dan melihat televisi. Namun perhatian mereka masih terpusat

pada hal-hal yang menarik perhatian dan bukan pada dimensi yang

relevan untuk memecahkan masalah atau mengerjakan tugas dengan

baik. Baru setelah usia 6-7 tahun, perhatiannya menjadi lebih baik/

efisien, yaitu hanya memerhatikan hal-hal yang ada kaitannya dan re-

levan dengan tugas yang diberikan, dan bukan pada penampilan atau

yang tampak/menonjol saja.

2) Memori (Ingatan)

Penelitian Nancy Myers dkk. pada 1987 (Santrock, 1995) mene-

mukan bahwa pengalaman seorang bayi usia enam bulan ternyata

masih dapat diingat oleh bayi hingga dua tahun kemudian apabila

peristiwanya diulang kembali. Tetapi menurut Santrock (1995), dapat

dikatakan anak-anak dan orang dewasa hanya mampu mengingat se-

dikit atau tidak ingat lagi akan peristiwa-peristiwa yang dialami se


belum usia tiga tahun. Berkaitan dengan hal ini Papalia dkk. (2002)

mengemukakan bahwa pada usia kanak-kanak, kemampuan untuk

mengenal kembali (recognition) sudah lebih baik dibandingkan de-

ngan pada masa usia dua tahun, sedangkan kemampuan untuk me-

nampilkan kembali (recall) masih sangat kurang. Kedua kemampuan

ini baru akan mengalami kemajuan pesat pada usia sekitar lima tahun.

Percobaan yang dilakukan oleh Dempster pada 1981 (Santrock,

1995) berkaitan dengan ingatan jangka pendek, yaitu dengan mem-

berikan tugas rentang ingatan, yaitu mengulang angka-angka yang

sebelumnya disebutkan oleh tester. Hasilnya menunjukkan bahwa

ingatan jangka pendek (short term memory) meningkat selama masa

kanak-kanak awal. Rentang ingatan anak-anak usia 2-3 tahun adalah

sekitar 2 digit, dan usia tujuh tahun sekitar 5 digit. Tetapi antara usia

7-13 tahun, rentang ingatan meningkat hanya 1,5 digit.

3) Analisis Tugas

Menurut para pakar psikologi pemrosesan informasi, apabila

tugas-tugas dibuat menarik dan sederhana, maka ada kemungkinan

anak-anak menunjukkan kematangan kognitif yang lebih besar dari

pada yang dikemukakan oleh Piaget. Penelitian Hawkins pada 1984

(Santrock, 1995) menunjukkan bahwa anak-anak prasekolah dapat

berpikir tentang 'silogisme" yaitu masalah penalaran yang terdiri atas

dua premis atau pernyataan yang dianggap benar

4) Pikiran Anak
Kesadaran bahwa pikiran itu ada, ternyata telah dimiliki oleh

anak walaupun masih terbatas. Perkembangan pengetahuan pertama

adalah mengetahui bahwa pikiran itu ada. Pada usia 2-3 tahun, pikiran

anak-anak mengacu pada kebutuhan, emosi, dan keadaan mentalnya.

Sebagai contoh:

"Aku membutuhkan ibu

"Ani merasa sedih

"Aku lupa bonekaku"

Menurut Wellman tahun 1988 (Santrock, 1995), pada usia sekitar

2-3 tahun anak-anak mengembangkan pengetahuan bahwa manusia

dapat dikaitkan secara kognitif" dengan objek dan peristiwa di du-

nia luar. Anak-anak ini juga telah mengembangkan suatu pemaham-

an bahwa pikiran terpisah dari dunia fisik. Anak-anak telah mampu

memahami bahwa pikiran berbeda dari batu karang, sepatu roda, dan

bahkan kepala.

C. Teori Lev Vygotsky

Sama halnya dengan Piaget, Vygotsky juga menekankan bahwa

anak-anak secara aktif menyusun pengetahuan mereka sendiri. Tetapi

menurut Vygotsky, fungsi mental memiliki koneksi sosial. Anak-anak

mengembangkan konsep-konsep lebih sistematis, logis, dan rasional

sebagai akibat percakapan dengan orang lain yang ahli. Jadi menu-

rut Vygotsky, orang lain dan bahasa memegang peran penting dalam
perkembangan kognitif anak (Santrock, 2007). Vygotsky mengenalkan

konsep zona perkembangan proksimal (zone of proximal develop

ment, ZPD) dan scaffolding.

) Zone of Proximal Development (ZPD)

Penekanan Vygotsky pada ZPD menegaskan keyakinan tentang

pentingnya pengaruh sosial (khususnya pengajaran) pada perkem-

bangan kognitif dan peran pengajaran dalam perkembangan anak

(Steward, 1994, dalam Santrock, 1995; Santrock, 2007).

Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development,

ZPD) ialah istilah Vygotsky untuk tugas-tugas yang terlalu sulit un-

tuk dikuasai sendiri oleh anak-anak, tetapi yang dapat dikuasai dengan

bimbingan dan bantuan dari orang-orang dewasa atau anak-anak yang

lebih terampil/terlatih. Batas bawah ZPD ialah tingkat pemecahan ma

salah yang dicapai oleh seorang anak yang bekerja secara mandiri, se-

dangkan batas atas ZPD jalah level tanggung jawab tambahan yang

dapat diterima oleh anak dengan bantuan seorang instruktur yang

mampu. Dialog merupakan alat yang penting dalam ZPD. Contoh

penerapan konsep ZPD adalah pembelajaran cara berjalan pada anak-

anak, pengajaran matematika, dan membaca.

2) Scaffolding

Istilah yang digunakan Vygotsky untuk mendeskripsikan perubah-

an dukungan selama sesi pembelajaran, di mana orang yang lebih te-

rampil mengubah bimbingan sesuai tingkat kemampuan anak. Ketika

murid belajar tugas yang baru, orang yang lebih ahli menggunakan in-
struksi langsung. Setelah kompetensi murid meningkat, pendamping-

an dikurangi (Santrock, 2007).

3. Bahasa dan Pemikiran

Menurut Vygotsky, struktur mental atau kognitif anak terbentuk

dari hubungan di antara fungsi-fungsi mental. Bahasa dan kognitif

pada mulanya berkembang sendiri-sendiri, tetapi pada akhirnya ber-

satu/bergabung pada usia sekitar 3-7 tahun.

Ada dua prinsip yang memengaruhi penyatuan pemikiran dan ba-

hasa, yaitu pertama, semua fungsi mental memiliki asal usul eksternal

atau sosial. Anak-anak harus menggunakan bahasa dan mengomuni-

kasikannya kepada orang lain sebelum mereka berfokus ke dalam

proses mental mereka sendiri. Kedua, anak-anak harus berkomunikasi

secara eksternal dan menggunakan bahasa selama periode waktu yang

lama sebelum transisi dari kemampuan berbicara secara eksternal ke

internal berlangsung.

4. Kebudayaan dan Masyarakat

Vygotsky menekankan bahwa pikiran anak berkembang dalam

konteks dunia sosial budaya. Keterampilan kognitif berkembang men

jadi matang melalui interaksi sosial yang melekat dalam suatu latar

belakang kebudayaan.

D. PERKEMBANGAN BAHASA

Perkembangan bahasa seiring dengan perkembangan kognitif dan


saling melengkapi. Dalam membahas perkembangan bahasa, penting

untuk selalu mengingat bahwa bahasa terdiri dari sistem aturan, se-

perti morfologi, sintaksis, semantik, fonologi, leksikal, dan pragmatik,

sehingga bisa mengetahui perubahan-perubahan apa saja yang terjadi

pada sistenm aturan tersebut pada usia tahap/usia tertentu. Memang

tidak mudah untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada setiap

sistem. Sangat sedikit yang bisa diketahui mengenai perkembangan

kemampuan sintaksis anak, lebih-lebih mengenai perkembangan se-

mantisnya (Monks dkk., 2001). Perkembangan bahasa meliputi:

Perkembangan fonologis, berkaitan dengan penguasaan sistem

suara/bunyi.

Perkembangan morfologis, berkaitan dengan penguasaan pemben-

tukan kata-kata.

Perkembangan sintaksis, berkaitan dengan penguasaan tata ba-

hasa.

Perkembangan leksikal, berkaitan dengan penguasaan dan perluas

an kekayaan kata kata serta pengetahuan mengenai arti kata-kata.

Perkembangan semantis, berkaitan dengan penguasaan arti ba-

hasa.

Perkembangan pragmatik, berkaitan dengan penguasaan aturan-

aturan berbicara.

1. Teori Perkembangan Bahasa

a. Teori Belajar (Learning Theory)

Prinsip dari teori ini, perkembangan bahasa adalah bentukan atau


hasil dari pengaruh lingkungan (nurture) dan bukan karena bawaan

(nature). Teori ini bertitik tolak pada pendapat bahwa anak dilahir

kan tidak membawa kemampuan apa-apa, sehingga perlu melakukan

proses belajar. Proses belajar ini melalui imitasi, modeling, dan atau be-

lajar dengan reinforcement (Hetherington, 1998; Mussen dkk., 1984;

Monks dkk., 2001).

Skinner memakai teori stimulus-respons dalam menerangkan

perkembangan bahasa, yaitu bahwa bila anak mulai belajar berbicara

yang merupakan bukti berkembangnya bahasa anak, maka orang yang

berada disekelilingnya memberikan respons yang positif sebagai pe

nguat (reinforcement). Dengan adanya respons positif tersebut maka

anak akan cenderung mengulang kata tersebut atau tertarik untuk

mencoba kata lain. Ahli lain, Albert Bandura mencoba menerangkan

dari sudut teori belajar sosial. Dia berpendapat bahwa anak belajar

bahasa karena menirukan suatu model. Tingkah laku imitasi ini ti-

dak mesti harus menerima reinforcement sebab belajar model dalam

prinsipnya lepas dari reinforcement yang berasal dari luar. Meskipun

pendapat ini dapat menerangkan banyak, namun belum dapat me-

nerangkan mengapa anak pada satu saat membuat kalimat-kalimat

baru yang belum pernah dibuat sebelumnya dan mengapa ia membuat

suara-suara baru dalam awal perkembangan bahasa yang tidak dipela-

jarinya melalui imitasi dari luar (Monks dkk, 2001).

b. Teori Nativistis (Nativistic Approach)

Pandangan ini menyatakan bahwa struktur bahasa merupakan

bawaan lahir, telah ditentukan secara biologis, bersifat alamiah, dan


bukan bentukan. Pelopor pandangan ini adalah Chomsky, seorang

ahli lingustik yang menyatakan bahwa manusia memiliki mekanisme

otak bawaan yang khusus untuk belajar bahasa. Jadi dalam diri ma-

nusia sudah ada innate mechanism, yaitu bahwa bahasa seseorang itu

ditentukan oleh sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia atau su-

dah diprogram secara genetik. Bukti dari pendapat tersebut adalah

bahwa seorang anak dalam menyusun kata-kata sesuai dengan aturan-

aturannya sendiri yang terkadang tidak terdapat dalam aturan orang

dewasa. Sejak lahir anak manusia sudah dibekali dengan alat yang

disebut alat penguasaan/pemerolehan bahasa (language acquisation

device, LAD), dan hanya manusia yang mempunyai LAD. LAD ini

mendapatkan inputnya dari data bahasa dari lingkungan. Kemudian

LAD menjabarkan aturan tata bahasa dari data bahasa ini. Penjabaran

ini dapat dilakukan karena LAD memiliki struktur yang sama dalam

semua bahasa, dan yang juga ada dalam data bahasa yang masuk tadi.

Dengan perkataan lain, sistem LAD tadi mempunyai sitat-sifat yang

diperlukan untuk dapat mengadakan penjabaran atau ekstrasi (Monks

dkk., 2001). Perlu dipahami bahwa LAD dari Chomsky ini hanyalah

konstruksi teoretis, bukan bagian fisik yang ada di dalam organ otak.

C. Teori Kognitif

Perkembangan bahasa tergantung pada kemampuan kognitif ter-

tentu, kemampuan pengolahan intormasi, dan motivasi. Piaget (Mus-

sen dkk., 1984) dan pengikutnya menyatakan bahwa perkembangan

kognitif mengarahkan kemampun berbahasa, dan perkembangan ba-


hasa tergantung pada perkembangan kognitif.

2. Penguasaan Kata, Kalimat, dan Tata Bahasa

Setelah berusia kurang lebih 18 bulan, anak dapat mengombinasi

kan dua kata, misalnya minum susu, mama Nina, sepeda Ani. Pembi-

caraan yang lebih panjang dan sempurna terjadi sesudah tahun kedua,

kurang lebih antara bulan ke-24 bulan ke-30. Dari kalimat dua kata

berkembanglah kemampuan menggunakan kalimat tiga kata walau-

pun secara struktural awalnya masih mirip dengan kalimat dua kata.

Tetapi dalam perkembangannya kemudian, segera terjadi suatu dife-

rensiasi dalam kelompok kata-kata, suatu kecakapan verbal anak yang

menyebabkan banyak kata-kata dimasukkan dalam klasifikasi baru.

Dengan perkataan lain anak mengatur kembali kata-kata dalam ba-

hasanya (Monks dkk., 2001).

Berkaitan dengan semantiknya, menurut Rice (Santrock, 1995),

ketika anak-anak melalui tahap dua kata, pengetahuan mereka tentang

makna juga bertambah dengan pesat. Dan dari penelitian yang dilaku-

kan Core pada 1977 menunjukkan hasil bahwa perbendaharaan

saat anak berusia enam tahun terentang dari 8.000-14.000 kata.

Dari beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa ternyata wa-

laupun terdapat banyak perbedaan antara bahasa seorang anak yang

berusia dua tahun dengan anak yang berusia enam tahun, yang lebih

menonjol adalah perbedaan yang menyangkut pragmatik. Pada usia

tiga tahun, anak-anak meningkatkan kemampuan berbicaranya ten

tang sesuatu yang tidak ada secara fisik, yaitu mereka mengembang
kan penguasaan karakteristik bahasa yang dikenal sebagai pemindah

an (displacement). Sebagai contoh: pada anak usia dua tahun sudah

mengetahui kata "meja," tetapi tidak mungkin menggunakan kata itu

untuk mengacu pada suatu meja imajiner yang ia anggap berdiri di de-

pannya. Namun pada anak yang berusia lebih tiga tahun kemungkin-

an telah memiliki kemampuan ini, walaupun ia belum sering meng-

gunakan kata tersebut.

Pada masa kanak-kanak awal ini, penguasaan kata juga bertam-

bah. Pada usia tiga tahun, perbendaharaan katanya sekitar 1.000 kata

dan sekitar 80 persen diucapkan dengan jelas bahkan untuk yang

masih asing. Tata bahasa yang lebih kompleks juga dapat diucapkan

walaupun tidak seperti pada orang dewasa dan masih sering terjadi

kesalahan. Ciri lain, anak sudah dapat mengatakan kata-kata yang

menggambarkan waktu yang akan datang, misalnya "nanti aku akan

sekolah, "besok kalau besar aku akan menjadi pilot pesawat terbang

Setelah anak mencapai usia tiga tahun, anak sudah mengetahui perbe

daan kata ganti, misalnya saya, kamu, dan kita.

Antara usia 4-5 tahun kalimat anak sudah terdiri dari 4-5 kata, juga

mereka sudah mampu menggunakan kata depan, seperti "di bawah,

"dalam, "di atas, "di samping" Mereka lebih banyak menggunakan

kata kerja dari pada kata benda. Dapat dikatakan pada usia kurang

lebih empat tahun ini, menurut Mussen dkk. (1984), pembicaraan

anak lebih lama dan kompleks, dapat mengatakan dua ide dalam satu

kalimat, kata-kata saling berhubungan, serta lebih menyerupai pem-

bicaraan orang dewasa. Misalnya, "Ani mau makan, dan aku enggak
mau. Perbedaan dengan orang dewasa terletak pada gaya pengucap-

annya saja. Anak juga sudah mulai menggunakan kata: "di sini, "di

sana, jarang. "kadang-kadang, serta telah dapat menggunakan kata

benda dan kata kerja sebagaimana mestinya.

ada usia 5-6 tahun, kalimat anak sudah terdiri dari enam sam-

pai dengan delapan kata. Anak-anak ini biasanya memiliki kosakata

pembicaraan sekitar 2.600 kata dan memahami lebih dari 20.000 kata

(Papalia dkk., 2008). Mereka sudah dapat menjelaskan arti kata-kata

yang sederhana, mengetahui lawan kata, serta sudah dapat menggu

nakan kata penghubung, kata depan, dan kata sandang. Hetherington

dan Park (2000) menyatakan bahwa pada masa prasekolah ini anak

mempunyai kemampuan mempelajari setiap bahasa dengan lebih mu-

dah dibandingkan usia sebelum maupun bila ia telah dewasa. Menu-

rut Carey dan Clark (dalam Santrock, 2007), pada usia enam tahun

kosakata pembicaraannya berkisar antara 8.000 sampai dengan 14.000

kata, dan rata-rata mereka mempelajari 22 kata baru per hari.

Tata Bahasa dan Sintaksis

Cara anak mengombinasikan huruf menjadi kata dan kata menjadi

kalimat berkembang menjadi semakin rumit sepanjang masa kanak-

kanak awal ini. Pada usia tiga tahun, anak biasanya mulai menggu-

nakan kata jamak, kata milik, dan kalimat lampau, serta mengenal kata

ganti, seperti saya, kamu, dan kita atau kami. Kalimat yang mereka

miliki secara umum pendek dan sederhana tetapi telah mencakup

kata ganti, kata sifat, dan preposisi. Sebagian besar kalimat juga bersi
fat deklaratif, tetapi mereka sudah dapat melontarkan dan menjawab

pertanyaan "Apa..?" dan "Di mana.?" Untuk pertanyaan "Mengapa.?

dan "Bagaimana masih agak mengalami kesulitan.

3. Bicara sebagai Alat Komunikasi

Ada perbedaan arti antara bahasa (language) dan bicara (speech).

Bahasa mencakup setiap sarana komunikasi dengan menyimbolkan

pikiran dan perasaan untuk menyampaikan makna kepada orang

lain, mencakup tulisan, bicara, bahasa simbol, ekspresi muka, isyarat,

pantomim, dan seni. Bicara adalah bentukk bahasa yang mengguna-

kan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan

maksud. Bicara merupakan bentuk komunikasi yang paling efektif,

penggunaannya paling luas, dan paling penting. Bicara merupakan

keterampilan mental-motorik. Berbicara tidak hanya melibatkan

koordinasi kumpulan otot mekanisme suara yang berbeda, tetapi juga

mempunyai aspek mental, yakni kemampuan mengaitkan arti dengan

bunyi yang dihasilkan. Seorang anak baru dapat dikatakan berbicara

dalam artian yang sesungguhnya/benar bila pertama anak mengetahui

arti kata yang digunakannya dan mengaitkannya dengan objek yang

diwakilinya. Contoh: kata "bola" harus mengacu hanya pada benda

yang disebut bola, bukan pada mainan umumnya. Kedua, anak harus

menghafallkan kata-katanya sehingga orang lain dapat memahaminya

dengan mudah.

Jika anak telah menguasai kata-kata, kalimat, dan tata bahasa,

maka mereka akan dapat berkomunikasi secara lebih efektif. Dan,


makin kuat keinginan untuk berkomunikasi dengan orang lain, maka

makin kuat juga motivasi anak untuk belajar berbicara.

Pada usia kanak-kanak awal, sebagian besar isi bicara anak lebih

bersifat bicara yang berpusat pada diri sendiri (egosentris), dan ma

kin anak bertambah usia yaitu pada kanak-kanak akhir, cenderung

berubah ke bicara yang lebih sosial, yaitu bicara yang berpusat pada

orang lain. Tetapi menurut Alvy dan Maratsos (Hurlock, 1980), per

ubahan dari bicara egosentris ke bicara sosial tidak sangat bergantung

pada umur kronologis, melainkan kepribadianlah penentu (determi-

nation) yang penting. Pada setiap tingkatan umur, anak yang egosen-

tris akan cenderung terus berbicara tentang diri mereka sendiri dan

kurang berminat menerima sudut pandang orang lain. Akan tetapi

pada waktu mereka bertambah besar dan keinginan untuk diterima

sebagai anggota kelompok sebaya semakin kuat, anak-anak egosentris

sekalipun akan cenderung berubah ke bicara yang lebih sosial. Dan

bila ukuran kelompok sebaya bertambah besar, bicara mereka juga

makin kurang egosentris.

Bicara sendiri (private speech), yaitu berbicara kepada diri sendiri

dengan keras tanpa ada niat untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Bicara sendiri merupakan hal yang normal pada masa anak awal, ter-

hitung kira-kira 20 sampai 50 persen dari yang diucapkan anak. Anak-

anak yang berusia 4-5 tahun melakukan bicara sendiri sebagai cara

untuk mengekspresikan fantasi dan emosinya, sedangkan anak-anak

yang lebih besar mengucapkan apa yang dipikirkannya atau berkomat-

kamit dengan suara yang berat (Papalia dkk., 2008).


4. Fungsi Bahasa

Menurut Halliday (Hetheringtondan Parke, 1998), bahasa mem-

punyai fungsi sebagai berikut:

a. Fungsi instrumental. Bahasa dapat memperlancar anak untuk

mendapatkan kepuasan tentang apa yang diinginkan dan untuk

mengekspresikan keinginannya. Hal ini disebut juga fungsi "saya

ingin.

b. Fungsi pengatur. Melalui bahasa anak dapat mengontrol perilaku

orang lain, karena itu disebut dengan fungsi "kerjakan itu"

C. Fungsi interpersonal. Bahasa digunakan untuk berinteraksi satu

sama lainnya dalam dunia sosial anak. Disebut juga fungsi "'saya

dan kamu

Fungsi pribadi. Anak mengekspresikan pandangannya yang unik,

perasaan, dan sikap melalui bahasa. Melalui bahasa anak mengem-

bangkan identitas pribadi.

e. Fungsi heuristik. Setelah anak dapat membedakan dirinya dari

lingkungan, anak menggunakan bahasa untuk menjelajahi dan

memahami lingkungannya. Hal ini disebut pula fungsi "certitakan

padaku mengapa"

Fungsi imaginasi. Bahasa memperlancar anak untuk lari dari re

alitas dan masuk dalam dunia yang dibuatnya. Hal ini disebut pula

fungsi "mari pura-pura

8. Fungsi informatif. Anak dapat mengombinasikan informasi-in-

formasi baru melalui bahasa, karena itu disebut "saya mempunyai


sesuatu untuk diceritakan padamu

5. Perkembangan Bahasa yang Terlambat

Sekitar tiga persen anak usia praselkolah mengalami keterlambat-

an bahasa/bicara, walaupun tingkat kecerdasannya normal atau lebih

baik. Masih belum jelas mengapa sebagian anak-anak mengalami ke-

terlambatan ini. Dibandingkan dengan anak perempuan, anak laki-

laki cenderung mengalami late talker. Perkembangan bahasa yang

terlambat dapat memengaruhi perkembangan kognitif, sosial, dan

emosional yang lebih luas karena mereka cenderung dinilai negatif

oleh orang-orang di sekelilingnya. Salah satu cara untuk mengatasi

keterlambatan bahasa ini adalah dengan dialogic reading (membaca

buku bersama-sama). Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan

hasil bahwa anak yang memiliki ibu yang telah dilatih menggunakan

dialogic reading mengalami peningkatan yang lebih banyak dalam bi-

caranya ketimbang kelompok yang dilatih dengan cara mirip dialogic

reading tetapi tanpa buku. Cara ini lebih efektif karena membaca ber-

sama akan meningkatkan peluang alamiah untuk menambah infor

masi dan meningkatkan kosakata, memberi kesempatan untuk lebih

perhatian, bertanya, dan merespons pertanyaan. Selain itu cara ini

juga akan menguatkan ikatan emosional dan meningkatkan perkem-

bangan kognitif (Papalia dkk., 2008).

6. Efek Hambatan Perkembangan Bahasa

Perkembangan bahasa sebagian besar anak-anak dapat diprediksi


karena mempunyai pola perkembangan bahasa yang serupa. Kata per

tama bisanya muncul pada tahun kedua. Pada usia dua tahun, umum-

nya anak sudah mempunyai perbendaharaan kata sebanyak 50 kata

dan dapat mengombinasikan dalam kalimat pendek. Pada saat mema-

suki sekolah, anak-anak sudah mampu menggunakan perbendahara-

an kata dan struktur gramatikal yang lebih kompleks.

Namun ada sebagian anak yang mengalami hambatan perkem-

bangan bahasa. Di Amerika dan Kanada, sebanyak 8 hingga 12 persen

anak prasekolah mengalami hambatan dalam keterampilan bicara

dan mendengarkan dibandingkan dengan teman-teman sebayanya.

Riset melaporkan akibatnya pada anak-anak, yaitu dapat mengalami

peningkatan risiko mengalami problem-problem perilaku (khususnya

attention deficit disorder atau ADHD), acadenic dificulties, learning

disabilities, rasa malu, dan gangguan kecemasan. Juga, anak-anak ini

mengalami kesulitan berteman dan bergaul dengan orang-orang di

luar keluarganya (Phalkivala, 2007).

E. PERKEMBANGAN SOSIAL-EMOSIONAL

KANAK-KANAK AWAL

Perkembangan sosial dan emosional anak berkaitan dengan kapa-

sitas anak untuk mengembangkan self-confidence, trust, dan empathy.

Perkembangan sosial-emosional yang positifatau baik merupakan pre-

diktor untuk kesuksesan dalam bidang akademik, kognitif, sosial, dan

emosional dalam kehidupan anak selanjutnya. Menurut Waltz (2006),

perkembangan emosi dan sosial anak pada masa kanak-kanak awal/

usia prasekolah dipengaruhi oleh faktor biologis (temperament, genetic


influences), relationships (quality of attachment), dan lingkungannya

(prenatal, family community, quality of child care). Menurut Santrock

(2007), perkembang-an emosi dan sosial tidak terlepas peran dari fak-

tor-faktor keluarga, relasi anak dengan teman sebayanya, dan kualitas

bermain yang dilakukan bersama teman sebayanya.

Menurut Boyd dkk. (2005), perkembangan emosi dan sosial anak

mencakup pencapaian serangkaian keterampilan dalam:

1. Mengidentifikasi dan memahami perasaannya sendiri.

2. Membaca dengan tepat dan memahami kondisi emosi orang/te-

man lain.

Mengelola emosi dan mengekspresikan dalam bentuk yang kon-

struktif.

4. Mengatur perilakunya sendiri.

5. Mengembangkan empati pada orang/teman lain.

6. Menjalin dan memelihara hubungan.

Banyak orangtua yang tidak memahami bahwa perkembangan so

sial-emosional anak dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman awal.

Pada kanak-kanak awal, anak-anak masih belajar untuk memperoleh

keterampilan ini, oleh karena itu kemampuannya masih terbatas;

tetapi yang terpenting harus didukung dan dilatih untuk berkembang

terus. Dengan bimbingan terutama dari orangtua dan pengasuhnya,

maka secara bertahap kemampuan ini akan meningkat. Boyd dkk.

(2005) menyatakan bahwa salah satu aspek, yaitu pengaturan diri

(self-regulation), sangat penting dilatihkan kepada anak, karena anak

anak yang memiliki self-regulation sangat diperlukan dalam membina


hubungan sosial yang positif dengan orang lain dan dalam kesiapan

sekolah (school readines) dan mengikuti proses belajar di sekolah.

Banyak penelitian telah membuktikan bahwa self-regulation berperan

dalam kesuksesan di sekolah dan juga mengeliminasi perilaku bully-

ing, agresivitas, dan tindak kenakalan di sekolah maupun di rumah

dan lingkungan. Penelitian-penelitian baru menujukkan bahwa self

regulation mempunyai dasar fisiologis, yaitu berkaitan dengan area

prefrontal cortex di otak yang terjadi selama masa prasekolah. Namun

pemberian stimulasi tetap penting karena self-regulation dan kontrol

impuls tidak terjadi secara spontan, namun harus dipelajari tidak saja

di lingkungan rumah tetapi juga di kelas-kelas prasekolah.

Perkembangan sosial-emosional pada periode ini ditekankan pada

bagaimana anak-anak "feel about themselves, bagaimana perilaku dan

relasinya dengan pengasuhnya, orangtua, guru, dan teman sebayanya

(Perry, Kauffman, & Knitzer, 2007). Ada bukti kuat adanya kaitan

yang erat antara perkembangan sosial emosional yang baik pada masa

kanak-kanak awal dengan kesuksesan di sekolah dan kesehatan saat

praremaja dan di masa remaja, juga kesehatan dan kesejahteraan di

masa dewasa. Demikian pula meningkatkan resiliensi dan mence

gah munculnya problem kesehatan mental di kehidupan selanjutnya

(OConnell, Boat, & Warner, 2009).

1. Peran Orangtua, Guru, dan Teman Sebaya

Menurut Boyd dkk. (2005), orangtua dan keluarga, guru, dan te-

man sebaya sangat berperan dalam pencapaian perkembangan emosi


sosial yang baik pada masa kanak-kanak awal. Relasi awal dengan

orangtua merupakan pondasi dicapainya kompetensi sosial dan hu-

bungan dengan teman sebaya. Orangtua harus berinteraksi dengan

menunjukkan kasih sayang, memahami perasaan anak, memahami

keinginan dan kebutuhannya, mengekspresikan minat anak dalam ak-

tivitas sehari-hari, bangga atas pencapaian anak, menmberi semangat

dan dukungan saat anak mengalami masalah (stres). Guru, sama hal-

nya dengan orangtua, harus menunjukkan relasi yang hangat dan res

ponsif, keterikatan yang konsisten, terlebih anak mulai menghabiskan

banyak waktunya dengan guru (di kelas-kelas playgroup atau kelompok

PAUD (pendidikan anak usia dini). Teman sebaya juga sangat ber-

peran melalui hubungan pertemanan yang baik dan bermain bersama,

dan penerimaan sebagai teman karena anak akan belajar bagaimana

bekerja dalam kelompok dan bekerja sama dengan teman lain. Anak-

anak yang ditolak oleh teman-temannya akan berefek pada hambatan

sosial dan prestasi belajar di sekolah. Dalam kondisi demikian, peran

guru dan orangtua sangat penting untuk melakukan intervensi dalam

rangka membantu anak-anak mengatasi hambatannya.

2. Peran Keluarga

a. Pola Asuh Orangtua

Salah satu faktor keluarga yang memengaruhi perkembangan

emosi dan sosial anak adalah bagaimana pola asuh orangtuanya. Dari

penelitian Diana Baunmrind pada 1971, ada beberapa pola asuh yang

ditunjukkan oleh para orangtua yang dapat memengaruhi perkem-


bangan anak-anaknya (Santrock, 1995; 2007), yaitu:

1. Pola asuh otoriter (authoritarian parenting)

Merupakan gaya pengasuhan yang ditandai oleh pembatasan,

menghukum, memaksa anak mengikuti aturan, dan kontrol yang

ketat. Orangtua menuntut anak mengikuti perintah-perintahnya,

Sering memukul anak, memaksakan aturan tanpa penjelasan, dan

menunjukkan amarah. Selain itu orangtua otoriter menetapkan

batas-batas yang tegas dan tidak memberi peluang kepada anak

untuk berkompromi (bermusyawarah). Efek pengasuhan ini, an

tara lain anak mengalami inkompetensi sosial, sering merasa tidak

bahagia, kemampuan komunikasi lemah, tidak memiliki inisiatif

melakukan sesuatu, dan kemungkinan berperilaku agresif.

2. Pola asuh otoritatif (authoritative parenting) atau demokratis

Gaya pengasuhan ini mendorong anak untuk mandiri tetapi masih

menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan anak. Jadi

orangtua masih melakukan kontrol pada anak tetapi tidak terlalu

ketat. Umumnya orangtua bersikap tegas tetapi mau memberikan

penjelasan mengenai aturan yang diterapkan dan mau bermusya-

warah atau berdiskusi. Selain itu orangtua bersikap hangat dan

sayang terhadap anak, menunjukkan rasa senang dan dukungan

sebagai respons terhadap perilaku konstruktif anak. Efek peng-

asuhan otoritatif, yaitu anak mempunyai kompetensi sosial, per-

caya diri, dan bertanggung jawab secara sosial. Juga tampak ceria,

bisa mengendalikan diri dan mandiri, berorientasi pada prestasi,

mempertahankan hubungan ramah dengan teman sebaya, mampu


bekerja sama dengan orang dewasa, dan mampu mengatasi stres

dengan baik.

3. Pola asuh yang membiarkan (permissive indulgent)

Merupakan gaya pengasuhan yang mana orangtua sangat terlibat

dalam kehidupan anak tetapi menetapkan sedikit batas, tidak ter-

lalu menuntut, dan tidak mengontrol mereka. Orangtua membiar-

kan anak melakukan apa saja yang mereka inginkan sehingga anak

tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan se-

lalu mengharapkan kemauannya dituruti. Efek pengasuhan: anak

kurang memiliki rasa hormat pada orang lain dan mengalami ke-

sulitan mengendalikan perilakunya. Kemungkinan mereka juga

mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan mengalami

kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya.

4. Pola asuh yang mengabaikan (permissive indiferent)

Pada pola ini orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak.

Anak yang orangtuanya permissive-indiferent mengembangkan

perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan orangtua lebih pent-

ing daripada diri mereka. Efek pengasuhan: inkompetensi sosial,

kendali diri yang buruk, tidak mandiri, harga diri rendah, tidak

dewasa, rasa terasing dari keluarga, serta saat remaja suka membo-

los dan nakal.

Eleanor Maccoby dan John Martin (1983) (Papalia dkk., 2002) me-

nambahkan bentuk pola asuh lain, yaitu neglectful atau invofved. P'ada

pola asuh ini, orangtua lebih fokus pada kebutuhan-kebutuhannya


sendiri dibanding pada kebutuhan anak-anaknya. Neglectful parent-

ing ini berkaitan dengan munculnya gangguan perilaku pada perkem

bangan saat anak-anak dan remaja.

b. Perlakuan Orangtua kepada Anak

Cara orangtua memperlakukan anak sebaiknya menyesuaikan de-

ngan usia dan taraf perkembangan anak. Misalnya, perlakuan terhadap

anak usia dua tahun seharusnya tidak sama dengan anak usia lima ta-

hun. Secara umum perlakuan orangtua pada masa kanak-kanak awal

sebagai berikut:

1. Tahun pertama, interaksi orangtua-anak difokuskan mulai dari

kegiatan pengasuhan rutin, seperti memberi makan, mengganti

popok, memandikan, dan menidurkan, serta ke arah kegiatan

yang bersifat bukan pengasuhan seperti bermain serta pertukaran

tatapan dan suara.

2. Tahun kedua dan ketiga, persoalan disiplin, menjauhkan anak dari

kegiatan-kegiatan yang membahayakan dan kadang-kadang huku-

man fisik, seperti memukul bagian pantat.

3. Sesudah ini, orangtua memberi penalaran, nasihat-nasihat moral,

dan memberi atau tidak memberi hak-hak khusus. Masa anak ma-

suk sekolah dasar, orangtua biasanya memberi sedikit sentuhan

fisik.

C. lbu Bekerja

Seiring dengan kemajuan zaman, kini banyak anak-anak yang di-


tinggal bekerja oleh ibunya. Pengaruhnya pada perkembangan anak

berbeda-beda tergantung pada lamanya waktu ibu bekerja, ada/tidak

pengganti ibu selama bekerja, dan kondisi masing-masing anak. Be-

berapa penelitian menunjukkan hasil bahwa bagi anak bayi sampai usia

dua tahun, efeknya kurang baik karena kelekatan (attachment) dengan

ibu menjadi berkurang atau hilang. Pada anak-anak usia prasekolah

dampaknya, yaitu munculnya problem-problem perilaku. Namun be

berapa penelitian lain menunjukkan bahwa bila ibu bekerja saat anak

sudah bersekolah di sekolah dasar (SD) atau saat anak telah remaja,

maka dapat berefek menjadikan anak mandiri. Selain itu ibu bekerja

juga memberi efek positif pada anak, yaitu menjadi lebih mandiri dan

bertanggung jawab. Oleh karena itu masih diperlukan penelitian lebih

lanjut tentang sejauh mana efek ibu bekerja pada perkembangan anak.

d. Keluarga yang Bercerai

Perpisahan/perceraian orangtua dapat membawa dampak pada

kondisi anak. Pada umumnya anak-anak mengalami kontlik, dan pada

anak perempuan nilai-nilai di sekolah lebih menurun dibanding pada

anak laki-laki, dan anak laki-laki lebih mengalami masalah dalam

penyesuaian diri. Namun perceraian tidak selalu berefek buruk pada

anak. Dari penelitian Nelson (1993) didapatkan bahwa anak lebih baik

dibesarkan oleh orangtua tunggal yang mengasuh dengan baik dari-

pada oleh orangtua lengkap yang penuh pertentangan dan konflik. Bi-

asanya anak yang mengalami efek negatif akibat perceraian dalam dua

tahun kemudian kebanyakan telah mampu mengatasi perasaan benci-


nya dan menyesuaikan diri dengan situasi yang baru.

3. Relasi dengan Teman Sebaya

Pada masa kanak-kanak awal, hubungan dengan teman sebaya ma-

kin meningkat dan menghabiskan banyak waktunya. Teman sebaya,

yaitu anak-anak yang tingkat usia dan kematangannya kurang lebih

sama. Salah satu fungsi terpenting dari teman sebaya adalah sebagai

sumber informasi dan bahan pembanding di luar lingkungan keluar

ga. Melalui teman sebaya, anak memperoleh umpan balik tentang ke

mampuannya, mengevaluasi apa yang mereka lakukan (apakah lebih

baik atau kurang) dibanding teman sebayanya. Hal ini sulit dilakukan

di rumah, karena saudara kandungnya biasanya lebih tua atau lebih

muda.

Hubungan yang baik dengan teman sebaya sangat penting bagi

perkembangan sosial yang baik. Isolasi sosial atau ketidakmampuan

anak melibatkan diri ke dalam suatu jaringan sosial, dapat mengaki-

batkan munculnya masalah dan kelainan yang beragam mulai dari

kenakalan dan masalah minum-minuman keras hingga depresi. Dari

suatu penelitian, relasi yang buruk di antara teman-teman sebaya pada

masa anak-anak dapat berefek pada kecenderungan terjadinya putus

sekolah dan perilaku kenakalan remaja. Sebaliknya, relasi yang baik

berefek pada kesehatan mental yang baik pada usia tengah baya.

a. Kualitas Bermain dengan Teman Sebaya

Sebagian besar interaksi teman sebaya melibatkan permainan.

Bermain ialah suatu kegiatan yang menyenangkan yang dilaksanakan


untuk kepentingan kegiatan itu sendiri. Catherine Carvey (Craig,

1983) menyatakan bahwa bermain merupakan kegiatan yang menye

nangkan, tidak terikat tujuan, individu terlibat aktif, dan memilih

sendiri apa yang akan dilakukan. Menurut Huizinga (Monks dkk.,

2001), bermain merupakan tindakan atau kesibukan sukarela yang

dilakukan dalam batas-batas tempat dan waktu, berdasarkan aturan

yang mengikat tetapi diakui secara sukarela dengan tujuan yang ada

dalam dirinya sendiri, disertai dengan perasan tegang dan senang, dan

dengan pengertian bahwa bermain merupakan sesuatu "yang lain"

dari kehidupan biasa.

b. Karakteristik Bermain

Dari berbagai pendapat tentang pengertian bermain, dapat disim-

pulkan bahwa karakteristik kegiatan bermain, yaitu:

1. Bermain dilakukan secara sukarela tanpa paksaan.

2. Bermain selalu menyenangkan, menimbulkan kegembiraan atau

kenikmatan, dan merangsang munculnya perilaku lain.

3. Bermain dilakukan secara spontan, bebas, tidak harus sesuai ke-

nyataan, bebas membuat aturan sendiri, dan bebas berfantasi.

4. Makna dan kesenangan bermain sepenuhnya ditentukan si pelaku.

C. Ciri-ciri Permainan

Berdasarkan analisis fenomenologis, Buytendijk menemukan ciri-

ciri permainan sebagai berikut (Monks dkk, 2001):

1. Permainan adalah selalu bermain dengan sesuatu.


2. Dalam permainan selalu ada sifat timbal balik, sifat interaksi.

3. Permainan berkembang, tidak statis melainkan dinamis, merupa-

kan proses dialektik, yaitu tese-antese-sintese. Karena proses yang

berputar ini, dapat dicapai suatu klimaks dan mulailah prosesnya

dari awal lagi.

4. Permainan juga ditandai oleh pergantian yang tidak dapat dira-

malkan lebih dahulu, setiap kali dipikirkan suatu cara yang lain

atau dicoba untuk datang pada suatu klimaks tertentu.

5. Orang bermain tidak hanya bermain dengan sesuatu atau dengan

orang lain, melainkan yang lain tadi juga bermain dengan orang

yang bermain itu.

6. Bermain menuntut ruangan untuk bermain dan menuntut aturan

permainan.

7. Aturan permainan membatasi bidang permainannya.

d. Teori Bermain

Salah satu tokoh yang dianggap berjasa untuk meletakkan dasar

tentang bermain adalah seorang filsuf Yunani bernama Plato yang

merupakan orang pertama yang menyadari dan melihat pentingnya

nilai praktis dari bermain. Menurut Plato, anak-anak akan lebih mu-

dah mempelajari aritmatika dengan cara membagikan apel kepada

anak-anak. Juga melalui pemberian alat permainan miniatur balok-

balok pada anak usia tiga tahun pada akhirnya akan mengantar anak

tersebut menjadi seorang ahli bangunan. Filsuf lainnya, Aristoteles,

berpendapat bahwa anak-anak perlu didorong untuk bermain dengan


apa yang akan mereka tekuni di masa dewasa nanti. Kemudian tokoh

reformasi dalam bidang pendidikan, yaitu Frobel, menekankan pen-

tingnya bermain dalam belajar karena berdasar pengalamannya se

bagai guru, dia menyadari bahwa kegiatan bermain maupun mainan

yang dinikmati anak dapat digunakan untuk menarik perhatian serta

mengembangkan pengetahuan mereka. Jadi Plato, Aristoteles, dan

Frobel menganggap bermain sebagai kegiatan yang mempunyai nilai

praktis, artinya bermain digunakan sebagai media untuk meningkat

kan keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak (Tedjasaputra,

2001).

Klasifikasi Teori Bermain

Ada berbagai pendapat berkaitan dengan teori bermain (Tedjasa-

putra, 2001) yang dapat dikelompokkan menjadi:

1) Teori-teori klasik dengan tokoh-tokoh seperti Schiller, Spencer,

Lazarus, Hall, dan Gross.

Teori Penggagas Tujuan Bermain

Surplus energ Schiller/Spencer Mengeluarkan energi berlebih

Rekreasi Lazarus Memulihkan tenaga

Rekapitulasi Hall Memunculkan insting nenek moyang

Praktis Groos Menyempurnakan instink

2) Teori-teori modern tentang bermain dengan tokoh-tokoh seperti

Piaget, Vygotsky, Bruner, Sutton-Smith, dan Bateson. Secara ring-


kas teori klasik dan modern tentang bermain menurut Johnson

dkk (Tedjasaputra, 2001) sebagai berikut:

Teori Peran Bermain dalam Perkembangan Anak

Psikoanalisis Mengatasi pengalaman traumatik, coping terhadap frustrasi

Kognitif-Piaget Mempraktikkan dan melakukan konsolidasi konsep-konsep

serta keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya

|Kognitif-Vygotsky Meningkatkan berpikir abstrak, belajar dalam kaitan ZPD (zone

of proximal development), pengaturan diri

Kognitif-Bruner/ Memunculkan fleksibilitas perilaku dan berpikir, imajinasi dan

Sutton-Smith narasi.

Arousal modulation edp nerbuat dnak terjaga pada tingkat optimal dengan

menambah stimulasi

Bateson Meningkatkan kemampuan untuk memahami berbagai

tingkatan makna.

e. Fungsi Bermain

Ada banyak pendapat tentang fungsi bermain yang pada umumnya

menyatakan bahwa bermain memberi efek positif bagi perkembangan

anak. Fungsi bermain bagi anak adalah membantu perkembangan

fisik, perkembangan aspek motorik kasar dan motorik halus, perkem-

bangan emosi dan kepribadian, meningkatkan kerja sama dengan te-

man sebaya, mengurangi ketegangan, meningkatkan perkembangan


kognitif, meningkatkan daya eksplorasi, dan merupakan pengaman

bagi tindakan yang potensial berbahaya, serta esensial bagi kesehatan

anak. Juga, dengan bermain anak-anak akan berbicara dan berinter-

aksi satu sama lain dan selama interaksi ini anak-anak mempraktikkan

peran yang akan dipegangnya di kemudian hari. Demikian pula menu

rut Ginzburg (2007), bermain merupakan kegiatan penting bagi anak

karena mendukung perkembangan fisk, kognitit, sosial, emotional

well-being anak, kreativitas, dan perkembangan otak anak. Bermain

juga berfungsi meningkatkan keterlibatkan orangtua secara penuh

pada kegiatan anaknya dan secara tidak langsung melatih anak belajar

bagimana bekerja dalam kelompok, berbagi, bernegosiasi, mengatasi

konflik, dan belajar self-advocacy skills. Selain itu juga bermanfaat un-

tuk perkembangan otak yang sehat yang berefek pada meningkatnya

kemampuan kognitif anak.

Menurut Freud dan Erikson, bermain adalah bentuk khusus pe-

nyesuaian diri manusia dan membantu anak mengatasi kecemasan

dan konflik. Adapun menurut Piaget, bermain dapat berfungsi untuk

meningkatkan kemampuan kognitif anak. Piaget yakin bahwa struk

tur kognitif perlu memperoleh latihan, dan bermain adalah lahan

yang subur untuk berlatih. Vygotzky juga yakin bahwa bermain dapat

meningkatkan kemanmpuan kognitif anak, terutama bermain yang si-

fatnya simbolis dan bermain pura-pura. Untuk anak usia prasekolah,

situasi imajiner tetaplah realistik. Oleh karena itu orangtua dan guru

harus mendorong anak melakukan permainan dengan berbagai vari-

asinya, karena dapat membantu meningkatkan kreativitas anak.


"Play is children's work. If they are successful with this first job, it will

lead to further success later in lije." Pada kenyataannya bermain san-

gat penting bagi anak karena memberi kesempatan bagi anak untuk

mengeksplorasi dunia sekelilingnya. Bermain membantu anak untuk

tumbuh dan berkembang dalam berbagai hal/aspek. Mengingat pen

tingnya bermain bagi anak, orangtua perlu memberi waktu dan ke-

sempatan yang cukup bagi anak untuk bermain. Tentu saja perlu peng-

aturan dan bimbingan dari orangtua agar manfaat bermain bagi anak

dapat terwujud secara positif, karena orangtua kerap merasa khawatir

anak menghabiskan waktunya hanya untuk bermain atau just playing

Perlu dingat bahwa aktivitas bermain bagi anak harus dalam kondisi

yang enjoyable, spontaneous, dan open-ended (Brotherson, 2009).

Bermain sangat penting bagi perkembangan anak karena anak

bermain tidak hanya sekadar bermain, tetapi ternyata aktivitas ber-

main tertentu memiliki efek positif bagi perkembangan anak dalam

beberapa hal. Oleh karena itu, orangtua dan guru harus memberi wak-

tu yang cukup bagi anak-anak untuk bermain sesuai dengan taraf per-

kembangannya, Berikut ini beberapa contoh aktivitas bermain pada

anak dan efeknya (Brotherson, 2009):

When Children.. They Leam

Smile ana coo at peopie How to engage others in interaction

Share a ratle heir actions produce results; to dstinguish sounds

Throw toys on the floor Principles of gravity; cause and effect

LoOR at picture books PIctures represent real objectswords label objects


|Roll a ball How to gain control of muscles; round stuff rolls

Cuddle a stufed animal 1o rely on their own ability to seek comfort; to murture

Build with blocks Concepts of sze, weight, symmetry, number and balance

muscle control and coordination

Dress up and play house Smal muscle, self-help skills; to recreate their own world

Social roles; to work with others; share materials and

Pretend to be irengnters communicate with other children

f.Kategori Bermain

Menurut Hurlock (1980), bermain secara garis besar dapat dibagi

ke dalam dua kategori yaitu:

1) Bermain aktif. Dalam bermain aktif, kesenangan timbul dari

apa yang dilakukan individu, misalnya bermain boneka, bermain

mobil-mobilan, dan main masak-masakan. Bermain aktif lebih

banyak dilakukan oleh individu pada masa kanak-kanak awal dan

tengah; pada masa menjelang remaja sudah berkurang karena

menjelang remaja tanggung jawabnya lebih besar baik di rumah

maupun di sekolah, dan saat ini terjadi pertumbuhan dan perkem-

bangan fisik yang sangat pesat sehingga remaja kurang bertenaga.

2. Bermain pasif (hiburan). Dalam bermain pasif atau "hiburan?

kesenangan diperoleh dari kegiatan yang dilakukan oleh orang

lain dan tenaga yang dikeluarkan lebih sedikit. Misalnya, menon-

ton film di televisi, menonton pertandingan sepak bola, dan mem-

baca buku. Walaupun demikian kesenangan yang diperoleh tidak

berbeda dibandingkan bila bermain aktif. Jenis bermain pasif lebih


banyak digemari oleh anak-anak yang lebih besar.

Dengan kemajuan teknologi saat ini dan berkurangnya ruang atauu

lahan untuk bermain yang dimiliki keluarga maupun milik masyara-

kat, tampaknya kegiatan bermain aktif anak juga makin berkurang

terutama bermain aktif yang membutuhkan tempat yang luas, misal-

nya bermain kasti, petak umpet, kejar-kejaran, bermain bola, dan ber-

main tali. Saat ini, anak-anak cenderung bermain pasit, makin asyik

dengan acara-acara di televisi, menonton film dari CD, dan bermain

online game dan play station. Memang kegiatan bermain ini tidak sela-

lu berefek negatif, tetapi bila anak-anak kurang bermain aktif tentunya

juga bisa menghambat kreativitasnya dan aspek-aspek perkembangan-

nya yang lain, seperti kemampuan sosialisasi dengan teman lain.

9. Bentuk-bentuk Permainan

Mildred Parten meninjau permainan anak dari sudut tingkah laku

sosial anak, pendekatannya juga dapat dilukiskan sebagai sosiologi ge-

netik (Monks dkk., 2001). Tedjasaputra (2001) mengemukakan bahwa

Mildred Parten menyoroti kegiatan bermain sebagai sarana sosialisasi.

Ada enam bentuk interaksi antar-anak yang terjadi saat mereka ber

main serta terlihat adanya peningkatan kadar interaksi sosial mulai

dari kegiatan bermain sendiri sampai bermain bersama (Santrock,

2007; Tedjasaputra, 2001).

1) Unoccupied Play
Anak tidak benar-benar terlibat dalam kegiatan bermain, tetapi

hanya mengamati kejadian di sekitarnya yang menarik perhatiannya.

Bila tidak ada hal yang menarik, anak akan menyibukkan diri dengan

melakukan berbagai hal seperti memainkan anggota tubuhnya, meng-

ikuti orang lain, berkeliling, atau naik turun kursi tanpa tujuan yang

Jelas.

2) Solitary Play (Bermain Sendiri)

Anak sibuk bermain sendiri dan tampaknya tidak memerhatikan

kehadiran anak-anak lain di sekitarnya. Perilakunya bersifat egosen-

tris yang ditunjukkan antara lain tidak ada usaha untuk berinteraksi

dengan orang lain, mencerminkan sikap memusatkan perhatian pada

diri sendiri dan kegiatannya sendiri. Anak lain baru dirasakan kehadir-

annya apabila misalnya anak tersebut menganmbil alat permainannya.

3) Onlooker Play (Pengamat)

Pada umumnya tampak pada anak berusia dua tahun, yaitu kegiat-

an bermain dengan mengamati anak-anak lain melakukan kegiatan

bermain dan tampak ada minat yang semakin besar terhadap kegiatan

anak lain yang diamatinya. Dapat juga tampak pada anak yang belunm

kenal dengan anak lain di suatu lingkungan baru sehingga malu atau

ragu-ragu untuk ikut bergabung. Sambil mengamati anak mungkin

juga mengajukan pertanyaan serta memerhatikan perilaku dan per

cakapan anak-anak yang diamatinya.

4) Paralel Play (Bermain Paralel)


Tampak saat dua anak atau lebih bermain dengan jenis alat per-

mainan yang sama dan melakukan gerakan atau kegiatan yang sama,

tetapi bila diperhatikan tampak bahwa sebenarnya tidak ada interaksi

diantara mereka. Contoh: saat anak-anak bermain mobil-mobilan,

membuat bangunan dari alat permainan lego atau balok-balok menu-

rut kreasi masing-masing, bermain sepeda atau sepatu roda tanpa ber-

interaksi. Mereka melakukan kegiatan paralel, bukan kerja sama, kare

na pada dasarnya mereka masih sangat egosentris dan belum mampu

memahami atau berbagi rasa dan kegiatan dengan anak lain.

5) Assosiative Play (Bermain Asosiatif)

Kegiatan bermain ini ditandai dengan adanya interaksi antar-anak

yang bermain, saling tukar alat permainan. Akan tetapi, bila diamati

akan tampak bahwa masing-masing anak sebenarnya tidak terlibat

dalam kerja sama. Misalnya dalam kegiatan menggambar, anak dapat

saling memberi komentar, berbagi pensil warna, dan ada interaksi

antar mereka; namun sebenarnya kegiatan menggambar itu mereka

lakukan sendiri-sendiri. Kegiatan bermain asosiatif ini biasa terlihat

pada anak usia prasekolah, anak-anak di TK.

6) Cooperative Play (Bermain Bersama)

Ditandai dengan adanya kerja sama atau pembagian tugas dan

pembagian peran antara anak-anak yang terlibat dalam permainan

untuk mencapai satu tujuan tertentu. Misalnya, bermain dokter-dok

teran, bekerja sama membuat bangunan dari balok-balok, dan lain-

lain. Kegiatan ini sudah tampak pada anak usia sekitar lima tahun.
Menurut Berger pada tahun 1983 (Tedjasaputra, 2001), kegiatan

bermain dapat dibedakan atas:

a) Sensory motor play. Merupakan kegiatan bermain yang mengan-

dalkan indra dan gerakan tubuh dan sudah tampak sejak anak

berusia 3 bulan. Keasyikan yang diperoleh anak, misalnya saat

mereka mendengar suara-suara di sekelilingnya dan merasakan

sesuatu dengan mulutnya. Keasyikan ini juga terlihat pada anak

prasekolah, misalnya saat mendengar suara air yang ditiup dengan

sedotan, bunyi saat menghisap nmie, suara air karena dilempar ke

rikil. Juga saat mereka menikmati berbagai tekstur yang mereka

rasakan saat bermain dengan lilin, tanah liat, pasir, atau adonan

terigu.

b) Mastery play. Merupakan kegiatan bermain untuk menguasai ke-

terampilan tertentu dan merupakan latihan bagi anak untuk me-

nguasai keterampilan yang baru baginya melalui pengulangan yang

dilakukan anak, misalnya berguling-guling, melompat, berputar-

putar, dan bergelantungan. Hal-hal tersebut dirasakan anak seba-

gai tantangan yang harus diatasi dengan keterampilan motoriknya

dan dilakukan tanpa bosan. Dengan bertambahnya usia, kegiatan

bermain dalam bentuk permainan mengasah kecerdasan atau pe-

mecahan masalah, misalnya tebak-tebakan atau mengisi teka-teki

silang, menyusun puzzle, mengelompokkan benda, menyusun hu-

rufuntuk membentuk kata atau kalimat tertentu, dan lain-lain.

c) Rough and tumble play. Merupakan kegiatan bermain kasar se-

perti bergelut, bergulingan, saling dorong, pura-pura menjegal,


atau saling pukul, nanmun dilakukan diantara teman-teman yang

sudah cukup dikenal dengan baik sehingga juga menunjang per

kembangan sosial anak.

d) Social play. Merupakan tonggak penting dalam tahapan perkem

bangan sosial anak, mulai tampak pada usia prasekolah. Melalui

kegiatan bermain ini egosentrismenya semakin berkurang dan

secara bertahap anak berkembang menjadi makhluk sosial yang

bergaul dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Ke-

giatan bermain ini ditandai dengan adanya interaksi dengan orang

lain di sekeliling anak sehingga akhirnya anak mampu terlibat ker-

ja sama dalam bermain.

e) Dramatic play. Tampak sejalan dengan mulai munculnya ke

mampuan anak untuk berpikir simbolik. Contoh: bermain dengan

boneka yang kemudian disuapi, diajak bicara dan bermain, diberi

pakaian. Juga bermain jual-jualan, sekolah-sekolahan, dokter-dok

teran, atau berpura-pura sebagai bapak-ibu, seolah-olah sebagai

Superman, dan sebagainya. Hal ini akan membantu anak mencoba

berbagai peran sosial yang diamatinya, memantapkan peran sesuai

jenis kelaminnya, melepaskan ketakutan atau kegembiraannya,

mewujudkan khayalannya, serta belajar bekerja sama dan bergaul

dengan anak-anak lainnya.

h. Bermain pada Masa Kanak-kanak Awal

Anak-anak prasekolah umumnya bermain yang sifatnya koopera-

tif, yang mana permainan dipusatkan pada suatu tema tertentu dan
setiap anak mempunyai pesan yang ada kaitannya dengan tema terse-

but. Anak juga bermain secara paralel, yaitu berada bersama teman

tetapi bernmain sendiri-sendiri. Anak-anak usia 2-3 tahun lebih sering

terlibat dalam solitary play daripada anak-anak prasekolah yang lebih

tua usianya.

Puncak bermain masa prasekolah terjadi pada waktu bermain

pura-pura atau simbolis (symbolic play). Jenis permainan ini sering

kali tampak pada usia sekitar 18 bulan dan mencapai puncak pada usia

4-5 tahun dan kemudian menurun secara berangsur-angsur. Macam-

macam permainannya, antara lain pura-pura bicara di telepon main-

an dan minum dari gelas mainan. Telepon mainan dan gelas mainan

mewakili telepon dan gelas sesungguhnya, tetapi yang diminum atau

yang diajak bicara di telepon adalah sesuatu yang imajiner. Bermain

pura-pura merupakan aktivitas favorit pada masa kanak-kanak awal.

i. Dukungan Orangtua dalam Kegiatan Bermain Anak

(Brotherson, 2009)

1. Menyediakan waktu yang cukup untuk bermain.

2. Membuat kegiatan bermain bervariasi.

3. Merespons ajakan anak untuk bermain.

4. Meyakinkan bahwa alat-alat untuk bermain kondisinya aman.

5. Membantu anak bermain interaksi positif dengan anak-anak lain.

F. PERKEMBANGAN MORAL KANAK-KANAK AWAL


1. Syarat Perkembangan Moral

Perkembangan penalaran moral berkaitan dengan aturan dan kon-

vensi tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam in-

teraksinya dengan orang lain. Perkembangan moral dapat terlaksana

apabila:

a. Anak sudah mampu bernalar atau berpikir tentang aturan-aturan

yang menyangkut etika perbuatan. Fokusnya ialah pada penalaran

yang digunakan oleh anak untuk membenarkan suatu keputusan

moral. Contoh: anak dapat memberi pertimbangan mengapa dila-

rang menyontek pada saat tes di sekolah.

b. Perilaku anak sesuai dengan suasana dan lingkungan moral. Pene-

kanannya pada, contohnya, mengobservasi anak yang menyontek

dan keadaan-keadaan lingkungan yang menyebabkan dan mem

pertahankan ia menyontek.

C. Anak merasa bersalah bila melanggar aturan yang telah ditetapkan

dan sebaliknya ia merasa senang bila dapat melawan godaan.

2. Teori Perkembangan Moral

a. Teori Perkembangan Moral dari Kohlberg

Salah satu tokoh yang mengembangkan teori perkembangan mor-

al yaitu Lawrence Kohlberg, lahir pada 1927 dan besar di Brouxmille,

New York. Kohlberg membuat disertasi pada 1958 dengan judul The

Development of Modes of Thinking and Choice in the year 10 to 16 yang

merupakan titik tolak teorinya mengenai penahapan perkembangan

moral (Gunarsa, 1997). Selanjutnya dijelaskan bahwa Kohlberg me


ngemukakan teori perkembangan moral dengan dasar teori Piaget,

jadi dengan pendekatan organismik, melalui tahap-tahap dalam per

kembangan yang. seperti juga Piaget, dianggapnya mempunyai sifat

penahapan menurut urutan yang pasti dan berlaku universal.

Tahapan perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg di-

dasarkan atas hasil penelitiannya. Pada 1958 Kohlberg meneliti 72

anak yang terbagi dalam kelompok umur 10, 13, dan 16 tahun yang

berasal dari tingkatan sosial menengah dan bawah di Chicago. Pene

litian dilanjutkan pada 1963 dengan kelompok umur 1, 10, 13, dan 16

tahun. Pada 1970 penelitian dilakukan di Meksiko, Taiwan, Turki, dan

Yucatan (Gunarsa, 1997).

Rangkaian cerita yang disusun Kohlberg untuk penelitiannya

berupa suatu dilema sebagai berikut:

HEINZ MENCURI OBAT

Di Berlin ada seorang wanita yang hampir meninggal karena kanker. Menurut

para dokter hanya ada satu obat yang mungkin dapat menyembuhkan penyakit

wanita itu. Obat itu adalah semacam radium yang baru saja ditemukan oleh ahli

obat di kota tersebut. Pembuatan obat tersebut memerlukan biaya yang sangat

mahal, dan ahli obat itu meminta bayaran sepuluh kali ongkos pembuatan obat

tersebut. la minta bayaran 200 dolar untuk radium dan 2.00o dolar untuk dosis

kecil obat yang sudah jadi. Suami wanita tersebut, yaitu Heinz, pergi kepada

semua orang yang dikenalnya untuk meminjam uang guna membeli obat terse-

but, tetapi la hanya berhasil mengumpulkan uang 1.000 dolar. la menjumpai

ahli obat tersebut dan menerangkan bahwa istrinya sedang dalam keadaan
antara hidup dan mati dan meminta ahli obat untuk menjual obatnya lebih mu-

rah atau mengizinkan dia membayar belakangan. Tetapi ahli obat itu berkata:

"Tidak, saya menemukan obat itu dan saya akan mencetak uang dengan obat

itu." Heinz sangat sedih, kemudian pergi ke toko ahli obat dan mencuri obat

untuk isterinya.

Pertanyaan: Haruskah Heinz mencuri obat tersebut?

TUAN JAMES

Pada suatu hari sirene tanda bahaya berbunyi. Setiap orang sadar bahwa bom

hidrogen akan dijatuhkan di kota itu oleh musuh, dan jalan satu-satunya untuk

menyelamatkan diri adalah berlindung di tempat pelindung bom. Tidak semua

orang memiliki pelindung bom. Mereka yang mempunyai perlindungan, lari

cepat-cepat untuk berlindung. Demikian juga suami istri James yang mempu-

nyai tempat pelindung, pergi ke tempat tersebut. Di tempat perlindungan ini

terdapat udara yang cukup untuk lima hari. Mereka mengetahui bahwa sesudah

ima hari pengaruh bom akan berkurang dan mereka bisa keluar dari tempat

perlindungan. Mereka akan mati jika keluar sebelum waktunya. Udara di dalam

tempat perlindungan hanya cukup untuk keluarga James. Tetangga-tetangga

James yang tidak mempunyai tempat perlindungan mencoba masuk, namun

ditolak James karena James mengetahui bahwa mereka tidak akan memperoleh

cukup udara dan mereka bisa mati jika para tetangga itu masuk.

Para tetangga karena ditolak, kemudian mencoba merusak pintu agar dapat

masuk. Kemudian Tuan James mengambil senapan dan meminta mereka perg

atau ia akan menembak. Namun para tetangga tidak mau pergi.

Pertanyaan:
a. Apa yang harus dilakukan oleh tuan James?

b. Apakah ia mempunyai hak untuk menembak para tetangga jika ia merasa

bahwa mereka semua akan mati bila ia mengizinkan mereka masuk? Meng-

apa?

C. Apakah ia mempunyai hak untuk membiarkan para tetangga berada di luar

perlindungan sekalipun ia tahu bahwa mereka akan mati bila dibiarkan di

luar? Mengapa?

d. Apakah ia mempunyai hak untuk membiarkan mereka semua masuk sedang-

kan ia mengetahui mereka semua akan mati? Mengapa?

Cerita dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menyebabkan

orang yang membacanya didesak pada suatu situasi konflik karena

memunculkan suatu dilema. Yang penting dan ingin diketahui bu-

kan apa yang akan atau harus dilakukan, melainkan mengapa ía harus

melakukan itu.

3. Tahap Perkembangan Moral

Menurut Kohlberg, perkembangan moral/insan kamil (moral rea-

soning) melalui tiga tingkatan (terdiri dari enam stadium), dan sta-

dium ini akan selalu dilalui oleh setiap anak, jadi merupakan hal yang

universal, yang di mana-mana walaupun mungkin tidak pada usia

yang sama namun perkembangannya selalu melalui urutan itu (Gu-

narsa, 1997, Monks dkk., 2001; Santrock, 2007).

Tingkatan : Penalaran moral yang pra-conventional


Merupakan tingkat terendah dari penalaran moral. Pada tingkat

ini, baik dan buruk diinterpretasikan melalui reward (imbalan) dan

punishment (hukuman).

Stadium 1: Moralitas heteronom.

Penalaran moral terkait dengan hukuman (punishment). Anak ber

pikir bahwa mereka harus patuh karena takut hukuman (tingkah

laku dinilai benar bila tidak dihukum, dan sebaliknya).

Stadium 2: Individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran.

Pada tahap ini penalaran individu yang memikirkan kepentingan

diri sendiri adalah hal yang benar dan hal ini juga berlaku untuk

orang lain. Karena itu, menurut anak apa yang benar adalah se-

suatu yang melibatkan pertukaran yang setara. Mereka berpikir

jika mereka baik kepada orang lain, maka orang lain juga akan

baik terhadap dirinya.

b. Tingkatan ll: Penalaran moral yang conventional

Individu memberlakukan standar tertentu, tetapi standar ini di-

tetapkan oleh orang lain, misalnya orangtua atau pemerintah.

Stadium 3: Ekspektasi interpersonal mutua, hubungan dengan

orang lain, dan konformitas interpersonal.

Pada tahap ini, anak menghargai kepercayaan, perhatian, dan ke

setiaan terhadap orang lain sebagai dasar dari penilaian moral.

Anak mengadopsi standar moral orangtua agar dianggap oleh

orangtua sebagai anak yang baik. Dengan kata lain, merupakan ta-

hap orientasi anak atau person yang baik.


Stadium 4: Moralitas sistem sosial.

Penilaian moral didasari oleh pemahaman tentang keteraturan

di masyarakat, hukum, keadilan, dan kewajiban, Sebagai contoh,

anak berpikir supaya komunitas dapat bekerja dengan efektif perlu

dilindungi oleh hukum yang diberlakukan terhadap anggotanya.

Dengan kata lain, merupakan tahap orientasi pelestarian otoritas

dan aturan sosial (aturan sosial yang ada harus dijaga).

C. Tingkatan l: Penalaran moral yang post-conventional

Individu menyadari adanya jalur moral alternatif, mengeksplorasi

pilihan ini, lalu memutuskan berdasarkan kode moral personal.

Stadium 5: Kontrak atau utilitas sosial dan hak individu.

Pada tahap ini individu menalar bahwa nilai, hak, dan prinsip lebih

utama atau lebih luas daripada hukum. Individu mengevaluasi va-

liditas hukum yang ada, dan melindungi hak asasi dan nilai dasar

manusia. Dengan kata lain, merupakan orientasi kontrol legalistis

(untuk kehidupan bersama yang teratur).

Stadium 6: Prinsip etis universal.

Individu mengembangkan standar moral berdasarkan hak asasi

manusia universal. Ketika dihadapkan dengan pertentangan an-

tara hukum dan hati nurani, individu menalar bahwa yang harus

diikuti adalah hati nurani, meskipun keputusan ini dapat mem-

berikan risiko. Dengan kata lain, merupakan orientasi atas dasar

prinsip dan konsiensia sendiri (ukuran penilaian adalah konsien-

sia sendiri).
4. Perkembangan Moral pada Masa Kanak-kanak Awal

Mengacu pada teori perkembangan moralnya Lawrence Kohlberg,

maka anak-anak usia prasekolah yang penalaran kognitifnya ada pada

tahap pra-operasional, perkembangan moralnya juga masih terbatas.

Berdasarkan teori perkembangan moral Kohlberg, maka perkembang

an moral anak awal berada pada tahap/tingkatan I, yaitu penalaran

moral yang prakonvensional. Penalaran moral pada tingkat ini men

dasarkan pada objek di luar individu sebagai ukuran benar atau salah.

Anak pada masa ini ada pada stadium orientasi patuh dan takut hu-

kuman. Jadi, suatu tingkah laku dinilai benar bila tidak dihukum dan

salah bila dihukum. Seseorang harus patuh pada otoritas karena otori-

tas tersebut berkuasa (Monks dkk., 2001).

Dalam tahap perkembangan moral ini, anak-anak secara otomatis

mengikuti peraturan tanpa berpikir atau menilai, dan ia menganggap

orang-orang dewasa yang berkuasa sebagai mahakuasa. la juga menilai

semua perbuatan sebagai benar atau salah berdasarkan akibat-akibat-

nya dan bukan berdasar motivasi yang mendasarinya. Menurut sudut

pandang anak, perbuatan yang salah adalah yang mengakibatkan hu-

kuman (Hurlock, 1980). Anak mengetahui bahwa suatu perbuatan itu

dikatakan baik dari hadiah yang dijanjikan orang lain, artinya anak

tahu bahwa tindakannya itu benar jika dengan tindakannya itu kebu-

tuhannya terpuaskan atau memperoleh hadiah/pujian. Jadi, anak be-

lum memahami mengapa ia harus berbuat demikian. Masa-masa ini

merupakan masa penegakan disiplin. Menurut Hoffman (Hurlock,


1980) pertumbuhan moral anak erat hubungannya dengan kegiatan

mendisiplinkan anak.

5. Kedisiplinan pada Anak

a. Tujuan Disiplin bagi Anak

Disiplin merupakan cara orangtua mengajarkan kepada anak-

anaknya perilaku moral yang diterima kelompok. Tujuannya adalah

memberitahukan kepada anak perilaku mana yang baik dan mana

yang buruk dan mendorongnya untuk berperilaku sesuai dengan stan-

dar-standar yang ditetapkan (Hurlock, 1980). Disiplin adalah suatu

pembatasan yang dikenakan pada anak, dapat berupa larangan, pan-

tangan, dan ketentuan-ketentuan yang berasal dari lingkungan (kelu-

arga, masyarakat kecil, dan masyarakat dunia). Melalui disiplin, anak

dapat belajar berperilaku dengan cara yang diterima oleh masyarakat.

Pokok utama disiplin sebenarnya adalah peraturan, yaitu pola tertentu

yang ditetapkan untuk mengatur perilaku anak. Jadi sebaiknya orang-

tua membuat peraturan yang sesuai dengan usia dan perkembangan

anak, yang dapat dimengerti dan diterima anak; yang diterapkan se-

cara konsisten oleh siapa pun agar upaya mendisiplinkan anak dapat

berjalan dengan baik.

b. Unsur Disiplin

Ada empat unsur penting dalam disiplin, yaitu (Hurlock, 1980):

1. Peraturan sebagai pedoman perilaku.

2. Konsistensi dalam menerapkan peraturan dan cara yang diguna


kan.

3. Hukuman bagi pelanggaran peraturan.

4. Hadiah atau penghargaan untuk perilaku yang sesuai dengan per-

aturan.

6. Disiplin yang Efektif

Disiplin yang diterapkan pada anak hendaknya memang berkait-

an dengan upaya pembentukan perilaku positif yang penting dimi-

liki oleh anak, dan disesuaikan dengan taraf perkembangannya. Oleh

karena itu disiplin harus ditujukan untuk mengevaluasi perilaku posi-

tif dari anak, yang ditampakkan dalam lima kriteria disiplin yang efek-

tif (www.himalayanacademy.com/resources/parenting), yaitu:

a. Anak merasa disiplin itu berarti/penting bagi dirinya.

b. Dipatuhi dan dilakukan dengan semangat.

C. Efektif untuk jangka panjang.

d. Mengajarkan keterampilan hidup dan keterampilan sosial yang

bernilai untuk karakter yang baik (respek, peduli pada orang lain,

mampu memecahkan masalah, suka bekerja sama).

e. Membantu anak mengembangkan keyakinan bahwa mereka me

miliki kemampuan.

Pengenalan disiplin kepada anak oleh orangtua harus dilakukan

dalam suasana yang menyenangkan dan penuh kasih sayang, demiki-

an juga yang harus dilakukan oleh guru kepada peserta didiknya. Tu-

juan disiplin bukanlah untuk menghukum anak, tetapi tujuan utama

disiplin yang positif (www.himalayanacademy.com/resources/parent


ing), yaitu memampukan orang dewasa dan anak untuk mengalami

rasa senang/gembira (joy), harnnony, cooperation, share responsibility

mutual respect and love in their life and relationships in other words,

more connection.

Jones (2000) mengemukakan beberapa teknik disiplin yang efektif,

yaitu:

a. Ignoring. Dilakukan dengan cara mengabaikan (tidak memerhati-

kan, tidak menanggapi) jika anak melakukan perbuatan yang tidak

tepat/melanggar. Bila melakukan perbuatan yang benar, maka di-

beri perhatian, dipuji, atau reinforcement tertentu.

b. Modeling. Imitasi merupakan salah satu metode efektif untuk

belajar sesuatu bagi anak. Perlu ada role model dari orangtua dan

orang dewasa di sekelilingnya, karena akan membantu anak bel-

ajar perilaku yang bisa diterima.

Rules. Aturan dibuat secara adil dan reasonable dan berilah pen-

jelasan kepada anak sesuai dengan kemampuan kognitifnya meng-

apa aturan itu dibuat.

d. Time out. Bila anak melanggar aturan, maka diberi waktu bebe-

rapa saat untuk anak memahami bahwa mereka telah berperilaku

yang tidak diterima.

e. Natural and logical consequences. Anak menerima konsekuensi-

nya apabila tidak mau melakukan aturan. Misalnya, jika anak tidak

mau memasukkan sepedanya, maka dapat dikatakan, "Kamu me-

ninggalkan sepedamu di luar sehingga sekarang kamu tidak boleh

menggunakan sepedamu untuk satu hari ini."


f. Allowing child to take risks. Bila aturan dilanggar maka anak akan

menerima risikonya. Misalnya, anak makan permen berlebihan

akan menderita sakitp

& Restricting activities to specific places. Perilaku tertentu dapat di-

lakukan di suatu tempat, tetapi tidak di tempat lain. Misalnya, me-

nendang bola boleh dilakukan di luar rumah, tetapi tidak di dalam.

h. Anticipating situations that my produce stress for chidren. Mem-

persiapkan anak menghadapi situasi tertentu agar tidak stres. Anak

yang stres dapat melakukan perilaku yang tidak tepat.

i. Planning and structuring activities. Aktivitas yang terencana dan

terstruktur dan tidak berlebihan, yang sesuai dengan usia anak.

j. Building children's self-esteem. Membantu anak untuk memper-

oleh kepercayaan diri dan memperbaiki self-concept-nya agar self

esteem-nya meningkat, dengan cara memerhatikan anak saat being

good dan memberi pujian.

k. Stating expectations in advance. Membuat anak mengetahui apa

yang diharapkan dan harus realistis.

Giving " statements. Berbagi perasaan daripada menyalahkan

anak.

m. Encouraging children to set rules for themselves. Memberi pema-

haman bahwa aturan dibuat untuk dirinya sebagai alat kontrol

perilakunya.

7. Pelanggaran

Anak-anak dapat melakukan bermacam-macam pelanggaran, na-


mun bentuk yang sering dilakukan adalah ketidakteraturan, mengisap

ibu jari, mengompol, membuat suasana ribut, ledakan amarah, berbo-

hong, merusak, bermain curang, dan mengeluyur. Namun pada masa

anak awal, pelanggaran yang dilakukan berkaitan juga dengan belum

matangnya anak, yang berangsur-angsur akan berkurang dengan

bertambahnya usia anak (Hurlock, 1980). Jadi, penting diperhatikan

terutama oleh orangtua dan guru bahwa pelanggaran yang dilakukan

anak-anak juga berkaitan dengan taraf perkembangannya. Namun

tentu saja tidak berarti bahwa pelanggaran ini didiamkan saja. Tetap

harus ada upaya untuk mengatasi dan membiasakan anak berperilaku

tidak melanggar peraturan dengan penuh kesabaran, tidak keras, dan

tetap mengingat bahwa usianya masih anak-anak.

8. Manfaat Disiplin

Kedisiplinan harus dilatihkan kepada anak sejak awal, agar anak

mempunyai kebiasaan berperilaku yang baik dan tertib yang akan san-

gat berguna dalam mendukung perkembangan aspek-aspek lainnya

dan untuk kehidupannya kelak. Melalui disiplin anak akan:

a. Merasa aman, karena ia akan tahu mana yang boleh dan mana

yang tidak boleh dilakukannya.

b. Membantu anak menghindari perasaan bersalah dan rasa malu

akibat perilaku yang salah.

C. Memungkinkan anak hidup menurut standar yang disetujui ke-

lompok sosial, sehingga tidak ditolak oleh kelompoknya.

d. Merasa disayang dan diterima karena dalam proses disiplin anak


mendapat pujian bila melakukan hal yang baik, yang kemudian di-

tafsirkan oleh anak sebagai tanda kasih sayang orangtua.

e. Pendorong ego yang mendorong anak mencapai apa yang diharap

kan darinya.

f. Membantu anak dalam mengembangkan hati nuraninya karena

"suara dari dalam' membimbing anak membuat keputusan dan

mengendalikan perilakunya.

9. Hukuman

Dalam upaya mendisiplinkan anak, kadang kala ada orangtua

yang menerapkan pemberian hukuman dalam beberapa bentuk, na

mun sering kali dalam bentuk hukuman fisik. Berkaitan dengan pem-

berian hukuman fisik ini ada beberapa pendapat. Menurut Greven,

selama berabad-abad hukuman fisik seperti memukul, dianggap seba-

gai metode yang perlu dan bahkan disarankan dalam upaya mendisi-

plinkan anak. Survei nasional tahun 2004 yang dilakukan oleh Re

galado dkk. terhadap orangtua di Amerika Serikat yang mempunyai

anak usia 3 dan 4 tahun menemukan bahwa 26 persen dari orangtua

dilaporkan sering berteriak pada anaknya. Penelitian lintas budaya

tahun 2001 oleh Curran menyimpulkan bahwa orang Amerika Seri-

kat dan Kanada termasuk yang paling mendukung hukuman fisik

dan cenderung paling ingat pada hukuman fisik yang dilakukan oleh

orangtuanya (Santrock, 2007).

Menurut Gershoff (Santrock, 2007), hukuman fisik berkorelasi

dengan rendahnya tingkat ketaatan dan agresivitas pada anak, rendah


nya tingkat internalisasi moral, dan kesehatan mental yang lebih ren-

dah. Beberapa pendapat menyatakan perlunya menghindari hukuman

dengan alasan, sebagai berikut:

a. Orangtua yang menghukum anak dengan berteriak, menjerit, atau

memukul akan menjadi model lepas kendali ketika menghadapi

situasi yang menekan bagi anak-anaknya.

b. Hukuman bisa menanamkan rasa takut, kemarahan, dan peng

hindaran. Contohnya, pemukulan terhadap anak bisa menyebab-

kan anak menghindari kedekatan dan takut dengan orangtuanya.

C. Hukuman memberi informasi pada anak tentang apa yang tidak

boleh dilakukan bukan apa yang harus dilakukan. Anak-anak se

harusnya didorong dan diberi umpan balik, contoh: "mengapa

kamu tidak mencoba hal ini?"

d. Hukuman bisa bersifat menyiksa, walaupun sebenarnya orangtua

tidak bermaksud demikian, Hal ini karena pada saat memberi hu-

kuman biasanya emosi orangtua meningkat sehingga suara mau

pun tindakannya menjadi lebih keras.

Alasan-alasan tersebut membuat Swedia memberlakukan undang-

undang pada tahun 1979 yang melarang orangtua menghukum fisik,

misalnya memukul atau menampar. Sejak berlakunya undang-undang

tersebut, tingkat kenakalan, penyalahgunaan alkohol, pemerkosaan,

bunuh diri oleh pemuda di Swedia menurun. Negara-negara lain yang

juga menerapkan Undang-Undang Anti Pemukulan adalah Finlandia,

Denmark, Norwegia, Austria, Siprus, Latvia, Kroasia, Jerman, dan Is-


rael (Santrock, 2007).

Mengingat efek yang ditimbulkan dari pemberian hukuman, keba-

nyakan psikolog anak merekomendasikan agar orangtua menghindari

terutama hukuman fisik, dan jika anak melakukan kesalahan/pelang-

garan lebih baik mengajak anaknya berpikir logis, yaitu menjelaskan

akibat tindakan anak khusunya terhadap orang lain.

Hukuman sering kali mengakibatkan seseorang menjadi merasa

down dan "buruk". Ada tiga efek negatif hukuman yang dapat muncul

yang disebut dengan three Rs of punishment (www.himalayanacademy

com/resources/parenting/), yaitu perilaku:

a. Rebellion (balasa dendam).

b. Revenge (pemberontakan).

C. Retreat, dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu:

1) self-esteem yang rendah, misalnya "I really am a bad person and

need to please others to get love."

2) sneaky, misalnya "Ijust won't get caught next time."

G. PERKEMBANGAN MINAT ANAK TERHADAP AGAMA

Pada masa ini, menurut Hurlock (1980), keingintahuan anak ten-

tang masalah-masalah agama menjadi besar dan anak senang meng-

ajukan banyak pertanyaan (terutama pada akhir masa ini). Anak me-

nerima jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tanpa ragu-ragu.

Konsep anak tentang agama adalah realistis, dalam arti anak menaf-

sirkan apa yang didengar dan dilihatnya sesuai dengan apa yang sudah

diketahui. Misalnya, Tuhan berambut panjang dan berjenggot, ma

laikat bersayap putih, Surga adalah tempat di mana segala keinginan


dipenuhi.

Minat anak pada agama bersitat egosentris, contoh: menurut anak,

Santa Klaus akan membawakan semua yang ia inginkan. Juga ada pada

tahapan dongeng, artinya anak menerima semua keyakinannya de

ngan unsur yang tidak nyata. Cerita-cerita Alkitab dan upacara-upa

cara agama sangat menarik perhatiannya, sehingga anak sangat senang

dilibatkan pada upacara-upacara agama.

La

10

Periode Kanak-kanak Akhir (6-12 Tahun)

asa kanak-kanak akhir dimulai dari usia enam tahun sam-

M pai kira-kira usia 12 tahun atau sampai tiba saatnya indi-

vidu menjadi matang secara seksual. Selanma setahun atau

dua tahun terakhir dari masa kanak-kanak terjadi perubahan fisik

yang menonjol dan hal ini juga dapat mengakibatkan perubahan

dalam sikap, nilai-nilai, dan perilaku. Menjelang berakhirnya periode

ini anak mempersiapkan diri secara fisik dan psikologis untuk mema-

suki masa remaja. Anak pada masa ini digolongkan sebagai anak usia

sekolah karena anak sudah memasuki dunia sekolah yang lebih serius,

walaupun pembelajaran di sekolah tetap harus disesuaikan dengan du-

nia anak-anak yang khas. Masa ini juga ditandai dengan perubahan

dalam kemampuan dan perilaku, yang membuat anak lebih mampu

dan siap untuk belajar diban-dingkan sebelumnya.


A. CIRI DAN TUGAS PERKEMBANGAN KANAK-KANAK AKHIR

1. Ciri Umum (Hurlock, 1980)

Orangtua umumnya menganggap masa ini merupakan usia yang

menyulitkan karena anak tidak mau lagi menuruti perintah dan lebilh

banyak dipengaruhi oleh teman-teman sebayanya. Juga disebut usia

tidak rapi karena anak cenderung tidak memedulikan dan ceroboh

dalam penampilan, kamarnya sangat berantakan, dan tidak bertang-

gung jawab terhadap pakaian dan benda-benda miliknya, terutama

pada anak laki-laki. Selain itu, disebut usia bertengkar karena anak

sering bertengkar dengan saudara-saudaraya.

Para pendidik menyebut sebagai usia sekolah dasar, yaitu saat

anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan dan berbagai keterampil

an di sekolah dasar. Masa ini merupakan masa pembentukan ke-

biasaan dorongan berprestasi yang cenderung menetap sampai dewasa

sehingga disebut juga masa kritis dalam dorongan berprestasi.

Psikolog menyebut masa ini usia berkelompok karena anak ingin

diterima oleh teman-teman sebayanya sebagai anggota kelompok dan

saat anak ingin menyesuaikan diri dengan standar kelompok dalam

penampilan, berbicara dan perilaku. Disebut juga usia kreatif karena

saat penentuan apakah anak akan menjadi pencipta karya yang kon-

formis atau baru dan orisinal. Pada masa ini anak mempunyai minat

dan kegiatan bermain yang beragam/luas sehingga disebut usia ber

main.
2. Tugas Perkembangan Kanak-kanak Akhir

Menurut Havighurst (dalam Mokns dkk., 2001), tugas-tugas per-

kembangan pada masa kanak-kanak akhir, yaitu:

a. Belajar kemungkinan-kemungkinan fisik/ketangkasan fisik.

b. Membentuk sikap sehat terhadap dirinya sendiri sebagai pribadi

yang sedang tumbuh dan berkembang.

C. Belajar peran jenís kelamin.

d. Belajar bergaul dengan teman-teman sebayanya.

e. Mengembangkan kemampuan-kemampuan dasar dalam mem

baca, menulis, dan menghitung.

f. Mengembangkan hati nurani/kata hati.

g Belajar membentuk sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga

lembaga di lingkunganya.

B. PERKEMBANGAN FISIK

Perkembangan fisik pada masa ini tidak lagi sepesat masa anak

awal. Dibandingkan sebelumnya pertumbuhan berjalan lebih lambat

dan merupakan periode tenang sebelum memasuki pertumbuhan

yang pesat pada masa pubertas/menjelang masa remaja. Umumnya

pada masa ini anak duduk di sekolah dasar.

1. Tinggi dan Berat Badan

Bentuk tubuh sudah lebih menyerupai orang dewasa. Keadaan

"kegemukan bayî' (baby fat) sudah mulai berkurang, karena kaki dan

tangan bertumbuh menjadi lebih panjang, dan tubuh lebih kurus. Dada

dan panggul lebih besar, berat dan kekuatan badan bertambah, serta
kemampuan lari, me-loncat, dan melempar bertambah baik. Sesudah

usia enam tahun, pertumbuhan badan menjadi agak lambat dibanding

sebelumnya sampai umur 10 tahun, anak laki-laki agak lebih besar

sedikit dibandingkan anak perempuan, sesudah itu anak perempuan

lebih unggul dalam tinggi badan, walaupun sesudah sekitar usia 15

tahun anak laki-laki lebih unggul.

Selama tahun-tahun ini, anak bertambah tinggi rata-rata 1-2 inci

per tahun, sehingga pada usia 11 tahun tinggi rata-rata anak perempuan

147 cm dan tinggi rata-rata anak laki-laki 146 cm. Selama pertengahan

dan akhir masa kanak-kanak, berat anak bertambah rata-rata 2,3-3,2

kg pertahun. Berat meningkat terutama karena bertambahnya ukuran

sistem rangka, sistem otot, dan ukuran beberapa organ tubuh. Massa

dan kekuatan otot berangsur-angsur bertambah. Kemampuan kekuat-

an anak berlipat ganda selama masa ini dan anak laki-laki umurnya

lebih kuat daripada anak perempuan (Monks dkk., 2001).

Apabila proporsi badan dan jaringan urat daging dapat dikatakan

tetap sampai kurang lebih tahun kelima, maka menurut Zeller pada

sekitar usia tahun kelima mulailah gestaltwandell pertama, yang ber

arti proporsi kepala dan anggota badan anak mulai seimbang. Ang

gota-anggota badannya menjadi lebih panjang, perutnya mengecil

dan, proporsi kepala dibandingkan bagian badan lain sudah normal

(Monks dkk., 2001). Bila usia sekitar dua tahun perban-dingan kepala

dan bagian badan adalah 1:5 dan usia enam tahun perbandingannya

1:6, maka perbandingan yang lebih baik akan dicapai saat usia 12 ta

hun, yaitu 1:7 dan pada usia 25 tahun perbandingannya 1:8. Jadi pada
masa ini terutama ke arah/mendekati usia 12 tahun, bentuk tubuh

sudah me-nyerupai orang dewasa dan keadaan fisiknya secara umum

lebih stabil dan lebih kuat dibandingkan pada masa anak awal.

Problem yang berkaitan dengan perkembangan fisik pada tahap-

an ini adalah malnutrisi, kegemukan, dan citra tubuh (Papalia dkk.,

2008). Malnutrisi dialami oleh anak-anak di banyak negara miskin

dan berkembang karena mereka kurang memperoleh makanan yang

cukup. Efek malanutrisi tidak saja pada perkembangan fisik namun

juga memengaruhi perkembangan kognitif, emosi, dan psikososial

anak. Sekarang ini kecenderungan terjadinya kegemukan pada anak-

anak meningkat selain karena faktor keturunan juga sebagai akibat

makanan yang tidak terkontrol, makanan yang salah, dan kurang

bergerak (karena cenderung banyak di depan televisi/komputer).

Anak-anak sekarang lebih ba-nyak bermain di dalam rumah daripada

di luar rumah dan bermain pasif karena tidak adanya lahan bermain

di rumah atau di lingkungannya. Efek kegemukan selain berpengaruh

pada kesehatan fisik seperti berisiko terkena tekanan darah tinggi,

sakit jantung. masalah ortopedis, diabetes, dan gangguan makan pa-

tologis, juga dapat berakibat anak merasa malu/rendah diri karena

bentuk tubuhnya tidak seperti teman-teman yang lain atau karena

ejekan teman-temannya.

2. Keterampilan Motorik

Perkembangan motoriknya menjadi lebih halus dan lebih terkoor

dinasi daripada masa anak-anak awal. Keseimbang-an badannya men-


jadi lebih baik, demikian juga koordinasi mata dan tangan menjadi

lebih baik yang dibutuhkan dalam gerakan-gerakan membidik, me-

nyepak, melempar, dan menangkap. Sehingga anak senang melaku-

kan kegiatan, antara lain latihan senam, olah raga, berlari, memanjat,

lompat tali, berenang, dan bersepeda secara lebih baik. Oleh karena itu

anak-anak di usia ini harus terlibat aktif dalam kegiatan.

Pada masa ini, tahap-tahap penguasaan berbagai aktivitas fisik

terlihat jelas. Berkaitan dengan keterampilan motorik kasarnya untuk

pertama kalinya anak mampu bersepeda tanpa bantuan siapa pun,

memanjat pohon atau bergelantungan di pohon, terutama pada anak

laki-laki. Walaupun masing-masing anak akan mengembangkan ke-

mampuan yang berbeda, tetapi proses belajar dan penguasaan aktivi-

tas fisiknya secara umum sama, misalnya sebelum dapat lancar naik

sepeda, anak akan jatuh bangun terlebih dahulu. Menurut Santrock

(1995) apabila dikuasai dengan baik, maka keterampilan-keterampil-

an fisik ini dapat menjadi sumber kenikmatan dan prestasi yang besar

bagi anak-anak. Pada keterampilan motorik kasar yang melibatkan

otot-otot besar, umumnya anak laki-laki lebih cekatan/mengungguli

anak perempuan.

Pada tahap ini umumnya anak duduk di sekolah dasar. Sesuai de

ngan taraf perkembangannya, mereka sudah lebih mampu mengen-

dalikan tubuhnya walaupun masih terbatas, dapat bertahan duduk,

dan memerhatikan dalam waktu yang cukup lama, tetapi harus dalanm

bentuk aktivitas aktif.

Pada usia ini anak juga banyak belajar berbagai macam koordinasi
visiomotorik. Aktivitas-aktivitas sensomotorik telah dapat diintegrasi

menjadi aktivitas yang dikoordinasi yang sangat penting untuk bela-

jar menulis dan menggambar. Saat usia tujuh tahun, umumnya sudah

dapat menulis karena gerakan tangan anak sudah lebih stabil walau-

pun kadang kala belum rapi, bahkan banyak anak yang sudah mampu

melakukan pada usia sebelumnya. Pada usia 8-10 tahun, koordinasi

motorik halus berkembang lebih baik lagi, dimana anak sudah dapat

menulis huruf bersambung, ukuran huruf lebih kecil dan lebih rata.

Usia 10-12 tahun mereka sudah mampu menunjukkan keterampilan

yang lebih kompleks, rumit, dan cepat yang diperlukan untuk meng

hasilkan kerajinan yangbermutu bagus atau memainkan musik dengan

lagu yang agak sulit. Anak-anak perempuan biasanya menunjukkan

keterampilan motorik halus yang lebih baik daripada anak laki-laki

Penggunaan Tangan Kiri (Kidal)

Dalam kehidupan sehari-hari, untuk melakukan berbagai kegiatan

seperti makan, menulis, menerima, atau memberikan sesuatu, sebagi-

an besar individu menggunakan tangan kanannya. Namun beberapa

lainnya menggunakan tangan kirinya. Oleh karena sebagian besar

orang menggunakan tangan kanannya, segala peralatan atau benda-

benda tertentu didesain untuk penggunaan tangan kanan. Bahkan

tangan kanan sering disebut dengan "tangan manis" dan pengguna

an tangan kiri sering diartikan tidak sopan atau tidak menghargai.

Demikian pula ketika orangtua dan guru melatih anak-anaknya meng-

gunakan tangan kanan termasuk untuk menulis. Saat anaknya mem


punyai kecenderungan kidal atau menggunakan tangan kiri biasanya

akan dipaksa untuk menggunakan tangan kanan. Kini perlu dipahami

bahwa perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh banyak faktor

sehingga ada kemungkinan perkembangan anak satu dengan yang

lainnya berbeda, termasuk dalam masalah penggunaan tangan kiri.

Yekin (2002) menyatakan bahwa warisan genetik mempunyai

pengaruh kuat berkaitan dengan penggunaan tangan kiri. Pendapat

ini memperkuat riset dari Carter-Salltzman (1980) yang mendapat-

kan bahwa penggunaan tangan dari anak adopsi tidak berhubungan

dengan penggunaan tangan dari orangtua adopsi, tetapi berhubungan

dengan penggunaan tangan dari orangtua biologis mereka (Santrock,

2007). Penggunaan tangan kanan dominan di seluruh budaya dengan

perbandingan sekitar sembilan pengguna tangan kanan berbanding

satu pengguna tangan kiri, dan kondisi ini muncul sebelum budaya me-

mengaruhi anak.

Apakah ada perbedaan pencapaian tingkat perkembang-an antara

pengguna tangan kanan dan tangan kiri? Penelitian yang dilakukan

Banham (1983) mendapatkan bahwa perkembangan bicara dan keter-

ampilan bahasa anak-anak pengguna tangan kiri lebih lambat daripa

da pengguna ta-ngan kanan, tetapi dengan latihan yang tepat akhirnya

anak-anak kidal ini dapat mengejar ketinggalannya. Hasil yang berla-

wanan ditunjukkan oleh penelitian Bower (1985) yang mendapatkan

bahwa anak-anak kidal memiliki hasil yang tinggi pada kemampuan

verbal dan matematika. Beberapa riset lain (Santrock, 2007) menun-

jukkan hasil sebagai berikut: pengguna tangan kiri cenderung memi-


liki masalah membaca tetapi mempunyai keterampilan visual spasial

yang luar biasa dan kemampuan membayangkan tata letak visual. Se-

lain itu persentase ahli matematika, musisi, arsitek, dan seniman lebih

tinggi pada pengguna tangan kiri, dan sekitar 20 persen kelompok

bernilai tinggi dalam hasil Tes Bakat Skolastik adalah anak-anak kidal.

Secara umum menjadi kidal tidak menghambat perkembangan secara

signifikan. Namun dalam dunia yang sebagian besar pengguna tangan

kanan, maka pengguna tangan kiri harus lebih banyak menyesuaikan

diri dengan peralatan-peralatan yang ada yang biasanya diciptakan

untuk pengguna tangan kanan. Dengan jumlah pengguna tangan kiri

yang jumlahnya makin banyak, perlu dibuat juga peralatan-peralatan

yang memerhatikan kebutuhan pengguna tangan kiri.

Saat ini, anak-anak pengguna tangan kiri tidak perlu dipaksa un-

tuk mengubah ke tangan kanan sejauh mereka merasa nyaman dan

tidak mengalami hambatan besar dalam melakukan berbagai hal. San-

trock (2007) menyatakan bahwa guru tidak perlu memaksa anak-anak

kidal untuk menggunakan tangan kanan, terutama untuk keterampil-

an yang sudah dikuasainya, karena justru akan menimbulkan kesulitan

dan gangguan emosional. Lebih baik guru mendorong anak-anak kidal

untuk menggunakan tangan kanan dalam mempelajari keterampilan

baru dan hanya bila anak menunjukkan keinginan yang kuat untuk

mengubah penggunaan tangan kiri menjadi tangan kanan. Sebenar

nya banyak guru yang mendorong anak-anak kidal menjadi ambi-

dextrous, yaitu cakap menggunakan kedua belah tangan, baik tangan

kiri maupun tangan kanan. Pada kenyataannya, anak-anak kidal juga


dapat berpretasi di sekolah sebaik anak-anak pengguna tangan kanan.

Dalam bidang olahraga juga ada pemain bulu tangkis, petinju, tenis,

dan lain lain yang menjadi juara. Demikian pula tentunya dalam bi-

dang-bidang lainnya.

3. Efek Gizi pada Pertumbuhan Fisik Anak

Anak-anak yang gemuk sering kali memang menyenangkan dan

menggemaskan. Namun kini banyak orangtua memiliki kesadaran

yang makin baik bahwa anak tidak harus gemuk, tetapi yang lebih

penting adalah anak harus sehat. Agar fisik anak dapat tumbuh secara

optimal, sehat, dan bugar, anak perlu memperoleh asupan makanan

yang bergizi seimbang. Kekurangan zat-zat penting yang diperlukan

tubuh akan berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang anak.

Dampak kekurangan gizi pada anak, antara lain:

a. Ada penyimpangan bentuk tubuh, misalnya kurus atau memiliki

perawakan pendek.

b. Kurang energi sehingga tubuh menjadi lemah dan kurang bermi-

nat terhadap kegiatan di sekelilingnya.

C. Gangguan kesehatan, yaitu mudah terserang penyakit seperti in-

feksi, kurang kalori protein, dan avitaminosis (kekurangan vita-

min).

d. Penampilan yang tidak sehat, misalnya tidak bugar, kulit tidak ber

cahaya dan kendur, mata tidak jernih, dan gigi berlubang.

e. Perkembangan kecerdasan kurang optimal karena kekurangan gizi

akan memengaruhi perkembangan sel-sel otak.


Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kekurang-an gizi

adalah orangtua perlu mengawasi terutama waktu makan, jumlah

makanan, dan jenis makanan agar nantinya menjadi kebiasaan yang

baik pada masa berikutnya. Hal ini penting dilakukan karena kini

orangtua tidak dapat selalu dekat dengan anaknya. Anak sudah mulai

banyak melakukan aktivitas di luar seperti sekolah dan pergi bermain

dengan teman-temannya. Penting diperhatikan bahwa pertumbuhan

yang optimal selain dipengaruhi oleh asupan makanan bergizi, juga

dipengaruhi oleh faktor genetik, hormon, dan lingkungan. Oleh kare-

na itu meski usia dan jenis kelamin anak sama, tetapi tinggi, berat, dan

besar fisiknya bisa berbeda-beda.

Faktor genetik merupakan salah satu faktor pengendali yang ikut

menentukan proses pertumbuhan seorang anak. Faktor ini merupakan

modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang

anak, dan disebut potensi biologis. Ukuran tinggi maupun bangun

tubuh yang diwariskan oleh kedua orangtuanya akan sangat menen-

tukan, misalnya bila ayah dan ibunya pendek, maka anak juga cende

rung pendek; demikian sebaliknya. Tentu ada beberapa pengecualian

bila orangtua atau saudara sekandung dari ayah atau ibu ada yang

bertubuh tinggi, ada kemungkinan anak juga dapat bertumbuh tinggi.

Berkaitan dengan faktor hormonal, maka hormon yang berperan

adalah hormon pertumbuhan (growth hormone), hormon tiroid, dan

hormon seks. Tanpa adanya hormon-hormon ini maka pertumbuhan

anak akan terganggu atau mengalami hambatan.


4. Gizi Berlebihan

Sesuatu yang berlebihan dapat berefek tidak baik, demikian juga

dalam hal makanan bergizi. Pemberian makanan bergizi, dalam arti

pemberian makanan bergizi yang seimbang, pada anak merupakan

hal yang sangat penting. Namun dengan maksud memenuhi gizi seim-

bang untuk anaknya, sering kali orangtua memberi gizi berlebihan.

Dampak yang nyata pada pemberian makanan bergizi yang berlebih-

an adalah kegemukan (obesitas). Banyak orang beranggapan bahwa

anak gemuk adalah anak yang sehat, tetapi kini mulai dipahami bahwa

kegemukan tidak baik karena dapat memicu timbulnya berbagai pe

nyakit di kemudian hari, seperti jantung dan kencing manis (diabetes

mellitus), dan yang tak kalah pentingnya adalah efek psikologisnya.

Efek psikologis kegemukan dapat berwujud, antara lain anak men-

jadi tidak lincah sehingga aktivitas sehari-harinya menjadi terhambat,

anak menjadi malu apabila diolok-olok oleh temannya sehingga men-

jadi minder atau rendah diri, mempunyai konsep diri yang rendah,

dan tidak percaya diri.

C. PERKEMBANGAN KOGNITIF

1. Perkembangan Kognitif Masa Kanak-kanak Akhir

(Menurut Piaget)

Mengacu pada tahap perkembangan kognitif dari Piaget, maka

anak pada masa ini berada pada tahap operasional konkret yang ber

langsung kira-kira usia 7-11 tahun. Pada tahapan ini, pemikiran logis

menggantikan pemikiran intuitit. Konsep yang semula samar-samar

dan tidak jelas, kini menjadi konkret. Anak sudah mampu berpikir
rasional dan melakukan aktivitas logis tertentu, walaupun masih ter

batas pada objek konkret dan dalam situasi konkret. Anak telah mam-

pu memperlihatkan keterampilan konversi, klasifikasi, penjumlahan,

pengurangan, dan beberapa kemampuan lain yang sangat dibutuhkan

anak dalam mempelajari pengetahuan dasar di sekolah. Cara ber

pikirnya sudah kurang ego-sentris yang ditandai dengan desentrasi

yang besar, yaitu sudah mampu memerhatikan lebih dari satu dimensi

dan juga menghubungkan satu dengan yang lainnya. Menjelang ber-

akhirnya masa ini atau menginjak masa praremaja, kemampuan kog

nitifnya makin meningkat. Misalnya, mereka sudah mampu menge

nal waktu, tanggal, bulan, atau tahun. Selain itu juga sudah mampu

menghubungkan waktu lampau dan sekarang, mengenal ukuran dan

besaran sesuatu, dan makin memahami hitungan. Menurut Piaget

(Santrock, 2007) kemampuan lainnya sebagai berikut.

Pada tahap operasional konkret, anak-anak dapat memahami:

a. Konservasi, yaitu kemampuan anak untuk memahami bahwa su-

atu zat/objek/benda tetap memiliki substansi yang sama walaupun

mengalami perubahan dalam penampilan. Ada beberapa macam

konservasi seperti konservasi jumlah, panjang, berat, dan volume.

b. Klasifikasi, yaitu kemampuan anak untuk mengelompokkan/

mengklasifikasikan benda dan memahami hubungan antarbenda

tersebut.

C. Seriation, yaitu kemampuan anak untuk mengurutkan sesuai di-

mensi kuantitatifnya. Misalnya sesuai panjang, besar, dan berat-

nya.
d. Transitivity, yaitu kemampuan anak memikirkan relasi gabungan

secara logis. Jika ada relasi antara objek pertama dan kedua, dan

ada relasi antara objek kedua dan ketiga, maka ada relasi antara

objek pertama dan ketiga.

Penerapan Teori Piaget dalam Pendidikan

Beberapa pemikiran Piaget yang dapat diterapkan dalam mendi-

dik anak (Elkind dan Heuwinkel, dalam Santrock, 2007), yaitu:

a. Menggunakan pendekatan konstruktif dalam belajar. Menurut

Piaget, anak-anak belajar dengan baik bila mereka aktif dan men-

cari solusi secara mandiri. Dalam belajar perlu melakukan eksperi-

men dan berdiskusi daripada hanya sebagai penerima pasif seperti

menirukan guru atau melakukan sesuatu secara hafalan.

b. Melakukan pembelajaran fasilitatif. Guru yang efektif mende-

sain situasi yang membiarkan murid belajar sambil bertindak

untuk mengembangkan penalaran dan kreativitasnya. Guru men-

dengar, memerhatikan, dan memberi pertanyaan pada siswa un-

tuk membantu murid memperoleh pemahaman yang lebih baik.

Guru mengamati dan memahami bagaimana para murid berpikir,

mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk merang-

sang pemikiran murid, dan meminta murid menjelaskan jawaban-

nya.

C. Memepertimbangkan pengetahuan dan tingkat pemikiran

anak. Murid tidak datang ke kelas dengan pikiran yang kosong,

tetapi mereka telah memiliki banyak pemahaman tentang dunia

fisik dan alam. Memiliki konsep tentang ruang, waktu, kuantitas,


dan sebab-akibat. Namun karena pemahaman ini berbeda dengan

pemahaman orang dewasa, maka guru perlu menerjemahkan apa

yang dikatakan murid dan meresponsnya pada tingkat yang dekat

dengan tingkat pemikiran murid. Piaget juga menyarankan pen-

tingnya menilai kesalahan-kesalahan anak dalam berpikir, bukan

saja untuk membenarkan cara berpikir mereka tetapi juga untuk

membimbing menuju tingkat pemahaman yang lebih tinggi.

d. Menggunakan penilaian yang berkesinambungan. Untuk meng

evaluasi kemajuan anak dapat dilakukan dengan cara portfolio,

musyawarah untuk mendiskusikan strategi pemikirannya, serta

penjelasan-penjelasan verbal dan tertulis dari murid tentang pe-

mikirannya.

e. Meningkatkan kesehatan intelektual murid. Anak-anak tidak

dipaksa dan ditekan untuk belajar terlalu banyak dan terlalu dini

sebelum mereka siap dan matang. Hal ini dapat menimbulkan be-

ban dalam meningkatkan perkembangan intelektual, menjadikan

proses pembelajaran bersifat pasif, dan tidak membawa hasil yang

diharapkan.

f. Mengubah ruang kelas menjadi ruang ekplorasi dan penemuan.

Guru mengobservasi minat para murid dan partisipasi alami me

reka dalam aktivitas-aktivitas yang menentukan jalannya pembela-

jaran. Guru mendorong interaksi antarmurid selama pelajaran dan

permainan berlangsung, karena perbedaan sudut pandang justru

memberikan kontribusi terhadap kemajuan berpikir mereka.


2. Pemrosesan Informasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa memori jangka pendek

(short-term memory) meningkat selama masa kanak-kanak. Hal ini di

buktikan melalui penelitian dengan pemberian tugas "rentang memo-

ri. Hasil penelitian menunjukkan memori jangka pendek bertambah

selama masa kanak-kanak. Perhatiannya juga membaik secara drama-

tis, dan pada saat ini anak lebih mengikuti gambaran-gambaran tugas

yang relevan dengan suatu pemecahan masalah daripada gambaran

gambaran yang tampak menonjol.

D. PERKEMBANGAN BAHASA

Pada masa sekolah ini anak menyadari bahwa bahasa merupa-

kan alat komunikasi yang penting untuk menyampaikan maksud, ke

inginan, dan kebutuhannya kepada orang lain. Demikian pula anak

menyadari bahwa melalui komunikasi ia akan mengerti orang lain.

Selain itu, berbicara sebagai salah satu bentuk bahasa merupakan sa

rana penting untuk memperoleh tempat dalam kelompoknya. Kosa-

kata bertambah banyak dan sudah dapat menguasai hampir semua

jenis struktur kalimat. Isi pembicaraan sudah bersifat sosial dan tidak

egosentris lagi. Peningkatan kemampuan anak untuk menganalisis

kata-kata, menolong anak memahami kata-kata yang tidak berkaitan

langsung dengan pengalaman-pengalaman pribadi mereka. Ini me-

mungkinkan anak menambah kata-kata yang lebih abstrak ke dalam

perbendaharaan katanya. Misalnya 'minuman keras dapat dipahami

dengan memahami ciri-ciri umum "bir" dan "wiski." Juga kemampuan


analitis anak memungkinkan mereka dapat membedakan antara kata

kata yang mirip. Pada akhir masa ini, umumnya anak dapat menerap

kan banyak aturan tata bahasa secara tepat.

Seiring dengan meningkatnya kosakata pada tahapan ini, peng

gunaan kata kerja yang tepat juga makin meningkat. Anak belajar

bahwa kata-kata tertentu dapat memiliki lebih dari satu arti/makna

dan mereka dapat menunjukkan makna yang tepat dari konteks. Anak

usia enam tahun masih jarang yang menggunakan kata-kata pasit, kata

perintah yang mengandung auxiliary have, dan kalimat kondisional.

Sampai dan mungkin setelah usia sembilan tahun, pemahaman anak

tentang aturan sintaksis (bagaimana kata diorganisasi ke dalam frasa

dan kalimat) menjadi makin rumit (Papalia dkk., 2008).

Ada pendapat yang menyatakan bahwa masa masa kritis perkem-

bangan bahasa terjadi antara usia dua tahun sampai dengan masa pu-

bertas (11-12 tahun). Pada 1960, Eric Lenneberg menyatakan bahwa

penguasaan bahasa bergantung pada kematangan, dan periode kritis-

nya antara usia 18 bulan sampai dengan akil balig. Menurut Lenne-

berg tahun-tahun prasekolah merupakan masa yang penting karena

pada masa inilah bahasa berkembang dengan cepat. Namun beberapa

pendapat lain menyatakan bahwa manusia tidak memiliki periode kri-

tis dalam pembelajaran bahasa, dan pembelajaran bahasa tetap ber-

lanjut dengan baik pada tahun-tahun berikutnya hingga dewasa (San-

trock, 2007).

Bilingualisme
Merupakan kemampuan berbicara dalam dua bahasa. Beberapa

penelitian menunjukkan hasil bahwa kemampuan berbicara dua ba-

hasa memiliki efek positif untuk perkembangan kognitif anak. Anak-

anak ini juga menunjukkan kinerja kontrol perhatian, formasi konsep,

pemikiran analitis, fleksibilitas kognitif, dan kompleksitas kognitif

yang lebih baik dibandingkan anak-anak sebayanya yang hanya me-

nguasai satu bahasa. Selain itu, anak-anak ini juga memiliki kepekaan

berkaitan dengan struktur bahasa lisan dan tulisan, serta lebih mampu

menyadari kesalahan pada tata bahasa dan makna yang sangat mem-

bantu meningkatkan keterampilan membaca (Santrock, 2007). Menu-

rut Eric Lenneberg (Budi Susilo, 1992) masa prapubertas merupakan

masa yang paling baik bagi anak untuk belajar dua bahasa sekaligus

di mana anak mampu mengucapkan/berbahasa dua bahasa itu tanpa

kesulitan. Tetapi apabila bahasa kedua setelah bahasa ibu diajarkan

sesudah lewat masa puber, maka anak akan mengalami kesulitan dan

harus bekerja keras untuk mempelajari bahasa tersebut. Anak-anak

memang lebih mudah menguasai bahasa kedua dibandingkan remaja

dan dewasa. Orang-orang dewasa biasanya membuat kemajuan awal

yang lebih cepat, tetapi keberhasilan akhir dalam penguasaan bahasa

tidak sebaik anak-anak. Di Rusia (Santrock, 2007), anak-anak sekolah

usia tujuh tahun mulai mempelajari bahasa Inggris; sehingga saat ini

hampir seluruh warga Rusia yang berusia di bawah 40 tahun dapat

berbahasa Inggris. Juga kemampuan anak untuk mengucapkan bahasa

kedua dengan aksen yang benar menurun seiring bertambahnya usia,

dan penurunan tajam terjadi setelah usia 10 hingga 12 tahun.


E. PERKEMBANGAN SOSIAL-EMOSIONAL

Perkembangan emosi dan sosial adalah proses berkembangnya ke

mampuan anak untuk menyesuaikan diri terhadap dunia sosial yang

lebih luas. Dalam proses perkembangan ini anak diharapkan menger

ti/memahami orang lain yang berarti mampu menggambarkan ciri-

cirinya, mengenali apa yang dipikirkan, dirasa, dan diinginkan serta

dapat menempatkan diri pada sudut pandang orang lain tersebut tan-

pa "kehilangan'" dirinya sendiri. Selama masa ini, anak meluangkan

banyak waktunya dalam berinteraksi dengan teman sebaya. Orang-

tua hanya mempunyai waktu sedikit dengan anak-anak selama masa

kanak-kanak akhir ini, tetapi masih merupakan pelaku sosialisasi yang

kuat dan penting.

Pada masa ini, anak menjadi lebih peka terhadap perasaannya

sendiri dan perasaan orang lain. Mereka dapat lebih baik mengatur

ekspresi emosionalnya dalam situasi sosial dan mereka dapat meres-

pons tekanan emosional orang lain. Pada usia 7-8 tahun, rasa malu dan

bangga memengaruhi pandangan anak terhadap diri mereka sendiri.

Secara bertahap anak juga dapat memverbalisasi emosi yang saling

bertentangan. Selain itu anak juga mulai dapat melakukan kontrol ter-

hadap emosi negatif. Anak-anak belajar tentang apa yang membuat

mereka marah, sedih, atau takut, serta bagainmana orang lain bereaksi

dalam menunjukkan emosi ini dan mereka belajar mengadaptasikan

perilaku mereka dengan emosi-emosi tersebut. Anak-anak yang lebih

besar juga makin mengetahui bahwa emosi dapat ditekan walaupun


emosi tersebut masih tersisa (Papalia dkk, 2008).

Anak-anak juga makin menyadari untuk menyesuaikan emosi

dengan kultur mereka. Penelitian Cole, Bruschi, dan Tamang pada

2002 menunjukkan hasil bahwa anak suku Tamang-Nepal yang ber-

kasta rendah, yang diajari untuk bersikap tunduk, dilaporkan lebih

cenderung merasa malu dalam situasi sulit daripada anak-anak kasta

Brahma-Nepal atau anak-anak AS, yang keduanya cenderung memi-

liki harga diri yang tinggi. Selain itu anak-anak Brahman yang diajari

untuk sadar diri dan kontrol diri jarang mengekspresikan rasa marah

dibandingkan dengan anak-anak AS yang diajari untuk bersikap tegas

(Papalia dkk., 2008).

Umumnya ungkapan emosional pada masa ini merupakan ung-

kapan yang menyenangkan. Anak-anak suka tertawa genit atau ter-

tawa terbahak-bahak, menggeliat, mengejangkan tubuh, atau ber

guling-guling di lantai, dan pada umumnya menunjukkan pelepasan

dorongan-dorongan yang tertahan. Untuk standar orang dewasa ung-

kapan emosional ini kurang matang, tetapi pada anak hal ini menan-

dakan bahwa anak berbahagia dan anak mempunyai penyesuian diri

yang baik (Hurlock, 1980).

Hurlock (1980) mengemukakan bahwa masa ini sering disebut se-

bagai usia berkelompok karena ditandai dengan adanya minat terha-

dap aktivitas teman-teman, meningkatnya keinginan yang kuat untuk

diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan akan merasa kesepian

dan tidak puas bila tidak bersama dengan teman-temannya. Anak

ingin bersama dengan kelompoknya karena hanya dengan demikian


terdapat cukup teman untuk bermain dan berolahraga serta memberi

kan kegembiraan. Hal ini berlaku baik untuk anak laki-laki maupun

perempuan.

1. Fungsi Kelompok

Walaupun dapat menimbulkan akibat yang tidak baik, namun

keanggotaan kelompok merupakan hal yang penting dalam rangka

membantu proses sosialisasi antara lain:

a. Belajar bekerja sama.

b. Belajar perilaku sosial yang baik.

C. Belajar bersaing dengan orang lain.

d. Belajar menerima dan melaksanakan tanggung jawab.

e. Belajar bersikap sportif.

f Belajar menyesuaikan diri dengan standar kelompok.

& Belajar bebas/tidak tergantung dari orang dewasa.

2. Perkembangan Emosi dan Sosial Kanak-kanak

Secara umum perkembangan emosi dan sosial kanak-kanak dapat

dijelaskan sebagai berikut

a. Dapat mengadakan ikatan dengan orang dewasa yang lain dan

anak sebaya, serta lingkungan sosialnya makin meluas.

b. Egosentrisme sudah agak berkurang, tetapi melihat kenyataan ma-

sih berdasarkan informasi yang terbatas.

C. Mempunyai keinginan kuat menjadi anggota kelompok, dan mulai

sekitar 10 tahun sudah dengan aturan dan perjanjian.


d. Konformisme, tetapi karena sifat-sifat pribadi dan faktor situasi

onal.

e. Emosi relatif lebih tenang dan bentuk ungkapannya berbeda de

ngan masa anak awal.

f. Bermain masih penting, tetapi waktunya sudah berkurang. Anak

sudah mulai sadar akan kesesuaian jenis permainan dengan ke-

lompok seksnya. Untuk anak yang lebih besar mulai bermain, se

perti basket, sepakbola. Sekitar usia 10 tahun suka permainan yang

bersifat persaingan.

Khusus berkaitan dengan perkembangan emosi, beberapa peneliti

(Santrock, 2007) menyatakan bahwa ada beberapa perubahan/pening-

katan penting, yaitu:

a. Peningkatan kemampuan untuk memahami emosi kompleks, mi-

salnya kebanggaan dan rasa malu.

b. Peningkatan pemahaman bahwa mungkin saja seseorang meng-

alami lebih dari satu emosi dalam situasi tertentu.

C. Peningkatan kecenderungan untuk lebih mempertimbangkan ke-

jadian-kejadian yang menyebabkan reaksi emosi tertentu.

d. Peningkatan kemampuan untuk menekan atau menutupi reaksi

emosional yang negatit.

e. Penggunaan strategi personal untuk mengalihkan perasaan ter-

tentu, seperti mengalihkan atensi atau pikiran ketika mengalami

emosi tertentu.

3. Perkembangan Sosial dan Emosional Anak dalam


Konteks Sekolah

Bila pada masa kanak-kanak awal peran orangtua dan pengasuh

sangat dominan dalam perkembangan sosial-emosional anak, maka

Aviles, Anderson, dan Davila (2006) menyatakan bahwa perkembang-

an sosial dan emosional pada masa kanak-kanak akhir dipengaruhi

oleh lingkungan rumah, masyarakat, dan sekolah. Mereka terutama

meneliti dalam kaitannya dengan konteks sekolah. Perkembangan so-

sial-emosional yang baik sangat berperan dalam kesiapan anak untuk

bersekolah dan memperoleh prestasi belajar yang baik. Berbagai pene-

litian telah menunjukkan bahwa hambatan dalam perkembangan so-

sial-emotional berakibat pada munculnya masalah-masalah akademis.

Dalam Zero to Three (Waltz, 2007) disebutkan bahwa beberapa ke-

terampilan sosial-emosional yang mendukung school readiness anak,

yaitu confidence, curiosity, intentionality, self-control, relatedness, capa-

city to communicate, cooperativeness.

Oleh karena itu, berkaitan dengan perkembangan sosial-emosio-

nal pada masa kanak-kanak akhir, selain peran orangtua maka seko-

lah juga harus terlibat untuk berperan karena anak-anak lebih banyak

menghabiskan waktunya di sekolah dibanding saat masa kanak-kanak

awal (prasekolah). Pada masa kanak-kanak akhir (6-12 tahun) meru-

pakan masa anak memasuki sekolah dasar. Ahli-ahli yang profesional

seperti psikolog dan konselor sekolah perlu dilibatkan untuk mem-

bantu guru merancang kegiatan-kegiatan yang efektif untuk mengem-

bangkan sosial-emosional anak.


4. Bermain pada Masa Kanak-kanak akhir

a. Fungsi Bermain

Pada masa ini, waktu bermain sudah lebih sedikit dibanding saat

sebelumnya. Tetapi mengingat pentingnya bermain bagi perkembang-

an fisik, sosial dan emosi anak, maka anak perlu diberi waktu untuk

bermain yang sesuai dengan tahap perkembangannya. Lever (Hur

lock,1980) menyatakan bahwa selama bermain anak mengembangkan

berbagai keteram-pilan sosial sehingga memungkinkannya untuk me-

nikmati keanggotaan kelompok dalam masyarakat anak-anak.

Selama masa kanak-kanak akhir, baik anak laki maupun perem-

puan sangat sadar akan kesesuaian jenis permainan dengan kelompok

seksnya. Oleh karena itu anak menghindari kegiatan bermain yang di

anggap tidak sesuai untuk kelompok jenis kelaminnya, tanpa memper

hitungkan kesenangan pribadi. Saat ini anak suka bermain konstruk-

tif, menjelajah, mengumpulkan/mengoleksi sesuatu, permainan dan

olahraga, serta hiburan seperti membaca komik, mendengarkan radio,

menonton film/televisi, atau melamun/berkhayal (Hurlock, 1980).

Bermain juga merupakan salah satu cara bagi anak untuk meng-

asah kepekaannya melalui kelompok pergaulannya. Saat bermain

dengan temannya, anak mulai belajar memahami sudut pandang

orang lain. Menjadi bagian dari kelompok dan lingkungan tertentu,

menunggu bagiannya untuk beraksi, tidak selalu menang dan menjadi

yang terbaik; merupakan cara anak mempelajari hal yang selama ini

mungkin tidak diperhatikannya. Hal ini tentunya sulit, tetapi kegiatan

ini memberi kesempatan pada anak untuk belajar berbagi. Pada saat
anak dudukdi kelas 4-5 sekolah dasar, anak akan memperoleh kepuas-

an yang lebih besar jika bermain dengan teman yang seusia, berminat

sama, dan dari jenis kelamin yang sama.

b. Bermain Games

Games adalah aktivitas bermain yang dilakukan demi kesenangan

dan memiliki peraturan tertentu. Games sering kali melibatkan kom-

petisi dengan satu individu atau lebih. Anak-anak prasekolah biasanya

berpartisipasi dalam permainan games sosial yang memiliki aturan

sederhana tentang giliran dan sifat timbal balik. Games memiliki peran

yang lebih kuat dalam kehidupan anak-anak usia sekolah dasar. Dalam

satu studi dinyatakan bahwa jumlah/freku-ensi terjadinya permainan

games yang paling tinggi terjadi di antara usia 10-12 tahun. Setelah

usia 12 tahun, popularitas games menurun (Santrock, 2007).

Saat ini permainan games tidak hanya dilakukan dalam kegiatan

nyata, tetapi juga di komputer, baik video games maupun online games.

Hal ini dimungkinkan terjadi karena sekarang ini hampir semua ke

luarga di Indonesia, terutama yang di kota-kota besar, mempunyai

komputer dan banyak anak-anak usia sekolah dasar yang sudah sa-

ngat pahanm dengan peralatan ini. Kekhawatiran berbagai pihak adalah

anak-anak akan lebih asyik bermain sendiri sehingga kurang menja-

lin interaksi dengan orang-orang di sekelilingnya, terutama dengan

teman-teman sebayanya. Yang perlu diperhatikan adalah permainan

games di komputer membuat anak sedikit-bahkan tidak-mempu-

nyai interaksi dengan orang lain, mengganggu jadwal belajar dan ti


dur anak karena terlalu asyik bermain. Selain itu yang membahayakan

juga karena ada games yang tema permainanya cenderung bersifat

perilaku yang penuh kekerasan/agresivitas. Bahkan ada beberapa

games yang dilaporkan menyelipkan perilaku porno, yang tentunya

semua itu dapat memengaruhi perkembangan anak, apalagi biasanya

mereka bermain tanpa didampingi orangtua.

Memang berbagai pihak tidak bisa memungkiri bahwa games juga

ada sisi positifnya. Menurut Oppenheim tahun 1984 (Tedjasaputra,

2001), ada beberapa nilai positif dari komputer dan video games. Alat

permainan ini memang menarik bagi anak-anak dan dapat mengem-

bangkan koordinasi tangan dan mata, karena anak dirangsang untulk

melihat dan langsung bereaksi dengan menekan tombol-tombol yang

tepat. Selain itu, beberapa peneliti meyatakan bahwa permainan ini

dapat meningkatkan rentang perhatian dan konsentrasi anak. Meng

ingat sifatnya yang kompetitit, alat permainan ini juga dapat menjadi

ajang untuk kompetisi diri, yaitu melihat seberapa jauh kemampuan-

nya sendiri.

5. Pertemanan

Pada masa kanak-kanak akhir, anak-anak makin memperluas per

gaulannya yang semula dengan anggota keluarganya sendiri kemudian

beralih ke teman-teman tetangga dan teman sekolahnya. Pada peri-

ode ini, memiliki teman merupakan hal yang penting karena mem-

beri manfaat yang besar bagi perkembangan anak. Anak yang tidak

atau sedikit memiliki teman dapat mengalami hambatan emosional,


mental, dan perilaku. Melalui interaksi dengan teman, anak belajar ba

nyak keterampilan sosial seperti komunikasi, kerja sama, pemecahan

masalah, dan belajar bernegosiasi dalam situasi yang berbeda-beda.

Anak-anak juga belajar mengendalikan emosi dan merespons emosi

teman-temannya. Selain itu, mereka juga cenderung memiliki school

performance yang baik serta mempunyai sikap positif terhadap seko-

lah dan belajar

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa memiliki teman

mempunyai efek yang positif bagi anak. Namun pertemanan bisa ti-

dak membawa mantaat positit apabila muncul situasi negatif. Seperti

dikemukakan oleh Bukowski dan Sippola (Gifford Smith & Brownell,

2003), bahwa pertemanan juga memiliki dark side karena bisa memun

culkan kondisi contentiousness, conflict, coercion, jealousy, dan betray-

al. Terlebih jika anak memiliki teman dengan karakteristik antisosial.

6. Fungsi Pertemanan

Menurut Gottman dan Parker (Santrock, 2007) pertemanan me-

miliki enam fungsi. yaitu:

a. Persahabatan (companionship). Dengan pertemanan, anak-anak

akan menemukan mitra yang familiar, seseorang yang mau meng-

habiskan waktu dengan mereka, dan bergabung dalam aktivitas

kolaboratif.

b. Stimulasi. Anak-anak akan memperoleh informasi yang menarik,

kesenangan, dan hiburan.

C. Dukungan fisik. Dengan pertemanan akan terdapat sumber daya


dan bantuan dari teman-temannya.

d. Dukungan ego. Dalam pertemanan terdapat harapan akan du-

kungan, semangat, dan umpan balik yang membantu anak-anak

memelihara kesan diri mereka sendiri sebagai individu yang kom-

peten, menarik, dan pantas ditemani.

e. Perbandingan sosial. Pertemanan menyediakan informasi ten-

tang posisi anak-anak dibanding orang/teman lain dan apakah

anak-anak tersebut berperilaku baik

Keintiman/afeksi. Dalam pertemanan anak-anak meng-alami

hubungan yang hangat, dekat, dan saling percaya dengan individu

lain, yaitu hubungan yang melibatkan keterbukaan diri.

Dengan fungsi yang demikian, pertemanan menjadi sangat pen-

ting dalam mendukung proses perkembangan yang baik. Penelitian

dengan strategi longitudinal dari Wentzel, Barry, dan Caldwell pada

tahun 2004 (Santrock, 2007) menunjukkan hasil bahwa siswa kelas

enam yang tidak memiliki teman cenderung melakukan lebih sedikit

perilaku prososial (kerja sama, berbagi, menolong orang lain), memi-

liki nilai yang lebih rendah, dan lebih stres secara emosional (depresi,

kesehatan yang rendah) dibandingkan dengan anak-anak yang memi-

liki satu teman atau lebih. Dua tahun kemudian saat mereka kelas dela-

pan, anak-anak yang tidak memiliki teman tersebut masih menderita

Stres secara emosIonal.

7. Kualitas Pertemanan

Kualitas pertemanan pada anak-anak tentu saja berbeda-beda.

Ada yang berjalan dengan intim, berlangsung lama, dan baik, namun
ada yang berlangsung singkat dan penuh pertengkaran/konflik. Fung-

si pertemanan yang telah dipaparkan sebelumnya akan terjadi hanya

apabila kualitas pertemanannya baik. Pada masa kanak-kanak akhir

agar kualitas pertemanan berlangsung dengan baik masih diperlukan

bimbingan dari orang-orang dewasa di sekelilingnya, baik di rumah

orangtua) maupun di sekolah (guru). Orang-orang dewasa ini dapat

juga menjadi role model pertemanan. Media terutama film-film/sine

tron di televisi juga dapat menjadi ajang pembelajaran bagi anak-anak

dalam berteman, tentu saja apabila ceritanya bersifat mendidik yaitu

cerita dengan muatan tentang jalinan pertemanan yang baik.

Berlangsungnya pertemanan dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Walaupun karakteristik yang dicari oleh anak pada teman mereka

berubah seiring dengan pertambahan usia anak, namun pada umum-

nya karakteristiknya adalah teman yang sama/serupa dalam hal usia,

jenis kelamin, etnis, sikap mengenai sekolah, tujuan pendidikan, ori

entasi prestasi, musik, jenis pakaian, dan aktivitas waktu senggang.

Makin besar perbedaannya, maka makin besar pula kemungkinan pu-

tusnya pertemanan (Berndt dalam Santrock, 2007).

8. Strategi Berteman

rangtua mempunyal peran yang sangat penting agar anak memi-

liki teman dalam rangka membantu perkembangan sosialnya. Anak

tidak dilahirkan dengan keterampilan sosial. Anak membutuhkan

orangtua yang berperan aktif untuk membantunya mempersiapkan

diri berinteraksi dengan orang lain/teman sebayanya dengan cara


membina hubungan yang baik dengan anak, yaitu hubungan yang di

dasari kasih sayang. penerimaan, hangat, dan respectful. Orangtua juga

dapat menjadi model yang baik bagi anak karena anak akan melihat

dan mencontoh bagaimana orangtuanya berinteraksi dengan dirinya

dan orang lain (Chancy & Fugate, 2007). Selanjutnya Chancy dan Fu-

gate mengemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan oleh orang8

tua, yaitu:

a. Memberi kesempatan kepada anak untuk mempunyai waktu ber

temu dengan anak-anak lain, misalnya dengan cara mengundang

anak-anak lain ke runmah, mendorong anak untuk mengikuti ke-

lompok/tim tertentu baik di lingkungan rumah maupun di seko-

lah.

b. Mendorong anak untuk mengikuti permainan (games) dan olah-

raga tertentu. Orangtua perlu menemukan permainan dan olah-

raga apa yang disenangi oleh anak-anaknya, dan jangan memaksa

anak apabila ia tidak menyukainya.

C. Menetapkan aturan yang jelas untuk perilaku yang tepat/baik.

Anak-anak belajar keterampilan sosial melalui aturan, misalnya

meminta izin terlebih dahulu bila meminjam barang orang lain,

menyelesaikan masalah tanpa harus memukul, dan lain-lain.

Orangtua harus melibatkan anak dalam membuat aturan karena

dengan demikian tidak saja anak akan cenderung menmatuhi, teta

pi juga akan memahami dengan lebih baik alasan mengapa ia ha-

rus mematuhi aturan dan standar perilaku yang baik.

d. Membantu anak untuk mengatasi emosi negatif dan pemecahan


masalah. Orangtua perlu melatih anak untuk mau mendengarkan

orang lain yang berbicara tentang perasaannya, dan belajar me-

lakukan brainstorming untuk memecahkan masalah yang muncul.

Strategi yang direkomendasikan bagi orang tua/dewasa untuk

melatih anak-anak (juga remaja) dalam berteman dengan cara sebagai

berikut (Wentzel dalam Santrock, 2007):

a. Memulai interaksi. Dapat dilakukan dengan cara mencari data

tentang teman, misalnya bertanya nama, usia, kelas, sekolah di

mana, aktivitas favoritnya, alamat rumah, dan jumlah saudara.

Sebelumnya dapat menggunakan pembukaan prososial ini: mem-

perkenalkan diri, memulai percakapan, dan mengajak teman

melakukan sesuatu hal.

b. Bersikap baik. Selalu menunjukkan kebaikan hati, pe-ngertian,

dan memberi pujian.

C. Menunjukkan perilaku prososial. Bersikap jujur dan dapat diper-

caya, mengatakan yang sebenarnya, dan menepati janji. Selain itu

bersikap murah hati, mau berbagi, dan suka bekerja sama.

d. Menghormati diri sendiri dan orang lain. Menunjukkan tingkah

laku yang baik, bersikap ramah dan sopan, dan mau mendengar-

kan apa yang dikatakan orang lain, serta memiliki sikap dan ke-

pribadian yang positif.

e. Memberikan dukungan sosial. Menunjukkan sikap peduli pada

orang lain.

Strategi yang harus dihindari karena memberi efek buruk, yaitu:

a. Bersikap agresif secara psikologis. Ditunjukkan melalui sikap


yang tidak hormat, perilaku yang buruk, memanipulasi orang lain,

tindakan tidak kooperatif, tidak mau berbagi, mengabaikan orang

lain, menggunjingkan orang lain, dan menyebarkan gosip (kabar

burung)

b. Penampilan diri yang negatif. Bersikap egois, angkuh, membang

gakan diri sendiri, cemburu, suka pamer, hanya peduli pada diri

sendiri, jahat, bersikap buruk, marah, dan suka membuat masalah.

c. Berperilaku antisosial. Bertindak agresif secara fisik, berteriak

pada orang lain, mengkritik teman, mempermainkan, berlaku ti-

dak jujur, membeberkan rahasia, dan melanggar janji.

9. Pengasuhan Orangtua

a. Peran Orangtua pada Masa Kanak-kanak Akhir

Seiring dengan bertambahnya usia anak, maka orangtua harus

berinteraksi dan memperlakukan anak secara berbeda pula. Pada

tahun-tahun awal kehidupan, peran orangtua lebih banyak bersifat

merawat dan mengatur perilaku anak. Pada tahun pertama, interaksi

orangtua-anak bergeser dari fokus yang besar pada perawatan rutin

seperti memberi makan dan susu, mengganti popok, memandikan,

dan menenangkan anak, beralih ke aktivitas yang tidak berkaitan den-

gan perawatan, misalnya bermain dan pertukaran visual-vokal. Sela-

ma tahun kedua dan ketiga, orangtua seringkali menerapkan disiplin

dengan manipulasi fisik, menjauhkan anak dari aktivitas yang menmba-

hayakan ke tempat yang mereka inginkan, menjauhkan benda-benda

yang mudah pecah atau berbahaya dari jangkauan anak. Ketika anak
makin besar, orangtua mulai mengajarkan logika, memberikan nasi-

hat moral, dan memberikan atau mencabut hak-hak khusus, melatih

mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan saat anak masuk sekolah

dasar banyak orangtua menunjukkan kasih sayang fisik yang makin

sedikit.

Pada saat tahap pertengahan dan akhir masa kanak-kanak, orang-

tua menghabiskan waktu yang lebih sedikit dengan anak-anaknya. Dari

suatu penelitian dilaporkan bahwa orangtua menghabiskan kurang

dari setengah waktu mereka dengan anak berusia 5-12 tahun dalam

perawatan, instruksi, membaca, berbicara, dan bermain dibandingkan

saat anak-anak masih bayi dan kanak-kanak awal. Namun orangtua

tetap memiliki peran sebagai "agen sosialisasi' yang sangat penting

dalam kehidupan anak (Santrock, 2007). Bagaimanapun jenis pola

asuh yang baik untuk diterapkan kepada anak, berdasarkan hasil dari

berbagai penelitian, adalah pola asuh yang otoritatif, jadi sebaiknya

orangtua menekankan jenis pola asuh ini untuk mengasuh anak-

anaknya. Macam-ma-cam pola asuh orangtua dapat dilihat pada bab/

paparan sebelumnya.

b. Perlakuan Salah Kepada Anak (Child Maltreatment)

Perlakuan salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak

yang akibat-akibatnya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kem-

bang anak, baik secara fisik, psikis, emosional, dan sosial. Dampak dari

perlakuan salah ini dapat berpengaruh bagi anak baik dalam waktu

jangka pendek maupun jangka panjang. Awalnya istilah yang banyak


digunakan adalah child abuse yang berarti penganiayaan dan pence-

deraan pada anak. Tindak kekerasan terhadap anak merupakan salah

satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Perlakuan salah dapat ter

jadi di dalam keluarga dan di luar keluarga. Di dalam keluarga dilaku-

kan oleh orang tua, kakak, bahkan pengasuh. Di luar keluarga dapat

terjadi di sekolah, asrama, tempat kerja, di jalanan, dan juga di medan

kontlik/perang. Hal tersebut dapat dilakukan oleh teman, seniornya,

guru, petugas negara, majikan, dan sebagainya.

Robertson dan Bromfield (2009) mengemukakan bahwa child

maltreatment (istilah semula child abuse and neglect) merupakan " any

non-accidental behaviour by parents, caregivers, other adults or older

adolescents that is outside the normns of conduct and entails a substantial

risk of causing physical or emotional harm to a child or young person."

Child maltreatment secara umum dibagi menjadi lima subtipe, yaitu:

a. Physical abuse

b. Emotional maltreatment

C. Neglect

d. Sexual abuse

e. The witnessing of family violence

Istilah child abuse and neglect dan child maltreatment sering kali

digunakan secara bergantian. Namun pendapat lain, maltreatment

dapat berupa child abuse atau child neglect. Abuse dapat mencakup

physical abuse, sexual abuse, dan emotional abuse; sedangkan neglect

meliputi emotional neglect, physical neglect, educational neglect, atau

medical neglect.
Jadi perlakuan salah terhadap anak dapat dikatakan merupakan

tindakan kekerasan atau pengabaian baik fisik, seksual, emosional,

maupun psikis kepada anak. Pelakunya biasanya bertindak sebagai

caretaker, sehingga mereka umumnya adalah orang terdekat anak, yai-

tu ibu dan bapak kandung. ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman,

supir pribadi, guru, pembantu.

Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (http://www.kpai.

go) dan dari data induk lembaga perlindungan anak yang ada di 30

provinsi di Indonesia dan layanan pengaduan lembaga tersebut, pada

tahun 2006 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau seba-

nyak 13.447.921 kasus dan pada 2007 jumlahnya meningkat 40.398.625

kasus. Di samping itu, Komnas Anak juga melaporkan bahwa selama

periode Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726 anak menjadi korban ke-

kerasan seksual dari orang terdekat me-reka, seperti orang tua kan-

dung/tiri/angkat, guru, paman, kakek, dan tetangga.

Data statistik tersebut, apabila ditambah dengan data tentang

jumlah kasus penculikan anak, kasus perdagangan anak, anak yang

terpapar asap rokok, anak yang menjadi korban peredaran narkoba,

anak yang tidak dapat mengakses sarana pendidikan, anak yang belum

tersentuh layanan kesehatan, dan anak yang tidak punya akta kelahir-

an, memperjelas gambaran muram tentang pemenuhan hak-hak anak

Indonesia. Untuk keseluruhan di Indonesia, kekerasan terhadap anak

pada 2010 diperkirakan bisa mencapai 21.000 kasus. Itu menunjukkan

akan terjadi rata-rata per bulan terjadi 3.500 kasus, 583 per hari serta

24 kasus per jam. Jumlah tersebut melibatkan rata-rata anak di bawah


usia 12 tahun dan bisa jadi korbannya adalah bayi. Peningkatan ka-

sus yang cukup tinggi menunjukkan kelemahan sistemik secara poli-

tik dan budaya pada perlindungan terhadap anak. Kasus perdagangan

anak juga meningkat 38 persen pada 2009. Angka-angka yang terpa-

par menunjukkan betapa memprihatinkannya kondisi anak Indonesia.

Trihadi Saptoadi, Direktur World Vision Indonesia bahkan menegas-

kan, kekerasan atau pelanggaran hak anak layak disebut tragedi kema

nusiaan (http://library.wri.or.id/index.php?p=show_detail&id=2467).

Dari sekian pengaduan kekerasan yang diterima Komnas Perlin-

dungan Anak (PA), pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi di

antaranya adalah pertama, munculnya kekerasan dalam rumah tang-

ga, terjadinya kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu, dan

saudara yang lainnya menyebabkan tidak terelakkannya kekerasan

terjadi juga pada anak. Anak sering kali menjadi sasaran kemarahan

orangtua. Kedua, terjadinya disfungsi keluarga, yaitu peran orangtua

tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Ketiga, faktor ekonomi, yaitu

kekerasan timbul karena tekanan ekonomi. Tertekannya kondisi ke-

luarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak

terjadi dan memicu terjadinya kekerasan (http://www.tribunnews.

com/2011/04/05).

Perlakuan salah kepada anak banyak dilakukan orangtua baik

pada masa kanak-kanak awal maupun kanak-kanak akhir, bahkan be-

berapa kasus juga terjadi pada anak-anak usia sebelumnya. Menurut

National Clearinghouse on Child Abuse and Neglect tahun 2004 (San-

trock, 2007), bentuk-bentuk perlakuan salah tersebut sebagai berikut:


a. Kekerasan fisik. Dicirikan oleh terjadinya cedera fisik atau anak

dalam kondisi bahaya akibat hukuman fisik yang melampaui batas

karena pemukulan, penendangan, penggigitan, pembakaran.

b. Penelantaraan anak. Dicirikan oleh kegagalan dalam memenuhi

kebutuhan dasar anak, mencakup:

Penelantaran fisik, meliputi penolakan atau penundaan dalam

mencari perawatan kesehatan, meninggalkan anak, mengusir

dari rumah atau menolak kembalinya anak yang pergi dari ru-

mah (minggat), dan pengawasan yang kurang memadai.

Penclantaran pendidikan, meliputi pembiaran kebiasaan mem-

bolos yang parah, tidak mendaftarkan anak usia sekolah ke

sekolah, dan tidak memenuhi kebutuhan pendidikan khusus

anak.

Penelantaran emosional, meliputi kurangnya perhatian dan

kasih sayang terhadap anak, penolakan atau ketidakmampuan

memenuhi kebutuhanan psikologis anak, penyiksaan pasangan

di depan anak, serta pembiaran penggunaan alkohol dan obat-

obatan terlarang oleh anak.

C. Kekerasan seksual. Dicirikan oleh tindakan mempermainkan alat

kelamin anak, hubungan seksual, incest, pemerkosaan, sodomi,

eksibisionisme, dan eksploitasi komersial melalui pelacuran atau

produksi materi pornografi. Jenis kekerasan ini yang paling sering

tidak dilaporkan karena kerahasiaan atau "konspirasi bungkam"

d. Kekerasan emosional (cedera mental akibat kekerasan psikologis

atau verbal). Dicirikan oleh tindakan pengabaian oleh orangtua


atau pengasuh yang menyebabkan munculnya masalah perilaku,

kognitit, atau emosional yang serius. Jenis kekerasan ini sering ti-

dak tampak sehingga agak sulit bagi pihak layanan perlindungan

anak untuk ikut campur. Kekerasan ini hampir selalu ada menyer-

tai bentuk kekerasan yang lainnya.

C. Akibat Perlakuan Salah pada Perkembangan Anak

Dari beberapa kasus yang pernah ditangani oleh penulis dan be-

berapa teman, anak-anak yang mengalami kekerasan atau penelantar-

an dapat mengalami cedera fisik dari yang ringan sampai yang parah,

mengalami gangguan emosional, hambatan sosial, seperti merasa

malu, rendah diri, tidak dicintai, dan tidak berguna (konsep diri ren-

dah), problem di sekolah seperti menurunnya nilai, tidak mau sekolah

sementara atau pindah sekolah, agresif terhadap teman, dan menarik

diri/tidak mau bergaul. Hal-hal ini bisa berefek lebih lanjut, yaitu anak

dapat mengalami stres, depresi, dan bahkan ada yang bunuh diri.

Hagele (2005) menyatakan bahwa akibat dari perlakuan salah ter-

hadap anak, yaitu rendahnya kesehatan hisik, gangguan emosional dan

kesehatan mental, kesulitan sosial, disfungsi kognitif, perilaku berisiko

tinggi, problem perilaku seperti: agresivitas, kenakalan saat remaja,

tindakan kriminal saat dewasa, dan tindakan kekerasan,

Demikian pula dari beberapa penelitian (Santrock, 2007) melapor-

kan bahwa perlakuan salah terhadap anak dapat mengakibatkan anak

mengalami berbagai masalah dan gangguan perilaku, di antaranya

mempunyai pengendalian emosi yang buruk, masalah keterikatan,


masalah dalam hubungan dengan peer group-nya, kesulitan beradap-

tasi di sekolah, dan masalah psikologis lainnya. Secara lebih terperinci

efeknya adalah menghindari atau agresif terhadap teman sebaya, ma

salah akademis, kecemasan, masalah kepribadian, depresi, percobaan

bunuh diri, gangguan perilaku, dan kenakalan.

Pada saat dewasa, anak-anak yang mengalami perlakuan salah ini

sering mengalami kesulitan dalam menjalin dan mempertahankan

hubungan intim yang sehat; cenderung melakukan kekerasan terha-

dap orang dewasa lain, kekasih dan pasangannya dalam perkawinan,

dan terhadap anaknya. Selain itu juga penyalahgunaan obat, kecemas

an, dan depresi yang meningkat.

d. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perlakuan Salah pada Anak

(English, 1998)

1) Karakteristik anak:

(a) Age of child

(b) Physical/mental/social disability or developmental delay

(c) Behavioral problenms

(d) Self-protection, ability to resist abuse

e. Fear of caregiver or home environment

2) Karakteristik caregivers (pelaku)

(a) Victimization of other children

(b) Mental, physical, or emotional impairment

(c) Substance abuse, past or current

(d) History of abuse or neglect as a child


(e) Poor parenting skills or knowledge, inappropriate expectations

(f) Inability to murture child

(g) Failure to recognize problem or accept responsibility

(h) Unwillingness or inability to protect child

() Uncooperative with child protective services (CPS) agency

3) Relasi orangtua-anak (parent-child relationship)

(a) Inappropriate response to childs behavior

(6) Poor attachment and bondin

(c) Child has inappropriate family role

4) Perpetrator Access

(a) Has unsupervised access to child (in case of abuse)

(b) Has sole responsibility for care of child (in case of neglect)

5) Social and cconomnic factors

(a) Stress on caregiver

(b) Unemployed caregiver

() Lack of social support for caregiver

(d) Lack of economic resource

10. Perkembangan Kompetensi Sosial Anak

Agar berhasil menghadapi situasi sosial di sekelilingnya, setiap

individu harus memiliki kompetensi sosial. Demikian pula, dengan

dibantu orangtua dan orang-orang dewasa di sekelilingnya, anak-anak

harus belajar sejak awal menghadapi lingkungannya dengan baik.

Menurut Spence dan Donovan (1998), kompetensi sosial merupakan

the ability to obtain successjul outcomes from interactions with others

Bierman dan Welsh (2000) menyatakan kompetensi sosial adalah an


organisational construct that reflects the child's capacity to integrate be

havioural, cognitive and afective skills to adapt flexibly to diverse sosial

contexts and demands.

Menurut Nenide (2008), kompetensi sosial adalah kemampuan

untuk mencapai tujuan-tujuan personal dalam interaksi sosial dengan

memelihara hubungan yang positif dengan orang lain. Kompetensi so-

sial mencakup social development, cognitive development, intellectual

development, physical development, and mental health.

Makin luasnya dunia sosial anak seiring dengan bertambahnya

usia dan masa masuk sekolah dasar, maka kegiatan anak juga makin

beragam dan mereka terlibat dalam kelompok/tim baik di lingkungan

rumah maupun di sekolah. Oleh karena itu, anak harus belajar untuk

dapat berinteraksi dan membina hubungan sosial yang baik dengan te-

mannya/orang lain. Pada masa kanak-kanak akhir, anak sudah mulai

dapat melepaskan diri dari perspektifnya sendiri dan memahami pan-

dangan dan tindakan orang lain. Kemampuan ini berkaitan dengan

perkembangan kompetensi sosial anak pada tahap reciprocal. Robert

Selman (Andayani & Koentjoro, 2004) menyatakan bahwa perkem

bangan kompetensi sosial anak terjadi dalam hubungannya dengan

teman sebayanya. Kompetensi sosial ini mencerminkan kemampuan

anak untuk mengenali perspektif orang lain dan mengintegrasikan

perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain. Menurut Selman,

tahap-tahap perkembangan kompetensi sosial anak selengkapnya se

jak usia awal sebagai berikut:

1. Tahap impulsive, pada usia prasekolah. Pada tahap ini anak belunm
mampu membedakan antara perasaan dan perilaku, dan tidak me-

mahami bahwa anak lain akan menginterpretasikan perilaku yang

sama dengan cara yang berbeda. Konflik akan dihadapi oleh anak

ini de-ngan cara penggunaan kekuatan secara impulsif, misalnya

dengan berkelahi, merebut, memukul, atau dengan cara protective

withdrawal, misalnya dengan bersembunyi atau menjauhi.

2. Tahap unilateral, pada usia sekitar 4-9 tahun. Anak mulai mema-

hami bahwa anak lain dapat mempunyai pandangan yang berbeda

tentang perilaku yang sama, namun mereka belum mampu un-

tuk secara simultan (bersama) mempertimbangkan perspektifnya

sendiri dan perspek-tif anak lain. Konflik diselesaikan dengan cara

perilaku unilateral, yaitu dengan mengendalikan perilaku anak

lain (memerintah, mengejek) atau dengan cara mengalah secara

pasif pada anak lain (mematuhi, menyerah).

3. Tahap reciprocal, pada usia 6-12 tahun. Anak secara mental dapat

melepaskan diri dari perspektifnya sendiri, memahami pandangan

dan tindakan orang lain dan dirinya sendiri, tetapi tidak dalam

hubungan antara keduanya. Konflik diselesaikan dengan cara per-

tukaran atau persetujuan, baik melalui persuasi agar anak lain

mengikuti keinginannya atau dengan cara menyetujui menunggu

sampai keinginan anak lain terpenuhi.

4. Tahap collaborative, tahap terakhir antara usia 9-15 tahun. Anak

dapat melihat dirinya dan orang lain sebagai aktor maupun objek,

dan mereka mampu untuk mengkoordinasi perspektif miliknya

dengan orang lain. Konflik diselesaikan dengan cara kerja sama


dengan orang lain untuk menyesuaikan keinginan masing-masing

pihak sehingga terjadi keuntungan bersama.

a. Manfaat Kompetensi Sosial

Beberapa penelitian melaporkan bahwa anak-anak yang memiliki

kompetensi sosial cenderung lebih diterima dan disukai oleh teman-

temannya, penerimaan awal yang positif dari teman-temannya, lebih

populer, memiliki self-efficacy yang tinggi, dan memiliki kepercayaan

diri akan kemampuannya. Selain itu juga memiliki prestasi belajar yang

lebih baik di sekolah, merasa bahagia, dan well-being, tidak mudah

mengalami masalah kesehatan mental, dan tidak mudah melakukan

tindakan kriminal dan kenakalan yang serius (Hastings dkk., 2006).

b. Alat Ukur Kompetensi Sosial

Ada berbagai alat ukur untuk mengungkap sejauh mana kompe-

tensi sosial yang dicapai anak, salah satunya yang sering digunakan

adalah Vineland Social Maturity Scale. Skala ini merupakan asesmen

kepribadian nonproyektif yang dikembangkan oleh seorang psikolog

Amerika, Edgar Arnold Doll. Alat ukur kompetensi sosial ini terdiri

dari delapan subskala meliputi communication skills, general self help

ability, locomotion skills, occupation skills, self direction, self help eat-

ing self help dressing, socialization skills (http://psychology.wikia.com/

wiki/Vineland_Social_Maturity_ Scale).

F. PERKEMBANGAN MORAL

Pada masa anak akhir, penalaran moral anak ada pada tingkatan
II, yaitu penalaran moral yang conventional (tahapan selengkapnya

dapat dilihat pada uraian sebelumnya tentang masa anak awal). Pada

tingkat coventional ini individu memberlakukan standar tertentu,

tetapi standar ini ditetapkan oleh orang lain, misalnya orangtua atau

pemerintah.

1. Perkembangan Moral p Ma: sa K Ak

a. Anak berbuat baik bukan untuk mendapat kepuasan fisik, tetapi

untuk mendapat kepuasan psikologis yang diperoleh melalui per-

setujuan sosial.

b. Karena lingkungan lebih luas, kaidah moral sebagian besar lebih

ditentukan oleh norma-norma yang terdapat dalam kelompoknya.

c. Usia sekitar 10-12 tahun sudah mengenal konsep moralitas, se

perti kejujuran, keadilan, dan kehormatan.

d. Perbuatan baik buruk dilihat dari apa motif melakukan hal terse-

but.

2. Kritik Terhadap Teori Perkembangan Moral Kohlberg

(Papalia dkk., 2008)

Teori Kohlberg dikritik karena terlalu berfokus pada penalaran dan

tidak berfokus pada perilaku moral. Alasan moral kadang digunakan

sebagai alasan perilaku immoral. Orang yang melakukan tindak ko-

rupsi bisa saja berbicara tentang keutamaan moral yang paling utama

sebelum mereka ketahuan melakukan kecurangan. Jadi individu dapat

memiliki penalaran moral yang baik tetapi perilakunya immoral.


Kritik lain adalah ada kesalahan dalam pengukuran yang dilaku-

kan dalam penelitian Kohlberg. Rest dkk. berpendapat bahwa perlu

dilakukan metode alternatif yang lebih baik dalam pengumpulan data

tentang penalaran moral. Rest dkk. mengembangkan metode peng-

ukurannya sendiri tentang perkembangan moral yang disebut Defining

Issues Test (DIT). Selain itu, dilema yang digunakan Kohlberg dalam

pengukurannya tidak sesuai dengan dilema yang dihadapi kebanyakan

anak dan orang dewasa dalam kehidupannya sehari-hari.

Selain itu, teori Kohlberg juga dikritik karena Kohlberg menyata-

kan bahwa perkembangan moralnya bersifat universal. Beberapa pe-

neliti menyatakan bahwa teori tersebut bias secara budaya. Tetapi

sebuah review dari 45 penelitian di 27 budaya di seluruh dunia yang

dilakukan oleh Snarey pada 1987 (Papalia dkk., 2008), kebanyakan bu-

kan negara Barat, menunjukkan hasil yang mendukung keuniversalan

teori Kohlberg. Individu dalam setiap budaya berkembang melalui ke-

empat urutan yang diutarakan Kohlberg, meskipun stadium/tahapan

kelima dan keenam tidak selalu ditemukan di setiap budaya.

3. Disiplin pada Masa Kanak-kanak Akhir

Disiplin dapat dilakukan dengan beberapa cara (Papalia dkk.,

2008), antara lain:

1. Penarikan kasih sayang, adalah bentuk disiplin di mana orang-

tua menahan pemberian atensi atau kasih sayang terhadap anak.

Misalnya, orangtua menolak untuk berbicara pada anak atau me-

nyatakan tidak suka pada anak.


2. Penegakan kekuasaan, yaitu teknik disiplin di mana orangtua

mencoba untuk mengambil alih kontrol dari si anak atau meng-

ambil alih sumber daya yang dimiliki anak. Contohnya, memukul

pantat, mengancam, atau mencabut hak istimewa anak.

3. Induksi, yaitu teknik disiplin di mana orangtua menggunakan pe

nalaran dan penjelasan tentang konsekuensi perilaku anak terha-

dap orang lain Contoh: "Jangan me-mukul Nak, dia kan cuma mau

membantu, atau "Meng-apa berteriak kepadanya? Dia kan tidak

berniat untuk mendorongmu

Walaupun ada berbagai hasil penelitian, namun model ketiga, yai-

tu induksi, lebih berhubungan secara positif dengan perkembangan

moral daripada penarikan kasih sayang dan penegakan kekuasaan. In-

duksi lebih berhasil pada anak usia sekolah dasar dibandingkan pada

anak prasekolah, dan lebih berhasil pada anak dengan status sosial

ekonomi menengah daripada yang rendah.

a. Discipline Style

Gaya disiplin mempunyai pengaruh besar pada keterampilan sos

ial anak. Hart dkk (1992) mengemukakan ada tiga gaya disiplin, yaitu:

1. Permissive discipline style. Gaya disiplin permisif ditandai dengan

kecenderungan orangtua untuk memenuhi keinginan anak, dan

tidak memberi batasan yang tegas. Efek dari gaya disiplin ini, yaitu

anak-anak cenderung lebih agresif, impulsif, dan tidak menunjuk-

kan perilaku sosial.

2. Power assertive discipline style (authoritarian). Ditandai dengan

pemberian perintah tanpa tujuan dan penjelasan, atau dengan


menggunakan taktik mengancam atau hukuman hsik untuk me-

ngontrol perilaku anak. Efeknya bisa memunculkan perilaku

agresif, impulsif, malu, dan menarik diri.

3. Inductive discipline style (authoritative). Ditandai dengan pem-

berian alasan, penjelasan sebab akibat, penjelasan tentang kon-

sekuensinya, negosiasi, dan umpan balik. Efek dari gaya disiplin

ini, yaitu anak-anak cenderung memiliki keterampilan komuni-

kasi yang baik, tingkat self-control yang tinggi, dan interaksi yang

positif dengan teman-teman lain.

b. Jenis-jenis Hukuman

Anak-anak yang tidak disiplin, biasanya mendapat hukuman. Adaa

beberapa jenis hukuman yang masing-masing mempunyai efek yang

berbeda. Menurut Wilson (1999), jenis-jenis hukuman meliputi:

1. Physical punishment. Hasil-hasil riset secara konsisten menunjuk-

kan bahwa hukuman fisik berefek negatif seperti munculnya rasa

marah, dendam, rendah diri, dan malu.

2. Spoken punishment. Berefek pada self-esteem yang rendah.

3. Withholding rewards. Melarang anak melakukan aktivitas yang

menyenangkan karena perilaku buruknya, dan reward diberikan

bila perilaku positif.

4. Penalties. Anak harus memberikan/melakukan sesuatu yang ber

efek tidak menyenangkan karena perilaku salahnya

C. Kedisiplinan dan Hukuman Fisik pada Anak


Kini banyak orangtua makin menyadari bahwa disiplin tidak ha-

rus ditegakkan melalui pemberian hukuman fisik, dan hukuman fisik

tidak harus diberikan kepada anak-anaknya yang melakukan pelang-

garan karena mempunyai efek yang tidak baik bagi perkembangan

anak. Lansford dkk. (2005) melakukan penelitian dengan subjek ibu

dan anak di Italia, Cina, India, Kenya, Filipina, dan Thailand. FHasilnya

menunjukkan bahwa hukuman fisik berkaitan erat dengan perilaku

agresif dan kecemasan pada anak.

d. Penegakan Displin pada Anak

Phelan (2003) menyatakan bahwa "children are not born knowing

the rules of life" Jadi bila orangtua menginginkan anaknya mempunyai

disiplin yang baik, maka orangtua harus mengajarkan/melatih anak

mematuhi aturan-aturan tertentu dengan cara yang benar. Selanjutnya

dijelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya de-

ngan disiplin, yaitu:

1. Good discipline is not punishment.

2. Good discipline teaches.

3. Good discipline is not a power struggle.

4. Good discipline never involves physical violence or threats of vio-

lence.

5, Good discipline does not involve insulting or demeaning comments.

Good discipline does not involve anger and over-reactions.

7. Good discipline uses clear expectations, clear consequences, and con

sisten "enforcement".
8. Good discipline is neither permissive nor punitive.

9. Good discipline solves problems.

10. The best discipline is the kind you never have to use.

4. Kaitan Perkembangan Moral dengan Pengasuhan Orangtua

Hasil penelitian Eisenberg dan Valiante tahun 2002 (Papalia dkk.,

2008) menunjukkan bahwa anak yang memiliki perkembangan moral

yang baik adalah anak yang orangtuanya memiliki kecenderungan:

1. Hangat dan mendukung, ketimbang menghukum.

2. Menggunakan disiplin model induktif.

3. Memberi kesempatan pada anak untuk mempelajari dan mema-

hami perasaan orang lain.

4. Melibatkan anak dalam pengambilan keputusan keluarga dan da-

lam proses pemikiran mengenai keputusan moral.

5. Menjadi model (role model) penalaran dan perilaku moral, dan

menyediakan kesempatan bagi anak untuk melakukan hal terse-

but.

6. Menyediakan informasi mengenai perilaku apa yang diharapkan

dan mengapa.

7. Membangun moralitas internal dan bukan eksternal.

5. Pendidikan Moral pada Anak

Orangtua berperan penting dalam perkembangan moral anak.

Orangtua menginginkan anaknya memiliki "good moral conscience"

namun sayangnya kebanyakan orangtua tidak mempraktikkan pola


asuh dan pendidikan yang tepat untuk mewujudkan keinginannya

tersebut. Sering kali orangtua menginginkan anaknya mempunyai

perilaku yang baik, tetapi tidak mengajarkan atau melatihnya, pada

hal perilaku yang baik tidak dapat terbentuk dengan sendirinya tetapi

harus dibentuk. Hal ini dapat disebabkan karena faktor kepribadian,

pengalaman attachment, kekurangan informasi, cultural expectations,

atau problem kesehatan mental (George, 2010).

Selain dilakukan oleh orangtua secara langsung pada anak, pen-

didikan moral dapat dilakukan dengan beberapa cara (Papalia dkk.,

2008; Santrock, 2007), antara lain:

1. Kurikulum tersembunyi di sekolah. Lebih dari 60 tahun yang lalu,

telah disadari oleh John Dewey bahwa meskipun sekolah tidak

mempunyai program khusus, tetapi pendidikan moral dapat di-

lakukan melalui "kurikulum tersembunyi. Kurikulum ini berupa

atmosfer moral yang diciptakan oleh peraturan sekolah dan kelas,

orientasi moral dari para guru dan staf administrasi sekolah, serta

memasukkan dalam materi teks pelajaran.

2. Pembelajaran pelayanan (service learning), merupakan bentuk

pendidikan yang mengangkat tanggung jawab sosial dan pelayanan

terhadap komunitas. Siswa terlibat dalam aktivitas seperti tutoring,

membantu orang lanjut usia, bekerja di rumah sakit, membantu

di tempat penitipan anak, atau membersihkan area kosong untuk

tempat bermain anak. Tujuan pembelajaran ini adalah membantu

siswa untuk tidak terlalu self-centered (egois) dan mempunyai mo-

tivasi kuat untuk menolong orang lain. Program ini berefek baik
bagi perkembangan siswa. Hasil suatu penelitian menunjukkan

bahwa siswa yang terlibat dalam program pembelajaran ini me-

miliki karakteristik yang mirip yaitu ekstrovert, memiliki pema-

haman diri yang lebih baik, dan mempunyai komitmen terhadap

orang lain. Selain itu, perempuan lebih mungkin untuk sukarela

terlibat dalam program ini ketimbang laki-laki. Peneliti-peneliti

lain mendapatkan bahwa program ini menguntungkan bagi siswa

dalam beberapa hal, yaitu:

Meningkatnya nilai, lebih termotivasi, dan memiliki lebih ba-

nyak tujuan yang ingin dicapai.

Meningkatnya self-esteem (harga diri).

Meningkatnya kepercayaan bahwa mereka dapat berbeda dari

orang lain.

Merasa kurang terasing

Lebih sering merefleksikan diri pada organisasi politik masya-

rakat dan juga keteraturan moral.

3. Pendidikan karakter, yaitu mengajarkan pada anak/siswa un-

tuk "melek moral" (moral literacy) dengan memahami nilai-ni

lai/karakter positif yang harus dimiliki untuk mencegah mereka

melakukan perilaku immoral. Karakter berasal dari bahasa Yu-

nani, charassein, yang artinya mengukir hingga terbentuk sebuah

pola. Jadi, untuk mendidik anak agar memiliki karakter diperlukan

proses 'mengukir, yakni pengasulhan dan pendidikan yang tepat.

Individu yang memiliki karakter positif disebut memiliki karakter

yang kuat (strength character) yang direfleksikan dalam pikiran,


perasaan, dan perilaku. Memiliki karakter yang kuat tidak hanya

bermanfaat positif untuk diri pribadi, tetapi juga akan mening

katkan well-being individu dan berperan sebagai "penyangga" dari

berbagai gangguan psikologis. Dengan kondisi yang demikian,

individu akan selalu membina hubungan baik dengan orang lain

dan lingkungannya, menyukai suasana damai dan tidak menyukai

terjadinya kekerasan.

6. Karakter yang Harus Dikembangkan

Berkaitan dengan pendidikan karakter, akhir-akhir ini di Indonesia

sedang digalakkan pendidikan karakter terutama di sekolah-sekolah

mengingat makin tingginya kasus-kasus korupsi, ketidakjujuran, dan

kekerasan di tengah kehidupan bangsa ini. Pendidikan karakter harus

dimulai sejak awal/ anak-anak agar karakter-karakter yang dikembang

kan sebagai dasar dalam berperilaku melekat kuat dan menjadi ciri ke

pribadian individu sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak dapat

berperilaku positif, demikian seterusnya di sepanjang kehidupannya.

Ada beberapa karakter yang harus dilatihkan dan dikembangkan sejak

anak-anak masih kecil.

Menurut Indonesia Heritage Foundation (Megawangi, 2003) ada

sembilan karakter dasar (disebut Sembilan Pilar Karakter) yang pen-

ting dimiliki oleh setiap individu, yaitu:

1. Cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya.

2. Tanggung jawab, disiplin dan mandiri.

. Jujur.
4. Hormat dan santun.

5. Kasih sayang. peduli, dan kerja sama.

6. Percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah.

7. Keadilan dan kepemimpinan.

8. Baik dan rendah hati.

9. Toleransi, cinta damai dan persatuan.

Selanjutnya Megawangi (2003) mengemukakan bahwa dalam

proses pembentukan karakter ada tiga hal yang berlangsung secara

terintegrasi. Pertama, mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan

apa yang harus diambil, dan mampu memberikan prioritas hal-hal

yang baik.

Kedua, mempunyai kecintaan terhadap kebajikan dan membenci

perbuatan buruk. Kecintaan ini merupakan obor atau semangat un-

tuk berbuat kebajikan. Misalnya, anak tidak mau mencuri, karena tahu

mencuri itu buruk, ia tidak mau melakukannya karena mencintai ke-

bajikan. Ketiga, mampu melakukan kebajikan, dan terbiasa melaku-

kannya. Pada tahap ini, kebajikan sudah diwujudkan dalam bentuk

perilaku dan sudah menjadi tindakan yang biasa dilakukan.

The Josephson Institute of Ethics mengemukakan 1he Six Pillars

of Character (www.josephsoninstitute.org/sixpillars.html) yang perlu

dilatihkan atau dikembangkan. Enam jenis karakter tersebut, yaitu:

1. Trustworthiness (berintegritas, jujur, dan loyal)

Individu yang mempunyai karakter demikian akan bersikap dan

bertindak jujur dan tidak menyukai kebohongan. Selain itu me-

miliki sikap konsisten, artinya satu kata satu perbuatan. Juga selalu
berusaha melakukan hal-hal dengan benar, membangun reputasi

yang baik dan setia baik pada keluarga, teman-teman, dan negeri-

nya.

2. Respect (menghargai dan menghormati orang lain).

Individu dengan karakter ini memperlakukan orang lain dengan

hormat, mengikuti aturan yang telah ditetapkan, bersikap toleran

terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, menggunakan kata-ka

ta/bahasa yang baik, menjaga perasaan orang lain dan berusaha

tidak mengancam, melukai atau menyakiti perasaan orang lain.

3. Responsibility (bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melaku-

kan sesuatu sebaik mungkin).

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya, selalu

berusaha dan melakukan yang terbaik, memiliki disiplin diri dan

kontrol diri yang baik, berpikir matang sebelum bertindak dan be-

rani menanggung konsekuensinya, serta bertanggung jawab atas

keputusan/sesuatu yang telah menjadi pilihannya.

Fairness (memiliki pemikiran yang terbuka, mau mendengar-

kan orang lain, dan tidak suka memanfaatkan orang lain).

Individu dengan karakter ini akan bertindak sesuai dengan aturan

yang telah ditetapkan, suka berbagi (sharing), memiliki pemikiran

yang terbuka, mau mendengarkan orang lain, dan tidak suka me-

manfaatkan orang lain.

5. Caring (peduli, memerhatikan orang lain dan kondisi sosial

lingkungan).

Selalu bersikap ramah pada orang lain, peduli dan suka memban-
tu orang lain, mengeskpresikan rasa bersyukur, dan memaafkan

orang lain.

6. Citizenship (memiliki kesadaran tentang peraturan dan hukum

serta peduli terhadap lingkungannya).

Individu dengan karakter demikian, berusaha menjadi anggota

masyarakat yang baik, mau terlibat dalam ke-giatan masyarakat

dan mematuhi aturan, suka bekerja-sama, menghormati otoritas,

dan peduli pada lingkungannya.

G. PERKEMBANGAN MINAT TERHADAP AGAMA

Pada masa kanak-kanak akhir, minat terhadap agama ditampak-

kan melalui:

1. Banyak bercakap dengan temannya tentang agama, tetapi lebih

dipusatkan tentang tata ibadat daripada tentang doktrin. Juga ten-

tang hal-hal seperti surga, neraka, malaikat, atau iblis.

2. Minat mengikuti upacara keagamaan makin kuat.

3. Karena kemampuan menalar makin meningkat, mulai muncul ke-

bingungan dan keraguan yang cenderung nmelemahkan kepercaya-

an (terutama pada akhir masa ini).

4. Minat pada doa biasanya berkurang karena merasa sebagian besar

doanya tidak terjawab.

Tingkat religiusitas individu sangat dipengaruhi oleh perkem-

bangan minat agama pada saat anak-anak, sehingga orangtua perlu

memerhatikan kegiatan keagamaan bagi anaktnya. Untuk kanak-kanak

akhir, sudah bisa dilatih untuk membaca sendiri kitab suci agamanya
dan agar anak tertarik dapat diberikan kitab suci yang khusus untuk

anak. Kegiatan keagaman yang sesuai dengan kelompok usianya juga

perlu diperkenalkan dan anak dilatih untuk ikut aktif menghadiri. Ber

bagai penelitian telah menunjukkan bahwa ajaran agama yang dihayati

merupakan suatu bufer atau penyangga untuk perkembangan yang

positif fungsi psikologis individu. Memang belum banyak penelitian

yang dilakukan pada anak berkaitan dengan sejauh mana peran agama

dalam kehidupan anak. Namun berbagai penelitian (Bridges & Moore,

2002) dengan subjek remaja telah menunjukkan hasil bahwa agama

berefek positif, yaitu menghindarkan remaja dari delinquency (kena-

kalan remaja), penggunaan zat dan obat-obatan terlarang, perilaku

seksual, dan mereka cenderung berperilaku positif seperti perilaku

prososial, memahami nilai-nilai moral, serta memiliki kepribadian

dan kesehatan mental yang baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Volling, Mahoney, dan Raur

(2009) menunjukkan bahwa kehidupan keagamaan anak dipengaruhi

oleh religiusitas orangtuanya. Orangtua yang religius akan mendo-

rong anak-anaknya mengikuti kegiatan-kegiatan keaganmaan sehigga

memengaruhi munculnya perilaku-perilaku positif seperti self-control

yang lebih baik, perkembangan suara hati (hati nurani) serta problem-

problem perilaku internal dan eksternal yang lebih sedikit.

Anda mungkin juga menyukai