Anda di halaman 1dari 20

BAB II

Objek Pajak

Tujuan:
Mahasiswa mampu menjelaskan objek PPh dan membedakan jenis-jenis penghasilan yang
merupakan objek pajak (akhir tahun), objek pajak PPh final dan bukan objek PPh

Dalam UU PPh menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang
luas, yaitu bahwa Pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk
konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu,
tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis.
Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan
ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama
memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak,
penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
I. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara,
dan sebagainya;
II. penghasilan dari usaha dan kegiatan;
III. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha; dan
IV. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula
ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena konsep PPh ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk
mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak
suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri.
Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat
final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan
dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum.

1. Objek Pajak (terutang pada akhir tahun)


Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang PPh; Termasuk premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar
oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya, serta imbalan dalam bentuk
natura.
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; Dalam pengertian
hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian
tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Yang dimaksud
dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan

17
tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-
benda purbakala.
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta. Apabila Wajib Pajak
menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari
harga atau nilai perolehan, selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Keuntungan
antara lain bersumber dari:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; Dalam hal terjadi
pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, keuntungan
berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dan nilai bukunya
merupakan penghasilan.
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; Dalam hal
penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang sahamnya,
harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari
penjualan tersebut adalah harga pasar. Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil
yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp
40.000.000. Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000. Dengan demikian,
keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp
20.000.000. Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang
sahamnya dengan harga Rp 55.000.000, nilai jual mobil tersebut tetap dihitung
berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000. Selisih sebesar Rp20.000.000
merupakan keuntungan bagi PT S dan bagi pemegang saham yang membeli mobil
tersebut selisih sebesar Rp 5.000.000 merupakan penghasilan.
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa
pun. Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih
antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta tersebut,
merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dan nilai
sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Keuntungan berupa selisih
antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta
berupa hibah, bantuan atau sumbangan merupakan penghasilan bagi pihak yang
mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan berupa selisih
antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta
berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan bukan merupakan penghasilan, sepanjang tidak ada
hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan.
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan; Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan
mengalihkan sebagian atau seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain,
keuntungan yang diperoleh merupakan objek pajak.

18
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak. Pengembalian pajak yang telah
dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan
objek pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan
dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah
sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi
dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli
di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang
menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli
obligasi.
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. Dividen
merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis
asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.
Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan
dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus
yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4) pembagian laba dalam bentuk saham;
5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh
pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang
bersangkutan;
7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika
dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran
kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan
secara sah;
8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima
sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara
terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh
modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga
yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih
antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar,
diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen
tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak. Royalti adalah suatu jumlah yang
dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan
secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian
atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia,
merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa
lainnya;
2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial,
atau ilmiah;

19
3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau
komersial;
4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan
atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak
menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian
pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat
optik, atau teknologi yang serupa;
b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara
atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan
melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio
komunikasi;
5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film
atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan
atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya
sebagaimana tersebut di atas.
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Dalam pengertian
sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk
apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya
sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. Penerimaan berupa pembayaran
berkala, misalnya “alimentasi” atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara
berulang-ulang dalam waktu tertentu.
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pembebasan utang oleh pihak yang
berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang,
sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun,
dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur
kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani
(KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta
kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing. Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi
kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan
dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku
di Indonesia.
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi; Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik
yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan
pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi
penghasilan yang telah dikenakan Pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka
tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah; Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki
landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional.
Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis
syariah tersebut tetap merupakan objek pajak.
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.

20
2. Objek Pajak Final
Objek pajak final diatur dalam Pasal 4 ayat 2 UU PPh, dengan pertimbangan-
pertimbangan antara lain:
- perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan
masyarakat;
- kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
- berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal
Pajak;
- pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
- memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter,
atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam
pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan
tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan,
atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
a) penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi; Obligasi ini termasuk surat utang berjangka waktu lebih dari
12 (dua belas) bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang berjangka
waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan. Surat Utang Negara yang dimaksud pada ayat
ini meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara.
b) penghasilan berupa hadiah undian;
c) penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d) penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e) penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Selain itu ada juga jenis penghasilan yang bersifat final yang dilakukan
pemotongan dan atau pemungutan dengan PPh Pasal 15, 21, 22, dan 23.

Karakteristik PPh final adalah:


 Penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak perlu digabungkan dengan penghasilan
lain (yang non final) dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.
 Jumlah PPh Final yang telah dibayar sendiri atau dipotong pihak lain sehubungan
dengan penghasilan tersebut tidak dapat dikreditkan.
 Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final tidak dapat dikurangkan.

Berikut adalah daftar objek penghasilan yang dikenakan PPh Final:


1) Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia, Surat Berharga Negara.
2) Penghasilan Berupa Bunga / Diskonto Obligasi.
3) Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham yang Diperdagangakan di Bursa Efek.
4) Hadiah Undian.
5) Pesangon, Tunjangan Hari Tua dan Tebusan Pensiun yang Dibayar Sekaligus
6) Honorarium atas Beban APBN/APBD
7) Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
8) Bangunan yang Diterima dalam Rangka Bangun Guna Serah
9) Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.
10) Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
11) Penyalur/Dealer/Agen Produk BBM

21
12) Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang
Pribadi.
13) Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
14) Penghasilan istri dari satu pemberi kerja
15) Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu
16) Penghasilan perusahaan modal ventura

Untuk lebih jelasnya, berikut rincian penghasilan tersebut:


1) Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia, Surat Berharga Negara
Pada bagian ini dibahas 3 jenis penghasilan yaitu:
a. Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia
b. Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara, dan
c. Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah
Berikut uraiannya:
a. Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat
Bank Indonesia
Dasar hukum:
 Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015 Tentang Pajak Penghasilan atas
Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 212/PMK.03/2018 Tentang Pemotongan
Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat
Bank Indonesia.
Objek Pajak:
 Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat
Bank Indonesia dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final. Termasuk dalam
pengertian bunga di atas adalah bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito
dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
a) Atas bunga dari deposito dalam mata uang dolar Amerika Serikat yang dananya
bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif
sebagai berikut:
1. Tarif 10%, untuk deposito dengan jangka waktu 1 (satu) bulan;
2. Tarif 7,5%, untuk deposito dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan;
3. Tarif 2,5%, dengan jangka waktu 6 (enam) bulan; dan
4. Tarif 0% dengan jangka waktu lebih dari 6 (enam) bulan.
b) Atas bunga dari deposito dalam mata uang rupiah yang dananya bersumber dari
Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan
atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1. Tarif 7,5% untuk deposito dengan jangka waktu 1 (satu) bulan;
2. Tarif 5% untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan; dan
3. Tarif 0% dengan jangka waktu 6 bulan atau lebih dari 6 bulan.
c) Atas bunga dari tabungan dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia, serta bunga dari
deposito selain dari deposito diatas dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan tarif sebagai berikut:
1. Tarif 20% terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2. Tarif 20% atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.

22
Pengecualian Pajak atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat
Bank Indonesia:
 Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI, untuk jumlah Deposito dan
Tabungan serta SBI yang tidak melebihi Rp7.500.000;
 Bunga dan Diskonto SBI yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
 Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI yang diterima atau diperoleh
Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau telah
mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan yang dananya diperoleh dari sumber
pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1992 tentang Dana Pensiun; atau
 Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan
rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah
sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
Tidak berlaku terhadap orang pribadi Subjek Pajak Dalam Negeri...
 Tidak berlaku terhadap orang pribadi Subjek Pajak Dalam Negeri yang seluruh
penghasilannya dalam 1 (satu) Tahun Pajak, termasuk bunga dan diskonto, tidak
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
 Orang pribadi tersebut dapat mengajukan permohonan pengembalian pajak yang
tidak seharusnya terutang atas pajak yang telah dipotong.

b. Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara


Dasar Hukum:
 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas
Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
Objek Pajak:
 Penghasilan tertentu dari Wajib Pajak berupa Diskonto Surat Perbendaharaan
Negara (SPN) dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
 Diskonto SPN adalah selisih lebih antara :
a) nilai nominal pada saat jatuh tempo dengan harga perolehan di Pasar Perdana
atau di Pasar Sekunder; atau
b) harga jual di Pasar Sekunder dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau
di Pasar Sekunder,
tidak termasuk Pajak Penghasilan yang dipotong.
Definisi:
 Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang
baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran
bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa
berlakunya, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara
 Surat Perbendaharaan Negara (SPN) adalah Surat Utang Negara yang berjangka
waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
 Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara
untuk pertama kali.
 Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah
dijual di Pasar Perdana.
Besarnya Pajak Penghasilan adalah :
 20% (dua puluh persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap
(BUT); dan
 20% atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
yang berlaku bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri.
dari Diskonto SPN.
Pemotongan Pajak Penghasilan dilakukan oleh:

23
a. Penerbit SPN (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayar, atas
Diskonto SPN yang diterima pemegang SPN saat jatuh tempo; atau
b. Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara maupun selaku
pembeli, atas Diskonto SPN yang diterima di Pasar Sekunder.
Pemotongan Pajak tidak dilakukan atas Diskonto SPN yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak :
1) Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
2) Dana Pensiun yang pendirian/ pembentukannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
3) Reksadana yang terdaftar pada Badan pengawas Pasar Modal dan Lembaga,
selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin
usaha;

c. Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah


Dasar Hukum:
 Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan
Usaha Berbasis Syariah
 PMK Nomor 136/PMK.03/2011 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk
Kegiatan Usaha Perbankan Syariah
 PMK Nomor 137/PMK.03/2011 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk
Kegiatan Usaha Jasa Keuangan Syariah
Objek Pajak:
 Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah yang meliputi perbankan syariah, asuransi
syariah, pegadaian syariah, jasa keuangan syariah, dan kegiatan usaha berbasis
syariah lainnya.
Prinsip:
 Ketentuan mengenai penghasilan, biaya,dan pemotongan pajak atau pemungutan
pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan
dalam UU PPh.
 Pemberlakuan secara mutatis mutandis dimaksudkan bahwa ketentuan
perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk kegiatan Usaha Berbasis
Syariah. Contoh, perlakuan perpajakan mengenai bunga berlaku pula untuk
imbalan atas penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori
modal perusahaan. Imbalan tersebut dapat berupa hak pihak ketiga atas bagi
hasil, margin, atau bonus, sesuai dengan pendekatan transaksi syariah yang
digunakan.
 Pada ketentuan perpajakan secara umum, bunga merupakan penghasilan bagi
pihak penerima dan merupakan pengurang penghasilan bagi pihak pembayar.
 Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perekonomian
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang Syariah.
 Perbedaan dengan sistem konvensioal disebabkan oleh adanya prinsip tertentu
yang harus diperhatikan oleh Usaha Berbasis Syariah dalam melaksanakan
kegiatan usahanya, yaitu : kehalalan produk, kemaslahatan bersama, menghindari
spekulasi, dan riba.
 Kegiatan pemberian pinjaman yang dilakukan oleh jasa keuangan dengan
mengenakan tingkat bunga tertentu tidak dapat dilakukan oleh usaha berbasis
Syariah, melankan melalui beberapa pendekatan antara lain:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna;
c. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik;
dan
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh;

24
Ketentuan usaha pembiayaan yang dilakukan oleh Perusahaan meliputi:
 Sewa Guna Usaha, yang dilakukan berdasarkan Ijarah atau Ijarah Muntahiyah
Bittamlik.
 Anjak Piutang, yang dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
 Pembiayaan Konsumen, yang dilakukan berdasarkan Murabahah, Salam, atau
Istishna’.
 Usaha Kartu Kredit yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.
 Kegiatan pembiayaan lainnya yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.

2) Penghasilan Berupa Bunga / Diskonto Obligasi


Dasar hukum:
 Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan Berupa Bunga Obligasi.
Objek pajak adalah penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak berupa
Bunga Obligasi dikenai pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Bunga
Obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau diperoleh pemegang Obligasi dalam
bentuk bunga dan/atau diskonto. Obligasi adalah surat utang, surat utang negara, dan
obligasi daerah, yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan.
a. Bunga dari Obligasi dengan kupon sebesar:
1) 15% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2) 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak
berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi;
b. Diskonto dari Obligasi dengan kupon sebesar:
1) 15% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2) 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak
berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi,
tidak termasuk bunga berjalan;
c. Diskonto dari Obligasi tanpa bunga sebesar:
1) 15% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2) 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak
berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi;
dan
d. bunga dan/atau diskonto dari Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib
Pajak reksa dana dan Wajib Pajak dana investasi infrastruktur berbentuk kontrak
investasi kolektif, dana investasi real estat berbentuk kontrak investasi kolektif, dan
efek beragun aset berbentuk kontrak investasi kolektif yang terdaftar atau tercatat
pada Otoritas Jasa Keuangan sebesar:
1) 5% (lima persen) sampai dengan tahun 2020; dan
2) 10% (sepuluh persen) untuk tahun 2021 dan seterusnya.
Pengecualian:
 Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan; dan
 Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia.

3) Penghasilan dari transaksi penjualan saham pendiri di bursa efek


Dasar Hukum:
 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas PP No. 41
Tahun 1994 Tentang pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
transaksi penjualan saham pendiri di bursa efek.

25
 Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
transaksi penjualan saham di bursa efek dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
Tarif:
 Untuk semua transaksi penjualan saham sebesar 0,1% dari jumlah bruto nilai
transaksi penjualan;
 Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan sebesar 0,5%
yang ditetapkan sebesar harga saham pada saat penawaran umum perdana.
Pemotong Pajak : Penyelenggara bursa efek wajib memungut Pajak Penghasilan
setiap transaksi penjualan saham di bursa efek.
 Yang dimaksud dengan "pendiri" adalah orang pribadi atau badan yang namanya
tercatat dalam Daftar Pemegang Saham Perseroan Terbatas atau tercantum
dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas sebelum Pernyataan Pendaftaran
yang diajukan kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam rangka
penawaran umum perdana ("initial public offering") menjadi efektif.

4) Pajak Penghasilan Atas Penghasilan berupa Hadiah Undian


 Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah No. 132 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan atas Hadiah Undian.
 Tarif 25% dari jumlah bruto hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang diberikan melalui undian.
 Penyelenggara undian wajib memotong atau memungut Pajak Penghasilan.
 Penyelenggara undian adalah orang pribadi, badan, kepanitiaan, organisasi
(termasuk organisasi internasional) atau penyelenggara lainnya termasuk
pengusaha yang menjual barang atau jasa yang memberikan hadiah dengan cara
diundi. Pajak Penghasilan wajib dipotong atau dipungut oleh penyelenggara
undian tersebut.

5) Pesangon, Tunjangan Hari Tua dan Tebusan Pensiun yang Dibayar Sekaligus
Dasar hukum:
 Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal
21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus
Objek Pajak:
 Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
 Penghasilan tersebut dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau
seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
kalender.
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan
sebagai berikut:

26
a) sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah);
b) sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c) sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah);
d) sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp
500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
a) sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000.00
(lima puluh juta rupiah);
b) sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
Mekanisme pemotongan:
a) Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
b) Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada
Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
c) Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan dan kewajiban
memberikan bukti pemotongan, tetap dilakukan terhadap Pegawai yang dikenai
tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0% (nol persen).

6) Honorarium atas Beban APBN/APBD


Dasar hukum:
 Peraturan Pemerintah No. 80 tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan
Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
Objek Pajak:
 Penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang
menjadi beban APBN atau APBD, dipotong oleh bendahara pemerintah yang
membayarkan honorarium atau imbalan lain tersebut bersifat final.
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21:
a) sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS
Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b) sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS
Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira
Pertama, dan pensiunannya;
c) sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain
bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI
Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya.

7) Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.


Dasar Hukum:
 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan perjanjian
pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya;

27
 Keputusan Menteri Keuangan 635/KMK.04/1994 sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 261/PMK.03/2016
tentang Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan Pengecualian Pengenaan Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan
Beserta Perubahannya
Objek PPh final adalah:
 Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi
penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati.
 Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta
perubahannya.
Besarnya PPh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan:
 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa
Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan;
 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa
Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yg dilakukan oleh Wajib Pajak
yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari
Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus
dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah:
a. nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan hak
kepada pemerintah;
b. nilai menurut risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan
lelang;
c. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan
istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;
d. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi
hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
huruf b;atau
e. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui tukar-menukar,
pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati
antara para pihak.
Pembebasan PPh Final dapat diberikan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan kepada:
a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena
Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan
jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang

28
hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
c. badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro
dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d. pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris;
e. badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dalam
rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan
Menteri Keuangan untuk menggunakan nilai buku;
f. orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan
dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna,
atau pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan;atau
g. orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan
pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan.

8) Bangunan yang Diterima dalam Rangka Bangun Guna Serah


Dasar hukum:
 Pasal 15 ayat (1) UU PPh yang menetapkan peraturan tentang norma
penghitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak
tertentu
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Pajak
Penghasilan terhadap Pihak-Pihak yang Melakukan Kerjasama dalam Bentuk
Perjanjian Bangun Guna Serah (Built, Operate and Transfer).
Objek pajak:
 Penghasilan bagi pemegang hak atas tanah berupa bangunan yang diterima
dalam rangka Bangun Guna Serah yang dibangun di atas tanah yang dimiliki Wajib
Pajak sehubungan dengan berakhirnya masa perjanjian bangun guna serah.
 Bangun Guna Serah ("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian
kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang
menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor
untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT),
dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas
tanah setelah masa guna serah berakhir.
Tarif:
 Atas penghasilan tersebut terutang Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen)
dari jumlah bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan Nilai Jual Obyek
Pajak (NJOP) bangunan yang bersangkutan.
 Pembayaran Pajak Penghasilan, bagi orang pribadi bersifat final dan bagi Wajib
Pajak badan adalah merupakan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang
dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak
yang bersangkutan.
 Nilai perolehan atas bangunan yang diterima dari investor adalah sebesar nilai
atau NJOP yang merupakan dasar pengenaan Pajak Penghasilan.

9) Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/ Bangunan


 Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah
diubah dengan PP Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan;
 Objek PPh Final adalah sewa tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah,
rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, gedung

29
pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang,
bangunan industri.
 Besarnya PPh Final yang dipotong adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto
nilai persewaan, baik yang menyewakan Wajib Pajak orang pribadi maupun
badan.
 Jumlah bruto nilai persewaan adalah jumlah yang dibayarkan/ terutang oleh
penyewa termasuk biaya perawatan, pemeliharaan, keamanan, fasilitas lainnya,
dan service charge (baik perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun disatukan).
 Pemotong pajak: Penyewa, dalam hal penyewa adalah Badan Pemerintah, subjek
pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
kerjasama operasi, perwakilan, perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi
yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. (PP No. 5 Tahun 2002 dan No. 227/PJ./2002)
 Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan, adalah :
1. Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali
PPATtersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan
pekerjaan bebas;
2. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan
yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
 Dalam penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak, selain yang
tersebut di atas, PPh disetor sendiri oleh yang menyewakan.

10) Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi


 Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi
 Objek Pajak dari ketentuan ini adalah penghasilan dari usaha jasa konstruksi, yaitu
layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan
pekerjaan konstruksi.
 Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan
perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup
pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-
masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau
bentuk fisik lain.
 Perencanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi
yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan
bangunan fisik lain.
 Pelaksanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi
yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil
perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di
dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi
layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan
pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model
penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).
 Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi,
yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan
pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
 Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
a) 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia
Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;

30
b) 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
c) 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia
Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
d) 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan
Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha;
dan
e) 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan
Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi
usaha.
 Mekanisme pemotongan dan penyetoran sbb:
 dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna
Jasa merupakan pemotong pajak; atau
 disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan
merupakan pemotong pajak.
 Besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri adalah:
 jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif
Pajak Penghasilan; atau
 jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai,
dikalikan taril Pajak Penghasilan dalam hal Pajak Penghasilan disetor sendiri
oleh Penyedia Jasa.
 Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran merupakan bagian
dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi.

11) Penyalur/Dealer/Agen Produk BBM


Dasar Hukum:
 Peraturan Menteri Keuangan No. 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran atas Penyerahan
Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain;
Objek Pajak:
 Penghasilan dari penjualan bahan bakar minyak dan bahan bakar gas kepada
penyalur/agen bersifat final.
Mekanisme:
Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen
atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas dilakukan
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang terutang dan dipungut pada saat
penerbitan surat perintah pengeluaran barang (delivery order) dengan tarif sebagai
berikut:
1. bahan bakar minyak sebesar:
a) 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar
umum yang menjual bahan bakar rninyak yang dibeli dari Pertamina atau anak
perusahaan Pertamina;
b) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang
menjual bahan bakar minyak yang dibeli selain dari Pertamina atau anak
perusahaan Pertamina;
c) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai untuk penjualan kepada pihak selain sebagaimana dimaksud pada huruf
a) dan huruf b).
2. bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai;

31
12) Penghasilan atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada
Anggota Koperasi Orang Pribadi
Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2009 Tentang Pajak Penghasilan
atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi
Orang Pribadi.
Objek Pajak:
 Penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang
didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
 Penghasilan berupa bunga simpanan adalah imbalan berupa bunga simpanan
yang diterima anggota koperasi orang pribadi dari dana yang disimpan anggota
koperasi orang pribadi pada koperasi tempat orang pribadi tersebut menjadi
anggota.
 Tidak termasuk dalam pengertian ini adalah bunga simpanan yang diterima
anggota koperasi orang pribadi yang merupakan bagian dari sisa hasil usaha.
Tarif PPh Final adalah sbb:
 Dikenakan PPh 0% apabila s.d jumlah Rp. 240.000,00/bulan.
 Dikenakan PPh 10% apabila diatas Rp. 240.000,00/bulan
Contoh perhitungan Pajak Penghasilan atas bunga simpanan:
 Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp 240.000,
untuk masa Januari, maka PPh terutang 0% x Rp 240.000,00 = Rp 0;
 Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp 245.000,
untuk masa Januari, maka PPh terutang 10% x Rp 245.000 = Rp24.500;
 Bunga dibayarkan pada bulan April sebesar Rp 500.000, dengan rincian:
Bulan Januari Rp 250.000,
Bulan Februari Rp 150.000,
Bulan Maret Rp 100.000,
Maka yang dikenakan PPh 10% adalah bunga bulan Januari sebesar 10% x Rp
250.000, = Rp 25.000, dan untuk bulan Februari dan Maret RP 0.

13) Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri
Dasar Hukum:
 Pasal 17 ayat (2 c) UU PPh
 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Dividen yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
Objek Pajak:
 Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen)
dan bersifat final.
 Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang
membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen.

14) Penghasilan istri dari satu pemberi kerja


Dasar Hukum:
 Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 21 Undang-Undang PPh
Objek Pajak:
 Penghasilan istri dari satu pemberi kerja adalah penghasilan berupa gaji,
tunjangan dan imbalan lainnya yang diterima atau diperoleh istri sebagai karyawati
dari satu pemberi kerja yang telah dipotong PPh Pasal 21
Mekanisme dan syarat:

32
 Istri melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya menggunakan
NPWP suami atau kepala keluarga (status perpajakan suami-istri adalah KK).
 Semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah
dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan
 Pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas
suami atau anggota keluarga lainnya.

15) Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
Dasar Hukum:
 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Tertentu.
Objek Pajak:
 Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam
negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final dalam jangka waktu tertentu.
 Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 0,5%.
Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebagai berikut:
a) penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas;
b) penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang
atau telah dibayar di luar negeri;
c) penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d) penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan
final merupakan:
 Wajib Pajak orang pribadi; dan
 Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau
perseroan terbatas,
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp 4.800.000.000, dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Tidak termasuk Wajib Pajak ini dalam hal:
a) Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak
Penghasilan;
b) Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk
oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus
menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
c) Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan:
1) Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun
Berjalan beserta perubahan atau penggantinya; dan
d) Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap.

16) Penghasilan perusahaan modal ventura berupa keuntungan karena penjualan


saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya
Dasar hukum:
 Pasal 4 ayat (2c) UU PPh: penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya,
transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham

33
atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima
oleh perusahaan modal ventura
 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995 Tentang Pajak Penghasilan atas
penghasilan perusahaan modal ventura berupa keuntungan karena penjualan
saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya.
Objek pajak:
 Atas penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Perusahaan pasangan usaha adalah perusahaan yang memenuhi syarat sebagai
berikut:
a) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang melakukan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan
b) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Tarif pajak:
 Besarnya Pajak Penghasilan adalah 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi
penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal.

3. Bukan Objek Pajak


Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU
PPh. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti
penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan Wajib
Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan Wajib
Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit), imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan
penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya.
Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan
diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati
rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan

34
lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai
tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib
Pajak.
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa. Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari
perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan
merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk
kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena
Pajak.
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik
daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi
pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam
negeri, dan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, dari
penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen),
tidak termasuk objek pajak. Yang dimaksud dengan “badan usaha milik negara” dan
“badan usaha milik daerah” pada ayat ini, antara lain, adalah perusahaan perseroan
(Persero), bank pemerintah, dan bank pembangunan daerah.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib
Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri
maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan
sebagainya, penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan
objek pajak.
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi
dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan.
Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun,
baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran
yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun,
yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas
iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran
tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk
pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta
pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada
bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu
penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. Untuk
kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan

35
ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu kesatuan,
yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh
para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak.
j. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Yang dimaksud dengan “perusahaan modal ventura” adalah suatu perusahaan yang
kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk
penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini,
bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak
termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut
merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan dividen
huruf f diatas, dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan
merupakan objek pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor
kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk
meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan
usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternative pembiayaan dalam
bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan
modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai
akses ke bursa efek.
k. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
l. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia
melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan
prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan
berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh
sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih
dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak
sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan
yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian
dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan
telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya.
m. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Bantuan atau santunan yang diberikan
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu

36

Anda mungkin juga menyukai