Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

ILMU PENYAKIT PARU

KEGAWAT DARURATAN PARU

Pembimbing

dr. Nur Indah Sawitri, Sp.P

Disusun oleh :

Intan Malafina Aninasi Taufiq 201704200266

Intan Siti Khoiriyah 201704200267

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN PARU

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH


RUMAH SAKIT UMUM HAJI SURABAYA

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
limpahan rahmat-Nya sehingga referat Ilmu Penyakit Dalam yang berjudul
“Kegawat Daruratan Pru” dapat terselesaikan dengan baik. Adapun
pembuatan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di Sub Departemen Ilmu Penyakit Paru Rumah Sakit
Umum Haji Surabaya.

Dalam menyusun referat ini penyusun telah banyak mendapatkan


bantuan serta dukungan baik langsung maupun tidak langsung dari
semua pihak. Ucapan terima kasih kepada dr. Nur Indah Sawitri, Sp.P
selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini serta kepada teman –
teman sejawat.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih belum


sempurna sehingga masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam
penyusunan referat ini. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik
dan saran untuk perbaikan dalam penulisan berikutnya.

Demikian referat ini disusun dengan sebaik – baiknya. Semoga


dapat memberikan manfaat yang besar bagi pembaca pada umumnya
dan penyusun pada khususnya.

Surabaya, 13 Desember 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................2

DAFTAR ISI.................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................4

1.1 Latar belakang...............................................................................4

1.2 Tujuan............................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................6

2.1 Kegawatdaruratan paru................................................................6

2.2 Kedaruratan Medik Paru Primer..................................................7

2.2.1 Hemoptisis................................................................................7

2.2.2 Pneumotoraks........................................................................16

2.2.3 Status asmatikus....................................................................25

2.2.4 Edema Paru...........................................................................30

BAB III KESIMPULAN...............................................................................38

Daftar Pustaka..........................................................................................39

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Manusia memiliki 2 proses pernafasan dalam tubuh, yaitu
pernafasan luar (eksterna), suatu penyerapan oksigen dan
pengeluaran karbondioksida dari tubuh secara keseluruhan serta
pernafasan dalam (interna), penggunaan oksigen dan
pembentukan karbondioksida oleh sel-sel serta pertukaran gas
antara sel-sel tubuh. Secara garis besar terdapat empat tahapan
proses pernapasan diantaranya yaitu, 1) ventilasi paru, 2) difusi O2
dan CO2 melalui membran respirasi, 3) transportasi O2 dan CO2
dari & kedalam sel, 4) pengaturan ventilasi oleh saraf.(1)
Gawat paru adalah suatu keadaan pertukaran gas dalam paru
terganggu, yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan suatu
keadaan yang disebut gagal nafas akut yang ditandai dengan
menurunnya kadar oksigen dalam arteri (hipoksemia) atau naiknya
kadar karbondioksida (hiperkarbia) atau kombinasi keduannya.
Kedaruratan paru atau pernafasan merupakan faktor yang
diperhitungkan dalam gawat darurat pasien, banyak kasus yang
gagal bukan akibat penyakit primernya, tetapi karena kegagalan
fungsi pernafasan baik karena gangguan sentral maupun akibat
infeksi. Berbagai keadaan dapat menimbulkan gangguan respirasi
yang serius dan membahayakan jiwa. Keadaan ini berkisar antara:
1) Penyakit primer yang mengenai sistem bronkopulmoner seperti
hemoptisis masif, pneumotorak ventil, status asmatikus, Edema
paru dan pneumonia berat. (2) 2) Gangguan fungsi paru yang
sekunder terhadap gangguan organ lain seperti keracunan obat
yang menimbulkan depresi pusat pernafasan. Pada semua
keadaan, perhatian utama harus lebih ditujukan kepada tindakan

4
penyelamatan dari pada penyelidikan diagnostik. Bila tindakan
penyelamatan telah berjalan, selanjutnya dilaksanakan evaluasi
dan pengelolaan penyakit dasar pasien.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran
secara singkat mengenai kegawatdaruratan paru, agar dapat
mendiagnosis dan menangani kegawatdaruratan paru secara cepat
dan tepat.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kegawatdaruratan paru


Gawat paru adalah suatu keadaan pertukaran gas dalam paru
terganggu, atau suatu kegagalan paru memperoleh O 2 dari udara luar,
yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan suatu keadaan yang
disebut gagal nafas akut yang ditandai dengan menurunnya kadar oksigen
dalam arteri (hipoksemia) atau naiknya kadar karbondioksida (hiperkarbia)
atau kombinasi keduannya. Penyebab gawat paru diantaranya yaitu
hemoptisis masif, pneumotorak ventil, status asmatikus, edema paru dan
pneumonia berat.(2)
Pada pasien sakit berat perlu segera dilakukan koreksi gangguan
oksigenisasi, ventilasi dan keseimbangan asam basa.
1. Oksigenisasi
Segera berikan O2 pada pasien dengan tanda hipoksemi
(misalnya sianosis). Perlu diingat bahwa O 2 tidak akan memperbaiki
hipoksi yang disebabkan oleh Cardiac output yang rendah, anemi
berat, right to left A-V shunt. Pada pasien penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) dan retensi CO 2 pemberian O2 yang berlebihan
dapat menimbulkan gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q) lebih
lanjut atau menghilangkan rangsang pusat respirasi, meningkatkan
CO2 dan asidosis respirasi dan pemburukan ke-adaan pasien. Pada
pasien PPOK berikan O2 terbatas dengan Venturi mask (FIO 2 24%–
28%).
2. Bantuan ventilator
Indikasi intubasi dan pemakaian alat bantu pernafasan yaitu bila :
 Keadaan memburuk walaupun telah mendapatkan O2
secukupnya
 Tidak mampu bernafas spontan

6
 Pada penyakit paru akut hal ini ditandai oleh adanya: Gambaran
klinik adanya gangguan perfusi paru, kardiovaskuler dan
neurologis yang serius
 Dikonfirmasi dengan hasil analisis gas darah berupa hipoksemi
berat (pO2 <55–60 mmHg), peningkatan CO 2 akut dan pH yang
rendah.

3. Asidosis
Gangguan keseimbangan asam basa yang ringan sampai berat
umum terjadi pada gangguan fungsi respirasi yang akut. Kelainan
ini dikoreksi dengan mengingat pengaruh faktor metabolik, respirasi
dan penyakit dasar pasien.
4. Komplikasi akut
Komplikasi akut sering menyertai penyakit paru akut, diakibatkan
oleh gangguan oksigenasi atau asam basa, penyakit dasar pasien,
dan terapi yang tidak tepat dapat berupa gangguan respirasi:
bronkospasme, infeksi, aspirasi, obstruksi jalan nafas,
pneumotorak, tromboemboli, atau gangguan kardiovaskuler,
neurologik, dan metabolik.

2.2 Kedaruratan Medik Paru Primer

2.2.1 Hemoptisis
Hemoptisis atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak
yang mengandung darah, akibat perdarahan dari saluran nafas dibawah
laring atau perdarahan yang keluar ke saluran nafas dibawah laring.
Menurut Busroh (1978) yang disebut hemoptisis masif adalah :
1. batuk darah >600 cc / 24 jam dan perdarahan tidak berhenti
2. batuk darah <600 cc / 24 jam dan tetapi >250 cc / 24 jam jam dgn
kadar Hb <10 g%, batuk darah tetap berlangsung

7
3. batuk darah <600 cc / 24 jam dan tetapi >250 cc / 24 jam, Hb <10 g
%, 48 jam dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak
berhenti

I. KLASIFIKASI
Didasarkan dari perkiraan jumlah darah yang dibatukkan (PAPDI, 2012) :

1. Bercak (Streaking)
Darah bercampur dengan sputum merupakan hal yang sering
terjadi, paling umum pada bronchitis. Volume darah kurang dari 15-20
mL/24 Jam.
2. Hemoptisis
Hemoptisis dipastikan ketika total volume darah dibatukkan 20-600
mL di dalam 24 jam. Walaupun tidak spesifik untuk penyakit tertentu,
hal ini berarti perdarahan dari pembuluh darah lebih besar dan
biasanya karena kanker paru, pneumonia (necrotizing pneumonia), TB
paru atau emboli paru.
3. Hemoptisis massif
Kriteria yang paling banyak dipakai untuk hemoptisis masif
(Amirullah, 2004) :
a. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam
dan dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
b. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam
dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang
dari 10 g%, sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung.
c. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam
dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb lebih dari 10
g%, tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan
perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti.
4. Pseudohemoptisis

8
Pseudohemoptisis adalah batuk darah dari struktur saluran napas
bagian atas (diatas laring) atau dari saluran cerna atas (gastrointestinal)
atau hal ini dapat berupa perdarahan buatan (factitious). Perdarahan
yang terakhir biasanya karena luka disengaja di mulut, faring atau
rongga hidung.

 Etiologi Hemoptisis
Infeksi Tuberculosis, Keganasan/tumor paru, Bronkiektasis,
Abses paru, Pneumonia bakterial, Bronkitis kronik, Infeksi jamur,
Trauma, Kelainan vaskuler, Autoimun, Gangguan sistem
pembekuan darah.(5)

 Patofisiologi
a. Infeksi / radang pada jaringan parenkim atau pembuluh darah
sehingga menyebabkan mukosa jalan napas pecah.
Perdarahan pada penderita TB dapat terjadi karena robekan
pembuluh darah pada dinding kavitas (aneurisma rassmussen)
b. Kongesti aliran darah vena pulmonalis  kapiler pecah
c. Kelainan auto imun alveolokapiler  membran basalis
terganggu sehingga mudah pecah (Good pastures syndrome)
d. Invasi tumor menyebabkan pembentukan jaringan dan
pembuluh darah baru yang bersifat rapuh, sehingga membrana
mukosa mudah terjadi pendarahan
e. Trauma pada thorax sehingga terjadi transudasi darah ke
dalam alveoli

 Diagnostik
Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan urutan
pemeriksaan sebagai berikut :
1) Anamnesis teliti

9
Perlu dipastikan apakah penderita benar-benar mengalami
batuk darah bukan epitaksis atau muntah darah. Muntah darah
karena varises esofagus atau ulkus peptikum dapat menyerupai
batuk darah. Untuk membedakan antara batuk darah dengan
muntah darah dapat dipergunakan petunjuk sebagai berikut :
Keadaan Hemoptisis Hematemesis
Prodroma Rasa tidak enak Mual, Stomach distress
ditenggorokan, ingin batuk
Onset Darah dibatukkan, dapat Darah dimuntahkan dapat
disertai dengan muntah disertai dengan batuk
Bentuk darah Berbuih Tidak Berbuih
Warna darah Merah segar Merah tua
Isi Leukosit, mikroorganisme, Sisa makanan
makrofag, hemosiderin
Reaksi Alkalis (pH tinggi) Asam (pH rendah)
Riwayat penyakit Menderita kelainan paru Gangguan lambung,
dahulu kelainan hepar
Anemi Kadang-kadang Selalu
Tinja Warna tinja normal Warna tinja bisa berwarna
hitam

 Hal-hal yang perlu ditanyakan:


 Bagaimana batuk darahnya?
Misalnya bila batuk darah disertai sputum yang purulent
dicurigai penyakit yang mendasari adalah penyakit paru. Bila batuk
darah tanpa pus dicurigai penyakit yang mendasarinya adalah
tuberkulosis, karsinoma, atau infark paru. Bila batuk darah berbau
busuk dicurigai abses paru dan bila batuk darah berupa frothy
sputum dicurigai edema paru.
 Pola batuk darah

10
Pola batuk darah dapat membantu dalam menentukan
penyebab batuk darah. misalnya pasien dengan bronchitis atau
bronkiektasis biasanya mengalami batuk darah berulang. Jika batuk
darah terjadi setiap bulan yang berhubungan dengan saat
menstruasi, dicurigai sebagai Catamenial hemoptysis.
 Anamesis tentang gejala orolaring, jantung, dan paru .
Dapat membantu melokalisir sumber pendarahan.
 Faktor risiko sebagai kondisi penyebab .
Merokok, usia, trauma dada, riwayat bepergian ke daerah
endemis parasit, virus, jamur, atau bakteri tertentu.
 Gejala lain yang menyertai .
Bila terdapat gejala lain seperti penurunan berat badan
disertai batuk darah dicurigai sebagai karsinoma, bila terdapat
keringat malam, demam yang tidak tinggi dicurigai sebagai
tuberkulosis. Bila batuk darah disertai hematuria dicurigai sebagai
good posture syndrome (Wibisono, 2010)

 Pemeriksan Fisik
 Pemeriksaan tanda vital
 Pemeriksaan pada hidung, mulut. faring posterior, dan laring
termasuk pemeriksaan laringoskopi
 Pemeriksaan leher, dada, jantung, dan paru(Wibisono, 2010)

 Pemeriksaan Laboratorium
Pada keadaan darurat, pemeriksaan laboratorium dapat
dibatasi pada pemeriksaan Hb yang kemudian diikuti dengan
pemeriksaan darah rutin, urine dan tinja. Pemeriksaan pembekuan
darah meliputi protrombin dan partial thromboplastine time dilakukan
bila memang diperlukan. Pemeriksaan sputum berupa pemeriksaan
Gram, BTA, kultur bakteri, jamur perlu dilakukan untuk mendeteksi
adanya infeksi yang mendasari terjadinya batuk darah tersebut.

11
Pemeriksaan sitologi sputum dilakukanbila ada kecurigaan terhadap
keganasan. Pemeriksaan ini ditujukan terutama pada penderita
dengan risiko besar untuk mendapat kanker paru, seperti pada laki-
laki perokok berat usia di atas 40 tahun, meskipun foto toraks
tampak normal.

 Pemeriksaan Khusus
a. Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat pada
setiap penderita hemoptisis masif, ditambah dengan dalam
posisi lordotik dan oblik dengan tujuan untuk mendapatkan
diagnosis lebih khusus. Gambaran opasitas dapat
menunjukkan tempat dan kemungkinan penyebab.
b. Batuk darah masif merupakan indikasi kuat untuk pemeriksaan
bronkoskopi. Bronkoskopi dilakukan untuk mengevaluasi
hemoptisis masif terutama pada orang tua di mana foto toraks
tidak memperlihatkan kelainan, terlebih-lebih bila terdapat
riwayat perokok berat. Hal ini sangat penting, mengingat pada
stadium dini, kanker paru yang menyebabkan batuk darah
masif dapat disembuhkan dengan tindakan bedah saja.
Pemeriksaan bronkoskopi yang tidak memperlihatkan kelainan
belum dapat menyingkirkan kemungkinan adanya tumor ganas
paru.
c. Sputum, untuk pemeriksaan bakteriologik dan patologik.
d. Analisis gas darah, dapat membantu dalam hal aneurisma AV.
e. Lain-lain - pemeriksaan urine, Hb, hematokrit, lekosit,
trombosit, pemeriksaan waktu perdarahan/pembekuan atau
lainnya

 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
- Terapi konservatif

12
- Terapi definitif atau pembedahan
a) Terapi konservatif (6,7)
 Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi
(6)
miring (lateral decubitus). Kepala lebih rendah dan
miring ke sisi yang sakit untuk mencegah aspirasi darah
(4)
ke paru yang sehat atau posisi trendelenburg.

Posisi Trandelberg

 Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi


perdarahan.
 Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah
di dalam saluran saluran napas untuk mencegah bahaya
sufokasi (sumbatan jalan nafas).
 Dada dikompres dengan es – kap, hal ini biasanya
menenangkan penderita.
 Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat
hemostasis), misalnya vit. K, ion kalsium, trombin,
Carbazochrome Na sulfonate (Adona).
 Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
 Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya
perdarahan yang terjadi.
 Pemberian oksigen.
(4)
Tindakan selanjutnya bila mungkin :
o Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
o Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal
aspirasi darah dengan bronkoskopi dan pemberian
adrenalin pada sumber perdarahan.

13
b) Terapi pembedahan
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan
pilihan. (8)
(6)
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan :
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan
pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa
angka kematian pada perdarahan yang masif menurun
dari 70% menjadi 18% dengan tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab
terjadinya hemoptisis yang berulang dapat dicegah.
Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan
sebagai berikut (6) :
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24
jam dan dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc /
24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan
kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk darahnya
masih terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc /
24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb
kurang dari 10 g%, tetapi selama pengamatan 48 jam yang
disertai dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut
tidak berhenti.
Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin
diperiksa faal paru dan dipastikan asal perdarahannya,
sedang jenis pembedahan berkisar dari segmentektomi,
lobektomi dan pneumonektomi dengan atau tanpa
torakoplasti. (4)

14
Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk
menghentikan perdarahan. Metode yang mungkin digunakan
adalah (6) :
- Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan
dengan bronkoskopi serat lentur dengan posisi pada lokasi
bronkus yang berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis
pada suhu 4°C sebanyak 50 cc, diberikan selama 30-60
detik. Cairan ini kemudian dihisap dengan suction.
- Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20
cm penampang 8,5 mm

 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari
hemoptisis, yaitu ditentukan oleh tiga faktor (6) :
1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam
saluran pernapasan.
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis
dapat menimbulkan renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa
makanan ke dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.

 Prognosis
Pada hemoptisis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila
penderita mengalami hemoptisis yang rekuren. Sedangkan
pada hemoptisis sekunder ada beberapa faktor yang
menentukan prognosis :
1. Tingkatan hemoptisis : hemoptisis yang terjadi pertama kali
mempunyai prognosis yang lebih baik.
2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptisis.

15
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera
dilakukan untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat
menyelamatkan penderita.(9)

2.2.2 Pneumotoraks
 Definisi
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau
gas di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang
terkena.(11)

 Klasifikasi
Klasifikasi menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu(11,12) :
a. Pneumotoraks spontan yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi
secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi
ke dalam dua jenis, yaitu :
1) Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang
terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
2) Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang
terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah
dimiliki sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru
obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan
infeksi paru.
b. Pneumotoraks traumatik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat
adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan,
yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam
dua jenis, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks
yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada
dinding dada, barotrauma.

16
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks
yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis.
Pneumotoraks jenis ini pun masih dibedakan menjadi dua,
yaitu :
a) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental adalah
suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis
karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut,
misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.
b) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan
dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura.
Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan,
misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era
antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru.

Berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat


(13)
diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax) Pada tipe ini,
pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar.
Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun
lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh
jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum
mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura,
meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada
waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga
pleura tetap negatif.
b. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax), Yaitu
pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura
dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar
(terdapat luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan

17
intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada
pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol.
Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang
disebabkan oleh gerakan pernapasan. Pada saat inspirasi
tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan
menjadi positif . Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum
dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum
bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound).
(12)

c. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax) Adalah


pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan
makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura
viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk
melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya
terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi
udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar . Akibatnya
tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan
melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga
pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan
gagal napas. (12)

Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami


kolaps, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu (13) :
a. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan
pada sebagian kecil paru (< 50% volume paru).
b. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai
sebagian besar paru (> 50% volume paru).

 Gejala klinis yang muncul berdasarkan anamnesis. (12,13,14)

18
a. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien.
Seringkali sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin
berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan
mulut terbuka.
b. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri
dirasakan tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan
terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan.
c. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
d. Denyut jantung meningkat.
e. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang
kurang.
f. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10%
pasien, biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.

 Diagnosis
a. Pemeriksaan fisik
(11,13)
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan :
1) Inspeksi :
a) Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper
ekspansi dinding dada)
b) Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya
tertinggal
c) Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2) Palpasi :
a) Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau
melebar
b) Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c) Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang
sakit
3) Perkusi :

19
a) Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan
tidak menggetar
b) Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila
tekanan intrapleura tinggi
4) Auskultasi :
a) Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai
menghilang
b) Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negatif
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Foto Rontgen Gambaran radiologis yang tampak pada foto
(15)
rontgen kasus pneumotoraks antara lain :
a) Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru
yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru.
Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis,
akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
b) Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa
radio opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini
menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps
paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak
napas yang dikeluhkan.
c) Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat,
spatium intercostals melebar, diafragma mendatar dan
tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau
trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah
terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura
yang tinggi.

Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi


keadaan sebagai berikut (11):

20
a) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada
tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi
apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga
udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
b) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di
mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang
lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat
banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara,
sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka
dapat mendesak jaringan ikat tersebut,
c) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan
tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas
diafragma Foto Rontgen pneumotoraks (PA), bagian yang
ditunjukkan dengan anak panah merupakan bagian paru yang
kolaps
2) Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran
hipoksemi meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak
diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat
secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
3) CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara
emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara
dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk
membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan
sekunder.

 Penatalaksanaan

21
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk
mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan
kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya,
penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :
a. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga
pleura telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga
pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan
meningkat apabila diberikan tambahan O 2. Observasi dilakukan
dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam
pertama selama 2 hari. Tindakan ini terutama ditujukan untuk
pneumotoraks tertutup dan terbuka.(13)
b. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini
bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan
membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar
dengan cara (12):
1) Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga
pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga
pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar
melalui jarum tersebut.(12,13)
2) Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
a) Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada
sampai ke dalam rongga pleura, kemudian infus set yang
telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan
ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka,
akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus
set yang berada di dalam botol. (13)
b) Jarum abbocath

22
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan
jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi
yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga
pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini
kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa
infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air.
Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung
udara yang keluar dari ujung infuse set yang berada di
dalam botol. (13)
c) Pipa water sealed drainase (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga
pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan
klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui
celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela
iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris
posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis
mid klavikula. Setelah troakar masuk, maka toraks kateter
segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar
dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih
tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks
yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui
pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di
botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air
supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar
melalui perbedaan tekanan tersebut. (11,13)
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan
memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cmH 2O, dengan
tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah
mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah
negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji

23
coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk
selama 24 jam. Apabila tekanan dalam ronggapleura
kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut.
Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam
keadaan ekspirasi maksimal. (12)
d) Torakoskopi
Suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga
toraks dengan alat bantu torakoskop.
e) Torakotomi
f) Tindakan bedah
 Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi,
kemudian dicari lubang yang menyebabkan
pneumotoraks kemudian dijahit.
 Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura
yang menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka
dapat dilakukan dekortikasi.
 Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang
mengalami robekan atau terdapat fistel dari paru yang
rusak
 Pleurodesis
Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di
tempat fistel.

 Pengobatan Tambahan
a. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan
tambahan ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap
proses TB paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi
saluran napas diberi antibiotik dan bronkodilator . (13)
b. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat.

24
c. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah
dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi,
seperti emfisema. (11)

 Rehabilitasi
a. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
b. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk
atau bersin terlalu keras.
c. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif,
berilah laksan ringan.
d. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada
keluhan batuk, sesak napas.

DEFINISI
Definisi ARDS pertama kali dikemukakan oleh Asbaugh dkk (1967) sebagai
hipoksemia berat yang onsetnya akut, infiltrat bilateral yang difus pada foto toraks dan
penurunan compliance atau daya regang paru.4

Acute Lung Injury (ALI) dan ARDS didiagnosis ketika bermanifestasi sebagai
kegagalan pernafasan berbentuk hipoksemi akut, bukan karena peningkatan tekanan
kapiler paru. Bentuk yang lebih ringan dari ARDS disebut ALI karena ALI merupakan
prekursor ARDS.2,5

25
American European Concencus Conference Comittee(AECC) pada tahun 1994
merekomendasikan definisi ARDS, yaitu sekumpulan gejala dan tanda yang terdiri dari
empat komponen di bawah ini (dapat dilihat pada tabel 1). 5

Tabel 2. Kriteria ARDS dan ALI menurut American European Consensus


Conference

Committee (AECC) pada tahun 1994 5

ETIOLOGI
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang
dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai penyakit
tetapi sebagai sindrom.4,5 Sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi,
mikroorganisme dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap
parenkim paru dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian ARDS, insiden sepsis
menyebabkan ARDS berkisar antara 30-50% .4,5
Aspirasi cairan lambung menduduki tempat kedua sebagai faktor risiko ARDS (30%).
Aspirasi cairan lambung dengan pH<2,5 akan menyebabkan penderita mengalami
chemical burn pada parenkim paru dan menimbulkan kerusakan berat pada epitel
alveolar.3,4 Faktor risiko penyebab ARDS dapat dilihat pada tabel 2.

26
Tabel 3. Faktor risiko klinik ARDS 5

Gambar 1. Multiple Hit Model antara faktor predisposisi, faktor modifier dan
pengobatan dengan

27
terjadinya ARDS 6

PATOGENESIS
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan pada ARDS. 3
Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier alveolar dan kapiler
sehingga cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Derajat kerusakan epithelium alveolar
ini menentukan prognosis.4-8
Epitelium alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan
sel pneumosit tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I berupa
sel pipih yang mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit tipe I adalah
pertukaran gas yang berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit tipe II meliputi 10%
permukaan alveolar terdiri atas sel kuboid yang mempunyai aktivitas metabolik
intraselular, transport ion, memproduksi surfaktan dan lebih resisten terhadap
kerusakan.4-8
Kerusakan epitelium alveolar yang berat menyebabkan kesulitan dalam
mekanisme perbaikan paru dan menyebabkan fibrosis. 3,4,6,8,9 Kerusakan pada fase aku
terjadi pengelupasan sel epitel bronkial dan alveolar, diikuti dengan pembentukan
membran hialin yang kaya protein pada membran basal epitel yang gundul (dapat
dilihat pada gambar 1). Neutrofil memasuki endotel kapiler yang rusak dan jaringan
interstitial dipenuhi cairan yang kaya akan protein.

Gambar 2. Keadaan alveoli normal dan alveoli yang mengalami kerusakan saat fase
akut

28
pada ALI dan ARDS 2
Keberadaan mediator anti inflamasi, interleukin-1-receptor antagonists, soluble
tumor necrosis factor receptor, auto antibodi yang melawan Interleukin/IL-8 dan IL-10
menjaga keseimbangan alveolar. Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS
adalah edema paru interstistial dan penurunan kapasitas residu fungsional (KRF)
karena atelektasis kongestif difus.

Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel
pneumosit tipe I) sehingga cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam jaringan
interstitial, jika telah melebihi kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga alveoli
(alveolar flooding) sehingga alveoli menjadi kolaps (mikroatelektasis) dan compliance
paru akan lebih menurun. Merembesnya cairan yang banyak mengandung protein dan
sel darah merah akan mengakibatkan perubahan tekanan

osmotik.5,6

Cairan bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga paru
menjadi kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah terjadi.
Mikroatelektasis akan menyebabkan shunting intrapulmoner, ketidakseimbangan
(mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q) dan menurunnya KRF, semua ini akan
menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan progresivitas yang ditandai dengan
pernapasan cepat dan dalam. Shunting intrapulmoner menyebabkan curah jantung
akan menurun 40%.7-10
Hipoksemia diikuti asidemia, mulanya karena pengumpulan asam laktat
selanjutnya merupakan pencerminan gabungan dari unsur metabolik maupun
respiratorik akibat gangguan pertukaran gas. Penderita yang sembuh dapat
menunjukan kelainan faal paru berupa penurunan volume paru, kecepatan aliran udara
dan khususnya menurunkan kapasitas difusi. 3,9,10 Secara ringkas, terdapat 3 fase
kerusakan alveolus pada ARDS yaitu:5
1. Fase eksudatif : fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan
epitelium, inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase proliferatif : terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan
proliferasi fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan
dinding alveolus dan perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi
seluler/ membran hialin. Merupakan fase menentukan : cedera bisa mulai
sembuh atau menjadi menetap, ada resiko terjadi lung rupture
(pneumothorax).

29
3. Fase fibrotik/recovery : Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan
mengalami remodeling dan fibrosis. Fungsi paru berangsur- angsur membaik
dalam waktu 6 – 12 bulan, dan sangat bervariasi antar individu, tergantung
keparahan cederanya.

Diagnosis Klinis
Onset akut umumnya berlangsung 3-5 hari sejak diagnosis kondisi yang menjadi faktor
risiko ARDS. Tandanya adalah takipnea, retraksi intercostal, adanya ronkhi kasar yang
jelas dan adanya gambaran hipoksia atau sianosis yang tidak respons dengan
pemberian oksigen. Bisa juga dijumpai hipotensi dan febris. Sebagian besar kasus
disertai dengan mutiple organ dysfunction syndrome (MODS) yang umumnya
melibatkan ginjal, hati, otak, sistem kardiovaskuler dan saluran cerna seperti
perdarahan saluran cerna.5
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
• AGDA: hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi),
hiperkapnia (pada emfisema atau keadaan lanjut), bisa terjadi alkalosis
respiratorik pada proses awal dan kemudian berkembang menjadi asidosis
respiratorik.
• Pada darah perifer bisa dijumpai gambaran leukositosis (pada sepsis),
anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan
endotel, peningkatan kadar amylase (pada kasus pancreatitis sebagai
penyebab ARDSnya)
• Gangguan fungsi ginjal dan hati, gambaran koagulasi intravascular
disseminata yang merupakan bagian dari MODS. 5
Radiologi: Pada awal proses, dari foto thoraks bisa ditemukan lapangan paru yang
relatif jernih, namun pada foto serial berikutnya tampak bayangan radio-opak yang
difus atau patchy bilateral dan diikuti pada foto serial berikutnya tampak gambaran
confluent tanpa gambaran kongesti atau pembesaran jantung. Dari CT scan tampak
pola heterogen, predominan limfosit pada area dorsal paru (foto supine). 5

30
Terapi non farmakologis PENGGUNAAN VENTILASI
MEKANIS INVASIF PADA ARDS
Kegagalan ventilasi biasanya disertai penurunan Kapasitas residual fungsional
(KRF) yaitu adalah volume udara yang tetap berada di dalam paru pada akhir ekspirasi
tidal normal karena tidak ada otot pernapasan yang berkontraksi pada saat ekspirasi.
14,15
Kapasitas residu fungsional berisi 1/3 cadangan total O2 (1-2,3 liter) dan
merupakan penyangga ventilasi alveolar dalam pertukaran gas sehingga memperkecil
fluktuasi komposisi gas alveolar yang terjadi selama pernapasan.6

Prinsip pengaturan ventilator pasien ARDS meliputi volume tidal rendah (4-6
mL/kgBB) dan PEEP yang adekuat, kedua pengaturan ini dimaksudkan untuk
memberikan oksigenasi adekuat (PaO2 > 60 mmHg) dengan tingkat FiO 2 aman,
menghindari barotrauma (tekanan saluran napas <35cmH2O atau di bawah titik refleksi
dari kurva pressure-volume) dan menyesuaikan (I:E) rasio inspirasi: ekspirasi (lebih
tinggi atau kebalikan rasio waktu inspirasi terhadap ekspirasi dan hiperkapnea yang
diperbolehkan).6
Selain pengaturan ventilasi dengan cara diatas, masih ada lagi teknik
pengaturan ventilasi untuk ARDS (strategi ventilasi terkini) meliputi high frequency
ventilation (HVF), inverse ratio ventilation (IRV), airway pressure release ventilation
(APRV), prone position, pemberian surfaktan eksogen, ventilasi mekanik cair dan
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) serta extracorporeal carbon dioxide
removal (ECCO2R).6-10
Metode HFV dapat mempertahankan ventilasi yang adekuat serta mencegah kolaps
alveoli melalui frekuensi tinggi (300 x/menit) dan volume tidal rendah (3-5 ml/kg).
Teknik ini berhasil diaplikasikan pada neonatus dengan penyakit membran hialin, tetapi
manfaat HFV pada

ARDS dewasa masih belum dipastikan.6-10

Metode IRV didesain untuk memperpanjang fase siklus ventilasi inspirasi, yang
mengakibatkan peningkatan tekanan saluran pernapasan, sehingga memperbaiki
oksigenasi. Rasio I:E normal adalah 1:2 dan IRV dapat memperpanjang fase inspirasi
menjadi rasio I:E melebihi 1:1. Manfaat IRV pada ARDS masih kontroversial dan
ketidaknyamanan yang berkaitan dengan cara ini sering kali memerlukan sedasi dan
paralisis otot yang kuat bagi

pasien.5,6

Metode APRV didesain untuk menghantarkan volume tidal saat terjadi penurunan
sementara tekanan intratoraks dan mempertahankan tekanan inspriasi yang konstan
dengan peningkatan PEEP sehingga memperbaiki oksigenasi pasien ARDS. Metode
APRV menggunakan tekanan tinggi secara kontinyu untuk mendorong recruitment
alveolar dan mempertahankan volume paru yang adekuat. Saat fase pelepasan

31
tekanan akan menurun dalam ventilasi semenit secara spontan sehingga
memungkinkan terjadinya pernapasan spontan tanpa restriksi selama siklus ventilator
sehingga membuat ventilasi yang lebih baik pada daerah paru dependent, mengurangi
atelektasis dan memperbaiki volume paru akhir ekspirasi pada cedera paru. Hal
tersebut dapat mengakibatkan perbaikan ventilasi-perfusi serta oksigenasi yang lebih

baik. 5,6,7

Metode ECMO didesain dengan menegakkan sirkuit ekstrakorporal, baik pola vena ke
arteri (V-A ECMO) maupun vena ke vena (V-V ECMO). Pola VA-ECMO meningkatkan
oksigenasi melalui oksigenator membran ekstrakorporeal dan cardiac output dengan
sistem pompa, tetapi V-V ECMO hanya dapat memperbaiki oksigenasi jaringan.
Metode ECCO2R menggunakan suatu sirkuit venovenosa dan CO 2 darah dapat
dihilangkan oleh suatu mesin ekstrakorporeal. Meskipun beberapa penelitian telah
menunjukkan efek menguntungkan dari ECMO atau ECCO 2R, tetapi terapi tersebut
masih belum direkomendasikan untuk

penatalaksanaan rutin pasien ARDS.5,6

Ventilasi mekanis cair dengan perfluorocarbon, paru akan terisi sebagian oleh cairan
yang dapat melarutkan lebih banyak oksigen dan mengkonsumsi lebih sedikit surfaktan
dibandingkan dengan ventilasi konvensional serta memiliki tekanan permukaan yang
lebih rendah dan mengurangi respons inflamasi. Metode ini digunakan sebagai terapi
alternatif baru yang menjanjikan bagi pasien ARDS. 6,7

Pengaruh Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV)


terhadap hemodinamik
Pemberian IPPV saat inspirasi timbul tekanan positif pada jalan napas
sedangkan pada pernapasan spontan terjadi tekanan negatif di ruang pleura maka
tekanan intratorakal pada IPPV akan lebih besar dibandingkan pernapasan spontan.
Penderita dengan paru normal, peninggian tekanan intratorakal akan menimbulkan
penurunan pengisian curah jantung kiri dan kanan, tergantung pada volume darah dan
venous return. Jantung kiri terjadi perbedaan tekanan aorta intratorakal dan
ekstratorakal menyebabkan penurunan afterload sehingga pada keadaan hiperdinamik
bila terdapat gagal jantung pemberian IPPV sangat bermanfaat. 6

32
Pengaruh Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV)
terhadap hubungan ventilasiperfusi (V/Q) dan pertukaran
gas
Pertukaran gas yang normal tergantung pada hubungan antara udara
(ventilasialveolar/VA) dan aliran darah (perfusi/Q). Rasio ventilasi perfusi yang ideal (V/
Q) adalah 1:1, keadaan normal, tekanan arteri pulmonalis akan menjadi rendah akibat
pengaruh gravitasi sehingga menyebabkan aliran darah paru bagian atas sedikit (V/Q
tinggi), sedangkan aliran darah paru bagian basal lebih banyak (V/Q rendah). Metode
IPPV pada pasien posisi terlentang, distribusi udara inspirasi lebih merata dibandingkan
dengan pernapasan spontan. 6,8,9
Metode ventilasi mekanis untuk ARDS sudah menjadi perdebatan sejak awal
sindrom ini ditemukan. Metode ventilasi mekanis yang lama pada pasien ARDS
direkomendasikan menggunakan peningkatan volume tidal menjadi 10-15 ml/kgBB.
Pemakaian volume tidal yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan paru yang makin
luas karena peningkatan tekanan jalan napas menyebabkan distensi yang berlebihan
pada alveoli, peningkatan permeabilitas vaskular paru, inflamasi akut, perdarahan
alveolar dan shunt intrapulmoner sehingga untuk keberhasilan pengunaan ventilasi
mekanis invasif pada ARDS maka AECC merekomendasikan pembatasan volume tidal,
PEEP dan hiperkapnea.6-10

Ventilasi Volume Tidal Rendah


Volume tidal merupakan volume udara yang dihantarkan oleh ventilasi
mekanis setiap sekali bernapas. Umumnya diatur antara 5-15 ml/kgBB, tergantung
compliance, resistensi dan jenis kelainan paru. Pemakaian volume tidal rendah pada
pasien ARDS mentoleransi terjadinya hiperkapnea dengan membiarkan PaCO 2 tinggi >
45 mmHg, tetapi PaO2 normal dengan cara menurunkan volume tidal yaitu 4-6
mL/kgBB yang ini bertujuan menghindari terjadinya barotrauma. 6
Penelitian prospektif secara random yang membandingkan antara pasien ARDS
yang mendapat volume tidal tinggi dan mendapat volume tidal rendah terdapat
penurunan mortalitas dari 40% menjadi 31%. Pemakaian volume tidal rendah saat ini
dipertimbangkan sebagai terapi penunjang pasien ARDS karena dapat menurunkan
angka mortalitas dan mengurangi waktu penggunaan ventilator. 7,8
Pengaturan ventilasi volume tidal rendah, PEEP tinggi, manuver pengisian
alveolar dan memposisikan pasien telentang akan berguna pada pasien hipoksemia
berat tetapi metode ventilasi tersebut tidak meningkatkan angka keberhasilan
penanganan ARDS. Ketertarikan awal dalam ventilasi volume tidal rendah didorong
oleh penelitian pada binatang yang menunjukkan bahwa ventilasi dengan volume tidal
besar dan tekanan inspirasi tinggi mengakibatkan timbulnya ALI yang ditandai oleh

33
membran hialin dan infiltrat inflamasi. Dahulu volume tidal tinggi sebesar 10-15
mL/kgBB telah digunakan pada pasien gagal napas tetapi pada pertengahan tahun
1980-an pada penatalaksanaan ARDS mengakibatkan jumlah jaringan paru yang normal
menjadi

overdistensi alveolar, yang dikenal dengan istilah “baby lung”. 8,9


Ventilasi volume tidal tinggi juga menyebabkan respons inflamasi pada paru,
mendorong inflamasi sistemik dan seringkali mengakibatkan disfungsi sistem organ
multipel. Tremblay dkk (1997) mengamati bahwa ventilasi volume tidal tinggi pada
tikus mengakibatkan peningkatan kadar mediator inflamasi (yaitu TNF-á, IL-6, dan IL-
10) dalam cairan BAL. Von Bethmann dkk (1998) mengkonfirmasi bahwa peningkatan
kadar TNF-á dan IL-6 dilepaskan ke dalam sirkulasi paru yang mendapatkan ventilasi
dengan volume tidal tinggi. Kolobow dkk (1987) mengevaluasi domba yang telah
mendapatkan ventilasi volume tidal tinggi atau rendah dan menemukan bahwa domba
yang mendapatkan volume tidal tinggi mati akibat gagal napas berat dan syok dalam
waktu 48 jam. Hickling dkk (1990) menggunakan strategi ventilasi dengan volume tidal
rendah atau tekanan inspirasi rendah pada pasien ARDS. 6-10
Secara spesifik, direkomendasikan penggunaan protokol ventilasi yang digariskan
oleh peneliti ARDS Network dalam suatu publikasi Respiratory Management in
ALI/ARDS (ARMA) tahun 2000. Protokol ini menyebutkan lebih banyak mengenai
penggunaan volume tidal rendah, sebagai berikut: 8
1. Volume tidal secara sistematik disesuaikan (4-6 mL/kgBB) untuk
mempertahankan tekanan plateau 30 cmH2O.
2. Respiratory rate harus dititrasi sesuai kebutuhan (6-35 kali/menit) untuk
mempertahankan pH sebesar 7,3 hingga 7,45.
3. Kombinasi tepat dari fraction of inspired oxygen (FIO2) dan positive end-
expiratory pressure (PEEP) untuk mencapai oksigenasi yang adekuat (PaO 2 55 -80
mmHg atau saturasi pulsasi oksimetri ± 88%-95%).
Pemakaian ventilasi volume tidal rendah disertai dengan hiperkapnea akan
menyebabkan pasien tidak nyaman, demikian juga peningkatan PaCO 2 yang akut dapat
mengakibatkan abnormalitas fisiologis seperti vasodilatasi, takikardi, dan hipotensi.
Tahun 2000, ARMA merekomendasikan penggunaan sedasi dengan tujuan untuk
kenyamanan pasien. Timbulnya hiperkapnea yang ringan dapat diterima dan ditoleransi
oleh sebagian besar pasien ARDS, bila pasien disertai asidosis metabolik harus
secepatnya dikoreksi dan ARMA merekomendasikan dengan meningkatkan respiratory
rate (hingga 35 kali/menit) dan infus bikarbonat pada kondisi demikian.8,9,10

34
Positive End Expiratory Pressure (PEEP) tinggi
Asbaugh dkk (1967) memperkenalkan penggunaan Positive end expiratory pressure
(PEEP) sebagai model ventilasi mekanis untuk mengatasi hipoksemia refrakter pada
pasien ARDS dan mencegah kerusakan paru akibat pembukaan dan penutupan
bronkiolus dan alveolus yang berulang sehingga mencegah kolaps paru saat akhir
ekspirasi. Positive end expiratory pressure (PEEP) merupakan komponen penting
ventilasi mekanis pada ARDS yang di setting pada 5-12 cm H2O.8-13

Positive end expiratory pressure dapat menurunkan shunt intrapulmoner,


meningkatkan oksigenasi arteri dan meningkatkan bagian paru yang tidak terisi udara
sehingga dapat mengakibatkan perbaikan oksigenasi. National Heart, Lung and Blood
Institute ARDS Network (2004) melakukan suatu penelitian secara acak yang disebut
ALVEOLI (Assessment of Low tidal Volume and Elevated End Expiratory Pressure To
Obviate Lung Injury) dengan tujuan untuk mengetahui bahwa pada pemakaian PEEP
tinggi pada pasien ARDS dapat bermanfaat

meningkatkan

oksigenasi.7-13

Ventilasi dengan posisi

prone

Ventilasi dengan posisi prone dapat dilakukan pada pasien ARDS walaupun belum
direkomendasikan secara rutin karena masih kurangnya data yang mendukung hal ini.
Namun pada 70% pasien ARDS, posisi prone dapat memperbaiki oksigenasi,
menghasilkan peningkatan Pa02 yang signifikan, memperbaiki bersihan sekret dan
dapat dipertimbangkan jika pasien membutuhkan PEEP >12 cm H2O dan FiO2 >0,60
dan paling baik dilakukan pada ARDS dengan onset kurang dari 36 jam. Mekanisme
yang terjadi pada posisi prone adalah terjadinya rekrutmen paru dorsal bersamaan
dengan kolapsnya paru ventral sehingga perfusi lebih mudah
didistribusikan.5,9,12

Tabel 6. Kontraindikasi dan komplikasi posisi prone pada ARDS 12

35
B. Terapi farmakologis
Pilihan terapi farmakologis pada manajemen ARDS masih sangat terbatas.
Penggunaan surfaktan dalam manajemen ARDS pada anak-anak memang bermanfaat,
namun penggunaanya pada orang dewasa masih kontroversi. Studi review yang
dilakukan Cochrane dkk tidak menemukan manfaat penggunaan surfaktan pada ARDS
dewasa.14,15,16
Penggunaan kortikosteroid juga masih kontroversi. Beberapa randomized controlled
study dan studi kohort mendukung penggunaan kortikosteroid sedini mungkin dalam
penatalaksanaan ARDS berat. Kortikosteroid seperti methiprednisolon diberikan
dengan dosis 1mg/kg.bb/hari selama 14 hari lalu ditapering off. Penggunaan
kortikosteroid dapat menurunkan kebutuhan penggunaan ventilator dalam hitungan
hari, walaupun penggunaan kortikosteroid tidak terbukti menurunkan angka
mortalitas.15,16
Pemberian nitrit okside inhalasi (iNO) dan prostasiklin (PGI2) mungkin dapat
menurunkan shunt pulmoner dan afterload ventrikel kanan dengan menurunkan
impedansi arteri pulmoner. 40-70% ARDS mengalami perbaikan oksigenasi dengan iNO.
Penambahan almitrin intravena mempunyai dampak aditif pada perbaikan oksigenasi.
Sementara pemberian PGI2 dengan dosis sampai 50 ng/kg.bb/menit ternyata
memperbaiki oksigenasi sama efektifnya dengan iNO pada pasien ARDS. 5,15,16

36
Tabel 7. Terapi farmakologis sebagai Salvage terapi pada
ARDS 12

37
BAB III
KESIMPULAN

Tujuan semua tindakan untuk mengatasi penyakit gawat paru adalah


mencegah agar penderita tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk
berupa gagal nafas akut dan multipleorgan failure. Gagal nafas akut dapat
terjadi oleh karena gangguan nafas diotak, gangguan neuromuskuler dan
medulla spinalis, obstruksijalan nafas, gangguan ventilasi, perfusi dan
karena kerusakan organ-organ lain seperti infark miokard, iskemi usus
atau luka bakar yang luas.
Diagnosis pasti didapatkan dari pemeriksaan analisis gas darah.
Tetapi seringkali pemeriksaan klinis sangat membantu menentukan
tindakan pertama yang harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Kadang-
kadang tindakan pertama harus dilakukan secepatnya di tempat kejadian
atau di unit gawat darurat tergantung etiologinya yang dikenal sebagai
penatalaksanaan spesifik. Penatalaksanaan non spesifik meliputi upaya
perbaikan oksigenisasi, ventilasi dan sirkulasi. Upaya-upaya ini kadang-
kadang memerlukan alat-alat yang lebih kompleks dan memerlukan
Monitoring dan perawatan khusus. Hal lain yang juga penting adalah
evaluasi terhadap keberhasilan terapi dilakukan dari saat ke saat
sehingga terapi dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan.

38
Daftar Pustaka

1. Sherwood Lauralee. 2001. HUMAN PHYSIOLOGY : FROM CELL


TO SYSTEM, E/2. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC.
2. Djojodibroto Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory medicine).
Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC.
3. Abal AT, Nair PC & Cherian J. 2001. Haemoptysis: aetiology,
evaluation and outcome--a prospective study in a third-world
country. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11453310/
4. Purwandianto A. Sampurna B. Kedaruratan Medik. ed. 3. Bina Rupa
Aksara. Jakarta. p.19 – 20
5. Reechaipichitkul W, Latong S. 2005. Etiology and treatment
outcomes of massive hemoptysis.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15916059
6. Rab T. Prinsip Gawat Paru. ed.2. EGC. Jakarta. 1996. p. 185 – 201
7. Yusuf I. Manifestasi Klinis Penyakit Paru. dalam Ilmu Penyakit
Dalam. Soeparman. Waspadji, editor. BP-FKUI Jakarta. 1987.
p. 688
8. Woodley M. Whelan A. Pedoman Pengobatan. (Manual of Medical
Therapeutics). Andi offset. Yogyakarta. 1995. p. 326 – 327
9. American Thoracic society. The Management of hemoptysis. A
Statement by the committee on Therapy, Am rev Respir Dis.
1996. (93) : 471 – 474
10. David R. Sopko and Tony P. Smith. 2011. Bronchial Artery
Embolization for Hemoptysis.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3140255/?
tool=pmcentrez
11. Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic.
Updated: 2010 May 27; cited 2011 January 10. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/827551

39
12. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p.
1063.
13. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya : Airlangga University Press; 2009. p. 162-179
14. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax
(Collapsed Lung). Cited : 2011 January 10. Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
15. Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta :
Pustaka Cendekia Press; 2007. p. 56
16. Dahlan Jul. 1997. Pengelolaan pasien dengan kedaruratan paru.
Cermin Dunia Kedokteran.
17. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and
non-cardiogenic. In: Han Disease. Textbook pf Cardiovascular
Medicine. Braunwald E. (Ed). 3rd ed. Philadelphia : WB
Saunders Co. 1988, pp. 544-60.
18. Bernard GR, Artigas A, Brigham KL, et al. The American-European Consensus
Conference on ARDS. Definitions, mechanisms, relevant outcomes, and clinical
trial coordination. Am J Respir Crit Care Med. 1994;149(3 pt 1):818-824.
19. Ware LB, Matthay MA. The acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med.
2000;342(18):1334-1349.
20. Rubenfeld GD, Caldwell E, Peabody E, et al. Incidence and outcomes of acute
lung injury. N Engl J Med. 2005;353(16):1685-1693.
21. Fanelli V, Vlachou A, Simonetti U, Slutsky AS, Zhang H. Acute respiratory
distress syndrome: new definition, current and Fanelli V, future therapeutic
options. Journal of Thoracic Disease. 2013, 5(3): 326-334.
22. Amin Z, Purwoto J. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). In: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FK UI;
2009. Hal:

40
4072-4079.
23. Haro C, Martin-Loeches I, Torrents E& Artigas A. Acute respiratory distress
syndrome: prevention and early recognition. Annals of Intensive Care 2013, :11
24. Gattinoni L, Caironi P, Carlesso E. How to ventilate patients with acute lung
injury and acute respiratory distress syndrome. Current Opinion in Critical Care
2005; 11: 69-76.
25. Girard TD, Bernard GR. Mechanical ventilation in ARDS: A state-of-the-art
review. Chest 2007;131:921-9.
26. Terragni PP, Rosboch G, Tealdi A, Corno E, Menaldo E, Davini O, et al. Tidal
hyperinflation during low tidal volume ventilation in acute respiratory distress
syndrome.
Am J Respir Crit Care Med 2007; 175:160-6.
27. Saguil A& Fargo M. Acute Respiratory Distress Syndrome: Diagnosis and
Management. Am Fam Physician. 2012;85(4):352-358
28. Koh Y. Update in acute respiratory distress syndrome. Journal of Intensive Care.
2014, 2:2.
29. Jonathan A, Fergusson ND. Clinical review: Acute respiratory distress syndrome
– clinical ventilator management and adjunct therapy. Critical Care 2013,
17:225
30. Ariano RE. Acute respiratory distress syndrome. Acute respiratory distress
syndrome. Intensive Care Med. 2004.30:51-61.
31. Wilson DF, Thomas NJ, Markovitz BP, Bauman LA, DiCarlo JV, Pon S, et al. Effect
of exogenous surfactant (calfactant) in pediatric acute lung injury. A
randomized controlled trial. JAMA 2005; 293:470-476.
32. Peter JV, John P, Graham PL, Moran JL, George IA, Bersten A. Corticosteroids in
the prevention and treatment of acute respiratory distress syndrome (ARDS) in
adults: metaanalysis. BMJ. 2008;336(7651):1006-1009.
33. Leaver SK, Evans TW. Acute respiratory distress syndrome. BMJ.
2007;335(7616):389394.

41

Anda mungkin juga menyukai