Anda di halaman 1dari 17

A CONCEPTUAL FRAMEWORK

DISUSUN OLEH :

KIRANGGA MAHIBBAT 1741031002

MUHAMMAD FATHUR RENALDY 1741031006

MUHAMMAD RAIHAN 1741031008

MUHAMAD AGUSTIAN 1741031015

IDRUS EFFENDI 1741031016

RAMA ARDHY P 1741031032

FARHAN ALFARISI K 1741031039

FADEL MIROJD M 1741031041

BENJAMIN A HALOHO 1741031050

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat,
inayah, taufik dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya
miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Bandar Lampung, 09 Oktober 2020

2
DAFTAR ISI

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kerangka kerja konseptual memberikan adaptasi sistematik dalam standar

akuntansi bagi lingkungan bisnis yang terus berubah. FASB menggunakan

kerangka kerja konseptualuntuk membekali perkembangan standar akuntansi

yang baru secara terorganisasi dankonsisten. Disamping itu, mempelajari

kerangka kerja konseptual FASB akan memudahkanseseorang untuk mengerti

dan mengantisipasi standar masa depan.

Kerangka kerja konseptual menyebutkan tujuan dari pelaporan keuangan

dankarakteristik dari informasi akuntansi yang baik, mendefinisikan dengan

tepat istilah-istilahyang biasa digunakan seperti asset dan pendapatan serta

menyediakan petunjuk untuk pengakuan, pengukuran, dan pelaporan

keuangan yang tepat. Dengan adanya StandardAkuntansi Keuangan (SAK)

yang baru, memberikan petunjuk-petunjuk dan aturan-aturan pelaporan

keuangan yang berbeda dari sebelumnya. Sehingga diperlukan adanya

publikasikepada seluruh pelaku akuntansi di Indonesia agar menyesuaikan

dengan peraturan baru yang berlaku.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Peran Conceptual Framework?


2. Apa Tujuan Conceptual Framework?
3. Bagaimana Mengembangkan Conceptual Framework?
4. Bagaimana Kritik Terhadap Proyek Conceptual Framework?
5. Bagaimana Conceptual Framework Untuk Standar Auditting?

4
1.3 Tujuan

1. Mengetahui dan memahami peran Conceptual Framework


2. Mengetahui Tujuan Conceptual Framework
3. Mengetahui dan memahami cara mengembangkan Conceptual
Framework
4. Mengetahui dan memahami kritik terhadap proyek Conceptual
Framework?
5. Mengetahui dan memahami Conceptual Framework untuk standard
auditing

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Peran Conceptual Framework

Pada tahun 1989, proses perkembangan conceptual framework mengalami


hambatan dari berbagai faktor, seperti kesulitan dalam pembentukan fundamental
issues yang berkaitan dengan measurement dan adanya intervensi politik. Namun
pada tahun 2002, terdapat kemajuan yang pesat di dalam proses perkembangan
conceptual framework dikarenakan adanya IASB/FASB Convergence Program.
Sehingga pada tahun 2004, IASB dan FASB mulai untuk membentuk sebuah
conceptual framework yang lengkap dan konsisten. Berikut merupakan komposisi
conceptual framework of akuntansi:
1. Level I (Tingkat Teoritis Tertinggi): menyatakan ruang lingkup dan tujuan
pelaporan keuangan
2. Level II (Konseptual Fundamental): mengidentifikasi dan mendefinisikan
karakteristik kualitatif informasi keuangan (seperti relevansi, keandalan,
comparabilty, ketepatan waktu dan dimengerti) dan elemen dasar dari laporan
akuntansi (seperti aktiva, kewajiban, ekuitas, pendapatan, biaya, dan
keuntungan)
3. Level III (Operasional): berhubungan dengan prinsip dan aturan pengakuan dan
pengukuran unsur-unsur dasar dan jenis informasi yang akan ditampilkan
dalam laporan keuangan.
Conceptual Framework itu sendiri didefinisikan oleh FASB sebagai
berikut :
“Sistem yang koheren dari tujuan yang saling berkaitan & fundamental yang
diharapkan dapat menyebabkan standar yang konsisten dan yang mengatur
dasar, fungsi dan batas-batas akuntansi keuangan dan pelaporan”. Namun tidak
semua akuntan memiliki pendapat yang sama terhadap kehadiran conceptual
framework ini. Beberapa akuntan berpendapat bahwa membuat general theory
melalui sebuah conceptual framework tidak diperlukan. Mereka beralasan
bahwa mereka dapat tetap bertahan didalam pelaksanaan profesi akuntan tanpa
sebuah teori.
Pernyataan tersebut memang benar, namun muncul beberapa masalah terkait
praktik didalam akuntansi karena tidak adanya general theory of accounting
yang terstruktur. Salah satunya adalah, praktik akuntansi dinilai sangat
permissivedan tidak konsisten. Tiap-tiap entitas diperbolehkan untuk memilih
metode akuntansinya sendiri.
Oleh karena itu, conceptual framework memiliki beberapa manfaat dan peran
penting, yaitu :

6
1. Financial reporting requirements dapat lebih konsisten dan logis.
Misalnya, kini
seluruh entitas diharuskan menggunakan fair value dalam penilaian aset-nya.
2. Adanya regulations yang memaksa pihak-pihak yang
bertanggungjawab untuk membuat laporan yang sesuai dengan framework .
3. Pihak-pihak yang menyusun financial report dapat lebih bertanggung
jawab, karena seluruh requirements dalam membuat financial report telah
tertera jelas didalam
framework.
4. Meminimalisir resiko dari over-regulation.
5. Baik preparers maupun auditors dapat lebih memahami financial
reporting requirementsyang mereka buat atau periksa.
6. Pengaturan financial reporting requirementsdapat lebih economical,
karena tiap issues yang muncul tidak perlu diperdebatkan kembali dari berbagai
sudut pandang.

2.2 Tujuan Conceptual Framework


Tujuan dari conceptual framework adalah untuk memberikan pedoman
dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan bertujuan umum. IASB
dan FASB menjelaskan tujuan utama financial reporting adalah untuk
menyediakan informasi keuangan yang berguna kepada users, baik itu
investor maupun creditor. Informasi tersebut akan dipilih berdasarkan
dasar kegunaannya dalam proses pengambilan keputusan ekonomi. Tujuan
tersebut dapat tercapai dengan melaporkan informasi yang berisi :
1. Berguna dalam pengambilan keputusan ekonomi.
2. Berguna dalam menilai prospek arus kas.
3. Berisi tentang sumber daya perusahaan, klaim terhadap sumber daya
tersebut dan perubahan yang ada di dalamnya.
Penting untuk membangun kerangka kualitatif untuk membuat informasi
menjadi berguna. SFAC dan IASB menjelaskan mengenai qualitative
characteristics.
FASB membuat seven concept statement yang mencakup topik-topik
berikut:
1. Tujuan dari pelaporan keuangan oleh perusahaan bisnis dan organisasi non-
profit.
2. Karakteristik kualitatif informasi akuntansi yang berguna.

7
3. Unsur-unsur laporan keuangan.
4. Kriteria dalam pengakuan dan pengukuran unsur-unsur.
5. Penggunaan arus kas dan menyajikan informasi nilai dalam pengukuran
akuntansi.
Kerangka tersebut menjelaskan konsep dasar dari laporan keuangan yang
disusun. Hal tersebut dijadikan sebagai pedoman IASB dalam membangun
standar akuntansi dan sebagai
panduan dalam menyelesaikan masalah akuntansi yang tidak dijelaskan
secara langsung oleh IAS atau IFRS. IASB menyatakan bahwa kerangka
tersebut:
➢ Mendefinisikan tujuan dari laporan keuangan.
➢ Mengidentifikasi karakter kualitatif yang membuat informasi dari
laporan keuangan berguna.
➢ Mengidentifikasi elemen dasar dari laporan keuangan dan konsep
untuk pengakuan dan pengukuran dari laporan keuangan.

2.3 Mengembangkan Conceptual Framework


Dalam pengembangannya, conceptual framework dipengaruhi oleh beberapa
isu, yaitu:
A). Principles-Based and Rule-Based Standard Setting
IASB sendiri bertujuan untuk menciptakan standar yang bersifat principles-
based yang akan mengacu pada conceptual framework untuk lebih lanjut.
Maka, konten yang terdapat di dalam conceptual framework akan bersifat ide
standar yang menjadi penyokong pengembangan standar dan membantu user
untuk menginterpretasikan standar tersebut. Namun, IASB sendiri memiliki
beberapa peraturan yang cenderung bersifat rule- based, dan ini bertentangan
dengan tujuan awalnya. Salah satunya adalah IAS 39 ( Financial Instruments:
Recognition and Measurement) . Menurut Christopher Nobes, pakar akuntansi
dari University of London, akan lebih baik jika reasons standard menjadi
rules- based karena mereka tidak menjadi tidak konsisten dengan
conceptual frameworks of standard setters. Perubahan ini sendiri tentu akan
membawa benefit lebih banyak, karena dapat memperjelas komunikasi

8
mengenai peraturan dan meningkatkan ketelitian tanpa perlu peraturan
yang lebih detail lagi. Lebih lanjut lagi, Nobes mengidentifikasi enam
contoh peraturan yang lebih bersifat rules-based, yakni mengenai lease
accounting, employee benefits, financial assets, government grants,
subsidiaries dan equity accounting.
Namun, walau memiliki kelebihan-kelebihan seperti yang disebutkan diatas,
sebuah studi yang dilakukan oleh Securities and Exchange Commission(SEC)
pada 2002 (atas perintah Sarbanes-Oxley Act) merekomendasikan
penggunaan principles-based , namun standar tersebut wajib memiliki
karakteristik:
a. Didasarkan pada conceptual framework yang sudah berkembang dan
diaplikasikan secara konsisten.
b. Mencantumkan dengan jelas objective of standard.
c. Menyediakan detail yang cukup dan struktur yang bisa dioperasikan dan
bisa diaplikasikan secara konsisten.
d. Meminimalisir penggunaan pengecualian dari standar.
e. Menghindari penggunaan percentage of tests (bright lines) yang
membolehkan financial engineering untuk mencapai technical compliance
dengan menghindarkan maksud dari standar itu sendiri.
f. Indonesia sendiri mengadopsi principal-based, dengan acuan besar adalah
IFRS dan membuat rules-based yang lebih detail di PSAK. Adopsi ini baru
dilakukan di tahun 2012, ketika terjadi perubahan acuan peraturan dari GAAP
ke IFRS

B). Information for Decision Making and The Decision-Theory Approach


Data informasi akuntansi digunakan untuk proses decision making atau
untuk tujuan evaluasi di entitas tertentu. Hal ini diawali dengan fungsi data
akuntansi sebagai fungsi stewardship Di masa kini, manajer bertanggung
jawab terhadap equityholders perusahaan. Informasi bagaimana manajer tidak
melaksanakan tanggung jawab stewardshipnya dapat digunakan sebagai
bahan evaluasi performa manajer dan perusahaan itu sendiri. Information for
decision making secara tidak langsung mencakup lebih luas dari informasi

9
mengenai stewardship. Pertama, karena pengguna dari financial information
luas dan mencakup seluruh menyedia sumber daya. Kedua, informasi
akuntansi dilihat sebagi input data untuk prediksi model bagi users. Maka, kita
harus memastikan data apakah yang benar-benar dibutuhkan untuk
memprediksi performa masa depan dan posisinya. Ketiga, ketika stewardship
berfokus pada kejadian di masa lalu untuk melihat apa saja yang sudah
dicapai, prediksi berpatokan pada masa depan. Informasi akuntansi untuk
pihak eksternal memang berdasarkan kejadian di masa lalu, namun masa
depan tidak dapat diabaikan begitu saja ketika masa depan secara tegas
dijadikan objective of accounting . Sedangkan, decision-theory sangat
bermanfaat untuk mengecek apakah akuntansi mencapai tujuannya atau tidak.
Jika individual systems dapat menyediakan informasi yang berguna, maka
teori yang mendasari sistem tersebut dapat dikategorikan efektif, atau valid.

C). International Developments: The IASB and FASB Conceptual


Framework
Pada Oktober 2004, FASB dan IASB bekerja sama untuk mengembangkan
conceptual framework. FASB menyatakan bahwa project tersebut akan
melakukan:
a. Fokus pada perubahan dalam environment sejak orginal frameworks
pertama kali diisukan, demikian juga terhadap kelalaian di original
frameworks, dengan tujuan untuk dapat menciptakan framework yang
berkembang, utuh, dan dapat mencakup frameworks yang telah ada secara
efektif dan efisien
b. Memberikan prioritas untuk menujukan dan mendiskusikan tiap isu di
setiap fase yang memiliki kemungkinan menguntungkan Boards dalam
jangka pendek; yakni cross- cutting issues yang memberi dampak tertentu
dalam project mereka, baik untuk standar baru maupun standar yang sudah
direvisi. Sekaligus, tahap dari project tersebut akan dilakukan secara simultan
dan Boards akan mengharapkan keuntungan dari terlaksananya project
tersebut

10
c. Awalnya mempertimbangkan konsep yang dapat diaplikasikan di private
sector business entities. Selanjutnya, Boards akan bergabung dalam
mempertimbangkan aplikasi dari konsep tersebut ke private sector not-for-
profit organizations. Representatif dari public sectorstandard-setting Boards
akan memonitor projects tersebut, dan di kasus-kasus tertentu akan
mempertimbangkan dampak potensial dari diskusi private sector untuk public
entities.
D). Entity vs Proprietorship Perspective
Board merekomendasikan financial report harus dibuat dari perspektif
entitas dibanding perspektif dari pemilik. Hal ini disetujui banyak pihak
karena pemilik dan entitas secara tegas merupakan dua pihak yang berbeda.
Pihak lain menyatakan keberatan karena menganggap Board tidak
menyediakan informasi yang cukup untuk membenarkan rekomendasi tersebut
(seperti dalam peraturan proprietorship dan parent company perspectives).
Maka, perspektif mengenai entitas sudah tercantum di Fase D.
E). Primary User Group
Board menujukan primary user group untuk tujuan umum financial
reporting adalah untuk penyedia modal masa kini dan potensial. Penyedia
modal mencakup equity investors, lenders, dan penyedia jasa kredit lain.
Namun, ada juga pihak yang mengkhawatirkan bahwa beragamnya jenis
primary group dapat kelewat menyederhanakan hubungan antara entitas dan
individual users. Responden lain mengkhawatirkan fokus dari primary
usergroup dan efeknya terhadap pihak lain, seperti saat amal dan corporate
governance monitoring group.
F). Decision Usefulness and Stewardship
Berdasarkan Boards, tujuan dari financial reporting harus “cukup luas
untuk mencakup semua keputusan yang dibuat oleh equity investors, lenders,
dan kreditor lain dengan kapasitas mereka sebagai capital providers, termasuk
keputusan alokasi sumber daya dan keputusan yang dibuat untuk menjaga
dan mempertinggi nilai investasi mereka”. Pendapat ini disetujui banyak
pihak, namun juga mendapat sanggahan dari pihak-pihak lain karena
dikhawatirkan tujuan dari stewardship tidak cukup ditekankan, ketika

11
fungsi financial statements untuk menyediakan info bagi pengguna dan dapat
memprediksi masa depan terlalu ditekankan. Padahal di negara-negara Eropa,
stewardship adalah kunci dari corporate governance dan peraturan
perusahaan.
G). Qualitative Characteristics
IASB Framework mencantukam empat prinsip qualitative characteristics,
yakni:
➢ understability,
➢ relevance,
➢ reliability, dan
➢ comparability.
Qualitative characteristics dibedakan menjadi fundamental (relevance,
faithful representation) atau enhancing (comparability, verifiability,
timeliness, dan understability) tergantung bagaimana mereka memberi
dampak terhadap laporan keuangan.

2.4 Kritik Terhadap Proyek Conceptual Framework


Conceptual framework yang telah ada ternyata menuai kritik dari berbagai
negara. Conceptual framework harus menggunakan pendekatan yang
scientific, sehingga validasi framework harus dapat dijelaskan secara logis
dan empiris. Tujuan pembuatan conceptual frameworks adalah untuk
menjawab segala pertanyaan-pertanyaan mengenai standar akuntansi.
Conceptual frameworks juga memberikan arahan dan keputusan bagi
akuntan praktisi dalam menjelaskan informasi yang relevan untuk pembuatan
keputusan ekonomi. Dopuch dan Sunder berpendapat bahwa conceptual
framework yang dikeluarkan oleh FASB tidak cukup membantu dalam
menyelesaikan isu kontemporer pada measurement dan disclosure. Menurut
mereka, terdapat tiga isu yang masih ambigu:
1. Definisi liabilities masih terlalu umum sehingga sulit untuk menentukan
posisi deferred taxes.
2. Conceptual framework mendukung dua prinsip akuntansi yang bertolak
belakang yaitu full cost dan successful efforts. Pada prinsip successful

12
efforts, perusahaan diperbolehkan untuk mengkapitalisasi hanya beban-beban
yang berkaitan dengan penemuan lokasi tambang minyak dan gas alam yang
berhasil, jika tidak berhasil, maka beban tersebut dikurangi langsung
terhadap pendapatan pada periode tersebut. Sedangkan, pada prinsip full cost,
semua beban yang berkaitan dengan penemuan lokasi tambang minyak dan
gas alam baru (tanpa memperhatikan hasilnya) boleh dikapitalisasi.
3. Tidak menyelesaikan masalah estimasi.
Beberapa kritik terhadap proyek Conceptual Framework adalah sebagai
berikut :
A). Ontological and Epistemological Assumptions
Tujuan dari pembentukan conceptual framework adalah untuk menghasilkan
laporan keuangan yang objektif dan tidak bias. Namun, dasar suatu
framework dipertanyakan, apakah teori tersebut netral, independen, dan bebas
dari bias. Jika dihubungkan dengan conceptual framework yang ada ternyata
benar adanya, bahwa conceptual framework tidak pernah secara resmi diuji
kebenarannya berdasarkan bukti logis dan empiris karena isi dari conceptual
framework itu sendiri merupakan opini dari badan atau individual
yang berkuasa.
B). Circularity of Reasonin
Dalam sudut pandang yang dangkal terhadap conceptual framework
mengindikasikan bahwa paling tidak akuntan mengikuti satu jalur ilmiah,
yaitu menarik kesimpulan dari prinsip dan praktik yang disamaratakan.
Namun, banyak pula negara yang conceptual framework-nya ditandai
dengan adanya internal circularity, maksudnya satu kualitasnya,
bergantung pada kualitas aspek yang lain. Bermacam-macam kerangka
konseptual yang dimiliki negara ditandai oleh adanya internal circularity.
Contohnya adalah pada information qualities pada laporan keuangan yang
bergantung pada kriteria quality lainnya. FASB framework mencoba untuk
membuka atau menjastifikasi circularity tersebut dengan merujuk pada
keinginan dari seorang akuntan yang memiliki banyak pengetahuan untuk
menginterpretasikan laporan keuangan tersebut.

13
C). An Unscientific Disipline

Stamp meyakini bahwa akuntansi lebih berpihak kepada


hukum daripada physical science karena profesi akuntansi dan hukum
berhubungan dengan konflik yang terjadi diantara kelompok pengguna ilmu
tersebut dengan kepentingan dan tujuan yang bermacam- macam. Positive
accounting adalah penjelasan atau penalaran untuk menunjukkan secara
ilmiah kebenaran pernyataan atau fenomena akuntansi seperti apa adanya
sesuai fakta. Teori ini bertujuan menjelaskan, meramalkan, dan memberi
jawaban atas praktik akuntansi. Teori ini juga meramalkan berbagai
fenomena akuntansi dan menggambarkan bagaimana interaksi antar-variabel
akuntansi dalam dunia nyata. Sedangkan normative accountinga dalah
penjelasan atau penalaran untuk menjustifikasi kelayakan suatu
perlakuan akuntansi paling sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan,
sehingga lebih menjelaskan praktik-praktik akuntansi yang seharusnya
berlaku (it should be). Pendekatan positive accounting menghasilkan
taksonomi akuntansi sebagai sains. Sedangkan pendekatan normative
accounting menghasilkan taksonomi akuntansi sebagai art.Hingga saat ini,
positive accounting theory masih dalam proses yang dapat dijadikan dasar
dalam proses pembentukan akuntansi menjadi sains.

D). Positive Research

Tujuan utama dari dibuatnya conceptual framework adalah untuk


menyediakan informasi keuangan yang dapat membantu pengguna
menentukan economic decision dan untuk meyakinkan pengguna laporan
keuangan dapat mendapatkan informasi yang berguna untuk proses
pengambilan keputusan.

14
2.5 Conceptual Framework Untuk Standar Auditting

Upaya pertama dalam meneorikan auditing berawal pada 1961. Miller dan
Sharaf berupaya membuat teori atas audit yang selama hanya praktik. Mereka
berpendapat bahwa audit bukanlah bagian dependen dari akuntansi, tetapi
sebuah disiplin logis, sehingga audit tidak dibatasi pada informasi akuntansi
semata. Mereka juga mempertanyakan kompatibiltas audit dan jasa
konsultasi, dan menyaranka agar keduanya dipisah demi menjamin
independensi auditor. Teori mereka dikembangkan oleh ASOBAC pada
1970-an, dimana fokus utama adalah pada pengumpulan dan pengujian bukti
yang kemudian menjadi perdebatan. Disinilah periode perkembangan audit
secara cepat terutama peran perkembangan teknologi. Namun pada 1990-an
audit terkendala oleh kekuatan lain yang berusaha menghalanginya. Kekuatan
tersebut yaitu adanya tekanan dari manajer untuk mengurangi biaya audit. Hal
ini kemudian berdampak pada metode audit, dimana terjadi pengurangan
dalam pengujian transaksi dan lebih kepada menguji pengendalian internal
perusahaan. Hal ini tentu membuat waktu audit menjadi lebih hemat. Proses
tersebut kemudian disebut audit risiko bisnis. Audit risiko bisnis merupakan
audit atas risiko klien sebagai bagian dari proses audit. Audit risiko menuntut
auditor untuk menilai risiko inheren dan risiko lain yang tidak terdeteksi
sistem. Hal ini sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1940-an, namun baru
dipertegas dengan adanya COSO pada 1992. Klien dengan pengendalian
internal yang efektif dipandang memiliki risiko yang lebih kecil.
Perkembangan audit risiko apda mulanya diterapkan di perusahaan-
perusahaan besar. Namun, meski sudah terdapat kerangka, auditor merasa
canggung dalam melakukan audit risiko, dan berpendapat bahwa manfaatnya
tidak signifikan .

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

16
DAFTAR PUSTAKA

http://ilhamadityagnw.blogspot.com/2019/01/bab-9-pengendalian-kerahasiaan-
privasi_9.html

https://www.academia.edu/19833190/SISTEM_INFORMASI_AKUNTANSI_BA
B_9_KONSEP_PENGENDALIAN_INTERN?auto=download

17

Anda mungkin juga menyukai