DISUSUN OLEH :
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat,
inayah, taufik dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya
miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.3 Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
1. Financial reporting requirements dapat lebih konsisten dan logis.
Misalnya, kini
seluruh entitas diharuskan menggunakan fair value dalam penilaian aset-nya.
2. Adanya regulations yang memaksa pihak-pihak yang
bertanggungjawab untuk membuat laporan yang sesuai dengan framework .
3. Pihak-pihak yang menyusun financial report dapat lebih bertanggung
jawab, karena seluruh requirements dalam membuat financial report telah
tertera jelas didalam
framework.
4. Meminimalisir resiko dari over-regulation.
5. Baik preparers maupun auditors dapat lebih memahami financial
reporting requirementsyang mereka buat atau periksa.
6. Pengaturan financial reporting requirementsdapat lebih economical,
karena tiap issues yang muncul tidak perlu diperdebatkan kembali dari berbagai
sudut pandang.
7
3. Unsur-unsur laporan keuangan.
4. Kriteria dalam pengakuan dan pengukuran unsur-unsur.
5. Penggunaan arus kas dan menyajikan informasi nilai dalam pengukuran
akuntansi.
Kerangka tersebut menjelaskan konsep dasar dari laporan keuangan yang
disusun. Hal tersebut dijadikan sebagai pedoman IASB dalam membangun
standar akuntansi dan sebagai
panduan dalam menyelesaikan masalah akuntansi yang tidak dijelaskan
secara langsung oleh IAS atau IFRS. IASB menyatakan bahwa kerangka
tersebut:
➢ Mendefinisikan tujuan dari laporan keuangan.
➢ Mengidentifikasi karakter kualitatif yang membuat informasi dari
laporan keuangan berguna.
➢ Mengidentifikasi elemen dasar dari laporan keuangan dan konsep
untuk pengakuan dan pengukuran dari laporan keuangan.
8
mengenai peraturan dan meningkatkan ketelitian tanpa perlu peraturan
yang lebih detail lagi. Lebih lanjut lagi, Nobes mengidentifikasi enam
contoh peraturan yang lebih bersifat rules-based, yakni mengenai lease
accounting, employee benefits, financial assets, government grants,
subsidiaries dan equity accounting.
Namun, walau memiliki kelebihan-kelebihan seperti yang disebutkan diatas,
sebuah studi yang dilakukan oleh Securities and Exchange Commission(SEC)
pada 2002 (atas perintah Sarbanes-Oxley Act) merekomendasikan
penggunaan principles-based , namun standar tersebut wajib memiliki
karakteristik:
a. Didasarkan pada conceptual framework yang sudah berkembang dan
diaplikasikan secara konsisten.
b. Mencantumkan dengan jelas objective of standard.
c. Menyediakan detail yang cukup dan struktur yang bisa dioperasikan dan
bisa diaplikasikan secara konsisten.
d. Meminimalisir penggunaan pengecualian dari standar.
e. Menghindari penggunaan percentage of tests (bright lines) yang
membolehkan financial engineering untuk mencapai technical compliance
dengan menghindarkan maksud dari standar itu sendiri.
f. Indonesia sendiri mengadopsi principal-based, dengan acuan besar adalah
IFRS dan membuat rules-based yang lebih detail di PSAK. Adopsi ini baru
dilakukan di tahun 2012, ketika terjadi perubahan acuan peraturan dari GAAP
ke IFRS
9
mengenai stewardship. Pertama, karena pengguna dari financial information
luas dan mencakup seluruh menyedia sumber daya. Kedua, informasi
akuntansi dilihat sebagi input data untuk prediksi model bagi users. Maka, kita
harus memastikan data apakah yang benar-benar dibutuhkan untuk
memprediksi performa masa depan dan posisinya. Ketiga, ketika stewardship
berfokus pada kejadian di masa lalu untuk melihat apa saja yang sudah
dicapai, prediksi berpatokan pada masa depan. Informasi akuntansi untuk
pihak eksternal memang berdasarkan kejadian di masa lalu, namun masa
depan tidak dapat diabaikan begitu saja ketika masa depan secara tegas
dijadikan objective of accounting . Sedangkan, decision-theory sangat
bermanfaat untuk mengecek apakah akuntansi mencapai tujuannya atau tidak.
Jika individual systems dapat menyediakan informasi yang berguna, maka
teori yang mendasari sistem tersebut dapat dikategorikan efektif, atau valid.
10
c. Awalnya mempertimbangkan konsep yang dapat diaplikasikan di private
sector business entities. Selanjutnya, Boards akan bergabung dalam
mempertimbangkan aplikasi dari konsep tersebut ke private sector not-for-
profit organizations. Representatif dari public sectorstandard-setting Boards
akan memonitor projects tersebut, dan di kasus-kasus tertentu akan
mempertimbangkan dampak potensial dari diskusi private sector untuk public
entities.
D). Entity vs Proprietorship Perspective
Board merekomendasikan financial report harus dibuat dari perspektif
entitas dibanding perspektif dari pemilik. Hal ini disetujui banyak pihak
karena pemilik dan entitas secara tegas merupakan dua pihak yang berbeda.
Pihak lain menyatakan keberatan karena menganggap Board tidak
menyediakan informasi yang cukup untuk membenarkan rekomendasi tersebut
(seperti dalam peraturan proprietorship dan parent company perspectives).
Maka, perspektif mengenai entitas sudah tercantum di Fase D.
E). Primary User Group
Board menujukan primary user group untuk tujuan umum financial
reporting adalah untuk penyedia modal masa kini dan potensial. Penyedia
modal mencakup equity investors, lenders, dan penyedia jasa kredit lain.
Namun, ada juga pihak yang mengkhawatirkan bahwa beragamnya jenis
primary group dapat kelewat menyederhanakan hubungan antara entitas dan
individual users. Responden lain mengkhawatirkan fokus dari primary
usergroup dan efeknya terhadap pihak lain, seperti saat amal dan corporate
governance monitoring group.
F). Decision Usefulness and Stewardship
Berdasarkan Boards, tujuan dari financial reporting harus “cukup luas
untuk mencakup semua keputusan yang dibuat oleh equity investors, lenders,
dan kreditor lain dengan kapasitas mereka sebagai capital providers, termasuk
keputusan alokasi sumber daya dan keputusan yang dibuat untuk menjaga
dan mempertinggi nilai investasi mereka”. Pendapat ini disetujui banyak
pihak, namun juga mendapat sanggahan dari pihak-pihak lain karena
dikhawatirkan tujuan dari stewardship tidak cukup ditekankan, ketika
11
fungsi financial statements untuk menyediakan info bagi pengguna dan dapat
memprediksi masa depan terlalu ditekankan. Padahal di negara-negara Eropa,
stewardship adalah kunci dari corporate governance dan peraturan
perusahaan.
G). Qualitative Characteristics
IASB Framework mencantukam empat prinsip qualitative characteristics,
yakni:
➢ understability,
➢ relevance,
➢ reliability, dan
➢ comparability.
Qualitative characteristics dibedakan menjadi fundamental (relevance,
faithful representation) atau enhancing (comparability, verifiability,
timeliness, dan understability) tergantung bagaimana mereka memberi
dampak terhadap laporan keuangan.
12
efforts, perusahaan diperbolehkan untuk mengkapitalisasi hanya beban-beban
yang berkaitan dengan penemuan lokasi tambang minyak dan gas alam yang
berhasil, jika tidak berhasil, maka beban tersebut dikurangi langsung
terhadap pendapatan pada periode tersebut. Sedangkan, pada prinsip full cost,
semua beban yang berkaitan dengan penemuan lokasi tambang minyak dan
gas alam baru (tanpa memperhatikan hasilnya) boleh dikapitalisasi.
3. Tidak menyelesaikan masalah estimasi.
Beberapa kritik terhadap proyek Conceptual Framework adalah sebagai
berikut :
A). Ontological and Epistemological Assumptions
Tujuan dari pembentukan conceptual framework adalah untuk menghasilkan
laporan keuangan yang objektif dan tidak bias. Namun, dasar suatu
framework dipertanyakan, apakah teori tersebut netral, independen, dan bebas
dari bias. Jika dihubungkan dengan conceptual framework yang ada ternyata
benar adanya, bahwa conceptual framework tidak pernah secara resmi diuji
kebenarannya berdasarkan bukti logis dan empiris karena isi dari conceptual
framework itu sendiri merupakan opini dari badan atau individual
yang berkuasa.
B). Circularity of Reasonin
Dalam sudut pandang yang dangkal terhadap conceptual framework
mengindikasikan bahwa paling tidak akuntan mengikuti satu jalur ilmiah,
yaitu menarik kesimpulan dari prinsip dan praktik yang disamaratakan.
Namun, banyak pula negara yang conceptual framework-nya ditandai
dengan adanya internal circularity, maksudnya satu kualitasnya,
bergantung pada kualitas aspek yang lain. Bermacam-macam kerangka
konseptual yang dimiliki negara ditandai oleh adanya internal circularity.
Contohnya adalah pada information qualities pada laporan keuangan yang
bergantung pada kriteria quality lainnya. FASB framework mencoba untuk
membuka atau menjastifikasi circularity tersebut dengan merujuk pada
keinginan dari seorang akuntan yang memiliki banyak pengetahuan untuk
menginterpretasikan laporan keuangan tersebut.
13
C). An Unscientific Disipline
14
2.5 Conceptual Framework Untuk Standar Auditting
Upaya pertama dalam meneorikan auditing berawal pada 1961. Miller dan
Sharaf berupaya membuat teori atas audit yang selama hanya praktik. Mereka
berpendapat bahwa audit bukanlah bagian dependen dari akuntansi, tetapi
sebuah disiplin logis, sehingga audit tidak dibatasi pada informasi akuntansi
semata. Mereka juga mempertanyakan kompatibiltas audit dan jasa
konsultasi, dan menyaranka agar keduanya dipisah demi menjamin
independensi auditor. Teori mereka dikembangkan oleh ASOBAC pada
1970-an, dimana fokus utama adalah pada pengumpulan dan pengujian bukti
yang kemudian menjadi perdebatan. Disinilah periode perkembangan audit
secara cepat terutama peran perkembangan teknologi. Namun pada 1990-an
audit terkendala oleh kekuatan lain yang berusaha menghalanginya. Kekuatan
tersebut yaitu adanya tekanan dari manajer untuk mengurangi biaya audit. Hal
ini kemudian berdampak pada metode audit, dimana terjadi pengurangan
dalam pengujian transaksi dan lebih kepada menguji pengendalian internal
perusahaan. Hal ini tentu membuat waktu audit menjadi lebih hemat. Proses
tersebut kemudian disebut audit risiko bisnis. Audit risiko bisnis merupakan
audit atas risiko klien sebagai bagian dari proses audit. Audit risiko menuntut
auditor untuk menilai risiko inheren dan risiko lain yang tidak terdeteksi
sistem. Hal ini sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1940-an, namun baru
dipertegas dengan adanya COSO pada 1992. Klien dengan pengendalian
internal yang efektif dipandang memiliki risiko yang lebih kecil.
Perkembangan audit risiko apda mulanya diterapkan di perusahaan-
perusahaan besar. Namun, meski sudah terdapat kerangka, auditor merasa
canggung dalam melakukan audit risiko, dan berpendapat bahwa manfaatnya
tidak signifikan .
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
http://ilhamadityagnw.blogspot.com/2019/01/bab-9-pengendalian-kerahasiaan-
privasi_9.html
https://www.academia.edu/19833190/SISTEM_INFORMASI_AKUNTANSI_BA
B_9_KONSEP_PENGENDALIAN_INTERN?auto=download
17