Anda di halaman 1dari 18

A CONCEPTUAL FRAMEWORK

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah


Teori Akuntansi

Kelompok 2
Anggota:
Theresia Irene

120110140069

Evelytha Goutama

120110140072

Boy Donaro

120110140078

Julio Christo

120110140100

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG
2016

PERAN CONCEPTUAL FRAMEWORK


Pada tahun 1989, proses perkembangan conceptual framework mengalami hambatan
dari berbagai faktor, seperti kesulitan dalam pembentukan fundamental issues yang
berkaitan dengan measurement dan adanya intervensi politik. Namun pada tahun 2002,
terdapat kemajuan yang pesat di dalam proses perkembangan conceptual framework
dikarenakan adanya IASB/FASB Convergence Program. Sehingga pada tahun 2004, IASB
dan FASB mulai untuk membentuk sebuah conceptual framework yang lengkap dan
konsisten.
Conceptual Framework of Accounting bertujuan untuk membuat sebuah teori
akuntansi yang lengkap, konsisten, dan terstruktur. Berikut ini adalah struktur dari
Conceptual Framework yang diilustrasikan dalam gambar dibawah ini :

Conceptual

Framework

FASB sebagai berikut :

itu

sendiri

didefinisikan

oleh

Sistem yang koheren dari tujuan yang saling berkaitan & fundamental yang diharapkan
dapat menyebabkan standar yang konsisten dan yang mengatur dasar, fungsi dan batas-batas
akuntansi keuangan dan pelaporan. Namun tidak semua akuntan memiliki pendapat yang
sama terhadap kehadiran conceptual framework ini. Beberapa akuntan berpendapat bahwa
membuat general theory melalui sebuah conceptual framework tidak diperlukan. Mereka
beralasan bahwa mereka dapat tetap bertahan didalam pelaksanaan profesi akuntan tanpa
sebuah teori.
Pernyataan tersebut memang benar, namun muncul beberapa masalah terkait praktik
didalam akuntansi karena tidak adanya general theory of accounting yang terstruktur. Salah
satunya adalah, praktik akuntansi dinilai sangat permissive dan tidak konsisten. Tiap-tiap
entitas diperbolehkan untuk memilih metode akuntansinya sendiri.
Oleh karena itu, conceptual framework memiliki beberapa manfaat dan peran penting,
yaitu :
1. Financial reporting requirements dapat lebih konsisten dan logis. Misalnya, kini
seluruh entitas diharuskan menggunakan fair value dalam penilaian aset-nya.
2. Adanya regulations yang memaksa pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk
membuat laporan yang sesuai dengan framework.
3. Pihak-pihak yang menyusun financial report dapat lebih bertanggung jawab, karena
seluruh requirements dalam membuat financial report telah tertera jelas didalam
framework.
4. Meminimalisir resiko dari over-regulation.
5. Baik preparers maupun auditors dapat lebih memahami financial reporting
requirements yang mereka buat atau periksa.
6. Pengaturan financial reporting requirements dapat lebih economical, karena tiap
issues yang muncul tidak perlu diperdebatkan kembali dari berbagai sudut pandang.

TUJUAN CONCEPTUAL FRAMEWORK

Tujuan dari conceptual framework adalah untuk memberikan pedoman dalam


penyusunan dan penyajian laporan keuangan bertujuan umum. IASB dan FASB
menjelaskan tujuan utama financial reporting adalah untuk menyediakan informasi
keuangan yang berguna kepada users, baik itu investor maupun creditor. Informasi tersebut
akan dipilih berdasarkan dasar kegunaannya dalam proses pengambilan keputusan ekonomi.
Tujuan tersebut dapat tercapai dengan melaporkan informasi yang berisi :
1. Berguna dalam pengambilan keputusan ekonomi.
2. Berguna dalam menilai prospek arus kas.
3. Berisi tentang sumber daya perusahaan, klaim terhadap sumber daya tersebut dan
perubahan yang ada di dalamnya.
Penting untuk membangun kerangka kualitatif untuk membuat informasi menjadi
berguna. SFAC dan IASB menjelaskan mengenai qualitative characteristics. Berikut adalah
kerangka dari qualitative characteristics dalam akuntansi :

FASB membuat seven concept statement yang mencakup topik-topik berikut:


1. Tujuan dari pelaporan keuangan oleh perusahaan bisnis dan organisasi non-profit.
2. Karakteristik kualitatif informasi akuntansi yang berguna.

3. Unsur-unsur laporan keuangan.


4. Kriteria dalam pengakuan dan pengukuran unsur-unsur.
5. Penggunaan arus kas dan menyajikan informasi nilai dalam pengukuran akuntansi.
Kerangka tersebut menjelaskan konsep dasar dari laporan keuangan yang disusun. Hal
tersebut dijadikan sebagai pedoman IASB dalam membangun standar akuntansi dan sebagai
panduan dalam menyelesaikan masalah akuntansi yang tidak dijelaskan secara langsung
oleh IAS atau IFRS. IASB menyatakan bahwa kerangka tersebut:

Mendefinisikan tujuan dari laporan keuangan.

Mengidentifikasi karakter kualitatif yang membuat informasi dari laporan keuangan


berguna.

Mengidentifikasi elemen dasar dari laporan keuangan dan konsep untuk pengakuan
dan pengukuran dari laporan keuangan.

Di dalam IAS 8 mensyaratkan bahwa manajemen harus menggunakan kerangka


tersebut dalam mengembangkan dan menerapkan aturan akuntansi agar menghasilkan
informasi yang relevan dan reliable.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah untuk
memberikan informasi yang:
1. Bermanfaat dalam membuat keputusan kredit dan investasi oleh pihak yang ingin
memahahi kegiatan ekonomi dan bisnis perusahaan.
2. Membantu kreditor dan investor yang ada atau potensial, serta users lain dalam
menentukan jumlah, waktu dan ketidakpastian cash flow di masa yang akan datang.

3. Mengenai sumber-sumber ekonomi, tuntutan terhadap sumber ekonomi, dan


perubahan di dalamnya.

MENGEMBANGKAN CONCEPTUAL FRAMEWORK


Dalam pengembangannya, conceptual framework dipengaruhi oleh beberapa isu, yaitu:
Principles-Based and Rule-Based Standard Setting
IASB sendiri bertujuan untuk menciptakan standar yang bersifat principles-based
yang akan mengacu pada conceptual framework untuk lebih lanjut. Maka, konten yang
terdapat di dalam conceptual framework akan bersifat ide standar yang menjadi penyokong
pengembangan standar dan membantu user untuk menginterpretasikan standar tersebut.
Namun, IASB sendiri memiliki beberapa peraturan yang cenderung bersifat rulebased, dan ini bertentangan dengan tujuan awalnya. Salah satunya adalah IAS 39 (Financial
Instruments: Recognition and Measurement). Menurut Christopher Nobes, pakar akuntansi
dari University of London, akan lebih baik jika reasons standard menjadi rules-based
karena mereka tidak menjadi tidak konsisten dengan conceptual frameworks of standard
setters. Perubahan ini sendiri tentu akan membawa benefit lebih banyak, karena dapat
memperjelas komunikasi mengenai peraturan dan meningkatkan ketelitian tanpa perlu
peraturan yang lebih detail lagi. Lebih lanjut lagi, Nobes mengidentifikasi enam contoh
peraturan yang lebih bersifat rules-based, yakni mengenai lease accounting, employee
benefits, financial assets, government grants, subsidiaries dan equity accounting.
Hal tersebut adalah perdebatan antara rules-based dan principles-based. Jika dilihat
dari segi kelebihan dan kekurangannya, keuntungan rules-based antara lain dapat
meningkatkan komparabilitas dan verifiabilitas untuk auditor dan regulators. Selain itu,
rules-based juga mampu mengurangi kesempatan terjadinya earning management; walau
mereka memperbolehkan specific restructuring of transaction selama masih dalam koridor
peraturan.
Namun, walau memiliki kelebihan-kelebihan seperti yang disebutkan diatas, sebuah
studi yang dilakukan oleh Securities and Exchange Commission (SEC) pada 2002 (atas

perintah Sarbanes-Oxley Act) merekomendasikan penggunaan principles-based, namun


standar tersebut wajib memiliki karakteristik:
a. Didasarkan pada conceptual framework yang sudah berkembang dan diaplikasikan
secara konsisten.
b. Mencantumkan dengan jelas objective of standard.
c. Menyediakan detail yang cukup dan struktur yang bisa dioperasikan dan bisa
diaplikasikan secara konsisten.
d. Meminimalisir penggunaan pengecualian dari standar.
e. Menghindari penggunaan percentage of tests (bright lines) yang membolehkan
financial engineering untuk mencapai technical compliance dengan menghindarkan
maksud dari standar itu sendiri.
f. Indonesia sendiri mengadopsi principal-based, dengan acuan besar adalah IFRS dan
membuat rules-based yang lebih detail di PSAK. Adopsi ini baru dilakukan di tahun
2012, ketika terjadi perubahan acuan peraturan dari GAAP ke IFRS.
Information for Decision Making and The Decision-Theory Approach
Data informasi akuntansi digunakan untuk proses decision making atau untuk tujuan
evaluasi di entitas tertentu. Hal ini diawali dengan fungsi data akuntansi sebagai fungsi
stewardship Di masa kini, manajer bertanggung jawab terhadap equityholders perusahaan.
Informasi bagaimana manajer tidak melaksanakan tanggung jawab stewardshipnya dapat
digunakan sebagai bahan evaluasi performa manajer dan perusahaan itu sendiri.
Information for decision making secara tidak langsung mencakup lebih luas dari
informasi mengenai stewardship. Pertama, karena pengguna dari financial information luas
dan mencakup seluruh menyedia sumber daya. Kedua, informasi akuntansi dilihat sebagi
input data untuk prediksi model bagi users. Maka, kita harus memastikan data apakah yang
benar-benar dibutuhkan untuk memprediksi performa masa depan dan posisinya. Ketiga,
ketika stewardship berfokus pada kejadian di masa lalu untuk melihat apa saja yang sudah
dicapai, prediksi berpatokan pada masa depan. Informasi akuntansi untuk pihak eksternal

memang berdasarkan kejadian di masa lalu, namun masa depan tidak dapat diabaikan begitu
saja ketika masa depan secara tegas dijadikan objective of accounting.
Sedangkan, decision-theory sangat bermanfaat untuk mengecek apakah akuntansi
mencapai tujuannya atau tidak. Jika individual systems dapat menyediakan informasi yang
berguna, maka teori yang mendasari sistem tersebut dapat dikategorikan efektif, atau valid.

Overall
Accounting Theory

THE DECISION THEORY PROCESS

Individual
Accounting System

Prediction Model
of User

Decision Model of
User

Secara keseluruhan, dapat dipahami mengapa pengembangan conceptual framework


di

level

nasional

menjadi

sangat

sulit.

Godfrey

berpendapat

bahwa

dalam

pengembangannya, conceptual framework harus lebih menitikberatkan pada rasionalisasi


penggunaan masa kini dibanding reafirmasi framework di aspek hukum, sosial dan ekonomi
dalam fungsi akuntansi. Selain itu, conceptual framework sekarang ini juga agar mencari
lebih dalam dalam mengembangan constitution-based framework untuk akuntansi dibanding
fokus pada konsep pondasi hal-hal sehari-hari. Karena, hal-hal tersebut akan lebih sulit
dibuat ketika terjadi perbedaan antarnegara.

International Developments: The IASB and FASB Conceptual Framework


Pada Oktober 2004, FASB dan IASB bekerja sama untuk mengembangkan conceptual
framework. FASB menyatakan bahwa project tersebut akan melakukan:

a. Fokus pada perubahan dalam environment sejak orginal frameworks pertama kali
diisukan, demikian juga terhadap kelalaian di original frameworks, dengan tujuan
untuk dapat menciptakan framework yang berkembang, utuh, dan dapat mencakup
frameworks yang telah ada secara efektif dan efisien
b. Memberikan prioritas untuk menujukan dan mendiskusikan tiap isu di setiap fase yang
memiliki kemungkinan menguntungkan Boards dalam jangka pendek; yakni crosscutting issues yang memberi dampak tertentu dalam project mereka, baik untuk
standar baru maupun standar yang sudah direvisi. Sekaligus, tahap dari project
tersebut akan dilakukan secara simultan dan Boards akan mengharapkan keuntungan
dari terlaksananya project tersebut
c. Awalnya mempertimbangkan konsep yang dapat diaplikasikan di private sector
business entities. Selanjutnya, Boards akan bergabung dalam mempertimbangkan
aplikasi dari konsep tersebut ke private sector not-for-profit organizations.
Representatif dari public sector standard-setting Boards akan memonitor projects
tersebut, dan di kasus-kasus tertentu akan mempertimbangkan dampak potensial dari
diskusi private sector untuk public entities.
IASB/FASB CONCEPTUAL FRAMEWORK PROJECT

Fase

Topik

Objective and Qualitative Characteristics

Elements and Recognition

Measurement

Reporting Entity

Presentation and Disclosure, including Financial Reporting Boundaries


(Inactive)

Framework Purpose and Status in GAAP Hierarchy (Inactive)

Applicability to the Not-for-Profit Sector (Inactive)

Remaining Issues (Inactive)

Entity vs Proprietorship Perspective


Board merekomendasikan financial report harus dibuat dari perspektif entitas
dibanding perspektif dari pemilik. Hal ini disetujui banyak pihak karena pemilik dan entitas
secara tegas merupakan dua pihak yang berbeda. Pihak lain menyatakan keberatan karena
menganggap Board tidak menyediakan informasi yang cukup untuk membenarkan
rekomendasi tersebut (seperti dalam peraturan proprietorship dan parent company
perspectives). Maka, perspektif mengenai entitas sudah tercantum di Fase D.
Primary User Group
Board menujukan primary user group untuk tujuan umum financial reporting adalah
untuk penyedia modal masa kini dan potensial. Penyedia modal mencakup equity investors,
lenders, dan penyedia jasa kredit lain. Namun, ada juga pihak yang mengkhawatirkan
bahwa beragamnya jenis primary group dapat kelewat menyederhanakan hubungan antara
entitas dan individual users. Responden lain mengkhawatirkan fokus dari primary user
group dan efeknya terhadap pihak lain, seperti saat amal dan corporate governance
monitoring group. Decision Usefulness and Stewardship
Berdasarkan Boards, tujuan dari financial reporting harus cukup luas untuk
mencakup semua keputusan yang dibuat oleh equity investors, lenders, dan kreditor lain
dengan kapasitas mereka sebagai capital providers, termasuk keputusan alokasi sumber
daya dan keputusan yang dibuat untuk menjaga dan mempertinggi nilai investasi mereka.
Pendapat ini disetujui banyak pihak, namun juga mendapat sanggahan dari pihak-pihak lain
karena dikhawatirkan tujuan dari stewardship tidak cukup ditekankan, ketika fungsi
financial statements untuk menyediakan info bagi pengguna dan dapat memprediksi masa
depan terlalu ditekankan. Padahal di negara-negara Eropa, stewardship adalah kunci dari
corporate governance dan peraturan perusahaan.

Qualitative Characteristics
IASB Framework mencantukam empat prinsip qualitative characteristics, yakni:

understability,

relevance,
reliability, dan
comparability.

Qualitative

characteristics

dibedakan

menjadi

fundamental

(relevance,

faithful

representation) atau enhancing (comparability, verifiability, timeliness, dan understability)


tergantung bagaimana mereka memberi dampak terhadap laporan keuangan.

KRITIK TERHADAP PROYEK CONCEPTUAL FRAMEWORK


Conceptual framework yang telah ada ternyata menuai kritik dari berbagai negara.
Conceptual framework harus menggunakan pendekatan yang scientific, sehingga validasi
framework harus dapat dijelaskan secara logis dan empiris. Tujuan pembuatan conceptual
frameworks adalah untuk menjawab segala pertanyaan-pertanyaan mengenai standar
akuntansi. Conceptual frameworks juga memberikan arahan dan keputusan bagi akuntan
praktisi dalam menjelaskan informasi yang relevan untuk pembuatan keputusan ekonomi.
Dopuch dan Sunder berpendapat bahwa conceptual framework yang dikeluarkan oleh
FASB tidak cukup membantu dalam menyelesaikan isu kontemporer pada measurement dan
disclosure. Menurut mereka, terdapat tiga isu yang masih ambigu:
1. Definisi liabilities masih terlalu umum sehingga sulit untuk menentukan posisi
deferred taxes.
2. Conceptual framework mendukung dua prinsip akuntansi yang bertolak belakang
yaitu full cost dan successful efforts. Pada prinsip successful efforts, perusahaan
diperbolehkan untuk mengkapitalisasi hanya beban-beban yang berkaitan dengan
penemuan lokasi tambang minyak dan gas alam yang berhasil, jika tidak berhasil,
maka beban tersebut dikurangi langsung terhadap pendapatan pada periode tersebut.
Sedangkan, pada prinsip full cost, semua beban yang berkaitan dengan penemuan

lokasi tambang minyak dan gas alam baru (tanpa memperhatikan hasilnya) boleh
dikapitalisasi.
3. Tidak menyelesaikan masalah estimasi.
Ontological and Epistemological Assumptions
Tujuan dari pembentukan conceptual framework adalah untuk menghasilkan laporan
keuangan yang objektif dan tidak bias. Namun, dasar suatu framework dipertanyakan,
apakah teori tersebut netral, independen, dan bebas dari bias. Jika dihubungkan dengan
conceptual framework yang ada ternyata benar adanya, bahwa conceptual framework tidak
pernah secara resmi diuji kebenarannya berdasarkan bukti logis dan empiris karena isi dari
conceptual framework itu sendiri merupakan opini dari badan atau individual yang
berkuasa.
Circularity of Reasoning
Dalam sudut pandang yang dangkal terhadap conceptual framework mengindikasikan
bahwa paling tidak akuntan mengikuti satu jalur ilmiah, yaitu menarik kesimpulan dari
prinsip dan praktik yang disamaratakan. Namun, banyak pula negara yang conceptual
framework-nya ditandai dengan adanya internal circularity, maksudnya satu kualitasnya,
bergantung pada kualitas aspek yang lain.
Bermacam-macam kerangka konseptual yang dimiliki negara ditandai oleh adanya
internal circularity. Contohnya adalah pada information qualities pada laporan keuangan
yang bergantung pada kriteria quality lainnya. FASB framework mencoba untuk membuka
atau menjastifikasi circularity tersebut dengan merujuk pada keinginan dari seorang akuntan
yang memiliki banyak pengetahuan untuk menginterpretasikan laporan keuangan tersebut.
An Unscientific Disipline
Stamp meyakini bahwa akuntansi lebih berpihak kepada hukum daripada physical
science karena profesi akuntansi dan hukum berhubungan dengan konflik yang terjadi
diantara kelompok pengguna ilmu tersebut dengan kepentingan dan tujuan yang bermacammacam. Positive accounting adalah penjelasan atau penalaran untuk menunjukkan secara
ilmiah kebenaran pernyataan atau fenomena akuntansi seperti apa adanya sesuai fakta.
Teori ini bertujuan menjelaskan, meramalkan, dan memberi jawaban atas praktik akuntansi.

Teori ini juga meramalkan berbagai fenomena akuntansi dan menggambarkan bagaimana
interaksi antar-variabel akuntansi dalam dunia nyata. Sedangkan normative accounting
adalah penjelasan atau penalaran untuk menjustifikasi kelayakan suatu perlakuan akuntansi
paling sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, sehingga lebih menjelaskan praktikpraktik akuntansi yang seharusnya berlaku (it should be).
Pendekatan positive accounting menghasilkan taksonomi akuntansi sebagai sains.
Sedangkan pendekatan normative accounting menghasilkan taksonomi akuntansi sebagai
art. Hingga saat ini, positive accounting theory masih dalam proses yang dapat dijadikan
dasar dalam proses pembentukan akuntansi menjadi sains.
Positive Research
Tujuan utama dari dibuatnya conceptual framework adalah untuk menyediakan
informasi keuangan yang dapat membantu pengguna menentukan economic decision dan
untuk meyakinkan pengguna laporan keuangan dapat mendapatkan informasi yang berguna
untuk proses pengambilan keputusan.
The Conceptual Framework as A Policy Document
Sebuah cara yang dapat digunakan untuk melihat conceptual framework menjadi
scientific adalah dengan mempertimbangkannya menjadi sebuah policy model.

Ijiri

membedakan normative dan policy model. Normative model dibuat berdasarkan asumsi
pasti mengenai tujuan yang akan dicapai. Meskipun normative model memiliki implikasi,
namun tetap berbeda dengan policy judgement yang melibatkan komitmen terhadap
tujuannya. Ijiri juga mengungkapkan bahwa dalam akuntansi, teori dan policy bercampur
menjadi satu, tidak seperti ilmu pengetahuan lainnya.
Menurut Tinker, terdapat cara lain untuk mengesahkan tingkat teoritikal yaitu dengan
pendekatan deskriptif. Deskriptive theories adalah usaha untuk menemukan hubungan yang
sebenarnya terjadi. Panalaran Induktif biasanya disebut dengan teori deskriptif. Pendekatan
deskriptif memiliki implikasi untuk menentukan apakan conceptual framework merupakan
refleksi dari nilai professional.
Buckley memiliki policy model melalui pendekatan konstitusional, dimana prinsipprinsip yang berlaku berasal dari kebenaran, sama seperti cara FASB menentukan

conceptual framework. Pendekatan konstitusional sesuai dengan pernyataan bahwa


akuntansi bergantung pada kepercayaan di kejadian yang sebenarnya.
Kirk berpendapat bahwa standard yang dibuat berdasarkan consensus adalah bagian
dari mempercayai standar yang merupakan ketentuan dan terbentuk karena persetujuan.
Beliau mengembangkan bahwa sebuah conceptual framework disajikan untuk kepentingan
publik karena merupakan pendekatan konseptual. Sedangkan standard yang dibuat
berdasarkan consensus tidak digunakan untuk kepentingan publik, karena merupakan
pendekatan politik. Hal ini menjadi masalah karena kepentingan publik diwakili oleh
pengguna dengan kebutuhan yang bertentangan. Sedangkan menurut pendapat Miller,
standard yang dibuat menurut consensus hanya akan menghasilkan ketidakkonsistenan.
Professional Values and Self-Preservation
Professional value merupakan tindakan yang berlandaskan idealisme dan lebih
mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, sedangkan self
preservation adalah kebalikannya. Efek dari adanya professional values ada terciptanya nilai
sosial yang dapat membuat kelompok professional bertanggung jawab dan menyediakan
segala kepentingan komunitas. Demski merupakan orang yang paling tidak setuju dengan
adanya normative accounting standards, karena beliau menemukan bukti matematis dimana
tidak ada standar.
Konsep tersebut sesuai dengan pendekatan konstitusional dari Buckley yang
menunjukkan adanya monopol-seeking behavior dari seorang professional. Hal ini
dibuktikan dengan semakin meningkatnya kompleksitas standard konsep yang ada dan
menyebabkan publik bergantung pada akuntan dan auditor untuk menyiapkan dan
menginterpretasikan isi laporan keuangan.

CONCEPTUAL FRAMEWORK UNTUK STANDAR AUDITING


Teori umum komprehensif dari pengauditan pertama kali diperkenalkan oleh Mautz
dan Sharaf pada tahun 1961. Mautz dan Sharaf melihat bahwa mengaudit bukan sebagai
sub-divisi dari akuntansi, tapi sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Mautz dan Sharaf juga
mempertanyakan kompatibilitas dari pelayanan auditing dan consulting. Mereka

merekomendasikan pemisahan untuk kedua tipe pelayanan ini untuk menjaga independensi
dari auditor.
Pada tahun 1980, fokus debat secara teoritis berfokus pada struktur dan cara
perhitungan dalam hal mengumpulkan bukti dan proses evaluasi. Knecehel menjelaskan ini
sebagai pertumbuhan pesat pada praktik audit, peningkatan teknologi, dan kebutuhan untuk
mengurangi biaya pada audit proses.
Pada tahun 1990, Knechel menghadapi hambatan yang mencakup tekanan dari klien
kepada auditor untuk mengurangi biaya dan memberikan nilai yang lebih. Hal ini membuat
praktik audit menjadi lebih bergantung pada memeriksa sistem kontrol klien dan juga
mencari dan mengumpulkan bukti dari financial statement yang dibuat sendiri oleh sistem
tersebut, dibandingkan dengan direct testing pada transaksi dan account balance.
Resiko bisnis audit adalah suatu bentuk audit yang mempertimbangkan resiko klien
sebagai bagian dari proses audit evidence (1970). Audit risk model meminta auditor untuk
memperhatikan resiko dari opini audit yang tidak sepantasnya sebagai fungsi dari inherent
risk, resiko dimana sistem kontrol dari klien tidak dapat mencegah dan mendeteksi
kesalahan tersebut, dan resiko dimana prosedur audit pun tidak dapat mendeteksi kesalahan
tersebut.
Internal control integrated framework by the Committee of Sponsoring
Organization (COSO), dikeluarkan pada tahun 1992. Report ini membuat auditor menjadi
lebih sadar dan peduli terhadap hubungan antara internal control dan pengadaan audit itu
sendiri. Klien dengan internal control yang baik dianggap lebih memiliki resiko yang
rendah untuk terjadi fraud dan error. Hal ini dapat mengurangi sumber data, biaya audit, dan
harga pengauditan untuk klien tersebut.
Asal mula terbentuknya internal control integrated framework diprakarsai oleh
komisi yang dibentuk oleh sektor swasta. Sektor swasta ini membentuk National
Commission on Fraudulent Financial Reporting atau dikenal juga dengan The Treadway
Commission di tahun 1985. Komisi ini mengeluarkan report pertamanya pada tahun 1987.
Isi dari report tersebut merekomendasikan dibuatnya report komprehensif tentang
pengendalian internal (integrated guidance on internal control), lalu dibentuklah COSO,
yang kemudian bekerjasama dengan Coopers & Lybrand untuk membuat report tersebut.

Resiko auditing berarti auditor menerima tingkat ketidakpastian tertentu dalam


pelaksanaan audit. Auditor harus menyadari bahwa ada ketidakpastian mengenai kualitas
bahan bukti, keefektifan pengendalian internal klien dan ketidak pastian apakah laporan
keuangan memang telah disajikan secara wajar setelah di audit (Richard W.H, Michael F.
Peters & Jamei H. Pratt, 1999).
Berdasarkan sumber lainnya, Risiko audit adalah risiko dimana auditor menyimpulkan
bahwa laporan keuangan dinyatakan dengan wajar dan oleh karenanya dapat dikenakan
pendapat wajar tanpa pengecualian. Audit tidak dapat diharapkan untuk mengungkapkan
semua kesalahan laporan keuangan yang material. Kesalahan yang disembunyikan dengan
sangat rapi sulit ditemukan.
Jenis Resiko Audit, yaitu :
1

Resiko Bawaan (Inherent Risk), yaitu kerentanan suatu saldo akun atau golongan
transaksi terhadap suatu salah saji yang material. Biasanya resiko ini telah ada dari
awal dikarenakan sifat bisnis dari entitas yang bersangkutan.

Resiko Pengendalian (Control Risk), merupakan resiko yang baru akan muncul dan
terdeteksi pada saat pemeriksaan internal control. Entitas yang rentan akan fraud
biasanya internal controlnya lemah.

Resiko Deteksi (Detection Risk), adalah resiko yang muncul karena auditor tidak
mampu menemukan kesalahan dikarenakan kurang menggunakan tehnik atau
prosedur

DAFTAR PUSTAKA
Godfrey, J., Hodgson, A., Tarca, A., & Hamilton, J. (t.thn.). Accounting Theory.
Wiley.

Anda mungkin juga menyukai