Anda di halaman 1dari 62

5

LAPORAN KASUS
SEORANG PRIA 69 TAHUN DENGAN SYOK HIPOVOLEMIK et causa
HEMATEMESIS

Penyusun :
dr. Shintia Malinda

Dokter Pembimbing:
dr. Padmi Bektilestari, Sp.PD

Dokter Pendamping :
dr. Utariyah Budiastuti
dr. Yuliati

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BATANG
JAWA TENGAH
2020
6

BORANG PORTOFOLIO
Nama Peserta : dr. Shintia Malinda
Nama Wahana : RSUD Batang
Topik : Syok Hipovolemik
Tanggal Kasus :
Nama Pasien : Tn. S No.RM : 4069xx
Tanggal Presentasi : Nama Pendamping :
dr. Utariyah Budiastuti, dr. Yuliati
Tempat Presentasi : RSUD Batang
Obyektif Presentasi
√Keilmuan Ketrampilan Penyegaran √Tinjauan Pustaka
√Diagnostik √Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa √Lansia Bumil
Deskripsi : Seorang Pria 69 tahun dengan Syok Hipovolemik et causa Hematemesis
Tujuan : Diagnosis, Manajemen
Bahasan √ Tinjauan Pustaka Riset √Kasus Audit
Cara Pembahasan Diskusi √Presentasi & Diskusi Email Pos
Data Pasien Nama : Tn. S No. Reg 4069xx
Nama Klinik : Ruang Melati

KATA PENGANTAR
7

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, atas
karunia dan rahmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Seorang Pria 69 tahun dengan Syok Hipovolemik et causa Hematemesis”
Adapun laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi kewajiban program
Internship di RSUD BATANG Periode 20 November 2019 – 20 September 2020 dan
juga bertujuan untuk menambah informasi bagi Penulis dan pembaca tentang syok
hipovolemik dan penanganannya.
Penulis sangat bersyukur atas selesainya laporan ini. Hal ini tidak terlepas dari
dukungan serta keterlibatan berbagai pihak dan pada kesempatan ini penulis ingin
berterimakasih kepada:
1. dr. Padmi Bektilestari Sp.PD selaku pembimbing di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Batang.
2. dr. Utariyah Budiastuti, selaku pendamping program internship di RSUD Batang.
3. dr. Yuliati,selaku pendamping program internship di RSUD Batang.
4. Rekan-rekan sejawat dokter internship serta dokter definitif RSUD Batang dan
juga pihak-pihak terkait yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak.
Akhir kata, Penulis mengucapkan Terimakasih dan semoga laporan ini dapat memberikan
manfaat.
Batang, Agustus 2020

Penulis
8

BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Tn. S
2. Umur : 69 Tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. Agama : Islam
5. No. Medical Record : 406922
6. Alamat : Ds : Sendang, Kec : Wonotunggal, Kab : Batang
7. Ruang rawat : Bangsal Melati RSUD Batang
8. Tgl masuk : 20 Juli 2020 (17.15 WIB)
9. Status Pembiayaan : BPJS PBI

B. ANAMNESIS (Tanggal 20 Juli 2020, pk 17.15)


1. KELUHAN UTAMA
Muntah darah
2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien dating ke IGD RSUD Batang dengan keluhan muntah darah.
Keluhan dirasakan sejak 4 hari SMRS dengan frekuensi sebanyak 2x. Menurut pasien
muntah berisi makanan, air, bercampur darah warna merah gelap. Sebelumnya pasien
merasa sakit perut di daerah ulu hati dan lemas. Pasien BAK dan BAB dalam batas
normal. Untuk Makan (+), Minum (+) sedikit-sedikit. Pasien mengaku sering
mengkonsumsi obat pereda nyeri yang dibeli di warung.
3. RIWAYAT PENYAKIT
 Riwayat Penyakit Dahulu
 Penyakit serupa : (-)
 Riwayat DM : (-)
 Riwayat Hipertensi : (-)
 Riwayat penyakit jantung : (-)
 Riwayat alergi obat : (-)
 Riwayat Asma : (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga
 Penyakit serupa : (-)
9

 Riwayat DM : (-)
 Riwayat Hipertensi : (-)
 Riwayat penyakit jantung : (-)
 Riwayat alergi obat : (-)
 Riwayat Asma : (-)
 Riwayat Kebiasaan & Sosial Ekonomi
 Pasien riwayat merokok dan sudah berhenti sejak 5 tahun yang lalu,
konsumsi alkohol disangkal, konsumsi NAPZA disangkal, sering
mengkonsumi obat pereda nyeri yang dibeli di warung.

 Pasien sudah tidak bekerja, hanya tinggal di rumah.
 Biaya pengobatan menggunakan BPJS PBI

KESAN : Muntah darah, mual, pusing berputar, badan lemas, les-lesan, cepat
lelah, penurunan intake, riwayat sering konsumsi obat pereda nyeri
yang dibeli di warung.

C. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 20 Juli 2020, pk 17.30 WIB)


1. Keadaan Umum
 KU : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Composmentis (GCS : E4M6V5)
 Tanda-Tanda Vital :
- Tekanan darah : 72/43 mmHg
- Nadi : 148 x/menit, regular, Lemah
- RR : 24 x/menit
- Suhu : 36,60C
- SpO2 : 96%
 Antropometri :
- BB : 50 Kg
- TB : 165 Cm
- BMI : 18,36 Kg/m2 (NormoWeight)
KESAN : Hipotensi, Takikardi, nadi lemah

2. Status Generalis
 Pemeriksaan Kepala dan Leher
10

- Kepala : Mesocephal
- Mata : Mata Merah (-), Konjungtiva Anemis (+), Sclera Ikterik
(-),
Penglihatan Kabur (-).
- Telinga : Bentuk normal, Berdenging (-), Kurang Pendengaran (-)
- Hidung : Simetris, Septum Deviasi (-), Nafas Cuping Hidung(-),
Mimisan (-), Secret (-)
- Mulut : Simetris, Sianosis (-), Bibir Pucat (+), Mukosa Hiperemis
(-),
Deviasi Lidah (-), Lidah Tremor (-), Lidah Kotor (-), Gusi

Berdarah (-), Stomatitis (-).


- Tenggorokan : Nyeri Tenggorokan (-), Serak (-), Nyeri Telan (-)
- Leher : Deviasi Trachea (-), Pembesaran Thyroid (-), Pembesaran
Kelenjar Limfe (-).
- Kulit : dalam batas normal

KESAN : Konjungtiva Anemis, bibir pucat

 Pemeriksaan Thorax
 Pulmo :
INSPEKSI ANTERIOR POSTERIOR

Statis
- RR: 22x/Min - RR: 22x/Min
- Thoracal Breathing - Thoracal Breathing
- Hyperpigmentasi (-) - Hyperpigmentasi (-)
- Tumor (-) - Tumor (-)
- Inflammation (-) - Inflammation (-)
- Spider Nevi (-) - Spider Nevi (-)
- Hemithorax D=S - Hemithorax D=S
- ICS Normal - ICS Normal
- Diameter AP < LL - Diameter AP < LL
Dinamis
- Pergerakan Hemithorax - Pergerakan Hemithorax
11

Kanan= Kiri Kanan= Kiri


- Otot Bantu Napas (-) - Otot Bantu Napas (-)
- Retraksi ICS (-) - Retraksi ICS (-)
Palpasi
- Nyeri Tekan (-) - Nyeri Tekan (-)
- Tumor (-) - Tumor (-)
- ICS Normal - ICS Normal
- Sterm Fremitus Normal - Sterm Fremitus normal
Perkusi
Sonor Sonor
Auskultasi
- Suara Dasar Vasikuler - Suara Dasar Vasikuler (+)
(+) - Wheeing (-)
- Wheeing (-) - Rhonkhi (-)
- Rhonkhi (-)

KESAN : Dalam Batas Normal

 Jantung :
Inspeksi
Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
Ictus cordis teraba di ICS VI Linea mid clavicula sinistra (-), thrill (-),
pulsus epigastrium(-), pulsus parasternal (-), sternal lift (-)
Perkusi
Redup
Batas atas jantung : ICS II lineasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Kanan jantung : ICS V linea sternalis dextra
Kiri jantung : ICS VI 2 cm line mid clavicula sinistra

Auskultasi
12

Katup aorta : SD I-II murni, reguler A1<A2


Katup trikuspidal : SD I-II murni,reguler T1<T2
Katup pulmonal : SD I-II murni, reguler P1<P2
Katup mitral : SD I-II murni, M1>M2
Bising :-

KESAN : Dalam Batas Normal

 Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
Datar (+), Simetrik, sikatrik (-), striae (-), caput medusa (-), hyperpigmentasi
(-), spider nevi (-), Gerak usus (-)
Auskultasi
Bising usus (+), Aorta abdominal bruit (-), A. Lienalis (-), A. femoralis (-)

Perkusi
Timpani (+), Pekak sisi (-), Pekak alih (-), Tes undulasi (-)
Hepar : Liver span dextra 11 cm, Liver span sinistra 6 cm,
Lien : Traube’s space (-)
Palpasi
Supel (+), Massa (-), Nyeri tekan (+) epigastrik, defans muscular (-)
Hepar : Pembesaran hepar (-), Nyeri tekan (-), Murphy’s sign (-)
Lien : Titik Shuftner kesan lien tak membesar,
Ginjal : nyeri kerok sudut kostovrenikus (-)
VU : Tegang (-), nyeri tekan (-)

KESAN : Nyeri tekan Epigastrik

 Pemeriksaan Ekstremitas

EKSTREMITAS Superior Inferior

Oedem -/- -/-


13

Akral dingin +/+ +/+


Refleks patologis -/- -/-
Refleks fisiologis +/+ +/+
Ikterik -/- -/-
CRT >2 detik/>2detik >2 detik/>2detik

KESAN : Akral dingin, CRT>2detik

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Hematologi
Pemeriksaan 20-07-2020 23-07-2020 25-07-2020 Satuan Nilai normal
CBC
Leukosit H 10.73 H 14.73 H 10.90 103/ul 4.00-10.50
Eritrosit L 1.61 L 3.06 L 3.65 106/ul 4.5-5.7
Hemoglobin L 3.1 L 7.7 L 9.4 g/dL 13.5-17.2
Hematokrit L 11.2 L 24.2 L 29.4 % 40-50
MCV L 69.9 L 79.1 80.5 fL 80-95
MCH L 19.3 L 25.2 L 25.8 Pg 27-33
MCHC L 27.7 L 31.8 L 32.0 g/dL 33.2-35.3
Trombosit H 485 387 H 460 103/ul 150-450
RDW-SD 51 H 58 H 58 fL 37-54
RDW-CV H 20.9 H 20.0 H 20.0 % 11-16
Diff Count
Neutrofil H 83.5 H 90.0 H 81.3 % 42-74
Limfosit L 12.9 L 5.8 L 8.5 % 17-45
Monosit L 3.0 L 2.9 L 4.5 % 5-12
Eosinofil L 0.3 L 0.4 5.2 % 1-7
Basofil 0.3 0.3 0.5 % 0-1
Limfosit 1.38 L 0.86 0.93 103/ul 0.9-5.2
absolut
LED
LED 1 Jam H 35.0 H 30.0 H 25.0 mm/jam <15
LED 2 Jam H 55.0 H 50.0 H 40.0 mm/2jam <20
Kimia
SGOT 38 - - U/L <40
SGPT 18 - - U/L <45
Ureum 45 - - mg/dl 10-50
Creatinin H 1.6 - - mg/dl 0.8-1.3
GDS 384 132 | 120 97 mg/dL <140
Elektrolit
Calsium L 8.5 - - mg/dl 8.8-10.2
Natrium 143 - - mmol/l 135-148
Kalium 4.4 - - mmol/l 3.5-5.3
14

Chlorida L 95.0 - - mmol/l 98-107


Serologi Imunologi
IgM Negatif - - - Negatif
Samonella
IgM SARS- Non Reaktif - - - Non Reaktif
CoV-2
IgG SARS- Non Reaktif - - - Non Reaktif
CoV-2
Anti HBs Positif - - -
HBsAg Negatif - - - Negatif

KESAN : Anemia, Hemodilusi, Leukositosis, Eritrosit menurun, MCV


menurun, MCH menurun, MCHC menurun, Neutrofilia, Limfositopenia, LED
meningkat, Anti HBs positif.

2. Ro Thorax

KESAN : Pulmo tenang, Kardiomegali

3. USG Abdomen
15

 Hepar : Echostruktur hepar Normoechoic, homogen, tak tampak


lesi,
sudut tumpul. Vena hepatica dalam batas normal. Ductus
intrahepatal tak melebar.
 Vesica Felea : Vesical felea tampak anechoic, besar, dinding tak
menebal,
reguler, tak tampak batu/massa. Tampak gambaran sludge
pada VF.
 Ren : Echostruktur ren dextra sinistra normoechoic, batas cortex
medulla jelas. SPC tak melebar, tak tampak batu/massa.
Ukuran ren dextra sinistra dalam batas normal
 Lien : Echostruktur lien normoechoic, homogen, tak tampak lesi.
Hilus tak melebar, ukuran dalam batas normal.
Tampak efusi pleura dextra sinistra
Tampak gambaran cor prominent

KESAN : Hepatomegali, Cholecystitis, Efusi pleura dextra sinistra, Suspek


Kardiomegali, tak tampak kelainan pada ren dextra sinistra dan lien.

ABNORMALITAS DATA
 ANAMNESIS
1. Muntah darah
2. Badan lemas
3. cepat lelah
16

4. Pusing berputar
5. Penurunan intake
6. Riwayat sering konsumsi obat pereda nyeri
7. Les-lesaan
 PEMERIKSAAN FISIK
8. Hipotensi
9. Takikardi, Nadi lemah
10. Konjungtiva Anemis
11. Nyeri tekan Epigastrik
12. Akral dingin
13. CRT>2detik
 PEMERIKSAAN PENUNJANG
14. Anemia
15. Hemodilusi
16. Eritrosit menurun
17. MCV menurun
18. MCH menurun
19. MCHC menurun
20. LED meningkat
21. Neutrofilia
22. Limfositosis
23. Anti HBs positif
24. Hepatomegali
25. Cholecystitis
26. Efusi pleura dextra sinistra
27. Kardiomegali
E. PROBLEM LIST
1. Hematemesis ec Gastritis Erosif (1,6,11)
2. Anemia Normokromik Normisitik ec Blood Loss (2,3,4,10,14,
15,16,17,18,19)
3. Syok Hipovolemik ec. hematemesis (7,8,9,10,12,13,14)
F. PEMBAHASAN PROBLEM LIST
1. Hematemesis ec Gastritis Erosif
 Assesment
17

- Perdarahan saluran cerna atas yang dapat menyebabkan syok


hipovolemik
- Gastritis Erosif
 IP Diagnosis
- Endoskopi saluran cerna atas
 IP Terapi
 Nonfarmakologi
- Bed rest/ mengurangi aktifitas fisik
- Puasa (Sampai perdarahan berhenti)
- Diet cair 6x150cc
 Farmakologi
- Infus RL 20 tpm
- Inj. Pantoprazol 40mg/12 jam
- Inj. Kalnex (Asam Traneksamat) 500mg/8 jam
- PO Sucralfat Sirup 3x1C
- PO Rebamipid 3x100mg
 IP Monitoring
- Keadaan umum dan TTV
- Tanda-tanda syok hipovolemik
- Evaluasi Perdarahan dari muntah
 IP Edukasi
- Menjelaskan tentang Perdarahan saluran pencernaan atas yang
bermanifestasi hematemesis
- Menjelaskan tentang treatment dari Perdarahan saluran atas
- Menjelaskan tentang efek samping dari treatment perdarahan
saluran atas.
2. Anemia Normokromik Normisitik ec Blood Loss
 Assesment
- Anemia Penyakit kronik
- Anemia Perdarahan akut
- Anemia Hemolitik
- Anemia Aplastik
- Anemia Renal
- Leukimia etc
18

 IP Diagnosis
- Hitung Retikulosit
- Morfologi darah tepi
 IP Terapi
 Nonfarmakologi
- Bed rest/ mengurangi aktifitas fisik
- Diet tinggi FE
 Farmakologi
- Tranfusi PRC 5 Kolf (tanpa premed)
 IP Monitoring
- Keadaan umum dan tanda vital
- Evaluasi Darah Rutin Post Tranfusi dengan target Hemoglobin >10
g/dl
- Evaluasi tanda-tanda reaksi tranfusi
 IP Edukasi
- Menjelaskan tentang anemia
- Menjelaskan tentang treatment dari anemia
- Menjelaskan tentang efek samping dari treatmen anemia
3. Syok Hipovolemik ec. hematemesis
 Assesment
- Syok Hipovolemik
 IP Diagnosis
- Anamnesis dan pemeriksaan fisik
 IP Terapi
 Nonfarmakologi
- Tirah Baring
- O2 Nasal Kanul 3 lpm
 Farmakologi
- Loading asering 2fl sampai MAP 65
- Tranfusi PRC 5kolf, 2kolf/hari. Tanpa premed
- Dobutamin syringe pump 5mg/kgBB/jam  3,5cc/jam titrasi
 IP Monitoring
- Keadaan umum dan TTV per 15 menit (target MAP ≥ 65mmHg)
 IP Edukasi
19

- Menjelaskan tentang syok hipovolemik karena perdarahan akut


- Menjelaskan tentang pengelolaan syok hipovolemik
- Menjelaskan tentang efek samping dari treatment syok
hipovolemik

G. PFOLLOW UP
Tanggal S O A P
21/7/20 Lemas, KU : TSS Anemia berat -Loading asering 2fl
00.00 wib pusing Kes : CM Hematemesis sampai MAP 65
TD : 75/35 mmHg -tranfusi PRC 5kolf,
N : 96x/menit 2kolf/hari. Tanpa premed
RR : 24x/menit -cek GDS 21-06
T : 36,6 C -Ro thorax
Pemeriksaan fisik : -dobutamin syringe pump
- CA (+/+) 5mg/kgBB/jam 
3,5cc/jam  titrasi
-inj pantoprazole 1
amp/12 jam
-inj ondancentron 1
amp/8jam
-inj kalnex 1gr/8jam
-sucralfat syr 3x1 cth
-diet cair 6x100cc
-masuk ruang biasa
21/7/20 Pusing, KU : TSS Anemia berat -inj ceftriaxon 1gr/12 jam
08.00 wib lemas, Kes : CM Hematemesis -IV Line 2 jalur
belum TD : 95/58 mmHg -Loading asering 2fl
BAB N : 97x/menit Cek GDS 21.06
RR : 24x/menit USG abdomen jika KU
T : 36,6 C stabil
Pemeriksaan fisik : -diet cair 6x100cc
- CA (+/+) -Terapi lanjut
Tanggal S O A P
22/7/20 Muntah KU : TSS Anemia berat -Terapi lanjut
08.00 wib darah (-) Kes : CM Hematemesis -USG abdomen + TU
Les-lesan TD : 76/45 mmHg -Karbazokrom
Pusing, N : 106x/menit, 1amp/24jam
belum lemah -inj furosemid 1 amp
BAB RR : 23x/menit (extra) lanjut per 12 jam
T : 36,8 C (1 hari)
Pemeriksaan fisik : -Lactulac syr 3x1C
- CA (+/+)
23/7/2020 Muntah KU : baik Anemia berat -Terapi lanjut
08.00 wib darah (-) Kes : CM Hematemesis
Pusing TD : 111/62 mmHg
berkurang N : 106x/menit
RR : 20x/menit
T : 36,7 C

Tanggal S O A P
24/7/2020 Belum KU : baik Anemia berat -Terapi lanjut
08.00 wib BAB Kes : CM Hematemesis
TD : 135/62 mmHg
N : 107x/menit
RR : 20x/menit
T : 36,7 C
20

25/7/2020 Tidak ada KU : baik Anemia berat -Terapi lanjut


08.00 wib keluhan Kes : CM Hematemesis -BLPL
TD : 122/65 mmHg
N : 106x/menit
RR : 20x/menit
T : 36,7 C
21

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. PERDARAHAN SALURAN CERNA ATAS

A. Definisi

Hematemesis melena merupakan suatu keadaan yang mengindikasikan adanya

perdarahan pada saluran cerna bagian atas. Batas antara saluran cerna bagian atas

dengan saluran cerna bagian bawah adalah Ligamentum Treitz yang terdapat pada

bagian distal duodenum (3).

Hematemesis adalah muntah darah (darah yang dimuntahkan lewat mulut), warna

dari darah yang dimuntahkan akan bervariasi tergantung dari konsentrasi asam

hipoklorik dalam lambung dan percampuran dengan darah. Demikian juga, jika

muntah darah terjadi tidak lama setelah onset perdarahan, muntahan akan berwarna

merah; jika terjadi lebih lambat, darah yang keluar akan berwarna merah kehitaman,

kecoklatan atau hitam. Gumpalan darah yang terdapat dalam muntahan darah akan

berbentuk seperti suatu gambaran “ladang kopi” (3).

Sementara itu, melena adalah keluarnya feses yang berwarna kehitaman dengan

konsistensi yang lembek. Fesesnya dapat terlihat seperti mengkilat, berbau busuk, dan

lengket (3).

B. Etiologi

1) Penyakit-Penyakit Ulcerativa (4, 5)

a. Peptic Ulcer

Di Amerika Serikat, PUD (Peptic Ulcer Disease) dijumpai pada

sekitar 4,5 juta orang pada tahun 2011. Kira-kira 10% dari populasi di

Amerika Serikat memiliki PUD. Dari sebahagian besar yang terinfeksi H

pylori, prevalensinya pada orang usia tua 20%. Hanya sekitar 10% dari
22

orang muda memiliki infeksi H pylori; proporsi orang-orang yang

terinfeksi meningkat secara konstan dengan bertambahnya usia.

Secara keseluruhan, insidensi dari duodenal ulcers telah menurun

pada 3-4 dekade terkahir. Walaupun jumlah daripada simple gastric ulcer

mengalami penurunan, insidensi daripada complicated gastric ulcer dan

opname tetap stabil, sebagian dikarenakan penggunaan aspirin pada

populasi usia tua. Jumlah pasien opname karena PUD berkisar 30 pasien

per 100,000 kasus.

Prevalensi kemunculan PUD berpindah dari yang predominant pada

pria ke frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin. Prevalensi berkisar

11-14 % pada pria dan 8-11 % pada wanita. Sedangkan kaitan dengan usia,

jumlah kemunculan ulcer mengalami penurunan pada pria usia muda,

khususnya untuk duodenal ulcer, dan jumlah meningkat pada wanita usia

tua.

b. Stress Ulcer

Hingga saat ini masih belum dipahami bagaimana terjadinya stress

ulcer, tetapi banyak dikaitkan dengan hipersekresi daripada asam pada

beberapa pasien, mucosal ischemia, dan alterasi pada mucus gastric.

c. Medication-Induced Ulcer

Berbagai macam pengobatan berperan penting dalam perkembangan

daripada penyakit peptic ulcer dan perdarahan saluran cerna bahagian atas

akut. Paling sering, aspirin dan NSAIDs dapat menyebabkan erosi

gastroduodenal atau ulcers, khususnya pada pasien lanjut usia.

2) Mallory-Weiss Tear (4,5).

Mallory- Weiss Tear muncul pada bagian distal esophagus di bagian

gastroesophageal junction. Perdarahan muncul ketika luka sobekan telah


23

melibatkan esophageal venous atau arterial plexus. Pasien dengan hipertensi

portal dapat meningkatkan resiko daripada perdarahan oleh Mallory-Weiss

Tear dibandingkan dengan pasien hipertensi non-portal.

Sekitar 1000 pasien di University of California Los Angeles datang ke ICU

dengan perdarahan saluran cerna bahagian atas yang berat, Mallory-Weiss Tear

adalah diagnosis keempat yang menyebabkan perdarahan saluran cerna

bahagian atas, terhitung sekitar 5 % dari seluruh kasus.

3) Varises Esofagus (4,6)

Esophageal varices dan gastric varices adalah vena collateral yang

berkembang sebagai hasil dari hipertensi sistemik ataupun hipertensi

segmental portal. Beberapa penyebab dari hipertensi portal termasuk

prehepatic thrombosis, penyakit hati, dan penyakit postsinusoidal. Hepatitis B

dan C serta penyakit alkoholic liver adalah penyakit yang paling sering

menimbulkan penyakit hipertensi portal intrahepatic di Amerika Serikat.

4) Pengaruh obat NSAID (5)

Penggunaan NSAIDs merupakan penyebab umum terjadi tukak gaster.

Penggunaan obat ini dapat mengganggu proses peresapan mukosa, proses

penghancuran mukosa, dan dapat menyebabkan cedera. Sebanyak 30% orang

dewasa yang menggunakan NSAIDs mempunyai GI yang kurang baik. Faktor

yang menyebabkan peningkatan penyakit tukak gaster dari penggunaan

NSAIDs adalah usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau

kombinasi dari NSAIDs, penggunaan NSAIDs dalam jangka waktu yang lama,

penggunaan disertai antikoagulan, dan severe comorbid illness.

Penyebab lain dari hematemesis melena antara lain, gastric atau

duodenal erosions (20-30 %), erosive esophagitis (5-10 %), angioma (5-10 %),

arteriovenous malformation (< 5 %), dan gastrointestinal stromal tumor (5,6).


24

Penyakit Usus Halus: tumor jinak dan ganas, Syndrome Peutz-Jegher,

divertikulum Meckel. Penyakit Kolon Proksimal: tumor jinak dan ganas,

divertikulosis, ulserasi dan kolitis granulomatosa, tuberkulosis, disentri amuba,

aneurisma sirsoid. Kelainan Darah: Polisitemia vera, limfoma, leukemia,

anemia pernisiosa, hemofilia, hipoprotrombinemia, multiple mieloma,

trombositopenia purpura, non-trombositopenia purpura. Penyakit Pembuluh

darah: telangiektasis hemoragik herediter, hemangioma kavernosum. Penyakit

Sistemik : amiloidosis, sarkoidosis, penyakit jaringan ikat, uremia. Penyakit

Infeksi: DHF, leptospirosis.(5,6).

C. Diagnosis

Diagnosis dapat dibuat berdasarkan inspeksi muntahan pasien atau

pemasangan selang nasogastric (NGT, nasogastric tube) dan deteksi darah yang

jelas terlihat; cairan bercampur darah, atau “ampas kopi”’ Namun, aspirat

perdarahan telah berhenti, intermiten, atau tidak dapat dideteksi akibat spasme

pilorik (7).

Pada semua pasien dengan perdarahan saluran gastrointestinal (GIT) perlu

dimasukkan pipa nasogastrik dengan melakukan aspirasi isi lambung. Hal ini

terutama penting apabila perdarahan tidak jelas. Tujuan dari tindakan ini adalah

(7,8):

1. Menentukan tempat perdarahan.

2. Memperkirakan jumlah perdarahan dan apakah perdarahan telah berhenti.

Angiography dapat digunakan untuk mendiagnosa dan menatalaksana perdarahan berat,

khususnya ketika penyebab perdarahan tidak dapat ditentukan dengan menggunakan endoskopi atas

maupun bawah (7).

Conventional radiographic imaging biasanya tidak terlalu dibutuhkan pada pasien

dengan perdarahan saluran cerna tetapi adakalanya dapat memberikan beberapa

informasi penting. Misalnya pada CT scan; CT Scan dapat mengidentifikasi adanya


25

lesi massa, seperti tumor intra-abdominal ataupun abnormalitas pada usus yang

mungkin dapat menjadi sumber perdarahan (8).

Endoskopi merupakan pemeriksaan yang paling bagus untuk melihat adanya

perdarahan pada saluran pencernaan bagian atas. Namun, pemeriksaan ini termasuk ke

dalam kategori invasif (8).

D. Penatalaksanaan

Pada perdarahan saluran cerna dianggap terdapat gangguan hemostasis berupa

defisiensi kompleks protrombin sehingga diberikan vitamin K 10 mg atau IV atau IM

dengan lambat, dan dapat juga diberikan plasma segar beku, seperti penderita dengan

penyakit hati kronis atau sirosis hati. Bila diduga terdapat fibrinolisis sekunder dapat

diberikan asam traneksamat parenteral (9).

Produksi asam lambung yang meningkat karena “stress” psikis maupun fisik

dapat ditekan dengan pemberian antasida dan antagonis reseptor H2 (ranitidine,

famotidin atau roksatidin). Antasida diharapkan dapat menekan asam lambung yang

sudah berada di lambung, sedangkan antagonis reseptor H2 diharapkan dapat

menekan produksi asam lambung. Ranitidine yang diberikan sebanyak 50 mg

dicairkan 50 ml D5W setiap 6 jam/IV, simetidin 300 mg dicairkan dalam dosis

intermitten 50 mg D5W setiap 6 jam/IV atau sebagai infus IV continue 50 mg/jam,

hasil terbaik tercapai bila pH asam lambung = 4. Selain itu, dengan pertimbangan

proses koagulasi akan terganggu oleh suasana asam, maka diberikan antisekresi asam

lambung yang berupa penghambat pompa proton (omeprazol, lanzoprazol,

pantoprazol) (10).

Pemberian obat yang vasoaktif akan mengurangi aliran darah splanknikus

sehingga diharapkan proses perdarahan dapat berkurang atau berhenti. Dapat dipakai

vasopressin, somatostatin atau okreotid. Vasopressin bekerja sebagai vasokonstriktor

pembuluh splanknik dengan dosis 0,2-0,6 unit/menit, serta hati-hati karena dapat
26

terjadi hipersensitif dan mempengaruhi output urine karena sifat antidiuretik-nya.

Sedangkan somatostatin dan okreotid melalui efek menghambat sekresi asam

lambung dan pepsin yang akan menurunkan aliran darah di lambung dan merangsang

sekresi mucus lambung (11).

Salah satu yang dikhawatirkan pada pasien sirosis hepatis yang mengalami

perdarahan varises esofagus adalah terjadinya koma hepatik akibat pencernaan darah

pasien di dalam kolon, sehingga diberikan neomisin 4x500mg untuk mensterilisasi

usus agar bakteri yang mencerna darah dapat mati, tetapi sekarang penggunaan

neomisin sudah ditinggalkan. Selain itu dapat diberikan juga pencahar atau laksan 4x1

sendok makan agar darah yang ada dalam saluran pencernaan pasien dapat dikeluarkan

dengan segera (9, 10).

Pemasangan Sengstaken-Blakemore tube (SB tube) dapat dikerjakan pada kasus

yang diduga terdapat varises esophagus. SB tube terdiri dari 2 balon (lambung dan

esophagus). Balon lambung berfungsi sebagai jangkar agar SB tube tidak keluar saat

balon esophagus dikembangkan. Balon esophagus tersebut secara mekanik menekan

langsung pembuluh darah varises yang robek dan berdarah (10,11).

Harus dipersiapkan jalur intravena yang adekuat untuk transfusi (jangan

dilakukan pada vena yang terlalu kecil). Resusitasi dapat dimulai dengan larutan NaCl

fisiologis dan bila terdapat tanda – tanda gangguan sirkulasi perifer ( pre-syok / syok )

dapat diberikan volume expander sebelum cairan definitif (darah) tersedia. Pada

perdarahan masif, harus terpasang monitor vena sentral (CVP). Transfusi diberikan

sesuai kebutuhan, antara lain sebagai pengganti volume intravaskuler, perbaikan kadar

hemoglobin atau suplementasi faktor koagulasi. Pada perdarahan aktif dan masif,

darah lengkap (WB) dapat merupakan pilihan utama karena masih mengandung factor

pembekuan, di samping dapat memenuhi kebutuhan koreksi volume intravaskuler

(11).
27

Bila kebutuhan koreksi volume sudah terpenuhi oleh resusitasi cairan fisiologis

peningkatan kadar hemoglobin dapat dipenuhi melalui transfusi PRC dan bila masih

diperlukan faktor pembekuan, dapat diberikan plasma beku segar (Fresh Frozen

Plasma). Pada umumnya, indikasi melakukan transfusi jika kadar hemoglobin <10 gr /

dl dan hematokrit <30 % yang disertai dengan adanya gangguan hemodinamik.

Parameter keberhasilan resusitasi adalah terjaminnya tekanan vena sentral antara 7-10

mmHg atau diuresis lebih dari 0,5-1 ml / kgBB / jam (9, 11).

Penatalaksanaan terakhir bila pendarahan masih terus berlangsung atau masuk ke

dalam keadaan kegawatdaruratan, dan prosedur diatas sudah dijalankan semua adalah

dilakukan pembedahan seperti reseksi lambung (antrektomi), gastrektomi,

gastroentrostomi; vagotomi (10, 11).

E. Komplikasi

Komplikasi yang ditimbulkan oleh hematemesis melena adalah : syok

hipovolemik, aspirasi pneumonia, gagal ginjal akut, syndrome hepatorenal, koma

hepatikum, dan anemia (12).

2. ANEMIA

A. Definisi

Secara fungsional, anemia diartikan sebagai penurunan jumlah eritrosit

sehingga eritrosit tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen

dalam jumlah yang cukup ke jaringan.3 Anemia dapat didefinisikan pula sebagai

berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah, hemoglobin,

dan volume hematokrit per 100 ml darah.4 Namun, kadar normal hemoglobin dan

eritrosit sangat bervariasi sesuai dengan usia, jenis kelamin, ketinggian tempat

tinggal dari permukaan laut, serta keadaan tertentu seperti kehamilan. Anemia

bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu gambaran perubahan patofisiologi


28

yang didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang.

Karena sulitnya menentukan kadar hemoglobin normal akibat variasi usia,

jenis kelamin, tempat tinggal, dan lain-lain, maka anemia telah didefinisikan oleh

WHO berdasarkan kadar hemoglobin berikut ini :1

Kelompok Kriteria Anemia (Hb)


Anak 6-59 bulan < 11 g/dl
Anak 5-11 tahun < 11,5 g/dl
Anak 12-14 tahun < 12 g/dl
Laki-laki dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl

B. Epidemiologi

Berdasarkan data WHO sejak tahun 1993 hingga 2005, anemia diderita oleh

1,62 milyar orang di dunia. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia belum

sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara merupakan

salah satu daerah yang dikategorikan berat dalam prevalensi anemia, termasuk

Indonesia, yang tergambar pada gambar di bawah ini dengan warna merah tua.

C. Fisiologi Eritrosit

Setiap milliliter darah mengandung sekitar 5 milyar eritrosit, sehingga

secara klinis kadar eritrosit dilaporkan sebagai 5 juta sel/mm 3. Eritrosit adalah sel

berbentuk piringan bikonkaf dengan diameter 8µm, ketebalan 2 µm di tepi luar,

dan ketebalan 1 µm di bagian tengah. Bentuk bikonkaf akan menghasilkan luas

permukaan yang lebih besar untuk difusi oksigen menembus membrane

dibandingkan dengan bentuk sel bulat dengan volume yang sama. Tipisnya sel

memungkinkan oksigen cepat berdifusi antara bagian paling dalam sel dan

eksterior sel. Ciri anatomik terpenting yang memungkinkan eritrosit mengangkut

oksigen adalah adanya hemoglobin di dalamnya.5


29

Molekul hemoglobin memiliki dua bagian :


1. Globin, yaitu suatu protein yang terbentuk dari empat rantai polipeptida yang
sangat berlipat-lipat.
2. Gugus heme, yaitu empat gugus non protein yang mengandung besi yang
masing-masing berikatan dengan salah satu polipeptida. Masing-masing dari
keempat atom besi dapat berikatan secara reversible dengan satu molekul
oksigen. Oleh karena itu, satu molekul hemoglobin dapat mengambil empat
molekul oksigen di paru. Sekitar 98,5% oksigen di dalam darah terikat ke
hemoglobin.5

Selain mengangkut oksigen, hemoglobin juga dapat berikatan dengan :


a. Karbon dioksida (CO2).
Hemoglobin membantu mengangkut gas ini dari sel jaringan kembali ke paru.
b. Bagian hidrogen asam (H+) dari asam karbonat terionisasi.
Zat ini dihasilkan di tingkat jaringan dari karbon dioksida. Hemoglobin
menyangga asam ini sehingga asam ini tidak banyak menyebabkan perubahan
pH darah.
c. Karbon monoksida (CO).
Gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat di dalam darah, tetapi jika
terhirup maka gas ini cenderung menempati bagian hemoglobin yang
berikatan dengan oksigen sehingga terjadi keracunan CO.
d. Nitrat oksida (NO)
Di paru, NO yang bersifat vasodilator berikatan dengan hemoglobin. NO ini
dibebaskan di jaringan, tempat zat ini melemaskan dan melebarkan arteriol
local. Vasodilatasi ini membantu menjamin bahwa darah kaya oksigen dapat
mengalir lancar dan juga membantu menstabilkan tekanan darah.5
Oleh sebab itu, hemoglobin berperan besar dalam transport oksigen, sekaligus
memberi kontribusi signifikan pada transport karbon dioksida dan kemampuan darah
menyangga pH. Selain itu, dengan mengangkut vasodilatornya sendiri, hemoglobin
membantu menyalurkan oksigen yang dibawanya.5
Untuk memaksimalkan kandungan hemoglobin, satu eritrosit dipenuhi oleh lebih
dari 250 juta molekul hemoglobin, menyingkirkan hamper semua organel yang lain. Sel
darah merah tidak mengandung nucleus, organel, atau ribosom. Selama perkembangan
sel, struktur-struktur ini dikeluarkan untuk menyediakan ruang lebih banyak bagi
hemoglobin.5
30

Selama perkembangan intra uterus, eritrosit mula-mula dibentuk oleh yolk sac dan
kemudian oleh hati dan limpa, sampai sumsum tulang terbentuk dan mengambil alih
produksi eritrosit secara eksklusif. Pada anak-anak, sebagian besar tulang terisi oleh
sumsum tulang merah yang mampu memproduksi sel darah. Namun, seiring pertambahan
usia, sumsum tulang kuning yang tidak mampu melakukan eritropoiesis perlahan-lahan
menggantikan sumsum merah, yang tersisa hanya di beberapa tempat, seperti sternum,
iga, dan ujung-ujung proksimal tulang panjang di ekstremitas.5
Di dalam sumsum merah terdapat pluripotent stem cell yang belum
berdiferensiasi, yang kemudian secara terus-menerus membelah diri dan berdiferensiasi
untuk menghasilkan semua jenis sel darah. Myeloid stem cell adalah stem cell yang telah
berdiferensiasi sebagian yang akan berkembang menjadi eritrosit dan beberapa jenis sel
darah lainnya. Eritroblas merupakan sel yang masih memiliki nucleus dan organel-
organel sel. Retikulosit merupakan eritrosit imatur yang masih mengandung organel
remnants. Eritrosit matur sudah tidak memiliki nucleus maupun organel, dan kemudian
akan dilepaskan ke dalam kapiler yang menembus sumsum tulang.5
Pada keadaan penurunan perfusi oksigen ke ginjal, misalnya pada hipoksia atau
proses hemolisis, maka ginjal akan terangsang untuk mengeluarkan eritropoietin ke
dalam darah, sehingga terjadi eritropoiesis di sumsum tulang. Eritropoietin akan
merangsang maturasi dan proliferasi eritrosit. Peningkatan aktivitas eritropoietik ini
meningkatkan jumlah eritrosit di dalam darah, sehingga kapasitas darah mengangkut
oksigen meningkat dan penyaluran oksigen ke jaringan kembali normal. Jika penyaluran
oksigen ke ginjal telah kembali normal, maka sekresi eritropoietin akan dihentikan
sampai dibutuhkan kembali. Dengan mekanisme ini, produksi eritrosit dalam keadaan
normal disesuaikan dengan kerusakan atau kehilangan sel-sel tersebut, sehingga
kemampuan darah mengangkut oksigen relatif konstan. Pada kehilangan eritrosit yang
berlebihan, misalnya pada perdarahan atau kerusakan abnormal eritrosit muda dalam
darah, laju eritropoiesis dapat meningkat menjadi lebih dari enam kali lipat nilai normal.6
Siklus hidup sel darah merah dijelaskan pada gambar berikut :
31

Gambar 2.5. Siklus hidup eritrosit6

Setelah dibentuk dan di sumsum tulang, sel darah merah akan dikeluarkan menuju
aliran darah. Tanpa DNA dan RNA, eritrosit tidak dapat membentuk protein untuk
memperbaiki sel, tumbuh, dan membelah atau memperbarui enzim-enzimnya. Eritrosit
hanya bertahan hidup selama sekitar 120 hari, dengan kecepatan penghancuran rata-rata
dua hingga tiga juta sel per detik.5
Seiring dengan proses penuaan, membrane plasma eritrosit yang tidak dapat
diperbaiki akan menjadi rapuh dan mudah pecah sewaktu sel terjepit melewati titik-titik
penyempitan di dalam system vaskular. Sebagian besar eritrosit tua dihancurkan di limpa,
karena jaringan kapiler organ ini yang sempit dan berkelok-kelok merusak sel-sel rapuh
ini. Sel darah merah dari sirkulasi akan keluar melalui arteriol di pulpa limpa, kemudian
melalui pori-pori kecil akan memasuki sinus limpa. Di dalam sinus limpa inilah eritrosit
dihancurkan, kemudian fragmen selnya difagosit oleh makrofag yang ada di sumsum
tulang, nodus limfoid, limpa, dan hati. Heme yang dihasilkan pada proses hemolisis akan
diubah menjadi bilirubin, sedangkan zat besi akan digunakan kembali untuk
pembentukan hemoglobin.6
Sekitar dua pertiga zat besi yang ada di dalam tubuh terkandung di dalam
hemoglobin. Seperempatnya ada dalam bentuk zat besi simpanan (ferritin, hemosiderin),
dan sisanya sebagai zat besi fungsional (mioglobin dan enzim-enzim yang mengandung
besi). Tubuh akan kehilangan zat besi sebesar 1-2 mg/hari. Penyerapan zat besi di usus
32

terutama terjadi di duodenum dan bervariasi jumlahnya tergantung kebutuhan tubuh.


Tubuh akan menyerap 3-15 persen zat besi dari makanan, dan dapat meningkat hingga 25
persen pada defisiensi zat besi. Konsumsi zat besi minimum yang direkomendasikan
paling sedikit adalah 10-20 mg/hari.6
Zat besi diabsorpsi dari duodenum dari makanan, terutama dari hemoglobin dan
mioglobin pada daging dan ikan. Zat besi tersebut sebagian besar dalam bentuk Fe 2+,
yang akan langsung diabsorpsi dalam bentuk heme- Fe 2+. Setelah memasuki sel mukosa,
enzim heme oksigenase akan melepaskan heme dan Fe2+, kemudian Fe2+ akan dioksidasi
menjadi Fe3+. Bentuk tersebut dapat tetap berada di dalam sel mukosa dalam bentuk
ferritin-Fe3+ untuk kemudian dikembalikan lagi ke lumen usus pada saat regenerasi sel,
atau dapat pula masuk ke sirkulasi darah.6
Zat besi yang tidak terikat dengan heme hanya dapat diabsorpsi oleh sel mukosa
usus dalam bentuk Fe2+, sehingga Fe3+ yang tidak terikat heme harus terlebih dahulu
direduksi menjadi Fe2+ oleh enzim ferri reduktase dan askorbat yang berada di permukaan
sel mukosa usus. Kemudian Fe2+ diabsorpsi melalui proses transport aktif sekunder, yaitu
melalui protein simport Fe2+-H+. Dalam proses ini, pH kimus yang rendah berperan
penting untuk meningkatkan kadar H+ sehingga transport Fe2+ ke dalam sel mukosa
meningkat, serta untuk memisahkan zat besi dari kompleks makanan di usus.6
Penyerapan zat besi ke dalam aliran darah diregulasi oleh mukosa usus. Ketika
terjadi defisiensi zat besi, aconitase (protein regulasi zat besi) yang berada di sitosol akan
berikatan dengan ferritin-mRNA, sehingga terjadi inhibisi translasi ferritin. Maka, jumlah
Fe2+ yang dapat memasuki aliran darah akan meningkat.6
Fe2+ di dalam darah dioksidasi oleh ceruroplasmin menjadi Fe3+ yang kemudian
berikatan dengan apotransferin, yaitu suatu protein yang berperan dalam transport zat
besi di dalam plasma, dan membentuk transferin. Transferin akan mengalami endositosis
oleh eritroblas dan sel-sel hepar melalui reseptor transferin. Setelah zat besi diabsorpsi
oleh sel, maka apotransferin akan terlepas dari zat besi sehingga memiliki kemampuan
kembali untuk mengikat zat besi dari usus dan makrofag.6
Feritin merupakan salah satu bentuk terbanyak dari zat besi simpanan di dalam
tubuh, dan mengandung hingga 4500 ion Fe3+, sehingga dapat menyediakan zat besi
secara cepat bagi tubuh (sekitar 600 mg zat besi), dimana kemampuan hemosiderin dalam
menyediakan zat besi jauh lebih lambat (sekitar 250 mg zat besi di dalam makrofag di
hepar dan sumsum tulang). Hb-Fe dan heme-Fe dikeluarkan dari eritroblas yang rusak
dan sel darah merah yang mengalami hemolisis, kemudian berikatan dengan haptoglobin
33

dan hemopexin, lalu difagosit oleh makrofag di sumsum tulang, hepar, dan limpa,
kemudian 97 persen zat besi akan digunakan kembali.6
Vitamin B12 (kobalamin) dan asam folat juga dibutuhkan dalam proses
eritropoiesis, terutama berperan dalam sintesis DNA. Berikut ini peran zat-zat tersebut
dalam proses eritropoiesis :

Gambar 2.7. Peran asam folat dan vitamin B12 dalam eritropoiesis

D. Etiologi dan Klasifikasi Anemia

Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan :

1). Etiopatogenesis

A. Gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang


1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a) Anemia defisiensi besi
b) Anemia defisiensi asam folat
c) Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a) Anemia akibat penyakit kronik
b) Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a) Anemia aplastik
b) Anemia mieloplastik
c) Anemia pada keganasan hematologi
d) Anemia diseritropoietik
e) Anemia pada sindrom mielodisplastik
4. Anemia akibat kekurangan eritropoietin
34

B. Anemia hemoragik
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a) Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
 Anemia akibat defisiensi G6PD
c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
 Thalassemia
 Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a) Anemia hemolitik autoimun
b) Anemia hemolitik mikroangiopati
c) Lainnya
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang
kompleks

2). Gambaran morfologik (melalui indeks eritrosit atau hapusan darah tepi)

a) Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg


b) Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg
c) Anemia makrositer bila MVC > 95 fl

Penggabungan penggunaan klasifikasi etiopatogenesis dan morfologi akan


sangat menolong dalam mengetahui penyebab anemia. Berikut ini klasifikasi
anemia berdasarkan morfologi dan etiologi.

a. Anemia hipokromik mikrositer


 Anemia Defisiensi Besi
 Thalasemia Mayor
 Anemia akibat Penyakit Kronik
 Anemia Sideroblastik
b. Anemia normokromik normositer
 Anemia pasca perdarahan akut
 Anemia aplastik
35

 Anemia hemolitik didapat


 Anemia akibat penyakit kronik
 Anemia pada gagal ginjal kronik
 Anemia pada sindrom mielodisplastik
 Anemia pada keganasan hematologik
c. Anemia makrositer
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik
E. Patofisiologi

1. Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan zat
besi (Fe), yang disebabkan oleh beberapa hal berikut :3
a. Kurangnya asupan Fe
 Diet tidak adekuat, misalnya karena rendahnya asupan besi total
dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang dikonsumsi kurang
baik (makanan banyak serat, rendah daging, rendah vitamin C)
 Gangguan absorpsi zat besi, misalnya pada gastrektomi, colitis
kronik, atau achlorhydria
b. Kehilangan Fe
 Perdarahan saluran cerna
 Perdarahan saluran kemih
 Hemoglobinuria
 Hemosiderosis pulmonari idiopatik
 Telangiektasia hemoragik herediter
 Gangguan hemostasis
 Infeksi cacing tambang
c. Meningkatnya kebutuhan Fe
 Bayi prematur
36

 Anak-anak dalam pertumbuhan


 Ibu hamil dan menyusui
 Laktasi3
Defisiensi zat besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif zat besi yang
telah berlangsung lama. Terdapat tiga stadium defisiensi zat besi, yaitu :7
1) Deplesi besi (iron depleted state)
Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk eritropoiesis
belum terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan
absorpsi besi dari usus, dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang
berkurang.
2) Iron deficient erythropoiesis
Cadangan Fe dalam tubuh kosong, tetap belum menyebabkan anemia secara
laboratorik karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang
melakukan mekanisme mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang
terbentuk menjadi tercabik-cabik, bahkan ditemukan normoblas yang tidak
memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu, kelainan pertama yang dapat
dijumpai adalah peningkatan kadar free protoporfirin dalam eritrosit, saturasi
transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter
lain yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.
3) Anemia defisiensi besi
Bila besi terus berkurang, eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga

kadar hemoglobin menurun diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya

terjadi anemia hipokrom mikrositer. Pada saat ini, terjadi pula kekurangan

besi di epitel, kuku, dan beberapa enzim sehingga menimbulkan berbagai

gejala

2. Anemia penyakit kronik

Merupakan anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi akibat

infeksi kronis, peradangan, trauma, atau penyakit neoplastik yang telah

berlangsung 1-2 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal, dan endokrin.

Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolisme besi, sehingga terjadi

hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Anemia penyakit kronik


37

dapat disebabkan oleh beberapa penyakit atau kondisi, seperti infeksi kronik

(infeksi paru, endokarditis bakterial), inflamasi kronik (artritis reumatoid,

demam reumatik), penyakit hati alkoholik, gagal jantung kongestif, dan

idiopatik.3

Secara garis besar, patogenensis anemia penyakit kronis dititik beratkan

pada 3 abnormalitas utama :7

1) Ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit


2) Adanya respon sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau
menurun
3) Gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi
Terdapatnya peradangan dapat mengacaukan interpretasi pemeriksaan
status besi. Proses terjadinya radang merupakan respon fisiologis tubuh
terhadap berbagai rangsangan termasuk infeksi dan trauma. Pada fase awal
proses inflamasi terjadi induksi fase akut oleh makrofag yang teraktivasi
berupa penglepasan sitokin radang seperti Tumor Necrotizing Factor (TNF)-α,
Interleukin (IL)-1, IL- 6 dan IL-8. Interleukin-1 menyebabkan absorbsi besi
berkurang akibat pengelepasan besi ke dalam sirkulasi terhambat, produksi
protein fase akut (PFA), lekositosis, dan demam. Hal itu dikaitkan dengan IL-
1 karena episode tersebut kadarnya meningkat dan berdampak menekan
eritropoesis. Bila eritropoesis tertekan, maka kebutuhan besi akan berkurang,
sehingga absorbsi besi di usus menjadi menurun. IL-1 bersifat mengaktifasi
sel monosit dan makrofag, menyebabkan ambilan besi serum meningkat.
TNF-α juga berasal dari makrofag dam berefek sama, yaitu menekan
eritropoesis melalui penghambatan eritropoetin. IL-6 menyebabkan
hipoferemia dengan menghambat pembebasan cadangan besi jaringan ke
dalam darah.7
Pada respon fase akut sistemik diperlihatkan bahwa akibat induksi IL-1,
TNF-α, dan IL-6, maka hepatosit akan memproduksi secara berlebihan
beberapa PFA utama seperti C-reactive protein, serum amyloid A (SAA) dan
fibrinogen. Selain itu terjadi pula perangsangan hypothalamus yang berefek
menimbulkan demam serta perangsangan di sumbu hipothalmus-
kortikosteroid di bawah pengaruh adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang
berefek sebagai akibat umpan balik negatif terhadap induksi PFA oleh
38

hepatosit. Selain CRP, SAA, dan fibrinogen, protein fase akut lain yang
berhubungan penting dengan metabolisme besi antara lain: apoferritin,
transferin, albumin dan prealbumin.7
Pada proses infllamasi sintesis apoferritin oleh hepatosit dan makrofag
teraktivasi meningkat. Kadar fibrinogen meningkat 2–3 kali normal,
sedangkan transferin, albumin dan prealbumin merupakan protein fase akut
yang kadarnya justru menurun saat proses inflamasi.7
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi
dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh karena itu
penentuan parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya.
Rendahnya besi di anemia penyakit kronis disebabkan aktifitas mobilisasi besi
sistem retikuloendotelial ke plasma menurun, sedangkan penurunan saturasi
transferin diakibatkan oleh degradasi transferin yang meningkat. Kadar feritin
pada keadaan ini juga meningkat melalui mekanisme yang sama. Berbeda
dengan anemia defisiensi, gangguan metabolisme besi disebabkan karena
kurangnya asupan besi atau tidak terpenuhinya kebutuhan besi sebagai akibat
meningkatnya kebutuhan besi atau perdarahan

3. Anemia megaloblastik

Anemia megaloblastik adalah anemia yang disebabkan oleh abnormalitas

hematopoiesis dengan karakteristik dismaturasi nukleus dan sitoplasma sel

myeloid dan eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA. Penyebab

anemia megaloblastik adalah:3

4. Defisiensi asam folat

a. Asupan kurang
i. Gangguan nutrisi : alkoholisme, bayi premature, orang
tua, hemodialisis, anoreksia nervosa.
ii. Malabsorpsi : alkoholisme, gastrektomi, reseksi usus
halus, Crohn’s disease, scleroderma, obat anti konvulsan,
hipotiroidisme.
b. Peningkatan kebutuhan, misalnya pada kehamilan, anemia
hemolitik, keganasan, hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa,
eritropoiesis yang tidak efektif.
39

c. Gangguan metabolisme asam folat, misalnya akibat obat-obatan


penghambat dihidrofolat reduktase (metotreksat, pirimetamin,
triamteren, pentamidin, trimetoprim), alkoholisme, dan defisiensi
enzim.
d. Penurunan cadangan asam folat di hati, misalnya pada
alkoholisme, sirosis non alkoholik, dan hepatoma.
e. Obat-obatan yang mengganggu metabolism DNA, seperti
antagonis purin, antagonis pirimidin, prokarbazin, hidroksiurea,
acyclovir, dan zidovudin.
f. Gangguan metabolic, misalnya pada asiduria urotik herediter dan
sindrom Lesch-Nyhan.

5. Defisiensi vitamin B12 (kobalamin)

a. Asupan kurang, misalnya pada vegetarian.


b. Malabsorpsi
i. Dewasa : anemia pernisiosa, gastrektomi, gastritis
atrofikan, Crohn’s disease, parasit, scleroderma, obat-
obatan.
ii. Anak : anemia pernisiosa, gangguan sekresi faktor
intrinsic lambung, Imerslund-Grasbeck syndrome.
c. Gangguan metabolisme seluler, misalnya akibat defisiensi enzim,
abnormalitas protein pembawa kobalamin (transkobalamin II),
paparan NO yang berlangsung lama.3
Defisiensi kobalamin menyebabkan defisiensi metionin intraseluler,
kemudian menghambat pembentukan folat tereduksi dalam sel. Folat intrasel yang
berkurang akan menurunkan prekurson tidimilat yang selanjutnya akan
mengganggu sintesis DNA. Model ini disebut sebagai methylfolate trap
hypothesis karena defisiensi kobalamin mengakibatkan penumpukan 5-metil
tetrahidrofolat.3
Defisiensi kobalamin yang berlangsung lama mengganggu perubahan
propionate menjadi suksinil CoA yang mengakibatkan gangguan sintesis myelin
pada susunan saraf pusat. Proses demyelinisasi ini menyebabkan kelainan medulla
spinalis dan gangguan neurologis. Sebelum diabsorpsi, asam folat harus diubah
menjadi monoglutamat. Bentuk folat tereduksi (tetrahidrofolat, FH4) merupakan
40

koenzim aktif. Defisiensi folat mengakibatkan penurunan FH4 intrasel yang akan
mengganggu sintesis tidimilat yang selanjutnya akan mengganggu sintesis DNA.3
Ketidakmampuan sel untuk mensintesis DNA dalam jumlah yang
memadai akan memperlambat reproduksi sel, tetapi tidak menghalangi kelebihan
pembentukan RNA oleh DNA dalam sel-sel yang berhasil diproduksi. Akibatnya,
jumlah RNA dalam setiap sel akan melebihi normal, menyebabkan produksi
hemoglobin sitoplasmik dan bahan-bahan lainnya berlebihan, dan membuat sel
menjadi besar.3
6. Anemia hemolitik

Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh peningkatan

destruksi eritrosit yang melebihi kemampuan kompensasi eritropoiesis

sumsum tulang. Pada prinsipnya anema hemolitik dapat terjadi akibat defek

molekular hemoglobinopati atau enzimopati, abnormalitas struktur dan fungsi

membran, dan faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi.

Klasifikasi anemia hemolitik berdasarkan etiologinya.

 Anemia hemolitik herediter

a. Enzimopati
b. Hemoglobinopati
c. Membranopati

 Anemia hemolitik didapat

a. Anemia hemolitik imun


b. Mikroangiopati
c. Infeksi
Hemolisis dapat terjadi di ekstravaskular dan intravaskular. Sebagian besar
kondisi hemolitik terjadi di ekstravaskular, dimana eritrosit disingkirkan oleh
makrofag di sistem retikuloendotelial, terutama limpa. Pada hemolisis
intravaskular, sel darah merah akan terdestruksi dalam sirkulasi, sehingga
hemoglobin terlepas kemudian terikat pada haptoglobin plasma, tetapi mengalami
saturasi. Hb plasma bebas ini difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan masuk ke urin,
meskipun sebagian kecil direabsorpsi oleh tubulus renal. Dalam sel tubulus renal,
Hb pecah dan terdeposit di sel sebagai hemosiderin. Sebagian Hb plasma yang
41

bebas dioksidasi menjadi methemoglobin, yang terpecah lagi menjadi globin dan
Heme-Fe.7
Hemopexin plasma mengikat heme-Fe, namun jika kapasitas
pengikatannya berlebihan, maka heme-Fe bersatu dengan albumin membentuk
metheamalbumin. Hati berperan penting dalam mengeliminasi Hb yang terikat
dengan haptoglobin dan haemopexin dan sisa Hb bebas.7
7. Anemia aplastic

Anemia aplastik merupakan anemia dengan karakteristik adanya pansitopenia

disertai hipoplasia / aplasia sumsum tulang tanpa adanya penyakit primer

yang mensupresi atau menginfiltrasi jaringan hematopoietik. Etiologi anemia

aplastik adalah sebagai berikut:3

 Didapat

 Zat kimia dan Fisika


o Zat yang selalu menyebabkan aplasia pada dosis tertentu :
radiasi, bensen, arsen, sulfur, nitrogen mustard, antimetabolit,
antimitotik : kolsisin, daunorubisin, adriamisin
o Zat yang kadang-kadang mnyebabkan hipoplasia:
kloramfenicol, kuinakrin, metilfenil, hidantoin, trimetadion,
fenilbutazon, senyawa emas
 Infeksi virus : hepatitis, Epstein Barr, HIV, Dengue
 Infeksi mikobakterium
 Idiopatik
 Familial : Sindroma Fanconi
Kegagalan produksi eritrosit, leukosit, dan trombosit merupakan kelainan
dasar pada anemia aplastik, yang menurut penelitian disebabkan oleh sel T
sitotoksik yang teraktivasi. Sel T tersebut akan menghasilkan interferon gamma
(IFN-γ) dan tumor necrosis factor (TNF) yang bersifat menginhibisi langsung sel-
sel hematopoietik.7
Supresi hematopoietik oleh IFN-γ dan TNF juga merangsang reseptor Fas
pada sel hematopoietik CD34 sehingga menghasilkan 3 proses :
1. Perangsangan reseptor Fas akan menginduksi terjadinya apoptosis.
42

2. Terjadi induksi produksi nitric oxide synthetase dan nitrit oksida oleh
sumsum tulang sehingga terjadi sitotoksisitas yang diperantarai system
imun.
3. Perangsang reseptor Fas akan mengaktivasi jalur intraseluler yang
menyebabkan penghentian siklus sel.
Sel T sitotoksik juga menghasilkan interleukin-2 (IL-2) yang berfungsi mengaktifkan
klon-klon sel T yang kemudian juga akan mengeluarkan TNF dan IFN-γ dan
menginhibisi hematopoietik.7

F. Manifestasi Klinis

Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simstomatik) apbila kadar


hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dL. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung
pada : derajat penurunan hemoglobin, kecepartan penurunan hemoglobin, usia, adanya
kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga
jenis gejala, yaitu:
a) Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target
serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan
hemoglobin sampai kadar tertentu ( HB<7). Sindrom anemia terdiri dari rasa
lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang –
kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan sispepsia. Pada pemeriksaan,
pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjunctiva, mukosa mulut,
telapak tangn dan jaringan dibawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak
spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak
sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7 g/dL).
b) Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :
 Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis,
dan kuku sendok (koilonychia).
 Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi
vitamin B12.
 Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali.
 Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi.
c) Gejala penyakit dasar
43

Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Contohnya, pada anemia
akibat infeksi cacing tambang dapat ditemukan keluhan sakit perut,
pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan.

G. Penegakkan Diagnosis

Penegakan diagnosis anemia dapat ditentukan melalui anamnesa, pemeriksaan


fisik, dan pemerikksaan penunjang. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tanda seperti yang tertera di bagian manifestasi klinis. Sementara untuk
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan beberapa macam pemeriksaan yang dapat
digolongkan sebagai berikut:
1. Sediaan apus darah tepi
 Ukuran sel
 Anisositosis
 Poikilositosis
 Polikromasia
Sediaan apusan darah tepi akan memberikan informasi yang penting apakah ada
gangguan atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah anisositosis
menunjukkan ukuran eritrositnya bervariasi, sedangkan poikilositosis
menunjukkan adanya bentuk dari eritrosit yang beraneka ragam.
2. Hitung retikulosit
Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi anemia.
Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari sumsum
tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan dimetabolisme dalam
waktu 24 -36 jam (waktu hidup retikulosit dalam sirkulasi). Kadar normal
retijulosit 1 – 2% yang menunjukkan penggantian harian sekitar 0,8 – 1% dari
jumlah sel darah merah isirkulasi.
Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah. Nilai
retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematrokit pasien
berdasarkan usia, gender, serta koreksi lain bila ditemukan pelepasan retikulosit
prematur (polikromasia). Hal ini disebabkan karena waktu dari retikulosit
premature lebih panjang sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang
seolah olah tinggi. Faktor koreksi HT 35% : 1,5 HT 25%:2,0 HT 15% : 2,5.
3. Persediaan dan penyimpanan besi
44

 Kadar Fe serum (N: 9 -27 µmol/liter)


 Total iron binding capacity (N: 54 – 64 µmol/liter)
 Feritin serum (N: perempuan : 30 µmol/liter, laki –laki : 100 µmol/liter)
Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC dikali
100 ( N: 25 – 50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen saturasi
transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya pada pukul 09.00 dan
pukul 10.00.
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun, feritin
jga merupakan suatu rekatan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik akut
maupun kronis, kadarnya dapat meningkat.
4. Pemeriksaan sumsung tulang
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada
sumsum tulang misalnya yelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit
infiltratif. Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel
(myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dan dihitung jenis sel –sel berarti pada
sumsum tulang ( ratio eritroit dan granuloid).
Pemeriksaan sumsung tulang dibagi menjadi 2 cara:
Aspirasi : EG ratio, Morfologi sel, Pewarnaan Fe
Biopsi : Selularitas, Morfologi
5. Pemeriksaan complete blood count (CBC )
Selain dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokrit, indeks eritrosit dapat
digunakan untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sibtesa
hemoglobin. Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila >100 dapat
disebut sebagai makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya
defek dalam sintesa hemoglobin (hipokromia).
Dalam hal yang lebih sederhana, anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang dapat disederhanakan dalam tabel dibawah ini:
45

Pembagian anemia berdasarkan gambaran sel darah merah :


46
47

Kriteria diagnosa anemia :


I. Anemia defisiensi besi menurut WHO
 Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
 Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% ( normal 32-35%)
 Kadar Fe serum < 50 µg/dL (normal 80 – 180 µg/dL)
 Saturasi transferin < 15% (normal 20 – 50%)
Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit nomor 1,3, dan 4. Tes yang paling
efisien untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu feritin serum. Bila sarana
terbatas, diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan: anemia tanpa perdarahan, tanpa
48

organomegali, gambaran darah tepi, mikrositik, hipokromik, anisositosis, sel


target, respons terhadap pemberian terapi besi.
II. Anemia penyakit kronik
Diagnosis untuk anemia akibat penyakit kronik dibuat bila:
 Dijumpai anemia ringan sampai sedang pada setting penyakit dasar yang
sesuai ( seperti disebutkan pada tabel 3-4 di depan)
 Anemia hipokromik mikrositer ringan atau normokromik normositer
 Besi serum menurun disertai dengan TIBC menurun dengan cadangan besi
sumsum tulang masih positif
 Dengan menyingkirkan adanya gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik dan
hipotiroid
III. Anemia megaloblastik
Diagnosis anemia megaloblastik dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan klinik
dimana terjadi anemia, makrositer pada sarah tepi yang disertai sel megaloblast
dalam sumsum tulang. Pada defisiensi vitamin B 12 dijumpai gejala neurologik,
sedangkan pasa defisiensi asam folat tidak dijumpai gejala neurologik.
IV. Anemia hemolitik
Penegakan anemia hemolitik dilakukan dalam dua tahap, yaitu menentukan
adanya anemia hemolitik bila terdapat anemia yang disertai dengan tanda-tanda
destruksi eritrosit, dan/atau tanda tanda peningkatan eritropoesis. Sedangkan
menurut wintrobe, memberikan petunjuk praktis anemia hemolitik patut dicurigai
bila didapatkan:
 Tanda tanda destruksi eritrosit berlebihan bersamaan dengan tanda-tanda
peningkatan eritropoiesis. Hal ini ditandai oleh anemia, retikulosis dan
peningkatan bilirubin indirek dalam darah. Apabila tidak dijumpai tanda
perdarahan ke dalam rongga tubuh atau jaringan maka didiagnosis anemia
hemolitik dapat ditegakkan.
 Anemia persisten disertai retikulositosis tanpa adanya tanda-tanda
perdarahan yang jelas. Jika perdarahan dan pemulihan anemia defisiensi
akibat terapi dapat disingkirkan, diagnosis anemia hemolitik dapat
ditegakkan.
 Apabila terdapat penurunan hemoglobin >1 g/dL dalam waktu satu minggu
serta perdarahan akut dan hemodelusi dapat disingkirkan maka anemia
hemolitik dapat ditegakkan.
 Aapabila dijumpai hemoglobinuria atau tanda hemolisis intravaskuler lain.
49

Menentukan penyebab spesifik anemia hemolitik dimulai dari anamnesis yang


teliti, pemeriksaan apusan darah, dan tes Coombs. Pasien dapat dikelompokkan
menjadi lima kelompok :
a) Kasus dengan diagnosis yang sudah jelas karena adanya pemaparan
terhadap infeksi, bahan kimia, dan bahan fisik.
b) Kasus dengan tes Coombs direk positif ditetapkan sebagai anemia
imunohemolitik.
c) Kasus dengan anemia sferositik disertai tes Coombs negatif.
d) Kaasus dengan kelainan morfologi eritrosit lain seperti yang menjurun
pada thalasemia.
e) Kasus tanpa kelainan morfologi yang khas dan tes Coombs negatif
memerlukan suatu baterai tes penyaring seperti elektroforesis
hemoglobin.
V. Anemia aplastik
Diagnosa anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia atau
bisitopenia di darah tepi dengan hipoplasia sumsum tulang, serta dengan
menyingkirkan adanya infiltrasi atay supresi pada sumsum tulang. Kriteria
diagnosis anemia aplastik menurut international agranulocytosis and aplastic
anemia study group (IAASG) adalah satu dari tiga sebagai berikut :
 Hemoglobin kurang dari 10 gd/dL atau hematokrit kurang dari 30%
 Trombosit kurang dari 50x109//L
 Leukosit kurang dari 3,5 x 109/L atau netrofil kurang dari 1,5 x 10
dengan retikulosit <30x109/l (<1%).
Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat) : penurunan
selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hematopoietik atau
selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal dengan depleso seri granulosit
atau infiltrasi neoplastik. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi
neoplastik.
Pansitopeni karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus diesklusi.
Setelah diagnosa ditegakkan, perlu dilakukan penentuan derajat penyakit dari
anemia apalstik yang berguna untuk menentukan strategi terapi. Kriteria yang
diapakai pada umumnya ialah kriteria Camitta et al. Yang tergolong anemia
apalstik berat (severe aplastic anemia) bial memenuhi kriteria paling sedikit dua
dari tiga :
 Granulosit < 0,5 x 109 /L
50

 Trombosit < 20 x 109 /L


 Corrected reticulocte <1%
Selularitas sumsum tulang tulang < 25% atau selularitas < 50% dengan < 30% sel
sel hematopoietik. Tergolong anemia aplastik sangat berat bila netrofil < 0,2 x 10 9
/L.

H. Penatalaksanaan

1. Anemia defisiensi besi

Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor

penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan

preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab anemia defisiensi besi dapat

diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian

preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih

aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian secara parenteral.

Pemberian parenteral dilakukan, pada pendeita yang tidak dapat memakan

obat peroral atau kebutuhan besinya tidak terpenuhi secara peroral karena ada

gangguan pencernaan. Cara pemberian preparat besi :

a) Preparat besi peroral :


Dosis besi elemntal yang dianjurkan :
 Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan, dianjurkan 1
mg/KgBB/hari
 Bayi 1,5 – 2,0 Kg, 2mg/KgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
 Bayi 1,0 – 1,5 Kg, 3 mg/KgBB/hari diberikan sejak usia 2 minggu
 Bayi < 1 Kg, 4 mg/KgBB/hari, ddiberikan sejak usia 2 minggu
Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dipakai 4 -6
mg/KgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi yang ada
dalam garam ferous maupun feri. Garam ferous sulfat mengandung besi
sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek samping
pada saluran cerna dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat.
Obat diberikan 2 – 3 dosis sehari. Preparat besi ini harus terus diberikan
51

selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratai. Respon terapi pemberian
preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari pemeriksaan laboratorium.
Preparat yang tersedia, yaitu: ferrous sulphat ( sulfat ferosus) : preparat
pilihan pertama ( murah dan efektif). Dosis 3 x 200 mg. Ferrous gluconate,
ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate, harga lebih mahal,
tetapi efektivas dan efek samping bhampir sama.
b) Preparat besi parenteral
Pemberian besi secara parenteral melalui dua cara yaitu secara
intramuskular dalam dan intravena pelan. Efek samping yang ditimbulkan
dapat berbahaya, yaitu reaksi anafilakksis, flebitis, sakit kepala, flushing,
mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop. Indikasi pemberian parenteral:
intoleransi oral berat, kepatuhan berobat kurang, kolitis ulseratif, perlu
peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil trimester akhir).
Kemampuan menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Preparat
yang sering digunakan adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/ml. Dosis berdasarkan :
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB(Kg) x 3
Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol citric acid
complex.

2. Anemia Penyakit Kronik

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam anemia penyakit kronik
berupa:
 Jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan sembuh
dengan sendirinya.
 Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat, atau
vitamin B 12.
 Transfusi jarang diperlukan karena derajat annemia ringan.
 Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan hemoglobin,
tetapi harus diberikan terus menerus.
Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiensi besi pemberian preparat besi
akan meningkatkan hemoglobin, tetapi kenaikan akan berhenti setelah
hemoglobin mencapai kadar 9 – 10 g/dL.
52

3. Anemia Sideroblastik

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan anemia sideroblastik


adalah:
 Terapi untuk anemia sideroblastik herediter bersifat simtomatik dengan
transfusi darah
 Pemberian vitamin B 6 dapat dicoba karena sebagian kecil penderita
responsif terhadap peridoksin.
 Untuk bentuk didapat (RARS) pengobatannya dapat dilihat pada bab
sindroma mielodisplastik.
4. Anemia megaloblastik

Terapi subsitusi/supplement
 Penyebab anemia megaloblastik tersering pada anak adalah defisiensi
asam folat. Terapi dapat digunakan dengan pemberian asam folat.
 Asam folat, diberikan 5 mg/hari per oral selama 4 bulan atau parenteral
dan vitamin C 200 mg/hari.
 Vitamin B12 (bila pemberian terapi asam folat gagal) 15-30 µgi, diberikan
3 -5 kali/minggu sampai Hb normal, ppada anak besar dapat diberikan 100
µg. Bila perlu diteruskan pemberian vitamin B12 tiap bulan.
 Pengobatan penyakit kausal/penyakit primer.
 Transfusi darah bila terdapat indikasi: gagal jantung yang mengancam,
menghadapi tindakan operatif  darah lengkap dosis 10-20
ml/KgBB/hari, PRC pada penderita tanpa perdarahan, whole blood bila
ada kehilangan volume darah, dosis disesuaikan banyaknya darah yang
hilang.
Respons terhadap terapi: retikulosit mulai naik hari 2 -3 dengan puncak pada hari
7 – 8. Hb harus naik 2 – 3 g/dL tiap minggu
.
5. Anemia hemolitik

Tergantung etiologinya :
a) Anemia hemolitik autoimun :
 Glukokortikoid : prednison 40 mg/m2 luuas permukaan tubuh (LPT)/hari.
 Splenektomi : pada kausa yang tidak berespon dengan pemberian
glukoortikoid.
53

 Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak memungkinkan


splenektomi. Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan, kemudian
tappering off, biasanya dikombinasi dengan Prednison 40 mg/m 2 . dosis
prednison diturunkan bertahap dalam waktu 3 bulan.
 Azatioprin : 80mg/m2/hari
 Siklofosfamid : 60 – 75 mg/m2/hari
 Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan.
 Stop obat-obatan yang diduga menjadi penyebab
b) Kelainan kongenital, misalnya thalasemia :
 Transfusi berkala, pertahankan Hb 10 gr%
 Desferal untuk mencegah penumpukan besi. Diberikan bila serum Feritin
mencapai 1000 µg/dL biasanya setelah transfusi ke 12. Dosis inisial 20
mg/KgBB, diberikan 8 – 12 jam infus SC di idnding anterior abddomen,
selama 5 hari/minggu. Diberkan bersamaan dengan vitamin C oral 100 –
200 mg untuk meningkatkan ekskresi Fe. Pada keadaan penumpukan Fe
berat terutama disertai dengan komplikasi jantung dan endokrin,
deferoxamine diberikan 50 mg/KgBB secara infuse kontinue IV.

6. Anemia aplastik

Secara garis besarnya terapi untuk anemia aplastik atas:


 Terapi kausal
 Terapi suportif, dengan menghindari kontak dengan penderita infeksi, isolasi,
menggunakan sabun antiseptik, sikat gigi lunak, obat peunak buang ait besar,
pencegahan menstruasi obat anovulator.
 Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang : terapi untuk merangsang
pertumbuhan sumsum tulang, berupa :
 Anabolik steroid  dapat diberikan oksimetolon atau stanozol.
Oksimetolon diberikan dlam dosis 2 -3 mg/KgBB/hari. Efek terapi tampak
setelah 6 – 12 minggu.
 Rh GM-CSF (rekombinan Human Granulocyte-Macrophage Colony
Stimulating Factor) digunakan untuk meningkatkan jumlah neutrofil,
tetapi harus diberikan terus menerus. Eritropoietin juga dapat diberikan
untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah merah.
54

 Kortikosteroid : prednison 1 -2 mg/KgBB/hari diberikan maksimum 3


bulan. Atau ada yang memberikan 60 – 100 mg/hari, namun jika dalam 4
minggu tidak ada respons sebaiknya dihentikan karena memberikan efek
samping yang serius.
 Terapi definitif yang terdiri atas :
 ATG (anti Thymocyte Globulin)
Dosis 10 – 20 mg /KgBB/hari, diberikan selama 4 – 6 jam dalam larutan
NaCl dengan filter selama 8 – 14 hari. Untuk mencegah serum sickness,
diberikkan Prednison 40mg/m2/hari selama 2 minggu, kemudian dilakukan
tappering off.
 Cyclosporin A
Dosis 3 – 7 mg/KgBB/hari dalam 2 dosis, penyesuaian dosis dilakukan
setiap mingggu untuk mempertahankan kadar dalam darah 400-800
mg/ml. pengobatan diberikan miimal selama 3 bulan, bila ada respon,
diteruskan sampai respon maksimal, kemudian dosis diturunkan dalam
beberapa bulan.
 Kombinasi ATG dan Cyclosporin A
 Transplantasi sumsum tulang  terapi yang memberikan harapan
kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal, memerlukan peralatan
canggih, serta adanya kesulitan dalam mencari donor yang kompatibel.
Transplantasi sumsum tulang, yaitu: merupakan pilihan untuk kasus
berumur di bawah 40 tahun, diberikan siklosporin A untuk mengatasi
GvHD (graft versus host disease), memberikan kesembuhan jangka
panjang pada 60 – 70% kasus, dengan kesembuhan komplit.
 Transfusi : diberikan PRC jika Hb < 7 g/dL atau ada tanda payah jantung atau
anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai 9 – 10 g%, tidak perlu
sampai Hb normal, karena akan menekan eritropoesis internal.
 Trombosit  profilaksis untuk penderita dengan trombosit < 10.000–
20.000/mm3. Bila terdapat infeksi, perdarahan, atau demam, maka diperlukan
transfusi pada kadar trombosit yang lebih tinggi.
 Granulosit  tidak bermanfaat sebagai profilaksis. Dapat dipertimbangkan
pemberian 1 x 1010 neutrofil selama 4 – 7 hari pada infeksi yang tidak
berespon dengan pemberian antibiotik.
55

Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan
diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala
anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan
sebagai berikut :
 Diagnosis salah
 Dosis obat tidak adekuat
 Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
 Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung
menetap
 Penyakit yang mempengaruhi absorbsi dan pemakaian besi
Pada anemia aplastik, prognosis tergantung pada tingkatan hipoplasia, makin
berat prognosis semakin jelek, pada umumnya penderita meninggal karena infeksi,
perdaraham atau akibat dari komplikasi transfusi. Prognosa dari anemia aplastik akan
menjadi buruk bila ditemukan 2 dari 3 kriteria berupa jumlah neutrofil <500/µL, jumlah
platelet <20000/µL, andcorrected reticulocyte count <1% ( atau absolute reticulocyte
count < 60000/µL). Perjalanan penyakit bervariasi, 25% penderita bertahan hidup selama
4 bulan, 25% selama 4 – 12 bulan, 35% selama lebih dari 1 tahun, 10-20% mengalami
perbaikan spontan (parsial/komplit).

I. Prognosis

Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan
diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala
anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan
sebagai berikut :
 Diagnosis salah
 Dosis obat tidak adekuat
 Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
 Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung
menetap
 Penyakit yang mempengaruhi absorbsi dan pemakaian besi
Pada anemia aplastik, prognosis tergantung pada tingkatan hipoplasia, makin
berat prognosis semakin jelek, pada umumnya penderita meninggal karena infeksi,
56

perdaraham atau akibat dari komplikasi transfusi. Prognosa dari anemia aplastik akan
menjadi buruk bila ditemukan 2 dari 3 kriteria berupa jumlah neutrofil <500/µL, jumlah
platelet <20000/µL, andcorrected reticulocyte count <1% ( atau absolute reticulocyte
count < 60000/µL). Perjalanan penyakit bervariasi, 25% penderita bertahan hidup selama
4 bulan, 25% selama 4 – 12 bulan, 35% selama lebih dari 1 tahun, 10-20% mengalami
perbaikan spontan (parsial/komplit).

3. SYOK HIPOVOLEMIK
A. Definisi
Syok hipovolemik didefinisikan sebagai penurunan perfusi dan oksigenasi
jaringan disertai kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh hilangnya volume
intravaskular akut akibat berbagai keadaan bedah atau medis (Greenberg, 2005).

B. Etiologi
Penurunan volume intravaskular yang terjadi pada syok hipovolemik dapat
disebabkan oleh hilangnya darah, plasma atau cairan dan elektrolit (Tierney, 2001).
Menurut Sudoyo et al. (2009), penyebab syok hipovolemik, antara lain:
1. Kehilangan darah
a. Hematom subkapsular hati
b. Aneurisma aorta pecah
c. Perdarahan gastrointestinal
d. Trauma
2. Kehilangan
plasma
a. Luka bakar luas
b. Pankreatitis
c. Deskuamasi kulit
d. Sindrom Dumping
3. Kehilangan cairan ekstraselular
a. Muntah (vomitus)
b. Dehidrasi
c. Diare
57

d. Terapi diuretik yang agresif


e. Diabetes insipidus
f. Insufisiensi adrenal
C. Patofisiologi

Respon dini terhadap kehilangan darah adalah mekanisme kompensasi tubuh


yang berupa vasokonstriksi di kulit, otot, dan sirkulasi viseral untuk menjaga aliran
darah yang cukup ke ginjal, jantung, dan otak. Respon terhadap berkurangnya
volume sirkulasi akut yang berkaitan dengan trauma adalah peningkatan detak
jantung sebagai usaha untuk menjaga cardiac output. Dalam banyak kasus,
takikardi adalah tanda syok paling awal yang dapat diukur (American College of
Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Pelepasan katekolamin endogen akan meningkatkan tahanan vaskular perifer.


Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan menurunkan tekanan nadi
tetapi hanya sedikit meningkatkan perfusi organ. Hormon-hormon lainnya yang
bersifat vasoaktif dilepaskan ke sirkulasi selama kondisi syok, termasuk histamin,
bradikinin, dan sejumlah prostanoid dan sitokin-sitokin lainnya. Substansi-substansi
ini mempunyai pengaruh besar terhadap mikrosirkulasi dan permeabilitas vaskular
(American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Pada syok perdarahan yang dini, mekanisme pengembalian darah vena


dilakukan dengan mekanisme kompensasi dari kontraksi volume darah dalam
sistem vena yang tidak berperan dalam pengaturan tekanan vena sistemik. Namun
kompensasi mekanisme ini terbatas. Metode yang paling efektif dalam
mengembalikan cardiac output dan perfusi end-organ adalah dengan menambah
volume cairan tubuh/darah (American College of Surgeons Committee on Trauma,
2008).

Pada tingkat selular, sel-sel dengan perfusi dan oksigenasi yang tidak
memadai mengalami kekurangan substrat esensial yang diperlukan untuk proses
metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada tahap awal, terjadi
kompensasi dengan proses pergantian menjadi metabolisme anaerobik yang
mengakibatkan pembentukan asam laktat dan berkembang menjadi asidosis
metabolik. Bila syok berkepanjangan dan pengaliran substrat esensial untuk
pembentukan ATP tidak memadai, maka membran sel akan kehilangan
kemampuan untuk mempertahankan kekuatannya dan gradien elektrik normal pun
akan hilang (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Pembengkakan retikulum endoplasma adalah tanda struktural pertama dari


hipoksia seluler, menyusul segera kerusakan mitokondria, robeknya lisosom, dan
lepasnya enzim-enzim yang mencerna elemen-elemen struktur intraseluler
lainnya. Natrium dan air masuk ke dalam sel dan terjadilah pembengkakan sel.
Penumpukan kalium intraseluler juga terjadi. Bila proses ini tidak membaik, maka
akan terjadi kerusakan seluler yang progresif, penambahan pembengkakan
jaringan, dan kematian sel. Proses ini meningkatkan dampak kehilangan darah dan
hipoperfusi jaringan (American College of Surgeons Committee on Trauma,
2008).

D. Gejala Klinis

Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-
perdarahan serta perdarahan adalah sama meskipun ada sedikit perbedaan dalam
kecepatan timbulnya syok (Baren et al., 2009).
Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan
darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih dapat
dikompensasi oleh tubuh. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak
mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara
umum, syok hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan
nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek,
ujung-ujung ekstremitas dingin, dan pengisian kapiler lambat (Hardisman, 2013).
Pasien hamil bisa saja menunjukkan tanda dan gejala syok hipovolemik
yang atipikal hingga kehilangan 1500 ml darah tanpa terjadi perubahan tekanan
darah (Strickler, 2010).
Keparahan dari syok hipovolemik tidak hanya tergantung pada jumlah
kehilangan volume dan kecepatan kehilangan volume, tetapi juga usia dan status
kesehatan individu sebelumnya (Kelley, 2005).
Secara klinis, syok hipovolemik diklasifikasikan menjadi ringan, sedang
dan berat. Pada syok ringan, yaitu kehilangan volume darah 20%, vasokonstriksi
dimulai dan distribusi aliran darah mulai terhambat. Pada syok sedang, yaitu
kehilangan volume darah 20-40%, terjadi penurunan perfusi ke beberapa organ
seperti ginjal, limpa, dan pankreas. Pada syok berat, dengan kehilangan volume
darah lebih dari 40%, terjadi penurunan perfusi ke otak dan jantung (Kelley,
2005).

Tabel 3.1 Gejala Klinis Syok Hipovolemik


Ringan Sedang Berat
Ekstremitas dingin Sama,
Sama, ditambah:
ditambah:
Waktu pengisian kapiler
Takikardia Hemodinamik tidak stabil
meningkat Takipnea
Takikardia bergejala
Oliguria
Diaporesis
Hipotensi ortostatik Hipotensi
Vena kolaps
Perubahan kesadaran
Cemas
Sumber: Baren et al., 2009.

E. Diagnosa
Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa
ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan (Baren et
al., 2009). Ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok
hipovolemik berupa penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah,
peningkatan tahanan pembuluh darah, dan penurunan tekanan vena sentral
(Leksana, 2015).
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya
syok hipovolemik tersebut dapat berupa pemeriksaan pengisian dan frekuensi
nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-ujung jari, suhu
dan turgor kulit (Hardisman, 2013)
Berdasarkan persentase volume kehilangan darah, syok hipovolemik dapat
dibedakan menjadi 4 tingkatan atau stadium:

Tabel 3.2 Klasifikasi Syok Hipovolemik


Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan darah (ml) <750 750-1500 1500-2000 >2000
Kehilangan darah
<15% 15-30% 30-40% >40%
(%EBV)
Denyut nadi (x/menit) <100 >100 >120 >140
Tekanan darah N N ↓ ↓
Tekanan nadi N/↑ ↓ ↓ ↓
Frekuensi napas 14-20 20-30 30-35 >35
Produksi urin (ml/jam) >30 20-30 5-15 sangat sedikit

sedikit agak cemas, bingung,


Status mental
cemas cemas bingung letargi
Sumber: American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008.

Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya


mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awal-awal
terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem saraf simpatis yang
mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan
demikian, pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat dipertahankan. Namun
kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuluh perifer sehingga terjadi
penurunan diastolik dan penurunan tekanan nadi. Oleh sebab itu, pemeriksaan
klinis yang seksama sangat penting dilakukan karena pemeriksaan yang hanya
berdasarkan pada perubahan tekanan darah sistolik dan frekuensi nadi dapat
menyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosa dan penatalaksanaan
(Harisman, 2013).
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan, langkah diagnosis selanjutnya
tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik dan stabilitas dari
kondisi pasien itu sendiri. Pemeriksaan laboratorium awal yang mungkin
ditemukan pada keadaan syok hipovolemik, antara lain (Schub dan March, 2014):
1. Complete Blood Count (CBC), mungkin terjadi penurunan hemoglobin,
hematokrit dan platelet.
2. Blood Urea Nitrogen (BUN), mungkin meningkat menandakan adanya
disfungsi ginjal.
3. Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.
4. Produksi urin, mungkin <400 ml/hari atau tidak ada sama sekali.
5. Pulse oximetry, mungkin menunjukkan penurunan saturasi oksigen.
6. AGDA, mungkin mengidentifikasi adanya asidosis metabolik.
7. Tes koagulasi, mungkin menunjukkan pemanjangan PT dan APTT.
Untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan berikut,
antara lain (Kolecki dan Menckhoff, 2014):
1. Ultrasonografi, jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis.
2. Endoskopi dan gastric lavage, jika dicuriga adanya perdarahan gastrointestinal.
3. Pemeriksaan FAST, jika dicurigai terjadi cedera abdomen.
4. Pemeriksaan radiologi, jika dicuriga terjadi fraktur.

F. Komplikasi

Komplikasi dari syok hipovolemik meliputi sepsis, sindrom gawat napas


akut, koagulasi intravaskular diseminata, kegagalan multiorgan, hingga kematian
(Greenberg, 2005).

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal pada syok hipovolemik meliputi penilaian ABC,


yaitu pada airway dan breathing, pastikan jalan napas paten dengan ventilasi dan
oksigenasi yang adekuat. Pemberian oksigen tambahan dapat diberikan untuk
mempertahankan saturasi oksigen di atas 95%. Pada circulation, hal utama yang
perlu diperhatikan adalah kontrol perdarahan yang terlihat, lakukan akses
intravena, dan nilai perfusi jaringan (American College of Surgeons Committee
on Trauma, 2008).
Akses intravena dilakukan dengan memasang 2 kateter intravena ukuran
besar (minimal nomor 16) pada vena perifer. Lokasi terbaik untuk intravena
perifer pada orang dewasa adalah vena di lengan bawah atau kubiti. Namun, bila
keadaan tidak memungkinkan pada pembuluh darah perifer, maka dapat
digunakan pembuluh darah sentral. Bila kaketer intravena sudah terpasang, contoh
darah diambil untuk pemeriksaan golongan darah dan crossmatch, pemeriksaan
laboratorium yang sesuai, dan tes kehamilan pada semua wanita usia subur.
(American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).
Setelah akses intravena terpasang, selanjutnya dilakukan resusitasi cairan.
Tujuan resusitasi cairan adalah untuk mengganti volume darah yang hilang dan
mengembalikan perfusi organ (Kelley, 2005). Tahap awal terapi dilakukan dengan
memberikan bolus cairan secepatnya. Dosis umumnya 1-2 liter untuk dewasa.
Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonik NaCl 0,9% atau Ringer
Laktat. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan tanda
vital dan hemodinamik (Hardisman, 2013).
Jumlah darah dan cairan yang diperlukan untuk resusitasi sulit diprediksi
dalam evaluasi awal pasien. Namun, Tabel 2.2 dapat menjadi panduan untuk
menentukan kehilangan volume darah yang harus digantikan. Adalah sangat
penting untuk menilai respon pasien terhadap resusitasi cairan dengan adanya
bukti perfusi dan oksigenasi yang adekuat, yaitu produksi urin, tingkat kesadaran,
dan perfusi perifer serta kembalinya tekanan darah yang normal (American
College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).
Jika setelah pemberian cairan tidak terjadi perbaikan tanda-tanda
hemodinamik, maka dapat dipersiapkan untuk memberi transfusi darah
(Harisman, 2013). Tujuan utama transfusi darah adalah untuk mengembalikan
kapasitas angkut oksigen di dalam intravaskular (American College of Surgeons
Committee on Trauma, 2008).
Untuk melakukan transfusi, harus didasari dengan jumlah kehilangan
perdarahan, kemampuan kompensasi pasien, dan ketersediaan darah. Jika pasien
sampai di IGD dengan derajat syok yang berat dan golongan darah spesifik tidak
tersedia, maka dapat diberikan tranfusi darah dengan golongan O. Golongan darah
spesifik biasanya dapat tersedia dalam waktu 10-15 menit (Kelley, 2005).
Evaluasi harus dilakukan untuk melihat perbaikan pasien syok hipovolemik.
Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif dari perfusi ginjal
karena menandakan aliran darah ke ginjal yang adekuat. Jumlah produksi urin yang
normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa (American College of Surgeons
Committee on Trauma, 2008). Defisit basa juga dapat digunakan untuk evaluasi
resusitasi, prediksi morbiditas serta mortalitas pada pasien syok hipovolemik (Privette
dan Dicker, 2013).
BAB 3

PEMBAHASAN

Seorang laki-laki usia 69 tahun datang ke IGD RSUD Batang dengan


keluhan muntah darah. Keluhan dirasakan sejak 4 hari SMRS dengan frekuensi sebanyak
2x. Menurut pasien muntah berisi makanan, air, bercampur darah warna merah gelap.
Sebelumnya pasien merasa sakit perut di daerah ulu hati dan lemas. Pasien BAK dan
BAB dalam batas normal. Untuk Makan (+), Minum (+) sedikit-sedikit. Pasien mengaku
sering mengkonsumsi obat pereda nyeri yang dibeli di warung. Riwayat penyakit
keluarga, Diabetes Melitus, Hipertensi, penyakit jantung, alergi obat, dan asma disangkal.
Riwayat penyakit pada keluarga juga disangkal.
Pemeriksaan didapatkan Hipotensi Takikardi, Nadi lemah, Konjungtiva
Anemis, Nyeri tekan Epigastrik, Akral dingin, CRT>2detik. Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan hasil hematologic Anemia, Hemodilusi, Leukositosis, Eritrosit
menurun, MCV menurun, MCH menurun, MCHC menurun, Neutrofilia,
Limfositopenia, LED meningkat, Anti HBs positif. Pada pemeriksaan penunjang
radiologi didapatkan hasil foto thorax dengan kesan pulmo tenang dan kardiomegali,
serta hasil USG Abdomen dengan kesan Hepatomegali, Cholecystitis, Efusi pleura
dextra sinistra, Suspek Kardiomegali, tak tampak kelainan pada ren dextra sinistra dan
lien.
Tatalaksana pada pasien ini diberikan terapi berupa tranfusi darah
sebanyak 5 kolf untuk mengatasi Hb yang turun akibat perdarahan saluran cerna
atas berupa muntah darah yang banyak. Juga diberikan Inj. Asam Traneksamat 1
gram/8jam untuk mengurangi perdarahan saluran cerna. Selain itu diberikan obat
lambung seperti Inj. Pantoprazol 40mg/12 jam, PO Sucralfat Sirup 3x1C dan PO
Rebamipid 3x100mg. Selain itu pasien mengalami syok hipovolemik akibat
kehilangan darah dalam jumlah banyak yang ditandai dengan hipotensi, takikardi,
takipneu, dan akral dingin sehingga diberikan terapi Infus RL Loading 1000cc,
dobutamine syringe pump 5mg/kgBB/jam  3,5cc/jam  titrasi sampai target
MAP ≥ 65mmHg. Untuk mengatasi keluhan mual yang dialami pasien diberikan
inj ondancentron 4mg/8jam.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Butler A. Shock – Recognition, Pathophysiology, and Treatment. 2010. Available at :


http://www.dcavm.org/10oct.html. Accessed on July 3th, 2013.
2. Kolecki P. Hypovolemic Shock. 2012. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/760145-overview#a0104. Accessed on July 3th,
2013.
3. Maier RV. Pendekatan Pada Pasien Dengan Syok. Dalam: Fauci AS, TR Harrison,
eds. Harrison 's Prinsip Kedokteran Internal . 17 ed. New York, NY: McGraw Hill,
2008: chap 264.
4. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara. Jakarta. 2011;
47-53.
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2009; 133-140..
6. Spaniol JR, AR Knight, Zebley JL, Anderson D, JD Pierce. Resusitasi Cairan Terapi
Untuk Syok Hemoragik. J Trauma Nurs . 2007; 14:152-156.
7. George Y, Harijanto E, Wahyuprajitno B. Syok: Definisi, Klasifikasi dan
Patofisiologi. In: Harijanto E, editor. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia; 2009.
8. Guyton A, Hall J. Circulatory Shock and Physiology of Its Treatment (Chapter 24).
Textbook of Medical Physiology. 12th ed. Philadelphia, Pensylvania: Saunders; 2010.
9. Kolecki P, Menckhoff CR, Dire DJ, Talaveraa F, Kazzi AA, Halamka JD, et al.
Hypovolemic Shock Treatment & Management 2013: Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/760145-treatment
10. Morgan G, Mikhail M, Murray M. Fluid Management and Tranfusion Clinical
Anesthesilogy. 4th ed. New York: Lange Medical Books/ McGraw-Hill; 2006.

Anda mungkin juga menyukai