LAPORAN KASUS
SEORANG PRIA 69 TAHUN DENGAN SYOK HIPOVOLEMIK et causa
HEMATEMESIS
Penyusun :
dr. Shintia Malinda
Dokter Pembimbing:
dr. Padmi Bektilestari, Sp.PD
Dokter Pendamping :
dr. Utariyah Budiastuti
dr. Yuliati
BORANG PORTOFOLIO
Nama Peserta : dr. Shintia Malinda
Nama Wahana : RSUD Batang
Topik : Syok Hipovolemik
Tanggal Kasus :
Nama Pasien : Tn. S No.RM : 4069xx
Tanggal Presentasi : Nama Pendamping :
dr. Utariyah Budiastuti, dr. Yuliati
Tempat Presentasi : RSUD Batang
Obyektif Presentasi
√Keilmuan Ketrampilan Penyegaran √Tinjauan Pustaka
√Diagnostik √Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa √Lansia Bumil
Deskripsi : Seorang Pria 69 tahun dengan Syok Hipovolemik et causa Hematemesis
Tujuan : Diagnosis, Manajemen
Bahasan √ Tinjauan Pustaka Riset √Kasus Audit
Cara Pembahasan Diskusi √Presentasi & Diskusi Email Pos
Data Pasien Nama : Tn. S No. Reg 4069xx
Nama Klinik : Ruang Melati
KATA PENGANTAR
7
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, atas
karunia dan rahmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Seorang Pria 69 tahun dengan Syok Hipovolemik et causa Hematemesis”
Adapun laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi kewajiban program
Internship di RSUD BATANG Periode 20 November 2019 – 20 September 2020 dan
juga bertujuan untuk menambah informasi bagi Penulis dan pembaca tentang syok
hipovolemik dan penanganannya.
Penulis sangat bersyukur atas selesainya laporan ini. Hal ini tidak terlepas dari
dukungan serta keterlibatan berbagai pihak dan pada kesempatan ini penulis ingin
berterimakasih kepada:
1. dr. Padmi Bektilestari Sp.PD selaku pembimbing di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Batang.
2. dr. Utariyah Budiastuti, selaku pendamping program internship di RSUD Batang.
3. dr. Yuliati,selaku pendamping program internship di RSUD Batang.
4. Rekan-rekan sejawat dokter internship serta dokter definitif RSUD Batang dan
juga pihak-pihak terkait yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak.
Akhir kata, Penulis mengucapkan Terimakasih dan semoga laporan ini dapat memberikan
manfaat.
Batang, Agustus 2020
Penulis
8
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Tn. S
2. Umur : 69 Tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. Agama : Islam
5. No. Medical Record : 406922
6. Alamat : Ds : Sendang, Kec : Wonotunggal, Kab : Batang
7. Ruang rawat : Bangsal Melati RSUD Batang
8. Tgl masuk : 20 Juli 2020 (17.15 WIB)
9. Status Pembiayaan : BPJS PBI
Riwayat DM : (-)
Riwayat Hipertensi : (-)
Riwayat penyakit jantung : (-)
Riwayat alergi obat : (-)
Riwayat Asma : (-)
Riwayat Kebiasaan & Sosial Ekonomi
Pasien riwayat merokok dan sudah berhenti sejak 5 tahun yang lalu,
konsumsi alkohol disangkal, konsumsi NAPZA disangkal, sering
mengkonsumi obat pereda nyeri yang dibeli di warung.
Pasien sudah tidak bekerja, hanya tinggal di rumah.
Biaya pengobatan menggunakan BPJS PBI
KESAN : Muntah darah, mual, pusing berputar, badan lemas, les-lesan, cepat
lelah, penurunan intake, riwayat sering konsumsi obat pereda nyeri
yang dibeli di warung.
2. Status Generalis
Pemeriksaan Kepala dan Leher
10
- Kepala : Mesocephal
- Mata : Mata Merah (-), Konjungtiva Anemis (+), Sclera Ikterik
(-),
Penglihatan Kabur (-).
- Telinga : Bentuk normal, Berdenging (-), Kurang Pendengaran (-)
- Hidung : Simetris, Septum Deviasi (-), Nafas Cuping Hidung(-),
Mimisan (-), Secret (-)
- Mulut : Simetris, Sianosis (-), Bibir Pucat (+), Mukosa Hiperemis
(-),
Deviasi Lidah (-), Lidah Tremor (-), Lidah Kotor (-), Gusi
Pemeriksaan Thorax
Pulmo :
INSPEKSI ANTERIOR POSTERIOR
Statis
- RR: 22x/Min - RR: 22x/Min
- Thoracal Breathing - Thoracal Breathing
- Hyperpigmentasi (-) - Hyperpigmentasi (-)
- Tumor (-) - Tumor (-)
- Inflammation (-) - Inflammation (-)
- Spider Nevi (-) - Spider Nevi (-)
- Hemithorax D=S - Hemithorax D=S
- ICS Normal - ICS Normal
- Diameter AP < LL - Diameter AP < LL
Dinamis
- Pergerakan Hemithorax - Pergerakan Hemithorax
11
Jantung :
Inspeksi
Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
Ictus cordis teraba di ICS VI Linea mid clavicula sinistra (-), thrill (-),
pulsus epigastrium(-), pulsus parasternal (-), sternal lift (-)
Perkusi
Redup
Batas atas jantung : ICS II lineasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Kanan jantung : ICS V linea sternalis dextra
Kiri jantung : ICS VI 2 cm line mid clavicula sinistra
Auskultasi
12
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
Datar (+), Simetrik, sikatrik (-), striae (-), caput medusa (-), hyperpigmentasi
(-), spider nevi (-), Gerak usus (-)
Auskultasi
Bising usus (+), Aorta abdominal bruit (-), A. Lienalis (-), A. femoralis (-)
Perkusi
Timpani (+), Pekak sisi (-), Pekak alih (-), Tes undulasi (-)
Hepar : Liver span dextra 11 cm, Liver span sinistra 6 cm,
Lien : Traube’s space (-)
Palpasi
Supel (+), Massa (-), Nyeri tekan (+) epigastrik, defans muscular (-)
Hepar : Pembesaran hepar (-), Nyeri tekan (-), Murphy’s sign (-)
Lien : Titik Shuftner kesan lien tak membesar,
Ginjal : nyeri kerok sudut kostovrenikus (-)
VU : Tegang (-), nyeri tekan (-)
Pemeriksaan Ekstremitas
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Hematologi
Pemeriksaan 20-07-2020 23-07-2020 25-07-2020 Satuan Nilai normal
CBC
Leukosit H 10.73 H 14.73 H 10.90 103/ul 4.00-10.50
Eritrosit L 1.61 L 3.06 L 3.65 106/ul 4.5-5.7
Hemoglobin L 3.1 L 7.7 L 9.4 g/dL 13.5-17.2
Hematokrit L 11.2 L 24.2 L 29.4 % 40-50
MCV L 69.9 L 79.1 80.5 fL 80-95
MCH L 19.3 L 25.2 L 25.8 Pg 27-33
MCHC L 27.7 L 31.8 L 32.0 g/dL 33.2-35.3
Trombosit H 485 387 H 460 103/ul 150-450
RDW-SD 51 H 58 H 58 fL 37-54
RDW-CV H 20.9 H 20.0 H 20.0 % 11-16
Diff Count
Neutrofil H 83.5 H 90.0 H 81.3 % 42-74
Limfosit L 12.9 L 5.8 L 8.5 % 17-45
Monosit L 3.0 L 2.9 L 4.5 % 5-12
Eosinofil L 0.3 L 0.4 5.2 % 1-7
Basofil 0.3 0.3 0.5 % 0-1
Limfosit 1.38 L 0.86 0.93 103/ul 0.9-5.2
absolut
LED
LED 1 Jam H 35.0 H 30.0 H 25.0 mm/jam <15
LED 2 Jam H 55.0 H 50.0 H 40.0 mm/2jam <20
Kimia
SGOT 38 - - U/L <40
SGPT 18 - - U/L <45
Ureum 45 - - mg/dl 10-50
Creatinin H 1.6 - - mg/dl 0.8-1.3
GDS 384 132 | 120 97 mg/dL <140
Elektrolit
Calsium L 8.5 - - mg/dl 8.8-10.2
Natrium 143 - - mmol/l 135-148
Kalium 4.4 - - mmol/l 3.5-5.3
14
2. Ro Thorax
3. USG Abdomen
15
ABNORMALITAS DATA
ANAMNESIS
1. Muntah darah
2. Badan lemas
3. cepat lelah
16
4. Pusing berputar
5. Penurunan intake
6. Riwayat sering konsumsi obat pereda nyeri
7. Les-lesaan
PEMERIKSAAN FISIK
8. Hipotensi
9. Takikardi, Nadi lemah
10. Konjungtiva Anemis
11. Nyeri tekan Epigastrik
12. Akral dingin
13. CRT>2detik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
14. Anemia
15. Hemodilusi
16. Eritrosit menurun
17. MCV menurun
18. MCH menurun
19. MCHC menurun
20. LED meningkat
21. Neutrofilia
22. Limfositosis
23. Anti HBs positif
24. Hepatomegali
25. Cholecystitis
26. Efusi pleura dextra sinistra
27. Kardiomegali
E. PROBLEM LIST
1. Hematemesis ec Gastritis Erosif (1,6,11)
2. Anemia Normokromik Normisitik ec Blood Loss (2,3,4,10,14,
15,16,17,18,19)
3. Syok Hipovolemik ec. hematemesis (7,8,9,10,12,13,14)
F. PEMBAHASAN PROBLEM LIST
1. Hematemesis ec Gastritis Erosif
Assesment
17
IP Diagnosis
- Hitung Retikulosit
- Morfologi darah tepi
IP Terapi
Nonfarmakologi
- Bed rest/ mengurangi aktifitas fisik
- Diet tinggi FE
Farmakologi
- Tranfusi PRC 5 Kolf (tanpa premed)
IP Monitoring
- Keadaan umum dan tanda vital
- Evaluasi Darah Rutin Post Tranfusi dengan target Hemoglobin >10
g/dl
- Evaluasi tanda-tanda reaksi tranfusi
IP Edukasi
- Menjelaskan tentang anemia
- Menjelaskan tentang treatment dari anemia
- Menjelaskan tentang efek samping dari treatmen anemia
3. Syok Hipovolemik ec. hematemesis
Assesment
- Syok Hipovolemik
IP Diagnosis
- Anamnesis dan pemeriksaan fisik
IP Terapi
Nonfarmakologi
- Tirah Baring
- O2 Nasal Kanul 3 lpm
Farmakologi
- Loading asering 2fl sampai MAP 65
- Tranfusi PRC 5kolf, 2kolf/hari. Tanpa premed
- Dobutamin syringe pump 5mg/kgBB/jam 3,5cc/jam titrasi
IP Monitoring
- Keadaan umum dan TTV per 15 menit (target MAP ≥ 65mmHg)
IP Edukasi
19
G. PFOLLOW UP
Tanggal S O A P
21/7/20 Lemas, KU : TSS Anemia berat -Loading asering 2fl
00.00 wib pusing Kes : CM Hematemesis sampai MAP 65
TD : 75/35 mmHg -tranfusi PRC 5kolf,
N : 96x/menit 2kolf/hari. Tanpa premed
RR : 24x/menit -cek GDS 21-06
T : 36,6 C -Ro thorax
Pemeriksaan fisik : -dobutamin syringe pump
- CA (+/+) 5mg/kgBB/jam
3,5cc/jam titrasi
-inj pantoprazole 1
amp/12 jam
-inj ondancentron 1
amp/8jam
-inj kalnex 1gr/8jam
-sucralfat syr 3x1 cth
-diet cair 6x100cc
-masuk ruang biasa
21/7/20 Pusing, KU : TSS Anemia berat -inj ceftriaxon 1gr/12 jam
08.00 wib lemas, Kes : CM Hematemesis -IV Line 2 jalur
belum TD : 95/58 mmHg -Loading asering 2fl
BAB N : 97x/menit Cek GDS 21.06
RR : 24x/menit USG abdomen jika KU
T : 36,6 C stabil
Pemeriksaan fisik : -diet cair 6x100cc
- CA (+/+) -Terapi lanjut
Tanggal S O A P
22/7/20 Muntah KU : TSS Anemia berat -Terapi lanjut
08.00 wib darah (-) Kes : CM Hematemesis -USG abdomen + TU
Les-lesan TD : 76/45 mmHg -Karbazokrom
Pusing, N : 106x/menit, 1amp/24jam
belum lemah -inj furosemid 1 amp
BAB RR : 23x/menit (extra) lanjut per 12 jam
T : 36,8 C (1 hari)
Pemeriksaan fisik : -Lactulac syr 3x1C
- CA (+/+)
23/7/2020 Muntah KU : baik Anemia berat -Terapi lanjut
08.00 wib darah (-) Kes : CM Hematemesis
Pusing TD : 111/62 mmHg
berkurang N : 106x/menit
RR : 20x/menit
T : 36,7 C
Tanggal S O A P
24/7/2020 Belum KU : baik Anemia berat -Terapi lanjut
08.00 wib BAB Kes : CM Hematemesis
TD : 135/62 mmHg
N : 107x/menit
RR : 20x/menit
T : 36,7 C
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
perdarahan pada saluran cerna bagian atas. Batas antara saluran cerna bagian atas
dengan saluran cerna bagian bawah adalah Ligamentum Treitz yang terdapat pada
Hematemesis adalah muntah darah (darah yang dimuntahkan lewat mulut), warna
dari darah yang dimuntahkan akan bervariasi tergantung dari konsentrasi asam
hipoklorik dalam lambung dan percampuran dengan darah. Demikian juga, jika
muntah darah terjadi tidak lama setelah onset perdarahan, muntahan akan berwarna
merah; jika terjadi lebih lambat, darah yang keluar akan berwarna merah kehitaman,
kecoklatan atau hitam. Gumpalan darah yang terdapat dalam muntahan darah akan
Sementara itu, melena adalah keluarnya feses yang berwarna kehitaman dengan
konsistensi yang lembek. Fesesnya dapat terlihat seperti mengkilat, berbau busuk, dan
lengket (3).
B. Etiologi
a. Peptic Ulcer
sekitar 4,5 juta orang pada tahun 2011. Kira-kira 10% dari populasi di
pylori, prevalensinya pada orang usia tua 20%. Hanya sekitar 10% dari
22
pada 3-4 dekade terkahir. Walaupun jumlah daripada simple gastric ulcer
populasi usia tua. Jumlah pasien opname karena PUD berkisar 30 pasien
pria ke frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin. Prevalensi berkisar
11-14 % pada pria dan 8-11 % pada wanita. Sedangkan kaitan dengan usia,
khususnya untuk duodenal ulcer, dan jumlah meningkat pada wanita usia
tua.
b. Stress Ulcer
c. Medication-Induced Ulcer
daripada penyakit peptic ulcer dan perdarahan saluran cerna bahagian atas
dengan perdarahan saluran cerna bahagian atas yang berat, Mallory-Weiss Tear
dan C serta penyakit alkoholic liver adalah penyakit yang paling sering
NSAIDs adalah usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau
kombinasi dari NSAIDs, penggunaan NSAIDs dalam jangka waktu yang lama,
duodenal erosions (20-30 %), erosive esophagitis (5-10 %), angioma (5-10 %),
C. Diagnosis
pemasangan selang nasogastric (NGT, nasogastric tube) dan deteksi darah yang
jelas terlihat; cairan bercampur darah, atau “ampas kopi”’ Namun, aspirat
perdarahan telah berhenti, intermiten, atau tidak dapat dideteksi akibat spasme
pilorik (7).
dimasukkan pipa nasogastrik dengan melakukan aspirasi isi lambung. Hal ini
terutama penting apabila perdarahan tidak jelas. Tujuan dari tindakan ini adalah
(7,8):
khususnya ketika penyebab perdarahan tidak dapat ditentukan dengan menggunakan endoskopi atas
lesi massa, seperti tumor intra-abdominal ataupun abnormalitas pada usus yang
perdarahan pada saluran pencernaan bagian atas. Namun, pemeriksaan ini termasuk ke
D. Penatalaksanaan
dengan lambat, dan dapat juga diberikan plasma segar beku, seperti penderita dengan
penyakit hati kronis atau sirosis hati. Bila diduga terdapat fibrinolisis sekunder dapat
Produksi asam lambung yang meningkat karena “stress” psikis maupun fisik
famotidin atau roksatidin). Antasida diharapkan dapat menekan asam lambung yang
hasil terbaik tercapai bila pH asam lambung = 4. Selain itu, dengan pertimbangan
proses koagulasi akan terganggu oleh suasana asam, maka diberikan antisekresi asam
pantoprazol) (10).
sehingga diharapkan proses perdarahan dapat berkurang atau berhenti. Dapat dipakai
pembuluh splanknik dengan dosis 0,2-0,6 unit/menit, serta hati-hati karena dapat
26
lambung dan pepsin yang akan menurunkan aliran darah di lambung dan merangsang
Salah satu yang dikhawatirkan pada pasien sirosis hepatis yang mengalami
perdarahan varises esofagus adalah terjadinya koma hepatik akibat pencernaan darah
usus agar bakteri yang mencerna darah dapat mati, tetapi sekarang penggunaan
neomisin sudah ditinggalkan. Selain itu dapat diberikan juga pencahar atau laksan 4x1
sendok makan agar darah yang ada dalam saluran pencernaan pasien dapat dikeluarkan
yang diduga terdapat varises esophagus. SB tube terdiri dari 2 balon (lambung dan
esophagus). Balon lambung berfungsi sebagai jangkar agar SB tube tidak keluar saat
dilakukan pada vena yang terlalu kecil). Resusitasi dapat dimulai dengan larutan NaCl
fisiologis dan bila terdapat tanda – tanda gangguan sirkulasi perifer ( pre-syok / syok )
dapat diberikan volume expander sebelum cairan definitif (darah) tersedia. Pada
perdarahan masif, harus terpasang monitor vena sentral (CVP). Transfusi diberikan
sesuai kebutuhan, antara lain sebagai pengganti volume intravaskuler, perbaikan kadar
hemoglobin atau suplementasi faktor koagulasi. Pada perdarahan aktif dan masif,
darah lengkap (WB) dapat merupakan pilihan utama karena masih mengandung factor
(11).
27
Bila kebutuhan koreksi volume sudah terpenuhi oleh resusitasi cairan fisiologis
peningkatan kadar hemoglobin dapat dipenuhi melalui transfusi PRC dan bila masih
diperlukan faktor pembekuan, dapat diberikan plasma beku segar (Fresh Frozen
Plasma). Pada umumnya, indikasi melakukan transfusi jika kadar hemoglobin <10 gr /
Parameter keberhasilan resusitasi adalah terjaminnya tekanan vena sentral antara 7-10
mmHg atau diuresis lebih dari 0,5-1 ml / kgBB / jam (9, 11).
dalam keadaan kegawatdaruratan, dan prosedur diatas sudah dijalankan semua adalah
E. Komplikasi
2. ANEMIA
A. Definisi
dalam jumlah yang cukup ke jaringan.3 Anemia dapat didefinisikan pula sebagai
berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah, hemoglobin,
dan volume hematokrit per 100 ml darah.4 Namun, kadar normal hemoglobin dan
eritrosit sangat bervariasi sesuai dengan usia, jenis kelamin, ketinggian tempat
tinggal dari permukaan laut, serta keadaan tertentu seperti kehamilan. Anemia
penunjang.
jenis kelamin, tempat tinggal, dan lain-lain, maka anemia telah didefinisikan oleh
B. Epidemiologi
Berdasarkan data WHO sejak tahun 1993 hingga 2005, anemia diderita oleh
1,62 milyar orang di dunia. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia belum
sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara merupakan
salah satu daerah yang dikategorikan berat dalam prevalensi anemia, termasuk
Indonesia, yang tergambar pada gambar di bawah ini dengan warna merah tua.
C. Fisiologi Eritrosit
secara klinis kadar eritrosit dilaporkan sebagai 5 juta sel/mm 3. Eritrosit adalah sel
dibandingkan dengan bentuk sel bulat dengan volume yang sama. Tipisnya sel
memungkinkan oksigen cepat berdifusi antara bagian paling dalam sel dan
Selama perkembangan intra uterus, eritrosit mula-mula dibentuk oleh yolk sac dan
kemudian oleh hati dan limpa, sampai sumsum tulang terbentuk dan mengambil alih
produksi eritrosit secara eksklusif. Pada anak-anak, sebagian besar tulang terisi oleh
sumsum tulang merah yang mampu memproduksi sel darah. Namun, seiring pertambahan
usia, sumsum tulang kuning yang tidak mampu melakukan eritropoiesis perlahan-lahan
menggantikan sumsum merah, yang tersisa hanya di beberapa tempat, seperti sternum,
iga, dan ujung-ujung proksimal tulang panjang di ekstremitas.5
Di dalam sumsum merah terdapat pluripotent stem cell yang belum
berdiferensiasi, yang kemudian secara terus-menerus membelah diri dan berdiferensiasi
untuk menghasilkan semua jenis sel darah. Myeloid stem cell adalah stem cell yang telah
berdiferensiasi sebagian yang akan berkembang menjadi eritrosit dan beberapa jenis sel
darah lainnya. Eritroblas merupakan sel yang masih memiliki nucleus dan organel-
organel sel. Retikulosit merupakan eritrosit imatur yang masih mengandung organel
remnants. Eritrosit matur sudah tidak memiliki nucleus maupun organel, dan kemudian
akan dilepaskan ke dalam kapiler yang menembus sumsum tulang.5
Pada keadaan penurunan perfusi oksigen ke ginjal, misalnya pada hipoksia atau
proses hemolisis, maka ginjal akan terangsang untuk mengeluarkan eritropoietin ke
dalam darah, sehingga terjadi eritropoiesis di sumsum tulang. Eritropoietin akan
merangsang maturasi dan proliferasi eritrosit. Peningkatan aktivitas eritropoietik ini
meningkatkan jumlah eritrosit di dalam darah, sehingga kapasitas darah mengangkut
oksigen meningkat dan penyaluran oksigen ke jaringan kembali normal. Jika penyaluran
oksigen ke ginjal telah kembali normal, maka sekresi eritropoietin akan dihentikan
sampai dibutuhkan kembali. Dengan mekanisme ini, produksi eritrosit dalam keadaan
normal disesuaikan dengan kerusakan atau kehilangan sel-sel tersebut, sehingga
kemampuan darah mengangkut oksigen relatif konstan. Pada kehilangan eritrosit yang
berlebihan, misalnya pada perdarahan atau kerusakan abnormal eritrosit muda dalam
darah, laju eritropoiesis dapat meningkat menjadi lebih dari enam kali lipat nilai normal.6
Siklus hidup sel darah merah dijelaskan pada gambar berikut :
31
Setelah dibentuk dan di sumsum tulang, sel darah merah akan dikeluarkan menuju
aliran darah. Tanpa DNA dan RNA, eritrosit tidak dapat membentuk protein untuk
memperbaiki sel, tumbuh, dan membelah atau memperbarui enzim-enzimnya. Eritrosit
hanya bertahan hidup selama sekitar 120 hari, dengan kecepatan penghancuran rata-rata
dua hingga tiga juta sel per detik.5
Seiring dengan proses penuaan, membrane plasma eritrosit yang tidak dapat
diperbaiki akan menjadi rapuh dan mudah pecah sewaktu sel terjepit melewati titik-titik
penyempitan di dalam system vaskular. Sebagian besar eritrosit tua dihancurkan di limpa,
karena jaringan kapiler organ ini yang sempit dan berkelok-kelok merusak sel-sel rapuh
ini. Sel darah merah dari sirkulasi akan keluar melalui arteriol di pulpa limpa, kemudian
melalui pori-pori kecil akan memasuki sinus limpa. Di dalam sinus limpa inilah eritrosit
dihancurkan, kemudian fragmen selnya difagosit oleh makrofag yang ada di sumsum
tulang, nodus limfoid, limpa, dan hati. Heme yang dihasilkan pada proses hemolisis akan
diubah menjadi bilirubin, sedangkan zat besi akan digunakan kembali untuk
pembentukan hemoglobin.6
Sekitar dua pertiga zat besi yang ada di dalam tubuh terkandung di dalam
hemoglobin. Seperempatnya ada dalam bentuk zat besi simpanan (ferritin, hemosiderin),
dan sisanya sebagai zat besi fungsional (mioglobin dan enzim-enzim yang mengandung
besi). Tubuh akan kehilangan zat besi sebesar 1-2 mg/hari. Penyerapan zat besi di usus
32
dan hemopexin, lalu difagosit oleh makrofag di sumsum tulang, hepar, dan limpa,
kemudian 97 persen zat besi akan digunakan kembali.6
Vitamin B12 (kobalamin) dan asam folat juga dibutuhkan dalam proses
eritropoiesis, terutama berperan dalam sintesis DNA. Berikut ini peran zat-zat tersebut
dalam proses eritropoiesis :
Gambar 2.7. Peran asam folat dan vitamin B12 dalam eritropoiesis
1). Etiopatogenesis
B. Anemia hemoragik
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a) Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
Anemia akibat defisiensi G6PD
c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia
Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a) Anemia hemolitik autoimun
b) Anemia hemolitik mikroangiopati
c) Lainnya
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang
kompleks
2). Gambaran morfologik (melalui indeks eritrosit atau hapusan darah tepi)
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan zat
besi (Fe), yang disebabkan oleh beberapa hal berikut :3
a. Kurangnya asupan Fe
Diet tidak adekuat, misalnya karena rendahnya asupan besi total
dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang dikonsumsi kurang
baik (makanan banyak serat, rendah daging, rendah vitamin C)
Gangguan absorpsi zat besi, misalnya pada gastrektomi, colitis
kronik, atau achlorhydria
b. Kehilangan Fe
Perdarahan saluran cerna
Perdarahan saluran kemih
Hemoglobinuria
Hemosiderosis pulmonari idiopatik
Telangiektasia hemoragik herediter
Gangguan hemostasis
Infeksi cacing tambang
c. Meningkatnya kebutuhan Fe
Bayi prematur
36
terjadi anemia hipokrom mikrositer. Pada saat ini, terjadi pula kekurangan
gejala
berlangsung 1-2 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal, dan endokrin.
Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolisme besi, sehingga terjadi
dapat disebabkan oleh beberapa penyakit atau kondisi, seperti infeksi kronik
idiopatik.3
hepatosit. Selain CRP, SAA, dan fibrinogen, protein fase akut lain yang
berhubungan penting dengan metabolisme besi antara lain: apoferritin,
transferin, albumin dan prealbumin.7
Pada proses infllamasi sintesis apoferritin oleh hepatosit dan makrofag
teraktivasi meningkat. Kadar fibrinogen meningkat 2–3 kali normal,
sedangkan transferin, albumin dan prealbumin merupakan protein fase akut
yang kadarnya justru menurun saat proses inflamasi.7
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi
dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh karena itu
penentuan parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya.
Rendahnya besi di anemia penyakit kronis disebabkan aktifitas mobilisasi besi
sistem retikuloendotelial ke plasma menurun, sedangkan penurunan saturasi
transferin diakibatkan oleh degradasi transferin yang meningkat. Kadar feritin
pada keadaan ini juga meningkat melalui mekanisme yang sama. Berbeda
dengan anemia defisiensi, gangguan metabolisme besi disebabkan karena
kurangnya asupan besi atau tidak terpenuhinya kebutuhan besi sebagai akibat
meningkatnya kebutuhan besi atau perdarahan
3. Anemia megaloblastik
a. Asupan kurang
i. Gangguan nutrisi : alkoholisme, bayi premature, orang
tua, hemodialisis, anoreksia nervosa.
ii. Malabsorpsi : alkoholisme, gastrektomi, reseksi usus
halus, Crohn’s disease, scleroderma, obat anti konvulsan,
hipotiroidisme.
b. Peningkatan kebutuhan, misalnya pada kehamilan, anemia
hemolitik, keganasan, hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa,
eritropoiesis yang tidak efektif.
39
koenzim aktif. Defisiensi folat mengakibatkan penurunan FH4 intrasel yang akan
mengganggu sintesis tidimilat yang selanjutnya akan mengganggu sintesis DNA.3
Ketidakmampuan sel untuk mensintesis DNA dalam jumlah yang
memadai akan memperlambat reproduksi sel, tetapi tidak menghalangi kelebihan
pembentukan RNA oleh DNA dalam sel-sel yang berhasil diproduksi. Akibatnya,
jumlah RNA dalam setiap sel akan melebihi normal, menyebabkan produksi
hemoglobin sitoplasmik dan bahan-bahan lainnya berlebihan, dan membuat sel
menjadi besar.3
6. Anemia hemolitik
sumsum tulang. Pada prinsipnya anema hemolitik dapat terjadi akibat defek
a. Enzimopati
b. Hemoglobinopati
c. Membranopati
bebas dioksidasi menjadi methemoglobin, yang terpecah lagi menjadi globin dan
Heme-Fe.7
Hemopexin plasma mengikat heme-Fe, namun jika kapasitas
pengikatannya berlebihan, maka heme-Fe bersatu dengan albumin membentuk
metheamalbumin. Hati berperan penting dalam mengeliminasi Hb yang terikat
dengan haptoglobin dan haemopexin dan sisa Hb bebas.7
7. Anemia aplastic
Didapat
2. Terjadi induksi produksi nitric oxide synthetase dan nitrit oksida oleh
sumsum tulang sehingga terjadi sitotoksisitas yang diperantarai system
imun.
3. Perangsang reseptor Fas akan mengaktivasi jalur intraseluler yang
menyebabkan penghentian siklus sel.
Sel T sitotoksik juga menghasilkan interleukin-2 (IL-2) yang berfungsi mengaktifkan
klon-klon sel T yang kemudian juga akan mengeluarkan TNF dan IFN-γ dan
menginhibisi hematopoietik.7
F. Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Contohnya, pada anemia
akibat infeksi cacing tambang dapat ditemukan keluhan sakit perut,
pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan.
G. Penegakkan Diagnosis
H. Penatalaksanaan
obat peroral atau kebutuhan besinya tidak terpenuhi secara peroral karena ada
selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratai. Respon terapi pemberian
preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari pemeriksaan laboratorium.
Preparat yang tersedia, yaitu: ferrous sulphat ( sulfat ferosus) : preparat
pilihan pertama ( murah dan efektif). Dosis 3 x 200 mg. Ferrous gluconate,
ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate, harga lebih mahal,
tetapi efektivas dan efek samping bhampir sama.
b) Preparat besi parenteral
Pemberian besi secara parenteral melalui dua cara yaitu secara
intramuskular dalam dan intravena pelan. Efek samping yang ditimbulkan
dapat berbahaya, yaitu reaksi anafilakksis, flebitis, sakit kepala, flushing,
mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop. Indikasi pemberian parenteral:
intoleransi oral berat, kepatuhan berobat kurang, kolitis ulseratif, perlu
peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil trimester akhir).
Kemampuan menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Preparat
yang sering digunakan adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/ml. Dosis berdasarkan :
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB(Kg) x 3
Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol citric acid
complex.
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam anemia penyakit kronik
berupa:
Jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan sembuh
dengan sendirinya.
Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat, atau
vitamin B 12.
Transfusi jarang diperlukan karena derajat annemia ringan.
Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan hemoglobin,
tetapi harus diberikan terus menerus.
Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiensi besi pemberian preparat besi
akan meningkatkan hemoglobin, tetapi kenaikan akan berhenti setelah
hemoglobin mencapai kadar 9 – 10 g/dL.
52
3. Anemia Sideroblastik
Terapi subsitusi/supplement
Penyebab anemia megaloblastik tersering pada anak adalah defisiensi
asam folat. Terapi dapat digunakan dengan pemberian asam folat.
Asam folat, diberikan 5 mg/hari per oral selama 4 bulan atau parenteral
dan vitamin C 200 mg/hari.
Vitamin B12 (bila pemberian terapi asam folat gagal) 15-30 µgi, diberikan
3 -5 kali/minggu sampai Hb normal, ppada anak besar dapat diberikan 100
µg. Bila perlu diteruskan pemberian vitamin B12 tiap bulan.
Pengobatan penyakit kausal/penyakit primer.
Transfusi darah bila terdapat indikasi: gagal jantung yang mengancam,
menghadapi tindakan operatif darah lengkap dosis 10-20
ml/KgBB/hari, PRC pada penderita tanpa perdarahan, whole blood bila
ada kehilangan volume darah, dosis disesuaikan banyaknya darah yang
hilang.
Respons terhadap terapi: retikulosit mulai naik hari 2 -3 dengan puncak pada hari
7 – 8. Hb harus naik 2 – 3 g/dL tiap minggu
.
5. Anemia hemolitik
Tergantung etiologinya :
a) Anemia hemolitik autoimun :
Glukokortikoid : prednison 40 mg/m2 luuas permukaan tubuh (LPT)/hari.
Splenektomi : pada kausa yang tidak berespon dengan pemberian
glukoortikoid.
53
6. Anemia aplastik
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan
diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala
anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan
sebagai berikut :
Diagnosis salah
Dosis obat tidak adekuat
Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung
menetap
Penyakit yang mempengaruhi absorbsi dan pemakaian besi
Pada anemia aplastik, prognosis tergantung pada tingkatan hipoplasia, makin
berat prognosis semakin jelek, pada umumnya penderita meninggal karena infeksi,
perdaraham atau akibat dari komplikasi transfusi. Prognosa dari anemia aplastik akan
menjadi buruk bila ditemukan 2 dari 3 kriteria berupa jumlah neutrofil <500/µL, jumlah
platelet <20000/µL, andcorrected reticulocyte count <1% ( atau absolute reticulocyte
count < 60000/µL). Perjalanan penyakit bervariasi, 25% penderita bertahan hidup selama
4 bulan, 25% selama 4 – 12 bulan, 35% selama lebih dari 1 tahun, 10-20% mengalami
perbaikan spontan (parsial/komplit).
I. Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan
diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala
anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan
sebagai berikut :
Diagnosis salah
Dosis obat tidak adekuat
Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung
menetap
Penyakit yang mempengaruhi absorbsi dan pemakaian besi
Pada anemia aplastik, prognosis tergantung pada tingkatan hipoplasia, makin
berat prognosis semakin jelek, pada umumnya penderita meninggal karena infeksi,
56
perdaraham atau akibat dari komplikasi transfusi. Prognosa dari anemia aplastik akan
menjadi buruk bila ditemukan 2 dari 3 kriteria berupa jumlah neutrofil <500/µL, jumlah
platelet <20000/µL, andcorrected reticulocyte count <1% ( atau absolute reticulocyte
count < 60000/µL). Perjalanan penyakit bervariasi, 25% penderita bertahan hidup selama
4 bulan, 25% selama 4 – 12 bulan, 35% selama lebih dari 1 tahun, 10-20% mengalami
perbaikan spontan (parsial/komplit).
3. SYOK HIPOVOLEMIK
A. Definisi
Syok hipovolemik didefinisikan sebagai penurunan perfusi dan oksigenasi
jaringan disertai kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh hilangnya volume
intravaskular akut akibat berbagai keadaan bedah atau medis (Greenberg, 2005).
B. Etiologi
Penurunan volume intravaskular yang terjadi pada syok hipovolemik dapat
disebabkan oleh hilangnya darah, plasma atau cairan dan elektrolit (Tierney, 2001).
Menurut Sudoyo et al. (2009), penyebab syok hipovolemik, antara lain:
1. Kehilangan darah
a. Hematom subkapsular hati
b. Aneurisma aorta pecah
c. Perdarahan gastrointestinal
d. Trauma
2. Kehilangan
plasma
a. Luka bakar luas
b. Pankreatitis
c. Deskuamasi kulit
d. Sindrom Dumping
3. Kehilangan cairan ekstraselular
a. Muntah (vomitus)
b. Dehidrasi
c. Diare
57
Pada tingkat selular, sel-sel dengan perfusi dan oksigenasi yang tidak
memadai mengalami kekurangan substrat esensial yang diperlukan untuk proses
metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada tahap awal, terjadi
kompensasi dengan proses pergantian menjadi metabolisme anaerobik yang
mengakibatkan pembentukan asam laktat dan berkembang menjadi asidosis
metabolik. Bila syok berkepanjangan dan pengaliran substrat esensial untuk
pembentukan ATP tidak memadai, maka membran sel akan kehilangan
kemampuan untuk mempertahankan kekuatannya dan gradien elektrik normal pun
akan hilang (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).
D. Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-
perdarahan serta perdarahan adalah sama meskipun ada sedikit perbedaan dalam
kecepatan timbulnya syok (Baren et al., 2009).
Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan
darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih dapat
dikompensasi oleh tubuh. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak
mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara
umum, syok hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan
nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek,
ujung-ujung ekstremitas dingin, dan pengisian kapiler lambat (Hardisman, 2013).
Pasien hamil bisa saja menunjukkan tanda dan gejala syok hipovolemik
yang atipikal hingga kehilangan 1500 ml darah tanpa terjadi perubahan tekanan
darah (Strickler, 2010).
Keparahan dari syok hipovolemik tidak hanya tergantung pada jumlah
kehilangan volume dan kecepatan kehilangan volume, tetapi juga usia dan status
kesehatan individu sebelumnya (Kelley, 2005).
Secara klinis, syok hipovolemik diklasifikasikan menjadi ringan, sedang
dan berat. Pada syok ringan, yaitu kehilangan volume darah 20%, vasokonstriksi
dimulai dan distribusi aliran darah mulai terhambat. Pada syok sedang, yaitu
kehilangan volume darah 20-40%, terjadi penurunan perfusi ke beberapa organ
seperti ginjal, limpa, dan pankreas. Pada syok berat, dengan kehilangan volume
darah lebih dari 40%, terjadi penurunan perfusi ke otak dan jantung (Kelley,
2005).
E. Diagnosa
Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa
ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan (Baren et
al., 2009). Ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok
hipovolemik berupa penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah,
peningkatan tahanan pembuluh darah, dan penurunan tekanan vena sentral
(Leksana, 2015).
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya
syok hipovolemik tersebut dapat berupa pemeriksaan pengisian dan frekuensi
nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-ujung jari, suhu
dan turgor kulit (Hardisman, 2013)
Berdasarkan persentase volume kehilangan darah, syok hipovolemik dapat
dibedakan menjadi 4 tingkatan atau stadium:
F. Komplikasi
G. Penatalaksanaan
PEMBAHASAN