Anda di halaman 1dari 35

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Skizofrenia adalah gangguan mental yang cukup luas dialami di Indonesia, di
mana sekitar 99% pasien di RSJ di Indonesia adalah penderita skizofrenia.1 Selain
itu, prognosis untuk penderita skizofrenia pada umumnya kurang
menggembirakan. Sekitar 25% pasien dapat pulih dari episode awal dan fungsinya
dapat kembali pada tingkat premorbid (sebelum muncul gangguan tersebut).
Sekitar 25% tidak akan pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung
memburuk. Sekitar 50% berada di antaranya, ditandai dengan kekambuhan
periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu yang
singkat.2

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah yang di bahas
dalam penelitian ini adalah bagaimana perbandingan tingkat kepatuhan minum
obat antara pasien skizofrenia yang berdomisili di dalam dan di luar kota Jambi di
RSJ daerah provinsi Jambi.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbandingan tingkat kepatuhan minum obat antara pasien
skizofrenia yang berdomisili di dalam dan di luar kota Jambi di RSJ
daerah provinsi Jambi.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui perbandingan tingkat kepatuhan minum obat antara pasien
skizofrenia yang berdomisili di dalam dan di luar kota Jambi di RSJ
daerah provinsi Jambi berdasarkan perbedaan jenis kelamin.
2. Mengetahui perbandingan tingkat kepatuhan minum obat antara pasien
skizofrenia yang berdomisili di dalam dan di luar kota Jambi di RSJ
daerah provinsi Jambi berdasarkan umur.
3. Mengetahui perbandingan tingkat kepatuhan minum obat antara pasien
skizofrenia yang berdomisili di dalam dan di luar kota Jambi di RSJ
daerah provinsi Jambi berdasarkan pekerjaan.
4. Mengetahui perbandingan tingkat kepatuhan minum obat antara pasien
skizofrenia yang berdomisili di dalam dan di luar kota Jambi di RSJ
daerah provinsi Jambi berdasarkan tingkat pendidikan.
5. Mengetahui perbandingan tingkat kepatuhan minum obat antara pasien
skizofrenia yang berdomisili di dalam dan di luar kota Jambi di RSJ
daerah provinsi Jambi berdasarkan status pernikahan.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Bagi Bidang Akademik
Hasil penelitian ini dapat menambah informasi, khususnya mengenai
perbandingan tingkat kepatuhan minum obat antara pasien skizofrenia
yang berdomisili di dalam dan di luar kota Jambi. Sebagai acuan dalam
mengembangkan ilmu kesehatan jiwa. Data dan hasil dari proses dapat
menjadi dasar atau data yang mendukung untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Bagi Peneliti
Manfaat penelitian bagi peneliti adalah menambah wawasan penelitian
tentang riset kedokteran khususnya tentang perbandingan tingkat
kepatuhan minum obat antara pasien skizofrenia yang berdomisili di dalam
dan di luar kota Jambi.
1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti Lain
Sebagai bahan studi bagi peneliti peneliti selanjutnya yang sejenis ataupun
penelitian ini dijadikan sebagai bahan acuan.

2
1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stigma Gangguan Jiwa


2.1.1 Pengertian Skizofren
Stigma istilah skizofrenia pertama kali dicetuskan oleh psikiater
berkewarganegaraan Swiss yakni Eugen Bleuler pada tahun 1911. Istilah
skizofrenia digunakan untuk mengganti istilah sebelumnya yang dicetuskan Emil
Kraeplin yakni dementia praecox. Skizofrenia sendiri berasal dari kata Yunani
schitos yang berarti terpotong atau terpecah dan phren yang berarti otak.
“skizofrenia sebagai gangguan psikotik menetap yang mencakup gangguan
persepsi , perilaku, pikiran, dan emosi penderitanya”. Skizofrenia termasuk
gangguan klinis yang paling berat dan paling merusak. Seseorang yang
mengalami gangguan skizofrenia tidak dapat memegang kendali atas dirinya
sendiri.5
Penderita akan semakin tidak peduli dengan lingkungan sekitar dan
bahkan pada beberapa kasus, penderita tidak peduli lagi pada kebersihan dirinya.
Simtom-simtom yang dirasakan penderita skizofrenia antara lain tidak bisa
berkonsentrasi, ada halusinasi, memiliki keyakinan yang salah atau waham.5
Simtom ini membuat perilaku skizofrenia menjadi aneh. Kadang mereka bisa
terlihat berbicara sendiri, memberi tanggapan yang tidak sesuai, berperilaku
agresif, dan bahkan kehilangan respon emosional yang sesuai dengan peristiwa
dalam hidupnya.5
2.1.2 Etiologi Skizofrenia
a. Data genetik
Sejumlah literatur yang meyakinkan mengindikasi bahwa suatu
predisposisi bagi skizofrenia diturunkan secara genetik. Metode keluarga,
kembar, dan adopsi digunakan dalam penelitian dan menyimpulkan bahwa
skizofrenia diturunkan secara genetik. Selain itu para pasien yang memiliki
riwayat skizofrenia dalam keluarga mengalami banyak gejala negatif
dibandingkan para pasien yang tidak memiliki riwayat skizofrenia dalam
keluarga.6 Hal itu menunjukan bahwa gejala-gejala negatif dapat mengandung
komponen genetik yang lebih kuat. Dengan demikian, data yang diperoleh
melalui metode keluarga mendukung bahwa suatu predisposisi terhadap
skizofrenia dapat menurun secara genetik.
Meskipun demikian, berbagai studi yang lebih mutakhir terhadap anak-
anak yang orang tuanya menderita skizofrenia yang dibesarkan oleh orangtua
asuh dan orangtua adopsi, ditambah pemantauan terhadap para kerabat anak-
anak adopsi yang menderita skizofrenia, hampir menghilangkan potensi
pengaruh lingkungan yang membingungkan. Faktor-faktor genetik hanya
dapat menjadi pemberi predisposisi terhadap skizofrenia. Diperlukan beberapa
jenis stres untuk membuat predisposisi menjadi patologi yang dapat diamati.6
a. Faktor genetik
Serangkaian studi genetik menunjukkan komponen genetik merupakan
pewarisan sifat skizofrenia. Temuan ini mengemukakan bahwa pengaruh
genetik lebih besar daripada pengaruh lingkungan. Skizofrenia yang paling
sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di
tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan
mengapa ada gradasi tingkat keparahan dan kecendrungan orang yang
mengalami skizofrenia berkaitan erat hubungan dengan keluarga yang
terkena.7,8
b. Faktor Neurobiologi
Dalam penelitian, diindikasi adanya peran patofisiologi area otak tertentu
termasuk sistem limbik, korteks frontal, serebelum dan ganglia basalis.
Keempat area ini saling terhubung sehingga disfungsi satu area dapat
melibatkan proses patologi primer di tempat lain, terutama pada sistem limbik
sebagai lokasi potensial proses patologi primer didapati daripada pemeriksaan
neuropatologi jaringan otak.8
c. Faktor Psikososial
Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan jiwa
adalah adanya stressor psikososial. Stressor Psikososial adalah setiap keadaan
atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang

4
(anak, remaja atau dewasa) sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi
dan mampu menanggulanginya, sehingga timbul keluhan – keluhan di bidang
kejiwaan berupa gangguan jiwa dari yang ringan hingga yang berat.9
Faktor psikososial meliputi teori psikoanalitik, teori pembelajaran, dan
teori dinamika keluarga.8
1. Teori psikoanalitik
Sigmound freud mendalilkan bahwa skizofrenia merupakan akibat
fiksasi
(ketidakmampuan mengendalikan rasa takut) dalam perkembangan yang
terjadi
pada masa awal kehidupan. Terdapat juga efek ego yang berperan dalam
timbulnya gejala skizofrenia.8
2. Teori pembelajaran
Anak yang dikemudian hari menderita skizofrenia mempelajari reaksi
dan cara berpikir yang irasional dengan cara meniru orang tua yang
memiliki masalah emosional. Skizofrenia berkembang oleh karena
hubungan interpersonal yang buruk salama masa anak-anak.8
3. Dinamika keluarga
Penelitian di Inggris pada anak berumur 4 tahun yang memiliki
hubungan yang buruk dengan ibunya, ternyata berpeluang 6 kali lipat
berkembang menjadi skizofrenia. Tetapi, tidak ada bukti kuat yang
mengindikasikan bahwa suatu pola keluarga khusus memainkan peran
dalam timbulnya skizofrenia.8
2.1.3 Gejala Klinis Skizofrenia
Gejala-gejala yang dialami pasien skizofrenia mencakup gangguan dalam
beberapa hal penting dan mencakup segala aspek kehidupan, yakni pikiran,
persepsi, pemusatan perhatian, perilaku motorik, afek atau emosi, dan
keberfungsian hidup. Keberfungsian hidup mencakup fungsi perawatan diri,
fungsi kualitas hidup, fungsi peran atau pekerjaan, dan fungsi sosial.10
Oleh karena para pasien skizofrenia dapat berbeda antara satu dengan
lainnya, menunjukan bahwa pengelompokan para pasien ke dalam berbagai tipe

5
yang mencerminkan konstelasi beberapa masalah tertentu merupakan suatu hal
yang tepat. Dibawah ini akan disajikan simptom-simptom utama skizofrenia yang
akan disajikan dalam 3 kategori:
1. Gejala positif
Gejala positif skizofrenia mencakup hal-hal yang berlebihan dan distorsi,
seperti halusinasi dan waham. Gejala ini sebagian besarnya mencakup episode
akut skizofrenia.
a) Waham
Gejala pertama yang akan dibahas dalam gejala positif skizofrenia
adalah delusi atau dikenal juga dengan istilah waham. Hawari
mengungkapkan waham sebagai keyakinan yang tidak rasional dan
walaupun sudah dibuktikan secara objektif bahwa keyakinan yang
dianutnya itu salah, penderita tetap meyakini kebenaranya.11

Waham dapat juga diartikan sebagai keyakinan yang berlawanan


dengan kenyataan.12Nevid mengungkapkan waham sebagai keyakinan
yang salah dan bersifat menetap pada pikiran seseorang tanpa
mempertimbangkan dasar yang tidak logis dan tidak ada bukti untuk
mendukung hal itu.Waham dapat memiliki beberapa bentuk yang berbeda.8
Waham yang paling sering dialami penderita skizofrenia adalah waham
kejaran. Waham kejaran terjadi pada 65% dari suatu sampel besar lintas
negara.12 Selain waham kejaran, waham yang umumnya terjadi pada
penderita skizofrenia.antara lain waham referensi dimana penderita
skizofrenia merasa dirinya sedang dibicarakan atau menjadi bahan obrolan
orang lain, waham dikendalikan yakni penderita skizofrenia merasa
dirinya dikendalikan oleh kekuatan yang berasal dari luar, dan waham
kebesaran yang menyakini bahwa dirinya adalah Tuhan atau seseorang
yang berada dalam misi khusus.

b) Halusinasi
Gejala kedua yang ada dalam gejala positif skizofrenia adalah
halusinasi. Hawari menyebutkan bahwa persepsi adalah pengalaman panca

6
indra tanpa adanya rangsangan atau stimulus.23 Penderita skizofrenia
sering mempersepsi objek-objek diluar dirinya yang sebenarnya objek itu
tidaklah ada. Halusinasi yang paling sering terjadi adalah halusinasi
auditori, 74% dari suatu sampel menuturkan mengalami halusinasi
auditori.12 Simtom positif skizofrenia yang telah diuraikan diatas sangat
menganggu lingkungan dan merupakan salah satu motivasi keluarga untuk
membawa penderita berobat .11
2. Gejala negatif
Gejala negatif skizofrenia mencakup berbagai defisit behavioral, seperti
avolition, alogia, anhedonia, afek datar, dan asosialitas. Gejala-gejala ini
cenderung bertahan melampaui suatu episode akut dan memiliki efek parah
terhadap kehidupan para pasien skizofrenia. Gejala ini juga penting se secara
prognostik, banyaknya gejala negatif merupakan prediktor kuat terhadap
kualitas hidup yang rendah.13
a) Avolition
Apati atau avolition merupakan kondisi kurangnya energi dan
ketiadaan minat atau ketidakmampuan untuk tekun melakukan apa yang
biasanya merupakan aktivitas rutin.
b) Alogia
Merupakan suatu gangguan pikiran negatif, alogia dapat terwujud
dalam beberapa bentuk. Seperti miskin isi percakapan, jumlah
percakapan yang memadai, namun hanya mengandung sedikit informasi
dan cenderung membingungkan serta diulang-ulang.
c) Anhedonia
Ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan disebut anhedonia.
Ini tercermin dalam kurangnya minat dalam berbagai aktivitas
rekreasional, gagal untuk mengembangkan hubungan dekat dengan orang
lain, dan kurangnya minat dalam hubungan seks. Pasien sadar akan
gejala-gejala ini dan menuturkan bahwa apa yang biasanya dianggap
aktivitas yang menyenangkan tidaklah demikian bagi mereka.

7
d) Afek datar
Pada pasien yang memiliki afek datar hampir tidak ada stimulus yang
dapat memunculkan respons emosional. Pasien menatap dengan
pandangan kosong, otot-otot wajah kendur, dan mata mereka tidak hidup.
Ketika diajak bicara, pasien menjawab dengan suara datar dan tanpa
nada. Afek datar terjadi pada 66% dari suatu sampel besar pasien
skizofrenia.13
e) Asosialitas
Beberapa pasien mengalami ketidakmampuan parah dalam hubungan
sosial, yang disebut asosialitas. Mereka hanya memiliki sedikit teman,
keterampilan sosial yang rendah, dan sangat kurang berminat berkumpul
bersama orang lain. Manifestasi skizofrenia ini sering kali merupakan
yang pertama kali muncul, berawal dari masa kanak-kanak sebelum
timbulnya gejala-gejala yang lebih psikotik.
3. Gejala disorganisasi
Gejala disorganisasi mencakup disorganisasi pembicaraan dan perilaku
aneh (bizarre).
a) Disorganisasi Pembicaraan juga dikenal sebagai ganguan berpikir formal,
dan merujuk pada masalah dalam mengorganisasikan berbagai pemikiran
dan dalam berbicara sehingga pendengar dapat memahaminya.
Pembicaraan juga menjadi terganggu karena suatu hal yang disebut
asosiasi longgar, atau keluar jalur (derailment), dalam hal ini pasien
dapat lebih berhasil dalam berkomunikasi dengan seorang pendengar
namun mengalami kesulitan untuk tetap pada satu topik. Ia tampak
seolah terbawa oleh aliran asosiasi yang muncul dalam pikiran yang
berasal dari suatu pemikiran sebelumnya. Para pasien memberikan
deskripsi atau kondisi tersebut.
b) Perilaku aneh terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dapat meledak
dalam kemarahan atau konfrontasi singkat yang tidak dapat dimengerti,
memakai pakaian yang tidak biasa, bertingkah laku seperti anak-anak
atau dengan gaya yang konyol, menyimpan makanan, mengumpulkan

8
sampah, atau melakukan perilaku seksual yang tidak pantas seperti
melakukan manstrubasi di depan umum. Mereka tampak kehilangan
kemampuan untuk mengatur perilaku mereka dan menyesuaikan dengan
berbagai standar masyarakat. Mereka juga menampilkan kesulitan
melakukan tugas-tugas sehari-hari dalam hidup.
4. Gejala lain
Beberapa gejala lain skizofrenia yang tidak cukup tepat untuk
digolongkan ke dalam ketiga lategori yang telah disampaikan. Dua gejala
penting dalam kelompok ini adalah katatonik dan afek yang tidak sesuai :
a) Katatonik
Beberapa abnormalitas motorik menjadi ciri katatonia. Para pasien dapat
melakukan suatu gerakan berulang kali, mengunakan urutan yang aneh
dan kompleks antara gerakan jari, tangan, dan lengan, yang sering kali
tampaknya memiliki tujuan tertentu. Beberapa pasien menunjukan
peningkatan yang tidak biasa pada keseluruhan kadar aktivitas, termasuk
sangat ringan, menggerakan anggota badan secara liar, dan pengeluaran
energi yang sangat besar seperti yang terjadi pada mania. Di ujung lain
spektrum ini adalah imobilitas katatonik : pasien menunjukan berbagai
postur yang tidak biasa dan tetap dalam posisi demikian untuk waktu
yang sangat lama.
b) Afek yang tidak sesuai
Beberapa penderita skizofrenia memiliki afek yang tidak sesuai. Respon-
respon emosional individu semacam ini berada di luar konteks, pasien
dapat tertawa ketika mendengar kabar bahwa ibunya baru meninggal atau
marah ketika ditanya dengan pertanyaan sederhana. Para pasien tersebut
dengan cepat berubah dari satu kondisi emosional ke kondisi emosional
lain tanpa alasan yang jelas. Meskipun gejala ini cukup jarang terjadi,
namun bila benar-benar terjadi, gejala ini memiliki kepentingan
diagnostik yang besar karena relatif spesifik bagi skizofrenia.

9
2.1.4 Kategori Skizofrenia
Kategori sizofrenia dalam PPDGJ III yaitu :14
1. F20.0 Skizofrenia Paranoid
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Sebagai tambahan :
 halusinasi dan/atau waham harus menonjol.
a) suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi
pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing)
b) halusinasi pembauan atau pengecapan-rasa, atau ber:sifat seksual, atau
lainlain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol.
c) waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau
"passivity" (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang paling khas.
 gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/ tidak menonjol.
2. F20.1 Skizofrenia Hebefrenik
a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b) Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia
remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
c) Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu dan senang
menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan
diagnosis.
d) Untuk diagnosis hebefrenia yang meyahinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk
memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar
bertahan :

10
- perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecendrungan untuk selalu menyendiri (solitary),
dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan.
- afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering
disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-
satisfied), senyum sendiri (self-absorbed smilling), atau oleh sifat
tinggi hati (lofty manner). Tertawa menyeringai (grimaces).
Mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks),keluhan
hipokondriakal dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated
phrases).
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren.
e) Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi
biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and
hallucinations). Dorongan kehendak (drive), dan yang bertujuan
(determination). Hilang serta sasaran ditinggalkan,sehingga prilaku
penderita memperlihatkan ciri khas yaitu berupa, tanpa tujuan
(aimless), dan tanpa maksud (empty of puspose),adanya suatu
preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama,
filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang
memahami jalan pikiran pasien.
3. F20.2 Skizofrenia Katatonik
a) Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
b) Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinisnya :
- Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan
dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara)
- Gaduh-gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan,
yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal).

11
- Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh)
- Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
semua perintah atau upaya untuk menggerakkan atau pergerakan
kearah yang berlawanan.
- Regiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku, untuk melawan
upaya menggerakan dirinya)
- Fleksibilitas cerea/ waxy flexibility (mempertahankan anggota gerak
dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar) dan
- Gejala-gejala lain seperti "command automatism" (kepatuhan secara
otomatis terhadap perintah),dan pengulangan kata-kata serta kalimat.
c) Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda
sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala
lain. Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan
petunjuk diagnostik untuk skizofrenia gejala katatonik dapat
dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol atau
obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
4. F20.3 Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated)
a. Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
b. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik;
c. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi
pasca-skizofrenia
5. F20.4 Depresi Pasca-skizofrenia
a. Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
- pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini.
- beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya); dan

12
- gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif (F32), dan telah ada dalam
kurun waktu paling sedikit 2 minggu.
b. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis
menjadi Episode Depresif (F32). Bila gejala skizofrenia masih jelas
dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia
yang sesuai (F 20.0-F20.3).
6. F20.5 Skizofrenia Residual
a. Untuk suatu diagnolis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi semua :
- Gejala "negatif' dari skizofrenia yang menonjol, misalnya
perlambatan, psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul,
sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi
pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam
ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh,
perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk
- sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa
lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
- sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas
dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah
sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom "negatif” dari
skizofrenia
- tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan
disabilitas negatif tersebut
7. F20.6 Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara menyakinkan
karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan
dan progresif dari :

13
- Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual (lihat F20.5
diatas) tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi
lain dari episode psikotik
- Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang
bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok,
tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara
sosial.
2.1.5 Terapi Bagi Penderita Skizofrenia
Penanganan pada penderita skizofrenia mencakup banyak segi,
menggabungkan pendekatan farmakologis, psikologis, dan rehabilitasi.
Kebanyakan orang skizofrenia yang dirawat dalam lingkup kesehatan mental yang
terorganisir menerima beberapa bentuk obat antipsikotik, yang dimaksudkan
untuk mengendalikan pola-pola perilaku yang lebih ganjil , seperti halusinasi dan
waham, dan untuk mengurangi resiko kambuh yang berulang. Berikut ini adalah
terapi yang dapat diberikan pada penderita skizofrenia:
1. Terapi Farmakologi
Pada pendekatan farmakologis, penderita skizofrenia biasanya diberikan
obat antipsikotik. Antipsikotik juga dikenal sebagai penenang mayor atau
neuroleptik.8 “Pengobatan antipsikotik membantu mengendalikan pola
perilaku yang lebih mencolok pada skizofrenia dan mengurangi kebutuhan
untuk perawatan rumah sakit jangka panjang apabila dikonsumsi pada saat
pemeliharaan atau secara teratur setelah episode akut”.9 Antipsikotik yang
biasa digunakan meliputi phenotiazines chlorpromazine (Thorazine),
thioridazine (Mellaril), trifluoperazine (Stelazine), fluphenazine, (Prolixin).
Meskipun kita tidak dapat mengatakan dengan pasti bagaimana obat-
obatan ini bekerja, akan tetapi penderita memperoleh efek terapiutik dengan
menghambat reseptor dopamin di otak. Dengan terhambatnya reseptor
dopamin di otak, hal ini menekan tanda-tanda skizofrenia yang mencolok
seperti waham dan halusinasi. Obat-obatan antipsikotik ini sifatnya
mengendalikan ciri-ciri menonjol dari skizofrenia , akan tetapi tidak
menyembuhkan.9 Pemberian terapi farmakologi dengan memberikan obat-

14
obatan saja tidak cukup untuk membantu penderita skizofrenia untuk
memenuhi sisi kebutuhan hidupnya. Terapi farmakologi harus ditunjang
dengan pemberian terapi lain yang bersifat membantu penderita agar dapat
kembali kelingkungan sosial melalui psikoedukasi
dan pelatihan-pelatihan keterampilan sosial. Pernyataan ini didukung
oleh Penn & Mueser (1996) yang mengatakan bahwa perawatan pada
penderita skizofrenia membutuhkan model perawatan yang menyeluruh
mencakup elemen-lemen antipsikotik, perawatan medis, terapi keluarga,
interversi krisis, dan rehabilitasi.9
2. Terapi Psikososial
Salah satu dampak yang mencolok pada penderita skizofrenia adalah
kegagalan menjalin hubungan sosial. Hal ini dikarenakan skizofrenia merusak
fungsi sosial penderitanya. Untuk mengatasi hal yang demikian, biasanya
penderita diberikan terapi psikososial yang bertujuan agar dapat kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosialnya, mampu merawat diri, mampu
mandiri tidak tergantung pada orang lain.11 Penderita diupayakan untuk tidak
sendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan, dan banyak bergaul.
Terapi psikososial yang lebih konkrit adalah dengan menggunakan terapi
behavioral. Terapi belajar membantu penderita skizofrenia untuk
mengembangkan perilaku yang lebih adaptif yang dapat membantu mereka
menyesuaikan diri secara lebih efektif untuk hidup dalam komunitas.9
Metode terapi meliputi teknik-teknik seperti pemberian reinforcement ,
token ekonomi, dan pelatihan keterampilan sosial. Pemberian reinforcement
adalah dengan memberikan perhatian pada perilaku yang sesuai dan
mengacuhkan atau tidak memberikan perhatiaan saat penderita berperilaku
tidak sesuai.9
Pada token ekonomi, penderita skizofrenia akan diberikan hadiah jika
perilakunya sesuai dengan token.9 Paul dan Lentz (1977) mengungkapkan
bahwa pemberian token ekonomi pada penderita skizofrenia meningkatkan
perilaku adaptif pasien dirumah sakit, menurunkan kebutuhan akan obat-

15
obatan , dan memperpanjang keterlibatan komunitas pasca perawatan di
rumah sakit.9
Terakhir adalah pemberian pelatihan keterampilan sosial pada penderita
skizofrenia dengan tujuan membantu individu memperoleh sejumlah
keterampilan sosial vokasional.9 Latihan keterampilan sosial dapat
menggunakan kaset video orang lain dan pasien, bermain peran (Role Play)
dalam terapi kelompok, dan pekerjaan rumah tentang keterampilan yang telah
dilakukan.9 Penelitian telah menunjukan bahwa pemberian pelatihan
keterampilan sosial pada penderita skizofrenia dapat meningkatkan
keterampilan sosial dan fungsi adaptif dari pasien skizofrenia dalam
komunitas.9
3. Rehabilitasi
Bagi penderita skizofrenia yang berulang kali kambuh dan kronis, selain
pemberian program terapi, diperlukan program rehabilitasi sebagai persiapan
penempatan kembali penderita di kehidupan keluarga dan masyarakat.
Program rehabilitasi biasanya diberikan di bagian lain dalam rumah sakit jiwa
yang memang dikhususkan untuk rehabilitasi. Disana terdapat banyak
kegiatan yang termasuk dalam terapi okupational (occupational therapy)
yang bisa meliputi kegiatan membuat kerajinan tangan, melukis, membuat
sulak, menyanyi dan lain-lain.
Pada umumnya program rehabilitasi berlangsung 3-6 bulan. 11 Bila
program rehabilitasi ini berjalan dengan baik, maka penderita skizofrenia
dinyatakan siap kembali kerumah dengan keterampilan dan penyesuaian diri
yang lebih baik sehingga produktivitas kerjanya dapat dipulihkan. Russel
Barton (1970) menyatakan bahwa 50 persen penderita skizofrenia kronis yang
menjalani program rehabilitasi dapat kembali produktif dan mampu
menyesuaikan diri kembali di keluarga dan masyarakat.11
4. Program Intervensi Keluarga
Konflik-konflik keluarga dan interaksi keluarga yang negatif dapat
menumpuk stres pada anggota keluarga yang mengalami skizofrenia, dan hal
ini meningkatkan resiko kekambuhan yang berulang.8 Pada prakteknya

16
intervensi keluarga memiliki banyak variasi, tetapi pada umumnya intervensi
keluarga yang dilakukan memfokuskan pada aspek praktis dari kehidupan
sehari-hari, mendidik anggota keluarga tentang skizofrenia, mengajarkan
mereka bagaimana cara berhubungan dengan cara yang tidak terlalu frontal
terhadap anggota keluarga yang menderita skizofrenia, meningkatkan
komunikasi dalam keluarga, dan memacu permecahan masalah yang efektif
dan keterampilan koping untuk menangani masalah-masalah dan perselisihan
keluarga.9
2.1.6 Prognosis Skizofrenia
Prognosis untuk penderita skizofrenia pada umumnya kurang
menggembirakan. Sekitar 25% pasien dapat pulih dari episode awal dan fungsinya
dapat kembali pada tingkat premorbid (sebelum muncul gangguan tersebut).
Sekitar 25% tidak akan pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung
memburuk. Sekitar 50% berada di antaranya, ditandai dengan kekambuhan
periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu yang
singkat.15
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa lebih dari periode 5 sampai
10 tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali dirumah sakit karena
skizofrenia, hanya kira-kira 10-20% pasien dapat digambarkan memiliki hasil
yang baik. Lebih dari 50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang buruk,
dalam perawatan dirumah sakit yang berulang, eksaserbasi gejala, episode
gangguan mood berat, dan usaha bunuh diri. Walaupun angka yang kurang bagus
tersebut, skizofrenia memang tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang
buruk, dan sejumlah faktor telah dihubungkan dengan prognosis yang baik.

2.2 Kepatuhan
2.2.1 Defenisi Kepatuhan
Patuh dalam kamus besar bahasa Indonesia didefinisikan sebagai suka
menurut perintah, taat perintah, sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai
dengan aturan atau berdisiplin.16 Kepatuhan atau ketaatan adalah derjat dimana
pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya. Misalkan

17
mematuhi perjanjian, mengikuti dan mentaati program pengobatan, menggunakan
medikasi secara tepat, dan mengikuti perubahan anjuran perilaku. Kepatuhan
tergantung pada situasi klinis, dan program pengobatan.7
Kepatuhan adalah keputusan yang diambil oleh pasien setelah
membandingkan resiko yang dirasakan jika tidak patuh dan keuntungan dari
pengobatan. Kepatuhan didefinisikan sebagai tingkat perilaku pasien (di dalamnya
termasuk mendapat pengobatan, diet dan perilaku gaya hidup yang lain).17
Kepatuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu berkaitan dengan pasien,
berkaitan dengan dokter dan berkaitan dengan obat.18
a. Pengaruh yang berkaitan dengan pasien
Masalah yang menjadi kontroversial dalam hubungan ketidakpatuhan
adalah umur. Dikalangan muda, terutama pria cenderung memiliki tingkat
kepatuhan yang buruk terhadap pengobatan. Hal ini terjadi kemungkinan
disebabkan pada dewasa muda banyak aktivitas yang dilakukan pada umur
produktifnya. Sedangkan, pasien yang berumur lanjut mempunyai
permasalahan ketidakpatuhan terhadap dosis yang diberikan dikarenakan pada
orang tua kemungkinan memiliki defisit memori, sehingga dapat
mempengaruhi kepatuhannya. Orang tuapun sering mendapat berbagai macam
obat-obatan sehubungan dengan kormobiditas fisik.18
b. Pengaruh yang berkaitan dengan dokter
Dasar dari kepatuhan dalam pengobatan adalah hubungan terapi yang
dibangun oleh dokter dengan pasien. Dokter yang mau meluangkan waktunya
mendengarkan keluhan pasien, serta memberi informasi adalah penting untuk
terciptanya hubungan yang baik. Dokter memberi informasi tentang
penyakitnya dan rencana pengobatan kepada pasien dan keluarga. Dalam
berkomunikasi, dokter juga dapat merubah gaya dan bahasa yang mudah
dimengerti pasien sehingga dapat tercipta hubungan terapi yang baik dan dapat
meningkatkan kepatuhan.
c. Pengaruh terkait dengan obat
Sebagian obat antipsikotik memiliki masa pencapaian efek terapi yang
lebih lama, sehingga pasien tidak merasakan efek positif dari pengobatan.

18
Sebaliknya,pasien merasakan efek samping terlebih dahulu sebelum efek
positif. Hal ini yang menyebabkan kebanyakan pasien mengalami putus obat.18
2.2.2 Faktor-faktor ketidakpatuhan minum obat pada skizofrenia
Kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia di Indonesia dijumpai
sebanyak 40% sedangkan yang tidak patuh pada pengobatan sebanyak 25%
Faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan telah diidentifikasi termasuk:
riwayat tidak patuh sebelumnya, insight yang jelek, perilaku yang negatif atau
respons negatif terhadap pengobatan, riwayat ketergantungan obat saat ini atau
sebelumnya, hubungan yang buruk dengan terapis, lamanya sakit, menolak untuk
dirawat inap tanpa adanya pengobatan atau lingkungan yang adekuat. Stres yang
berhubungan dengan efek samping yang spesifik atau ketakutan secara umum
terhadap efek samping, efikasi yang tidak kuat terhadap simtom yang menetap
dan meyakini bahwa pengobatan tidak diperlukan dalam jangka waktu yang
lama.4
Berdasarkan umur pasien, pasien yang lebih muda menunjukkan tingkat
ketidakpatuhan lebih tinggi daripada yang lebih tua. Bagaimanapun juga pasien
yang lebih tua kemungkinan gagal untuk mematuhi pengobatan karena
berkurangnya fungsi kognitif termasuk hilangnya working memory dan gangguan
fungsi performa eksekutif. Namun, umur dewasa awal khususnya pria mempunyai
kecendrungan tidak patuh akibat banyaknya aktivitas yang dilakukan pada umur
produktifnya.16 Status perkawinan tidak dijumpai sebagai faktor risiko. Beberapa
studi menunjukkan kesulitan finansial dan pendidikan yang rendah merupakan
faktor risiko.4
2.2.3 Kuesioner MMAS-8 sebagai alat ukur kepatuhan minum obat
Untuk memastikan pasien mengikuti pengobatan dengan baik adalah tugas
dari seorang dokter. Hal tersebut menjadi sulit karena tidak sepanjang waktu
dokter bersama pasien, sehingga dibutuhkan suatu alat ukur untuk menentukan
nilai kepatuhan pasien. Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) adalah
kuesioner yang pertama kali diterbitkan oleh morisky dan rekan-rekan pada tahun
1986.19

19
Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) merupakan salah satu alat
ukur untuk menilai kepatuhan minum obat pasien. Kuesioner ini memiliki
pertanyaan sederhana, tetapi efektif dalam menilai kepatuhan. Walaupun MMAS
dibentuk pada tahun 1986, namun masih sering digunakan pada penelitian terkini.
Sensitivitas dan spesifisitasnya masing-masing 81% dan 44%.17,18 Pada tahun
2008, MMAS diubah menjadi delapan butir pertanyaan disebut Morisky
Medication Adherence Scale-8 (MMAS-8) yang dikembangkan dari empat item
skala Morisky asli. Sensitivitas dan spesifisitas meningkat masingmasing menjadi
93% dan 53%. MMAS-8 dirancang untuk menggambarkan perilaku pengobatan
pasien tetapi tampaknya tidak dapat secara komprehensif menilai alasan atau
prediktor kepatuhan pengobatan.4

20
2.3 Kerangka konsep
Kerangka konsep berdasarkan rumusan masalah yang ada dan tinjauan pustaka
dapat di gambarkan sebagai berikut :

Skizofrenia

- Jenis Kelamin
- Umur
- Pekerjaan
- Tingkat Pendidikan
- Status Pernikahan

Dalam Kota Jambi Luar Kota Jambi

Tingkat Kepatuhan
Minum Obat

Kategori Berdasarkan MMAS-8


1) Tinggi :8
2) Sedang : 6 - <8
3) Rendah :<6

Gambar 2.1 Kerangka konsep perbandingan tingkat kepatuhan minum obat antara
pasien skizofrenia yang berdomisili di dalam dan di luar kota Jambi di RSJ daerah
provinsi Jambi.

21
2.4 Hipotesis
2.4.1 Hipotesis Null (H0)
Tidak terdapat perbedaan tingkat kepatuhan minum obat antara pasien
skizofrenia yang berdomisili di dalam dan di luar kota Jambi di rumah sakit jiwa
daerah provinsi Jambi.

2.4.2 Hipotesis Alternatif (Ha)


Terdapat perbedaan tingkat kepatuhan minum obat antara pasien
skizofrenia yang berdomisili di dalam dan di luar kota Jambi di rumah sakit jiwa
daerah provinsi Jambi.

22
1

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian


Metode pada penelitian ini yaitu analitik dengan pendekatan cross
sectional (potong lintang) karena pengukuran data untuk mengetahui faktor yang
berhubungan dengan perbandingan tingkat kepatuhan minum obat antara pasien
skizofrenia yang berdomisili di dalam dan di luar kota Jambi di RSJ daerah
provinsi Jambi.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Poliklinik jiwa RSJ Daerah Provinsi Jambi dari bulan
Agustus - November 2020.
3.3 Subjek Penelitian
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang menderita skizofrenia.
Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah jumlah kunjungan dari bulan
November - Desember tahun 2019 sebanyak 3.946 orang.
3.3.2 Sampel penelitian dan Besar sampel:
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien skizofrenia yang rawat jalan Di
RSJ Daerah Provinsi Jambi yang terpilih sesuai dengan kriteria. Adapun
jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 3.946 pasien periode November
sampai dengan Desember tahun 2019
Setelah diketahui jumlah populasi yang ada, kemudian selanjutnya
ditentukan besar sampel penelitian yang digunakan berdasarkan populasi dan
kriteria inklusi yang memenuhi.

Namun bila dilakukan perhitungan jumlah sampel minimal menggunakan


rumus Lemeshow sebagai berikut :

n= Z2 1- α/2 × p (1-p ) N
d2 (N-1) + z21- α/2 × p (1-p )
Dengan keterangan :
n = Besar sampel
Zα.2 = Nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α/2 = 1,96 (95% derajat
kepercayaan)
p = Proporsi hal yang diteliti yaitu 0,5 (proporsi 50%)
d = Presisi = 0,10
N = Jumlah populasi ( 3.946 )

Maka diperoleh besar sampel minimal :


n = (1,96)2 × 0,5 ( 1-0,5 ) 3.946
0,102 (3.946-1) + 1,962 × (0,50) (1-0,50)

= 3.789,73 = 93 orang sampel


40,41
Jika menggunakan jumlah sampel minimal dalam penelitian ini, maka
jumlah sampel ditambah 10% dari total sampel, yaitu menjadi sebanyak 102
orang sampel.
3.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.3.3.1 Kriteria inklusi pada penelitian ini diantaranya yaitu:
1) Pasien yang telah didiagnosa skizofrenia berdasarkan kriteria diagnosis
PPDGJ III.
2) Pasien skizofrenia telah menjalani pengobatan rawat jalan minimal 1
bulan.
3) Pasien yang bisa kooperatif dan mampu memberikan informasi
4) Pasien yang menyetujui diri sebagai responden.
5) Pasien yang berdomisili di Provinsi Jambi.

3.3.3.2 Kriteria eksklusi pada penelitian ini diantaranya yaitu :


1) Pasien skizofrenia yang menggunakan zat terlarang

24
3.3.4 Cara Pengambilan Sampel
Setelah kita menentukan populasi dan kriteria inklusi maupun eksklusi, maka
kegiatan selanjutnya adalah menentukan cara pengambilan sampel (sampling).
Sampel dalam penelitian ini ditetapkan secara non probability sampling dengan
teknik consecutive sampling, yaitu pasien yang memenuhi kriteria inklusi
dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek terpenuhi.

3.4 Definisi Operasional


Definisi operasional variabel adalah penjelasan tentang bagaimana suatu
variabel akan diukur serta alat ukur apa yang digunakan untuk mengukurnya.
Tabel 3.1 Defenisi Operasional
No Variabel Defenisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Dan Cara
Ukur

1 Umur Suatu waktu yang Dilihat Dibagi dalam Ordinal


dimulai saat dari beberapa kategori
kelahiran sampai kuesioner yaitu sebagai
dengan waktu tentang berikut:
perhitungan usia identitas 1. Remaja akhir
pasien (17-25 tahun)
2. Dewasa awal
(26-35 tahun)
3. Dewasa akhir
(36-45 tahun)
4. Lansia awal
(46-55 tahun)
5. Lansia akhir
(56-65 tahun)
6. Manula (>65
tahun)
2 Jenis Perbedaan antara Dilihat Laki-laki Ordinal
kelamin perempuan dan dari Perempuan
laki-laki secara kuesioner
biologis sejak tentang
lahir identitas
pasien

3 Pekerjaan Kegiatan yang Dilihat Bekerja Nominal


dilakukan setiap dari Tidak Bekerja

25
hari oleh kuesioner
responden dan tentang
mendapat upah identitas
dari pekerjaannya pasien

4 Pendidikan Jenjang Dilihat Pembagian Ordinal


pendidikan dari kategori
terakhir yang kuesioner pendidikan
ditempuh oleh tentang menggunakan :
keluarga pasien identitas 1. Tidak sekolah
pasien 2. SMP
3. SMA/SM
4. PT/akademik

5 Status Status pernikahan Dilihat Pembagian Nominal


Pernikahan yang dari kategori status
dikategorikan kuesioner perkawinan
dalam bentuk tentang menggunakan :
belum/tidak identitas 1. Belum
kawin/kawin pasien menikah
2. Menikah

6 Tempat Alamat dimana Dilihat Luar kota Jambi Nominal


Tinggal sampel sehari-hari dari Dalam kota Jambi
berdomisili kuesioner
tentang
identitas
pasien

7 Tingkat Tingkat perilaku Kuisoner Skor < 6 = Ordinal


Kepatuhan sampel dalam MMAS-8 Rendah
Minum mengonsumsi Skor 6 - <8 =
Obat obat antipsikotik Sedang
dari anjuran Skor 8 = Tinggi
dokter yang
mengobati

3.5 Metode Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan pada peneliti ini adalah data primer. Data primer
adalah data yang diperoleh langsung melalui kuesioner oleh peneliti yang
dilakukan secara langsung terhadap sampel penelitian. Kuesioner tersebut terdiri
dari identitas responden, informed consent dan MMAS-8. Kuesioner MMAS-8

26
sudah baku. Peserta akan diberikan lembar informed consent untuk menyatakan
bahwa peserta setuju untuk menjadi sampel dalam penelitian ini. Peserta yang
setuju akan menandatangani lembar informed consent. Peneliti akan menjaga
kerahasiaan informasi dalam bentuk apa pun dari peserta. Setelah peserta
menyetujui lembar informed consent, maka peserta diminta untuk mengisi
kuesioner MMAS-8 untuk mengetahui kepatuhan minum obat. Pemeriksaan
dilakukan dengan cara self report dengan cara mengisi kuesioner yang diberikan.

3.6 Pengolahan Data


Setelah dilakukan pengumpulan data, data yang diperoleh diorganisasikan
sedemikian rupa agar mudah disajikan dan dianalisis. Pengolahan data dapat
dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Editing
Pada tahap ini, peneliti melakukan penyuntingan terlebih dahulu (editing)
yaitu kegiatan untuk pengecekan kelengkapan data primer berupa kuisioner yang
dibutuhkan dan melihat apakah jawaban atau tulisan masing-masing pertanyaan
sudah jelas dan memastikan apakah semua pertanyaan sudah terisi atau belum.
2. Coding
Setelah semua kuisioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan peng
“kodean” atau “coding”, yakni peneliti mengubah data berbentuk kalimat atau
huruf yang diperoleh dari pengisian kuisioner oleh responden menjadi data
angka atau bilangan. Koding atau pemberian kode ini sangat berguna dalam
memasukkan data (data entry).
3. Memasukkan Data (Data Entry) atau Processing
Setelah peneliti melakukan editing dan coding terhadap setiap data yang
dibutuhkan, maka langkah selanjutnya adalah peneliti memasukkan data yakni
jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam bentuk “kode”
(angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau “software” komputer.
Peneliti menggunakan paket program SPSS untuk membantu dalam pengolahan
data.
4. Pembersihan Data (Cleaning)

27
Pada tahap akhir peneliti melakukan pengecekan kembali data yang sudah
dientry ke dalam komputer apakah terdapat kesalahan-kesalahan kode,
ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau
koreksi. Setelah pembersihan data selesai, maka data sudah siap untuk diproses
menggunakan analisis data yang sesuai dengan penelitian ini.

3.7 Analisis Data


Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat
yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendiskripsikan karakteristik setiap
variabel (tempat tinggal, jenis kelamin, usia, pekerjaan, pendidikan, status
perkawinan) pasien Skizofrenia dan untuk mengetahui distribusi tingkat
kepatuhan minum obat pada penderita skizofrenia.
Analisis bivariat yang merupakan analisis secara simultan dari dua variabel
dengan tujuan untuk mendiskripsikan distribusi data, menguji perbedaan, dan
mengukur hubungan antara dua variabel yang diteliti.

3.8 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian adalah alat yang akan digunakan untuk pengumpulan
data. Instrumen terdiri dari 2 bagian, bagian pertama mengenai data demografi
responden meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan, status pernikahan, dan
Pendidikan.. Bagian kedua kuesioner bertujuan untuk mengukur tingkat
kepatuhan minum obat menggunakan MMAS-8. Kuesioner tersebut berupa
pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh data atau informasi tentang
identitas dan tingkat kepatuhan minum obat responden.
Menurut Donald E.Morisky pada tahun 2008 dalam jurnalnya yang berjudul
Predictive Validity of a Medication Adherence Measure in an Outpatient Setting
MMAS-8 mempunyai tingkatan discriminant validity dan mempunyai reliabilitas
sebesar 0.83, yang diolah berdasarkan penilaian Cronbach’s Alpha.

3.9 Alur Penelitian

TAHAP PERSIAPAN PEMBUATAN PROPOSAL


28
TAHAP PENGISIAN INFORMED
PELAKSANAAN CONSENT

KRITERIAN INKLUSI DAN


EKSKLUSI

SOSIALISASI DAN PETUNJUK


MENGISI KUISIONER

PENGISIAN OLEH
RESPONDEN

PENCATATAN HASIL

TAHAP INPUT, PENGOLAHAN DAN


PENGOLAHAN ANALISA DATA
DATA

ANALISA UNIVARIAT, DAN


BIVARIAT

PEMBUATAN HASIL
PENELITIAN DAN
3.10 Analisis Data KESIMPULAN

29
Data yang diperoleh dari proses pengumpulan data akan diolah menggunakan
program pengolah statistik kemudian dianalisis sebagai berikut:
1. Analisis Univariat
Analisis univariat adalah analisis data yang dilakukan secara deskriptif
untuk memperoleh gambaran nilai minimal, maksimal, rata-rata,
simpangan baku dan distribusi frekuensi atau besarnya proporsi
berdasarkan variabel yang diteliti.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk membuktikan hipotesis dalam
penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen.
Analisis bivariat yang digunakan dalam penelitian ini dengan
menghitung chi square test untuk menguji hubungan antar variabel.
Dengan tingkat kepercayaan 95% (α ≤ 0,05). Jika p < 0,05 maka terdapat
hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat, sedangkan jika p ≥
0,05 maka tidak terdapat hubungan antara variabel bebas dan variabel
terikat.
3.11 Etika Penelitian
Penelitiaan ini dilakukan pada pasien kizofrenia yang melakukan rawat
jalan dengan memperhatikan aspek etika dalam penelitian dengan cara:
Sebelum dilakukan pengisian kuesioner oleh responden, peneliti meminta
responden untuk mengisi lembar ketersediaan menjadi responden (informed
consent) dan peneliti menjamin kerahasiaan identitas, melindungi serta
menghormati hak responden.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Zahnia S, Sumekar DW. Kajian Epidemiologis Skizofrenia. Jurnal Majority.


2016 Oct 1;5(4):160-6.
2. World Health Organization (WHO). Mental health, 2019,
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/schizophrenia
3. Muhammad A. Gambaran Strategi Coping Stres Terhadap Caregiver
Perempuan yang Memiliki Anggota Keluarga Terdiagnosa Skizofrenia
(Doctoral dissertation, Universitas Andalas).
4. Siregar S, Nuralita NS. Gambaran Tingkat Kepatuhan Minum Obat
Berdasarkan Faktor Demografi Pada Pasien Rawat Jalan Skizofrenia Di
Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. M. Ildrem Medan. Jurnal Ibnu Sina Biomedika.
2018 Nov 30;2(2):159-65.
5. Nevid, J.S., Rathus, S.A. & Greene, B. Psikologi Abnormal (Ed. Kelima Jilid
2). Jakarta : Erlangga. 2012.
6. Davison, G. C. Psikologi abnormal. Jakarta: Raja Grafindo Persada.2013.
7. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock buku ajar psikiatri klinis.2th ed.
EGC; 2010. p. 147-88.
8. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock buku ajar psikiatri klinis.2th ed.
EGC; 2010. p. 147-8
9. Barkhof E, Meijer C, Sonneville C, Linszen D, Haan L. Interventions to
improve adherence to antipsychotic medication in patients with schizophrenia-
A review of the past decade. Eur Psychiatry. 2012;27:9–18
10. Kaplan,HI. Sadock, BJ. Grebb, JA. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis. Tanggerang (Indonesia) ; BINARUPA AKSARA;
2010.
11. Hawari, Dadang. Skizofrenia (Pendekatan Holistik Bio-Psiko-Sosial-
Spiritual).Jakarta : Badan Penerbit FKUI. 2012.
12. Davison, G.C., Neale, J.M. & Kring, A.M. Psikologi abnormal(Ed.
Kesembilan). Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
13. Davison, G. C. Psikologi abnormal. Jakarta: Raja Grafindo Persada.2013.
14. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan
DSM-V. Cetakan 2 – Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Unika Atma Jaya. Jakarta: PT Nuh Jaya. 2013.

31
15. Arif, I. S. Memahami dinamika keluarga pasien skizofrenia . Bandung: Refika
Aditama.2014.
16. Depdikbud. Kamus besar bahasa indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
17. Kementrian kesehatan RI; Badan penelitian dan pengembangan kesehatan
kementrian kesehatan republik indonesia. Bakri Husada; 2013.
http://www.litbang.depkes.go.id
18. Novick D, Montgomery W, Treuer T, Aguado J, Kraemer S, Haro JM.
Relationship of insight with medication adherence and the impact on
outcomes in patients with schizophrenia and bipolar disorder: results from a 1-
year European outpatient observational study. BMC psychiatry. 2015
Dec;15(1):189.
19. Alhalaiqa F, Omari O, Wynaden D, Almusallami N, Bashtawy M, Morisky
DE, Batiha AM, Alkhawaldeh A. Adherence to Antipsychotic Drug Measured
by an Arabic Version of Morisky Scale. Issues in mental health nursing. 2016
Dec 1;37(12):975-82.

32
1.1 Latar Belakang

Masalah gangguan kesehatan jiwa (mental illness) menjadi salah satu


permasalah kesehatan yang signifikan di dunia termasuk di Indonesia. Salah satu
masalah kesehatan jiwa yang menjadi perhatian dunia adalah masalah skizofrenia.
Dimana menurut data WHO (2019), estmasi secara global tercatat 20 juta orang
terkena skizofrenia. 1

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, prevalensi


skizofrenia di Indonesia sebanyak 7 per 1000 rumah tangga. Artinya, dari 1.000
rumah tangga terdapat 7 rumah tangga yang mempunyai anggota rumah tangga
(ART) pengidap skizofrenia dan prevalensi tertinggi terdapat di Bali dan DI
Yogyakarta dengan masing-masing 11,1 dan 10,4 per 1.000 rumah tangga yang
mempunyai ART mengidap skizofrenia.2 Di provinsi Jambi sendiri, melalui survei
data awal yang dilakukan setidaknya tercatat jumlah kunjungan dari bulan
November - Desember tahun 2019 yaitu sebanyak 3.946 orang.3

Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan kronis dengan latar belakang


genetik dan neurobiologis yang heterogen yang mempengaruhi perkembangan
otak dan dinyatakan sebagai kombinasi dari gejala psikotik seperti halusinasi,
delusi dan disorganisasi serta disfungsi motivasi dan kognitif. Skizofrenia adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan gangguan mental yang
menunjukkan spektrum gejala termasuk perubahan dalam persepsi, pemikiran dan
rasa penurunan diri dalam pelanggaran, perlambatan psikomotorik dan
menampilkan perilaku antisosial.4 Salah satu teori yang menyebabkan gejala ini
adalah kelainan dari regulasi dopamin, sehingga pengobatan yang bersifat
antagonis dopamin akan menurunkan gejala pasien. Pengobatan antipsikotik ini
harus dilakukan minimal dalam waktu satu tahun untuk mencegah terulangnya
gejala psikosis (ilusi, delusi, dan halusinasi).5

Terapi yang diberikan kepada penderita skizofrenia berfokus pada


mengurangi gejala psikosis dengan cepat pada fase akut dan memperpanjang
periode relaps dan mencegah pengulangan gejala yang lebih buruk. Selain itu,

33
pada pengobatan yang teratur pasien dapat kembali ke dalam lingkungan
sosialnya dalam waktu yang lebih cepat. Pasien yang menjalani pengobatan secara
rutin selama satu tahun memiliki resiko lebih kecil untuk mengalami relaps.5

Secara umum, hasil riset Riskesdas 2018 menyebutkan sebanyak 84,9%


pengidap skizofrenia di Indonesia telah berobat. Namun, yang meminum obat
tidak rutin lebih rendah sedikit daripada yang meminum obat secara rutin.
Tercatat sebanyak 48,9% penderita psikosis tidak meminum obat secara rutin dan
51,1% meminum secara rutin. Selain itu, terdapat masalah lain di mana pengidap
skizofrenia dipasung oleh keluarganya. Proporsi rumah tangga yang memiliki
ART pengidap skizofrenia/psikosis yang dipasung sebanyak 14% dari seluruh
penderita skizofrenia di Indonesia.2

Penelitian lain menyebutkan bahwa 50% pasien skizofrenia yang masuk


ke rumah sakit jiwa kemudian dilakukan rawat jalan malah mengalami masalah
ketidakpatuhan (poor adherence). Hal ini dapat mengakibatkan masalah baru pada
pasien skizofrenia yaitu pasien lebih mudah jatuh ke dalam kondisi relaps dan
kekambuhan fase psikosis yang lebih buruk, keluar masuk rumah sakit berulang
kali, serta meningkatkan beban sosial dan ekonomi bagi keluarga pasien dan
negara. Hal ini diakibatkan pasien yang tidak teratur dalam minum obat akan
memiliki risiko kekambuhan sebesar 92%.5

Adanya intervensi terhadap masalah kepatuhan ini sangat diperlukan untuk


meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal ini bisa dilakukan melalui terapi
kognitif-perilaku, komunikasi keluarga, dan terapi komunitas untuk meningkatkan
kepatuhan minum obat melalui peningkatan pemahaman pasien. Sehingga perlu
diketahui faktor-faktor terkait kepatuhan minum obat pasien skizofrenia.
Perbedaan kultur dan sistem kesehatan yang cakupannya berbeda dapat menjadi
faktor lain yang menyebabkan ketidakpatuhan minum obat pada pasien di
Indonesia.5 Berdasarkan uraian tersebut peneliti terdorong melakukan penelitian
untuk mengetahui perbandingan tingkat kepatuhan minum obat antara pasien
skizofrenia yang berdomisili di dalam dan di luar kota Jambi di RSJ daerah

34
provinsi Jambi. Dengan harapan penelitian ini dapat menjadi masukan untuk
perbaikan sistem pengobatan baik untuk pasien, keluarga, dan sistem kesehatan
pada penderita skizofrenia.

DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Schizophrenia [internet]. World Health Organization. 2019 [cited
2020 May 4]. Available from: https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/schizophrenia
2. Kemenkes RI. Pentingnya Peran Keluarga, Institusi dan Masyarakat
Kendalikan Gangguan Kesehatan Jiwa [Internet]. Kemenkes RI. 2019
[cited 2020 May 4]. Available from: https://www.kemkes.
go.id/article/view/19101600004/pentingnya-peran-keluarga-institusi-dan-
masyarakat-kendalikan-gangguan-kesehatan-jiwa.html
3. RSJ Daerah Jambi. Data Kunjungan Pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Jambi Tahun 2019: Kasus Skizofrenia. 2020
4. Kahn RS, Sommer IE, Murray RM, et al. Schizophrenia. Nat. Rev. Dis.
Primers. 15067. 2015
5. Naafi MA. Kepatuhan Minum Obat Pasien Rawat Jalan Skizofrenia Di
Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang. Jakarta Selatan: Fakultas
Farmasi Universitas Pancasila. 2016

35

Anda mungkin juga menyukai