Anda di halaman 1dari 8

Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III p-ISSN 2598-5973

11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta e-ISSN 2599-008X

Pembangunan Identitas Nasional dalam Konteks Masyarakat


Multikultural melalui Situs Kewarganegaraan Berbasis Agama
Annisa Istiqomah
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Pos-el: annisa.istiqomah1992@gmail.com

Abstrak
Identitas nasional adalah istilah yang merujuk pada jati diri atau kepribadian suatu bangsa yang dibangun dari manifestasi nilai-
nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Identitas nasional memberikan ciri bagi suatu bangsa yang mem-
bedakan antara bangsa satu dengan bangsa yang lain. Bagi bangsa Indonesia yang merupakan negara multikultural faktor penting
yang membentuk identitas nasional adalah etnisitas, kesukuan, ras, agama, bahasa dan perbedaan-perbedaan lainya yang masing-
masing memiliki kekhasan. Keberagaman tersebut di bingkai menjadi satu kesatuan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Merujuk dari berbagai faktor penting yang membentuk identitas nasional, penulis tertarik untuk mengkaji peran situs kewar-
ganegaraan berbasis agama (tempat ibadah) dalam membangun identitas nasional. Agama memiliki peranan yang kuat dalam
membangun identitas nasional bangsa karena agama mampu menciptakan kohesi sosial yang mendukung terbentuknya pem-
bangunan identitas nasional melalui sombol, ritual, norma dan jaringan yang sifatnya universal. Perbedaan agama di Indonesia
memberikan ekslusivitas bagi masing-masing agama untuk memainkan peranannya melalui situs kewarganegaraan guna menga-
tasi etnosentrisme dan memungkinkan komunikasi lintas budaya guna mendukung pembangunan identitas nasional bangsa.
Keterkaitan antara agama dan identitas nasional memberikan kewajiban bagi situs kewarganegaraan khususnya tempat ibadah
untuk berperan aktif dalam menginternalisasikan nilai-nilai multikultural seperti toleransi, saling menghargai dan menghormati,
inklusif, sebagai konsekuensi atas adanya perbedaan agama di Indonesia yang mampu mendukung pembangunan identitas na-
sional.
Kata kunci: agama, identitas nasional, multikultural, situs kewarganegaraan.

Pendahuluan terpadu menjadi kesatuan, terpecah belah karena pe-


rebutan kekuasaan atau sumber daya ekonomi yang
Identitas nasional adalah jati diri yang dimanifes-
mengatasnamakan primordialisme atau sentimen
tasikan dari beragam nilai yang berkembang dalam ke-
kedaerahan yang selanjutnya berdampak pada men-
hidupan masyarakat. Nilai-nilai tersebut merupakan
guatnya identitas lokal atau etnik yang berlebihan se-
unsur penting yang membentuk identitas nasional
hingga melemahkan identitas nasional bangsa Indone-
bangsa Indonesia misalnya etnisitas, kesukuan, ras,
sia. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya untuk
agama, dan berbagai bentuk perbedaan lainnya yang
membangun kembali identitas nasional bangsa Indo-
menggambarkan keberagaman masyarakat Indonesia.
nesia yang salah satunya dapat dilakukan dengan
Identitas nasional dibangun dari identitas lokal yang
meningkatkan peran situs kewarganegaraan berbasis
tersebar di seluruh daerah di Indonesia baik berupa
agama (tempat ibadah).
etnis, suku, ras, atau agama yang terangkai dalam satu
kesatuan dengan wadah Bhineka Tunggal Ika. Artinya Agama adalah salah satu reproduksi kebudayaan
bahwa realitas keberagaman yang terdapat di Indone- yang merupakan salah satu unsur penting dalam men-
sia bukan dimaknai sebagai sebuah permasalahan ka- dorong terbentuknya identitas nasional selain dari et-
rena pada akhirnya seluruh identitas lokal tersebut nisitas, teritorial, bahasa, agama, dan sejenisnya. Ber-
meleburkan diri menjadi satu dalam satu kesatuan beda dengan etnis, nilai agama sifatnya lebih universal
bangsa Indonesia. artinya agama tidak terbatas eksistensinya pada suatu
wilayah sebagai bentuk sentimen kedaerahan atau
Hal ini menunjukkan bahwa identitas nasional
primordialisme. Beck (Schnabel & Hjerm, 2014:1)
berkaitan erat dengan terbentuknya suatu bangsa
berpendapat bahwa nilai-nilai agama memiliki
berdasarkan pada persamaan nasib, penderitaan, dan
kekuatan melampaui batas-batas yang dibentuk oleh
sejarah di antara individu yang kemudian membentuk
faktor-faktor seperti etnis, jenis kelamin, atau usia,
suatu entitas yang disebut sebagai bangsa guna
sehingga agama dapat memainkan peran yang lebih
mewujudkan tujuan secara bersama-sama. Namun
fleksibel dalam membangun identitas nasional. Prinsip
demikian, berbagai persoalan muncul di permukaan
suatu ajaran agama untuk tidak membeda-bedakan
akibat perbedaan yang secara vertikal mewarnai ke-
agama satu dengan yang lainnya sebagaimana tertuang
hidupan bangsa seperti kekuasaan, ekonomi, dan pen-
dalam sila Pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha
didikan. Masyarakat Indonesia yang pada awalnya
Esa” dan pentingnya penanaman nilai-nilai dalam

364
Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III p-ISSN 2598-5973
11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta e-ISSN 2599-008X

konteks masyarakat multukultural seperti toleransi, menunjukkan bahwa aktor memiliki kapasitas yang
demokrasi, salin menghormati, dan menghargai satu cukup besar untuk membangun dan menegosiasikan
sama lain dapat diinternalisasikan melalui melalui situs identitas nasional dengan selalu memperhatikan
kewarganegaraan berbasis agama. konteks dimana mereka berada. Oleh karena itu kon-
sep identitas nasional dapat dilihat sebagai engsel an-
Hal ini karena situs-situs kewarganegaraan dapat
tara struktur dan tindakan. Bechhofer & McCrone
digunakan sebagai sarana dalam menginternalisasi
melihat identitas nasional berbeda dalam beberapa
nilai-nilai multikultural yang berperan penting dalam
hal dari bentuk identitas sosial lainnya karena secara
mengatasi etnosentrisme, memperoleh kemampuan
konvensional dilihat berhubungan dengan kewarga-
untuk berempati dengan budaya lain, mengem-
negaraan, bukan sesuatu yang lebih intim dan per-
bangkan sarana kerjasama yang melintasi batas-batas
sonal seperti gender, ras atau kelas sosial. Identitas
budaya dalam lingkungan multikultural, memperoleh
nasional tidak bebas dipilih secara independen dari
kemampuan untuk berkomunikasi melintasi batas-ba-
batasan struktural, yang terpenting adalah kebutuhan
tas budaya, misalnya melalui bilingualisme, dan mem-
untuk mempertahankan, menantang dan mengu-
bentuk identitas kolektif baru, yang terdiri dari indi-
bahnya dalam proses interaksi.
vidu yang memiliki perbedaan budaya. Situskewarga-
negaraan berbasis agama seperti tempat ibadah men- Negara-negara demokratis dapat menggunakan
jadi sarana bagi para pengikutnya untuk memahami identitas nasional untuk memperkuat kebanggaan dan
perbedaan sebagai jati diri yang memberikan kohesi nasional namun mereka harus berhati-hati da-
pengaruh terhadap menguatnya identitas nasional lam memenuhi kebutuhan kelompok yang berbeda.
suatu bangsa. Kymlicka (2007: 83) mengemukakan bahwa identitas
nasional adalah kekuatan mengikat yang membentuk
Konsep Teori Identitas Nasional hubungan erat antara individu dan negara. Namun
demikian, identitas nasional tidak sama dengan semua
Pemahaman tentang identitas nasional berkaitan
kelompok sosial karena beberapa kelompok dapat
erat dengan istilah bangsa sebagai simbol atau institusi
memprioritaskan identitas budaya dan etnis mereka
masyarakat yang terbentuk berdasarkan latarbe-
sendiri daripada identitas nasional. Penelitian yang dil-
lakang yang sama di antara individu. Maolalaidh & Ste-
akukan oleh Shulman (2002:202) menunjukkan
venson (2014:246) menyatakan bahwa bangsa me-
bahwa identitas nasional dan kelompok minoritas
nyediakan dan membentuk lingkungan, media, mata
adalah hubungan yang dekat tetapi sering memuncul-
uang dan bahasa yang terwujud dalam kehidupan
kan sebuah permasalahan. Colhoun (Schnabel &
sehari-hari. Para pemimpin nasional menkonstruksi
Hjerm, 2014:2) mengemukakan bahwa identitas na-
suatu visi bangsa dalam retorika publik dengan
sional adalah suatu komunitas politik otonom yang
menarik berbagai aspek seperti sejarah, budaya, poli-
mampu menentukan nasib sendiri. Komunitas terse-
tik, ekonomi, dan psikologis. Konstruksi visi bangsa
but terdiri dari individu yang merasa memiliki kesa-
tersebut akan mempengaruhi ketahanan nasional apa-
maan nasib yang serupa dengan idividu lainnya.
bila dilihat dari sejauh mana konstruksi visi bangsa
tersebut disepakati dan diterima oleh rakyat. Sarinah, Miller (Hung, 2014: 203) mengemukakan bahwa
dkk (2017: 47) mengemukakan bahwa identitas na- ketika sebuah negara terbentuk maka bahan etnik
sional adalah kepribadian nasional atau jati diri na- tersebut menjadi bercampur dengan identitas nasion-
sional suatu bangsa yang terbentuk karena kesamaan alnya. Oleh karena itu, keragu-raguan identitas na-
dalam pengalaman sejarah dan penderitaan. Identitas sional terus muncul karena sering kali mendukung ke-
nasional menurut Sarinah juga dapat diartikan sebagai lompok budaya mayoritas atau kelompok yang secara
pandangan hidup bangsa, filsafat Pancasila dan tradisional mendominasi politik. Lecours (2000: 158)
kepribadian bangsa. Rahman & Madiong (2017: 85) mengemukakan bahwa membangun identitas nasional
menyatakan bahwa identitas nasional adalah manifes- yang dapat diterima bersama adalah proses 'na-
tasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang tionbuilding', yang bermanfaat bagi koherensi internal
dalam aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri dan penyertaan seluruh masyarakat. Pendirian identi-
yang membedakan dengan bangsa lain tas nasional semacam itu dapat menjadi simbol yang
berarti dan kuat bagi warga negara. Kebajikan kewar-
Castell (2011) dalam bukunya The Power of Identity
ganegaraan (civic virtues) dan tanggung jawab warga
mengemukakan teori tentang munculnya identitas na-
negara bukanlah sebuah rangsangan romantis namun
sional sebagai hasil interaksi historis berbagai unsur
sebenarnya dapat dilakukan sebagai ungkapan alami
yang saling melekat erat seperti sosial, agama,
tentang pentingnya identitas nasional dalam ke-
ekonomi, budaya, geografis. Bechhofer & McCrone
hidupan manusia
(2010) mengembangkan gagasan lebih lanjut bahwa
identitas nasional melibatkan klaim, diterimanya Identitas nasional merupakan dasar kepercayaan
klaim, dan atribusi karakteristik identitas kepada yang dianggap serupa sedangkan kohesi sosial masih
orang lain berdasarkan apa yang dapat dirasakan. Pen- mempertimbangkan persepsi, kepercayaan, sikap, dan
dapat yang dikemukakan oleh Bechhofer & McCrone tindakan individu (Hjerm & Schnabel, 2010:530).

365
Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III p-ISSN 2598-5973
11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta e-ISSN 2599-008X

Menurut Jones & Smith (2001:105) identitas nasional dalam membangun identitas nasional harus memper-
berkontribusi untuk menjadi bagian dari kelompok hatikan unsur-unsur yang terdapat dalam wilayah
yang berkaitan dengan wilayah tertentu dengan batas suatu bangsa seperti kultur yang heterogen untuk
yang jelas namun dapat dinegosiasikan. Terdapat dua mengantisipasi adanya konflik persaingan yang ber-
dimensi identitas nasional yang mapan yaitu dimensi basis pada identitas. Putnam (2007: 150) mengemuka-
etnis yang dicirikan oleh ciri-ciri yang asal atau objek- kan bahwa multikulturalisme mengikis fondasi kewar-
tif seperti negara kelahiran atau keturunan biasa dan ganeagaraan karena terlalu banyak keragaman yang
dimensi kewarganegaraan atau voluntaristik yang akan menghambat kepercayaan sosial, solidaritas,
mencakup sebuah komunitas yang mengacu pada un- kesetiaan, dan kebijakan yang mene-kankan keraga-
dang-undang dan institusi, kemauan politik bersama, man. Pernyataan Putnam tersebut adalah bentuk kek-
persamaan hak bagi anggota negara, dan nilai-nilai hawatiran terhadap paham multikulturalisme yang
umum, tradisi, atau sentimen yang minimum. apabila tidak dikelola dengan baik dapat berakibat
pada mengikisnya kewarganegaraan. Hal ini karena
Jenkins (Schnabel & Hjerm 2014: 3) mengemuka-
dengan adanya berbagai bentuk kebe-ragaman se-
kan bahwa identitas nasional adalah bagian dari pem-
hingga menyebabkan sulitnya masyarakat dalam men-
bentukan identitas individu yang menyediakan sarana
gidentifikasi dimensi status kewarganegaraan mereka.
bagi individu untuk memahami siapa mereka dalam
hubungan dengan orang lain. Identitas nasional ber- Barry (Rietveld, 2014: 51) menyatakan bahwa ke-
kontribusi untuk menjadi bagian dari kelompok yang bijakan multikultural yang mengenali perbedaan bu-
berkaitan dengan wilayah tertentu dengan batas yang daya sangat kondusif terhadap loyalitas kelompok
jelas namun dapat dinegosiasikan. Identitas nasional dibandingkan loyalitas pada tingkat nasional. Hal ini
mencakup dimensi emosional dari kesetiaan, afiliasi, menunjukkan bahwa multikulturalisme, yang dipa-
dan komitmen yang jauh lebih besar dan spesifik da- hami sebagai respons politik terhadap keragaman bu-
ripada kepercayaan umum karena berakar pada daya di masyarakat memungkinkan etnis minoritas
asumsi kesamaan. Dengan karakteristik identifikasi mempertahankan budaya mereka dan menerima ako-
seperti itu dan kepemilikan bersama, kontinuitas, dan modasi oleh negara. Uberoi & Modood (2013:24)
stabilitas, identitas nasional dalam bentuk gabun- menyatakan bahwa hubungan antara multikultural-
gannya dapat mewakili aspek khusus dari kohesi so- isme dan identitas nasional saling melengkapi. Mul-
sial. tikulturalisme sebagai bentuk integrasi yang mene-
rima keragaman dilihat sebagai bagian dari proses
Sejalan dengan teori tersebut maka identitas na-
pembangunan bangsa yang didasarkan pada identitas
sional Indonesia mencakup kedua dimensi tersebut
minoritas budaya serta identitas nasional. Hal ini se-
yaitu dimensi etnis dan dimensi kewarganegaraan
bagaimana yang terjadi di negara Inggris bahwa per-
atau voluntaristik. Hal ini didasarkan pada realitas
kembangan kebijakan Inggris menekankan nilai-nilai
bahwa dalam membangun identitas nasional, Indone-
dan identitas nasional bersama sehingga tidak akan
sia mengakomodasi berbagai kepentingan identitas
bertentangan dengan multikulturalisme melainkan
lokal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, se-
memberikannya penyeimbangan kewarganegaraan
bagaimana yang dilakukan oleh the founding fathers da-
yang menekankan kewarganegaraan bersama di
lam merumuskan dasar dan falsafah bangsa Indonesia
samping akomodasi identitas budaya minoritas.
yaitu Pancasila. Selain itu dimensi kewarganegaraan
Dengan penerimaan semacam ini maka multikultural-
juga merupakan salah satu aspek dalam membangun
isme tidak mengancam identitas nasional namun
identitas nasional bangsa Indonesia, hal ini tercantum
dapat membantu membuatnya lebih inklusif. Sejalan
dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa bangsa Indone-
dengan konsep tersebut, Indonesia adalah salah satu
sia terbentuk dari persamaan nasib yang mencakup
negara yang membentuk identitas nasional dengan
dimensi emosional dan kesetiaan untuk meraih ke-
merangkul keberagaman yang ada dalam masyarakat,
merdekaan bangsa.
multikulturalisme diartikan secara positif yaitu paham
yang menyatukan perbedaan tanpa mengikis perbe-
Identitas Nasional dalam Konteks Masyarakat
daan yang menjadi kekhasan dalam setiap kelompok
Multikultural
tersebut.
Identitas nasional dalam konteks masyarakat mul-
Rex (1996) mengemukakan bahwa kebijakan mul-
tikultural dibangun dengan cara berbeda apabila
tikultural memberikan beberapa bentuk alternatif da-
dibandingkan dengan negara monokultural. Menurut
lam kehidupan masyarkat yang secara budaya be-
Jacobsen (Feeny, et.al, 2012:139) bahwa salah satu tu-
ragam di berbagai negara. Di Swedia, kebijakan mul-
gas utama elit pembangun bangsa adalah mewujudkan
tikultural menuntut untuk perlakuan yang adil ter-
identitas nasional dengan mengkoordinasikan daerah-
hadap masyarakat minoritas terutama berkaitan
daeerah pedalaman nasional yang heterogen secara
dengan hak sosial yang harus diperoleh. Di Belanda
kultural untuk mencegah munculnya nasionalisme pe-
terdapat kebijakan yang dikenal dengan istilah pi-
saing lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa hendaknya
larisasi yaitu kebijakan yang ditunjukkan untuk
mengakomodasi perbedaan antara agama Kristen dan

366
Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III p-ISSN 2598-5973
11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta e-ISSN 2599-008X

Katolik sekuler yang masing-masing memiliki insititusi maan dan identitas. Agama tampaknya menjadi per-
pendidikan, media, organisasi serikat dagang secara hatian individu dalam mendukung efek homogenisasi
tersediri, dll. Di Inggris, negara yang ditandai dengan dan integrasi masyarakat sipil. Meskipun demikian,
diskriminasi warna yang parah, secara resmi menu- agama juga terbukti memiliki kekuatan eksklusif ter-
angkan paham multikulturalisme dalam kebijakan se- hadap mereka yang bukan anggota kongregasi, gereja,
bagai langkah untuk memerangi diskriminasi rasial dan atau komunitas yang berkuasa.
warna, pengakuan dan toleransi terhadap keragaman
Penelitian yang dilakukan Schnabel & Hjerm me-
budaya. Pada prinsipnya, semua negara multikultural
nyimpullkan bahwa agama terus memainkan peran
ini akan mengklaim bahwa mereka berusaha untuk
utama dalam pembuatan masyarakat sipil, namun
menumbuhkan keragaman budaya sekaligus mempro-
keadaan spesifiknya bervariasi sesuai dengan repre-
mosikan kesetaraan setidaknya di bidang sosial. Na-
sentasi religius. Dengan kata lain, agama bisa mem-
mun, sangat sering, retorika sebuah multikulutural-
bentuk dan melepaskan identitas nasional. Ahli so-
isme egaliter menyembunyikan adanya multikultural-
siologi agama seperti Fukuyama (2001:19) mengemu-
isme yang didasarkan pada ketidaksetaraan.
kakan bahwa agama di satu sisi dapat mendukung ko-
Multikulturalisme tidak mengancam identitas na- hesi sosial melalui simbol, ritual, norma, dan jaringan
sional namun dapat membantu membuatnya lebih bersama. Selain itu menurut Beck (Schnabel & Hjerm,
inklusif. Anderson (2010: 58) menyatakan multikul- 2014:1) bahwa agama memiliki kekuatan untuk
turalisme dipahami sebagai respons politik terhadap melampaui batas-batas yang dibentuk oleh faktor-
keragaman budaya di masyarakat yang memungkinkan faktor seperti asal etnis, jenis kelamin, atau usia.
etnis minoritas mempertahankan budaya mereka dan
Penelitian baru menunjukkan bahwa terdapat ko-
menerima akomodasi oleh negara. Sikap positif ter-
relasi positif antara para individu yang mengikuti prak-
hadap identitas nasional berisiko menahan pluralisme
tik keagamaan atau kepercayaan dalam membentuk
sekaligus memberikan perhatian pada hegemoni bu-
integrasi nasional. Sementara di sisi lain menurut
daya, dan etno-nasionalisme sebagai penghambat
Gross & Ziebertz (2010: 184) agama cenderung
strategi multikulturalisme (Callan, 2010:80). Menurut
ekslusif bagi mereka yang bukan merupakan bagian
Ljunggren (2014: 2-44) keragaman bentuk-bentuk ke-
dari kongregasi secara dominan. Menurut Durkheim
hidupan budaya yang memunculkan masyarakat mul-
(Schnabel & Hjerm (2014: 1) agama memberikan
tietnis merupakan faktor penting yang menjadi latar
norma, makna, ritus dan simbol yang diperlukan serta
belakang terbentuknya identitas suatu bangsa. Pada
struktur yang memberikan kesempatan dalam mem-
prinsipnya, semua negara multikultural ini akan
fasilitasi keterikatan interpersonal yang dianggap
mengklaim bahwa mereka berusaha untuk menum-
mampu membentuk solidaritas dan kohesi sosial. Fu-
buhkan keragaman budaya sekaligus mempromosikan
kuyama (2001:19) menyatakan bahwa agama merupa-
kesetaraan setidaknya di bidang sosial.. Indonesia ada-
kan salah satu sumber modal sosial yang efektif dalam
lah salah satu negara yang membentuk identitas na-
mempromosikan masyarakat sipil. Perubahan budaya
sional dengan merangkul keberagaman yang ada da-
yang terinspirasi secara religius tetap menjadi pilihan
lam masyarakat, multikulturalisme diartikan secara
langsung di banyak bagian dunia karena agama secara
positif yaitu paham yang menyatukan perbedaan
historis menjadi salah satu sumber budaya terpenting.
tanpa mengikis perbedaan yang menjadi kekhasan da-
Menurut Greeley (Schnabel & Hjerm, 2014:2) bahwa
lam setiap kelompok tersebut.
modal sosial yang dihasilkan oleh struktur keagamaan
tidak hanya mendukung relawan religius formal tapi
Hubungan Antara Agama dan Identitas Na-
juga sekuler.
sional
Organisasi keagamaan menyediakan sistem
Salah satu faktor penting yang mendukung pem-
norma tertentu dan peluang struktur, namun serikat
bangunan identitas nasional suatu bangsa adalah
pekerja, klub olahraga, atau inisiatif gerakan sosial
agama. Agama memiliki kedudukan yang lebih fleksi-
dapat berfungsi setara fungsional dalam menyediakan
bel dibanding dengan faktor penting lain seperti etnis,
struktur kesempatan untuk keterlibatan warga
suku, atau ras karena nilai-nilainya yang bersifat uni-
negara dan produksi modal sosial (Putnam dalam
versal. Penelitian yang dilakukan Schnabel & Hjerm
Schnabel & Hjerm 2014:2). Agama juga mengem-
(2014:1) menunjukkan bahwa religiusitas individu me-
bangkan pengaruhnya melalui kepercayaan komunal
mainkan peran penting dalam mempertahankan
dan sistem makna, moral, dan nilai bersama yang
kedua bentuk identitas nasional yaitu etnik dan
memiliki kekuatan untuk melibatkan kesetiaan ang-
kewarganegaraan, hal ini didasarkan pada beberapa
gota melalui interpretasi, norma dan sanksi. Dengan
hal. Pertama, semakin menguatnya hubungan antara
cara ini, agama membentuk pemahaman tentang
negara dan agama, maka akan semakin menguat pula
kewarganegaraan dalam suatu masyarakat dan per-
identitas etnik. Kedua; semakin homogenitas religius
ilaku sosial yang dapat diterima. Agama sebagai sistem
maka semakin kuat identitas etnik; Ketiga, tidak ada
ideologis (dan juga ketidakhadirannya) dimanifestasi-
hubungan antara tingkat agregat organisasi keaga-

367
Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III p-ISSN 2598-5973
11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta e-ISSN 2599-008X

kan di dalam struktur pemerintahan sebagai konsti- tikulturalisme, yaitu pemahaman arif bijaksana ter-
tusi dan kebijakan kesejahteraan (Manow dalam hadap berbagai budaya, sehingga tercipta kehidupan
Schnabel & Hjerm, 2014:2). masyarakat yang rukun dan damai sebagai langkah da-
lam mewujudkan identitas nasional bangsa.
Welch, et.al (2004: 318) menyatakan bahwa ke-
percayaan yang didorong oleh agama tidak harus Guna mewujudkan masyarakat multikultural yang
mencakup semua warga negara karena agama tidak dapat hidup berdampingan, toleran, dan saling meng-
hanya berfokus dalam meningkatkan hubungan di an- hargai terdapat prinsip-prinsip dasar demokrasi yang
tara anggota yang tergabung dalam kelompok keaga- patut dikembangkan di Indonesia yaitu kesetaraan de-
maan tetapi juga menjembatani antara kelompok rajat individu, toleransi terhadap perbedaan, konflik
masyarakat. Putnam & Campbell (2010:628) menya- dan konsensus, hukum yang adil dan beradab dan
takan bahwa organisasi keagamaan menyediakan sis- perikemanusiaan (Mahfud, 2013: 103). Yaqin (2007:
tem norma tertentu dan peluang struktur yang ber- 26) menyatakan bahwa nilai-nilai multikultural yang
fungsi dalam menyediakan struktur kesempatan un- ditransmisikan melalui pendidikan multikultural ada-
tuk keterlibatan warga negara dan produksi modal lah nilai-nilai pluralisme, humanisme, dan demokrasi.
sosial. Dengan demikian, agama mengembangkan Ahli lain, Bennet (Tilaar, 2003: 171) mengemukakan
pengaruhnya dalam membentuk pemahaman tentang empat nilai inti multikulturalisme yaitu apresiasi ter-
kewarganegaraan pada masyarakat dan perilaku sosial hadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam
yang dapat diterima melalui kepercayaan komunal, masyarakat, pengakuan terhadap harkat manusia dan
sistem makna, moral, dan nilai bersama yang memiliki hak asasi manusia, pengembangan tanggung jawab
kekuatan untuk melibatkan kesetiaan anggota melalui masyarakat dunia, dan pengembangan tanggung jawab
interpretasi, norma dan sanksi. manusia terhadap planet bumi. Adapun dalam pen-
didikan multikultural, proses nilai yang ditanamkan
Agama memainkan peran penting dalam mencip-
berupa cara hidup menghormati, tulus, toleran ter-
takan dan mempertahankan perasaan individual ter-
hadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah
hadap identitas nasional berdasarkan teori efek inte-
masyarakat yang plural. Berdasarkan uraian tersebut
gratif agama yang dikemukakan oleh Durkheim yang
dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai multikultural
menyatakan bahwa religiusitas individu dapat men-
adalah inklusif, cinta tanah air, toleransi, saling
dukung identitas nasional. Sedangkan menurut teori
menghargai (apresiasi terhadap pluralitas), humanis,
modal sosial harapanya terdapat pengaruh positif dari
bertanggung jawab, dan demokratis.
para anggota suatu keagamaan atau kepercayaan. Se-
buah studi internasional mengenai identitas nasional Situs-situs kewarganegaraan adalah suatu lokasi
yang dilakukan oleh Schnabel & Hjerm menunjukkan yang memungkinkan ditumbuhkembangkannya nilai-
bahwa hubungan agama dan negara yang kuat dapat nilai demokrasi dalam diri masyarakat. Melalui situs-
mendukung identitas nasional. Peran yang dimainkan situs kewarganegaraan diharapkan mampu mening-
hubungan agama dan negara dalam membentuk iden- katkan partisipasi aktif dalam memajukan prinsi-prin-
titas (kolektif) tampaknya bergantung pada benteng sip demokrasi. Birzea (2000:28) mengemukakan
organisasi agama dan pada diskontinuitas rezim poli- bahwa gagasan tentang 'situs' bukanlah gagasan ten-
tik. Hubungan erat antara negara dan agama merupa- tang 'lokasi'. Situs adalah suatu tempat yang terbentuk
kan perasaan yang lebih intens dari identitas etnik na- dari praktik-pratik demokrasi serta memungkinkan
sional. adanya proses penanaman nilai-nilai demokrasi di da-
lamnya. Situs terdiri dari inisiatif (organisasi pekerja,
Pembangunan Identitas Nasional dalam tempat ibadah, sekolah, pusat, institusi, masyarakat,
Konteks Masyarakat Multikultural melalui Si- lingkungan, kota, wilayah dll) yang berusaha memberi
tus Kewarganegaraan Berbasis Agama definisi dan menerapkan prinsip-prinsip kewarga-
negaraan demokratis modern. Internalisasi nilai-nilai
Identitas nasional bangsa Indonesia dipahami se-
multikultural dapat dilakukan melalui situs-situs
bagai manifestasi dari berbagai bentuk identitas lokal
kewarganegaraan karena menurut Birzea (2000:27-
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
28) situs-situs kewarganegaraan mampu mengatasi
Berbeda dengan negara lain, Indonesia dalam mem-
etnosentrisme, memperoleh kemampuan untuk ber-
bangun identitas nasional harus tetap memperhatikan
empati dengan budaya lain, mengembangkan sarana
berbagai identitas lokal yang ada, hal ini sebagai ben-
kerjasama yang melintasi batas-batas budaya dalam
tuk apresiasi terhadap keberagaman masyarakat In-
lingkungan multikultural, memperoleh kemampuan
donesia. Masyarakat Indonesia yang multikultural
untuk berkomunikasi melintasi batas-batas budaya,
adalah salah satu bentuk kekuatan bagi Indonesia da-
misalnya melalui bilingualisme, dan membentuk iden-
lam membangun identitas nasional apabila dikelola
titas kolektif baru, yang terdiri dari individu yang
dengan baik. Dengan demikian, diperlukan pena-
memiliki perbedaan budaya.
naman nilai-nilai yang yang dianggap mampu me-
wujudkan masyarakat Indonesia dalam bingkai mul-

368
Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III p-ISSN 2598-5973
11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta e-ISSN 2599-008X

Persoalan identitas nasional bangsa yang disepa- dalam masyarakat. Menurut Ayub, dkk (1996:7-8)
kati sebagai suatu kondisi dinamis memberikan cata- fungsi masjid tidak sebatas untuk kegiatan beribadah
tan bagi para elit bangsa untuk terus memberikan tetapi juga sebagai tempat untuk memecahkan perso-
perhatian dalam menguatkan identitas nasional. Kae- alan-persoalan yang timbul dalam masyarakat, tempat
lan (2013:40) menyatakan bahwa identitas nasional membina keutuhan ikatan jamaah dan kegotong-
suatu bangsa tidak cukup hanya dipahami secara statis royongan di dalam mewujudkan kesejahteraan ber-
mengingat bangsa Indonesia terdiri dari sekumpulan sama. Hal ini juga berlaku di agama Kristen atau Kon-
individu-individu yang senantiasa berinteraksi dengan fusianisme yang dikemukakan oleh Fukuyama (2001:
bangsa lain baik secara sosial maupun budaya. Disa- 7-8) bahwa norma-norma yang membentuk modal
dari atau tidak bahwa saat ini identitas nasional se- sosial secara terperinci diartikulasikan melaui organ-
makin menunjukkan dilematika, hal ini karena ber- isasi keagamaan seperi Kekristenan atau Konfusian-
bagai faktor yang mendukung terciptanya identitas isme sebagai nasihat tentang pentingnya menjaga tol-
nasional semakin memudar, misalnya etnisitas. Etnisi- eransi diantara warga masyarakat yang memiliki
tas adalah salah satu identitas lokal yang mewakili perbedaan agama. Masyarakat yang memahami per-
sekelompok masyarakat. Hal ini sejalan dengan pen- bedaan dan menumbuhkembangkan nilai-nilai toler-
dapat Fearon & Laitin (2003: 76) yang mengemukakan ansi dianggap dapat membentuk kohesi sosial di an-
bahwa etnis adalah kelompok sosial yang kelayakan tara sesama umat beragama. Rumah ibadah seperti
keanggotaannya ditentukan oleh atribut berbasis ke- masjid atau gereja sebagai salah satu situs kewarga-
turunan. negaraan diharapkan mampu menjadi sarana dalam
menginternalisasikan nilai-nilai multikultural seperti
Identitas lokal tersebut pada dasarnya merupakan
inklusif, cinta tanah air, toleransi, saling menghargai
pondasi dalam membangun identitas nasional. Namun
(apresiasi terhadap pluralitas), humanis, bertanggung
demikian, beberapa kurun terakhir terjadi fenomena
jawab, dan demokratis. Hal ini sebagai salah satu
menguatnya ikatan primordialisme atau sentimen
upaya dalam membangun identitas nasional yaitu
kedaerahan yang diakibatkan karena perebutaan sum-
dengan menguatkan peran penting agama sebagai sa-
ber-sumber kekuasaan atau ekonomi dari adanya un-
lah satu unsur yang mendukung terciptanya identitas
sur diskriminasi pemerintah. Menguatnya identitas lo-
nasional. Situs kewarganegaraan berbasis agama sep-
kal ini dapat menjadi ancaman bagi pembangunan
erti masjid, gereja, klenteng, dan pura dianggap dapat
identitas nasional, sehingga diperlukan faktor penting
dijadikan sebagai sarana dalam memupuk nilai-nilai
lainnya yang mampu menguatkan kembali identitas
dalam masyarakat multikultural sehingga perbedaan
nasional bangsa Indonesia, salah satunya yaitu agama.
dipahami sebagai sebuah kekuatan untuk membangun
Agama dapat membentuk dan melepaskan identitas
identitas nasional.
nasional. Agama mampu mendukung kohesi sosial
melalui simbol, ritual, norma, jaringan bersama,
Penutup
makna, ritus, yang memberikan kesempatan dalam
memfasilitasi keterikatan dalam membentuk solidari- Berdasarkan kajian-kajian mengenai proses pem-
tas dan kohesi sosial. Agama dinilai dapat mendukung bangunan identitas dalam konteks masyarakat mul-
homogenisasi dan proses pengintegrasian masyarakat tikultural melalui situs kewarganegaraan berbasis
sipil yang dapat dilakukan melalui kepercayaan komu- agama dapat dikemukakan beberapa simpulan sebagai
nal, sistem makna, moral, dan nilai bersama yang me- berikut.
miliki kekuatan untuk melibatkan kesetiaan anggota
1. Identitas nasional mencakup dimensi emosional
melalui interpretasi, norma dan sanksi. Jadi, dengan
dari kesetiaan, afiliasi, dan komitmen yang jauh
cara ini, agama membentuk pemahaman tentang ke-
lebih besar dan spesifik daripada kepercayaan
warganegaraan dalam suatu masyarakat dan perilaku
umum karena berakar pada asumsi kesamaan.
sosial yang dapat diterima. Agama memainkan peran
utama dalam pembentukan masyarakat sipil yaitu 2. Multikulturalisme sebagai bentuk integrasi yang
dengan menciptakan dan mempertahankan perasaan menerima keragaman merupakan bagian dari
individual terhadap identitas nasional berdasarkan te- proses pembangunan bangsa yang didasarkan
ori integratif. Peran agama tersebut dapat diinternal- pada identitas minoritas budaya serta identitas na-
isasi melalui situs-situs kewarganegaraan (rumah iba- sional.
dah atau tempat ibadah) yang utamanya menanamkan
pemahaman bahwa perbedaan agama bukan merupa- 3. Agama mampu membentuk dan melepaskan iden-
kan suatu problematika tetapi suatu kekhasan bangsa titas nasional melalui pembentukan solidaritas dan
yang apabila dimaknai secara arif dan bijaksana akan kohesi sosial. Agama mempunyai hubungan su-
menciptakan kerukunan umat beragama. portif antara negara dan agama yang dapat ber-
fungsi sebagai komponen integral dari pema-
Situs kewarganegaraan berbasis agama seperti ru- haman diri etnistas bangsa.
mah ibadah tidak hanya berfungsi sebagai tempat iba-
dah tetapi juga berfungsi untuk tempat bermusya- 4. Situs-situs kewarganegaraan mampu mengatasi
warah dan menyelesaikan suatu konflik yang terjadi di etnosentrisme, memperoleh kemampuan untuk

369
Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III p-ISSN 2598-5973
11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta e-ISSN 2599-008X

berempati dengan budaya lain, mengembangkan Fukuyama, F. (2001). Social capital, civil society and
sarana kerjasama yang melintasi batas-batas bu- development. Third World Quarterly, 22(1), 7-20.
daya dalam lingkungan multikultural, memperoleh http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/713
kemampuan untuk berkomunikasi melintasi ba- 701144
tas-batas budaya, misalnya melalui bilingualisme,
Gross, Z., & Ziebertz, H.-G. (2010). Religion and xen-
dan membentuk identitas kolektif baru, yang
ophobia. In H.-G. Ziebertz, W. K. Kay, & U. Riegel
terdiri dari individu yang memiliki perbedaan bu-
(Eds.), Youth in Europe III (181-199). Berlin, Ger-
daya.
many: LIT-Verlag.
5. Agama memainkan peran utama dalam pemben-
Hjerm, M., & Schnabel, A. (2010). Mobilizing nation-
tukan masyarakat sipil yaitu dengan menciptakan
alist sentiments: Which factors affect nationalist
dan mempertahankan perasaan individual ter-
sentiments in Europe?.Social Science Research, 39,
hadap identitas nasional berdasarkan teori inte-
527-539. http://www.sciencedirect.com/sci-
gratif. Situs kewarganegaraan berbasis agama sep-
ence/article/pii/S0049089X10000657
erti masjid, gereja, klenteng, dan pura dapat dijadi-
kan sebagai sarana dalam memupuk nilai-nilai da- Hung, Cheng-Yu . (2014). Teachers’ Perceptions of
lam masyarakat multikultural sehingga perbedaan National Identity in the English and Taiwanese
dipahami sebagai sebuah kekuatan untuk mem- Citizenship Curricula: civic or ethnic nationalism?.
bangun identitas nasional. Research in Comparative and International Education,
9(1): 197- 212.
Daftar Pustaka http://dx.doi.org/10.2304/rcie.2014.9.2.197
Anderson, B. (2010). The nation and the origins of na- Jones, F. L., & Smith, P. (2001). Individual and societal
tional consciousness. In: Guibernau M,Rex J (eds) bases of national identity. A comparative multi-
The Ethnicity Reader: Nationalism, Multicultural- level analysis.
ism & Migration (56-63). Polity, Cambridge. European Sociological Review, 17, 103-118.
https://doi.org/10.1093/esr/17.2.103
Ayub, M.E., Muhsin, MK., Mardjoned, R. (1996). Ma-
najemen masjid: petunjuk praktis bagi para pengurus. Kaelan. (2013). Problem Epistemologis Empat Pilar
Jakarta: Gema Insani Press. Berbangsa dan Bernegara. Prosiding FGD Pakar, PSP
UGM. Kajian Ilmiah Masalah Perbedaan Pendapat
Birzea, C. (2000). Eduaction for democartic citizenship:
4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Ker-
a lifelong learning perspectives. Strasbourg: Council
jasama Pusat Studi Pancasila UGM dan Masyarakat
of Europa.
Pengawal Pancasila Joglo Semar (Jogja Solo Sema-
Bechhofer, F., & McCrone, D. (2010). Choosing na- rang), Yogyakarta, 14 September 2013, 36-69.
tional identity. Sociological Research Online, 15 (3)
Kymlicka, W. (2007). Multicultural odysseys. New
3, 1-13. http://jour-
York: Oxford University Press
nals.sagepub.com/doi/abs/10.5153/sro.2191
Lecours, A. (2000). Ethnic and civic nationalism: to-
Callan, E. (2010). The better angels of our nature:
wards a new dimension. Space and Polity, 4(2),
patriotism and dirty hands. Journal of Political Phi-
153-166.
losophy, 18(3), 249-270. http://onlineli-
http://dx.doi.org/10.1080/13562570020013672
brary.wiley.com/doi/10.1111/j.1467-
9760.2009.00352.x/abstract Ljunggren, C. (2014). Citizenship Education and na-
tional identity: teaching ambivalence. Policy Futures
Castell, M. (2011). The power of identity: the infor-
in Education. 12 (1). 36-47
mation age: economy, society, and culture. New Jer-
sey: John Wiley & Sons http://dx.doi.org/10.2304/pfie.2014.12.1.34
Fearon, J.D., & Laitin, D.D. (2003). Ethnicity, insur- Mahfud, C. (2013). Pendidikan multikultural. Yogya-
gency, and civil war. The American Political Science karta: Pustaka Pelajar.
Review. 97(1):75-90. https://web.stan-
Maolalaidh, M.N., & Stevenson, C. (2014). National
ford.edu/group/ethnic/.../apsa011.pdf
identity in a foreign context: Irish women ac-
Feeny, S., Leach, M., Scambary, J. (2012). Measuring counting for their children’s national identity in
Attitudes to National Identity and Nation-build- England. Discourse & Society, 25(2), 245–262.
ing in Papua New Guinea. Political Science, 64(2), http://jour-
121–144. http://jour- nals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/09579265135
nals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/00323187124 16049
66762.
Putnam, R.D. (2007). E Pluribus Unum: Diversity and
Community in the Twenty-first Century The

370
Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III p-ISSN 2598-5973
11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta e-ISSN 2599-008X

2006 Johan Skytte Prize Lecture. Scandinavian Po-


litical Studies, 30(2): 137-174. http://citese-
erx.ist.psu.edu/viewdoc/down-
load?doi=10.1.1.515.6374&rep=rep1&type=pdf
Putnam, R.D., & Campbell, D.E. (2010). American
grace: how religion divides and unites us. New York,
NY: Simon & Schuster
Rahman, A., & Madiong, Baso. (2017). Pendidikan
Kewarganegaraan di perguruan tinggi. Makassar:
Celebes Media Perkasa.
Rex, John. (1996). National identity in the democratic
multi-cultural state. Sociological Research Online.
http://jour-
nals.sagepub.com/doi/abs/10.5153/sro.18
Rietveld, Elise. (2014). Debating multiculturalism and
national identity in Britain: Competing frames.
Ethnicities, 14(1), 50–71. http://jour-
nals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/14687968134
97209
Sarinah., D, Muhtar., & Harmaini. (2017). Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn di perguruan
tinggi). Yogyakarta: Deepublish
Schnabel, A., & Hjerm, M. (2014). How the Religious
Cleavages of Civil Society Shape National Identity,
Sage Open, 1-14. http://jour-
nals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/21582440145
25417
Shulman, S. (2002). Challenging the Civic/Ethnic and
West/East Dichotomies in the Study of National-
ism. Comparative Political Studies, 35(5), 554-587.
http://dx.doi.org/10.1177/0010414002035005003
Tilaar, H.A.R. (2003). Kekuasaan dan Pendidikan:
Suatu Tinjauan dan Perspektif Studi Kultural. Mage-
lang: IndonesiaTera.
Uberoi, V., & Modood, T (2013). Inclusive british-
ness: a multiculturalist advance. Political Studies,
61(1): 23–41. http://onlineli-
brary.wiley.com/doi/10.1111/j.1467-
9248.2012.00979.x/abstract
Welch, M. R., Sikkink, D., Sartain, E., & Bond, C.
(2004). Trust in God and trust in man: the ambiv-
alent role of religion in shaping dimensions of so-
cial trust. Journal for the Scientific Study of Religion,
43, 317-343. http://onlineli-
brary.wiley.com/doi/10.1111/j.1468-
5906.2004.00238.x/abstract.
Yaqin, Ainul. 2007. Pendidikan Multikultural: Cross-Cul-
tural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan.
Yogyakarta: Pilar Media.

371

Anda mungkin juga menyukai