Anda di halaman 1dari 11

Analisis Kadar Parasetamol Dalam Tablet

dengan Metode Spektrofluorometri


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Panas tinggi atau demam adalah suatu kondisi saat suhu badan lebih tinggi daripada
biasanya atau diatas suhu normal. Umumnya terjadi ketika seseorang mengalami gangguan
kesehatan. Suhu normal manusia berkisar antara 36-370 C. Demam merupakan bentuk
pertahanan tubuh terhadap serangan penyakit dengan mengeluarkan zat antibodi. Pengeluaran
zat antibodi yang lebih banyak daripada biasanya ini diikuti dengan naiknya suhu (Widjaja,
2001).
            Parasetamol atau asetaminofen adalah obat yang dapat digunakan untuk meredakan
demam. Selain itu Parasetamol juga dapat digunaan untuk melegakan sakit kepala, sengal-
sengal dan sakit ringan. Digunakan dalam sebagian besar resep obat analgesik salesma dan
flu. Parasetamol aman dan dapat memberikan efek bila diberikan dalam dosis standar, tetapi
karena mudah didapati, overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi.
            Dalam rangka mengetahui berapa kadar suatu obat khususnya dalam kasus ini adalah
Parasetamol dapat digunakan berbagai macam metode. Salah satu metode yang dapat
digunakan adalah spektrofluorometri, yaitu dengan mereaksikan Parasetamol dengan
oxidizing agent terlebih dahulu untuk membentuk senyawa rigid yang dapat dibaca pada
spektrofluorometer.
B.     Permasalahan
Permasalahannya adalah apakah kadar zat aktif Parasetamol yang terkandung dalam
sediaan tablet telah memenuhi persyaratan yang sesuai dengan Farmakope Indonesia (FI)
Edisi IV Tahun 1995 yaitu tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0%.
C.    Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1.      Untuk megetahui kadar zat aktif Parasetamol dalam sediaan tablet
2.      Untuk megetahui metode yang digunakan dalam penetapan kadar zat aktif Parasetamol
dalam sediaan tablet secara laboratorium.
D.    Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1.      Memberikan  informasi tentang kadar zat aktif Parasetamol dalam sediaan tablet.
2.      Memberikan informasi tentang apakah zat aktif Parasetamol yang terkandung dalam sediaan
tablet telah memenuhi persyaratan yang tertera dalam Farmakope Indonesia Edisi IV Tahun
1995yaotu tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0%.
3.      Memberikan informasi tentang metode yang digunakan dalam penetapan kadar zat aktif
Parasetamol dalam sediaan tablet.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Parasetamol
            Acetaminophen atau Parasetamol adalah obat analgetik dan antipiretik yang
digunakan untuk melegakan sakit kepala, sengal-sengal atau sakit ringan dan demam.
Parasetamol digunakan dalam sebagian resep obat analgetik selesma dan flu. Berbeda dengan
obat analgetik yang lain seperti aspirin dan ibuprofen, parastamol tidak memiliki sifat
antiradang.
            Parasetamol merupakan derivate dari asetanilida yang efek enalgetiknnya dapat
diperkuat dengan koffein dengan kira-kira 50% dan codein. Overdose dapat menimbulkan
antara lain mual, muntah dan anoreksia. Penanggulangannya dengan cuci lambung, juga perlu
diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin,
sebaiknya 8-10 jam setelah intoksikasi. Penggunaan parasetamol dalam dosis besar dan
dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan pada hati, untuk itu
parasetamol dikontraindikasikan untuk pasien dengan gangguan fungsi hati berat. Wanita
hamil dapat menggunakan parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai
susu ibu. Interaksi dengan dosis tinggi memperkuat efek antikoagulansia dan pada dosis biasa
tidak interaktif ( Tjay, 2000).
            Cara kerja parasetamol sebagai analgetik dengan meningkatkan ambang rangsang rasa
sakit pada prostalglandin. Cara kerja parasetamol sebagai antipiretik diduga bekerja langsung
pada pusat pengatur panas di hipotalamus.
            Parasetamol merupakan obat yang sangat aman, tetapi bukan berarti tidak berbahaya.
Sejumlah besar parasetamol akan melebihi kapasitas kerja hati, sehingga hati tidak dapat
menguraikannya menjadi bahan yang tidak berbahaya. Akibatnya, terbentuk suatu zat racun
yang dapat merusak hati. Keracunan parasetamol pada anak-anak yang belum mencapai masa
puber jarang berakibat fatal. Pada anak-anak yang berumur lebih dari 12 tahun overdosis
acetaminophen dapat menyebabkan kerusakan hati.
Nomenclature :
Nama Latin     : Acetaminophen
INN                 : Paracetamol
Nama Kimia    : N-(-4-hydroxyphenyl)ethanamide
                          N-acetyl-para aminophenol
Rumus Kimia  : C8H9NO2
Bobot Molekul: 151,2
Bentuk Fisik    : serbuk Kristal putih tidak berbau
Kelarutan        : 1 bagian larut dalam 70 bagian air
 B.     Spektrofluorometri
            Ada dua peristiwa fotoluminesensi, yaitu fluoresensi dan fosforisensi. Pada
fluoresensi, pemancaran kembali sinar oleh melokul yang telah menyerap energi sinar terjadi
dalam waktu yang sangat singkat setelah penyerapan (10-8 detik). Jika penyinaran kemudian
dihentikan, pemancaran kembali oleh molekul tersebut juga berhenti. Fluoresensi berasal dari
transisi antara tingkat-tingkat energi elektronik singlet dalam suatu molekul.
            Banyak senyawa kimia yang mempunyai sifat fotoluminesensi, artinya senyawa kimia
tersebut dapat dieksitasi oleh cahaya dan kemudian memancarkan kembali sinar yang
panjang gelombangnya sama atau berbeda dengan panjang gelombang semula (panjang
gelombang eksitasi).
            Variable-variabel yang mempengaruhi fluoresensi dan fosforesensi yaitu :
1.      Hasil kuantum (efisiensi kuantum, quantum yield)
Merupakan bilangan yang menyatakan perbandingan antara jumlah molekul yang
berfluoresensi terhadap jumlah total molekul yang tereksitasi. Besarnya quantum (ɸ) adalah :
0 ≤ ɸ ≤ 1. Nilai ɸ diharapkan adlah mendekati 1, yang berarti efisiensi fluoresensi sangat
tinggi.
2.      Pengaruh kekakuan struktur
Fluoresensi dapat terjadi dengan baik jika molekul-molekul memiliki struktur yang kaku
(rigid). Contoh fluoren yang memiliki efisiensi kuantum (ɸ) yang besar (mendekati 1) karena
adanya gugus metilen, dibandingkan dengan binefil yang memiliki efisiensi kuantum yang
lebih kecil (sekitar 0,2).
3.      Pengaruh suhu
Bila suhu makin tinggi maka efisiensi kuantum fluoresensi makin berkurang. Hal ini
disebabkan pada suhu yang lebih tinggi, tabrakan-tabrakan antar molekul atau tabrakan
molekul dengan pelarut menjadi lebih sering, yang mana pada peristiwa tabrakan, kelebihan
energy molekul yang tereksitasi dilepaskan ke molekup pelarut.jadi semakin tinggi suhu
maka terjadinya konversi ke luar besar, akibatnya efisiensi kuantum berkurang.
4.      Pengaruh pelarut
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengaruh pelarut pada fluoresensi, yaitu:
a.       Jika pelarut makin polar maka intensitas fluoresensi makin besar.
b.      Jika pelarut mengandung logam berat (Br, I atau senyawa lain), maka interaksi antara
gerakan spin dengan gerakan orbital elektron-elektron ikatan lebih banyak terjadi dan hal
tersebut dapat memperbesar laju lintasan antara sistem atau mempermudah pembentukan
triplet sehinga kebolehjadian fluorosensi lebih kecil, sedangkan kebolehjadian fosforesensi
menjadi lebih besar
5.      Pengaruh ph
a.       pH berpengaruh pada letak keseimbangan antar bentuk terionisasi dan bentuk tak terionisasi.
Sifat fluorosensi dari kedua bentuk itu berbeda. Sebagai contoh, fenol dalam suasana asam
akan berada dalam bentuk molekul utuh dengan panjang gelombang antara 285-365 nm dan
nilai ε = 18 M-1 cm-1 , sementara jika dalam suasana basa maka fenol akan terionisasi
membentuk ion fenolat yang mempunyai panjang gelombang antara 310-400 nm dan ε = 10
M-1 cm-1 .
     6.      Pengaruh oksigen terlarut
            Adanya oksigen akan memperkecil intensitas fluoresensi. Hal ini disebabkan oleh
terjadinya oksidasi senyawa karena pengaruh cahaya (fotochemically induced oxidation).
Pengurangan intensitas fluorosensi disebut pemadaman sendiri atau quenching. Molekul
oksigen bersifat paramagnetik, dan molekul yang bersifat seperti ini dapat mempengaruhi dan
mempermudah lintasan antara sistem sehingga memperkecil kemungkinan fluorosensi,
sebaliknya memperbesar kebolehjadian fosforesensi.
7.      Pemadaman sendiri dan penyerapan sendiri
            Pemadaman sendiri di sebabakan oleh tabrakan-tabrakan antar molekul zat itu sendiri.
Tabrakan-tabrakan itu menyebabkan energi yang tadinya akan dilepaskan sebagai sinar
fluorosensi ditransfer ke molekul lain, akibatnya intensitas berkurang. Salah satu proses
pemadaman sendiri dapat ditulis sebagai berikut:
Molekul analit tereksitas + pemadaman menjadi molekul analit berkeadaan dasar +
pemadam+ energi

            Supaya suatu molekul berfluoresensi, maka molekul tersebut harus menyerap radiasi.
Jika konsenrasi senyawa yang menyerap radiasi tersebut sangat tinggi, maka sinar yang
mengenai sampel akan diabsorbsi oleh lapisan pertama larutan dan hanya sedikit radiasi yang
diserap oleh bagian lain sampel pada jarak yang lebih jauh.oleh karena itu, fluoresensi sampel
yang berkonsentrasi tinggi ini tidak seragam dan tidakakan proporsional dengan konsentrasi
senyawa. Karena kejadian seperti ini tidak diinginkan untuk tujuan analisis kuantitatif, maka
konsentrasi larutan yang berfluoresensi harus dijaga dalam konsentrasi rendah ntuk mencegah
terjadinya penyerapan radiasi yang tidak seragam ini.
            Sistem ikatan rangkap terkonjugasi memiliki struktur yang planar dan kaku sehingga
akan mampu menyerap secara kuat di daerah 200-800 nm pada radiasi elektromagnetik.
Senyawa-senyawa yang mempunyai ikan rangkap terkonjugasi ini merupakan calon senyawa
yang mampu berfluoresensi. Modifikasi struktur terhadap senyawa-senyawa ini dapat
menurunkan atau meningkatkan intensitas fluoresensi, tergantung pada sifat dan letak gugus
substituen.
            Gugus-gugus yang memberikan elektron (elektron donating groups) seperti gugus
hidroksil, aminoatau metoksi yang terikat secara langsung pada sistem ikatan п dapat
memfasilitasi terjadinya proses fluoresensi. Gugus-gugus yang menarik elektron (elektron
withdrawing groups) seperti nitro, bromo, iodo, siano, atau karboksil cenderung mengurangi
intensitas fluoresensi. Untuk obat-obat yang mempunyai gugus fungsional yang dapat
terionisasi yang terikat pada siste konjugasi, pemilihan ph dapat mempengaruhi sensitifitas
dan selektifitas pengujian. Dalam kasus senyawa fenol, ionisasi menjadi anion fenolat
biasanya mendorong fluoresensi; sementara itu perubahan amin aromatis menjadi kation
amonium aromatis menghambat proses fluoresensi.
            Penambahan banyaknya ikatan rangkap terkonjugasi dalam suatu sistem
menyebabkan peningkatan fluoresensi utamanya jika dalam sistem struktur aromatis
heterosiklik, yakni suatu struktur aromatisnyang mengandung gugus N, S, dan O. Intensitas
fluoresensi senyawa heterosiklis yang mengandung gugus –NH seringkali meningkat pada ph
asam yang mana gugus nitrogen mengalami protonasi.
            Jika suatu senyawa tidak berfluoresensi secara interinsik, maka senyawa tersebut
harus dirubah menjadi senyawa yang berfluoresen untuk dapat dianalisis. salah satu
pendekatan yang telah sukses digunakan untuk merupah senyawa menjadi berfluoresen
adalah dengan metode induksi kimia seperti radiasi dengan UV, hidrolisis, dan dengan
dehidrasi menggunakan asam kuat. metode lain adalah dengan pengkoplingan atau
penggabungan reaksi antara molekul obat denagan reagen fluorometrik yang sesuai
membentuk senyawa berfluoresensi yang disebut dengan fluorofor. reaksi yang
meningkatkan intensitas fluoresensi juga meningkatkan perpanjangan sistem elektron п atau
kekakuan(rigiditas) molekul yang berarti juga meningkatkan planaritas struktur. prosedur-
prosedur yang menhasilkan fluorofor jga dapat memberikan peningkatan sensitifitas dan
spesifisitas metode pengujian dengan menggeser panjang gelombang eksitasi dan emisi ke
panjang gelombang yang lebih panjang sehingga gangguan-gangguan dari senyawa lain
menjadi minimal atau hilang sama sekali..
            Metode kedua yang digunakan untuk menguah obat yang tdak berfluoresensi atau
metabolitnya menjadi senyawa yang berfluoresensi (fluorofor) adalah metode pengkoplingan
atau penggabungan gugus fungsional molekul organik tertentu dengan reagen fluoresen.
diantara reagen-reagen yang sangat popular yang tersedia di pasaran adalah fluoresamin, o-
ftalaldehid, dansil klorida dan NBD klorida.
            Kerugian metode pembentukan fluorofor dengan pengoplingan adalah: (1)
Spesifitasnya masih kalah bagus jika dibandingkan dengan metode induksi kimia,(2) Adanya
fluoresensi dasar (background) yang tinggi yang disebabkan oleh reagen yang tidak ikut
bereaksi, (3) Beberapa tahap pemisahan terhadap kelebihan reagen biasanya di perlukan
sebelum dilakukan pengukuran, dan (4) Ketersedian reagen untuk gugus fungsional tertentu
biasanya terbatas.
            Metode-metode yang melibatkan pembentukan fluorofor yang mengandung ion-ion
anorganik juga menarik terutama untuk analisis sekelumit (trace analysis) ion tertentu.
Prosedurnya ada 2 kategori, kategori pertama melibatkan pembentukan khelat berfluoresensi
antara ion dengan senyawa organik dilanjutkan dengan pengukuran emisinya. Metode ini
bermanfaat untuk ion-ion logam non transisi yang mana kurang begitu kompetitif dengan
proses fluoresensi dalam keadaan tereksitasi. Kategori ke dua pada umumnya digunakan
untuk analisis anion. Penurunan intensitas fluoresensi diamati sebagai peningkatan kuantitas
anion yang ditambahkan. Efek ini disebabkan oleh pengaruh pemadaman (quenching) ion-ion
organik pada emisi fluoresensi senyawa organik.
            Fosforisensi lebih di sukai terjadi pada eksitasi elektronyang tidak berpasangan (non-
bonding elektron, n). Dan juga, adanya substitusi pada struktur molekul dengan halogen,
logam berat, dan gugus-gugus nitro (terutama yang dekat dengan elektron yang tereksitasi)
akan meningkatkan fosforisensi. Hal ini disebabkan adanya gugus-gugus fungsional tersebut
yang dapat mendorong transisi elektron dari keadaan tereksitasi singlet ke keadaan tereksitasi
triplet yang merupakan syarat untuk teramatinya fosforisensi.
            Ada tiga keuntungan analisis fluorometri dan foforimetri dibandingkan dengan
spektrofotometri absorbsi yaitu:
1.      fluorometri lebih peka
2.      fluorometri lebih selektif
3.      pada fluorometri gangguan spektral dapat dikurangi dengan cara merubah panjang
gelombang eksitasi atau emisi.
C.    Tablet
            Tablet adalah sediaan padat kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung
pipih atau sirkuler, kedua permukaannya rata atau cembung, mengandung satu jenis obat atau
lebih dengan atau tanpa zat tambahan. Zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai
zat pengisi, zat pengembang, zat pengikat, zat pelicin, zat pembasah atau zat lain yang cocok
( menurut FI III). Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa
bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan
tablet kempa (menurut FI IV).
            Suatu tablet harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1.      Harus mengandung zat aktif dan non aktif yang memenuhi persyaratan
2.      Harus mengandung zat aktif yang homogen dan stabil
3.      Keadaan fisik harus cukup kuat terhadap gangguan fisik/mekanik
4.      Keseragaman bobot dan penampilan harus memenuhi persyaratan
5.      Waktu hancur dan laju disolusi harus memenuhi persyaratan
6.      Harus stabil terhadap udara dan suhu lingkungan
7.      Bebas dari kerusakan fisik
8.      Stabilitas kimiawi dan fisik cukup lama selama penyimpanan
9.      Zat aktif harus dapat dilepaskan secara homogen dalam waktu tertentu;
10.  Tablet memenuhi persayaratan Farmakope yang berlaku.
Komponen tablet yaitu :
1.      Zat aktif
2.      Zat tambahan (eksipien)
a.       Bahan pengisi (dilluent/filler)
b.      Bahan pengikat (binders)
c.       Bahan penghancur (disintegrants)
d.      Bahan pelican (anti frictional agents)
         Lubricants
         Glidants
         Anti adherent
Beberapa metode granulasi adalah sebagai berikut :
1.      Granulasi basah
2.      Granulasi kering
3.      Kempa langsung

 Cara Kerja Skematis Pembuatan Tablet:


BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Alat
Alat yang digunakan dalam peneltian ini adalah Spektrofluorometer Shimadzu, kompor
listrik, kertas saring, gelas ukur, pipet volume, pipet ukur, mikro pipet, labu ukur, timbangan
digital, tabung reaksi, termometer, corong, cawan petri, alat uji dissolusi.
B.     Bahan
Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah hasil proses pencampuran
pembuatan tablet paracatamol, tablet parasetamol, baku pembanding  BPFI, NaOCl,
Aq.bidestilata, Na2CO3, H3BO3, kertas pH,
C.    Prosedur percobaan
Pembuatan larutan baku : larutan baku dibuat dari baku Parasetamol 1,mm mg/mL dibuat
menkadi kurva baku ( 0,1; 0,2; 0,4 dan 0,8  µg/mL)
Larutan NaOCl : dari standar 70,0 g/L dibuat NaOCl dengan konsentrasi 0,01 M dengan
aqua demineralisata
Larutan Buffer : 0,4 M Na2CO3 + 0,4 M H3BO3
dibuat dengan melarutkan 2,12 g Na2CO3 dalam aqua demineralisata ad 50,0 dan 1,24 g
H3BO3 yang dilarutkan dalam aqua demineralisata ad 50,0mL.
IPC  (In Process Control)
a.       Penentuan homogenitas campuran
1.      Semua bahan di masukkan dalam mixer
2.      Mixer digerakkan dengan kecepatan 100 RPM
3.      Pada masing-masing waktu pengambilan sampel, sampel diambil dari dalam mixer dari tiap
bagian mixer (5 tempat)
4.      Waktu pengambilan cuplikan 8 menit.
5.      Sampel yang diambil masing-masing tempat sebesar 100 mg.
6.      Sampel dilarutkan dengan NaOH  ad pH 10
7.      Ditambahkan aqudest ad 10,0 mL, gojok ad homogeny
8.      Kemudian dilakukan pengenceran sampai 5000 kali.
9.      Ambil 1,00 mL + 2,00 mL dapar Na2CO3 H3BO3 + 3,5 mL NaOCl, kocok
10.  Dipanaskan pada suhu 800 C selama 2 menit.
11.  Didinginkan dengan aq.dest ad 10,0 mL
12.  Dibaca dengan spektrofluorometer dengan panjang gelombang eksitasi = 335nm, panjang
gelombang emisi = 427 nm
13.  Ditentukan homogenitas campuran berdasarkan nilai CV
b.      Disolusi tablet parasetamol
1.      Satu tablet parasetamol dimasukkan dalam medium disolusi yaitu 900,0 mL yaitu aquadest.
2.      Pengaduk diputar dengan kecepatan 50 RPM
3.      Sampel diambil dari medium pada waktu 8  menit sebanyak 10,0 mL
4.      Dari sampel diambil 1,00 mL dan dilakukan pengenceran 200 kali
5.      Ambil 1,00 mL + 2,00 mL dapar Na2CO3 H3BO3 + 3,5 mL NaOCl, kocok
6.      Dipanaskan pada suhu 800 C selama 2 menit.
7.      Didinginkan dengan aq.dest ad 10,0 mL
8.      Dibaca dengan spektrofluorometer dengan panjang gelombang eksitasi = 335nm, panjang
gelombang emisi = 427 nm
c.       Penetapan kandungan zat aktif
1.      Timbang dan serbukkan tidak kurang dari 20 tablet.
1.      Timbang seksama sejumlah serbuk tablet setara dg ± 100 mg PCT
2.      Tambahkan NaOH ad pH 10
3.      Tambahkan aq.dest ad 10,0 mL, gojok ad homogen
4.      Kemudian dilakukan pengenceran sampai 5000 kali
5.      Ambil 1,00 mL + 2,00 mL dapar Na2CO3 H3BO3 + 3,50 mL NaOCl kocok
6.      Panaskan sampai suhu 800 C
7.      Dinginkan dengan aq.dest ad 10,0 mL
8.      Dibaca dengan spektrofluorometer dengan panjang gelombang eksitasi = 335nm, panjang
gelombang emisi = 427 nm

Disusun oleh :
Auliarrahman Rizqi, S.Farm, Apt.     
Dyah Erma Yunita, S.Farm, Apt.           
Muhammad Fariez K, S.Farm, Apt.

Anda mungkin juga menyukai