Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH DISTRIBUSI OBAT DAN ALAT KESEHATAN

MANAJEMEN SISTEM RANTAI PASOK FARMASI

PADA ERA PANDEMIK COVID-19

Kelompok 3:

Avira Hajar Sawitri (NIM. 200070600111016)

Mohammad Faiz Attoriq (NIM. 200070600111022)

Siti Chotimah (NIM. 200070600111032)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

TAHUN 2020
BAB 1
PENDAHULUAN

Wabah pandemi Coronavirus Disease 2019 yang dikenal dengan COVID-19

sudah berlangsung sejak akhir tahun 2019. COVID-19 merupakan penyakit menular

yang menyerang sistem pernapasan dan disebabkan oleh coronavirus yang ditemukan

pertama kali di Wuhan, China pada akhir bulan Desember 2019 (Huang, et al., 2020).

Lembaga Kesehatan Dunia atau WHO menyatakan COVID-19 sebagai pandemik

sejak pertengahan Maret 2020. Data WHO per tanggal 24 April 2020 menunjukkan

sudah 209 negara terjangkit dengan jumlah kasus secara global sebanyak 2.626.321

kasus dan angka kematian mencapai 181.938 jiwa (WHO, 2020). Indonesia menjadi

salah satu negara yang terjangkit COVID- 19 dengan total kasus mencapai 373.109

kasus.

Dampak yang ditimbulkan oleh wabah ini begitu masif sampai dapat

melumpuhkan aktivitas perekonomian global di berbagai sektor bisnis. Kerugian

ekonomi yang dialami China akibat virus 2019-nCov diestimasikan mencapai USD

62 juta dan total kerugian lebih dari USD 280 juta secara global pada kuartal pertama

tahun 2020. Indonesia diprediksi mengalami penurunan Pendapatan Domestik Bruto

(PDB) sebesar 0.2% dari tahun 2019. Salah satu kegiatan operasional sektor bisnis

yang terkena dampak akibat wabah ini adalah kegiatan rantai pasok. Rantai pasok

merupakan serangkaian sistem yang terdiri atas organisasi, personel, aktivitas,

informasi, dan segala jenis sumber daya lainnya terkait kegiatan memasok produk

bagi konsumen (Kozlenkova, et al., 2015).


Aktivitas dalam rantai pasok tidak dapat dihindari dari risiko terjadinya

gangguan. Gangguan yang terjadi pada rantai pasok berupa fluktuasi permintaan serta

perubahan lama waktu pemesanan (lead time) merupakan gangguan operasional yang

lazim terjadi pada rantai pasok (Kinra, et al., 2019). Namun gangguan berbentuk

wabah pandemi seperti yang terjadi saat ini merupakan gangguan rantai pasok yang

terjadi secara tiba-tiba dan dapat disebut sebagai disrupsi rantai pasok. Contoh dari

disrupsi rantai pasok adalah peristiwa bencana alam seperti gempa dan tsunami,

bencana akibat manusia seperti peristiwa ledakan di pabrik kimia, dan sengekta

hokum (Ivanov, et al., 2019). Disrupsi rantai pasok ini menyebabkan dampak

terhadap struktur rantai pasok perusahaan seperti terputusnya jaringan transportasi

yang menyebabkan terjadinya penundaan distribusi barang hingga kelangkaan

barang. Rantai pasok yang terputus menyebabkan penurunan performa perusahaan

sehingga mengakibatkan penurunan pendapatan (Schmitt, et al., 2017).

Industri farmasi sebagai badan yang bergerak di bidang bisnis tidak bisa

terlepas dari faktor finansial sebagai pendukung kegiatan operasional. Aspek finansial

merupakan salah satu aspek penggerak jalannya rantai pasok. Industri farmasi perlu

memberi perhatian terhadap faktor finansial yang terpengaruh akibat pandemi ini

(Gong, et al., 2018). Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah

terhadap dolar Amerika Serikat menunjukkan tren pelemahan dari hari ke hari. Hal

ini berdampak terhadap perusahaan-perusahaan yang mengandalkan impor untuk

kegiatan operasionalnya seperti halnya industri farmasi di Indonesia. Indonesia

sendiri mengimpor hampir 90% bahan baku obat yang berasal dari luar negeri.
Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian pada tahun 2016, saat ini Indonesia

mengimpor bahan baku obat terbanyak dari Tiongkok, India, dan kawasan Eropa.

Tiongkok masih menjadi negara sumber pemasok terbesar kebutuhan bahan baku

obat Indonesia, yakni sekitar Rp 6,84 triliun (60%), India di posisi kedua Rp 3,42

triliun (30%), dan Eropa Rp 1,4 triliun (10%). Ketergantungan yang teramat tinggi

pada bahan baku impor menjadikan industri farmasi Indonesia sangat rawan, apalagi

dengan keadaan pelemahan kurs rupiah yang akan mendongkrak biaya produksi.

Penutupan industri, lockdown serta pembatasan aktivitas di negara China sebagai

akibat dari adanya wabah Covid-19 menyebabkan produktivitas dari negara tersebut

menurun sehingga kegiatan ekspor tersendat, termasuk ekspor bahan baku obat.

Keberlanjutan rantai pasok perbekalan farmasi menjadi persoalan akibat pembatasan

aktivitas di berbagai wilayah. Apabila wabah ini terus berlanjut maka stok dari

perbekalan farmasi serta bahan baku farmasi berpotensi kian menipis yang dapat

menyebabkan kelangkaan dalam skala yang lebih besar.

Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19) telah menimbulkan tantangan yang

belum pernah terjadi sebelumnya bagi negara-negara di seluruh dunia, dimana

kekurangan obat-obatan dapat menyebabkan dampak negatif yang sangat buruk pada

kesehatan global. Manajemen rantai pasok mempertimbangkan dengan saksama tiap-

tiap fasilitas yang berdampak signifikan dan berperan dalam membuat produk untuk

dapat menyesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Tentu saja, dalam beberapa

analisis rantai pasok, meliputi para penyalur dan pelanggan sebab mereka mempunyai

suatu dampak dan keterkaitan pada capaian rantai persediaan. Sasaran manajemen
rantai persediaan diharapkan untuk mengefisienkan biaya seoptimal mungkin dari

keseluruhan sistem yang meliputi biaya transportasi dan distribusi ke sentral bahan

baku, barang setengah jadi dalam proses pengolahan, dan barang jadi. Arti penekanan

biaya tidak semata-mata pada upaya memperkecil ongkos transportasi atau

mengurangi persediaan yang ada saja, melainkan upaya pada pengembangan melalui

pendekatan sistem secara keseluruhan untuk menyediakan material sampai produk

yang ditunjang dengan teknologi informasi yang memadai dalam keseluruhan rantai

pasok yang ada (Guritno, et al., 2006).

Langkah esensial yang dapat dilakukan oleh industri sebagai respons terhadap

COVID-19 adalah melakukan manajemen informasi. Hal ini dapat dilakukan mulai

dari melacak serta menggali informasi terbaru setiap saat terkait perkembangan

situasi terkini serta melakukan komunikasi secara kontinu dengan pihak internal serta

eksternal. Komunikasi terhadap pihak eksternal oleh industri farmasi juga hendaknya

dilakukan secara proaktif dengan para pemasok di daerah terdampak khususnya

terkait kontrak antara industri farmasi sebagai pembeli dan pihak pemasok. Selain

melakukan kontak dengan pihak eksternal, industri farmasi juga sebaiknya

melakukan komunikasi dalam lingkup internal (Monica, et al., 2020). Di dalam suatu

rantai produk riil, bahan baku diperoleh dan diproduksi dalam fasilitas pengolahan,

kemudian mengirimkan ke gudang penyimpanan (finished goods warehouse) dan

kemudian mengirimkan ke pelanggan (customer) atau pengecer (retailer). Sebagai

konsekuensi, untuk mengurangi harga dan meningkatkan kualitas pelayanan, strategi

rantai persediaan secara efektif harus mempertimbangkan interaksi di berbagai


tingkatan di dalam rantai persediaan yang terjadi. Rantai persediaan juga dikenal

sebagai jaringan logistik, terdiri dari para penyalur, pusat pabrikasi atau manufaktur,

gudang, pusat distribusi, dan toko pengecer, seperti halnya bahan baku, persediaan

barang setengah jadi (work in process inventory), dan produk jadi (Guritno, et al.,

2006).
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Manajemen Rantai Pasok

Rantai pasok adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh perusahaan secara

terintegrasi untuk meningkatkan efisiensinya melalui mata rantai supplier yang

terkait, mulai dari supplier awal (raw material supplier) hingga pelanggan akhir (end

customer). Upaya ini dilakukan dengan meningkatkan komunikasi dan kerjasama

yang lebih baik dalam setiap kaitan rantai perusahaan, yang terlibat dalam

penciptaan produk (Sobarsa, 2009).

Menurut Chopra and Meindl (2007), rantai pasok memiliki sifat yang dinamis

namun melibatkan tiga aliran yang konstan, yaitu aliran informasi, produk dan uang.

Tujuan utama dari setiap rantai pasok adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumen

dan menghasilkan keuntungan. Rantai pasok lebih menekankan pada semua aktivitas

dalam memenuhi kebutuhan konsumen yang di dalamnya terdapat aliran dan

transformasi barang mulai dari bahan baku sampai ke konsumen akhir dan disertai

dengan aliran informasi dan uang.

Martin Christopher (1998) mendefinisikan bahwa Manajemen Rantai Pasokan

(MRP) adalah jaringan organisasi-organisasi yang terlibat dalam sebuah bisnis,

melalui keterkaitan hulu dan hilir, dalam proses dan aktivitas yang berbeda guna

menghasilkan nilai berupa produk dan jasa ke tangan konsumen utama. Sedangkan

motif di balik pengaturan MRP tersebut sesungguhnya adalah upaya untuk


meningkatkan daya saing saluran distribusi perusahaan tersebut (Bowersox dan

Closs, 1996).

MRP juga dimaknai sebagai serangkaian keterkaitan antara pemasok dan pembeli

barang dan jasa. Sebuah MRP yang lengkap melibatkan seluruh proses yang bermula

dari aktivitas menghasilkan bahan baku hingga penyajiannya pada pengguna akhir

(end-users) dari produk barang atau jasa yang dihasilkan tersebut (Young, 2000).

MRP tidak hanya meliputi aliran fisik, tetapi juga aliran informasi sepanjang saluran

rantai pasokan tersebut.

Manajemen rantai pasok yang efektif membutuhkan pengembangan yang

dilakukan secara simultan baik dari sisi tingkat layanan konsumen maupun internal

operating efficiencies dari perusahaan-perusahaan dalam sebuah rantai pasok.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dari tingkat layanan konsumen adalah tingkat

pemenuhan pesanan (order fill rates), ketepatan waktu pengiriman (on-time delivery)

dan tingkat pengembalian produk oleh konsumen dengan berbagai alasan (rate of

products returned by customer for whatever reason). Sementara, dari sisi internal

efficiencies, apakah sebuah organisasi dalam sebuah rantai pasok memperoleh hasil

yang baik dari investasi atas persediaan dan aset lainnya dan menemukan cara untuk

mengurangi pengeluaran operasional dan penjualan. Atau dengan perkataan lain

bagaimana mengelola rantai pasok agar dapat responsif sekaligus efisien.

Mengelola MRP bukanlah tanpa risiko. Sunil Chopra dan ManMohan S. Sodhi

(2004) mengungkap perlunya mengelola risiko untuk menghindari kegagalan MRP.

Chopra dan Sodhi menyarankan dua hal penting dalam upaya menyusun strategi

menghadapi risiko MRP, yaitu: Pertama, menciptakan pemahaman menyeluruhan


dalam tubuh organisasi tentang risiko supply-chain. Kedua adalah menetapkan

bagaimana cara beradaptasi dengan pendekatan yang akan diterapkan untuk

meghadapi risiko tersebut.

2.2 Dampak Pandemi Terhadap Rantai Pasok Farmasi

Berbagai macam sektor bisnis terdampak dari pandemi COVID-19 ini, salah

satunya adalah sektor industri farmasi di berbagai belahan dunia. Ozili dan Arun

menyatakan bahwa sebanyak 60% bahan baku aktif farmasi yang digunakan seluruh

dunia merupakan hasil produksi China. Rude menyebutkan bahwa industri farmasi

diberbagai belahan dunia sangat bergantung terhadap pasokan bahan baku obat dari

China sejak tahun 2013. Pada tahun 2018, China merupakan produsen bidang farmasi

terbesar di dunia yang mencakup 32,2% produk farmasi yang mengalami peningkatan

dari persentase 26,5% sejak tahun 2013. Hal ini menyebabkan Cina menduduki posisi

nomor satu sebagai produsen bahan baku farmasi.

Industri farmasi di Indonesia sampai saat ini masih mengandalkan impor sekitar

90% bahan baku obat-obatan yang digunakan dalam proses manufaktur obat dari luar

negeri. China dan India merupakan dua negara eksportir bahan baku farmasi terbesar

ke banyak negara, termasuk Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang berlokasi di

China umumnya membuat kebijakan menurunkan kecepatan produksi atau bahkan

meliburkan para pekerja. Selain itu, provinsi Hubei sebagai tempat asal COVID-19

dan salah satu sentrum industri farmasi di China memberlakukan sistem lockdown

dan pembatasan aktivitas. Salah satu bentuk pembatasan aktivitas yang diperintahkan

oleh lembaga berwenang setempat adalah penutupan industri sebagai langkah


pengendalian persebaran virus. Walaupun kini China sudah mulai mengangkat

peraturan lockdown, aktivitas manufaktur yang sebelumnya berhenti total tetap

membutuhkan waktu dan proses secara bertahap untuk dapat kembali dilakukan

dalam skala penuh. Penutupan industri, lockdown serta pembatasan aktivitas di

negara China menyebabkan produktivitas dari negara tersebut menurun sehingga

menyebabkan kegiatan ekspor tersendat, termasuk ekspor bahan baku obat (Sukmana,

2020).

India sebagai ndustry ve sumber pemasok bahan baku farmasi juga turut

memberlakukan lockdown tingkat nasional. Kebijakan tersebut juga diikuti dengan

pembatasan ekspor bahan baku dan formulasi yang mengandung bahan baku farmasi

oleh Kementerian Perdagangan dan Industri India (Ministry of Commerce &

Industry). Pembatasan tersebut dilakukan sebagai upaya pemerintah India untuk

memastikan kebutuhan pasokan obat secara nasional dapat terpenuhi dan berlaku

efektif hingga batas waktu yang belum ditentukan. Hal ini berpotensi menimbulkan

masalah terhambatnya alur rantai pasok farmasi secara global termasuk Indonesia.

Pemberlakuan lockdown semakin mengurangi kapasitas karena kendala ndustry

yang meningkat. Perlambatan pasar diseluruh dunia berdampak ndustry terhadap

perusahaan. Namun, dampak ndust dan tingkat keparahan krisis ini akan bergantung

pada durasi wabah (D&B India, 2020).

Pada pertengahan Maret 2020, FDA Taiwan mengumumkan bahwa obat-

obatan tidak berada di bawah ancaman kekurangan tiba-tiba atau gangguan rantai

pasokan karena perusahaan farmasi memiliki persediaan bahan hingga 6 bulan yang

sebagian besar di antaranya dapat diperoleh dari sumber ndustry ve. Namun, jika
ndustry COVID-19 terus berlanjut, obat-obatan tertentu mungkin tidak banyak

tersedia dan biayanya dapat meningkat (Kuo et al., 2020). Dampak jangka pendek

belum tentu dirasakan oleh indsutri farmasi nasional. Setiap ndustry pasti memiliki

persediaan yang dapat bertahan hingga beberapa waktu kedepan. Namun, dalam

jangka panjang wabah virus ini berpotensi menyebabkan masalah terhadap

keberlangsungan rantai pasok dan terhambatnya proses manufaktur ndustry akibat

pembatasan aktivitas.

2.3 Strategi Penanganan

Strategi untuk mengatasi akar penyebab kekurangan pasokan obat, The

interagency

Drug Shortage Task Force led by U.S. FDA menawarkan 3 rekomendasi:

a. Pemahaman bersama tentang dampak kekurangan obat pada pasien,

pemberian perawatan kesehatan dan biaya perawatan kesehatan

b. Pemerintah harus mengembangkan sistem rating untuk memberikan insentif

pada produsen farmasi untuk berinvestasi mencapai sistem manajemen mutu

yang matang. Sistem manajemen mutu dasar berfokus pada CGMP. Namun,

kepatuhan terhadap standar CGMP hanyalah dasar dan tidak cukup. Sistem

manajemen kualitas yang matang dibagung dalam elemen-elemen berikut:

1. Perhatian yang cermat terhadap peningkatan fasilitas dan peralatan

2. Pelatihan karyawan untuk meningkatan kualitas produk

3. Pemantauan proses pembuatan yang sedang berlangung dan laboratorium

menggunakan metode berbasis statistik


4. Penggunaan praktik manajemen resiko

c. Meningkatkan sektor swasta untuk memastikan persediaan medis obat

penting yang dapat diandalkan.

Selain itu, terdapat beberapa strategi lain yang direkomendasikan untuk mengurangi

kekurangan obat, menghindari kesalahan alokasi obat dan memastikan kualitas dan

keamanan jangka panjang. Berikut beberapa strategi tersebut (Kuo et al., 2020):

a. Strategi untuk memastikan kecukupan pasokan dan meningkatkan kualitas

dan keamanan jangka panjang

 Mempertimbangkan obat dan komponennya sebagai aset strategis, bukan

komoditas

 Meningkatkan pelacakan dan perkiraan rantai pasokan antimikroba

 Membuat daftar pasokan obat penting untuk keamanan nasional yang

mencakup obat-obatan yang disuplai

 Menyediakan insentif ekonomi dan kebijakan untuk pemulihan segera

industri farmasi

 Memperkuat pengawasan pemerintah terhadap produsen obat dan fasilitas

luar negeri

 Memperbaiki pengujian obat-obatan impor

 Membenruk dan memelihara agen farmasi dalam persediaan nasional

yang strategis

 Memperbaiki manajemen inventaris di sepanjang rantai pasokan


b. Strategi untuk mengurangi kekurangan obat dan menghindari kesalahan

alokasi obat

 Bagi pemerintah

- Menetapkan jalur banding dan rujukan untuk pasien yang tidak dapat

mengisi resep

- Menetapkan sistem pelaporan dan konseling untuk efek samping

akibat terapi atau obat alternatif

- Menerapkan real-time, sistem pelacakan terbuka untuk status

penawaran-permintaan agar distribusi dan alokasi obat-obatan tepat

waktu

- Memperkuat prosedur audit untuk memastikan keseimbangan

penwaran-permintaan obat

- Memperluas rantai pasokan obat essensial daripada membuat industri

farmasi hanya bergantung pada 1 atau 2 negara

- Meningkatkan produksi obat-obatan dalam negeri untuk melindungi

rantai pasokan dan ketersediaan produk dari peristiwa krisis global

yang tidak terduga

- Melanjutkan kembali administrasi farmasi untuk menyempurnakan

sistem distribusi, alokasi dan pengeluaran obat-obatan

 Bagi Perusahaan Farmasi

Kenali dan ikuti dengan ketat pedoman alokasi obat rasional yang

dikeluarkan FDA
 Bagi Apotek Rumah Sakit

Hindari kelebihan persediaan obat dan berfungsi sebagai apotek satelit

antara perusahaan farmasi dan apotek komunitas untuk meningkatkan

kecukupan alokasi obat yang efisien ke apotek komunitas

 Bagi Apoteker dan Asosiasinya

Melangkah ke atas dan bekerja lebih dekat dengan pemangku kepentingan

terkait untuk mengatasi kesalahan alokasi obat


BAB 3
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Bowersox, Donald J. dan David J. Closs. 1996. Logistical Management: the

integrated supply chain process. International Edition. Singapore: McGraw-

Hill.

Chopra, Sunil dan ManMohan S. Sodhi. 2004. “Managing Risk to Avoid Supply-

Chain Breakdown”. MIT Sloan Management Review. Fall, Vol. 46, No. 1, pp.

53 – 61.

Christopher, Martin. 1998. Logistics and Supply Chain Management: strategies for

reducing cost and improving service. Second Edition. London: Financial

Times – Prentice Hall.

D&B India. (2020). Dun & Bradstreet: Growing relationships through data. D&B

India. https://www.dnb.co.in/.

Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur. 2016. Peluang Investasi Sektor Industri

Bahan Baku Obat di Indonesia. Jakarta : Badan Koordinasi Penanaman

Modal.

Gong, S. and S. Cullinane. 2018. Finance and Risk Management for International

Logistics and the Supply Chain. Amsterdam: Elsevier.

Guritno, Adi Djoko dan Meirani, Harsasi. 2006. Pengantar Manajemen Rantai

Pasok (Supply Chain Management). Yogyakarta: Universitas Terbuka.


Huang, C., Y. Wang, X. Li, L. Ren, J. Zhao, Y. Hu. 2020. Clinical features of patients

infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. The Lancet 2020;

395(10223):497-506.

Ivanov, D., A. Dolgui, and B. Sokolov. Handbook of Riplle Effects in the Supply

Chain. New York: Springer; 2019.

Kinra, A., D. Ivanov, A. Das, and A. Dolgui. Ripple Effect Quantification by

Supplier Risk Exposure Assessment. International Journal of Production

Research. 2019;1-20.

Kozlenkova, I., G. T. M. Hult, D. J. Lund, J. A. Mena, and P. Kekec. The Role of

Marketing Channels in Supply Chain Management. Journal of Retailing,

2015; 91(4): 586-609.

Kuo, S., Huang-Tz O., dan Jason W. Managing medication supply chains: Lessons

learned from Taiwan during the COVID-19 pandemic and preparedness

planning for the future. Journal of the American Pharmacists Association,

2020 (1-4).

Monica Richelle Herdady, Muchtaridi Muchtaridi. 2020. COVID-19: Alarm Bagi

Sistem Rantai Pasok Industri Farmasi. Majalah Farmasetika, 5 (4) 2020, 146-

155.

Ozili, P. K. and T. Arun. Spillover of COVID-19: impact on the Global Economy.

SSRN Electronic Journal. 2020;1-20.


Rude, J.. Global Pharmaceutical Supply Chain at Risk from Coronavirus. [diunduh

21 Oktober 2020]. Tersedia dari: https://blog.euromonitor.com/global

pharmaceuticalsupply-chain-at-risk-from-coronavirus/.

Schmitt, T. G., S. Kumar, K. E. Stecke, F. W. Glover, and M. A. Ehlen. Mitigating

Disruptions in a Multi-Echelon Supply Chain Using Adaptive Ordering.

Omega. 2017; 68: 185-98.152.

Sukmana, Y. Industri farmasi diminta cari alternatif bahan baku dari luar China.

[diunduh 21 Oktober 2020]. Tersedia online di

https://money.kompas.com/read/2020/02/28/213100426/industri-farmasi-

dimintacari-alternatif-bahan-baku-dari-luar-china

WHO. Coronavirus disease (COVID-19) outbreak situation. [diunduh 24 April 2020].

Tersedia dari: https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-

2019.

Young, Richard R. 2006. “Managing Residual Disposition: achieving economy,

environmental responsibility, and competitive advantage using the supply

chain framework”. The Journal of Supply Chain Management. Winter, Vol.

26, No. 1, pp. 57 – 66.

Anda mungkin juga menyukai