Anda di halaman 1dari 6

SUKU-SUKU DI TIMIKA

Suku Amungme

Suku Amungme adalah salah satu suku yang tinggal di dataran tinggi Papua. Suku Amungme
memiliki tradisi pertanian berpindah, dan berburu. Mereka mendiami beberapa lembah luas di
kabupaten Mimika dan Kabupaten Puncak Jaya antara gunung-unung tinggi yaitu lembah Tsinga,
lembah Hoeya, dan lembah Noema serta lembah-lembah kecil seperti lembah Bella, Alama,
Aroanop, dan Wa. Sebagian lagi menetap di lembah Beoga (disebut suku Damal, sesuai panggilan
suku Dani) serta dataran rendah di Agimuga dan kota Timika. Amungme terdiri dari dua kata
"amung" yang artinya utama dan "mee" yang artinya manusia.

Menurut legenda yang, konon orang Amungme berasal dari derah Pagema (lembah baleim)
Wamena. Hal ini dapat ditelusuri dari kata kurima yang artinya tempat orang berkumpul dan hitigima
yang artinya tempat pertama kali para nenek moyang orang-orang Amungme mendirikan honey dari
alang-alang. Orang Amungme memiliki kepercayaan bahwa mereka adalah anak pertama dari anak
sulung bangsa manusia, mereka hidup disebelah utara dan selatan pegunungan tengah yang selalu
diselimuti salju yang dalam bahasa Amungme disebut nemangkawi (anak panah putih).

Suku Amungme menggangap bahwa mereka adalah penakluk, pengusa serta pewaris alam amungsa
dari tangan Nagawan Into (Tuhan).

Suku Amungme memiliki dua bahasa, yaitu Amung-kal yang dituturkan oleh penduduk yang hidup
disebelah selatan dan Damal-kal untuk suku yang menetap di utara.

Suku Amungme juga memiliki bahasa simbol yakni Aro-a-kal. Bahasa ini adalah bahasa simbol yang
paling sulit dimengerti dan dikomunikasikan, serta Tebo-a-kal, bahasa simbol yang hanya diucapkan
saat berada di wilayah yang dianggap keramat.

Spiritualisme
Konsep mengenai tanah, manusia dan lingkungan alam mempunyai arti yang intergral dalam
kehidupan sehari-hari. Tanah digambarkan sebagai figure seorang ibu yang memberi makan,
memelihara, mendidik dan membesarkan dari bayi hingga lanjut usia dan akhirnya mati. Tanah
dengan lingkungan hidup habitatnya dipandang sebagai tempat tinggal, berkebun, berburu dan
pemakaman juga tempat kediaman roh halus dan arwah para leluhur sehingga ada beberapa lokasi
tanah seperti gua, gunung, air terjun dan kuburan dianggap sebagai tempat keramat. Magaboarat
Negel Jombei-Peibei (tanah leluhur yang sangat mereka hormati, sumber penghidupan mereka),
demikian suku Amungme menyebut tanah leluhur tempat tinggal mereka. Beberapa model
kepemimpinan suku Amungme yaitu menagawan, kalwang, dewan adat, wem-wang, dan wem-mum,
untuk menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh garis keturunan, seorang pemimpin dapat muncul
secara alamiah oleh proses waktu dan situasi sosial serta lingkungan ekologis yang mempengaruhi
perilaku kepemimpinan tradisonal pada tingkat budaya mereka sendiri.

Kontak pertama dengan dunia luar 


Kontak pertama dengan dunia luar terjadi pada tahun 1936 ketika ekpedisi Carstensz yang pimpinan
Dr.Colijn cs, melalui misi katolik pada 1954 yang dipimpin oleh Pastor Michael Cammerer dibantu
penduduk lokal bernama Moses Kilangin dan pemerintah Belanda, sebagian besar masyarakat
Amungme dipindahkan ke daerah pesisir, di Akimuga sampai saat ini, alasan pemindahan disebabkan
proses penyebaran agama dan pelayanan terhadap masyarakat Amungme tidak mungkin dilakukan di
daerah pegunungan.

Konflik
Suku Amungme sangat terikat kepada tanah leluhur mereka dan menganggap gunung sebagai sesuatu
yang sacral. Gunung yang dijadikan pusat penambangan emas dan tembaga oleh PT. Freeport
Indonesia merupakan gunung suci yang di agung-agungkan oleh masyarakat Amungme, dengan
nama Nemang Kawi. Nemang artinya panah dan kawi artinya suci. Nemang Kawi artinya panah yang
suci (bebas perang/ perdamaian). Suku Amungme memiliki sebuah lembaga adat bernama Lemasa
(Lembaga Adat Suku Amungme) yang memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat Amungme.

Suku Damal

Sejarah Asal Usul dan kebudayaan Suku Damal Asal Mimika Papua. Suku Damal adalah salah satu
dari beberapa suku di papua yang bermukim di pegunungan Papua. Mereka menggunakan bahasa
Damal sebagai bahasa hari-hari. Konon masyarakat suku Damal pada zaman dahulu telah memasak
makanan dengan menggunakan api. Mereka membuat api dengan cara unik. Yaitu menggunakan
“Hagan”. Hagan adalah kayu kecil kering yang dibela tengah. Agar menghasilkan api mereka
menggunakan tali rotan yang kering, tali rotan dijepit dengan kaju kering yang tengahnya dibela itu,
lalu ke dua ujung tali rotannya di tarik terus menerus hingga gesekan antara tali rotan dan kayu mulai
panas, kemudian panas itu mengeluarkan asap sampai tali rotan itu putus dan menghasilkan api.
Masyarakat Damal menyebut dirinya sebagai “Damalme”. Damalme terdiri dari dua kata yaitu “me”
berarti “manusia”, sehingga Damalme secara harfiah bisa diartikan sebagai “manusia Damal” atau
“orang Damal”. Damalme atau orang Damal dilaporkan keberadaannya untuk pertama kali oleh para
penyelidik Belanda, yaitu J.V. de Bruyn dan kawan-kawan, yang mendekati orang Damal dari
kawasan danau-danau Wisselmeren. Sebelumnya, suku Damal pernah dikunjungi oleh ekspedisi
Carstensz dari Inggris di bawah pimpinan Wollaston, dan pada 1936 oleh ekspedisi Carstensz yang
dipimpin Dr. Colijn.

Sejarah
Sejarah asal usul orang Damal hanya bersumber dari cerita legenda rakyat setempat. Menurut cerita
legenda tersebut orang Damal berasal dari daerah ‘Mepingama’ Lembah Baliem Wamena. Hal ini
dapat ditelusuri dari kata ‘kurima’. Kurima merupakan sebuah desa yang dipercaya sebagai tempat
pertama kali nenek moyang orang Damal berkumpul dan "Hitigima’ yang berarti nenek moyang
orang Damal pertama kali mendirikan honai dari alang-alang.
Kurima merupakan tempat para pendiri berbagai suku tinggal hingga mereka meninggalkan kurima
satu persatu menju ke arah barat. Yang pertama meninggalkan kurima adalah orang Mee, lalu diikuti
oleh suku ‘Moni’ setelah itu suku Damal dan suku Dani. Kemudian suku Damal Memasuki Daerah
Ilaga dan Beoga dan mulai juga memasuki daerah Ilop yang sekarang disebut Ilaga dan Beoga.
Daerah Beoga ini merupakan pusatnya suku Damal, mereka mendiami di sepanjang sungai Beogong
dari hilir sampai dengan hulu.
Dari daerah Beoga dan Ilaga inilah suku Damal kemudian menyebar ke Jila, Alama, Bella, Stinga,
Hoeya, Temabagapura ( kampung Waa), Aroanop, Timika, dan Agimuga dan secara turun-temurun
hidup menetap.
Mereka percaya bahwa mereka merupakan keturunan pertama dari anak sulung nenek moyang
bangsa manusia. Mereka hidup di sebelah utara dan selatan pegunungan kartens dan juga di
sepanjang sungai Nogolonogong (Mambramo).

Pakaian Adat
Secara umum pakaian tradisional wanita masyarakat pribumi Pegunungan Tengah tanah Papua
adalah Moge/Sali dan telanjang dada serta punggung bertutup beberapa lembar doken(agiya dalam
bahasa daerah suku Mee). Namun ternyata wanita suku Damal Papua baik orang Amungme maupun
orang Beoga memiliki penutup dada secara tradisional dan turun-tumurun, yang mereka (orang
Amungme dan orang Beoga) menyebutnya dengan istilah “PONGI”.
Sedangkan bagi para lelaki mereka menggunakan pakaian adat koteka yang menutupi kemaluannya

Rumah Adat
Rumah adat suku Damal adalah Honai. Honai merupakan rumah adat yang unik. Atapnya terbuat dari
alang-alang dan dindingnya terbuat dari kayu-kayu tertentu yang bisa bertahan hingga puluhan tahun
lamanya. Bentuknya pun bundar.

Demografi
Penduduk asli daerah Ilaga dan Beoga adalah orang Damal. Pembagian menurut marga Damal yang
memiliki hak ulayat di daerah Ilaga adalah marga Magai yang menduduki daerah mulai dari kali
Kungnomun sampai Owinomun.
Marga Alom menduduki daerah mulai dari Namungku Wanin sampai Towengki. Marga Murib
(mom)menduduki daerah Towengki dan bagian muarah kali Ilogong menduduki oleh Hagabal, Dang,
dan Dewelek. Mualai dari Tagaloan sampai kelebet didiami oleh marga Kiwak. Daerah yang pertama
kali didiami orang Damal adalah Ilaga dan Beoga yang merupakan pusat perkembangan orang
Damal.
Masyarakat Damal menyatu dengan alam, mereka sulit sekali untuk merantau di daerah suku kerabat
lainnya. Mereka sangat mencintai daerah mereka sebagai pemberian sang pencipta yang berlimpah
dengan kekayaan alam yang begitu subur, dan menyimpan mutiara kehidupan.
Gunung-gunung dan lembah-lembah menyimpan kekayaan alam seperti tambang, emas, perak,
tembaga, minyak bumi, kayu gaharu, hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan. Alam tempat tinggal
mereka menyediakan berbagai bahan sandang dan pangan untuk menyambung kehidupan mereka.
Sub Suku Damal
Dari suku Damal ini terpecah menjadi dua suku bangsa, yaitu :
1. Suku Damal yang hidup dan bertempat tinggal di kabupaten Puncak Papua, Ilaga dan Beoga.
2. Suku Amungme yang hidup dan bertempat tinggal di kabupaten Mimika, dan anak sukunya adalah
suku Delem yang hidup dan bertempat tinggal di sepanjang sungai Mambramo.
Mereka ini hanya satu suku dan satu nenek moyang namun satu dengan lain hal mereka terpecah.
Suku Delem dan Amungme adalah anak suku dari suku Damal. Sebenarnya suku Delem ini
gabungan dari tiga suku, yaitu suku Damal, suku Dani, dan suku Wonno.
Marga
Suku Damal mengenal dan menggunakan konsep persaudaraan luas atau marga. Dibawah ini adalah
marga-marga masyarakat Damal serta lingkungan tinggalnya yang diatur secara adat (hak ulayat):
Magani, yakni marga yang mendiami daerah Ilaga, mulai dari Kungnomun hingga Owinomun.
Alom, yakni marga yang mendiami daerah, mulai dari Namungku Wanin sampai Towengki.
Murib (Mom), yakni marga yang mendiami daerah Towengki.
Hagabal, Dang, Dewelek, ketiganya merupakan marga yang berdiam di serta muara sungai Ilogong.
Kiwak, yakni marga yang berdiam, mulai dari Tagaloan hingga Kelebet.

Mata Pencaharian
Mata pencaharian orang Damal, terutama adalah berburu dan bertani. Selain itu, orang Damal masih
mengenal konsep meramu atau mengumpulkan makanan dari alam (umumnya buah-buahan), serta
berternak babi.
Babi adalah hewan ternak yang sangat penting dan akrab dengan keseharian hidup masyarakat
Damal. Babi berfungsi sebagai alat tukar atau alat pembayaran yang penting. Selain itu, babi-babi
tersebut juga biasanya disembelih pada hari-hari tertentu seperti upacara kelahiran, kematian,
perkawinan, panen, penyelesaian hutang perang dan upacara persembahan kepada leluhur.

Suku Kamoro
Suku Kamoro adalah salah satu suku yang berada di Papua. Tinggal di wilayah pesisir selatan
Papua, di Kabupaten Mimika, dengan luas areal sekitar 250 km membentang mulai Sungai Otakwa di
sisi timur hingga mendekati Potowai Buru di sisi barat. Sebagai masyarakat semi-nomaden, orang
Kamoro tinggal di tiga ekosistem, hutan hujan tropis, rawa-rawa bakau dan daerah muara yang kaya
akan sumber makanan.[1]
Pada tahun 1986 jumlah penduduk kecamatan Mimika Timur adalah 16.305 jiwa dan Kecamatan
Mimika Barat 6.743 jiwa, di antara 75.766 jiwa penduduk Kabupaten Fakfak. Pada tahun 1990
penduduk kabupaten ini telah menjadi 88.488 jiwa. Jumlah orang Kamoro sendiri diperkirakan
sekitar 8.000 jiwa, sekaligus penutur bahasa yang disebut bahasa Kamoro. Ciri-ciri fisik orang
Kamoro, misalnya tinggi badan rata-rata 164,4 sentimeter dan bentuk kepala dolichocephal.
Suku Kamoro kaya akan ragam budaya, antara lain kegiatan menganyam oleh kaum wanita,
mengukir oleh kaum pria, nyanyian, tarian, cerita legenda dan ritual ‘karapao’ yang masih
diselenggarakan hingga saat ini.
Orang Kamoro dikenal sebagai masyarakat yang memiliki keterampilan dalam membuat seni ukir
atau patung, seperti yang pernah dikemukakan oleh J.Teurupun, Seni Ukir Suku Kamoro (1990).
Hasil karya mereka terkesan lebih abstrak dibandingkan dengan karya-karya orang Asmat. Ekspresi
seni dutuangkan misalnya pada tongkat (ote-kapa) dengan motif sirip ikan (eraka waiti), latau tulang
sayap kelelawar (tako-ema). Ini berarti bahwa pemilik tongkat yang membuat motif itu percaya
berasal dari ikan atau kelelawar. Orang yang tidak bisa mengukir, maka ia dapat memesan motif
tertentu sesuai dengan asal usulnya kepada seorang pengukir.
Motif lain adalah "ruas tulang belakang" (uema) yang diartikan bisa tulang belakang manusia, ikan,
atau unggas. Orang Kamoro berpendapat bahwa ruas tulang belakag itu merupakan lambang
kehidupan. Motif awan putih berarak (uturu tani) yang dapat menimbulkan macam-macam imajinasi,
baik pada diri pengukir, pemilik atau siapa pun yang melihatnya. Imajinasi itu bisa menyangkut
kerinduan pada kampung halaman, kekasih yang sudah tiada, ingatan terhadap peristiwa gempa
bumi, dan lain-lai

Bahasa : Bahasa Kamoro


Seni Tari
Tarian Seka ini pada awalnya mewarnai warga pesisir sebagai bentuk rasa sukur dikala panen
melimpah, selain itu tarian ini juga digunakan untuk prosesi adat pernikahan. Seperti
menghantarkan gadis kepada mempelai laki-laki sebelum prosesi pernikahan. Tetapi, seiring
perkembangan jaman, fungsi tarian ini juga sebagai tarian pergaulan pemuda dan penyambutan
tamu di tanah Papua.
Pakaian
Pakaian adat atau tradisional suku kamoro dibuat dari kulit peura (sejenis pohon genemo)
yang disebut waura. Waura digunakan untuk laki-laki yang dipakai sebagai cawat
disebut tapena. Ada juga yang terbuat dari daun sagu yaitu tauri, mono dan piki. Tauri biasa
digunakan oleh ibu-ibu. Mono yaitu daun sagu yang dikupas, ditumbuk, dicuci yang kemudian
dipakai. Sedangkan piki biasa digunakan oleh bapak-bapak, ibu-ibu dan anak-anak sebagai kain
sarung.
Makanan
Sagu Tindis merupakan makanan khas Suku Kamoro yang terbuat dari sagu dan parutan
kelapa. Sagu Tindis menjadi makanan sehari-hari masyarakat Suku Kamoro yang mendiami
pesisir pantai Mimika.
Adat Istiadat
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Demikian halnya, dengan masyarakat suku Kamoro. Perkawinan mempunyai arti yang sangat
mendalam, tidak hanya bagi individu yang kawin, tetapi juga lebih dari itu menyangkut harga diri,
kehormatan, martabat keluarga atau kerabat. Karena itu, perkawinan tidak lepas dari peranan
keluarga atau kerabat.
Ketentuan-ketentuan adat perkawinan yang dimaksud mencakup hal-hal seperti :
   Larangan Perkawinan
            Larangan perkawinan secara adat terdapat perbedaan-perbedaan antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Larangan perkawinan pada orang Kamoro adalah sebagai berikut :
Karena hubungan darah : Seorang laki-laki dilarang memilih pasangan atau kawin
dengan perempuan yang masih mempunyai hubungan darah.
Karena melangkahi saudara yang lebih tua : Seseorang dilarang kawin (baik laki-
laki maupun perempuan), apabila ada saudaranya yang lebih tua dari pihak laki-laki maupun
perempuan yang belum menikah.

Mas kawin
            Mas kawin adalah sejumlah barang-barang perkawinan yang diminta oleh pihak keluarga
perempuan kepada pihak keluarga laki-laki guna kelangsungan suatu perkawinan. Pada orang
Kamoro mas kawin mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkawinan, karena
mas kawin merupakan suatu syarat mutlak yang harus ada nilai guna kelangsungan perkawinan.
Adapun benda-benda yang digunakan sebagai mas kawin adalah sebagai berikut :
-             Perahu
-             Kampak, parang (alat-alat kebun)
-             Piring, kain
-             Uang

Rumah Adat
Suku Kamoro mempunyai beberapa bentuk rumah tradisional yang diberi nama antara lain kapiri
kame. Kapiri adalah alat penutup rumah (atap) jadi rumah tradisional suku Kamoro banyak
bentuk.  Misalnya: Karapao kame, Tauri kame, Kaota kame, Kapiri kame, dll. Disempurnakan
rumah tradisional salah satu adalah: kapiri kame.
 Agama
      Pada awalnya, orang Kamoro menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Namun
setelah masuknya agama Katolik pada tahun 1928 yang dibawa oleh seorang pastor, masyarakat
Kamoro mulai mengenal agama. Oleh sebab itu, sebagian besar masyarakat Kamoro memeluk
agama Kristen Katolik dan sebagian kecilnya menganut agama Kristen Protestan, tetapi ada juga
masyarakat yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme dan hal itu masih
berlanjut hingga saat ini.

Mata Pencaharian
Orang Kamoro tidak mengenal sistem pertanian sehingga mereka kembali kepada kehidupan
mereka sebagai nelayan dan hidup berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lain
(nomaden). Mereka memiliki semboyan, yaitu 3S(sungai,sampan,sagu). Sungai merupakan salah
satu arus utama aktivitas suku Kamoro, sehingga mereka membutuhkan sampan untuk
melakukan aktifitas sehari-hari.
Rasa sosial yang begitu kuat, membuat masyarakat Kamoro selalu berbagi dengan sesamanya.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kamoro sehari-hari, mereka  biasanya melakukan
aktivitas seperti :
-       Memangkur sagu (amata wapuru)
-       Melaut (menangkap hasil laut)
-       meramu

Anda mungkin juga menyukai