Anda di halaman 1dari 27

KONSTRUKSI SOSIAL TENTANG PENGGUNAAN BUSANA MUSLIM SEBAGAI

SERAGAM WAJIB BAGI SISWA PADA HARI JUMAT DI SMA BATIK 1

SURAKARTA

Endita Win Cahyanti, Atik Catur Budiati, Siti Rochani

Pendidikan Sosiologi Antropologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret, Surakarta

enditawinc@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) persepsi siswa mengenai penggunaan busana
muslim; (2) faktor yang mempengaruhi siswa dalam menggunakan busana muslim; (3)
konstruksi penggunaan busana muslim pada siswa yang berlaku di SMA Batik 1 Surakarta.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Teknik sampling menggunakan purposive sampling. Kriteria informan adalah
siswa – siswi SMA Batik 1 Surakarta yang melaksanakan secara langsung peraturan
penggunaan busana muslim pada hari Jum’at. Selanjutnya adalah pihak kesiswaan yaitu
pembuat serta pengawas dari peraturan tersebut. Teknik pengumpulan data menggunakan
wawancara mendalam serta observasi langsung dimana peneliti berperan pasif dalam proses
wawancara dan menggunakan triangulasi teknik. Tahap analisis penelitian ini yaitu tahap
persiapan, pengumpulan data, analisis data, dan penyusunan laporan penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) siswa mempunyai persepsi berbeda – beda
dalam memahami busana muslim, mereka menggunakan busana muslim karena taat pada
aturan serta kesadaran sebagai umat muslim. busana muslim juga digunakan untuk kebebasan
berekspresi dalam berpakaian, (2) terdapat faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi
mereka, faktor internal yaitu individu dan keluarga, serta faktor eksternal yaitu lingkungan
sosial pertemanan dan media, (3) konstruksi dari busana muslim tersebut adalah pertama,
busana muslim sebagai benteng diri, kedua busana muslim sebagai presentasi diri, ketiga
sekolah sebagai ajang fashion show.
Kata Kunci : Konstruksi Sosial, Busana Muslim, Sekolah.
Abstract
This study aims to determine (1) students perceptions of the use of Muslim clothing;
(2) factors that influence students in using Muslim fashion; (3) construction of the use of
Muslim clothing on students applying in SMA Batik 1 Surakarta.
This research is using qualitative research method with phenomenology approach. Sampling
technique is using purposive sampling. Criteria of informants are senior high school students
of Batik 1 SHS Surakarta who directly implement the rules of wearing Muslim clothing on
Friday. Next is the student party who became the maker and supervisor of the regulation.
Techniques of data collection is using in-depth interviews and direct observations in which
researchers play a passive role in the interview process and using technical triangulation.
Stage analysis of this research is the preparation phase, data collection, data analysis, and
preparation of research reports.
The results showed that (1) students have different perceptions in understanding
Muslim clothing, they use Moslem clothes because obedient to the rules and awareness as
Muslims. Muslim fashion is also used for freedom of expression in dressing, (2) there are
internal and external factors influencing them, internal factor that is individual and family,
and also external factor that is social environment of friendship and media, (3) construction
of Muslim fashion is first, Muslim fashion as a self fortress, second, Muslim fashion as a self
presentation, third, schools as a fashion show event.

Keywords: Social Construction, Muslim Clothing, School


PENDAHULUAN Menengah yang berisi tentang
Sekolah merupakan agen penggunaan seragam sekolah bagi
sosialisasi yang berpengaruh cukup para siswa, tepatnya pada 17 Maret
besar terhadap anak – anak selain 1982 (Arifina Budi: 2016: 1).
keluarga dan masyarakat. Sekolah Pada Permendikbud Nomor
menjadi salah satu tempat yang di 45 Tahun 2014 tentang penjelasan
beri kepercayaan keluarga terutama penetapan pakaian seragam sekolah
orang tua untuk mendidik anak memiliki 4 tujuan:
nya. Mendidik siswa tidak hanya Pertama, untuk
menanamkan dan
melalui bidang akademik, sekolah
menumbuhkan rasa
juga mengajarkan tentang moral nasionalisme, kebersamaan,
serta memperkuat
dan kepribadian. Pendidikan
persaudaraan sehingga
tentang kepribadian terutama dapat menumbuhkan
semangat kesatuan dan
kedisiplinan dapat kita peroleh
persatuan di kalangan
melalui seragam. peserta didik. Kedua,
meningkatkan rasa
Seragam sekolah
kesetaraan tanpa
merupakan salah satu bentuk memandang kesenjangan
sosial ekonomi orang tua
terkecil contoh penyeragaman
atau wali peserta didik.
dalam budaya Indonesia. Seragam Ketiga, meningkatkan
disiplin dan tanggung jawab
sekolah sendiri mulai di gunakan
peserta didik serta
pada masa pemerintah kolonial kepatuhan terhadap
peratuan yang berlaku.
Jepang, namun belum memiliki
Serta keempat, menjadi
corak maupun warna. Setelah acuan bagi sekolah dalam
menyusun tata tertib dan
Indonesia berhasil mendapatkan
disiplin peserta didik,
kemerdekaannya dari para penjajah khususnya yang mengatur
seragam sekolah. Pakaian
dan Jepang angkat kaki dari tanar
seragam nasional dikenakan
air, budaya berseragam sekolah pada hari Senin, Selasa, dan
pada hari lain saat
masih terus diterapkan hingga
pelaksanaan upacara
sekarang. Karena sudah menjadi bendera. Selain hari-hari
tersebut, peserta didik dapat
kebiasaan, akhirnya pada masa
mengenakan pakaian
pemerintahan Presiden Soeharto seragam kepramukaan atau
pakaian seragam khas
tahun 1982 turunlah Surat
sekolah yang diatur oleh
Keputusan yang dikeluarkan oleh masing-masing sekolah
Ditjen Pendidikan Dasar dan
(Peraturan Sekolah, 2014: Peningkatan Iman dan
1).
Taqwa tersebut di wujudkan dalam
Setiap jenjang sekolah bentuk aktivitas keagamaan, baik
mempunyai arti tersendiri dalam melalui busana yang mereka
pemilihan warna pada seragam gunakan hingga pengajian yang
yang dibuat. Berkaitan dengan hal dilakukan siswa – siswa SMA
tersebut, Mareza (2016: 1) Batik 1 Surakarta pada hari Jumat.
menyatakan bahwa warna merah Penggunaan busana muslim
yang digunakan pada tingkat SD tersebut tertuang dalam Tata Tertib
menggambarkan semangat dan Peserta didik SMA Batik 1
ceria, warna putih dan biru tua Surakarta Tahun Pelajaran 2016 /
pada tingkat SMP menggambarkan 2017 BAB II Pasal 7 tentang
kepercayaan diri dan mandiri, pakaian. Pada hari Jumat
sedangkan warna putih dan abu – menggunakan seragam muslim /
abu pada tingkat SMA muslimah, pria menggunakan baju
menggambarkan proses menuju koko warna putih, bawah
kedewasaan. menyesuaikan, bukan celana
Seperti yang dikemukakan pensil, baju dikeluarkan, ikat
oleh Kemdikbud terkait dengan pinggang hitam, bersepatu dan
seragam, dimana setiap sekolah berkaos kaki. Sedangkan untuk
berhak menggunakan pakaian khas wanita, baju muslimah putih,
sekolah tersebut yang diatur oleh bawah menyesuaikan, tidak
masing – masing sekolah. Hal ini transparan, baju dikeluarkan dan
diterapkan di SMA Batik 1 ikat pinggang hitam, bersepatu dan
Surakarta. SMA Batik 1 Surakarta berkaos kaki.
adalah salah satu SMA Swasta Selain itu, menurut
yang ada di Surakarta yang Wakasek Kesiswaan, Mulyono
memiliki visi “Mewujudkan mengatakan bahwa tujuan dari
Lembaga Pendidikan Menengah penggunaan busana muslim pada
Umum Swasta yang Unggul hari Jum’at tersebut merupakan
dengan bertumpu pada peningkatan cara sekolah melatih siswa,
Iman dan Taqwa, Penanaman terutama perempuan menutup aurat
disiplin dan tertingkatnya Prestasi mereka. SMA Batik 1 Surakarta
(IDASI)” (Visi dan Misi: 2017: 1). tidak mewajibkan siswa nya untuk
berjilbab setiap harinya, namun mereka dengan berbagai model,
melalui kegiatan keagamaan baik model jilbab hingga baju dan
tersebut, siswa dilatih untuk aksesoris yang mendukung pakaian
menggunakan pakaian yang baik muslim mereka. Dalam realita
sesuai syariat – syariat dalam Islam diatas, peneliti melakukan suatu
yang dipantau langsung oleh pihak penelitian yang bertujuan untuk
sekolah. Selain busana muslim menjawab 1) persepsi penggunaan
yang digunakan pada hari Jumat, busana muslim pada siswa SMA
aktivitas keagamaan mereka di Batik 1 Surakarta, 2) faktor –
mulai dengan pengajian pagi yang faktor yang mempengaruhi mereka
dilakukan oleh semua siswa SMA dalam menggunakan busana
Batik 1 Surakarta, dan sholat jumat musllim, 3) konstruksi sosial
berjamaah bagi siswa laki – laki. penggunaan busana muslim di
(sumber: wawancara, 7 Maret SMA Batik 1 Surakarta
2017). Penggunaan busana muslim
Kajian Pustaka
tersebut tertera pada Al-quran dan
Dalam teori ini Berger dan
hadits. Untuk wanita dipertegas
Luckman mendasarkan diri pada
dalam Surat al – Ahzab : 59
dua gagasan sosiologi
mengenai penggunaan jilbab. Aurat
pengetahuan, yaitu “realitas” dan
laki – laki menurut hadits riwayat
“pengetahuan”. Realitas mereka
Abu Daud (2140), Ibnu Majah
artikan sebagai “a quality
(1460), Al Hakim dan Al Bazar
pertaining to phenomena that we
adalah mulai pusar hingga kedua
recognize as having a being
lutut dan pahanya adalah aurat dari
independent of our volition”
mereka, Sayid Salim (2015: 381).
(kualitas yang melekat pada
Namun pada kenyataannya,
fenomena yang kita anggap berada
menurut hasil observasi peneliti
diluar kehendak kita). Maksudnya,
penggunaan busana muslim di
“realitas” merupakan fakta sosial
SMA Batik 1 Surakarta tidak hanya
yang bersifat eksternal, umum, dan
terpaku pada busana muslim yang
mempunyai kekuatan memaksa
melulu menggunakan baju koko
kesadaran masing – masing
atau abaya panjang dengan warna
individu. Sedangkan
dominan putih, siswa dapat
“pengetahuan” diartikan sebagai
memadupadankan busana muslim
“the certainty that phenomena are kenyataan obyektif memengaruhi
real and that they possess specific kembali manusia melalui proses
characteristics” (keyakinan bahwa internalisasi (yang mencerminkan
suatu fenomena riil dan mereka kenyataan subyektif). Menurut
mempunyai karakteristik tertentu. Berger ( dalam Frans M Parera:
Maksudnya pengetahuan 2013: xv-xx), terdapat 3 dialektika
merupakan realitas yang hadir yang berlangsung dalam suatu
dalam kesadaran individu (jadi, proses dengan tiga “momen”
realitas bersifat subjektif), Berger simultan, yakni eksternalisasi
(dalam Hanneman Samuel, 2012: (penyesuaian diri dengan dunia
14). sosiokultural sebagai produk
Realitas tersebut tersirat manusia), obyektivasi (interaksi
dalam pergaulan sosial, yang sosial dalam dunia intersubyektif
diungkapkan secara sosial lewat yang dilembagakan atau
berbagai tindakan sosial seperti mengalami proses
berkomunikasi lewat bahasa, institusionalisasi), dan internalisasi
bekerjasama lewat bentuk – bentuk (individu mengidentifikasi diri
organisasi sosial. Kenyataan sosial dengan lembaga – lembaga sosial
semacam ini ditemukan dalam atau organisasi sosial tempat
pengalaman intersubyektif individu menjadi anggotanya).
(intersubyektivitas). Lewat Berger mengatakan bahwa
intersubyektif itu dapat dijelaskan Eksternalisasi dan obyektivasi
bagaimana kehidupan masyarakat merupakan momen – momen
tertentu dibentuk secara terus dalam suatu proses dialektis yang
menerus. berlangsung terus menerus.
Kenyataan sosial lebih Momen ketiga dalam proses ini,
diterima sebagai kenyataan ganda yakni iternalisasi (dengan mana
daripada hanya suatu kenyataan dunia sosial yang sudah
tunggal. Kenyataan kehidupan diobyektivasi dimasukkan kembali
sehari – hari memiliki dimensi ke dalam kesadaran selama
obyektif dan subyektif. Manusia berlangsungnya sosialisasi).
adalah pencipta kenyataan sosial Manusia merupakan instrument
yang obyektif melalui proses dalam menciptakan realitas sosial
eksternalisasi, sebagaimana yang obyektif melalui proses
eksternalisasi, sebagaimana ia dapat kita lihat bahwa peraturan
mempengaruhinya melalui proses penggunaan busana muslim tidak
internalisasi (yang mencerminkan hanya dilakukan untuk memenuhi
realitas subyektif) (Poloma, 2007: peraturan sekolah saja, agar tidak
302). menerima hukuman atau sanksi
Seperti yang diungkapkan dari sekolah. Siswa selaku individu
Berger “Society is a human yang menjadi sasaran dalam
product. Society is an objective pertauran penggunaan busana
reality. Man is a social product” muslim tersebut mengungkapkan
(Masyarakat merupakan produk subyektivitas dirinya melalui
manusia, masyarakat merupakan aktivitas penggunaan busana
kenyataan obyektif. Manusia muslim, dan penggunaan busana
merupakan produk sosial), Berger muslim tersebut merupakan
dan Luckmann (1966: 61). Realitas aktivitas yang dilakukan secara
obyektif merupakan kenyataan terus menerus.
dimana masyarakat berada diluar Menurut terminologi
diri manusia dan berhadap – Berger ini adalah habitualisasi.
hadapan dengannya. Sedangkan Habitualisasi merupakan tindakan
realitas subyektif merupakan, yang sering diulangi pada akhirnya
individu berada di dalam akan menjadi suatu pola yang
masyarakat itu sebagai bagian yang kemudian bisa direproduksi dengan
tak terpisahkan. upaya sekecil mungkin dan yang,
Seperti yang telah karena itu, dipahami oleh
dikatakan Berger bahwa realitas pelakunya sebagai pola yang
obyektif terjadi melalui proses dimaksudkan itu, Berger (dalam
eksternalisasi. Pada dasarnya, Frans M Parera: 2013: 76). Berger
masyarakat tercipta (sebagai mengatakan bahwa “ all human
realitas objektif) karena adanya activity is subject to
berbagai individu yang habitualization, any action that is
mengeksternalisasikan dirinya repeated frequently becomes cast
(atau, mengungkapkan into a pattern, which can then be
subyektivitas) masing – masing reproduced with economy of effort
lewat aktivitasnya) (Hanneman, and which, ipso facto, is
2012: 27). Dalam penelitian ini apprehended by its performer as
that pattern”, Berger dan Jika meruntut pada
Luckmann (1966: 53). penjelasan pengalaman bersama
Dalam proses eksternalisasi tersebut, pada tahap pertama
ini masyarakat muncul karena penggunaan busana muslim
adanya individu – individu yang merupakan pengalaman masing –
memiliki pengalaman bersama masing individu. Pada tahap kedua
sebagai hasil perjalinan aktivitas pengalaman individu tentang siswa
atau tindakan yang dilakukan menggunakan busana muslim
masing – masing. Ada 4 tahap menjadi objektif karena siswa
dalam pengalaman bersama tersebut berkumpul dengan teman –
tersebut, Hanneman (2012: 30) temannya yang memiliki
menyatakan bahwa pada tahap pengalaman individu hampir sama
pertama pengalaman bersama tidak mengenai bagaimana cara
memerlukan banyak pengalaman menggunakan busana muslim
individu, cukup hanya sebagian tersebut sehingga mereka
pengalaman individu yang bertahan bekomunikasi satu sama lain.
dalam ingatan bersama. Kedua, Tahap yang ketiga, dimana
pengalaman bersama yang bersifat pengalaman bersama siswa – siswa
objektif dan pengalaman individu SMA Batik 1 Surakarta tersebut
yang bersifat subyektif, namun mengenai penggunaan busana
pengalaman individu bisa menjadi muslim baik pola baju, cara
obyektif karena dikomunikasikan berpakaian dll tersebut
dengan menggunakan symbol. diakumulasikan sehingga
Ketiga, pengalaman bersama memunculkan tradisi dalam
sebelumnya ditambah pengalaman sekolah tersebut tentang
bersama lain yang telah mengendap penggunaan busana muslim yang
dalam ingatan bersama baik untuk mereka. Pada tahap
diakumulasikan dan akan menjadi keempat, pengalaman bersama dari
tradisi. Keempat, pengalaman yang siswa – siswa SMA Batik 1
berasal dari pengalaman individu Surakarta tersebut yang berasal dari
menjadi obyektif akan menjadikan individu – individu lalu
patokan berperilaku bagi para dikumpulkan tersebut dijadikan
anggota masyarakat. patokan berperilaku bagi para
siswa – siswa lainnya untuk dan obyektivasi, maka dalam
menggunakan busana muslim. realitas subyektif ditemukan proses
Selain itu, penggunaan internalisasi. Menurut Berger
busana muslim yang merupakan (dalam Frans M Parera: 2013:
realitas subyektif di artikan sebagai 186), internalisasi adalah
realitas obyektif. Seperti yang telah pemahaman atau penafsiran yang
di ungkapkan pada tahap kedua, langsung dari suatu peristiwa
pengalaman individu yang bersifat obyektif sebagai pengungkapan
subyektif berubah menjadi suatu makna; artinya, sebagai suatu
pengalaman bersama yang bersifat manifestasi dari proses – proses
obyektif karena ia subyektif orang lain yang dengan
dikomunikasikan melalui symbol demikian menjadi bermakna secara
(bahasa). Obyektivitas dunia subyektif bagi saya sendiri. Secara
kelembagaan adalah obyektivitas sederhana, internalisasi dapat
yang dibuat dan dibangun oleh diartikan sebagai proses manusia
manusia. Proses dengan mana mencerap dunia yang sudah dihuni
produk – produk aktivitas manusia oleh sesamanya. Namun,
yang dieksternalisasi itu internalisasi tidak menghilangkan
memperoleh sifat obyektif adalah kedudukan objektif dunia tersebut
obyektivasi, Berger ( dalam Frans (maksudnya, institusi sosial dan
M Parera: 2013: 87). Penggunaan tatanan institusional secara
busana muslim oleh siswa yang keseluruhan) dan menjadikan
semula merupakan pengetahuan persepsi individu berkuasa atas
individu nya berubah menjadi realitas sosial. Internalisasi hanya
kenyataan obyektif karena ada menyangkut penerjemahan realitas
teman – teman nya yang obyektif menjadi pengetahuan yang
memberikan pengetahuan tentang hadir dan bertahan dalam
busana muslim yang kesadaran individu, atau
dikomunikasikan lewat obrolan menerjemahkan realitas obyektif
hingga media massa. Karena pada menjadi realitas subjektif
dasarnya, masyarakat tercipta (Hanneman, 2012: 35). Ini berarti
sebagai realitas obyektif. bahwa proses internalisasi terjadi
Jika dalam realitas obyektif dalam diri siswa itu sendiri.
ditemukan proses eksternalisasi
Menurut Berger, primer sangat penting bagi
internalisasi berlangsung seumur pembentukan individu, “...primary
hidup manusia melalui sosialiasi socialization is usually the most
primer maupun sekunder. important one for an individual,
Sosialisasi primer adalah sosialisasi and that th basic structure of all
yang pertama yang dialami secondary socialization has to
individu dalam masa kanak – resemble that primary
kanak, yang dengan itu ia menjadi socialiation”, Berger dan
anggota masyarakat. Sosialisasi Luckmann (1966: 131).
sekunder adalah setiap proses Sementara sosialisasi
berikutnya yang mengimbas sekunder dapat dikatakan sebagai
individu yang sudah di sosialisasi yang dialami individu
sosialissikan itu ke dalam sektor – yang pernah mengalami sosialisasi
sektor baru dunia obyektif primer. Jadi, ia merupakan
msyarakatnya, Berger (dalam Frans kelanjutan sosialisasi primer.
M Parera: 2013: 187). Berger Selain itu pelaku internalisasi
mengatakan bahwa “Primary diantara sosialisasi primer dan
socialization is the first sosialisasi sekunder sedikit
socialization an individual berbeda. Dalam sosialisasi primer,
undergoes in childhood, through yang terjadi bukan hanya sekedar
which he become a member of pemberian pengetahuan sepihak
society. Secondary socialization is dari pelaku internalisasi kepada
any subsequent process that “korbannya” saja. Ketertarikan
inducts an already socialized emosional diantara keduanya,
individual into new sectors of the pelaku internalisasi dan orang yang
objective world of his society” mengalami internalisasi amat
Berger dan Luckmann (1966: 130). dibutuhkan demi kelancaran proses
Berger dan Luckman ini. Hal terakhir ini tidak mutlak
memaksudkan sosialisasi primer ada dalam sosialisasi sekunder.
sebagai sosialisasi yang dialami Pelaku internalisasi dapat bekerja
manusia sejak lahir hingga ia secara formal dan impersonal)
tumbuh menjadi individu yang (Hanneman, 2012: 37).
memiliki sikap – sikap yang lazim Siswa sebagai pelaku
di masyarakatnya. Sosialisasi kebijakan penggunaan busana
muslim itu sendiri mengalami mempengaruhinya, Berger ( dalam
proses internalisasi melalui Frans M Parera: 2013: 194).
sosialisasi primer dan sekunder. Selanjutnya siswa akan
Sosialisasi primer ia dapatkan dari mendapatkan pengetahuan tersebut
orang yang mempunyai dalam sosialisasi sekunder. Pelaku
ketertarikan emosional. Dengan internalisasi adalah yang berada di
kata lain, keluarga ada pelaku lingkup luar siswa tersebut, yang
internalisasi pertama karena berada tidak mempunyai ketertarikan
diranah sosialisasi primer. Sebelum emosional. Teman – teman dan
menginjak pada pengetahuan sekolah adalah sosialisasi
busana muslim, keluarga sekunder. Melalui perkumpulan
memberikan pengetahuan teman sebaya penggunaan busana
mengenai agama yang menaungi muslim tersebut dikomunikasikan,
penggunaan busana muslim. baju model bagaimana yang akan
Keluarga mewariskan pengetahuan mereka gunakan saat disekolah,
dan perspektif mengenai Islam bercorak atau tidak, bahkan
kepada anaknya. Selanjutnya, memakai baju yang bermerk
keluarga memberikan pengetahuan apakah yang akan ia gunakan.
tentang bagaimana cara Yang sebenarnya terjadi
menggunakan busana muslim yang dalam proses internalisasi menurut
baik atau tidak menurut mereka. Berger adalah, proses penerimaan
Selain memberikan definisi situasi institusional yang
perspektif mereka tentang busana disampaikan orang lain (baik yang
muslim, keluarga juga disampaikan orang lain (baik yang
membandingkan busana muslim disampaikan oleh orang tua, guru,
yang sesuai dengan kaidah yang rekan kerja, istri maupun wartawan
mereka anut dalam Islam. Maka media massa). Individu pun pada
dalam sosialisasi primerlah, dunia akhirnya bukan hanya mampu
pertama individu terbentuk. memahami definisi orang lain,
Kekukuhannya yang khas dapat tetapi lebih dari itu, bersama
dijelaskan, setidaknya untuk dengan orang – orang lain mampu
sebagian, oleh hubungan menjalani pendefinisian yang
individualnya yang tak terelakkan mengarah pada pembentukan
dengan orang yang pertama sekali
definisi bersama (Hanneman, 2012: penelitian ini adalah analisis model
38). interaktif yang memiliki tahapan
Setelah melewati proses pertama reduksi data, kedua sajian
dialektika dalam teori Berger dan data, dan ketiga kesimpulan data.
Luckman yaitu mekanisme
eksternalisasi dan obyektivasi dan Hasil Penelitian dan Pembahasan
dilanjutkan internalisasi, maka 1. Busana Muslim sebagai Benteng
siswa mempunyai pengetahuan Diri
dalam menggunakan busana
Islam telah mengatur
muslim.
penggunaan busana muslim bagi
Metodologi Penelitian umatnya untuk menutup aurat, baik
Dalam penelitian ini laki – laki maupun perempuan
bertujuan untuk melihat persepsi dengan berbagai ketentuan. Hal
penggunaan busana muslim siswa tersebut mempunyai manfaat dan
siswi SMA Batik 1 Surakarta. tujuan tersendiri bagi pemakainya.
Penelitian ini menggunakan metode Menggunakan busana muslim
fenomenologi. Penelitian ini muslimah merupakan suatu
menggunakan pendekatan kewajiban bagi umat Islam.
fenomenologi karena peneliti ingin Mengenai penggunaan busana
melihat tentang cara pandang muslim wajib sesuai dengan syariat
individu dalam melihat suatu berpakaian dalam Islam sudah
fenomena sosial, dimana cara diterapkan di SMA Batik 1
pandang tersebut dipengaruhi oleh Surakarta semenjak tahun 2014.
pengalaman – pengalaman hidup Menurut hasil observasi dan
mereka, melalui keluarga, wawancara, penggunaan busana
lingkungan dan pengalaman muslim mempunyai beberapa
subjektif mereka. Sumber data dari tujuan bagi siswa – siswanya.
penelitian ini adalah 1) Siswa, 2) Menurut wawancara dengan
Kesiswaan. Teknik pengumpulan pihak kesiswaan, pemilihan
data yang digunakan dalam penggunaan busana muslim
penelitian ini adalah 1) wawancara dilakukan pada hari Jum’at karena
mendalam (2) observasi. Teknik seperti kita ketahui bahwa hari
analisis data yang digunakan dalam Jum’at adalah Sayyidul Ayyam,
yang artinya hari yang lebih utama dari sekolah. Murid laki – laki
dari hari – hari yang lain. Menurut maupun perempuan diharapkan
hasil observasi, pak Mulyono dapat menjalankan kewajibannya
selaku kepala kesiswaan mengaku sebagai umat muslim.
bahwa peraturan tersebut Tidak hanya itu, semua tujuan
merupakan salah satu cara – tujuan tersebut akhirnya
pengajaran untuk menutup aurat bermuara pada pembentukan pola
dan berpakaian sesuai dengan perilaku pada anak didiknya.
kaidah Islam. Pertama yang Ketika menggunakan busana
dilakukan adalah sekolah muslim, mereka akan sadar dengan
memberikan pemahaman – sendirinya ketika akan melakukan
pemahaman melalui hadits – hadits suatu hal. Mereka akan memilah
mengenai busana muslim. Siswa – baik dan buruk jika hal tersebut
siswi dikenalkan untuk berpakaian dilakukan. Pak Mulyono
baik dan benar. Dalam pelaksanaan menjelaskan bahwa busana muslim
peraturan tersebut sekolah akan membatasi diri anak didiknya
membuat sanksi – sanksi dan dalam berperilaku. Hal ini sesuai
hukuman bagi yang melanggar. dengan hasil wawancara dengan
Terdapat point – point atau surat beberapa informan yaitu VN, MS,
peringatan hingga pemanggilan FR, dan RZ. Sebagian dari mereka
orang tua ke sekolah jika mereka menjelaskan bahwa menggunakan
melanggar aturan tersebut. busana muslim adalah suatu
Pihak kesiswaan juga keterpaksaan bagi mereka, namun
menjelaskan bahwa tujuan seiring dengan pemahaman dari
diberlakukannya peraturan tersebut keluarga dan sekolah mereka
adalah pendidikan karakter menyadari bahwa hal tersebut
terhadap anak didiknya. Melalui merupakan kewajiban mereka
pembiasaan tersebut dapat sebagai umat Muslim. RZ
diharapkan bahwa menggunakan menjelaskan bahwa menggunakan
busana muslim tidak hanya busana muslim adalah kewajiban
digunakan saat disekolah saja. sebagai umat muslim, meskipun ia
Mereka diharapkan secara sadar pada saat pertama kali
mengenakan saat sekolah ataupun menggunakan adalah karena
diluar sekolah tanpa ada paksaan
terpaksa mengikuti aturan yang berbusana muslim sesuai aturan.
berlaku Berdasarkan hasil wawancara,
Selain RZ, VN juga peneliti menyimpulkan bahwa
menjelaskan hal yang sama bahwa keluarga MS juga ikut andil dalam
menggunakan busana muslim yang proses pembentukan karakter
tertutup tidak lagi menjadi dirinya. Keluarga MS juga
kewajibannya, melainkan sudah merupakan tipe keluarga yang
menjadi kebutuhannya sebagai menjunjung nilai – nilai Islam yang
umat Muslim. VN juga kuat. Orang tua MS
menjelaskan bahwa menggunakan memasukkannya ke pondok
busana muslim adalah sarana pesantren semenjak dia duduk
perlindungan diri terhadap dunia dibangku SMP. Pendidikan pondok
luar. VN menjelaskan bahwa ia yang tegas dan ketat
mempunyai pengalaman ketika mempengaruhinya dalam
masih dalam fase lepas pasang berbusana. Hal tersebut membawa
jilbab, ia pernah diganggu orang – perilakunya hingga ke bangku
orang yang tidak dikenal sewaktu SMA. Budaya pondok pesantren
dia tidak memakai jilbab. VN yang kuat tertanam pada dirinya
merasa jilbabnya melindunginya mempengaruhi nya dalam
dari hal – hal yang tidak berperilaku hingga sekarang.
diinginkan. Proses internalisasi VN Jadi, dapat disimpulkan bahwa
dalam keluarga sangat kuat, menggunakan busana muslim
background keluarga yang merupakan sebuah benteng
menjunjung nilai – nilai Islam yang terhadap diri sendiri. Ketika
kuat membuat VN menjadi pribadi mereka menggunakan busana
yang taat pada aturan sekolah. muslim, individu tersebut
Selain VN, MS juga membawa identitas kemusliman
menjelakan bahwa hal tersebut mereka. Hal tersebut
merupakan kewajibannya, mempengaruhi individu dalam
kewajiban sebagai umat muslim berperilaku, individu secara selektif
dan sebagai murid di SMA Batik 1 memisahkan hal yang baik dan
Surakarta. Proses internalisasi buruk untuk diri mereka ketika hal
primer dan sekunder MS juga tersebut dilakukan. Busana muslim
mempengaruhi MS untuk sebagai perlindungan diri dan
sebagai benteng diri ketika penggunaan busana muslim yang
berperilaku. berbeda – beda, sesuai dengan
2. Busana Muslim sebagai sistem pengetahuan dan pengalam
Presentasi Diri mereka.
Mengenai penggunaan busana
Penggunaan busana muslim
muslim yang ada di SMA Batik 1
beberapa tahun terakhir ini menjadi
Surakarta dapat dikaji melalui 3
fenomena yang marak di kalangan
dialektika dalam konstruksi sosial,
masyarakat. Muncul komunitas –
yaitu Eksternalisasi, Obyektivikasi,
komunitas jilbab kontemporer yang
dan Internalisasi. Internalisasi
memberikan warna baru dalam
adalah pemahaman atau penafsiran
dunia fashion. Tidak hanya wanita
yang langsung dari suatu peristiwa
yang mempunyai pilihan dalam
obyektif sebagai pengungkapan
menggunakan busana muslim,
suatu makna; artinya, sebagai suatu
namun laki – laki pun mempunyai
manifestasi dari proses – proses
beberapa model pakaian muslim
subyektif orang lain yang dengan
yang dapat mereka pilih.
demikian menjadi bermakna secara
Penggunaan busana muslim
subyektif bagi saya sendiri (Berger,
muslimah merupakan realitas yang
2013: 186). Individu dalam
ada dalam masyarakat. Realitas
memaknai suatu realitas sosial
merupakan hasil konstruksi
mempunya persepsi tersendiri yang
individu melalui pengetahuan dan
tidak sama dengan yang lainnya.
pengalaman yang dimiliki individu
Dalam proses Internalisasi individu
tersebut. Penelitian ini melihat
diberi bekal dalam sosialisasi
fenomena pengunaan busana
primer dan sekunder untuk
muslim di SMA Batik 1 Surakarta.
memaknai realitas yang ada dalam
Berdasar hasil wawancara dengan 7
masyarakat. Setiap individu
informan (RC, SS, FR, RZ, MT,
mempunyai pengetahuan dan
VN, dan MS) bahwa peraturan
pengalaman yang berbeda – beda
penggunaan busana muslim
tergantung seberapa kuat sosialisasi
tersebut memunculkan beberapa
primer dan sekunder mereka.
persepsi menurut mereka dan dari
Penggunaan busana muslim
hasil persepsi tersebut
mempunyai makna subjektif bagi
memunculkan aktivitas fisik
setiap siswa SMA Batik 1.
Setiap siswa memaknai aturan – makna tersendiri bagi
penggunaan busana muslim pemakaianya termasuk presentasi
berbeda – beda. Penggunaan diri melalui apa yang mereka pakai.
busana muslim muslimah bagi Pada masa modern dengan
mereka adalah suatu wadah untuk berbagai tekonologi yang maju dan
mengekspresikan diri mereka pengetahuan yang berkembang
terhadap apa yang akan mereka pesat, individu mempunyai
pakai. Ekspresi diri mereka kekuatan untuk memberikan
diwujudkan dalam busana yang identitas kepada dirinya sendiri.
mereka pilih untuk dikenakan, Individu mempunyai banyak
namun tidak hanya berhenti sampai pilihan untuk memilih apa yang
disitu. Menurut hasil wawancara akan ia konsumsi untuk diri
dan observasi peneliti, busana yang mereka. Dalam hal ini, gaya
mereka pilih untuk di pakai berbusana muslim muslimah
disekolah tidak hanya nyaman, termasuk didalamnya.
namun juga harus enak dipandang Hal tersebut melalui berbagai
mata, bermerk, serta memiliki aspek, melalui fashion termasuk
harga yang mahal. Setiap siswa busana muslimah itu sendiri.
memaknai apa yang mereka Busana muslim beberapa taun
kenakan berbeda – beda tergantung belakangan ini menjadi perhatian
pengetahuan dan pengalaman masyarakat karena
mereka melalui sosialisasi primer perkembangannya yang pesat. Hal
dan sekunder mereka. ini merupakan wujud dari
Melalui beberapa persepsi dan kebebasan berekspresi dalam
beberapa faktor yang mendukung berpakaian. Busana sudah
munculnya persepsi tersebut, mencerminkan gaya hidup dan
peneliti melihat bahwa busana prestise. Sama halnya ketika
muslim merupakan ajang untuk busana memasuki rumah – rumah
mempresentasikan diri dalam dunia fashion show yang dapat ditemui di
sosialnya. Pada masa sekarang tempat – tempat prestisius seperti
busana muslim bukan hanya hotel – hotel dan mall yang
pakaian yang tertutup yang menandai adanya kemodernan gaya
menutupi seluruh anggota badan. hidup dalam beragama.
Busana muslim mempunyai makna
Presentasi diri merupakan suatu aturan sekolah. MT lebih ingin
aktivitas yang dilakukan individu dilihat sebagai remaja yang lucu
untuk menunjukkan dan dan unik dengan busana muslim
memperkenalkan dirinya kepada yang ia kenakan. Hal tersebut
dunia luar tentang siapa dirinya. dipengaruhi oleh eksternalisasi
Berdasarkan hasil wawancara dan media dalam memberikan ia
observasi terhadap murid SMA pengetahuan terhadap busana
Batik 1, seperti yang dikatakan RC, muslim yang sedang booming saat
MT, SS, MS, bahwa ketika mereka ini dikalangan remaja. Melalui
memilih busana muslim tidak media instagram dan channel
hanya karena nyaman dipakai. RC youtube, MT mengetahui gaya –
menjelaskan bahwa ketika memilih gaya berbusana muslim yang akan
busana muslim ia memilih baju ia gunakan dalam kehidupan sehari
yang bermerk, hal tersebut – hari termasuk pada saat
dipengaruhi oleh pengaruh brand disekolah.
tersebut terhadap masyarakat. RC Dalam penelitian mengenai jika
menggunakan brand yang ia dikaitkan dengan teori konstruksi
percaya membawa dampak pada sosial dapat terjawab melalui
dirinya, RC beranggapan bahwa beberapa proses. Dari 7 informan
ketika menggunakannya maka ia utama yaitu siswa siswi SMA Batik
akan ikut terkenal seperti brand 1, semua menjelaskan bahwa
tersebut. Sama halnya seperti RC, busana muslim yang mereka
SS menjelaskan bahwa busana gunakan ketika hari Jum’at tersebut
yang ia kenakan di sekolah harus merupakan suatu kebebasan dan
bagus dipandang mata baik oleh ajang ekspresi diri mereka karena
dirinya maupun orang lain yaitu bosan terhadap seragam sehari –
teman- temannya. Pernyataan hari yang mengekang mereka. SS
tersebut didukung dengan pakaian menegaskan bahwa ketika memilih
yang RC pilih. busana muslim harus bagus dan
MT juga menjelaskan hal yang enak dipandang mata karena ia
sama dalam wawancara nya. MT sedang berada di lingkungan
menjelaskan bahwa ia belum sekolah. Hal tersebut dilakukan
mempunyai keinginan untuk karena ia bertemu dengan banyak
memakai busana muslim seperti teman – temannya dan siswa –
siswi lain dari kelas diatas ia. SS undergoes in childhood, through
ingin menunjukkan identitas which he become a member of
dirinya didepan banyak orang saat society. Secondary socialization is
menggunakan busana muslimah. any subsequent process that
Perilaku SS yang demikian inducts an already socialized
dipengaruhi oleh beberapa proses individual into new sectors of the
dalam diri SS tersebut. Bermula objective world of his society”
dari faktor internal dimana menurut Berger dan Luckmann (1966: 130).
Berger dipengaruhi oleh sosialisasi Berger dan Luckman
primer dan sekunder. Menurut memaksudkan sosialisasi primer
Berger (dalam Frans M Parera: sebagai sosialisasi yang dialami
2013: 186), internalisasi adalah manusia sejak lahir hingga ia
pemahaman atau penafsiran yang tumbuh menjadi individu yang
langsung dari suatu peristiwa memiliki sikap – sikap yang lazim
obyektif sebagai pengungkapan di masyarakatnya.
suatu makna; artinya, sebagai suatu Dalam penggunaan busana
manifestasi dari proses – proses muslim, siswa yang memiliki
subyektif orang lain yang dengan beberapa persepsi mengenai busana
demikian menjadi bermakna secara yang baik atau tidak. Persepsi ini
subyektif bagi saya sendiri. Secara bermula dari pembentukan karakter
sederhana, internalisasi dapat dalam keluarga tersebut. Keluarga
diartikan sebagai proses manusia memberikan contoh kepada
mencerap dunia yang sudah dihuni anaknya mengenai baik buruk
oleh sesamanya. suatu hal yang akan anaknya bawa
Internalisasi berlangsung dalam ke dalam dunia selanjutnya yaitu
sosialisasi primer dan sekunder dunia sosial. Dalam sebuah aturan,
dalam individu tersebut. Sosialisasi keluarga dan sekolah adalah hal
primer adalah sosialisasi yang yang harus seiring dan sejalan agar
pertama yang dialami individu peraturan tersebut berjalan dengan
dalam masa kanak – kanak, yang baik seperti tujuan semula
dengan itu ia menjadi anggota pembuatan peraturan tersebut.
masyarakat. Berger mengatakan Dalam wawancara yang telah
bahwa “Primary socialization is dilakukan peneliti, SS menjelaskan
the first socialization an individual bahwa keluarganya memberikan
kebebasan terhadap SS untuk mengeksternalisasikan dirinya
mengambil keputusan sendiri. SS (atau, mengungkapkan
menerangkan bahwa keluarganya subyektivitas) masing – masing
acuh terhadap apa yang SS lewat aktivitasnya) (Hanneman,
lakukan, seperti keluarganya tidak 2012: 27). Masyarakat mempunyai
menghiraukan busana apa yang pandangan tersendiri mengenai
dipakai SS ketika berada disekolah, suatu fenomena yang terjadi. Hal
ketika diluar tidak menggunakan tersebut terjadi karena individu
jilbab keluarga SS tidak yang mengungkapkan
memberikan nasihat atau teguran subyektivitas masing – masing
kepada SS. lewat aktivitasnya. Masyarakat
SS hanya meminta uang ketika mempunyai pandangan tersendiri
ingin berbelanja busana muslim mengenai busana muslim
dan ia pergi bersama teman – muslimah melalui pengetahuan
temannya tanpa didampingi dan mereka. Masyarakat mencari
diberi saran oleh orang tuanya. Hal informasi serta pemahaman
tersebut ditambah lagi ketika mengenai busana muslim melalui
memakai busana muslimah pada berbagai hal, termasuk media.
hari Jum’at ia dan teman – Media dalam hal ini merujuk pada
temannya sering memakai baju televisi, tabloid hingga internet.
yang kembar atau senada. Hal ini Dari beberapa informan yang
menambah citra diri SS dalam peneliti wawancara, setiap
memakai busana muslim dengan informan menjelaskan bahwa
kelompoknya. ketika menggunakan busana
Selain proses internalisasi yang muslim muslimah mereka
sangat kuat, proses eksternalisasi terinspirasi dari public figure yang
juga me;mpengaruhi individu mereka temukan di social media.
untuk berperilaku. Seperti yang Semua informan menjelaskan
telah dikatakan Berger bahwa bahwa contoh mereka berbusana
realitas obyektif terjadi melalui adalah dari instagram dan youtube.
proses eksternalisasi. Pada SS menjelaskan ketika dia memilih
dasarnya, masyarakat tercipta baju yang akan ia gunakan untuk
(sebagai realitas objektif) karena ke sekolah atau sekedar hangout
adanya berbagai individu yang bersama teman – temannya, SS
ternyata sering membeli baju brand memberikan kebebasan untuk
artis ibukota Luna Maya yaitu anaknya mengenakan pakaian saja
Luna Habbit. Ketika peneliti yang akan ia gunakan di sekolah.
melihat website dari brand tersebut, Ketika membeli busana muslim, ia
dari beberapa produk yang di hanya meminta uang kepada orang
launching oleh Luna Habbit tua dan selanjutnya ia pergi
memang terlihat bahwa baju bersama teman – temannya untuk
tersebut diciptakan untuk membeli baju tersebut. Tidak
memenuhi pasar fashion di hanya itu, proses eksternalisasi
Indonesia. Tidak hanya itu, SS juga media juga mempengaruhi perilaku
menerangkan bahwa ia sering RC dalam berbelanja, ini
melihat baju – baju koleksi artis menyebabkan ia menjadi
kenamaan seperti Shiren Sungkar konsumtif. RC menjelaskan bahwa
di social media, serta Saskia Adia peraturan penggunaan busana
Mecca. Saskia Adia Mecca juga muslim dirasa bebas kareena ia
mempunyai brand busana muslim bisa berganti – ganti baju setiap
yang ia namai Meccanism. SS minggunya.
mengaku juga sering mencontoh Ketika membeli barang
baju – baju yang dikeluarkan brand terutama baju, RC mengaku tidak
tersebut untuk dijadikan referensi ingin membeli baju dengan harga
berpakaian. Dalam wawancara yang murah. RC juga memilih baju
dengan SS, ia menjelaskan bahwa yang bermerk untuk ia beli.
ketika membeli baju atau busana Menurut wawancara dengan
muslim hal yang diperhatikan peneliti, selain alasan kualitas baju
adalah baju yang lucu atau unik yang bagus, ketika RC
dan kekinian pada waktu itu. menggunakan baju yang bermerk
Tidak hanya SS, RC juga tersebut maka ia akan ikut terkenal
menjelaskan hal yang sama. RC seperti brand baju yang ia pakai.
menganggap bahwa busana musim Hal ini menjelaskan bahwa busana
yang ia kenakan lebih muslim sebagai presentasi diri
membebaskan dirinya untuk siswa, informan menggunakan
berekspresi. Dari hasil penelitian, busana muslim karena ingin
proses internalisasi dalam keluarga terkenal seperti citra baju yang
RC sama dengan SS. Keluarga RC dipakai. MT juga menjelaskan
bahwa ketika ia memilih baju yang Setiap sekolah memiliki peraturan
akan dikenakan disekolah, ia tidak – peraturan tentang seragam yang
ingin memakai sesuai dengan akan mereka gunakan terkhusus
peraturan yang ada. Hal ini oleh murid – murid sekolah
dikarenakan MT ingin tersebut. Peraturan tentang seragam
menggunakan busana yang itu sendiri sudah tertuang pada
semenarik mungkin. MT masih Permendikbud Nomor 45 Tahun
ingin terlihat seperti remaja yang 2014 tentang penjelasan pakaian
lucu seperti anak kecil. seragam. Ada beberapa tujuan
Hasil persepsi siswa yang dalam penetapan seragam tersebut,
berbeda – beda serta peran Pertama untuk menanamkan dan
keluarga yang berbeda setiap menumbuhkan rasa nasionalisme,
individu nya, maka busana muslim kebersamaan. Kedua,
bagi mereka dapat dijadikan meningkatkan rasa kesetaraan
presentasi diri terhadap diri tanpa memandang kesenjangan
mereka. Presentasi diri merupakan social ekonomi. Ketiga,
aktivitas untuk memperkenalkan meningkatkan disiplin dan
dirinya kepada dunia luar siapa tanggung jawab peserta didik serta
dirinya sebenarnya. Mereka ingin kepatuhan terhadap peraturan.
menampilkan diri mereka melalui Keempat, menjadi acuan bagi
busana bermerk agar terkenal sekolah dalam menyusun tata
seperti produk yang mereka pakai. tertib.
Mereka juga ingin diakui sebagai Seragam sekolah
remaja yang lucu dan semenarik merupakan pakaian yang dipakai
mungkin dengan memakai busana sehari – hari oleh siswa. Selain
muslim tersebut. Presentasi diri digunakan untuk pakaian, seragam
tersebut merupakan hasil juga digunakan untuk membentuk
obyektivikasi dari individu melalui suatu identitas kelompok tertentu.
proses eksternalisasi dan Menurut Ibrahim (2007: 243)
internalisasi. menyatakan bahwa “pakaian dapat
3. Sekolah sebagai Panggung menunjukkan identitas nasional
Fashion Show dan kultural si pemakainya”. Hal
Seragam dan sekolah ini dapat kita lihat bahwa setiap
merupakan hal yang terpisahkan. jenjang sekolah, Taman Kanak –
Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah terhadap peraturan serta
Menengah Pertama hingga Sekolah tata tertib akan
Menengah Atas mempunyai corak menumbuhkan kesadaran
sendiri – sendiri dalam hukum dan disiplin diri,
penggunaannya. Terlebih sekolah disiplin yang tumbuh dari
tersebut memiliki seragam khas dalam tanpa paksaan dan
dalam penggunaannya. Seragam – tekanan orang lain. Disiplin
seragam yang khas itu dapat diri akan membentuk
menjadi corak serta identitas yang disiplin kelompok, yang
khas pula dari sekolah tersebut pada akhirnya memperkuat
Seragam bukan hanya disiplin nasional (Dhakidae:
sekedar pakaian seragam, seragam 2003: 582).
mempunyai arti tersendiri bagi
pembuat peraturan hingga objek SMA Batik 1 mempunyai
peraturan tersebut yaitu si pemakai peraturan dalam penggunaan
(siswa). Pakaian seragam seragam. Setiap hari Jum’at SMA
merupakan metode bagaimana Batik 1 mempunyai peraturan
memperlakukan tubuh dan dengan untuk menggunakan busana
demikian tubuh anak – anak itu muslim muslimah bagi siswa –
menjadi tubuh yang lunak, docile, siswi nya. Berbagai ketentuan
bisa diperintah, governable body. sudah diberikan untuk membatasi
Dalam hal ini pakaian seragam busana yang akan digunakan di
bukan sekedar pakaian seragam, sekolah, sanksi juga ikut di
akan tetapi menjadi tanda untuk cantumkan demi tercapainya tujuan
sesuatu yang sama sekali lain, hal dari peraturan tersebut. Menurut
ini dijelaskan bahwa: hasil wawancara dengan pihak
Berpakaian seragam kesiswaan, Pak Mulyono
sekolah memerlukan tertib menjelaskan bahwa setiap hari
dan disiplin yaitu sikap Jum’at siswa – siswi dibebaskan
menaati peraturan secara untuk berpakaian dengan tetap
berpakaian dan mematuhi bernuansa busana muslim
ketentuan yang telah muslimah, bahkan sepatu yang
disepakatkan. Sikap mental dipakai pun diberi kebebasan
untuk taat dan patuh
dengan merk apa saja seperti nike, membeli busana muslim secara
adidas, reebok dll. mandiri tanpa dukungan orang tua,
Hasil observasi dan maka ia akan membeli baju yang
penelitian menunjukkan bahwa beragam rupa dan model sesuai
busana yang digunakan oleh siswa dengan trend yang sedang
siswi merupakan busana yang digandrungi masyarakat. Peran
bermerk seperti yang dikatakan SS orang tua digantikan oleh teman
dan MT bahwa ketika membeli ketika memilih baju muslim
busana muslim mereka seringkali terutama yang akan digunakan
membeli di brand ternama artis pada hari Jum’at ketika disekolah.
ibukota yaitu Luna Habbit dan Tak jarang mereka memiliki baju
Mecannissm. Seiring munculnya yang sama atau senada yang
hijjabers comunity pada tahun dipakai ketika disekolah. Mereka
2012, muncul fashion – fashion juga memilih brand baju yang
designer busana muslim. Dahulu terkenal, brand baju dari artis –
busana muslim yang dilabelkan artis ibukota dengan harapan ketika
dengan busana yang kampungan, mereka memakai busana seperti itu
kuno dan seperti orang tua sesuai maka mereka akan dibilang remaja
dengan beberapa pernyataan yang kekinian, hits, trendi dsb.
informan. Melalui fashion designer Berdasarkan penelitian,
tersebut, busana muslim diusung informan dengan teman –
sedemikian rupa untuk memenuhi temannya selain menggunakan
kebutuhan pasar. Melalui mereka busana muslim yang sama, ia juga
dan peran media, masyarakat dapat saling memilihkan baju yang sesuai
menikmati busana muslim tanpa digunakan untuk hari Jum’at.
mengurangi estetika dari busana itu Menurut hasil wawancara dengan
sendiri. informan, harga busana muslim
Berdasarkan dengan hasil yang mereka beli berkisar 400 ribu
penelitian, busana muslim yang an untuk digunakan disekolah.
dikenakan disekolah beragam rupa Peneliti menyimpulkan bahwa
dan warna. Dari wawancara dengan sekolah menjadi panggung fashion
informan, beberapa informan show atas sesuatu yang murid
menjelaskan bahwa keluarga yang kenakan pada saat sekolah. Siswa
memberi kebebasan anaknya berlomba – lomba dalam
menggunakan busana muslim, muslim dan sepatu dibebaskan
mereka memadupadankan baju, setiap hari Jum’at, siswa menjadi
jilbab, rok atau celana bagi laki – lebih bisa berekspresi.
laki dan sepatu. Busana muslim Kondisi yang demikian juga
pada masa sekarang memiliki nmengakibatkan adanya
interpretasi makna yang berbeda – pelanggengan budaya konsumtif
beda. Busana muslim tidak hanya pada siswa. mereka menjelaskan
berupa suatu praktik kegaamaan bahwa menggunakan busana
saja, namun merupakan praktik muslim pada hari Jum’at mereka
kultural dari masyarakat. Sekolah merasa bebas karena bisa berganti
sebagai wadah dari pelanggengan – ganti pakaian. Beberapa informan
hal tersebut, di ibaratkan sebagai seperti RC, FR, SS menjelaskan
panggung fashion show busana bahwa seragam yang mereka pakai
muslim muslimah. Busana yang setiap hari tersebut membosankan
mereka gunakan belum serta mengekang mereka. Mereka
mencerminkan bahwa busana lebih senang berganti – ganti
tersebut merupakan busana pakaian, serta pakaian yang mereka
muslim. Mereka memakai busana gunakan juga tidak murah. Mereka
muslim bukan atas dasar kesadaran beranggapan bahwa baju murah itu
seorang muslim muslimah, namun memberikan kualitas yang tidak
lebih menekankan pada bagus serta tidak endak jika
perkembangan fashion pada zaman dipandang mata, terlebih ketika
sekarang. mereka menggunakan disekolah.
Hukuman mengenai busana Busana yang beraneka ragam dan
muslim tersebut tidak mengikat berwarna warni disekolah
serta berupa teguran. Meskipun menjadikan sekolah ibarat
pada aturan telah tertulis kewajiban panggung fashion show. Siswa –
– kewajiban berbusana yang harus siswa mempertunjukkan busana
dijalankan oleh siwa, namun pada yang mereka pakai mulai dari
kenyataannya peraturan tersebut jilbab hingga sepatu. Ini merupakan
bersifat fleksibel jika terjadi hasil konstruksi siswa SMA Batik 1
pelanggaran. Hal tersebut diakui dalam memahami dan memaknai
oleh pihak sekolah pada saat busana muslim muslimah yang
wawancara, bahwa ketika busana mereka pakai disekolah.
Simpulan (celana halus dan rok), hingga
Berdasarkan penelitian mengenai sepatu.
konstruksi sosial penggunaan busana 2. Faktor yang mempengaruhi
muslim yang ada di SMA Batik 1 siswa menggunakan busana
Surakarta, maka dapat ditarik kesimpulan muslim tersebut ada 2, yaitu
sebagai berikut: faktor internal dan eksternal.
1. Persepsi siswa siswi SMA Faktor internal adalah diri
Batik 1 Surakarta dalam individu tersebut dan keluarga.
menggunakan busana muslim Faktor eksternal adalah
adalah Pertama, siswa SMA lingkungan sosial pertemanan,
Batik 1 menggunakan busana sekolah hingga media.
muslim tersebut karena adanya 3. Konstruksi sosial penggunaan
pemenuhan peraturan sekolah busana muslim melalui 3
agar tidak dikenai hukuman. proses yaitu eksternalisasi,
Kedua, mereka mempunyai objektivasi, dan internalisasi.
persepsi bahwa menggunakan Eksternalisasi merujuk pada
busana muslim merupakan aktivitas manusia dalam
kewajiban sebagai umat mengkonstruksi dunia
muslim yang harus dipenuhi. sosialnya, dalam proses
Tidak hanya sebagai kewajiban, eksternalisasi media sangat
namun sudah menjadi berpengaruh memberikan
kebutuhan mereka. Ketiga, pengetahuan mengenai busana
busana muslim sebagai wadah muslim pada masyarakat.
pengekspresian diri individu. Selanjutnya adalah proses
Siswa menganggap bahwa internalisasi, individu
busana muslim yang mereka menginternalisasi realitas
gunakan merupakan wujud dari tersebut kedalam dirinya.
pengekspresian diri. Untuk Proses internalisasi
memanfaatkan peraturan pada berlangsung melalui sosialisasi
hari Jum’at tersebut, mereka primer dan sekunder.
bebas menggunakan baju apa Internalisasi dilakukan dalam
saja yang mereka inginkan keluarga dan lingkungan
mulai dari baju, bawahan pertemanan individu. Keluarga
menjadi tempat pertama proses
pembentukan karakter dari
individu tersebut. Setelah
berada dalam keluarga,
sebagian besar waktunya di
curahkan dalam lingkungan
pertemanan. Lingkungan
pertemanan berpengaruh cukup
besar dalam penggunaan
busana muslim mereka. Hasil
dari eksternalisasi dan
internalisasi tersebut adalah
objektivasi. Obyektivasi
merupakan hasil dari proses
eksternalisasi dan internalisasi
individu tersebut.
Daftar pustaka Poloma, Margaret M. 2007. Sosiologi
Kontemporer. Jakarta:
Berger, Peter L & Luckmann, Thomas.
Rajagrafindo Persada.
1966. The Social Construction of
Reality ( A Treatise in the Sociologi
Saefullah. 2012. Psikologi
Knowledge). USA: Doubleday &
Perkembangan dan Pendidikan.
Company
Bandung: CV Pustaka Setia.
Creswell, John W. 2014. Penelitian
Samuel, Hanneman. 2012. Peter Berger
Kualitatif & Desain Riset Memilih
Sebuah Pengantar Ringkas.
di antara Lima Pendekatan.
Depok: Kepik
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sayyid Salim, Abu Malik Kamal bin.
Dhakidae, Daniel. 2003. Cendekiawan
2015. Shahih Fiqih Sunnah Wanita.
Dan Kekuasaan Dalam Negara
Solo: Al - Hambra
Orde Baru. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka
Sugiyono. 2014: Memahami Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Djamal, M. 2015. Paradigma
Rosdakarya
Penelitian Kualitatif. Jakarta:
Pustaka Pelajar
Sujanto, Agus. 1989: Psikologi
Perkembangan. Jakarta: Aksara
Ibrahim, I.I. 2007. Budaya Populer
Baru.
sebagai Komunikasi Dinamika
Popscape dan Mediascape di
Subandy, Idy. 1996. Fashion sebagai
Indonesia Kontemporer.
Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra..
Yogyakarta: Jalasutra

Indrawan, Rully. & Poppy Yaniawati.


2014. Metodologi Penelitian.
Bandung: Refika Aditama.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2014.


Postmodernisme (teori dan metode).
Jakarta: Rajagrafindo Persada

Miles, Mathhew B. & Michael


Huberman. 1992. Analisi Data
Kualitatif. Jakarta. UI – Press.

Moleong, Lexy. 2013. Metodologi


Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.

Parera, Frans M. 2013. Tafsir Sosial


Atas Kenyataan ( Risalah Tentang
Sosiologi Pengetahuan). Jakarta:
LP3ES

Anda mungkin juga menyukai