Anda di halaman 1dari 3

Pengertian Sikap

Secara historis, istilah ‘sikap’ (attitude) digunakan pertama kali oleh Herbert Spencer di
tahun 1862 yang pada saat itu diartikan olehnya sebagai status mental seseorang (Allen, Guy, dan
Edgley, 1980). Pada tahun 1888 Lange menggunakan istilah sikap dalam bidang eksperimen
mengenai respon untuk menggambarkan kesiapan subyek dalam menghadapi stimulus yang datang
tiba-tiba.

A.Sikap Dalam Definisinya

Sikap manusia didefiniskan dalam berbagai versi oleh para ahli. Ada tiga kerangka
pemikiran:

1. Kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli Psikologi seperti Louis Thurstone (1928), Rensis
Likert (1932), dan Charles Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi
perasaan. Secara lebih spesifik Thurstone sendiri memformulasikan sikap sebagai derajat afek positif
atau afek negatif terhadap suatu obyek psikologis (Edwards, 1957).

2. Kerangka pemikiran yang diwakili oleh Chave (1928), Bogardus (1931), LaPierre (1934), Mead
(1934), dan Gordon Allport (1935). Menurut mereka sikap merupakan semacam kesiapan untuk
bereaksi terhadap suatu obyek dengan caracara tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang
dimaksudkan merupakan kecenderungan potensial untuk suatu bereaksi dengan cara tertentu
apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. LaPierre (1934
dalam Allen, Guy, dan Edgley, 1980) mendefiniskan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau
kesiapan antisipatif, predisi-posisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara
sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah dikondisikan.

3. Kerangka pemikiran menurut Secord & Backman (1964) sikap merupakan konstelasi komponen-
komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan
berperilaku terhadap suatu obyek. Atau dengan lebih sederhana sikap didefinisikan sebagai
keteraturan tertentu dalam hal perasaan (Afeksi), pemikiran (Kognisi), dan predisposisi tindakan
(Konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.

Di kalangan para ahli psikologi sosial terdapat cara lain yang popular guna klasifikasi pemikiran
tentang sikap dalam dua pendekatan:

1. Memandang sikap sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku, dan kognitif terhadap suatu obyek.
Ketiga komponen tersebut secara bersama mengorganisasikan sikap individu. Pendekatan ini
dikenal dengan nama skema triadik, disebut juga pendekatan tricomponent.
2. Pendekatan kedua timbul dikarenakan adanya ketidakpuasan atas penjelasan mengenai
inkonsistensi yang terjadi di antara ketiga komponen kognitif, afektif dan perilaku dalam
membentuk sikap. Oleh karena itu pengikut pendekatan ini memandang perlu untuk membatasi
konsep sikap hanya pada aspek afektif saja (single-component).
Katz dan Stotland (1959) dan Smith (1947) menganggap bahwa konsepsi responrespon sikap
yang bersikap kogntif, afektif dan konatif sebagaimana dalam skema triadic bukan sekedar cara
klasifikasi definisi sikap melainkan suatu telaah yang lebih dalam. Ahli-ahli lain mendefinisikan
konstrak kognisi, afeksi, dan konasi sebagai tidak menyatu langsung ke dalam konsepsi
mengenai sikap. Pandangan ini dinamakan tripartite model yang dikemukan oleh Rosenberg dan
Hovland (1960 dalam Ajzen, 1988), menempatkan ketiga komponen afeksi kognisi dan konasi
sebagai faktor jenjang pertama dalam suatu model hirarkis. Ketiganya didefinisikan tersendiri
dan kemudian dalam abstraksi yang lebih tinggi membentuk konsep sikap sebagai faktor tinggal
jenjang kedua.

Dalam skema gambar di atas terlihat bahwa sikap seseorang terhadap suatu obyek selalu
berperanan sebagai perantara antara respon dan obyek yang bersangkutan. Respon
diklasifikasikan dalam tiga macam, yaitu respon kognitif, respon afektif dan respon perilaku atau
konatif. Masing-masing klasifikasi respon ini berhubungan dengan ketiga komponen sikapnya

Perilaku manusia

Perilaku Manusia Psikologi mendang perilaku manusia (human behavior) sebagai reaksi yang
dapat bersifat sederhana maupun bersifat komplek. Salah satu karakteristik reaksi perilaku
manusia yang menarik adalah sifat deferensialnya. Maksudnya satu stimulus dapat
menimbulkan lebih dari satu respon yang berbeda dan beberapa stimulus yang berbeda dapat
saja menimbulkan satu respon yang sama.
Teori perilaku beralasan kemudian diperluas dan dimodifikasi oleh Ajzen (1988) yang dinamai
teori perilaku terencana. Dalam teori ini keyakinan-keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap
perilaku tertentu, pada norma-norma subyektif, dan pada control perilaku yang dihayati. Ketiga
komponen ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi intensi yang pada gilirannya akan
menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak.
Sikap terhadap suatu perilaku dipegaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan
membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan. Keyakinan mengenai perilaku apa
yang bersifat normative (yang diharapan orang lain) dan motivasi untuk bertindak sesuai dengan
harapan normative tersebut membentuk norma subyektif dalam diri individu. Kontrol perilaku
ditentukan oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan individu mengenai seberapa sulit atau
mudahnya untuk melakukan perilaku yang bersangkutan. Kontrol perilaku ini sangat penting
artinya ketika rasa percaya diri seseorang sedang berada dalam kondisi yang lemah.

Konsistensi Sikap-Perilaku
Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluative yang berarti bahwa bentuk reaksi yang
dinyatakan sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang member
kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif negatif, menyenangkan-
tidak menyenangkan yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap obyek sikap.
Warner dan DeFleur (1969, dalam Allen, Guy, dan Edgley, 1980) mengemukakan tiga
postulat guna mengidentifikasikan tiga pendangan umum mengenai hubungan sikap dan
perilaku:
1. Postulat Konsistensi Mengatakan bahwa sikap verbal merupakan petunjuk yang cukup
akurat untuk memprediksikan apa yang akan dilakukan seseorang bila ia dihadapkan pada suatu
obyek sikap. Jadi, postulat ini mengasumsikan adanya hubungan langsung antara sikap dan
perilaku.
2. Postulat Variasi Independen Mengatakan bahwa sikap tidak ada alasan untuk
menyimpulkan bahwa sikap dan perilaku berhubungan secara konsisten. Sikap dan perilaku
merupakan dua dimensi dalam diri individu yang berdiri sendiri, terpisah, dan berbeda.
Mengetahui sikap tidak berarti dapat memprediksi perilaku.
3. Postulat Konsistensi Tergantung Menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat
ditentukan oleh faktorfaktor situasional tertentu. Norma-norma, peranan, keanggotaan
kelompok, kebudayaan, dll merupakan kondisi ketergantungan yang dapat mengubah hubungan
sikap dan perilaku. Oleh karena itu, sejauh mana prediksi perilaku dapat disandarkan pada sikap
akan berbeda dari waktu ke waktu dan dari satu situasi ke situasi lainnya.

Anda mungkin juga menyukai