Anda di halaman 1dari 5

Sejarah gunung Sinai

Pendahuluaan

gunung Sinai atau yang dikenal juga sebagai Gunung Horeb atau Gunung Musa adalah sebuah gunung
yang terletak di Semenanjung Sinai di Mesir.

Gunung yang memiliki tinggi 2.286 m ini merupakan salah satu tempat bersejarah bagi umat beragama.
Tempat ini dipercaya sebagai tempat di mana Nabi Musa AS menerima wahyu berupa 10 Perintah Allah
SWT (The Ten Commandements).

Nabi Musa AS adalah salah satu Rasul Allah SWT yang dikaruniai sejumlah keistimewaan, di antaranya
adalah menerima Kitab Taurat, tongkat yang bisa berubah menjadi ular, tangan yang dapat bercahaya,
serta kesempatan untuk bertemu dengan Allah SWT.

Oleh sebab itu, Nabi Musa mendapat gelar Kalimullah, yaitu seseorang yang berbicara dengan Allah.
Tempat di mana Nabi Musa bertemu dan berbicara dengan Allah SWT adalah puncak Gunung Sinai.

Disampaikan oleh Allah SWT melalui ayat Al-Quran dalam surat Al-A'raf bahwa saat itu Nabi Musa AS
meninggalkan kaumnya dan meminta saudaranya Nabi Harun AS untuk memimpin kaumnya.

Kemudian Nabi Musa AS naik ke sebuah gunung yakni Gunung Sinai (Thursina) setelah
menyempurnakan 40 malam dengan berpuasa dan beribadah di atas gunung tersebut. Allah SWT pun
berfirman dan menurunkan Taurat kepada beliau.
A. Dasar adanya Perjanjian Sinai

Dalam Perjanjian Lama Gunung Sinai disebut juga Gunung Horeb.[2] Ditempat ini Allah mengadakan
perjanjiannya dengan umat Israel melalui Musa. Sesudah melewati Mara dan Elim orang Israel sampai di
Sinai pada bulan ke-3 sesudah berangkat dari Mesir (Keluaran 19:1), dan berkemah di dataran kaki
gunung itu, dan dari situ puncak gunung dapat dilihat (Keluaran 19:16, 18, 20). Yahwe menampakkan
diriNya kepada Musa di puncak gunung ini dan memberikan Kesepuluh Firman[3] dan hukum-hukum
lainnya.[4]

Deskripsi perjanjian Sinai dalam kitab Keluaran ditemukan dalam Kel 19-24. Allah tidak hanya mengingat
janji-janji-Nya kepada bapa leluhur Ibrani, tetapi sekarang sudah menyatakan diri-Nya juga kepada Israel
sebagai Yahweh. Perjanjian Sinai berbeda dengan Perjanjian Abraham, sebab Perjanjian Sinai tidak
disebut perjanjian kekal.[5] Tradisi perjanjian ini akan menjadi dasar bagi bangsa Israel. Kisah yang
mengikuti, Kel 25-31, relatif berisi kumpulan terakhir hukum dan aturan-aturan ibadat.[6]
Kesejajarannya dengan bentuk-bentuk perjanjian internasional sekarang demikian mencolok sehingga
nyatalah bahwa Israel memandang perjanjian itu sebagai dasar kehidupan beragama dan sosialnya.[7]

Di Sinai Tuhan mengukuhkan perjanjian-Nya dengan bangsa Israel. Ia memberikan kepada mereka
undang-undang yang menjadi pedoman hidupnya: Theokrasi.[8] Allah berdiri di tempat raja sebagai
pemerintah mereka. Perjanjian yang diadakan Allah di situ dengan umat-Nya sangat penting dalam
mengikat suku-suku itu menjadi satu, dan menempa mereka menjadi satu umat yang mengabdi kepada
satu Allah. Meskipun janji yang jelas terlihat dalam perjanjian jaman Abraham tidak hilang, penekanan
pada perjanjian Sinai ini adalah pada ketentuan-ketentuan yang dikenakan Allah pada umat-Nya.
Artinya, perjanjian diadakan dan diberlakukan atas dasar ketetapan Allah. Tradisi tentang Sinai termasuk
bagian yang tua dari kepercayaan orang Israel. Dalam perjanjian ini hadir ketentuan-ketentuan yang
pasti. Hal berpegang pada perjanjian itu diperluas artinya menjadi tanggapan ketaatan Israel pada
inisiatif Allah (Kel 19:24; Ul 26:16-19). Peranan Gunung Sinai yang menonjol dalam Perjanjian Lama dan
tradisi yang kuat yang dihubungkan dengan gunung itu, memberikan banyak bukti dalam menopang
kebenaran sejarah. Kenyataan bahwa Allah memilih mereka sudah tetap. Mereka adalah umat Allah,
milik pribadi Allah, maka mereka didorong untuk mencerminkan dengan ketaatan mereka.

B. Pengaruh Perjanjian Sinai terhadap perkembangan keagamaan bangsa Israel.

Pada zaman para Patriakh, agama orang-orang Ibrani sudah bercorak monolatri.[9] Kemudian peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada zaman Musa merupakan asal-usul monotheisme yang sejati.[10] Allah
menyatakan diri-Nya kepada bangsa Israel yang masih baru itu sebagai Allah yang hidup yang
mempunyai hubugan moral dan rohaniah yang intim dengan mereka yang mentaati perintah-perintah-
Nya.[11] Israel sendiri sebenarnya mempunyai cara-cara ritual yang telah dipelihara sejak masa Adam
dan Hawa; juga Kain dan Habel. Dari contoh-contoh itu jelas bahwa Allah menerima penyembahan
manusia (Kej. 4:6).

Tidak dikatakan dengan jelas oleh Alkitab mengapa mereka harus memberikan korban persembahan,
tapi dari konteks Kejadian 4, terlihat bahwa persembahan itu diberikan sebagai ucapan syukur atas
pemeliharaan Tuhan yang disertai dengan harapan bahwa Allah akan senantiasa memelihara mereka di
hari-hari kemudian. Tetapi Alkitab juga tidak menjelaskan mengapa Allah menerima persembahan Habel
tetapi Kain tidak. Tapi inilah pertama kali disebutkan dalam Alkitab korban persembahan memakai
binatang. Dan sejak itu persembahan binatang dipakai sebagai korban bakaran untuk menjadi salah satu
tata upacara yang dilakukan dalam ibadah.

Pengalaman Sinai akan mengukir kehidupan rohani Israel sampai pada dasar paling dalam: mereka itu
mempunyai pengalaman akan Allah yang kemudian menata hidup mereka, sehingga mereka tidak bisa
lain kecuali mengikat janji setia kepada Allah Yahwe.[12] Kemudian masuknya suku-suku Israel di negeri
Kanaan mengubah seluruh tatanan masyarakatnya. Dari suku-suku setengah badui, mereka mulai
menetap dan bertani. Kebudayaan penduduk asli itu jauh lebih maju daripada kebudayaan sederhana
suku-suku Israel. Agama Israel juga terancam. Suku-suku Israel secara terserak menetap di negeri
Kanaan, kerap kali berdampingan dengan penduduk asli. Mereka sebenarnya hanya bersatu dalam
agamanya seperti yang diterima Musa.[13] Mereka semua memuja Allah nenek moyang yang satu.
Kadang-kadang suku-suku ini berziarah ke sebuah tempat kudus bersama untuk merayakan pesta
keagamaannya. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka sangat tergoda oleh agama penduduk asli
setempat. Godaan dari pihak agama asli Kanaan sepanjang sejarah selalu sangat menarik bagi Israel.
Hanya kenangan akan keluaran dari negeri Mesir dan perjanjian yang diadakan Tuhan dengan mereka
mencegah orang Israel dari kemurtadan, meskipun tidak jarang mereka mneyleweng.

Pada masa Musa penyembahan kepada Allah tidak lagi dilakukan di tanah terbuka, tapi di kemah
pertemuan Bait Suci, sedangkan penjelasan secara lengkap diberikan dalam Kel. 27:1-3, sesuai perintah
yang diterima Musa dari Allah, dan Musa sendiri bertindak sebagai imam, menjadi perantara antara
Allah dan umat Israel. Pada masa iman-iman, bangsa Israel telah memiliki kelompok imam yang dipilih
dari keturunan keluarga Harun, suku Lewi, yang bertugas untuk mengatur tata ibadah kepada Allah.
Kitab Imamat mencatat berbagai macam peraturan tata ibadah bagi bangsa Israel. Tidak selalu bangsa
Israel melakukan ibadah yang benar, karena ibadah yang sejati bukanlah tergantung dari tempat dan
tata caranya tetapi dari sikap hati yang benar. Tapi sering kali bangsa Israel tidak memiliki hati yang
tertuju kepada Tuhan, sehingga tata ibadahpun tidak ada gunanya.
Ketika akhirnya bangsa Israel dihukum karena telah meninggalkan Tuhan, dan Tuhan
menyerahkan mereka sebagai tawanan kepada bangsa-bangsa lain barulah bangsa Israel menyadari
betapa pentingnya kembali beribadah kepada Tuhan dan memelihara Taurat-Nya.

C. Pengaruh Perjanjian Sinai terhadap Perkembangan Sosial-Politik bangsa Israel.


Keluhan bangsa Israel dalam perbudakan di Mesir didengar Allah dan Ia mengingat akan perjanjian-Nya
dengan Abraham, Ishak dan Israel. Allah lalu mengutus Musa menghadapi Firaun dan memimpin bangsa
Israel keluar dari tanah mesir menuju ke tanah kanaan tanah yang di janjikan Tuhan kepada nenek
moyang mereka (Keluaran 2:24; Keluaran 3:10). Maksud Allah membawa pergi bangsa Israel dari Mesir
adalah penebusan, melepaskan umat itu dari perbudakan dan memungkinkan mereka beribadah kepada
Allah dalam kesucian dan kebenaran. Setelah keluar dari Mesir, orang-orang Israel sudah merdeka tetapi
belum dapat disebut sebagai bangsa. Belum ada undang-undang dasar mereka.[14] Dalam perjalanan
menuju ke tanah Kanaan tepatnya di kaki gunung Sinai Tuhan Allah kembali membuat perjanjian yang
kali ini berlaku antara Tuhan Allah dan seluruh bangsa Israel bangsa keturunan Abraham. (Kel 19:2). Di
sana, bangsa Israel mengakui dan menegaskan: Yahwe menjadi Allah mereka, mereka menjadi umat
Yahwe (Kel 19-24).[15] Relasi seperti ini digambarkan dengan menggunakan analogi sosial-politik
perjanjian.[16]

Organisasi sosial kuno sebagian besar terdiri dari kumpulan klan dan suku yang tinggal di beberapa
daerah negara-kota yang kecil. Dari waktu ke waktu, suatu negara-kota (misal, Asyur, Babylon)
memperluas kekuasaannya dan menjadi sebuah kekaisaran. Hubungan antara berbagai kelompok yang
berbeda ini harus diatur demi stabilitas kehidupan sosial dan politik.[17] Untuk menjamin hal itu,
diadakanlah perjanjian. Perjanjian adalah persetujuan atau janji antara dua pihak yang dengan sungguh-
sungguh menyatakan di hadapan para saksi (biasanya dewa-dewi yang dianut) dan mengikatnya dengan
sumpah yang dinyatakan secara lisan maupun melalui tindakan simbolis. Sebagai hasil dari perjanjian,
ditegakkanlah sebuah relasi baru yang selalu diungkapkan dalam terminologi kekeluargaan. Tujuan
perjanjian adalah syalom, damai, relasi yang utuh. Karena mengambil tempat di Sinai di bawah
kepemimpinan dan perantaraan Musa, perjanjian Israel–Yahwe[18] yang dianalogikan macam itu
disebut sebagai perjanjian Sinai atau perjanjian Musa.[19]

Perjanjian Tuhan Allah kali ini dilengkapi dengan segala ketetapan dan peraturan menjalankan
kehidupan bangsa Israel yang tertulis yang disebut hukum Taurat yang disertai dengan berkat dan kutuk
bagi bangsa ini. Apabila mereka mematuhi segala hukum-hukum itu maka besarlah berkat yang akan
diterima mereka, sebaliknya bila mereka melanggar maka hukuman-hukuman akan menimpa mereka.
Bangsa Israel menerima seluruh hukum Taurat sebagai bagian dari perjanjian mereka dengan Tuhan
Allah. Dalam mistik kehidupan Israel ini adalah pengalaman Sinai; dan pengalaman mistik ini menjadi
kekuatan hidup berbangsa dengan undang-undang dasar mereka yang terukir dalam prasasti
perjanjian.[20]

Segala peraturan yang harus ditaati serta berkat dan hukuman dari perjanjian Tuhan Allah dengan
bangsa Israel ini dapat dibaca secara lengkap dalam kitab keluaran pasal 20-31, kitab Imamat dan kitab
Ulangan. Tanda meterai dari perjanjian Allah kali ini adalah darah lembu jantan sebagai korban
keselamatan yang diambil Musa lalu disiramkanya ke atas bangsa itu (Kel 24:8). Seperti yang telah
diuraikan diatas bahwa berkat dan kutuk menyertai perjanjian Tuhan Allah kali ini. Apabila bangsa Israel
menuruti segala hukum-hukum Allah maka berkat melimpah akan menyertai bangsa ini, namun
sebaliknya bila mereka ingkar maka hukuman akan menyertai mereka. Demikianlah yang segera terjadi
bahwa hanya beberapa waktu berselang setelah mereka menerima hukum taurat dari Musa, mereka
telah mengingkarinya dengan melanggar larangan Allah untuk menyembah allah lain dan membuat
patung yang menyerupai apapun lalu sujud menyembahnya. Ketika Musa terlalu lama berada di atas
gunung Sinai untuk menerima dua loh batu yang berisi tulisan jari Allah mengenai hukum taurat, bangsa
Israel segera ingkar dengan membuat patung lembu tuangan sebagai allah mereka (Keluaran 32:1;
Keluaran 32:4)

Murka Tuhan Allah bangkit dan Dia ingin segera menghukum mereka dengan memusnahkan mereka
namun tetap memelihara Musa, namun Musa mengingatkan Tuhan Allah akan perjanjian-Nya dengan
Abraham, Ishak dan Israel untuk membawa bangsa itu ke tanah yang sudah dijanjikan-Nya (Keluaran
32:13). Tuhan Allah terikat dengan perjanjian-Nya bahwa hukuman-hukuman akan menyertai mereka
bila mereka ingkar maka hukuman tetap dijalankankan ba Murka Tuhan Allah bangkit dan Dia ingin
segera menghukum mereka dengan memusnahkan mereka namun tetap memelihara Musa, namun
Musa mengingatkan Tuhan Allah akan perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Israel untuk
membawa bangsa itu ke tanah yang sudah dijanjikan-Nya (Keluaran 32:13). Tuhan Allah terikat dengan
perjanjian-Nya bahwa hukuman-hukuman gi siapa yang tidak memihak kepada Musa.

Anda mungkin juga menyukai