Anda di halaman 1dari 9

TEORI

 ARSITEKTUR  2  
P.  6-­‐7  

Rizaldi  LuIi,  ST,MM,MSc,MArs.  


METODE  DESAIN  
POLA PIKIR DALAM PEMROGRAMAN DESAIN

Menuruh Christopher Jones (1970) dalam buku ‘Design Methods’, terdapat 3 fase
evolusi dalam desain, meliputi…

Fase 1 : Craftmanship

Fase 2 : Draughtmanship
Fase 3 : Design Method (yang sekarang dipelajari dan digunakan)

Ketiga fase tersebut secara garis besar dijelaskan sebagai berikut:


Fase craftmanship
(perancangan dengan keterampilan/keahlian terkait pembangunan)

Ø  Merupakan fase paling awal dan sederhana, dimana implementasi karya arsitektur
sebagai fasilitas yang dimanfaatkan oleh manusia.

Ø  Pada hakekatnya merupakan suatu modifikasi dari usaha yang penuh dengan
kesalahan dan keberhasilan (trial and error).

Ø  Trial and error ditemui berdasar pengalaman yang lalu dan penyesuaian dengan
kebutuhan baru (catatan: tidak ada rencana terprogram pada kebutuhan, yang ada
adalah tuntutan kebutuhan berdasarkan intuisi, pengalaman hidup, dan kebutuhan
spontan yang muncul pada saat itu berdasarkan petunjuk leluhur/keyperson).
Fase draughtmanship
(perancangan dengan keterampilan/keahlian gambar)

Ø  Merupakan fase menengah, yang tingkatan berpikir dan sistem merancangnya
sudah lebih sistematis.

Ø  Penggunaan scale drawing (gambar berskala) sebagai patokan dasar.

Ø  Karya rancangan ditentukan dalam standar berupa: dimensi/ukuran, pola


(pattern), penggunaan model/miniatur, dll.

Ø  Pada fase draughtmanship, memungkinkan pembagian pekerjaan menjadi lebih


tersistem. Sehingga, pada fase ini telah terdapat pembagian kerja dan
pekerjaannya.
Fase design method
(perancangan dengan keterampilan/keahlian proses)

Ø  Merupakan fase saat ini, suatu perkembangan dan turunan dari fase draugtmanship.

Ø  Karya rancangan tidak tidak terlalu ditentukan dalam standar berupa: dimensi/
ukuran, pola (pattern), penggunaan model/miniatur, dll. Melainkan lebih kepada
proses menuju decision making dalam standar berupa: analisis, sintesis, problem seeking,
probem solving, dan ideal pursuing yang mengandalkan logika dan ilmu pengetahuan
untuk pencapaian kebutuhan desain, kemudian dipadukan dengan kreatifitas dan
imajinasi perancang.

Ø  Fase design method memungkinkan pembagian pekerjaan menjadi lebih terfokus,
tersistem, dan terorganisir. Prosedur desain lebih terarah dan penggunaan waktu
bekerja menjadi jelas sehingga waktu tidak banyak terbuang percuma.
POLA PIKIR PERANCANG PADA SAAT MELAKUKAN DESIGN METHODS

1) self-
conscious
culture

2) unself-
conscious
culture

Christopher Alexander membuat perbedaan antara 1) bangunan yang dirancang oleh


arsitek yang dididik secara formal oleh akademisi resmi, dan 2) bangunan yang dirancang
oleh pelaksana atau perancang tanpa didikan formal.
SELFCONSCIOUS ADA KESADARAN DIRI
SELAMA (BELAJAR) MERANCANG
CULTURES IN DESIGN
Ø  Dalam budaya kesadaran-diri, ragam ide dengan tujuan baru terjadi setiap saat sebagai solusi
pemecahan masalah (problem solving) yang kehadiran masalahnya bersifat: 1) lama / berulang,
2) baru, atau 3) turunan / lanjutan / modifikasi.

Ø  Solusi atau hasil perancangan tidak cukup hanya dengan menyalin pola fisik yang sudah-
sudah. Untuk mencapai perancangan sesuai kebutuhan, ide tentang bagaimana dan mengapa
segala sesuatunya terbentuk harus diperkenalkan.

Ø  Mempelajari budaya kesadaran-diri harus didasarkan pada prinsip fungsi yang dinyatakan
dengan jelas dan terperinci tanpa meninggalkan ruang untuk kebingungan atau keraguan,
bukan prinsip bentuk yang sifatnya asal atau tiba-tiba.
UNSELFCONSCIOUS TIDAK ADA KESADARAN DIRI
SELAMA (BELAJAR) MERANCANG
CULTURES IN DESIGN
Ø  Dalam budaya tidak ada kesadaran-diri, solusi pemecahan masalah (problem solving)
memiliki pola berulang tanpa memikirkan sifat dari kehadiran masalah yang ada.

Ø  Solusi atau hasil perancangan hanya didasari pemikiran individu untuk membuat bentuk
dengan pengulangan pola fisik yang akrab tanpa mempertanyakan alasannya. Proses
perancangan cenderung dilakukan dengan cara yang sama secara berulang karena kebiasaan
pola pengulangan tersebut telah melekat dalam dirinya.

Ø  Perancang yang terbiasa dengan budaya ini tidak menerapkan pengukuran, sains, atau
prinsip akademis lainnya pada pekerjaan mereka, sehingga membuat hasil perancangan
terlihat monoton, tidak fleksibel, dan rentan timbul masalah baru.

Anda mungkin juga menyukai