0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
66 tayangan5 halaman
Kisah masjid dan shalat Jumat pertama Rasulullah mencatat bahwa Nabi Muhammad tinggal di Quba selama empat hari setelah hijrah dari Mekkah, dimana beliau membangun Masjid Quba. Pada hari Jumat, Nabi berangkat ke Madinah dan melakukan shalat Jumat pertama di sebuah lembah milik Bani Salim, yang kini menjadi Masjid Jumuah. Khutbah pertama Nabi mengingatkan umat untuk selalu berbuat kebaj
Kisah masjid dan shalat Jumat pertama Rasulullah mencatat bahwa Nabi Muhammad tinggal di Quba selama empat hari setelah hijrah dari Mekkah, dimana beliau membangun Masjid Quba. Pada hari Jumat, Nabi berangkat ke Madinah dan melakukan shalat Jumat pertama di sebuah lembah milik Bani Salim, yang kini menjadi Masjid Jumuah. Khutbah pertama Nabi mengingatkan umat untuk selalu berbuat kebaj
Kisah masjid dan shalat Jumat pertama Rasulullah mencatat bahwa Nabi Muhammad tinggal di Quba selama empat hari setelah hijrah dari Mekkah, dimana beliau membangun Masjid Quba. Pada hari Jumat, Nabi berangkat ke Madinah dan melakukan shalat Jumat pertama di sebuah lembah milik Bani Salim, yang kini menjadi Masjid Jumuah. Khutbah pertama Nabi mengingatkan umat untuk selalu berbuat kebaj
Ustadz Abdul Somad menerangkan secara singkat tentang awal
mula munculnya perintah Shalat Jumat. Dalam cuplikan video singkat, beliau menjelaskan asal usul perintah Shalat Jumat.
“Sejarahnya, dimulai ketika Nabi sampai di Quba pada hari
Senin. Di sana, beliau menginap selama empat malam. Ketika datang hari Jumat, bertolaklah ia dari Quba menuju Madinah, lalu berhenti di kampung Bani Salim. Kemudian, beliau shalat Jumat atas perintah Allah,” terang Ustadz Somad.
Ustadz Somad menerangkan bahwa tempat pertama Nabi Saw.
shalat Jumat adalah bukan di masjid, karena pada saat itu belum ada masjid. Namun, kini tempat itu telah dibangun masjid sebagai sejarah pertama kali Nabi melaksanakan Shalat Jumat. Maka, masjid itu diberi nama Masjid Jumuah yang berada di barat daya kota Madinah
Diriwayatkan, Nabi Saw. tiba di Madinah dari Mekah pada
Senin 12 Rabiul Awal dan menetap di Quba selama 4 hari. Yakni, hingga hari Jumat pagi 16 Rabiul Awal. Begitu keluar Madinah, waktu salat Jumat tiba. Maka di sinilah Nabi melakukan shalat Jumat pertama kalinya di Madinah, di tempat yang sekarang bernama Masjid Jumuah.
Kemudian, Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah merenovasi
ulang masjid tersebut. Masjid Jumuah ini kembali diperbaiki pada masa Dinasti Abbasiyah antara 155-159 H. Masjid ini juga disebut dengan Masjid Bani Salim karena terletak di perkampungan Bani Salim.
Perintah shalat Jumat ini tertulis dalam ayat Al-Quran yang
berbunyi, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” QS. Al-Jumuah [62]: (9).
Sedangkan dalam sejumlah hadits, Nabi Saw. bersabda, “Salat
Jumat itu wajib bagi tiap-tiap muslim, dilaksanakan secara berjamaah terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil, dan orang yang sakit,” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim).
Rasulullah Saw. juga telah memperingatkan dengan tegas atas
siapa saja yang melalaikannya.
Dalam Musnad Ahmad dan Kutub Sunan, Nabi Saw. bersabda,
“Siapa yang meninggalkan tiga kali shalat Jumat karena meremehkannya, pasti Allah menutup mati hatinya.”
Dalam hadits lain, Nabi Saw. bersabda, “Siapa yang
meninggalkan tiga Jumat (shalatnya) tanpa udzur (alasan yang dibenarkan) maka ia ditulis termasuk golongan orang-orang munafik,” (HR. Thabrani). Kisah Masjid dan Shalat Jumat Pertama Rasulullah Dalam perjalanan hijrah yang menegangkan dan mengharukan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan sahabatnya Abu Bakar al-Shiddiq singgah di Quba, kota kecil berjarak kira-kira tujuh kilometer dari kota Madinah. Di kota kecil yang banyak ditumbuhi pohon kurma yang menghijau itu, Nabi tinggal selama empat hari, menurut riwayat lain disebutkan empat belas hari. Di sana, Nabi berjumpa dengan para sahabatnya yang sangat setia seperti Umar ibn Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan para sahabat yang lain. Selama tinggal di Quba, beliau dengan para sahabatnya yang terdiri dari para muhajir (orang-orang yang berhijrah dari Makkah ke Madinah) dan penduduk Quba membangun suatu masjid yang disebut dengan Masjid Quba. Itulah masjid yang pertama kali dibangun Nabi dan para sahabatnya, yang ditegakkan atas dasar takwa kepada Allah. ِّس َعلَى َ اَل َتقُ ْم فِي ِه أَ َب ًدا لَّ َمسْ ِج ٌد أُس َطهَّرُوا َوهَّللا ُ يُ ِحبُّ ْال ُمطَّه ِِّرين ُّ ال َّت ْق َو ٰى مِنْ أَ َّو ِل يَوْ ٍم أَ َحArtinya: َ َق أَن تَقُو َم فِي ِه فِي ِه ِر َجا ٌل ي ُِحبُّونَ أَن يَت “Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu (dhirar) selama- lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. di dalam masjid itu terdapat orang-orang yang ingin membersihkan diri, dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. Al- Taubah, 9:108). Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sampai di Quba pada hari Senin, setelah tinggal selama empat atau empat belas hari, dan telah selesai membangun masjid yang pertama kali didirikan itu, beliau dan para sahabatnya bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan ke kota Madinah yang selama ini menjadi tumpuan harapan. Pada hari Jumat pagi sekali, Nabi dan para sahabatnya berangkat menuju Yatsrib atau Madinah. Menjelang memasuki kota Madinah pada kilometer empat, beliau sampai di suatu lembah bernama Wadi Ranuna milik keluarga Bani Salim ibn Auf, di tempat itu Nabi dan rombongan melakukan shalat Jumat (M. Muhyiddin, Sayyiduna Muhammad Nabi al-Rahmah, hal. 61). Itulah shalat Jumat pertama yang dilakukan Nabi dan para sahabatnya. Sampai sekarang jamaah haji selalu menyempatkan diri berkunjung ke masjid tersebut, dinamai Masjid Jumat karena ia dipakai shalat Jumat untuk yang pertama kalinya. (Baca juga: Detik-detik Menegangkan Nabi dan Abu Bakar di Gua Tsur) Dalam khutbahnya yang pertama itu Nabi mewasiatkan beberapa pelajaran yang penting, di antaranya sebagai berikut: “Wahai manusia, hendaklah kamu berbuat kebajikan bagi dirimu sendiri, kamu akan mengetahui, demi Allah, sesungguhnya seseorang dari kamu dikejutkan dengan suara gemuruh, sehingga meninggalkan domba gembalaannya, maka domba itu tidak ada penggembalanya lagi. Allah berfirman padanya, padahal tidak ada penerjemah dan tidak ada penghalang yang menghalangi di sisi-Nya: “Tidakkah rasul-Ku telah datang kepadamu menyampaikan kebenaran?, Aku karuniakan kepadamu harta dan kenikmatan yang banyak maka apa yang dapat kamu kerjakan untuk dirimu?” Orang itu kemudian menoleh ke kiri dan ke kanan, semuanya lengang tidak melihat sesuatu. Kemudian melihat ke depannya, ia pun tidak melihat sesuatu kecuali Jahannam. Siapa yang ingin terlepas dari siksa Jahannam, meskipun hanya sekedar berbuat baik kepada orang lain dengan memberikan secuil buah kurma, hendaklah ia lakukan. Jika secuil buah kurma pun tidak dimilikinya maka hendaklah ia bertutur kata yang baik. Karena tutur kata yang baik adalah amal perbuatan yang terpuji....”. (M. Khudry Bek, Nur al-Yaqien, hal. 82). Khutbah tersebut mengarahkan umat manusia agar selalu berbuat kebajikan terhadap sesamanya dan tidak mencampakkan dirinya dalam kehancuran dan kenistaan. Sebagai umat Islam, kita wajib memberikan bantuan terhadap mereka yang membutuhkannya. Bantuan itu bisa berupa harta, wisdom (kebijaksanaan), jasa, nasehat, fikiran, do’a, dan bertutur kata yang baik. Umat Islam diarahkan al-Qur’an agar senantiasa menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, tidak diperkenankan mengabaikan salah satunya. ك ِمنَ ال ُّد ْنيَا َوأَحْ ِسن ِ ََنس ن َ َصيب َ ك هَّللا ُ ال َّد َ ار اآْل ِخ َرةَ َواَل ت َ َوا ْبت َِغ فِي َما آتَا َض إِ َّن هَّللا َ اَل يُ ِحبُّ ْال ُم ْف ِس ِدين َ “ َك َما أَحْ َسنَ هَّللا ُ إِلَ ْيDan carilah pada apa ِ ْك َواَل تَب ِْغ ْالفَ َسا َد فِي اأْل َر yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash, 28: 77). Mengenai perseimbangan kehidupan, yang juga berkaitan dengan ayat tersebut di atas, Ibn al- Asakir meriwayatkan: يب ِم ْنهُ َما ِ َوال آ ِخ َرتَهُ لِ ُد ْنيَاهُ َحتَّى ي،ْس بِخَ ي ِْر ُك ْم َم ْن تَ َركَ ُد ْنيَاهُ آِل ِخ َرتِ ِه َ ُص َ لَي ٌ فَإِ َّن ال ُّد ْنيَا بَال،” َج ِميعًاBukanlah orang yang terbaik di antaramu, orang غ إِلَى اآْل ِخ َر ِة yang meninggalkan kehidupan dunia karena semata-mata mengejar kehidupan akhirat, atau meninggalkan akhirat karena semata-mata mencari kehidupan dunia, hingga ia memperoleh keduanya sekaligus. Karena kehidupan dunia adalah sarana untuk mencapai akhirat....”.