Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Awal Shalat Jumat

Ustadz Abdul Somad menerangkan secara singkat tentang awal


mula munculnya perintah Shalat Jumat. Dalam cuplikan video
singkat, beliau menjelaskan asal usul perintah Shalat Jumat.

“Sejarahnya, dimulai ketika Nabi sampai di Quba pada hari


Senin. Di sana, beliau menginap selama empat malam. Ketika
datang hari Jumat, bertolaklah ia dari Quba menuju Madinah,
lalu berhenti di kampung Bani Salim. Kemudian, beliau shalat
Jumat atas perintah Allah,” terang Ustadz Somad.

Ustadz Somad menerangkan bahwa tempat pertama Nabi Saw.


shalat Jumat adalah bukan di masjid, karena pada saat itu
belum ada masjid. Namun, kini tempat itu telah dibangun
masjid sebagai sejarah pertama kali Nabi melaksanakan Shalat
Jumat. Maka, masjid itu diberi nama Masjid Jumuah yang
berada di barat daya kota Madinah

Diriwayatkan, Nabi Saw. tiba di Madinah dari Mekah pada


Senin 12 Rabiul Awal dan menetap di Quba selama 4 hari.
Yakni, hingga hari Jumat pagi 16 Rabiul Awal. Begitu keluar
Madinah, waktu salat Jumat tiba. Maka di sinilah Nabi
melakukan shalat Jumat pertama kalinya di Madinah, di tempat
yang sekarang bernama Masjid Jumuah.

Kemudian, Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah merenovasi


ulang masjid tersebut. Masjid Jumuah ini kembali diperbaiki
pada masa Dinasti Abbasiyah antara 155-159 H. Masjid ini juga
disebut dengan Masjid Bani Salim karena terletak di
perkampungan Bani Salim.

Perintah shalat Jumat ini tertulis dalam ayat Al-Quran yang


berbunyi, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” QS. Al-Jumuah [62]:
(9).

Sedangkan dalam sejumlah hadits, Nabi Saw. bersabda, “Salat


Jumat itu wajib bagi tiap-tiap muslim, dilaksanakan secara
berjamaah terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya,
perempuan, anak kecil, dan orang yang sakit,” (HR. Abu Daud
dan Al-Hakim).

Rasulullah Saw. juga telah memperingatkan dengan tegas atas


siapa saja yang melalaikannya.

Dalam Musnad Ahmad dan Kutub Sunan, Nabi Saw. bersabda,


“Siapa yang meninggalkan tiga kali shalat Jumat karena
meremehkannya, pasti Allah menutup mati hatinya.”

Dalam hadits lain, Nabi Saw. bersabda, “Siapa yang


meninggalkan tiga Jumat (shalatnya) tanpa udzur (alasan yang
dibenarkan) maka ia ditulis termasuk golongan orang-orang
munafik,” (HR. Thabrani).
Kisah Masjid dan Shalat Jumat
Pertama Rasulullah
Dalam perjalanan hijrah yang menegangkan dan mengharukan, Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan sahabatnya Abu Bakar al-Shiddiq
singgah di Quba, kota kecil berjarak kira-kira tujuh kilometer dari kota
Madinah. Di kota kecil yang banyak ditumbuhi pohon kurma yang
menghijau itu, Nabi tinggal selama empat hari, menurut riwayat lain
disebutkan empat belas hari. Di sana, Nabi berjumpa dengan para
sahabatnya yang sangat setia seperti Umar ibn Khattab, Usman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib dan para sahabat yang lain. Selama tinggal di
Quba, beliau dengan para sahabatnya yang terdiri dari para muhajir
(orang-orang yang berhijrah dari Makkah ke Madinah) dan penduduk
Quba membangun suatu masjid yang disebut dengan Masjid Quba.
Itulah masjid yang pertama kali dibangun Nabi dan para sahabatnya,
yang ditegakkan atas dasar takwa kepada Allah. ‫ِّس َعلَى‬ َ ‫اَل َتقُ ْم فِي ِه أَ َب ًدا لَّ َمسْ ِج ٌد أُس‬
َ‫طهَّرُوا َوهَّللا ُ يُ ِحبُّ ْال ُمطَّه ِِّرين‬ ُّ ‫ ال َّت ْق َو ٰى مِنْ أَ َّو ِل يَوْ ٍم أَ َح‬Artinya:
َ َ‫ق أَن تَقُو َم فِي ِه فِي ِه ِر َجا ٌل ي ُِحبُّونَ أَن يَت‬
“Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu (dhirar) selama-
lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid
Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya.
di dalam masjid itu terdapat orang-orang yang ingin membersihkan diri,
dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. Al-
Taubah, 9:108). Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sampai di Quba pada
hari Senin, setelah tinggal selama empat atau empat belas hari, dan
telah selesai membangun masjid yang pertama kali didirikan itu, beliau
dan para sahabatnya bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan ke kota
Madinah yang selama ini menjadi tumpuan harapan. Pada hari Jumat pagi
sekali, Nabi dan para sahabatnya berangkat menuju Yatsrib atau
Madinah. Menjelang memasuki kota Madinah pada kilometer empat,
beliau sampai di suatu lembah bernama Wadi Ranuna milik keluarga Bani
Salim ibn Auf, di tempat itu Nabi dan rombongan melakukan shalat
Jumat (M. Muhyiddin, Sayyiduna Muhammad Nabi al-Rahmah, hal. 61).
Itulah shalat Jumat pertama yang dilakukan Nabi dan para sahabatnya.
Sampai sekarang jamaah haji selalu menyempatkan diri berkunjung ke
masjid tersebut, dinamai Masjid Jumat karena ia dipakai shalat Jumat
untuk yang pertama kalinya. (Baca juga: Detik-detik Menegangkan Nabi
dan Abu Bakar di Gua Tsur) Dalam khutbahnya yang pertama itu Nabi
mewasiatkan beberapa pelajaran yang penting, di antaranya sebagai
berikut: “Wahai manusia, hendaklah kamu berbuat kebajikan bagi dirimu
sendiri, kamu akan mengetahui, demi Allah, sesungguhnya seseorang
dari kamu dikejutkan dengan suara gemuruh, sehingga meninggalkan
domba gembalaannya, maka domba itu tidak ada penggembalanya lagi.
Allah berfirman padanya, padahal tidak ada penerjemah dan tidak ada
penghalang yang menghalangi di sisi-Nya: “Tidakkah rasul-Ku telah
datang kepadamu menyampaikan kebenaran?, Aku karuniakan kepadamu
harta dan kenikmatan yang banyak maka apa yang dapat kamu kerjakan
untuk dirimu?” Orang itu kemudian menoleh ke kiri dan ke kanan,
semuanya lengang tidak melihat sesuatu. Kemudian melihat ke depannya,
ia pun tidak melihat sesuatu kecuali Jahannam. Siapa yang ingin terlepas
dari siksa Jahannam, meskipun hanya sekedar berbuat baik kepada
orang lain dengan memberikan secuil buah kurma, hendaklah ia lakukan.
Jika secuil buah kurma pun tidak dimilikinya maka hendaklah ia bertutur
kata yang baik. Karena tutur kata yang baik adalah amal perbuatan yang
terpuji....”. (M. Khudry Bek, Nur al-Yaqien, hal. 82). Khutbah tersebut
mengarahkan umat manusia agar selalu berbuat kebajikan terhadap
sesamanya dan tidak mencampakkan dirinya dalam kehancuran dan
kenistaan. Sebagai umat Islam, kita wajib memberikan bantuan
terhadap mereka yang membutuhkannya. Bantuan itu bisa berupa harta,
wisdom (kebijaksanaan), jasa, nasehat, fikiran, do’a, dan bertutur kata
yang baik. Umat Islam diarahkan al-Qur’an agar senantiasa menjaga
keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, tidak diperkenankan
mengabaikan salah satunya. ‫ك ِمنَ ال ُّد ْنيَا َوأَحْ ِسن‬ ِ َ‫َنس ن‬
َ َ‫صيب‬ َ ‫ك هَّللا ُ ال َّد‬
َ ‫ار اآْل ِخ َرةَ َواَل ت‬ َ ‫َوا ْبت َِغ فِي َما آتَا‬
َ‫ض إِ َّن هَّللا َ اَل يُ ِحبُّ ْال ُم ْف ِس ِدين‬ َ ‫“ َك َما أَحْ َسنَ هَّللا ُ إِلَ ْي‬Dan carilah pada apa
ِ ْ‫ك َواَل تَب ِْغ ْالفَ َسا َد فِي اأْل َر‬
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan. (QS. Al-Qashash, 28: 77). Mengenai perseimbangan
kehidupan, yang juga berkaitan dengan ayat tersebut di atas, Ibn al-
Asakir meriwayatkan: ‫يب ِم ْنهُ َما‬ ِ ‫ َوال آ ِخ َرتَهُ لِ ُد ْنيَاهُ َحتَّى ي‬،‫ْس بِخَ ي ِْر ُك ْم َم ْن تَ َركَ ُد ْنيَاهُ آِل ِخ َرتِ ِه‬
َ ‫ُص‬ َ ‫لَي‬
ٌ ‫ فَإِ َّن ال ُّد ْنيَا بَال‬،‫” َج ِميعًا‬Bukanlah orang yang terbaik di antaramu, orang
‫غ إِلَى اآْل ِخ َر ِة‬
yang meninggalkan kehidupan dunia karena semata-mata mengejar
kehidupan akhirat, atau meninggalkan akhirat karena semata-mata
mencari kehidupan dunia, hingga ia memperoleh keduanya sekaligus.
Karena kehidupan dunia adalah sarana untuk mencapai akhirat....”.

Anda mungkin juga menyukai