Anda di halaman 1dari 12

Laporan Kimia Analitik Iodometri dan Penentuan Cu

A. Judul Percobaan
       Iodometri dan Penentuan Cu

B. Tujuan Percobaan

       Adapun tujuan pada percobaan ini yaitu mahasiswa diharapkan dapat :

1. Menentukan normalitas natrium tiosulfat

2. Menghitung kadar Cu dalam CuSO4

C. Landasan Teori

       Analisis kimiawi menetapkan komposisi kualitatif dan kuantitatif suatu materi. Konstituen-
konstituen yang akan dideteksi ataupun ditentukan jumlahnya adalah unsur, radikal, gugus fungsi,
senyawaan atau fase. Penentuan dengan teliti suatu komponen didalam matriks beberapa
komponen lainnya yang mirip memerlukan pengaturan yang seksama kondisi seperti pH,
kompleksan, perubahan tingkat oksidasi. Analisis umumnya terdiri atas analisis kuantitatif dan
analisis kualitatif. Biasanya analisis kualitatif dilakukan sebelum analisis kuantitatif (Khopkar,2010:5).

       Analisis kuantitatif berkaitan dengan penetapan berapa banyak suatu zat tertentu yang
terkandung dalam suatu sampel. Zat yang ditetapkan tersebut, yang seringkali dinyatakan sebagai
konstituen atau analit, menyusun entah sebagian kecil atau sebagian besar sampel yang dianalisis.
Jika zat yang dianalisa (analit) tersebut menyusun lebih dari sekitar 1% dari sampel, maka analit ini
dianggap sebagai konstituen utama. Zat itu dianggap konstituen minor jika jumlahnya berikisar
antara 0,01 hingga 1% dari sampel. Terakhir, suatu zat yang hadir hingga kurang dari 0,01% dianggap
sebagai konstituen perunut. Kualifikasi lain dari analisis kuantitatif bisa didasarkan pada ukuran dari
sampel yang tersedia untuk dianalisis (Day & Underwood,1999:2).

       Larutan memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Dialam kebanyakan reaksi
berlangsung dalam larutan air. Kuantitas relatif zat tertentu dalam larutan disebut konsentrasi.
Konsentrasi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan cepat atau lambatnya reaksi
berlangsung. Dalam beberapa hal konsentrasi juga menentukan hasil reaksi yang terbentuk. Untuk
meramalkan sifat larutan tidak dapat langsung dari sifat komponennya, karena dalam campuran
terdapat banyak interaksi antara komponen-komponen penyusunnya. Oleh sebab itu, perlu dibuat
suatu model larutan sebagai standar untuk mengungkapkan hubungan antara komposisi dengan
sifat larutan. Model larutan yang banyak dipakai adalah larutan ideal (Yazid,2015:47-48).
       Iodin hanya larut sedikit dalam air (0,00134 mol/liter pada 25 0C) namun larut cukup banyak
dalam larutan-larutan yang mengandung ion iodida. Iodin membentuk kompleks trtriodida dengan
iodida,

I2         +          I-                     I2

dengan konstanta kesetimbangan sekitar 710 pada 25 0C. Suatu kelebihan kalium iodida ditambahkan
untuk meningkatkan kelarutan dan untuk menurunkan keatsirian iodin. Biasanya sekitar 3 sampai
4% berat KI (Kalium Iodida) ditambahkan ke dalam larutan 0,1 N, dan botol yang mengandung
larutan ini harus disumbat dengan baik (Day & Underwood, 1999:296).

       Menurut Sandjaja dalam Novitriani (2014:236), Iodium merupakan salah satu mineral yang
dibutuhkan dalam jumlah sedikit dalam tubuh. Iodium ada di dalam kelenjar tiroid yang digunakan
untuk mensistesis protein hormon tiroksin untuk pertumbuhan normal, perkembangan fisik dan
mental pada manusia. Iodium yang biasa ditambahkan pada fortifikasi makanan yaitu dalam bentuk
KIO3 karena KIO3 lebih stabil jika dibandingkan dengan KI.

       Konsentrasi larutan iodium hasil adsorpsi dapat ditentukan dengan cara batch maupun kontinyu
digunakan metode titrasi. Larutan iodium hasil adsorpsi dimasukkan kedalam erlenmeyer sebanyak 5
mL. Titrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N, bila warna kuning dari larutan telah samar
tambahkan beberapa tetes larutan kanji (amilum) sebagai indikator larutan akan berubah warna jadi
biru. Titrasi kembali larutan sampai warnanya berubah menjadi bening. Dari hasil titrasi konsentrasi
iodium dalam larutan dapat ditentukan (Said dkk,2008:52).

       Titrasi adalah pengukuran volume suatu larutan dari suatu reaktan yang dibutuhkan untuk
bereaksi sempurna dengan sejumlah tertentu reaktan lainnya. Seringkali titrasi digunakan untuk
mengukur volume larutan yang ditambahkan pada suatu larutan yang telah diketahui volumenya.
Biasanya konsentrasi dari salah satu larutan dikenal sebagai larutan standar, yang telah diketahui
dengan tepat. Dalam titrasi asam basa perubahan pH sangat kecil hingga hampir tercapai titik
ekivalen. Pada saat tercapai titik ekivalen penambahan sedikit asam atau basa akan menyebabkan
perubahan pH sangat besar. Perubahan pH yang besar ini seringkali dideteksi dengan zat yang
dikenal sebagai indikator, yaitu suatu senyawa (organik) yang akan berubah warnanya dalam
rentang pH tertentu. Kondisi penambahan asam atau basa dimana terjadi perubahan warna
indikator dalam suatu titrasi dikenal sebagai titik akhir titrasi (Ibnu dkk,2004:100).

       Warna dari sebuah larutan iodin 0,1 N cukup intens sehingga iodin dapat bertindak sebagai
indikator bagi dirinya sendiri. Iodin juga memberikan warna ungu atau violet yang intens untuk zat-
zat pelarut seperti karbon tetraklorida dan kloroform, terkadang kondisi ini dipergunakan dalam
mendeteksi titik akhir dari titrasi-titrasi. Namun demikian, suatu larutan (penyebaran koloidal) dari
kanji lebih umum dipergunakan, karena warna biru gelap dari kompleks iodin-kanji bertindak sebagai
suatu tes yang amat intensif untuk iodin. Mekanisme pembentukan kompleks yang berwarna ini
tidak diketahui, namun ada pemikiran bahwa molekul-molekul iodin bertahan dipermukaan -
amylose, suatu konstituen dari kanji. Larutan-larutan kanji dengan mudah didekomposisinya oleh
bakteri, dan biasanya sebuah substansi, seperti asam borat, ditambahkan sebagai bahan pengawat
(Day & Underwood,1999:297).

       Titrasi iodometri adalah salah satu jenis titrasi redoks yang melibatkan iodium. Titrasi iodometri
termasuk jenis titrasi tidak langsung yang dapat dipergunakan untuk menetapkan senyawa-senyawa
yang mempunyai potensial oksidasi yang lebih besar daripada sistem iodium iodide atau senyawa-
senyawa yang bersifat oksidator seperti CuSO 4.5H2O. Berbeda dengan titrasi iodometri yang
mereaksikan sampel dengan iodium, maka pada proses iodometri ini, sampel yang bersifat oksidator
direduksi dengan KI berlebih dan akan menghasilkan I 2 yang selanjutnya dititrasi dengan larutan
baku natrium tiosulfat (Na2S2O3). Banyaknya volume Na2S2O3 yang dipergunakan sebagai titran setara
dengan banyaknya sampel (Asip & Thomas,2013:24-25).

       Oksidimetri didasarkan pada reaksi oksidasi-reduksi antara analit dengan titran. Analit yang
mengandung spesi reduktor dititrasi dengan titran berupa larutan standar dari oksidator atau
sebaliknya. Berbagai reaksi redoks dapat digunakan sebagai dasar reaksi oksidimetri, misalnya
penetapan ion besi (II), Fe 2+ dalam analit dengan menggunakan titran larutan standar cesium (IV),
Ce4+ yang mengikuti persamaan reaksi :

Fe2+        +         Ce4+                             Fe3+       +        Ce3+

Oksidator lain yang banyak digunakan dalam oksidimetri adalah kalium permanganat, KMnO 4,
misalnya pada penetapan kadar ion besi (II) dalam suasana asam

5Fe2+   + MnO4-+ 8H+                             5Fe3+ + Mn2+ + 4H2O

   (Ibnu dkk

Agen pengoksidasi yang kuat dapat dianalisa dengan menambahkan kalium iodida berlebih dan
mentitrasi iodin yang dibebaskan. Karena banyak agen pengoksidasi membutuhkan suatu larutan
asam untuk bereaksi dengan iodin, natrium tiosulfat biasanya dipergunakan sebagai titrannya.
Natrium tiosulfat umumnya dibeli sebagai pentahidrat, Na 2S2O3.5H2O dan larutan-larutannya
distandardisasi terhadap sebuah standar primer. Standarisasi adalah proses dimana konsentrasi
larutan ditentukan secara akurat. Suatu larutan standar terkadang dapat dipersiapkan dengan
menguraikan suatu sampel dari zat terlarut yang diinginkan dan menimbang secara akurat dalam
suatu larutan yang volumenya diukur secara akurat (Day & Underwood,1999:50,298).

       Larutan standar yang digunakan sebagai titran harus diketahui dengan tepat konsentrasinya.
Biasanya, larutan standar dibuat dengan cara melarutkan sejumlah berat tertentu bahan kimia pada
sejumlah tertentu pelarut yang sesuai. Cara ini mudah dilakukan, tetapi hasilnya seringkali kurang
tepat, karena hanya sedikit jenis zat kimia bahan titran yang diketahui dalam keadaan murni. Zat
kimia yang benar-benar murni bila ditimbang dengan tepat dan dilarutkan dalam sejumlah tertentu
pelarut yang sesuai menghasilkan larutan standar primer. Larutan standar lain yang ditetapkan
konsentrasinya melalui titrasi dengan menggunakan larutan standar primer dikenal sebagai larutan
standar sekunder (Ibnu dkk,2004:97-98).

       Larutan yang telah distandardisasi dapat dipergunakan sebagai larutan standar sekunder untuk
mendapatkan konsentrasi dari larutan lainnya. Bagi pekerjaan yang membutuhkan akurasi yang
tinggi, disarankan untuk menstandardisasi kedua larutan asam dan basa terpisah dengan
menggunakan standar primer. Standar primer yang dipergunakan secara luas untuk larutan basa
terdiri dari kalium hidorgen ftalat, KHC 8H4O4, disingkat KHP. Asam sulfamat, HSO3NH2, dan kalium
hidrogen iodat, KH(IO3) adalah dua asam kuat dan merupakan standar primer yang sempurna.
Natrium karbonat, Na2CO3, dan tris (hidroksimetil) aminometana, (CH 2OH2)3CNH2, dikenal sebagai
TRIS atau THAM, secara umum adalah standar primer untuk asam kuat (Day & Underwood,1999:51).

       Konsentrasi dinyatakan dalam normalitas (g.ek/l). Larutan standar disiapkan dengan menimbang
reagen murni secara tepat. Oleh karena itu, dikenal standar primer, yaitu zat yang tersedia dalam
komposisi kimia yang jelas dan murni. Larutan tersebut hanya bereaksi pada kondisi kimia yang jelas
dan murni. Larutan tersebut hanya bereaksi pada kondisi titrasi dan tidak melakukan reaksi
sampingan. Tidak berubah ataupun bereaksi ditempat terbuka (atmosfer). Garam terhidrat tidak
baik untuk larutan standar primer (Khopkar,2010:40).

       Menurut Day & Underwood (1999:51) standar primer harus mempunyai karakteristik sebagai
berikut:

1.        Harus tersedia dalam bentuk murni, atau dalam suatu tingkat kemurnian yang diketahui, pada suatu
tingkat biaya yang logis. Secara umum, jumlah total dari pengotor tidak boleh melebihi 0,01 sampai
0,02% dan harus dilakukan tes untuk mendeteksi kuantitas pengotor-pengotor tersebut melalui tes
kualitatif dengan sensitivisme yang diketahui.

2.        Substansi tersebut harus stabil. Harus mudah dikeringkan dan tidak terlalu higroskopis sehingga
tidak banya menyerap air selama penimbangan. Substansi tersebut seharusnya tidak kehilangan
berat bila terpapar udara. Garam hidrat biasanya tidak dipergunakan sebagai standar primer.

3.        Yang diinginkan adalah standar primer tersebut mempunyai berat ekivalen yang cukup tinggi agar
dapat meminimalisasi konsekuensi galat pada saat penimbangan.

D. Alat dan Bahan

1. Alat

a.    Gelas kimia 50 mL                                                             1 buah

b.    Pipet volum 25 mL                                                             1 buah

c.    Ball pipet                                                                            1 buah

d.   Gelas ukur 25 mL                                                              1 buah


e.    Gelas ukur 50 mL                                                               1 buah

f.     Erlenmeyer tutup asa 250 mL                                            6 buah

g.    Buret 50 mL                                                                      2 buah

h.    Statif                                                                                 2 buah

i.     Klem                                                                                   2 buah

j.      Corong biasa                                                                      1 buah

k.    Pipet tetes                                                                           3 buah

l.      Lap kasar                                                                            1 buah

m.  Lap halus                                                                            1 buah

2. Bahanp

a. Larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3) 0,1 N

b. Asam klorida (HCl) pekat

c. Larutan kalium iodida (KI) 0,1 N dan I N

d Kalium bikromat (K2Cr2O7) 0,1 N

e. Larutan tembaga (II) sulfat (CuSO4)

f. Aguades (H2O)

g. Tissue

E. Prosedur Kerja

1.        Standarisasi larutan Na2S2O3 0,1 N

a.         Sebanyak 50 mL natrium tiosulfat dimasukkan ke dalam buret.

b.        Sebanyak 15 mL larutan standar K 2Cr2O7 0,1 N (standar primer) dipipet dengan menggunakan pipet
volum

c.         Sebanyak 6 mL HCl pekat dan 30 mL KI 0,1 N ditambahkan kedalam larutan

d.        Iodium yang dibebaskan dengan larutan natrium tiosulfat standar dititrasi dengan indikator amilum
sampai warna biru hilang. Volume titran dicatat.

e.         Cara kerja ke-2 dan ke-4 diulangi sebanyak 3 kali ulangan dan volume titran rata-rata dicatat.
f.         Normalitas larutan standar tiosulfat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

2.        Menentukan Cu dalam CuSO4

a.         25 mL larutan sampel yang netral diambil dan ditambahkann dengan 25 mL KI 1 N.

b.        Iodium yang dibebaskan dengan larutan natrium tiosulfat dititrasi dengan menggunakan indikator
amilum sampai warna biru hilang. Volume titran dicatat.

c.         Cara kerja ke-1 dan ke-2 diulangi sebanyak tiga kali dan volume titrasi rata-rata dicatat.

d.        Kadar Cu dalam sampel dihitung dengan cara sebagai berikut:

  x  BM Cu

F. Hasil Pengamatan

1. Standarisasi larutan Na2S2O3


25 ml K2Cr2O7 0,1 N + 6 ml HCL pekat                  larutan berwarna kuning

                (kuning)             (bening)                            
Larutan berwarna kuning + 30 KI 0,1 N                      larutan berwarna merah bata

 (bening)       
Larutan merah bata dititrasi dengan Na 2S2O3                          larutan kuning

                                                            (bening)
Larutan kuning + 3 tetes indikator amilum                              larutan berwarna biru

(putih)                                                   pekat

Titrasi dilanjutkan                    Larutan bening

No. Titrasi Volume Na2S2O3

1 I 5,30 ml

2 II 5,20 ml

3 III 5,50 ml

Volume rata-rata 5,33 mL

2. Menentukan Cu dalam CuSO4


25 ml larutan sampel CuSO4 + 25 KI 1 N                      Larutan berwarna kuning  
             (biru)                           (bening)                         kecoklatan     
Larutan dititrasi dengan Na2S2O3                                                    Larutan kuning kecoklatan

(kuning kecoklatan)        (bening)
Larutan berwarna    + 3 tetes indikator amilum                    kuning kecoklatan  

kuning kecoklatan                   (putih)

Titrasi dilanjutkan                     Larutanbeing dengan endapan putih

No. Titrasi Volume Na2S2O3

1 I 23,00 mL

2 II 23,70 mL

3 III 23,10 mL

Volume rata-rata 23,66 mL

G. Analisis Data

a.         Pembuatan larutan standar Na2S2O3 0,1 N dan standarisasinya

Dik.     V K2Cr2O7     = 25 mL

N Na2S2O3     = 0,1 N
                

Dit:      V rata-rata Na2S2O3 =....?

N Na2S2O3 = . . . ?

Penye :

V rata-rata Na2S2O3 =  (5,30 + 5,20 + 5,50)mL  = 5,33 mL

                                                        3

                      N  Na2S2O3  =  

                                          =  = 0,469 N

b.        Penentuan Cu dari CuSO4

Dik:     V sampel CuSO4         = 25 mL

N Na2S2O3                  = 0,469 N
BM Cu                                    = 63,54 mg/mmol

Dit:    Kadar Cu          = …….?

Penye:

V rata-rata Na2S2O3 =  (23,00 + 23,70 + 23,10 )mL  = 23,66 mL

                                                                  3

Reaksi yang terjadi adalah:

Cu2+ + 2e-                    Cu

Dari persamaan reaksi tersebut diperoleh bahwa 1 mol Cu = 2 Ek, sehingga

Kadar Cu        =  x BM Cu

=  x 63,54 mg/mmol

=  x 63,54 mg/mmol

=  

                         = 14,101 mg/ml

H. Pembahasan

1. Standarisasi Na2S2O3 0,1 N  

       Standarisasi adalah suatu proses penentuan konsentrasi larutan dimana diperlukan suatu larutan
standar untuk menentukan konsentrasi suatu larutan asam-basa. Larutan standar adalah suatu
larutan yang telah diketahui konsentrasinya dan biasanya berupa larutan asam atau larutan basa
yang konsentrasinya sudah tidak berubah-ubah. Larutan standar tersebut terbagi atas 2 yaitu larutan
standar primer dan larutan standar sekunder. Larutan standar primer yaitu larutan yang dimana
kadarnya dapat diketahui secara langsung hasil dari penimbangan. Kadarnya biasanya dinyatakan
dalam normalitas. Adapun suatu larutan dikatakan larutan standar primer haru memenuhi syarat-
syarat diantaranya mempunyai kemurnian tinggi, rumus molekulnya pasti, pada saat penimbangan
tidak mengalami perubahan, berat ekivalen yang tinggi serta larutannya stabil dalam penyimpanan.
Sedangkan larutan standar sekunder adalah larutan yang dimana konsentrasinya ditentukan melalui
standarisasi dengan larutan standar primer. Suatu larutan dikatakan larutan standar sekunder
apabila larutan tersebut tidak stabil dalam penyimpanan serta memiliki konsentrasi yang selalu
berubah-ubah (tidak konstan).

       Percobaan ini bertujuan untuk menstandarisasi natrium tiosulfat  dengan menggunakan larutan
standar kalium bikromat. Adapun metode yang digunakan adalah titrasi iodometri. Titrasi iodometri
adalah salah satu jenis titrasi redoks yang melibatkan iodium dimana titrasi iodometri juga termasuk
jenis titrasi tidak langsung. Titrasi iodometri dapat dipergunakan untuk menetapkan senyawa-
senyawa yang memiliki potensial oksidasi yang lebih besar daripada sistem iodium iodida atau
senyawa-senyawa yang bersifat oksidator seperti CuSO 4.5H2O. Dikarenakan larutan larutan Na 2-
S2O3 perlu distandarisasi karena konsentrasinya mudah berubah dalam penyimpanan dimana
kestabilan larutan mudah dipengaruhi oleh pH rendah dan sinar matahari. Selain itu, adanya bakteri
dikhawatirkan akan memakan kandungan belerangnya pada saat penyimpanan yang membuat
larutan ini tidak dapat digunakan lagi sehingga larutan natrium tiosulfat pada percobaan ini
bertindak sebagai larutan standar sekunder. Pada percobaan ini natrium tiosulfat merupakan suatu
zat pereduksi dengan persamaan reaksi sebagai beikut :

Na2S2O3                      2 Na+ + S2O32-

2 S2O32-                       S4O62- + 2e–

Sedangkan larutan standar primer yang digunakan dalam percobaan ini yaitu larutan K 2Cr2O7 karena
larutan kalium bikromat merupakan suatu zat pengoksidasi yang cukup kuat, sangat stabil dan
memiliki derajat kemurnian yang tinggi dan tidak bersifat higroskopis. Adapunreaksi kalium bikromat
sebagai berikut:

K2Cr2O7                      2 K+ + Cr2O72-

Cr2O72- + 14 H+ + 6e–                          2Cr3+ + 7 H2O                        Eo = 1,33 V

       Percobaan ini dilakukan dengan menambahkan HCl kedalam larutan standar K 2Cr2O7. Adapun
fungsi HCl disini yaitu selain sebagai pemberi suasana asam karena reaksi akan berlangsung cepat
dalam suasana asam selain itu juga sebagai katalis yaitu mempercepat berlangsungnya reaksi karena
K2Cr2O7 mempunyai kekuatan oksidasi yang lebih lemah dan reaksinya lambat dan K 2Cr2O7 bersifat
stabil dan inert terhadap HCl. Kemudian larutan ditambahkan dengan KI 0,1 N dimana KI berfungsi
sebagai zat pereduksi, yakni membebaskan iod dari iodida sehingga terbentuk I 2. Pada proses
iodometri ini, sampel yang bersifat oksidator direduksi dengan KI berlebih dan akan menghasilkan
I2 yang selanjutnya dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat (Na 2S2O3). Banyaknya volume
Na2S2O3 yang dipergunakan sebagai titran setara dengan banyaknya sampel. Adapun I 2 yang
dibebaskan disini berfungsi sebagai agen pengoksidasi pada saat dititrasi karena mengalami reduksi
menjadi I–. Adapun reaksi yang terjadi :

K2Cr2O7(aq)                      2 K+(aq) + Cr2O72-(aq)

KI(aq)                                   K+(aq) + I–(aq)

Oksidasi          :                                     2 I–(aq)           I2(aq) + 2e–                          (x3)

Reduksi           : Cr2O72-(aq) + 14 H+(aq) + 6e–               2 Cr3+(aq) + 7 H2O(l)          (x1)

Oksidasi          :                                   6 I–(aq)             3 I2(aq) + 6e–


Reduksi           : Cr2O72-(aq) + 14 H+(aq) + 6e–             2 Cr3+(aq) + 7 H2O(l)           

Redoks            : Cr2O72-(aq) + 14 H+(aq) + 6 I–(aq)         2 Cr3+(aq) + 3I2(aq) + 7 H2O(l)

Sehingga, reaksi lengkapnya adalah:

K2Cr2O7(aq) + 6 KI(aq) + 14 HCl(aq)          8 KCl(aq)+ 2 CrCl3(aq) + 3 I2(aq) + 7 H2O(l)

       Titrasi harus dilakukan dengan cepat. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi terjadinya
oksidasi iodida oleh udara bebas. Pengocokan sangat berpengaruh pada saat melakukan
titrasi, hal ini dikarenakan untuk menghindari penumpukan tiosulfat pada area tertentu,
karena penumpukan konsentrasi tiosulfat dapat menyebabkan terjadinya dekomposisi
tiosulfat untuk menghasilkan belerang, terbentuknya reaksi ini dapat diamati dengan adanya
belerang dan larutan menjadi bersifat koloid.

Indikator yang digunakan pada percobaan ini adalah amilum, dimana amilum ini memiliki
sifat sukar larut dalam air serta tidak stabil dalam suspensi air membentuk senyawa kompleks yang
sukar larut dalam air jika bereaksi dengan iodium. Sehingga penanbahan amilum sebagai indikator
tidak boleh ditambahkan pada awal reaksi oleh karena itu pada percobaan ini penambahan amilum
sebagai indikator dilakukan menjelang titik akhir titrasi. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan
warna biru menjadi larutan bening (dari warna biru sampai warna biru hilang). Penambahan amilum
yang dilakukan saat mendekati titik akhir titrasi dimaksudkan agar amilum tidak membungkus iod
karena akan menyebabkan amilum sukar dititrasi untuk kembali ke senyawa semula. Proses titrasi
harus dilakukan sesegera mungkin, hal ini disebabkan sifat I 2 yang mudah menguap. Pada titik akhir
titrasi iod yang terikat juga hilang bereaksi dengan titran sehingga warna biru berubah menjadi
bening.  Penggunaan indikator ini untuk memperjelas perubahan warna larutan yang terjadi pada
saat titik akhir titrasi. Kompleks iodium-amilum memiliki kelarutan yang kecil dalam air, sehingga
umumnya ditambahkan pada titik akhir titrasi. Selain itu juga, kompleks amilum I 2terdisosiasi sangat
lambat akibatnya, maka banyak I2 yang teradsorbsi oleh amilum jika amilum ditambahkan pada awal
titrasi. Selain itu, biasanya iodometri dilakukan pada media asam kuat sehingga akan menghindari
terjadinya hidrolisis amilum. Adanya perubahan warna menandakan bahwa semua iod yang
dibebaskan telah bereaksi dengan natrium tiosulfat dimana warna yang dihasilkan pada titik akhir
titrasi yaitu larutan bening. Reaksi yang terjadi adalah reaksi redoks. Adapun persamaan reaksinya
adalah: 

KI(aq)                        K+(aq)  + I–(aq)

Na2S2O3(aq)               2 Na+(aq) + S2O32-(aq)

Oksidasi          : 2 S2O32-(aq)                         S4O62-(aq) + 2e–

Reduksi           : I2(aq)      +       2e–               2 I–(aq) 

Redoks            : 2 S2O32-(aq) + I2(aq)             S4O62-(aq) + 2 I–(aq)


Sehingga reaksi lengkapnya adalah:

2Na2S2O3(aq)  + I2(aq)              Na2S4O6(aq)  + 2 NaI(aq)

       Percobaan ini dilakukan titrasi sebanyak 3 kali, tujuannya agar diperoleh hasil yang
lebih akurat. Adapun hasil titrasi yang  diperoleh dari titrasi I,II, dan III berturut-turut yaitu
5,30 mL, 5,20 mL, dan 5,50 mL dengan normalitas sebesar 0,469 N. Dari hasil yag diperoleh
dapat dikatakan volume yang diperoleh untuk titrasi sangat sedikit dan normalitas yang
diperoleh menandakan bahwa Na2S2O3 standar yang digunakan sangat pekat yaitu 0,496 N
dimana konsentrasi awal Na2S2O3 yaitu 0,1 N. Hal ini juga menandakan bahwa
Na2S2O3 merupakan larutan standar sekunder karena konsentrasinya berubah setelah
dilakukan standarisasi.

2. Menentukan Cu dan larutan sampel CuSO4

       Percobaan ini bertujuan untuk menentukan kadar Cu dalam CuSO4. Percobaan ini
dilakukan dengan larutan CuSO4 yang berfungsi sebagai oksidator karena mengoksidasi
I– menjadi I2. CuSO4 mengalami reduksi menghasilkan tembaga (I) iodida. Pada
penambahan CuSO4menghasilkan larutan yang berwarna biru kemudian ditambahkan
dengan larutan KI yang berfungsi sebagai zat pereduksi, yakni membebaskan iod dari iodida
yang berfungsi sebagai agen pengoksidasi pada saat dititrasi dikarenakan I2 mengalami
reduksi menjadi I-.Adapun setelah penambahan KI, larutan berubah warna menjadi kuning
kecoklatan. Perubahan warna ini menunjukkan adanya reaksi antara KI dengan larutan
CuSO4. Adapun reaksi yang terjadi :

KI(aq)                    K+(aq)  + I–(aq)

CuSO4(aq)             Cu2+(aq) + SO42-(aq)

Oksidasi          : 2 I–(aq)                            I2(aq) + 2e–

Reduksi           : Cu2+(aq) + 2e–                Cu(aq)

Redoks            : Cu2+(aq) + 2 I–(aq)           Cu(aq) + I2(aq)

Sehingga, reaksi lengkapnya adalah:

2 CuSO4(aq) + 4 KI(aq)                      2 K2SO4(aq) + Cu2I2(aq) + I2(aq)

Kemudian dilakukan titrasi dengan menggunakan larutan Na2S2O3. Na2S2O3 disini berfungsi


sebagai agen pereduksi karena mengalami oksidasi dan mereduksi iod (I-) menjadi iodida
(I2). Melalui titrasi tersebut, I2yang dibebaskan akan bereaksi dengan larutan Na2S2O3 yang
menghasilkan perubahan warna menjadi putih yang menandakan bahwa semua iod yang
dibebaskan telah bereaksi dengan natrium tiosulfat dan menandakan terjadinya titik akhir
titrasi.
       Percobaan ini dilakukan titrasi sebanyak 3 kali, tujuannya agar diperoleh hasil yang lebih akurat.
Adapun hasil titrasi yang  diperoleh dari titrasi I,II, dan III berturut-turut yaitu 23,00 mL, 23,70 mL
dan 23,10 mL dengan kadar Cu yang diperoleh dari percobaan ini yaitu 14,101 mg/ml. Hasil tersebut
membuktikan bahwa dalam 1 ml larutan sampel CuSO4 terdapat 14,101 mg.

I. Penutup

1. Kesimpulan

       Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan :

a.         Normalitas Na2S2O3  yang diperoleh pada percobaan sebesar 0,469 N  

a.         Kadar Cu yang diperoleh dalam larutan CuSO 4 14,101 mg/ml

2. Saran

       Diharapkan kepada praktikan selanjutnya pada saat melakukan titrasi, lebih teliti lagi. Agar tidak
terjadi kesalahan pada saat menitrasi.

Anda mungkin juga menyukai