BMNIndividual Reflective Essay - Adam Rifa'i - 76C

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 6

INDIVIDUAL REFLECTIVE ESSAY

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Business and Management

Oleh : Adam Rifa’i

MAGISTER MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
1. PENDAHULUAN

Dalam ulasan ini saya tertarik mencoba mengaitkan studi kasus permasalahan suatu
perusahaan dengan materi kuliah yang telah di bahas dalam kelas. Study case tersebut merupakan
kasus yang dialami Danone Biscuit Indonesia (DBI) yang ditulis oleh Rangga Almahendra dan
Hanum Salsabiela dalam karya ilmiah yang berjudul “Inovasi Model Bisnis Indonesia Danone di
Indonesia: Menjawab Tantangan dari Dasar Piramida”.
Danone Group adalah salah satu produsen makanan internasional yang berkantor pusat di
Paris, Prancis. Produk-produk Danone secara luas terbagi dalam produk-produk turunan susu
(fresh dairy) seperti yoghurt, makanan balita (Beldina), produk rendah lemak dan produk-produk
alami lainnya. Minuman, misalnya air mineral dalam kemasan (Evian, Volvic, Vitalinea), dan
produk makanan lain seperti saus dan sejenisnya. Grup ini beroperasi di lebih dari 120 negara.
Sementara di Indonesia, Danone memiliki beberapa merek yang kuat seperti : Aqua (melalui
akuisisi dari Aqua Tirta Investama), Biskuat, dan juga Milkuat.
Danone Biscuit Indonesia (DBI) telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1995. Pada
awalnya DBI hanya memasarkan berbagai merek dan produk dari portofolio global dari Danone
Biscuits. Waktu itu, Danone Biscuits hanyalah pemain kecil di Indonesia, dengan pangsa kurang
dari dua persen dalam volume. Perusahaan ini memulai langkah bisnisnya di bawah naungan nama
besar merek Danone yang sebagaian besar dari produk tersebut ditujukan untuk mengisi ceruk
pasar di segmen menengah atas. Hampir semua produk tersebut utamanya didistribusikan di pasar-
pasar modern yang hanya dapat dikonsumsi oleh segmen yang kecil yakni yang berpendapatan
menengah ke atas.
Pada awal perjalanan bisnis, DBI menangkap peluang bahwa pasar menengah ke atas di
Indonesia cukup menggiurkan seiring semakin menjamurnya supermarket dan department store
di kota-kota besar. Namun, tak berselang lama permasalahan muncul tatkala DBI menyadari
bahwa kinerja perusahaan tidak kunjung menunjukkan perbaikan volume penjualan. Steven Tan
selaku General Manager Danone Biscuit Indonesia (DBI) yang ditugaskan oleh Frank Riboud
(CEO Danone) mengalami kegelisahan tatkala beliau dituntut untuk memperbaiki kinerja DBI
yang tidak terlalu menggembirakan. DBI hanya mampu menjual 4.000 ton dari total pasar biscuit
kemasan sebesar 176.000 ton. Jumlah ini hanya 2,27 persen pangsa pasar, angka yang sangat tidak
signifikan bagi perusahaan sekelas Danone. Perusahaan ini sama sekali tidak bertumbuh selama
tahun 1998-1999 dan terus merugi hingga lima tahun sejak pertama kali beroperasi. Barrier yang
dialami DBI adalah rendahnya daya beli masyarakat sehingga membuat produk-produk biskuit
premium Danone seperti Lu, Jacobs, Grany, dan Vitalinea kesulitan dalam melakukan penetrasi
pasar. Bertepatan pula dengan adanya krisis ekonomi membuat biscuit Danone yang tergolong
mahal akhirnya gagal di pasaran.
Otonomi yang diberikan oleh Manajemen Pusat di Paris segera dijawab oleh DBI dengan
melakukan penyesuaian produk agar dapat diakses di pasar yang lebih luas. DBI tidak lagi terpaku
dengan produk premium berkualitas dari Danone Group dan mencoba melakukan inovasi produk
sesuai kondisi pasar di Indonesia. Awalnya banyak yang menyangsikan dengan langkah yang
diambil DBI karena sebelumnya Danone Indonesia tidak memiliki kompetensi untuk menggarap
pasar miskin di piramida terbawah. Selama ini, Danone lebih mengandalkan strategi bersaing
deferensiasi daripada strategi cost leadership.
Pada tahun 1999, Danone Biscuits Indonesia (DBI) memperkenalkan produk baru di pasar
Indonesia yang dinamai “Biskuat” (mengandung makna “biskuit yang membuat kuat”). Produk ini
diposisikan sebagai biskuit energi dan diperkaya nutrisi seperti susu dan kalsium. Biskuat
diluncurkan setelah sebuah studi menunjukkan bahwa konsumsi susu per kapita Indonesia adalah
yang terendah di Kawasan Asia Pasifik. Selain itu, Biskuat juga dijual dengan harga murah yakni
Rp 1.000, 00 per 88 gram, kurang lebih seharga sebungkus mie instan pada waktu itu. Penentuan
harga tersebut didasarkan pada data yang menunjukkan bahwa populasi masyarakat kurang
mampu di Indonesia sebagian besar hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 2 per hari memiliki
potensi yang besar untuk digarap. DBI dengan tegas menyasar segmen pasar ini dengan
menyediakan produk kesehatan dengan harga yang terjangkau.
Pada tahun 2005, atau tiga tahun setelah melakukan transformasi, Danone Biscuits berhasil
menggeser dominasi Khong Guan sebagai pemimpin pasar. Biskuat telah merebut 16,4 persen dari
volume pangsa pasar dan meraih berbagai penghargaan. CEO Danone mengatakan bahwa
pertumbuhan Biskuat telah melebihi 30 persen. Danone telah menciptakan lompatan signifikan
dalam nilai, baik bagi pembeli maupun bagi mereka sendiri, dan menciptakan pasar yang tak
tertandingi melalui Biskuat.
2. PEMBAHASAN

2.1. Chapter 3 : Borderless Company Era


Chapter 3 : Borderless Company Era salah satunya mengulas mengenai beberapa jenis
model bisnis yang dipakai oleh perusahan-perusahan besar dalam melakukan ekspansi bisnis.
Model tersebut yaitu Internasional, Global, Multi-nasional, dan Trans-nasional. Dalam studi kasus
ini, Danone Group terlihat lebih memilih menggunakan model global dalam melakukan ekspansi
bisnisnya ke berbagai negara. Hal ini ditunjukkan dari kesamaan merek yang dijual, kualitas
produk, dan branding position yang dilakukan Danone Group di setiap negara, salah satu
contohnya adalah di Indonesia. Namun, terkait hal ini terdapat pengecualian, di Indonesia model
bisnis Danone Group tersebut tidak bertahan lama dan beralih dari model perusahaan global ke
multi-nasional yang ditandai dengan diberikannya otonomi dalam memproduksi biskuat.
Chapter ini juga membahas mengenai barrier yang dialami suatu perusahaan dalam
melakukan operasi bisnisnya. Barrier atau penghalang yang ditemui DBI di saat menjalankan
bisnisnya di Indonesia adalah kesalahan strategi bisnis. Kesalahan yang dimaksud adalah
kegagalan dalam memperkirakan potensi daya beli masyarakat Indonesia. Inilah yang disebut
economic barrier dimana hanya segelintir pembeli yang dapat mengakses produk premium milik
Danone. Selain itu, barrier yang ditemui DBI adalah social barrier dimana DBI harus bekerja
keras menanamkan pada benak konsumen bahwa Biskuat bukan hanya sebagai makanan ringan,
tetapi juga sumber nutrisi dan biskuit penambah energi. Pada waktu itu, masyarakat masih merasa
kurang yakin dengan promosi yang digemborkan oleh DBI. Namun, seiring berjalannya waktu
DBI berhasil mengubah mindset tersebut sehingga membuat Biskuat mendapatkan hati
masyarakat.
2.2. Chapter 7 : Organization, Teamwork, and Communication
Chapter 7 : Organization, Teamwork, and Communication membahas mengenai bagaimana
suatu entitas bisnis melakukan pengelolaan terhadap organisasi, kerja tim, dan komunikasi. Dalam
study case ini, Danone Group telah menunjukkan adanya komunikasi intens dengan anak usahanya
yakni Danone Biscuits Indonesia (DBI). Hubungan komunikasi yang terjalin baik antara Frank
Riboud dengan Steven Tan membuat DBI mendapatkan otoritas besar dari Danone Pusat sehingga
dapat merespon dengan cepat setiap perubahan yang terjadi. Fleksibilitas organisasi juga ditandai
dengan adanya otonomi khusus yang diberikan Danone Pusat agar DBI dapat melakukan inovasi
produk. Perubahan cepat model bisnis Danone dari setralisasi menjadi desentralisasi menunjukkan
sistem organisasi Danone berjalan dengan sehat. Dan Teamwork yang baik tentu menjadi salah
satu kunci keberhasilan transformasi bisnis Danone.
Danone Group melalui anak usahanya DBI menunjukkan kualitas bisnis yang luar biasa,
dimana Danone selalu konsentrasi pada tiga bidang yang mereka sangat kuasai, yakni biskuit,
minuman, dan produk turunan susu. Spesialisasi bidang yang lahir dari pengalaman puluhan tahun
inilah yang membuat mereka unggul dibanding kompetitor lainnya, Danone maupun DBI
membagi manajemen (departemen) mereka berdasarkan bidang produk.
2.3. Chapter 8 : Managing Service and Manufacturing Operation
Chapter 8 : managing service and manufacturing operation salah satunya membahas
mengenai bentuk usaha suatu perusahaan. Danone Group adalah perusahaan yang bergerak di
sektor consumer goods (tangible) yaitu secara garis besar memproduksi biskuit, produk turunan
susu, dan minuman. Selain itu, dalam chapter ini seketika pikiran saya teringat mengenai
pembahasan terkait strategi bisnis differentiation dan cost leadership.
Diceritakan bahwa DBI awalnya menggunakan strategi bisnis yang murni mengadopsi
model bisnis Danone dalam menjalankan roda usahanya yakni dengan strategi differentiation.
Strategi differentiation adalah strategi bersaing yang lebih mengutamakan kualitas produk dan
bermain di level premium. Selanjutnya, terjadi perubahan strategi menjadi model bisnis cost
leadership sebagai cara untuk menjangkau pasar di piramida terbawah (menengah ke bawah).
Strategi cost leadership diimplementasikan Danone dilakukan dengan menentukan harga strategis
bagi produk mereka. Harga psikologis yang cukup rendah ini dilakukan dengan mengubah
pengemasan dalam unit kecil, keuntungan per unit rendah, serta mengandalkan pada volume yang
besar untuk mengejar tingkat pengembalian modal yang tinggi.
Steven Tan, menggunakan strategi 3A dalam mengambil keputusan inovasi model bisnis
Danone.
Affordability : Danone menerapaka strategi harga radikal untuk merebut pasar dari
competitor dan subtitusi makanan ringan di Indonesia.
Awareness : Danone berusaha menanamkan pada benak konsumen, tentang produk
biskuit yang bukan hanya sebagai makanan ringan, tetapi juga sumber nutrisi
dan biskuit penambah energi.
Availability : Sebelum era Biskuat dan Milkuat, sebagian besar produk biskuat Danone
dijual di rantai tempat penjualan premium, seperti di supermarket dan
departement store. Kemudian, Danone menyadari bahwa kedalaman
distribusi telah menjadi faktor kunci keberhasilan dalam industry.

3. PENUTUP

Pencapaian yang telah didapat Danone tidak membuat Steven Tan merasa puas.
Keberlanjutan dan keunggulan bersaing yang diciptakan Danone di Indonesia melalui produknya
masih harus diuji oleh waktu.
Ketidaksesuaian kompetensi inti Danone di Indonesia dan Danone Global membuat Tan
masih ragu dalam melakukan berbagai inovasi. Inovasi model bisnis apa lagi yang harus
dikembangkan perusahaan untuk bisa menggali peluang pasar miskin di segmen terbawah yang
potensial, tetapi belum banyak dieksplorasi competitor lain.
Tan juga masih belum yakin dengan keputusan Danone di Indonesia untuk membangun
keunggulan bersaing baru yakni cost leadership dan meninggalkan keunggulan bersaing
diferensiasi akan sustainable. Tentu perubahan strategi ini akan membuat banyak sekali kesulitan
yang nantinya dihadapi Danone.

Anda mungkin juga menyukai