Anda di halaman 1dari 5

Analisis Fenomena Bubble Burst Berdasarkan Konsep Pemasaran dan Perilaku

Konsumen (Studi Kasus PT Zenius Education)

UAS MK Analisis Konsumen dan Pasar


Disusun oleh:

Muhammad Ikhsan H. K14190067

BISNIS
SEKOLAH BISNIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2022
Pada tahun 2012 terjadi suatu fenomena “startup boom“ dimana investor, private
equity, fund manager berlomba-lomba menanamkan uang jumbo ke startup. Saat itu adalah
fase recovery sejak krisis US Subprime Mortgage di tahun 2008. Peredaran uang begitu
melimpahnya sehingga membuat investor kelas kakap bingung di kelas aset mana lagi bisa
menanamkan uangnya. Indonesia sebagai emerging market yang ekosistem startup-nya belum
matang, ditambah dengan fakta bahwa belum ada startup asli di Indonesia yang menyandang
status Unicorn, maka mengalir deraslah inflow investasi ke berbagai startup, sebut saja
Bukalapak, Gojek, Traveloka, OLX, Zenius dsb. Kesamaan startup tersebut adalah seluruhnya
retail consumer-based. Skalabilitas yang dicari oleh para big fund. Indonesia hanya dilihat
sebagai pasar ratusan juta orang sebagai calon customer yang bisa “dieksploitasi”.
Maka tidak heran jika mereka berani membakar duitnya untuk menjadi Top of Mind dari
pasar Indonesia. Masalah muncul ketika uang yang dibakar sudah mulai habis. Ibarat skema
Ponzi, nasabah yang awal bergabung akan menjadi yang paling untung. Begitupun dengan
dunia startup. Startup yang paling awal mendapatkan dana jumbo investor akan memiliki
probabilitas survive paling tinggi karena setelah startup tersebut berhasil mencapai status
Unicorn dan market coverage yang sangat besar, para shareholder akan EXIT dengan berbagai
cara. Cara pertama adalah menjual kepemilikan sahamnya ke investor lain atau menjual
sahamnya ke publik melalui IPO. Menjual mimpi kepada masyarakat luas bahwa dengan
memiliki saham mereka melalui bursa, mereka akan menjadi bagian dari perkembangan
teknologi dan menikmati cuan secara instan. Faktanya? Lihat performance saham Bukalapak
(BUKA) dan Gojek-Tokopedia (GOTO). Amblas jatuh di bawah harga saham IPO! Existing
shareholder yang lama sudah sibuk mengipas-ngipas duit hasil jualan saham mereka ke publik.
Fenomena exit meeting melalui jalur IPO ini menandakan bahwa era bakar uang di
startup sudah mulai berakhir. Adanya IPO yang sudah berjalan membuat investor/shareholder
startup lainnya berlomba-lomba ingin exit. Mereka sudah enggan untuk menyuntikkan modalnya
lagi. Ditambah dengan fakta kondisi makro dan global yang kurang mendukung sehingga dana
outflow keluar dari negara berkembang. Naiknya Fed Rate menyebabkan likuiditas deras
mengalir kembali ke US, menyisakan rintihan para startup yang memohon-mohon tambahan
suntikan modal. Bubble? Bisa dibilang begitu. Valuasi gila-gilaan yang dulu
dibangga-banggakan oleh founder, investor, pemerintah, dsb sekarang mendadak menciut
perlahan, kalau boleh tidak dibilang meledak pecah dengan suara meraung
kemana-mana.Sebuah bisnis riil memang harus dikembalikan ke khittahnya, menciptakan
cashflow positif yang bersumber dari LABA = PENDAPATAN — BIAYA. Arus kas diibaratkan
alirah darah yang terus mengalir menyuplai jantung untuk terus berdetak menopang kehidupan.
Untuk menyelaraskan permasalahan bubble ini , beberapa startup melakukan upaya
penyesuaian di beberapa hal terutama dibagian strategi marketing dan orientasi/journeynya.
Upaya ini dilakukan untuk melakukan pengembangan bisnis secara masif dengan sumber daya
yang terbatas. Setiap perusahaan memiliki konsep tersendiri dalam memasarkan sebuah
produknya. Salah satunya adalah upaya yang dilakukan oleh perusahaan yang didirikan pada
tanggal 7 Juli 2007, Zenius yang berada di bawah PT. Zenius Education yang merupakan
sebuah startup di bidang pendidikan yang menyediakan platform e-learning, penjualan CD dan
DVD pembelajaran, dan bimbingan belajar Zenius-X menerapkan model AIDA dalam
menanggapi perubahan perilaku konsumen yang ada dan pengimplementasian konsep
marketing mix 4C dalam melakukan pemasaran.
Dalam ilmu komunikasi pemasaran dikenal konsep AIDA sebagai acuan dalam
membuat program pemasaran, dan seringkali juga konsep AIDA ini menjadi pondasi awal
dalam membuat program-program pemasaran. Model AIDA (Attention, Interest, Desire, Action)
adalah salah satu model hirarki respon yang cukup populer bagi pemasar sebagai pedoman
dalam melaksanakan kegiatan pemasaran. Alat promosi harus menarik perhatian,
mendapatkan dan mendorong minat, membangkitkan keinginan, dan menghasilkan
tindakan.Sasaran atau masyarakat dalam menerima pesan informasi haruslah melalui
tahap-tahap rumus dalam konsep AIDA. Dengan adanya revolusi teknologi informasi ini Zenius
Education melakukan terobosan untuk membuka akses terhadap 80.000 video pembelajaran
untuk seluruh pelajar dan pembelajar Indonesia dengan program #SemuaBisaZenius. Program
ini merupakan bentuk pengimplemetasian dari Model AIDA yaitu melakukan transformasi
journey dari individu menjadi sosial dengan harapan impact yang ada dapat tersebar ke seluruh
Indonesia.
Sebelum penetrasi internet di Indonesia relatif bagus seperti sekarang, pada awal tahun
2008 Zenius memang hanya mengandalkan penjualan CD dan DVD pembelajarannya, bukan
Zenius berupa website yang materinya bisa diakses secara online. Namun, semenjak
pembajakan CD dan DVD kian marak di Indonesia, Zenius perlahan beralih menggunakan
media digital. Itulah penyebab pada tahun-tahun pertama pendirian, Zenius mengalami
kesulitan dalam mengembangkan bisnis pendidikan ini. Untuk mengakomodir pengguna yang
masih dalam masa transisi menggunakan media digital, Zenius juga menyediakan paket hybrid
Xpedia 2.0 yang kini menjadi produk best seller. Zenius sudah memiliki lebih dari 7.000 anggota
premium dan lebih dari 150.000 anggota reguler.
Dalam konsep pemasaran 4.0 segmentasi dan targeting tetap harus dilakukan sebagai
fondasi dari strategi pemasaran, namun pada konsep pemasaran digital, hubungan antara
merek dan konsumen berada pada lini horizontal yang harus transparan, dimana konsumen
yang satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan dan terhubung satu dan lainnya di dalam
sebuah komunitas. Pada konsep pemasaran digital inilah, komunitas adalah sebuah
segmentasi yang baru. Berbeda dengan segmentasi, komunitas sudah terbentuk secara natural
oleh konsumen dan berdasarkan kesadaran mereka sendiri.Sehingga untuk bisa dapat
berinteraksi dengan efektif pada komunitas konsumen, suatu merek harus meminta izin dan
menunggu konfirmasi dari komunitas tersebut.
Pergeseran juga terjadi pada positioning merek, dimana sebelumnya suatu positioning
adalah ditetapkan untuk memposisikan perbedaan antara merek yang satu dengan
kompetitornya, pada konsep pemasaran digital menyebutkan bahwa merk harus bisa lebih
dinamis dikarenakan teknologi yang cepat, cycle produk yang lebih pendek, dan pergantian tren
yang cepat sehingga suatu merek harus lebih fleksibel menghadapi perubahan namun tetap
harus memiliki karakter yang konsisten. Bauran pemasaran pada konsep pemasaran
sebelumnya yang dikenal dengan 4P, yakni Product, Place, Price dan Promotion. Dimana sudah
ditentukan oleh perusahaan, walaupun berdasarkan kebutuhan dan keinginan konsumen yang
dicari dengan riset pemasaran kemudian ditentukan dan dikemas oleh perusahaan sehingga
menjadi sebuah bauran pemasaran yang efektif untuk perusahaan atau merek.
Pada konsep pemasaran digital, proses penentuan bauran pemasaran harus lebih
melibatkan konsumen. Sehingga marketing mix pada era teknologi digital saat ini di definisikan
kembali menjadi 4C, yakni Co-creation, Currency, Communal Activation, Conversation. Dalam
memanfaatkan konsep pemasaran 4.0, Zenius education melakukan proses marketing yang
berfokus mengedukasi pasar, bukan semata-mata menjual produk. Di dalam semua divisi bisnis
Zenius termasuk tim marketing sekalipun wajib memiliki kompetensi inti yaitu harus bisa
mengajar. Berdasarkan alasan ini pula, upaya marketing Zenius lebih berfokus mengedukasi
pengguna mengenai manfaat produk agar pengguna lebih kritis sebelum membeli.
Untuk konsep marketing mix 4C, zenius menitikberatkan kepada Co-creation,
Communicational Activation, dan Conversation. Co-creation sebagai definisi baru dari produk
dimana sebuah produk diluncurkan dengan mempertimbangkan keterlibatan konsumen dari
mulai proses ide hingga eksekusi untuk pengembangan produk baru, sehingga produk yang
ditawarkan oleh perusahaan atau merek menjadi pas dan sesuai dengan kebutuhan konsumen.
Dalam hal ini Zenius memfokuskan kepada human centered problem yaitu minimnya sumber
media pembelajaran yang menekankan penguasaan konsep suatu materi. Fokus pada konten
yang berbasis konsep. Zenius menyediakan materi pembelajaran berupa multimedia baik CD
maupun DVD dengan konten yang menitikberatkan kepada konsep materi. Misalkan, ketika
membahas soal Matematika, Zenius tidak hanya menjelaskan bagaimana proses pengerjaan
soal, melainkan juga konsep dasar mengapa proses itu bisa terjadi.
Selanjutnya adalah Communal Activation , Pada strategi jalur distribusi pada bauran
pemasaran konvensional, perusahaan menyediakan touch point dimana konsumen dapat
melihat dan membeli produk, hal tersebut tentu mempengaruhi cakupan pasar dari suatu
produk, pada bauran pemasaran yang baru, jalur distribusi tersebut didefinisikan kembali
menjadi Communal Activation dimana Zenius tidak hanya menyediakan touch point antara
konsumen dan merk tetapi membangun kemudahan akses melalui jalur siapapun untuk
konsumen dapat mengakses fitur. Seperti hadirnya konsep #SemuaBisaZenius sehingga
konsumen mendapatkan kemudahan untuk mengakses semua video pembelajaran non
premium secara gratis tanpa harus berlangganan terlebih dahulu. Konsep terakhir yang
digunakan Zenius adalah Conversation. dimana suatu brand dalam hal ini adalah Zenius bisa
mendapat tanggapan langsung dari konsumen terkait dengan layanan fiturnya. Promosi pada
saat ini sudah bukan lagi percakapan monolog antara brand dengan konsumennya, hal ini
dimungkinkan oleh platform social media dan platform networking lainnya yang memungkinkan
konsumen dapat lebih fokal dalam menyuarakan pendapatnya terhadap brand. Salah satunya
adalah pemanfaatan word of mouth yang dilakukan oleh alumni user Zenius yang merasakan
impact dari layanan pembelajaran yang ada.

Daftar Pustaka

Kotler, Philip. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi dan


Pengendalian, Jilid I Edisi Bahasa Indonesia, Bandung: Tarsito, 1995
Kotler, Philip; Hermawan Kertajaya; Iwan Setiawan. Marketing 4.0. Willey, 2017
Kotler, Philip dan Gary Armstrong. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Diterjemahkan oleh : Bob
Sabran. Edisi keduabelas. Jilid 2. Jakarta : Erlangga, 2008
Kerpen, Dave. Likeable Business, the McGraw Hill Company, 2013
“Inilah strategi bisnis Zenius dalam menghasilkan pendapatan Rp 5,8 milyar sepanjang
2013 hingga 2014”. TechinAsia.com, 03 Juli 2014,

Anda mungkin juga menyukai